Manajeman Laba

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1.
Earnings Management (Manajeman Laba)
Konsep dari manajemen laba menggunakan teori agensi dimana
praktik manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan yang terjadi
antara manajemen (agent) dan pemilik (principal), yang timbul karena
masing-masing pihak memiliki kepentingan sendiri-sendiri dalam mencapai
tingkat kemakmuran (Pradipta, 2011).
Xie et al. (2003) menyatakan bahwa konflik agensi terjadi ketika
manajer (agent) melakukan tindakan oportunistik, seperti manajemen laba,
untuk memaksimalkan kepentingan pribadi mereka. Tindakan manajerial
tersebut dapat menyesatkan pemegang kepentingan mengenai nilai pasar dan
posisi keuangan, serta menyebabkan pihak luar membuat keputusan ekonomi
yang salah.
Assih dan Gudono (2000) menyatakan bahwa manajemen laba
merupakan perilaku yang rasional berdasarkan pada asumsi teori akuntansi
positif dimana manajemen adalah individual rasional yang mementingkan
kepentingan
pribadi.
kepentingan
pribadi
Kecenderungan
tersebut
manajer
mendorong
manajemen laba.
commit to user
12
dalam
manajer
memperhatikan
untuk
melakukan
digilib.uns.ac.id13
perpustakaan.uns.ac.id
Copeland (1968) mendefinisikan manajemen laba sebagai usaha dari
manajemen untuk memaksimalkan atau meniminalkan laba yang dilaporkan
sesuai dengan keinginan manajemen. Manajemen laba dapat menyebabkan
timbulnya masalah keagenan karena adanya pemisahan peran serta perbedaan
kepentingan antara pemilik dan manajer perusahaan. Manajer sebagai
pengelola perusahaan mengetahui informasi lebih banyak dan lebih dahulu
dibandingkan pemilik yang menyebabkan kesenjangan informasi sehingga
memungkinkan manajer melakukan praktik manajemen laba untuk tujuan
tertentu.
Seperti yang dinyatakan oleh Haley dan Wahlen (1999), “untuk
menyesatkan beberapa stakeholder atau pemegang kepentingan perusahaan”
atau “untuk mempengaruhi hasil perjanjian” menekankan pada perilaku
oportunistik dari manajer. Perilaku tersebut tidak bermoral dan dilarang dalam
Islam. Islam menganjurkan penganutnya untuk berbisnis tapi juga
mewajibkannya untuk bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari yang
sesuai dengan perintah Allah seperti beribadah kepada-Nya.
Untuk menganalogikan dengan teori agensi, Allah adalah principal
dan umatnya adalah agent. Bagaimanapun, hubungan agensi tersebut tidak
akan mengandung unsur egoisme dari agent sebagai bentuk ibadahnya kepada
Allah, dan memiliki kepercayaan penuh pada principal (Hamdi dan Zarai,
2013).
commit to user
digilib.uns.ac.id14
perpustakaan.uns.ac.id
Healy dan Palepu (1993) menyatakan terdapat tiga kondisi
menyebabkan komunikasi melalui laporan keuangan tidak sempurna dan tidak
transparan, antara lain:
1. Manajer memiliki informasi lebih banyak mengenai pengelolaan strategi
dan operasional bisnis dibandingkan dengan investor.
2. Terdapat perbedaan kepentingan antara manajer dengan investor.
3. Kurang sempurnanya aturan akuntansi dan audit.
Rahmawati dan Baridwan (2006) dalam Wahyono et al. (2013)
menyatakan bahwa industri perbankan mempunyai regulasi yang lebih ketat
dibandingkan dengan jenis industri lain. Bank harus memenuhi kriteria CAR
(Capital Adequacy Ratio) minimum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Bank Indonesia menggunakan laporan keuangan bank sebagai dasar penilaian
kesehatan bank. Oleh karena itu, manajer memiliki insentif untuk melakukan
manajemen laba agar bank dapat memenuhi kriteria tersebut.
Terdapat beberapa faktor yang mendorong manajer untuk melakukan
praktik manajemen laba menurut Scott (2009) dalam Wahyono et al. (2013),
antara lain:
1. Kontrak Bonus
Seringkali laba digunakan sebagai indikator dalam menilai prestasi
manajer dalam sebuah perusahaan. Sehingga menyebabkan manajer
terdorong untuk melakukan manipulasi laba apabila laba yang diperoleh
commit to user
digilib.uns.ac.id15
perpustakaan.uns.ac.id
berada di bawah target. Hal ini dilakukan agar manajer dapat memperoleh
bonus yang maksimal untuk periode yang akan datang.
2. Stock Price Effect
Manajer melakukan praktik manajemen laba dalam laporan keuangan
perusahaan dengan tujuan untuk mempengaruhi pasar.
3. Faktor Politik
Manipulasi laba dengan cara menurunkan laba yang diperoleh perusahaan
juga dapat dilakukan untuk mengurangi biaya politis dan pengawasan dari
pemerintah agar memperoleh kemudahan serta fasilitas dari pemerintah.
4. Faktor Pajak
Jika terjadi kenaikan harga akibat inflasi, penggunaan metode LIFO akan
menghasilkan laba yang dilaporkan menjadi lebih rendah dan pajak yang
harus dibayarkan juga menjadi lebih rendah. Sehingga manajer berusaha
untuk mengurangi beban pajak yang dikenakan pada perusahaan dengan
cara mengurangi laba.
5. Penawaran Saham Perdana (IPO)
Sebagian besar perusahaan yang akan melakukan penawaran saham
perdana atau Initial Public Offering (IPO) melakukan praktik manajemen
laba pada periode terakhir sebelum IPO. Saat perusahaan go public, maka
informasi keuangan merupakan sumber informasi yang penting dan
utama. Informasi tersebut digunakan untuk mempengaruhi calon investor
commit to user
digilib.uns.ac.id16
perpustakaan.uns.ac.id
mengenai nilai perusahaan, sehingga manajer berusaha menaikkan laba
yang dilaporkan untuk memperoleh harga saham yang tinggi saat IPO.
Menurut Setiawati dan Na’im (2000) dalam Wahyono et al. (2013),
terdapat tiga teknik yang dapat digunakan dalam praktik manajemen laba,
yaitu:
1. Memanfaatkan peluang atau kebijakan untuk membuat estimasi akuntansi.
Manajemen mempengaruhi laba dengan menggunakan estimasi akuntansi
seperti estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi jangka waktu
depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, dan
sebagainya untuk mempengaruhi laporan keuangan.
2. Mengubah metode akuntansi.
Untuk menaikkan maupun menurunkan laba, dapat dilakukan dengan cara
menggunakan metode akuntansi yang berbeda dari periode sebelumnya.
