perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Earnings Management (Manajeman Laba) Konsep dari manajemen laba menggunakan teori agensi dimana praktik manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan yang terjadi antara manajemen (agent) dan pemilik (principal), yang timbul karena masing-masing pihak memiliki kepentingan sendiri-sendiri dalam mencapai tingkat kemakmuran (Pradipta, 2011). Xie et al. (2003) menyatakan bahwa konflik agensi terjadi ketika manajer (agent) melakukan tindakan oportunistik, seperti manajemen laba, untuk memaksimalkan kepentingan pribadi mereka. Tindakan manajerial tersebut dapat menyesatkan pemegang kepentingan mengenai nilai pasar dan posisi keuangan, serta menyebabkan pihak luar membuat keputusan ekonomi yang salah. Assih dan Gudono (2000) menyatakan bahwa manajemen laba merupakan perilaku yang rasional berdasarkan pada asumsi teori akuntansi positif dimana manajemen adalah individual rasional yang mementingkan kepentingan pribadi. kepentingan pribadi Kecenderungan tersebut manajer mendorong manajemen laba. commit to user 12 dalam manajer memperhatikan untuk melakukan digilib.uns.ac.id13 perpustakaan.uns.ac.id Copeland (1968) mendefinisikan manajemen laba sebagai usaha dari manajemen untuk memaksimalkan atau meniminalkan laba yang dilaporkan sesuai dengan keinginan manajemen. Manajemen laba dapat menyebabkan timbulnya masalah keagenan karena adanya pemisahan peran serta perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajer perusahaan. Manajer sebagai pengelola perusahaan mengetahui informasi lebih banyak dan lebih dahulu dibandingkan pemilik yang menyebabkan kesenjangan informasi sehingga memungkinkan manajer melakukan praktik manajemen laba untuk tujuan tertentu. Seperti yang dinyatakan oleh Haley dan Wahlen (1999), “untuk menyesatkan beberapa stakeholder atau pemegang kepentingan perusahaan” atau “untuk mempengaruhi hasil perjanjian” menekankan pada perilaku oportunistik dari manajer. Perilaku tersebut tidak bermoral dan dilarang dalam Islam. Islam menganjurkan penganutnya untuk berbisnis tapi juga mewajibkannya untuk bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan perintah Allah seperti beribadah kepada-Nya. Untuk menganalogikan dengan teori agensi, Allah adalah principal dan umatnya adalah agent. Bagaimanapun, hubungan agensi tersebut tidak akan mengandung unsur egoisme dari agent sebagai bentuk ibadahnya kepada Allah, dan memiliki kepercayaan penuh pada principal (Hamdi dan Zarai, 2013). commit to user digilib.uns.ac.id14 perpustakaan.uns.ac.id Healy dan Palepu (1993) menyatakan terdapat tiga kondisi menyebabkan komunikasi melalui laporan keuangan tidak sempurna dan tidak transparan, antara lain: 1. Manajer memiliki informasi lebih banyak mengenai pengelolaan strategi dan operasional bisnis dibandingkan dengan investor. 2. Terdapat perbedaan kepentingan antara manajer dengan investor. 3. Kurang sempurnanya aturan akuntansi dan audit. Rahmawati dan Baridwan (2006) dalam Wahyono et al. (2013) menyatakan bahwa industri perbankan mempunyai regulasi yang lebih ketat dibandingkan dengan jenis industri lain. Bank harus memenuhi kriteria CAR (Capital Adequacy Ratio) minimum yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia menggunakan laporan keuangan bank sebagai dasar penilaian kesehatan bank. Oleh karena itu, manajer memiliki insentif untuk melakukan manajemen laba agar bank dapat memenuhi kriteria tersebut. Terdapat beberapa faktor yang mendorong manajer untuk melakukan praktik manajemen laba menurut Scott (2009) dalam Wahyono et al. (2013), antara lain: 1. Kontrak Bonus Seringkali laba digunakan sebagai indikator dalam menilai prestasi manajer dalam sebuah perusahaan. Sehingga menyebabkan manajer terdorong untuk melakukan manipulasi laba apabila laba yang diperoleh commit to user digilib.uns.ac.id15 perpustakaan.uns.ac.id berada di bawah target. Hal ini dilakukan agar manajer dapat memperoleh bonus yang maksimal untuk periode yang akan datang. 2. Stock Price Effect Manajer melakukan praktik manajemen laba dalam laporan keuangan perusahaan dengan tujuan untuk mempengaruhi pasar. 3. Faktor Politik Manipulasi laba dengan cara menurunkan laba yang diperoleh perusahaan juga dapat dilakukan untuk mengurangi biaya politis dan pengawasan dari pemerintah agar memperoleh kemudahan serta fasilitas dari pemerintah. 4. Faktor Pajak Jika terjadi kenaikan harga akibat inflasi, penggunaan metode LIFO akan menghasilkan laba yang dilaporkan menjadi lebih rendah dan pajak yang harus dibayarkan juga menjadi lebih rendah. Sehingga manajer berusaha untuk mengurangi beban pajak yang dikenakan pada perusahaan dengan cara mengurangi laba. 5. Penawaran Saham Perdana (IPO) Sebagian besar perusahaan yang akan melakukan penawaran saham perdana atau Initial Public Offering (IPO) melakukan praktik manajemen laba pada periode terakhir sebelum IPO. Saat perusahaan go public, maka informasi keuangan merupakan sumber informasi yang penting dan utama. Informasi tersebut digunakan untuk mempengaruhi calon investor commit to user digilib.uns.ac.id16 perpustakaan.uns.ac.id mengenai nilai perusahaan, sehingga manajer berusaha menaikkan laba yang dilaporkan untuk memperoleh harga saham yang tinggi saat IPO. Menurut Setiawati dan Na’im (2000) dalam Wahyono et al. (2013), terdapat tiga teknik yang dapat digunakan dalam praktik manajemen laba, yaitu: 1. Memanfaatkan peluang atau kebijakan untuk membuat estimasi akuntansi. Manajemen mempengaruhi laba dengan menggunakan estimasi akuntansi seperti estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi jangka waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, dan sebagainya untuk mempengaruhi laporan keuangan. 2. Mengubah metode akuntansi. Untuk menaikkan maupun menurunkan laba, dapat dilakukan dengan cara menggunakan metode akuntansi yang berbeda dari periode sebelumnya. Contohnya seperti mengubah metode depresiasi aktiva tetap dari metode depresiasi angka tahun menjadi metode depresiasi garis lurus, atau mengubah metode perhitungan persediaan dari metode LIFO menjadi FIFO, ataupun sebaliknya. 