Contohnya seperti mengubah metode depresiasi aktiva tetap dari metode
depresiasi angka tahun menjadi metode depresiasi garis lurus, atau
mengubah metode perhitungan persediaan dari metode LIFO menjadi
FIFO, ataupun sebaliknya.
3. Menggeser periode biaya dan pendapatan.
Banyak cara untuk menggeser periode biaya dan pendapatan. Contohnya
seperti mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan
pengembangan hinga periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau
menunda pengeluaran promosi hingga periode berikutnya, mempercepat
commit to user
digilib.uns.ac.id17
perpustakaan.uns.ac.id
atau menunda pengiriman produk pada pelanggan, mengatur waktu
penjualan aktiva tetap tidak terpakai, dan sebagainya.
Pola yang dapat dilakukan dalam praktik manajemen laba menurut
Scott (2009) dalam Wahyono et al. (2013) antara lain:
1. Taking a Bath
Terjadi pada saat reorganisasi, seperti pengangkatan CEO baru. Teknik ini
mengakui adanya biaya-biaya pada periode yang akan datang dan
kerugian periode berjalan dan mengharuskan manajemen membebankan
perkiraan-perkiraan biaya mendatang sehingga laba periode berikutnya
akan lebih tinggi.
2. Income Minimalization
Dilakukan jika perusahaan mengalami peningkatan laba sehingga apabila
diperkirakan laba periode berikutnya akan menurun dapat diatasi dengan
mengambil laba pada periode sebelumnya.
3. Income Maximization
Dilakukan jika perusahaan mengalami penurunan laba. Tujuannya yaitu
untuk melaporkan net income yang tinggi agar memperoleh bonus yang
lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan untuk menghindari
pelanggaran atas kontrak utang jangka panjang.
commit to user
digilib.uns.ac.id18
perpustakaan.uns.ac.id
4. Income Smoothing
Dilakukan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan untuk mengurangi
fluktuasi laba yang terlalu besar. Hal ini disebabkan pada umumnya
investor lebih menyukai laba yang relatif stabil.
5. Offsetting Extraordinary / Unusual Gains
Dilakukan dengan cara memindahkan efek-efek laba yang tidak biasa atau
temporal yang berlawanan dengan tren laba.
6. Aggressive Accounting Applications
Teknik yang diartikan sebagai salah saji (misstatement) dan digunakan
untuk membagi laba antar periode.
7. Timing Revenue and Expense Recognition
Teknik ini dilakukan denga cara membuat kebijakan tertentu yang
berhubungan dengan waktu dari suatu transaksi. Contohnya pengakuan
prematur atas pendapatan.
Utami (2005) menyatakan untuk mendeteksi praktik manajemen laba
dapat dilakukan dengan pengukuran atas akrual. Total akrual dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu:
1. Non discretionary accruals; bagian akrual yang wajar terdapat dalam
proses penyusunan laporan keuangan (normal accruals).
2. Discretionary accruals; bagian akrual yang merupakan manipulasi data
akuntansi (abnormal accruals).
commit to user
digilib.uns.ac.id19
perpustakaan.uns.ac.id
Contoh kasus manajemen laba yang terjadi di Indonesia yaitu kasus
manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen PT. Kimia Farma
Tbk. pada tahun 2001. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen PT.
Kimia Farma Tbk. melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan
laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta dan Mustofa. Namun
Kementerian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu
besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3
Oktober 2002 laporan keuangan PT. Kimia Farma Tbk. 2001 disajikan
kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar.
Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar
Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar.
Kesalahan-kesalahan penyajian tersebut dilakukan oleh direksi periode
1998 – Juni 2002 dengan membuat dua daftar harga persediaan yang berbeda,
masing-masing diterbitkan pada tanggal 1 Februari 2002 dan 3 Februari 2002,
dimana keduanya merupakan master price yang telah diotorisasi oleh pihak
yang berwenang yaitu Direktur Produksi PT. Kimia Farma Tbk. Master price
per 3 Februari 2002 merupakan master price yang telah disesuaikan nilainya
(mark up) dan dijadikan dasar sebagai penentuan nilai persediaan pada unit
distribusi PT. Kimia Farma Tbk. per 31 Desember 2001.
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai kesalahan
pencatatan dalam laporan keuangan PT. Kimia Farma Tbk. pada tahun buku
commit to user
digilib.uns.ac.id20
perpustakaan.uns.ac.id
2001 dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di pasar modal. Kesalahan
pencatatan itu terkait dengan adanya rekayasa keuangan dan menimbulkan
pernyataan yang menyesatkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Bukti-bukti tersebut antara lain adalah kesalahan pencatatan yang dilakukan
secara tidak sengaja maupun secara sengaja. Walau bagaimana pun,
pelanggarannya tetap ada karena laporan keuangan tersebut telah digunakan
investor untuk bertransaksi.
Contoh kasus manajemen laba di Indonesia berikutnya adalah kasus
yang terjadi pada Bank Lippo Tbk. Salah satu bank peserta rekapitalisai itu
memberikan laporan berbeda ke publik dan manajemen BEJ. Dalam laporan
keuangan per 30 September 2002 yang disampaikan ke publik pada 28
November 2002 disebutkan total aktiva perseroan Rp 24 triliun dan laba
bersih Rp 98 miliar. Namun dalam laporan ke BEJ pada 27 Desember 2002
total aktiva perusahaan berubah menjadi Rp 22,8 triliun rupiah (turun Rp 1,2
triliun) dan perusahaan merugi bersih Rp1,3 triliun.
Akibatnya pada keseluruhan neraca terjadi penurunan tingkat
kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) dari 24,77 menjadi
4,23%. Namun beberapa pihak menduga perbedaan laporan keuangan terjadi
karena ada manipulasi yang dilakukan manajemen. Dugaan itu beralasan
karena agunan yang dijadikan aset berasal dari kelompok Lippo. Yakni, PT
Bukit Sentul Tbk., PT Lippo Karawaci Tbk., PT Lippo Cikarang Tbk., PT
commit to user
digilib.uns.ac.id21
perpustakaan.uns.ac.id
Lippo Securities Tbk., PT Hotel Prapatan Tbk., dan PT Panin Insurance Tbk.
Kasus laporan keuangan ganda yang dilakukan emiten itu jika tidak ditangani
dengan baik akan berpotensi menurunkan kepercayaan publik, khususnya
yang terlibat dalam bursa. Investor yang telanjur membeli saham Bank Lippo
tentu sangat kecewa dan merasa dicurangi.
Untuk contoh kasus manajemen laba pada Perbankan Syariah, sejauh
ini belum ada kasus besar yang merugikan banyak pihak. Dalam penelitian
yang dilakukan oleh Syahfandi (2012), digunakan indeks Eckel untuk
mengetahui apakah Bank Syariah melakukan perataan laba atau tidak. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa 6 dari 9 Bank Syariah yang menjadi sampel
penelitian,
melakukan
perataan
laba
(income
smoothing).
Hal
ini
menunjukkan bahwa Bank Syariah telah melakukan perataan laba untuk
mengurangi tingkat perubahan laba bersih yang fluktuatif dalam periode
pelaporannya, karena investor cenderung lebih menyukai laba yang relatif
stabil.
2.1.2.
Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan)
Ensiklopedia Corporate Governance (Encycogov) mendefinisikan
Corporate Governance sebagai bidang ekonomi yang menyelidiki bagaimana
cara
melindungi
manajemen
yang
efisien
dari
perusahaan
dengan
menggunakan mekanisme insentif, seperti kontrak, rancangan organisasional,
commit to user
digilib.uns.ac.id22
perpustakaan.uns.ac.id
dan undang-undang (Hamdi dan Zarai, 2014). OECD (Organization for
Economic
Co-operation
and
Development)
Principle
of
Corporate
Governance (1999) mendefinisikan Corporate Governance sebagai prosedur
dan proses yang berdasarkan pada arah pengaturan dan pengendalian
organisasi. Struktur Corporate Governance menetapkan pembagian hak dan
tanggung jawab di antara pihak yang berbeda dalam organisasi, seperti dewan,
manajer, pemegang saham, dan pemegang kepentingan lainnya, serta
menetapkan peraturan dan prosedur untuk pengambilan keputusan (Bukhari et
al., 2013).
Dalam Cadbury Report of 1992 Corporate Governance didefinisikan
sebagai sistem yang mengarahkan dan mengandalikan perusahaan. Dewan
direksi bertanggung jawab pada tata kelola perusahaan. Peran pemegang
saham dalam tata kelola yaitu menunjuk direktur dan auditor serta untuk
memuaskan kepentingan mereka dengan tepat sasaran.
Solomon (2010) dalam Turlea et al. (2010) berpendapat bahwa
Corporate Governance dapat dilihat dari sudut pandang yang sempit dan luas.
Dari sudut pandang yang sempit, Corporate Governance terbatas pada
hubungan antara perusahaan dan pemegang saham (shareholders). Sedangkan
dari sudut pandang yang luas, Corporate Governance dapat diartikan sebagai
jaringan hubungan, yang mana bukan hanya antara perusahaan dan pemegang
saham namun juga antara perusahaan dan pihak lain yang memiliki
kepentingan terhadap perusahaan (stakeholders).
commit to user
digilib.uns.ac.id23
perpustakaan.uns.ac.id
Good Corporate Governance atau tata kelola perusahaan yang baik
memiliki beberapa asas yang harus diterapkan oleh masing-masing
perusahaan. Asas-asas yang disebutkan dalam Prinsip Dasar dan Pedoman
Pelaksanaan Good Corporate Governance Perbankan Indonesia yang
diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2012),
sebagai berikut.
a) Transparansi
Transparansi
(transparency)
mengandung
unsur
pengungkapan
(disclosure) dan penyediaan informasi secara tepat guna, memadai, jelas,
akurat, dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku
kepentingan dan masyarakat. Transparansi diperlukan agar bank
menjalankan bisnis secara obyektif, profesional, dan melindungi
kepentingan konsumen.
b) Akuntabilitas
Akuntabilitas (accountability) mengandung unsur kejelasan fungsi dalam
organisasi dan cara mempertanggungjawabkannya. Perusahaan harus
dapat
mempertangungjawabkan
kinerjanya
secara
transparan
dan
akuntabel. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara sehat, terukur, dan
profesional dengan meperhatikan kepentingan pemegang saham dan
pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang
diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
commit to user
digilib.uns.ac.id24
perpustakaan.uns.ac.id
c) Responsibilitas
Responsibilitas (responsibility) mengandung unsur kepentingan terhadap
peraturan perundang-undangan dan ketentuan internal perusahaan serta
tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan.
Responsibilitas
diperlukan
agar
dapat
menjamin
terpeliharanya
kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan
sebagai warga korporasi yang baik atau dikenal dengan Good Corporate
Citizen.
d) Independensi
Independensi (independency) mengandung unsur kemandirian dari
dominasi pihak lain dan obyektivitas dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya. Dalam hubungan dengan asas independensi, perusahaan
harus dikelola secara independen agar masing-masing organ perusahaan
beserta seluruh jajaran di bawahnya tidak boleh saling mendominasi dan
tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun yang dapat mempengaruhi
obyektivitas dan profesionalisme dalam melaksakan tugas dan tanggung
jawabnya.
e) Kewajaran dan Kesetaraan
Kewajaran dan kesetaraan (fairness) mengandung unsur perlakuan yang
adil dan kemampuan yang sama sesuai dengan proporsinya. Dalam
melaksanakan kegiataannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan
kepentingan pemegang saham, konsumen, dan pemangku kepentingan
commit to user
digilib.uns.ac.id25
perpustakaan.uns.ac.id
lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan dari masing-masing
pihak yang bersangkutan.
Bank, termasuk Bank Syariah diwajibkan untuk menerapkan prinsipprinsip Good Corporate Governance dalam setiap kegiatan operasionalnya.
Pelaksanaan Good Corporate Governance paling tidak harus diwujudkan
dalam (Anshori, 2009: 80):
a) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi;
b) Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang
menjalankan fungsi pengendalian intern bank;
c) Penerapan fungsi kepatuhan auditor internal dan auditor eksternal;
d) Penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern;
e) Penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar;
f) Rencana strategis bank;
g) Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank.
Bank Syariah memiliki sistem tata kelola yang rumit karena
banyaknya pemegang kepentingan yang memiliki kepentingan langsung
terhadap aktivitas Bank Syariah. Direksi, Dewan Syariah, investor, nasabah,
dan regulator memiliki kepentingan langsung terhadap kinerja dan
keberlangsungan dari aktivitas Bank Syariah (Grassa dan Matoussi, 2014).
Terdapat dua masalah khusus dalam penanganan tata kelola Bank
Syariah. Pertama, berhubungan dengan kebutuhan untuk meyakinkan para
pemegang kepentingan bahwa kegiatan keuangan dalam Bank Syariah
commit to user
digilib.uns.ac.id26
perpustakaan.uns.ac.id
sepenuhnya mematuhi hukum Islam. Peran tersebut merupakan tugas dari
dewan syariah yang terdiri dari cendekiawan dan unit-unit peninjau syariah
dalam Bank Syariah guna memastikan dipatuhinya hukum islam. Kedua,
berhubungan dengan kebutuhan untuk meyakinkan pemegang kepentingan
bahwa Bank Syariah yang menggunakan kepentingan keuangan mereka
secara efisien, stabil, dan dapat dipercaya dalam jasa keuangan (Greuning dan
Iqbal, 2011: 177).