3. Menggeser periode biaya dan pendapatan. Banyak cara untuk menggeser periode biaya dan pendapatan. Contohnya seperti mempercepat atau menunda pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan hinga periode akuntansi berikutnya, mempercepat atau menunda pengeluaran promosi hingga periode berikutnya, mempercepat commit to user digilib.uns.ac.id17 perpustakaan.uns.ac.id atau menunda pengiriman produk pada pelanggan, mengatur waktu penjualan aktiva tetap tidak terpakai, dan sebagainya. Pola yang dapat dilakukan dalam praktik manajemen laba menurut Scott (2009) dalam Wahyono et al. (2013) antara lain: 1. Taking a Bath Terjadi pada saat reorganisasi, seperti pengangkatan CEO baru. Teknik ini mengakui adanya biaya-biaya pada periode yang akan datang dan kerugian periode berjalan dan mengharuskan manajemen membebankan perkiraan-perkiraan biaya mendatang sehingga laba periode berikutnya akan lebih tinggi. 2. Income Minimalization Dilakukan jika perusahaan mengalami peningkatan laba sehingga apabila diperkirakan laba periode berikutnya akan menurun dapat diatasi dengan mengambil laba pada periode sebelumnya. 3. Income Maximization Dilakukan jika perusahaan mengalami penurunan laba. Tujuannya yaitu untuk melaporkan net income yang tinggi agar memperoleh bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan untuk menghindari pelanggaran atas kontrak utang jangka panjang. commit to user digilib.uns.ac.id18 perpustakaan.uns.ac.id 4. Income Smoothing Dilakukan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan untuk mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar. Hal ini disebabkan pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif stabil. 5. Offsetting Extraordinary / Unusual Gains Dilakukan dengan cara memindahkan efek-efek laba yang tidak biasa atau temporal yang berlawanan dengan tren laba. 6. Aggressive Accounting Applications Teknik yang diartikan sebagai salah saji (misstatement) dan digunakan untuk membagi laba antar periode. 7. Timing Revenue and Expense Recognition Teknik ini dilakukan denga cara membuat kebijakan tertentu yang berhubungan dengan waktu dari suatu transaksi. Contohnya pengakuan prematur atas pendapatan. Utami (2005) menyatakan untuk mendeteksi praktik manajemen laba dapat dilakukan dengan pengukuran atas akrual. Total akrual dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Non discretionary accruals; bagian akrual yang wajar terdapat dalam proses penyusunan laporan keuangan (normal accruals). 2. Discretionary accruals; bagian akrual yang merupakan manipulasi data akuntansi (abnormal accruals). commit to user digilib.uns.ac.id19 perpustakaan.uns.ac.id Contoh kasus manajemen laba yang terjadi di Indonesia yaitu kasus manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen PT. Kimia Farma Tbk. pada tahun 2001. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen PT. Kimia Farma Tbk. melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta dan Mustofa. Namun Kementerian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan PT. Kimia Farma Tbk. 2001 disajikan kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar. Kesalahan-kesalahan penyajian tersebut dilakukan oleh direksi periode 1998 – Juni 2002 dengan membuat dua daftar harga persediaan yang berbeda, masing-masing diterbitkan pada tanggal 1 Februari 2002 dan 3 Februari 2002, dimana keduanya merupakan master price yang telah diotorisasi oleh pihak yang berwenang yaitu Direktur Produksi PT. Kimia Farma Tbk. Master price per 3 Februari 2002 merupakan master price yang telah disesuaikan nilainya (mark up) dan dijadikan dasar sebagai penentuan nilai persediaan pada unit distribusi PT. Kimia Farma Tbk. per 31 Desember 2001. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai kesalahan pencatatan dalam laporan keuangan PT. Kimia Farma Tbk. pada tahun buku commit to user digilib.uns.ac.id20 perpustakaan.uns.ac.id 2001 dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di pasar modal. Kesalahan pencatatan itu terkait dengan adanya rekayasa keuangan dan menimbulkan pernyataan yang menyesatkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Bukti-bukti tersebut antara lain adalah kesalahan pencatatan yang dilakukan secara tidak sengaja maupun secara sengaja. Walau bagaimana pun, pelanggarannya tetap ada karena laporan keuangan tersebut telah digunakan investor untuk bertransaksi. Contoh kasus manajemen laba di Indonesia berikutnya adalah kasus yang terjadi pada Bank Lippo Tbk. Salah satu bank peserta rekapitalisai itu memberikan laporan berbeda ke publik dan manajemen BEJ. Dalam laporan keuangan per 30 September 2002 yang disampaikan ke publik pada 28 November 2002 disebutkan total aktiva perseroan Rp 24 triliun dan laba bersih Rp 98 miliar. Namun dalam laporan ke BEJ pada 27 Desember 2002 total aktiva perusahaan berubah menjadi Rp 22,8 triliun rupiah (turun Rp 1,2 triliun) dan perusahaan merugi bersih Rp1,3 triliun. Akibatnya pada keseluruhan neraca terjadi penurunan tingkat kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) dari 24,77 menjadi 4,23%. Namun beberapa pihak menduga perbedaan laporan keuangan terjadi karena ada manipulasi yang dilakukan manajemen. Dugaan itu beralasan karena agunan yang dijadikan aset berasal dari kelompok Lippo. Yakni, PT Bukit Sentul Tbk., PT Lippo Karawaci Tbk., PT Lippo Cikarang Tbk., PT commit to user digilib.uns.ac.id21 perpustakaan.uns.ac.id Lippo Securities Tbk., PT Hotel Prapatan Tbk., dan PT Panin Insurance Tbk. Kasus laporan keuangan ganda yang dilakukan emiten itu jika tidak ditangani dengan baik akan berpotensi menurunkan kepercayaan publik, khususnya yang terlibat dalam bursa. Investor yang telanjur membeli saham Bank Lippo tentu sangat kecewa dan merasa dicurangi. Untuk contoh kasus manajemen laba pada Perbankan Syariah, sejauh ini belum ada kasus besar yang merugikan banyak pihak. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Syahfandi (2012), digunakan indeks Eckel untuk mengetahui apakah Bank Syariah melakukan perataan laba atau tidak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 6 dari 9 Bank Syariah yang menjadi sampel penelitian, melakukan perataan laba (income smoothing). Hal ini menunjukkan bahwa Bank Syariah telah melakukan perataan laba untuk mengurangi tingkat perubahan laba bersih yang fluktuatif dalam periode pelaporannya, karena investor cenderung lebih menyukai laba yang relatif stabil. 2.1.2. Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan) Ensiklopedia Corporate Governance (Encycogov) mendefinisikan Corporate Governance sebagai bidang ekonomi yang menyelidiki bagaimana cara melindungi manajemen yang efisien dari perusahaan dengan menggunakan mekanisme insentif, seperti kontrak, rancangan organisasional, commit to user digilib.uns.ac.id22 perpustakaan.uns.ac.id dan undang-undang (Hamdi dan Zarai, 2014). OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) Principle of Corporate Governance (1999) mendefinisikan Corporate Governance sebagai prosedur dan proses yang berdasarkan pada arah pengaturan dan pengendalian organisasi. Struktur Corporate Governance menetapkan pembagian hak dan tanggung jawab di antara pihak yang berbeda dalam organisasi, seperti dewan, manajer, pemegang saham, dan pemegang kepentingan lainnya, serta menetapkan peraturan dan prosedur untuk pengambilan keputusan (Bukhari et al., 2013). Dalam Cadbury Report of 1992 Corporate Governance didefinisikan sebagai sistem yang mengarahkan dan mengandalikan perusahaan. Dewan direksi bertanggung jawab pada tata kelola perusahaan. Peran pemegang saham dalam tata kelola yaitu menunjuk direktur dan auditor serta untuk memuaskan kepentingan mereka dengan tepat sasaran. Solomon (2010) dalam Turlea et al. (2010) berpendapat bahwa Corporate Governance dapat dilihat dari sudut pandang yang sempit dan luas. Dari sudut pandang yang sempit, Corporate Governance terbatas pada hubungan antara perusahaan dan pemegang saham (shareholders). Sedangkan dari sudut pandang yang luas, Corporate Governance dapat diartikan sebagai jaringan hubungan, yang mana bukan hanya antara perusahaan dan pemegang saham namun juga antara perusahaan dan pihak lain yang memiliki kepentingan terhadap perusahaan (stakeholders). commit to user digilib.uns.ac.id23 perpustakaan.uns.ac.id Good Corporate Governance atau tata kelola perusahaan yang baik memiliki beberapa asas yang harus diterapkan oleh masing-masing perusahaan. Asas-asas yang disebutkan dalam Prinsip Dasar dan Pedoman Pelaksanaan Good Corporate Governance Perbankan Indonesia yang diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2012), sebagai berikut. a) Transparansi Transparansi (transparency) mengandung unsur pengungkapan (disclosure) dan penyediaan informasi secara tepat guna, memadai, jelas, akurat, dan dapat diperbandingkan serta mudah diakses oleh pemangku kepentingan dan masyarakat. Transparansi diperlukan agar bank menjalankan bisnis secara obyektif, profesional, dan melindungi kepentingan konsumen. b) Akuntabilitas Akuntabilitas (accountability) mengandung unsur kejelasan fungsi dalam organisasi dan cara mempertanggungjawabkannya. Perusahaan harus dapat mempertangungjawabkan kinerjanya secara transparan dan akuntabel. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara sehat, terukur, dan profesional dengan meperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan. commit to user digilib.uns.ac.id24 perpustakaan.uns.ac.id c) Responsibilitas Responsibilitas (responsibility) mengandung unsur kepentingan terhadap peraturan perundang-undangan dan ketentuan internal perusahaan serta tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan. Responsibilitas diperlukan agar dapat menjamin terpeliharanya kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai warga korporasi yang baik atau dikenal dengan Good Corporate Citizen. d) Independensi Independensi (independency) mengandung unsur kemandirian dari dominasi pihak lain dan obyektivitas dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Dalam hubungan dengan asas independensi, perusahaan harus dikelola secara independen agar masing-masing organ perusahaan beserta seluruh jajaran di bawahnya tidak boleh saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun yang dapat mempengaruhi obyektivitas dan profesionalisme dalam melaksakan tugas dan tanggung jawabnya. e) Kewajaran dan Kesetaraan Kewajaran dan kesetaraan (fairness) mengandung unsur perlakuan yang adil dan kemampuan yang sama sesuai dengan proporsinya. Dalam melaksanakan kegiataannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham, konsumen, dan pemangku kepentingan commit to user digilib.uns.ac.id25 perpustakaan.uns.ac.id lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan dari masing-masing pihak yang bersangkutan. Bank, termasuk Bank Syariah diwajibkan untuk menerapkan prinsipprinsip Good Corporate Governance dalam setiap kegiatan operasionalnya. Pelaksanaan Good Corporate Governance paling tidak harus diwujudkan dalam (Anshori, 2009: 80): a) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi; b) Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern bank; c) Penerapan fungsi kepatuhan auditor internal dan auditor eksternal; d) Penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern; e) Penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar; f) Rencana strategis bank; g) Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank. Bank Syariah memiliki sistem tata kelola yang rumit karena banyaknya pemegang kepentingan yang memiliki kepentingan langsung terhadap aktivitas Bank Syariah. Direksi, Dewan Syariah, investor, nasabah, dan regulator memiliki kepentingan langsung terhadap kinerja dan keberlangsungan dari aktivitas Bank Syariah (Grassa dan Matoussi, 2014). Terdapat dua masalah khusus dalam penanganan tata kelola Bank Syariah. Pertama, berhubungan dengan kebutuhan untuk meyakinkan para pemegang kepentingan bahwa kegiatan keuangan dalam Bank Syariah commit to user digilib.uns.ac.id26 perpustakaan.uns.ac.id sepenuhnya mematuhi hukum Islam. Peran tersebut merupakan tugas dari