Prinsip hak milik (individu, perusahaan, dan masyarakat) dan
perlakuan kontrak antara pelaku ekonomi membedakan fungsi dan kewajiban
sebuah lembaga keuangan syariah dari bank konvensional. Syariah adalah
sebuah sistem berbasis aturan yang diarahkan untuk melindungi hak-hak
semua anggota masyarakat, baik secara individu maupun bersama-sama
(Greuning dan Iqbal, 2011: 178-180).
Di Indonesia sendiri peraturan mengenai Corporate Governance pada
Perbankan Syariah dituangkan dalam dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI)
tahun 2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Dalam peraturan tersebut diatur
bahwa struktur corporate governance terdiri dari Dewan Komisaris, Direksi,
Komite Pemantau Risiko, Komite Remunerasi dan Nominasi, Komite Audit,
dan Dewan Pengawas Syariah.
Dalam artikel “Corporate Governance Practices and Earnings
Management in Islamic Banking Institutions”, terdapat variabel Eksistensi
commit to user
digilib.uns.ac.id27
perpustakaan.uns.ac.id
Komite Governance. Proksi dari variabel tersebut adalah keanggotaan bank
syariah dalam Islamic Financial Services Board (IFSB). Bank syariah
diasumsikan memiliki Komite Governance apabila merupakan anggota IFSB.
Dalam struktur Corporate Governance pada perbankan syariah di
Indonesia, tidak disebutkan adanya Komite Governance tersebut karena dalam
Peraturan Bank Indonesia juga tidak disebutkan. Selain itu, perbankan syariah
di Indonesia belum termasuk dalam anggota IFSB. Institusi di Indonesia yang
menjadi anggota IFSB baru tiga, yaitu Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Oleh karena itu,
variabel eksistensi Komite Governance tidak digunakan dalam penelitian
skripsi ini.
2.1.3.
Perbankan Syariah di Indonesia
Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia dapat dikatakan cukup
baik. Bank Syariah pertama yang didirikan di Indonesia adalah Bank
Muamalat Indonesia pada tahun 1992. Selama periode tahun 1992-1998 hanya
terdapat satu Bank Syariah dan 78 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Perkembangan yang lambat pada periode tersebut kemungkinan disebabkan
oleh kurangnya dukungan dari pemerintah terhadap sistem ekonomi syariah
(Ika dan Abdullah, 2011).
Perkembangan Bank Syariah tidak lepas dari kebutuhan masyarakat
muslim mengenai sistem perbankan yang bebas bunga. Sebagian masyarakat
muslim tidak berkenan dengan penerapan bunga karena hal tersebut termasuk
commit to user
digilib.uns.ac.id28
perpustakaan.uns.ac.id
dalam riba yang merupakan transaksi yang diharamkan dalam syariat Islam.
Tujuan didirikannya bank dan lembaga keuangan syariah lainnya yaitu
merupakan upaya dari masyarakat muslim untuk menjalankan semua aspek
kehidupan ekonominya agar sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ide atau gagasan mengenai pendirian bank syariah pada tingkat
internasional diungkapkan pada Konferensi Negara-negara Islam sedunia
yang diadakan di Kuala Lumpur, Malaysia pada 21-27 April 1969. Kemudian
pada Desember 1970, Mesir mengajukan proposal pendirian bank syariah
pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam
(OKI) yang diadakan di Karachi, Pakistan. Usulan tersebut kembali
diagendakan pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya pada
Maret 1973. Pada Juli 1973, dibicarakan rancangan pendirian Bank Syariah.
Kemudian pada Mei 1974 dibahas mengenai anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga. Sidang Menteri Keuangan OKI yang diadakan di Jeddah pada
tahun 1974 menyetujui rancangan pendirian Bank Pembangunan Islam atau
Islamic Development Bank (IDB). Dengan didirikannya IDB, negara-negara
Islam termotivasi untuk mendirikan lembaga keuangan syariah (Al-Arif,
2012: 101-102).
Sementara itu, gagasan pendirian Bank Syariah di Indonesia muncul
pada pertengahan tahun 70-an. Hal tersebut dibahas pada seminar nasional
hubungan Indonesia-Timur Tengah pada 1974 dan pada tahun 1976 dalam
seminar internasional oleh Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan (LSIK)
commit to user
digilib.uns.ac.id29
perpustakaan.uns.ac.id
dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Kemudian pada tahun 1988, gagasan
tersebut kembali muncul ketika pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan
Oktober (Pakto) mengenai liberalisasi industri perbankan. Para ulama
berusaha mendirikan bank bebas bunga, namun belum ada perangkat hukum
sebagai rujukan. Kemudian pada 1992, didirikan Bank Muamalat Indonesia
sebagai Bank Syariah pertama di Indonesia sebagai hasil kerja tim perbankan
MUI.
Pada tahun 1994, pemerintah meluncurkan Bait al-Maal wa al-Tamwil
(BMT) sebagai gerakan nasional, yang kemudian berkembang secara luas.
BMT bukan bank namun merupakan organisasi non pemerintah yang
beroperasi seperti layaknya bank. Sebagai lembaga keuangan terkecil, target
pasar BMT fokus pada pedagang kecil (Ahmed, 2006: 235).
Undang-undang yang mengatur mengenai bank syariah di Indonesia
adalah UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang tersebut
belum
mengatur
mengenai
Bank
Syariah
secara
eksplisit,
namun
diperkenankan adanya bank dengan prinsip bagi hasil. Kemudian dikeluarkan
UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan yang menyatakan Indonesia
menganut dual banking system dalam perbankan nasional. Tahun 1999,
dikeluarkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang
mengakomodasi Bank Indonesia dalam mengambil kebijakan moneter
berdasarkan prinsip syariah, yang kemudian diamandemen menjadi UU No. 3
tahun 2004. Kemudian pada 16 Juli 2008, disahkanlah UU No. 21 tahun 2008
commit to user
digilib.uns.ac.id30
perpustakaan.uns.ac.id
tentang Perbankan Syariah sebagai landasan hukum bagi perbankan syariah
nasional (Al-Arif, 2012: 103-106).
Latar belakang dikeluarkannya regulasi mengenai perbankan syariah
antara lain (Anshori, 2009: 2):
1) Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional dengan terciptanya
masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi sesuai
dengan prinsip syariah;
2) Meningkatnya kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap jasa perbankan
syariah;
3) Adanya kekhususan dalam perbankan syariah dibandingkan perbankan
konvensional;
4) Perbankan syariah perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia pada masa reformasi
ditandai dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Undangundang tersebut mengatur tentang landasan hukum serta jenis-jenis usaha
yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undangundang tersebut juga mengarahkan bank-bank konvensional agar membuka
cabang syariah atau mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah
(Antonio, 2011: 26).
Pada periode tahun 1992-1998, Bank Umum Syariah yang beroperasi
di Indonesia hanya Bank Muamalat Indonesia. Kemudian muncul kritikan
mengenai produk Bank Syariah, yang mana produk yang digunakan hanya
commit to user
digilib.uns.ac.id31
perpustakaan.uns.ac.id
Murabahah dan Bai’ Bitsaman Ajil saja. Oleh karena itu, Bank Muamalat
pada tahun 1997 melakukan workshop untuk mengembangkan produk
perbankan syariah dan tidak lagi mengikuti produk Bank Islam Malaysia
Berhad (Muthaher, 2012: 6).
Perkembangan
produk
perbankan
syariah
disebabkan
adanya
perbedaan pendekatan, yaitu metode akomodatif dan asimilatif. Metode
akomodatif dalam pengembangannya menggunakan cara pragmatis, yang
berasumsi bahwa saat ini tidak ada situasi yang ideal untuk melaksanakan
syariah secara murni dalam perbankan syariah. Sehingga seringkali dikatakan
bahwa bank syariah adalah bank konvensional yang “disyariahkan” dalam
operasionalnya. Sedangkan metode asimilatif berpendapat bahwa bank
syariah merupakan salah satu personifikasi abstrak dari orang yang melakukan
akad syariah-muamalah. Metode ini memandang bahwa bank syariah hanya
alat penerapan dari produk syariah yang tidak dapat mengubah atau
memperbaharui produk syariah (Muthaher, 2012: 7-8).
Pada tahun 1999, Bank Syariah kedua didirikan yaitu Bank Syariah
Mandiri yang merupakan bank milik pemerintah pertama yang operasionalnya
berdasarkan pada prinsip syariah. Kemudian pada tahun 2004, didirikan Bank
Mega Syariah sebagai bank syariah ketiga di Indonesia. Dengan didirikannya
Bank Umum Syariah tersebut, perkembangan perbankan syariah mulai
menunjukkan perkembangan yang cukup pesat.
commit to user
digilib.uns.ac.id32
perpustakaan.uns.ac.id
Pemerintah telah banyak mendukung perkembangan bank syariah di
Indonesia. Hingga saat ini telah didirikan 12 Bank Umum Syariah di
Indonesia, 22 Unit Usaha Syariah, dan 163 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS). Untuk itu, pemerintah pun telah menetapkan Undang-Undang RI No.
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah untuk mengatur mengenai
operasional perbankan syariah di Indonesia.
Tabel 2.1
Perkembangan Jaringan Kantor Bank Syariah
Indikator
2010
2011
2012
2013
2014
Bank Umum Syariah
-
Jumlah Bank
-
Jumlah Kantor
11
11
11
11
12
1.215
1.401
1.745
1.998
2.151
23
24
24
23
22
262
336
517
590
320
Unit Usaha Syariah
-
Jumlah
Bank
Konvensional
yang memiliki UUS
-
Jumlah Kantor
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
-
Jumlah BPRS
150
155
158
163
163
-
Jumlah Kantor
286
364
401
402
439
1.763
2.101
2.663
2.990
2.910
Total
Sumber: www.ojk.go.id
Perbankan syariah memiliki prinsip dasar operasional yang berbeda
dengan perbankan konvensional. Hal yang paling mendasar dalam perbankan
commit to user
digilib.uns.ac.id33
perpustakaan.uns.ac.id
syariah. Pelarangan riba dalam Islam didasarkan pada Al-Qur’an dalam Surat
Al-Baqarah ayat 275-279. Riba dalam konteks ekonomi modern disetarakan
dengan bunga (interest). Sehingga dalam perbankan syariah, keuntungan yang
diperoleh bank berasal dari bagi hasil (Profit and Loss Sharing), bukan bunga
(interest).
Kontrak bagi hasil (Profit and Loss Sharing) dirumuskan dalam
hubungan pemilik dan agen, dimana peminjam (agen) menyediakan sumber
daya manusia yang dibutuhkan sementara pemilik dana menyediakan modal,
menjadi partner dan menanggung risiko bersama. Susunan ini penting karena
menetapkan modal sumber daya manusia sama dengan modal finansial,
menghapus apapun jaminan keuntungan tetap (Ghayad, 2008).
Selain riba, dalam perbankan syariah juga tidak diperbolehkan
melakukan transaksi yang dilarang oleh Islam. Transaksi tersebut antara lain
yang berhubungan dengan alkohol, perjudian, pornografi, dan minuman keras
yang berbahaya bagi kehidupan manusia. Perbankan syariah juga menerapkan
zakat, bagi hasil, dan menghindari transaksi serta aktivitas yang bersifat
spekulasi. Hukum Islam menganjurkan umatnya untuk memanfaatkan
dananya dan tidak menyimpannya tanpa dimanfaatkan. Sehingga bank tidak
dapat menggunakan dana dengan cara tradisional, namun mengelolanya untuk
memperoleh bagi hasil (Nathan dan Ribi
commit to user
ѐre
, 2007).
digilib.uns.ac.id34
perpustakaan.uns.ac.id
Berikut ini merupakan prinsip-prinsip dasar dalam operasional bank
syariah (Muhammad, 2013: 180-181):
1) Prinsip Simpanan Murni (al-Wadi’ah)
Prinsip simpanan murni merupakan fasilitas Bank Syariah agar
masyarakat yang memiliki kelebihan dana dapat menyimpannya dalam
bentuk al-Wadi’ah. Fasilitas tersebut bertujuan untuk investasi agar
memperoleh keuntungan seperti tabungan dan deposito. Dalam perbankan
konvensional al-Wadi’ah identik dengan giro.
2) Bagi Hasil (Syirkah)
Sistem bagi hasil merupakan suatu sistem yang mencakup tata cara
pembagian hasil usaha antara pemilik dana dan pengelola dana.
Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dan pemilik dana, atau
antara bank dan nasabah penerima dana. Bentuk produk bank syariah yang
berdasarkan pada prinsip bagi hasil ini yaitu mudharabah dan
musyarakah. Prinsip mudharabah dapat digunakan sebagai dasar untuk
produk pendanaan dan pembiayaan. Sedangkan musyarakah lebih banyak
digunakan untuk pembiayaan.
3) Prinsip Jual Beli (at-Tijarah)
Prinsip jual beli merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual
beli, dimana bank akan memnbeli barang yang dibutuhkan lebih dulu atau
mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian atas nama
commit to user
digilib.uns.ac.id35
perpustakaan.uns.ac.id
bank. Selanjutnya bank akan menjual barang tersebut kepada nasabah
dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan.