dewan syariah yang terdiri dari cendekiawan dan unit-unit peninjau syariah dalam Bank Syariah guna memastikan dipatuhinya hukum islam. Kedua, berhubungan dengan kebutuhan untuk meyakinkan pemegang kepentingan bahwa Bank Syariah yang menggunakan kepentingan keuangan mereka secara efisien, stabil, dan dapat dipercaya dalam jasa keuangan (Greuning dan Iqbal, 2011: 177). Prinsip hak milik (individu, perusahaan, dan masyarakat) dan perlakuan kontrak antara pelaku ekonomi membedakan fungsi dan kewajiban sebuah lembaga keuangan syariah dari bank konvensional. Syariah adalah sebuah sistem berbasis aturan yang diarahkan untuk melindungi hak-hak semua anggota masyarakat, baik secara individu maupun bersama-sama (Greuning dan Iqbal, 2011: 178-180). Di Indonesia sendiri peraturan mengenai Corporate Governance pada Perbankan Syariah dituangkan dalam dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) tahun 2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Dalam peraturan tersebut diatur bahwa struktur corporate governance terdiri dari Dewan Komisaris, Direksi, Komite Pemantau Risiko, Komite Remunerasi dan Nominasi, Komite Audit, dan Dewan Pengawas Syariah. Dalam artikel “Corporate Governance Practices and Earnings Management in Islamic Banking Institutions”, terdapat variabel Eksistensi commit to user digilib.uns.ac.id27 perpustakaan.uns.ac.id Komite Governance. Proksi dari variabel tersebut adalah keanggotaan bank syariah dalam Islamic Financial Services Board (IFSB). Bank syariah diasumsikan memiliki Komite Governance apabila merupakan anggota IFSB. Dalam struktur Corporate Governance pada perbankan syariah di Indonesia, tidak disebutkan adanya Komite Governance tersebut karena dalam Peraturan Bank Indonesia juga tidak disebutkan. Selain itu, perbankan syariah di Indonesia belum termasuk dalam anggota IFSB. Institusi di Indonesia yang menjadi anggota IFSB baru tiga, yaitu Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Oleh karena itu, variabel eksistensi Komite Governance tidak digunakan dalam penelitian skripsi ini. 2.1.3. Perbankan Syariah di Indonesia Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia dapat dikatakan cukup baik. Bank Syariah pertama yang didirikan di Indonesia adalah Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992. Selama periode tahun 1992-1998 hanya terdapat satu Bank Syariah dan 78 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Perkembangan yang lambat pada periode tersebut kemungkinan disebabkan oleh kurangnya dukungan dari pemerintah terhadap sistem ekonomi syariah (Ika dan Abdullah, 2011). Perkembangan Bank Syariah tidak lepas dari kebutuhan masyarakat muslim mengenai sistem perbankan yang bebas bunga. Sebagian masyarakat muslim tidak berkenan dengan penerapan bunga karena hal tersebut termasuk commit to user digilib.uns.ac.id28 perpustakaan.uns.ac.id dalam riba yang merupakan transaksi yang diharamkan dalam syariat Islam. Tujuan didirikannya bank dan lembaga keuangan syariah lainnya yaitu merupakan upaya dari masyarakat muslim untuk menjalankan semua aspek kehidupan ekonominya agar sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ide atau gagasan mengenai pendirian bank syariah pada tingkat internasional diungkapkan pada Konferensi Negara-negara Islam sedunia yang diadakan di Kuala Lumpur, Malaysia pada 21-27 April 1969. Kemudian pada Desember 1970, Mesir mengajukan proposal pendirian bank syariah pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang diadakan di Karachi, Pakistan. Usulan tersebut kembali diagendakan pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya pada Maret 1973. Pada Juli 1973, dibicarakan rancangan pendirian Bank Syariah. Kemudian pada Mei 1974 dibahas mengenai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Sidang Menteri Keuangan OKI yang diadakan di Jeddah pada tahun 1974 menyetujui rancangan pendirian Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB). Dengan didirikannya IDB, negara-negara Islam termotivasi untuk mendirikan lembaga keuangan syariah (Al-Arif, 2012: 101-102). Sementara itu, gagasan pendirian Bank Syariah di Indonesia muncul pada pertengahan tahun 70-an. Hal tersebut dibahas pada seminar nasional hubungan Indonesia-Timur Tengah pada 1974 dan pada tahun 1976 dalam seminar internasional oleh Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan (LSIK) commit to user digilib.uns.ac.id29 perpustakaan.uns.ac.id dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika. Kemudian pada tahun 1988, gagasan tersebut kembali muncul ketika pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) mengenai liberalisasi industri perbankan. Para ulama berusaha mendirikan bank bebas bunga, namun belum ada perangkat hukum sebagai rujukan. Kemudian pada 1992, didirikan Bank Muamalat Indonesia sebagai Bank Syariah pertama di Indonesia sebagai hasil kerja tim perbankan MUI. Pada tahun 1994, pemerintah meluncurkan Bait al-Maal wa al-Tamwil (BMT) sebagai gerakan nasional, yang kemudian berkembang secara luas. BMT bukan bank namun merupakan organisasi non pemerintah yang beroperasi seperti layaknya bank. Sebagai lembaga keuangan terkecil, target pasar BMT fokus pada pedagang kecil (Ahmed, 2006: 235). Undang-undang yang mengatur mengenai bank syariah di Indonesia adalah UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang tersebut belum mengatur mengenai Bank Syariah secara eksplisit, namun diperkenankan adanya bank dengan prinsip bagi hasil. Kemudian dikeluarkan UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan yang menyatakan Indonesia menganut dual banking system dalam perbankan nasional. Tahun 1999, dikeluarkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mengakomodasi Bank Indonesia dalam mengambil kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah, yang kemudian diamandemen menjadi UU No. 3 tahun 2004. Kemudian pada 16 Juli 2008, disahkanlah UU No. 21 tahun 2008 commit to user digilib.uns.ac.id30 perpustakaan.uns.ac.id tentang Perbankan Syariah sebagai landasan hukum bagi perbankan syariah nasional (Al-Arif, 2012: 103-106). Latar belakang dikeluarkannya regulasi mengenai perbankan syariah antara lain (Anshori, 2009: 2): 1) Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional dengan terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi sesuai dengan prinsip syariah; 2) Meningkatnya kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap jasa perbankan syariah; 3) Adanya kekhususan dalam perbankan syariah dibandingkan perbankan konvensional; 4) Perbankan syariah perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang. Perkembangan perbankan syariah di Indonesia pada masa reformasi ditandai dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Undangundang tersebut mengatur tentang landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undangundang tersebut juga mengarahkan bank-bank konvensional agar membuka cabang syariah atau mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah (Antonio, 2011: 26). Pada periode tahun 1992-1998, Bank Umum Syariah yang beroperasi di Indonesia hanya Bank Muamalat Indonesia. Kemudian muncul kritikan mengenai produk Bank Syariah, yang mana produk yang digunakan hanya commit to user digilib.uns.ac.id31 perpustakaan.uns.ac.id Murabahah dan Bai’ Bitsaman Ajil saja. Oleh karena itu, Bank Muamalat pada tahun 1997 melakukan workshop untuk mengembangkan produk perbankan syariah dan tidak lagi mengikuti produk Bank Islam Malaysia Berhad (Muthaher, 2012: 6). Perkembangan produk perbankan syariah disebabkan adanya perbedaan pendekatan, yaitu metode akomodatif dan asimilatif. Metode akomodatif dalam pengembangannya menggunakan cara pragmatis, yang berasumsi bahwa saat ini tidak ada situasi yang ideal untuk melaksanakan syariah secara murni dalam perbankan syariah. Sehingga seringkali dikatakan bahwa bank syariah adalah bank konvensional yang “disyariahkan” dalam operasionalnya. Sedangkan metode asimilatif berpendapat bahwa bank syariah merupakan salah satu personifikasi abstrak dari orang yang melakukan akad syariah-muamalah. Metode ini memandang bahwa bank syariah hanya alat penerapan dari produk syariah yang tidak dapat mengubah atau memperbaharui produk syariah (Muthaher, 2012: 7-8). Pada tahun 1999, Bank Syariah kedua didirikan yaitu Bank Syariah Mandiri yang merupakan bank milik pemerintah pertama yang operasionalnya berdasarkan pada prinsip syariah. Kemudian pada tahun 2004, didirikan Bank Mega Syariah sebagai bank syariah ketiga di Indonesia. Dengan didirikannya Bank Umum Syariah tersebut, perkembangan perbankan syariah mulai menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. commit to user digilib.uns.ac.id32 perpustakaan.uns.ac.id Pemerintah telah banyak mendukung perkembangan bank syariah di Indonesia. Hingga saat ini telah didirikan 12 Bank Umum Syariah di Indonesia, 22 Unit Usaha Syariah, dan 163 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Untuk itu, pemerintah pun telah menetapkan Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah untuk mengatur mengenai operasional perbankan syariah di Indonesia. Tabel 2.1 Perkembangan Jaringan Kantor Bank Syariah Indikator 2010 2011 2012 2013 2014 Bank Umum Syariah - Jumlah Bank - Jumlah Kantor 11 11 11 11 12 1.215 1.401 1.745 1.998 2.151 23 24 24 23 22 262 336 517 590 320 Unit Usaha Syariah - Jumlah Bank Konvensional yang memiliki UUS - Jumlah Kantor Bank Pembiayaan Rakyat Syariah - Jumlah BPRS 150 155 158 163 163 - Jumlah Kantor 286 364 401 402 439 1.763 2.101 2.663 2.990 2.910 Total Sumber: www.ojk.go.id Perbankan syariah memiliki prinsip dasar operasional yang berbeda dengan perbankan konvensional. Hal yang paling mendasar dalam perbankan commit to user digilib.uns.ac.id33 perpustakaan.uns.ac.id syariah. Pelarangan riba dalam Islam didasarkan pada Al-Qur’an dalam Surat Al-Baqarah ayat 275-279. Riba dalam konteks ekonomi modern disetarakan dengan bunga (interest). Sehingga dalam perbankan syariah, keuntungan yang diperoleh bank berasal dari bagi hasil (Profit and Loss Sharing), bukan bunga (interest). Kontrak bagi hasil (Profit and Loss Sharing) dirumuskan dalam hubungan pemilik dan agen, dimana peminjam (agen) menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan sementara pemilik dana menyediakan modal, menjadi partner dan menanggung risiko bersama. Susunan ini penting karena menetapkan modal sumber daya manusia sama dengan modal finansial, menghapus apapun jaminan keuntungan tetap (Ghayad, 2008). Selain riba, dalam perbankan syariah juga tidak diperbolehkan melakukan transaksi yang dilarang oleh Islam. Transaksi tersebut antara lain yang berhubungan dengan alkohol, perjudian, pornografi, dan minuman keras yang berbahaya bagi kehidupan manusia. Perbankan syariah juga menerapkan zakat, bagi hasil, dan menghindari transaksi serta aktivitas yang bersifat spekulasi. Hukum Islam menganjurkan umatnya untuk memanfaatkan dananya dan tidak menyimpannya tanpa dimanfaatkan. Sehingga bank tidak dapat menggunakan dana dengan cara tradisional, namun mengelolanya untuk memperoleh bagi hasil (Nathan dan Ribi commit to user ѐre , 2007). digilib.uns.ac.id34 perpustakaan.uns.ac.id Berikut ini merupakan prinsip-prinsip dasar dalam operasional bank syariah (Muhammad, 2013: 180-181): 1) Prinsip Simpanan Murni (al-Wadi’ah) Prinsip simpanan murni merupakan fasilitas Bank Syariah agar masyarakat yang memiliki kelebihan dana dapat menyimpannya dalam bentuk al-Wadi’ah. Fasilitas tersebut bertujuan untuk investasi agar memperoleh keuntungan seperti tabungan dan deposito. Dalam perbankan konvensional al-Wadi’ah identik dengan giro. 2) Bagi Hasil (Syirkah) Sistem bagi hasil merupakan suatu sistem yang mencakup tata cara pembagian hasil usaha antara pemilik dana dan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank dan pemilik dana, atau antara bank dan nasabah penerima dana. Bentuk produk bank syariah yang berdasarkan pada prinsip bagi hasil ini yaitu mudharabah dan musyarakah. Prinsip mudharabah dapat digunakan sebagai dasar untuk produk pendanaan dan pembiayaan. Sedangkan musyarakah lebih banyak digunakan untuk pembiayaan. 