4) Prinsip Sewa (al-Ijarah)
Prinsip sewa terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
a) Ijarah (sewa murni); contohnya seperti dalam hal penyewaan traktor
dan alat-alat lainnya (operating lease). Secara teknis dalam dunia
perbankan bank dapat membeli equipment yang dibutuhkan nasabah
terlebih dahulu dan kemudian menyewakan kepada nasabah dalam
waktu yang telah disepakati.
b) Bai al takjiri atau ijarah al muntahiya bit tamlik (sewa beli); penyewa
memiliki hak untuk memiliki barang yang disewa tersebut di akhir
masa sewa (financial lease).
5) Prinsip Fee/Jasa (al-Ajr Walumullah)
Prinsip jasa mencakup layanan-layanan non-pembiayaan yang diberikan
oleh bank. Bentuk produk yang berdasarkan pada prinsip jasa yaitu Bank
Garansi, Kliring, Inkaso, Jasa Transfer, dan lainnya.
2.1.4. Hubungan antara Corporate Governance dan Manajemen Laba
Manajemen laba terjadi karena adanya kesenjangan informasi yang
dimiliki antara manajemen dan pemilik, dalam hal ini pemegang saham.
Manajemen yang menjalankan perusahaan sehari-hari tentu akan lebih
commit to user
digilib.uns.ac.id36
perpustakaan.uns.ac.id
mengetahui dan memahami mengenai operasional perusahaan dibandingkan
pemegang
saham.
Pemegang
saham
hanya
mengetahui
operasional
perusahaan sesuai dengan apa yang dilaporkan dalam laporan keuangan
maupun laporan tahunan. Hal ini tentu akan merugikan bagi pemegang saham
apabila yang dilaporkan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Untuk
itu, diperlukan adanya suatu sistem yang dapat meminimalisasi tindakan
manajemen laba yaitu Corporate Governance.
Tujuan dari Corporate Governance adalah untuk mewujudkan
keadilan serta perlindungan bagi seluruh pemegang kepentingan dalam
perusahaan dengan cara menciptakan transparansi dan akuntabilitas (Chapra
dan Ahmed, 2008: 18). Good Corporate Governance diharapkan dapat
mengurangi bahkan menghilangkan kesenjangan atau asimetris informasi
yang terjadi antara pihak manajemen dan pemilik karena adanya transparansi
dan akuntabilitas dalam pelaporan keuangan. Seperti dinyatakan oleh Walker
Review (2009) dalam Turlea et al. (2010) bahwa peran Corporate
Governance adalah untuk melindungi dan memajukan kepentingan pemegang
saham melalui pengaturan arah strategi perusahaan dan menunjuk serta
mengawasi manajemen yang mampu untuk mencapainya.
Penulis berpendapat bahwa perusahaan yang benar-benar menerapkan
Good Corporate Governance dapat meminimalisasi terjadinya manajemen
laba yang berakibat pada pengambilan keputusan oleh stakeholders. Dengan
commit to user
digilib.uns.ac.id37
perpustakaan.uns.ac.id
penerapan Good Corporate Governance yang tepat, perusahaan dapat
menghindari tindakan manajer yang akan menguntungkan diri sendiri namun
merugikan bagi perusahaan.
Sama halnya dengan perusahaan pada umumnya, perbankan
khususnya Perbankan Syariah juga wajib menerapkan Good Corporate
Governance dalam operasionalnya. Perbankan Syariah yang melakukan
kegiatan operasional berdasarkan prinsip syariah yang menjunjung tinggi
kejujuran dan keadilan diharapkan dapat memberikan kepercayaan yang lebih
bagi para nasabahnya. Nasabah terutama nasabah muslim memiliki ekspektasi
tinggi terhadap perbankan syariah dalam menjalankan operasionalnya agar
sesuai dengan prinsip syariah.
Penulis menggunakan Perbankan Syariah sebagai obyek penelitian
skripsi ini karena pertama, belum banyak penelitian mengenai pengaruh
Corporate Governance terhadap manajemen laba yang mengambil sampel
perbankan syariah. Kedua, untuk mengetahui apakah perbankan syariah
benar-benar patuh dalam melaksanakan Good Corporate Governance sesuai
dengan Peraturan Bank Indonesia. Ketiga, untuk melihat apakah perbankan
syariah tidak melakukan praktik manajemen laba sebagai cerminan dari sistem
ekonomi Islam yang menjunjung tinggi nilai kejujuran.
commit to user
digilib.uns.ac.id38
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam penelitian skripsi ini, variabel Corporate Governance
diproksikan dengan kualitas auditor, ukuran Dewan Komisaris, ukuran
Direksi, ukuran Dewan Pengawas Syariah, dan ukuran bank. Kualitas auditor
mencerminkan bahwa auditor yang diberi tanggung jawab untuk memeriksa
kewajaran laporan keuangan diharapkan dapat mengurangi tindakan
manajemen laba. Dewan Komisaris bertanggung jawab dalam mengawasi
jalannya operasional perusahaan sesuai dengan anggaran dasar serta memberi
nasihat kepada Direksi, sehingga diharapkan anggota Dewan Komisaris yang
ada menjalankan perannya dengan baik untuk meminimalisasi tindakan
manajemen laba.
Direksi memiliki wewenang serta tanggung jawab penuh terhadap
pengurusan perusahaan, oleh karena itu diharapkan anggota Direksi dapat
melaksanakan tugasnya dalam mengurangi praktik manajemen laba di
perusahaan. Dewan Pengawas Syariah berperan dalam mengawasi kegiatan
perusahaan agar sesuai dengan prinsip syariah, sehingga diharapkan perilaku
kecurangan yang dilakukan manajer yang tidak sesuai dengan prinsip syariah
dapat berkurang. Ukuran perusahaan diharapkan dapat menjadi kontrol
terhadap perusahaan agar lebih berhati-hati dalam memilih metode dan
kebijakan akuntansi yang berdampak pada pelaporan keuangan.
Dari penjabaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
penerapan Corporate Governance dengan praktik manajemen laba. Corporate
commit to user
digilib.uns.ac.id39
perpustakaan.uns.ac.id
Governance sebagai sebuah sistem dibuat untuk menciptakan transparansi dan
akuntabilitas dalam pelaksanaan kegiatan operasional dalam perusahaan.
Sedangkan manajemen laba terjadi karena kurangnya transparansi oleh pihak
manajemen kepada pemilik perusahaan. Oleh karena itu, penerapan Good
Corporate Governance diharapkan dapat meminimalisasi tindakan atau
praktik manajemen laba pada perusahaan, khususnya perbankan syariah.
2.2. Penelitian Sebelumnya
Tabel 2.2
Penelitian Terdahulu
No.
Peneliti
Judul Penelitian
Sampel
1.