3) Prinsip Jual Beli (at-Tijarah) Prinsip jual beli merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, dimana bank akan memnbeli barang yang dibutuhkan lebih dulu atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian atas nama commit to user digilib.uns.ac.id35 perpustakaan.uns.ac.id bank. Selanjutnya bank akan menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan. 4) Prinsip Sewa (al-Ijarah) Prinsip sewa terbagi menjadi dua jenis, yaitu: a) Ijarah (sewa murni); contohnya seperti dalam hal penyewaan traktor dan alat-alat lainnya (operating lease). Secara teknis dalam dunia perbankan bank dapat membeli equipment yang dibutuhkan nasabah terlebih dahulu dan kemudian menyewakan kepada nasabah dalam waktu yang telah disepakati. b) Bai al takjiri atau ijarah al muntahiya bit tamlik (sewa beli); penyewa memiliki hak untuk memiliki barang yang disewa tersebut di akhir masa sewa (financial lease). 5) Prinsip Fee/Jasa (al-Ajr Walumullah) Prinsip jasa mencakup layanan-layanan non-pembiayaan yang diberikan oleh bank. Bentuk produk yang berdasarkan pada prinsip jasa yaitu Bank Garansi, Kliring, Inkaso, Jasa Transfer, dan lainnya. 2.1.4. Hubungan antara Corporate Governance dan Manajemen Laba Manajemen laba terjadi karena adanya kesenjangan informasi yang dimiliki antara manajemen dan pemilik, dalam hal ini pemegang saham. Manajemen yang menjalankan perusahaan sehari-hari tentu akan lebih commit to user digilib.uns.ac.id36 perpustakaan.uns.ac.id mengetahui dan memahami mengenai operasional perusahaan dibandingkan pemegang saham. Pemegang saham hanya mengetahui operasional perusahaan sesuai dengan apa yang dilaporkan dalam laporan keuangan maupun laporan tahunan. Hal ini tentu akan merugikan bagi pemegang saham apabila yang dilaporkan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Untuk itu, diperlukan adanya suatu sistem yang dapat meminimalisasi tindakan manajemen laba yaitu Corporate Governance. Tujuan dari Corporate Governance adalah untuk mewujudkan keadilan serta perlindungan bagi seluruh pemegang kepentingan dalam perusahaan dengan cara menciptakan transparansi dan akuntabilitas (Chapra dan Ahmed, 2008: 18). Good Corporate Governance diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan kesenjangan atau asimetris informasi yang terjadi antara pihak manajemen dan pemilik karena adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan keuangan. Seperti dinyatakan oleh Walker Review (2009) dalam Turlea et al. (2010) bahwa peran Corporate Governance adalah untuk melindungi dan memajukan kepentingan pemegang saham melalui pengaturan arah strategi perusahaan dan menunjuk serta mengawasi manajemen yang mampu untuk mencapainya. Penulis berpendapat bahwa perusahaan yang benar-benar menerapkan Good Corporate Governance dapat meminimalisasi terjadinya manajemen laba yang berakibat pada pengambilan keputusan oleh stakeholders. Dengan commit to user digilib.uns.ac.id37 perpustakaan.uns.ac.id penerapan Good Corporate Governance yang tepat, perusahaan dapat menghindari tindakan manajer yang akan menguntungkan diri sendiri namun merugikan bagi perusahaan. Sama halnya dengan perusahaan pada umumnya, perbankan khususnya Perbankan Syariah juga wajib menerapkan Good Corporate Governance dalam operasionalnya. Perbankan Syariah yang melakukan kegiatan operasional berdasarkan prinsip syariah yang menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan diharapkan dapat memberikan kepercayaan yang lebih bagi para nasabahnya. Nasabah terutama nasabah muslim memiliki ekspektasi tinggi terhadap perbankan syariah dalam menjalankan operasionalnya agar sesuai dengan prinsip syariah. Penulis menggunakan Perbankan Syariah sebagai obyek penelitian skripsi ini karena pertama, belum banyak penelitian mengenai pengaruh Corporate Governance terhadap manajemen laba yang mengambil sampel perbankan syariah. Kedua, untuk mengetahui apakah perbankan syariah benar-benar patuh dalam melaksanakan Good Corporate Governance sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia. Ketiga, untuk melihat apakah perbankan syariah tidak melakukan praktik manajemen laba sebagai cerminan dari sistem ekonomi Islam yang menjunjung tinggi nilai kejujuran. commit to user digilib.uns.ac.id38 perpustakaan.uns.ac.id Dalam penelitian skripsi ini, variabel Corporate Governance diproksikan dengan kualitas auditor, ukuran Dewan Komisaris, ukuran Direksi, ukuran Dewan Pengawas Syariah, dan ukuran bank. Kualitas auditor mencerminkan bahwa auditor yang diberi tanggung jawab untuk memeriksa kewajaran laporan keuangan diharapkan dapat mengurangi tindakan manajemen laba. Dewan Komisaris bertanggung jawab dalam mengawasi jalannya operasional perusahaan sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi, sehingga diharapkan anggota Dewan Komisaris yang ada menjalankan perannya dengan baik untuk meminimalisasi tindakan manajemen laba. Direksi memiliki wewenang serta tanggung jawab penuh terhadap pengurusan perusahaan, oleh karena itu diharapkan anggota Direksi dapat melaksanakan tugasnya dalam mengurangi praktik manajemen laba di perusahaan. Dewan Pengawas Syariah berperan dalam mengawasi kegiatan perusahaan agar sesuai dengan prinsip syariah, sehingga diharapkan perilaku kecurangan yang dilakukan manajer yang tidak sesuai dengan prinsip syariah dapat berkurang. Ukuran perusahaan diharapkan dapat menjadi kontrol terhadap perusahaan agar lebih berhati-hati dalam memilih metode dan kebijakan akuntansi yang berdampak pada pelaporan keuangan. Dari penjabaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan penerapan Corporate Governance dengan praktik manajemen laba. Corporate commit to user digilib.uns.ac.id39 perpustakaan.uns.ac.id Governance sebagai sebuah sistem dibuat untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan kegiatan operasional dalam perusahaan. Sedangkan manajemen laba terjadi karena kurangnya transparansi oleh pihak manajemen kepada pemilik perusahaan. Oleh karena itu, penerapan Good Corporate Governance diharapkan dapat meminimalisasi tindakan atau praktik manajemen laba pada perusahaan, khususnya perbankan syariah. 2.2. Penelitian Sebelumnya Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu No. Peneliti Judul Penelitian Sampel 1. Faouzi Mohamed Hamdi dan Mohamed Ali Zarai (2014) Corporate Governance Practices and Earnings Management in Islamic Banking Institutions Bank Syariah di seluruh dunia (2000-2009) 2. Muhammad Dody Amijaya dan Andri Pratiwi Pengaruh Kualitas Audit terhadap Manajemen Laba Perusahaan Perbankan yang terdaftar di BEI (20082011) 3. Yusriati Nur Pengaruh Penerapan Perbankan commit to user Hasil Penelitian Komite audit dan eksistensi DPS berpengaruh terhadap manajemen laba. Sementara ukuran Direksi, efektivitas dan ukuran DPS tidak berpengaruh dalam mengurangi praktik manajemen laba. Ukuran KAP berpengaruh terhadap manajemen, independen auditor spesialis industri, ukuran perusahaan dan pertumbuhan perusahaan berpengaruh sigifikan terhadap manajemen laba, sedangkan independensi auditor, arus kas operasi dan leverage tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Penerapan corporate digilib.uns.ac.id40 perpustakaan.uns.ac.id Farida, Yuli Prasetyo, dan Eliada Herwiyanti (2010) 4. Marihot Nasution dan Doddy Setiawan (2007) 5. Yuliati Y. Makaombohe, Sifrid S. Pangemanan, Victorina Z. Tirayoh (2013) Corporate Governance terhadap Timbulnya Earning Management dalam Menilai Kinerja Keuangan Pada Perusahaan Perbankan di Indonesia Pengaruh Corporate Governance terhadap Manajemen Laba di Industri Perbankan Indonesia Indonesia yang listing di BEI (2005-2007) Ukuran Perusahaan terhadap Manajemen Laba pada Perbankan yang Terdaftar di BEI Periode 2008-2011 Perbankan yang Terdaftar di BEI (20082011) Perbankan yang terdaftar dalam Bursa Efek Jakarta (2000-2004) governance tidak berpengaruh terhadap tindakan earnings management, kecuali kepemilikan manajerial. Pengaruh earings management tidak signifikan terhadap kinerja perusahaan. Variabel komposisi Dewan Komisaris, ukuran Dewan Komisaris, dan komite audit berpengaruh terhadap manajemen laba. Sedangkan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap manajemen laba pada perbankan Indonesia. 2.3. Rerangka Teori Rerangka teoritis dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.1 Rerangka Teori Penelitian Variabel Independen (Corporate Governance) Kualitas Auditor Ukuran Dewan Komisaris Ukuran Direksi Ukuran Dewan Pengawas Syariah Ukuran Bank commit to user Variabel Dependen (Earning Management) digilib.uns.ac.id41 perpustakaan.uns.ac.id 2.4. Pengembangan Hipotesis Variable dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah manajemen laba sebagai variabel yang terikat. Sedangkan untuk variabel independen atau bebas yaitu Corporate Governance adalah sebagai berikut. 2.4.1. Kualitas Auditor Menurut Arens et al. (2012: 4), pengauditan adalah akumulasi dan evaluasi bukti mengenai informasi untuk menentukan dan melaporkan tingkat penyesuaian antara informasi dan kriteria yang ditentukan. Pengauditan harus dilakukan oleh orang atau auditor yang kompeten dan independen. Auditor bertanggung jawab untuk memastikan bahwa laporan keuangan yang dipublikasikan oleh entitas telah memenuhi standar yang berlaku dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Kane dan Velury (2005) dalam Hamdi dan Zarai (2014) menyatakan bahwa kualitas auditor sangat penting untuk melaporkan integritas dan kualitas laba. Kualitas auditor mengindikasikan kapasitas internal audit untuk mendeteksi kesalahan material dan ketidaklayakan. Dalam artikel Hamdi dan Zarai (2014), hipotesis yang diajukan adalah semakin tinggi kualitas audit Bank Syariah maka semakin kecil kemungkinannya dalam melakukan manajemen laba. Hasil penelitian menunjukkan kualitas auditor berpengaruh namun tidak signifikan terhadap manajemen laba. commit to user digilib.uns.ac.id42 perpustakaan.uns.ac.id Dalam penelitian yang dilakukan oleh Amijaya dan Prastiwi (2013) mengajukan hipotesis bahwa kualitas auditor berpengaruh terhadap manajemen laba pada perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI tahun 2008-2011. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kualitas auditor berpengaruh terhadap manjemen laba pada perbankan di Indonesian. Oleh karena itu, penulis mengembangkan hipotesis sebagai berikut: H1 : Kualitas auditor berpengaruh terhadap praktik manajemen laba. 2.4.2. Ukuran Dewan Komisaris Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas untuk melaksanakan pengawasan secara umum maupun khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi masukan kepada Direksi. Anggota Dewan Komisaris diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), sedangkan pengangkatan pertama kali dilakukan oleh pendiri dalam akta pendirian. Anggota Dewan Komisaris diangkat untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat kembali (Anshori, 2013: 68). Jumlah anggota Dewan Komisaris paling sedikit 3 (tiga) orang dan paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi. Dewan Komisaris dipimpin Komisaris Utama. Dewan Komisaris terdiri dari Komisaris dan Komisaris Independen, yang mana paling sedikit 50% dari jumlah anggota Dewan Komisaris merupakan Komisaris Independen (Anshori, 2009: 81). Ketentuan mengenai Dewan Komisaris diatur dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 28-30. commit to user digilib.uns.ac.id43 perpustakaan.uns.ac.id Yermack (1996) dalam Nasution dan Setiawan (2007) menyatakan bahwa semakin banyaknya anggota dewan komisaris maka semakin sulit dalam menjalankan perannya, diantaranya kesulitas dalam berkomunikasi dan mengkoordinasi kerja dari masing-masing anggota dewan itu sendiri, kesulitan dalam mengawasi dan mengendalikan tindakan dari manajemen, serta kesulitan dalam mengambil keputusan yang berguna bagi perusahaan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nasution dan Setiawan (2007), hipotesis yang diajukan menyatakan bahwa ukuran dewan komisaris berpengaruh terhadap manajemen laba, dimana semakin banyak jumlah anggota dewan komisaris, semakin besar pula praktik manajemen laba yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya kepentingan dari masing-masing pihak untuk keuntungan pribadi. Hasil penelitian membukikan hipotesis tersebut, dimana ukuran dewan komisaris berpengaruh secara signifikan terhadap praktik manajemen laba.. Oleh karena itu, penulis mengembangkan hipotesis sebagai berikut: H2 : Ukuran Dewan Komisaris berpengaruh terhadap praktik manajemen laba. 2.4.3. Ukuran Direksi Direksi merupakan organ perseroan yang memiliki wewenang dan tanggung jawab penuh terhadap pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili commit to user digilib.uns.ac.id44 perpustakaan.uns.ac.id Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar (Anshori, 2013:72). Jumlah anggota Direksi paling sedikit 3 (tiga) orang, di mana seluruh anggota Direksi wajib berdomisili di Indonesia. Direksi dipimpin oleh Presiden Direktur atau Direktur Utama. Sama halnya dengan ukuran Dewan Komisaris, semakin kecil ukuran Direksi maka akan semakin mudah dan efektif dalam hal koordinasi antar anggota Direksi. Dalam artikel Hamdi dan Zarai (2014) diajukan hipotesis bahwa Bank Syariah yang memiliki ukuran Direksi semakin kecil maka akan memiliki intensitas praktik manajemen laba yang lebih rendah, begitu pula sebaliknya. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran Direksi tidak berpengaruh terhadap praktik manajemen laba. Oleh karena itu, penulis mengembangkan hipotesis sebagai berikut: H3 : Ukuran Direksi berpengaruh terhadap praktik manajemen laba. 2.4.4. Ukuran Dewan Pengawas Syariah Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan pada prinsip syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah, yang terdiri dari satu orang atau lebih ahli syariah yang diangkat oleh RUPS atas Rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketentuan mengenai Dewan Pengawas Syariah diatur dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 32 (Anshori, 2009: 72). commit to user digilib.uns.ac.id45 perpustakaan.uns.ac.id Peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah (DPS) yaitu untuk mengawasi jalannya operasional bank syariah agar selalu konsisten dan sesuai dengan ketentuan syariah. Tugas dari Dewan Pengawas Syariah yaitu membuat pernyataan yang dimuat dalam laporan tahunan yang menyatakan bahwa bank yang diawasi telah menjalankan operasionalnya sesuai dengan ketentuan syariah. Tugas lainnya yaitu meneliti dan membuat rekomendasi mengenai produk baru dari bank di bawah pengawasannya (Antonio, 2011: 31). Dewan Pengawas Syariah yang beroperasi di dalam bank syariah itu sendiri maupun melalui sebuah lembaga eksternal seperti bank sentral, memastikan kesesuaian terhadap prinsip-prinsip agama. Masing-masing dewan memiliki wewenang untuk merancang, mengembangkan, dan menerbitkan produk-produk keuangan serta instrumen-instrumen hukum yang sesuai dengan Syariat Islam. Tugas internal dari dewan pengawas syariah bervariasi sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam akta pendirian bank syariah tertentu atau pembuat kebijakan nasional. Selain pembuat kebijakan internal, pembuat kebijakan internasional dan nasional sering menerapkan pedoman bagi dewan syariah (Greuning dan Iqbal, 2011: 180) Hamdi dan Zarai (2014) menyatakan bahwa semakin kompeten anggota DPS, kemungkinan besar mereka lebih memahami faktor-faktor yang menyebabkan dan mengindikasikan adanya penyimpangan manajemen commit to user digilib.uns.ac.id46 perpustakaan.uns.ac.id dalam akuntansi akrual dan bagaimana cara mencegah atau paling tidak mengurangi. Pihak eksekutif mungkin memiliki insentif yang lebih kecil untuk memanipulasi laba jika mereka memiliki alasan untuk percaya bahwa DPS yang kompeten juga mengawasi keputusan akuntansi yang mereka buat. Seperti halnya variabel ukuran dewan komisaris, semakin kecil ukuran Dewan Pengawas Syariah (DPS) maka semakin efektif pula kinerja yang dilaksanakan. Dalam artikel Hamdi dan Zarai (2014), hipotesis yang diajukan yaitu ukuran DPS berpengaruh terhadap intensitas manjemen laba yang dilakukan oleh Bank Syariah. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran DPS berpengaruh namun tidak signifikan terhadap praktik manajemen laba. Oleh karena itu, penulis mengembangkan hipotesis sebagai berikut: H4 : Ukuran Dewan Pengawas Syariah berpengaruh terhadap praktik manajemen laba. 2.4.5. Ukuran Bank Cornett el al. (2006) manyatakan bahwa ukuran bank yang lebih besar kemungkinan besar akan diperiksa dengan teliti oleh para analis indutri. Sama halnya dengan pembuat kebijakan yang diberi tanggung jawab untuk menegakkan keamanan dan kesehatan seluruh industri perbankan, mereka akan cenderung memeriksa institusi perbankan terbesar yang memiliki pengaruh potensial dalam industri dan ekonomi secara commit to user digilib.uns.ac.id47 perpustakaan.uns.ac.id keseluruhan. Dengan evaluasi dari analis dan pembuat kebijakan, bank besar akan lebih kecil kemungkinannya dalam memanipulasi laba menggunakan akrual diskresional. Hamdi dan Zarai (2014) dalam penelitiannya menyatakan hipotesis bahwa semakin besar ukuran Bank Syariah, semakin kecil kecenderungannya dalam melakukan manajemen laba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran bank berpengaruh terhadap manajemen laba namun tidak signifikan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Makaombohe et al. (2014) dinyatakan hipotesis bahwa ukukran perusasahaan berpengaruh terhadap manajemen laba. Sampel penelitian tersebut adalah perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk tahun 2008-2011. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Makaombohe et al. (2014) menyatakakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh terhadap manajemen laba pada perbankan di Indonesia. Sama halnya dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Amijaya dan Prastiwi (2013) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh terhadap manajemen laba pada perusahaan perbankan di Indonesia tahun 2008-2011. Oleh karena itu, penulis mengembangkan hipotesis sebagai berikut: H5 : Ukuran bank berpengaruh terhadap praktik manajemen laba. commit to user