Faouzi
Mohamed
Hamdi dan
Mohamed Ali
Zarai (2014)
Corporate Governance
Practices and Earnings
Management in
Islamic Banking
Institutions
Bank Syariah
di seluruh
dunia
(2000-2009)
2.
Muhammad
Dody Amijaya
dan Andri
Pratiwi
Pengaruh Kualitas
Audit terhadap
Manajemen Laba
Perusahaan
Perbankan
yang terdaftar
di BEI (20082011)
3.
Yusriati Nur
Pengaruh Penerapan
Perbankan
commit to user
Hasil Penelitian
Komite audit dan eksistensi
DPS berpengaruh terhadap
manajemen laba. Sementara
ukuran Direksi, efektivitas
dan ukuran DPS tidak
berpengaruh dalam
mengurangi praktik
manajemen laba.
Ukuran KAP berpengaruh
terhadap manajemen,
independen auditor spesialis
industri, ukuran perusahaan
dan pertumbuhan perusahaan
berpengaruh sigifikan
terhadap manajemen laba,
sedangkan independensi
auditor, arus kas operasi dan
leverage tidak berpengaruh
terhadap manajemen laba.
Penerapan corporate
digilib.uns.ac.id40
perpustakaan.uns.ac.id
Farida, Yuli
Prasetyo, dan
Eliada
Herwiyanti
(2010)
4.
Marihot
Nasution dan
Doddy
Setiawan
(2007)
5.
Yuliati Y.
Makaombohe,
Sifrid S.
Pangemanan,
Victorina Z.
Tirayoh (2013)
Corporate Governance
terhadap Timbulnya
Earning Management
dalam Menilai Kinerja
Keuangan Pada
Perusahaan Perbankan
di Indonesia
Pengaruh Corporate
Governance terhadap
Manajemen Laba di
Industri Perbankan
Indonesia
Indonesia yang
listing di BEI
(2005-2007)
Ukuran Perusahaan
terhadap Manajemen
Laba pada Perbankan
yang Terdaftar di BEI
Periode 2008-2011
Perbankan
yang Terdaftar
di BEI (20082011)
Perbankan
yang terdaftar
dalam Bursa
Efek Jakarta
(2000-2004)
governance tidak berpengaruh
terhadap tindakan earnings
management, kecuali
kepemilikan manajerial.
Pengaruh earings
management tidak signifikan
terhadap kinerja perusahaan.
Variabel komposisi Dewan
Komisaris, ukuran Dewan
Komisaris, dan komite audit
berpengaruh terhadap
manajemen laba. Sedangkan
ukuran perusahaan tidak
berpengaruh terhadap
manajemen laba.
Ukuran perusahaan
berpengaruh terhadap
manajemen laba pada
perbankan Indonesia.
2.3. Rerangka Teori
Rerangka teoritis dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1
Rerangka Teori Penelitian
Variabel Independen (Corporate Governance)





Kualitas Auditor
Ukuran Dewan Komisaris
Ukuran Direksi
Ukuran Dewan Pengawas Syariah
Ukuran Bank
commit to user
Variabel
Dependen
(Earning
Management)
digilib.uns.ac.id41
perpustakaan.uns.ac.id
2.4. Pengembangan Hipotesis
Variable dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
manajemen laba sebagai variabel yang terikat. Sedangkan untuk variabel
independen atau bebas yaitu Corporate Governance adalah sebagai berikut.
2.4.1. Kualitas Auditor
Menurut Arens et al. (2012: 4), pengauditan adalah akumulasi dan
evaluasi bukti mengenai informasi untuk menentukan dan melaporkan
tingkat penyesuaian antara informasi dan kriteria yang ditentukan.
Pengauditan harus dilakukan oleh orang atau auditor yang kompeten dan
independen.
Auditor bertanggung jawab untuk memastikan bahwa laporan keuangan
yang dipublikasikan oleh entitas telah memenuhi standar yang berlaku dan
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Kane dan Velury (2005) dalam
Hamdi dan Zarai (2014) menyatakan bahwa kualitas auditor sangat
penting untuk melaporkan integritas dan kualitas laba. Kualitas auditor
mengindikasikan kapasitas internal audit untuk mendeteksi kesalahan
material dan ketidaklayakan.
Dalam artikel Hamdi dan Zarai (2014), hipotesis yang diajukan adalah
semakin tinggi kualitas audit Bank Syariah maka semakin kecil
kemungkinannya dalam melakukan manajemen laba. Hasil penelitian
menunjukkan kualitas auditor berpengaruh namun tidak signifikan
terhadap manajemen laba.
commit to user
digilib.uns.ac.id42
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Amijaya dan Prastiwi (2013)
mengajukan hipotesis bahwa kualitas auditor berpengaruh terhadap
manajemen laba pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI tahun
2008-2011. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kualitas auditor
berpengaruh terhadap manjemen laba pada perbankan di Indonesian. Oleh
karena itu, penulis mengembangkan hipotesis sebagai berikut:
H1 : Kualitas auditor berpengaruh terhadap praktik manajemen laba.
2.4.2. Ukuran Dewan Komisaris
Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas untuk
melaksanakan pengawasan secara umum maupun khusus sesuai dengan
anggaran dasar serta memberi masukan kepada Direksi. Anggota Dewan
Komisaris diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),
sedangkan pengangkatan pertama kali dilakukan oleh pendiri dalam akta
pendirian. Anggota Dewan Komisaris diangkat untuk jangka waktu
tertentu dan dapat diangkat kembali (Anshori, 2013: 68).
Jumlah anggota Dewan Komisaris paling sedikit 3 (tiga) orang dan paling
banyak sama dengan jumlah anggota Direksi. Dewan Komisaris dipimpin
Komisaris Utama. Dewan Komisaris terdiri dari Komisaris dan Komisaris
Independen, yang mana paling sedikit 50% dari jumlah anggota Dewan
Komisaris merupakan Komisaris Independen (Anshori, 2009: 81).
Ketentuan mengenai Dewan Komisaris diatur dalam Undang-Undang No.
21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 28-30.
commit to user
digilib.uns.ac.id43
perpustakaan.uns.ac.id
Yermack (1996) dalam Nasution dan Setiawan (2007) menyatakan bahwa
semakin banyaknya anggota dewan komisaris maka semakin sulit dalam
menjalankan perannya, diantaranya kesulitas dalam berkomunikasi dan
mengkoordinasi kerja dari masing-masing anggota dewan itu sendiri,
kesulitan dalam mengawasi dan mengendalikan tindakan dari manajemen,
serta kesulitan dalam mengambil keputusan yang berguna bagi
perusahaan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nasution dan Setiawan (2007),
hipotesis yang diajukan menyatakan bahwa ukuran dewan komisaris
berpengaruh terhadap manajemen laba, dimana semakin banyak jumlah
anggota dewan komisaris, semakin besar pula praktik manajemen laba
yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya kepentingan
dari masing-masing pihak untuk keuntungan pribadi.
Hasil penelitian membukikan hipotesis tersebut, dimana ukuran dewan
komisaris berpengaruh secara signifikan terhadap praktik manajemen
laba.. Oleh karena itu, penulis mengembangkan hipotesis sebagai berikut:
H2 : Ukuran Dewan Komisaris berpengaruh terhadap praktik manajemen
laba.
2.4.3. Ukuran Direksi
Direksi merupakan organ perseroan yang memiliki wewenang dan
tanggung jawab penuh terhadap pengurusan Perseroan untuk kepentingan
Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili
commit to user
digilib.uns.ac.id44
perpustakaan.uns.ac.id
Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar (Anshori, 2013:72).
Jumlah anggota Direksi paling sedikit 3 (tiga) orang, di mana seluruh
anggota Direksi wajib berdomisili di Indonesia. Direksi dipimpin oleh
Presiden Direktur atau Direktur Utama. Sama halnya dengan ukuran
Dewan Komisaris, semakin kecil ukuran Direksi maka akan semakin
mudah dan efektif dalam hal koordinasi antar anggota Direksi.
Dalam artikel Hamdi dan Zarai (2014) diajukan hipotesis bahwa Bank
Syariah yang memiliki ukuran Direksi semakin kecil maka akan memiliki
intensitas praktik manajemen laba yang lebih rendah, begitu pula
sebaliknya. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran Direksi
tidak berpengaruh terhadap praktik manajemen laba. Oleh karena itu,
penulis mengembangkan hipotesis sebagai berikut:
H3 : Ukuran Direksi berpengaruh terhadap praktik manajemen laba.
2.4.4. Ukuran Dewan Pengawas Syariah
Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan pada prinsip
syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah, yang terdiri dari satu
orang atau lebih ahli syariah yang diangkat oleh RUPS atas Rekomendasi
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketentuan mengenai Dewan Pengawas
Syariah diatur dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah pasal 32 (Anshori, 2009: 72).
commit to user
digilib.uns.ac.id45
perpustakaan.uns.ac.id
Peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah (DPS) yaitu
untuk mengawasi jalannya operasional bank syariah agar selalu konsisten
dan sesuai dengan ketentuan syariah. Tugas dari Dewan Pengawas Syariah
yaitu membuat pernyataan yang dimuat dalam laporan tahunan yang
menyatakan bahwa bank yang diawasi telah menjalankan operasionalnya
sesuai dengan ketentuan syariah. Tugas lainnya yaitu meneliti dan
membuat rekomendasi mengenai produk baru dari bank di bawah
pengawasannya (Antonio, 2011: 31).
Dewan Pengawas Syariah yang beroperasi di dalam bank syariah itu
sendiri maupun melalui sebuah lembaga eksternal seperti bank sentral,
memastikan kesesuaian terhadap prinsip-prinsip agama. Masing-masing
dewan memiliki wewenang untuk merancang, mengembangkan, dan
menerbitkan produk-produk keuangan serta instrumen-instrumen hukum
yang sesuai dengan Syariat Islam. Tugas internal dari dewan pengawas
syariah bervariasi sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam akta
pendirian bank syariah tertentu atau pembuat kebijakan nasional. Selain
pembuat kebijakan internal, pembuat kebijakan internasional dan nasional
sering menerapkan pedoman bagi dewan syariah (Greuning dan Iqbal,
2011: 180)
Hamdi dan Zarai (2014) menyatakan bahwa semakin kompeten anggota
DPS, kemungkinan besar mereka lebih memahami faktor-faktor yang
menyebabkan dan mengindikasikan adanya penyimpangan manajemen
commit to user
digilib.uns.ac.id46
perpustakaan.uns.ac.id
dalam akuntansi akrual dan bagaimana cara mencegah atau paling tidak
mengurangi. Pihak eksekutif mungkin memiliki insentif yang lebih kecil
untuk memanipulasi laba jika mereka memiliki alasan untuk percaya
bahwa DPS yang kompeten juga mengawasi keputusan akuntansi yang
mereka buat.
Seperti halnya variabel ukuran dewan komisaris, semakin kecil ukuran
Dewan Pengawas Syariah (DPS) maka semakin efektif pula kinerja yang
dilaksanakan. Dalam artikel Hamdi dan Zarai (2014), hipotesis yang
diajukan yaitu ukuran DPS berpengaruh terhadap intensitas manjemen
laba yang dilakukan oleh Bank Syariah. Namun hasil penelitian
menunjukkan bahwa ukuran DPS berpengaruh namun tidak signifikan
terhadap
praktik
manajemen
laba.
Oleh
karena
itu,
penulis
mengembangkan hipotesis sebagai berikut:
H4 : Ukuran Dewan Pengawas Syariah berpengaruh terhadap praktik
manajemen laba.
2.4.5. Ukuran Bank
Cornett el al. (2006) manyatakan bahwa ukuran bank yang lebih besar
kemungkinan besar akan diperiksa dengan teliti oleh para analis indutri.
Sama halnya dengan pembuat kebijakan yang diberi tanggung jawab
untuk menegakkan keamanan dan kesehatan seluruh industri perbankan,
mereka akan cenderung memeriksa institusi perbankan terbesar yang
memiliki pengaruh potensial dalam industri dan ekonomi secara
commit to user
digilib.uns.ac.id47
perpustakaan.uns.ac.id
keseluruhan. Dengan evaluasi dari analis dan pembuat kebijakan, bank
besar akan lebih kecil kemungkinannya dalam memanipulasi laba
menggunakan akrual diskresional.
Hamdi dan Zarai (2014) dalam penelitiannya menyatakan hipotesis bahwa
semakin besar ukuran Bank Syariah, semakin kecil kecenderungannya
dalam melakukan manajemen laba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ukuran bank berpengaruh terhadap manajemen laba namun tidak
signifikan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Makaombohe et al. (2014)
dinyatakan hipotesis bahwa ukukran perusasahaan berpengaruh terhadap
manajemen laba. Sampel penelitian tersebut adalah perusahaan perbankan
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk tahun 2008-2011.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Makaombohe et al. (2014)
menyatakakan
bahwa
ukuran
perusahaan
berpengaruh
terhadap
manajemen laba pada perbankan di Indonesia.
Sama halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Amijaya dan
Prastiwi (2013) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh
terhadap manajemen laba pada perusahaan perbankan di Indonesia tahun
2008-2011. Oleh karena itu, penulis mengembangkan hipotesis sebagai
berikut:
H5 : Ukuran bank berpengaruh terhadap praktik manajemen laba.
commit to user
Download