KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF IBNU KHALDUN Ismail STAI Miftahul Ulum Panyepen Pamekasan Email: [email protected] Abstrak: Ibnu Khaldun memandang bahwa perkembangan dan kemajuan pendidikan tidak dapat lepas dari kemajuan peradaban. Tujuan pendidikan Islam menurutnya adalah meningkatkan kualitas hidup, kualitas iman dan ketaatan, kualitas nalar, kualitas moral dan kualitas kerja. Konsep Ibnu Khaldun tentang kurikulum dapat dilihat dari apresiasinya terhadap ragam ilmu yang menjadi sarana pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Dari konsep epistemologinya, ia membagi menjadi ilmu-ilmu yang berdasarkan otoritas syari’at (al‘ulûm al-shar’iyyah al-naqliyyah) dan ilmu pengetahuan filosofis yang bersifat alami dan diperoleh manusia dengan kemampuan pikirnya (al-‘ulûm al-‘aqliyyah). Kurikulum yang dipandang baik untuk mencapai tujuan pendidikan Islam adalah yang bersifat integratif dan komprehensif antara ilmu-ilmu yang bersifat naqliyyah dan ‘aqliyyah dengan memperhatikan landasan normativitas, historisitas, filosofis, dan sosiologisnya. Kata kunci: Kurikulum, pendidikan Islam, Ibn Khaldun Abstract: Ibn Khaldun considers that the development and progress of education can not be separated from the advancement of civilization. He says that the goal of Islamic education is to improve the quality of life, faith and obedience, the quality of reasoning, moral qualities and quality of work. Ibn Khaldun's concept of the curriculum can be seen from the appreciation of the range of knowledge that could be the means of human subsistence. Epistemologically, he classified that science in the Islamic civilization into the sciences on the authority of the shari'ah (al-‘ulûm al-shar’iyyah al-naqliyyah), and philosophical knowledge that it is natural and acquired through his mind (al-‘ulûm al-‘aqliyyah). The best curriculum is integrative and comprehensive in nature, both naqliyyah and ‘aqliyyah by considering the norm, historical, philosophical, and sociological bases. Keywords: Curriculum, education, Islam, Ibn Khaldun Pendahuluan Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pendidikan. Kurikulum mencerminkan falsafah/pandangan hidup bangsa ke arah mana dan bagaimana bentuk kehidupan itu. Hal ini akan ditentukan oleh kurikulum yang digunakan oleh bangsa tersebut sampai sekarang. Nilai sosial, kebutuhan dan tuntutan masyarakat cenderung mengalami perubahan antara lain akibat dari kemajuan ilmu pengatahuan dan teknologi. Kurikulum harus dapat mengantisipasi perubahan tersebut, sebab pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis untuk mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan primer masyarakat sejak dulu. Setiap orang memerlukan pendidikan untuk kelangsungan hidupnya. Tujuan pendidikan sering dirumuskan untuk menyiapkan generasi muda menjadi orang dewasa, anggota masyarakat yang mandiri dan produktif. Fungsi sekolah erat hubungannya dengan masyarakat. Pendidikan dalam masyarakat memiliki tiga sifat penting; pertama, pendidikan mengandung nilai dan memberikan pribadi anak agar sesuai dengan yang diharapkan masyarakat. Kedua, pendidikan diarahkan pada kehidupan dalam masyarakat. Ketiga, pelaksanaan pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh lingkungan masyarakat.1 Perkembangan dunia pendidikan tentunya tidak akan terlepas dari sumbangsih para ilmuwan yang mencurahkan segala perhatiannya pada dunia pendidikan ini. Begitu pun yang dilakukan oleh para ulama sebagai yang merasa berkewajiban untuk menyebarluaskan ilmunya. Ibnu Khaldun adalah salah satu ulama besar, sosiolog, filosof, sekaligus intelektual muslim.2 Pola yang digunakan Imam al-Ghazali ketika mengklasifikasikan ilmu pengetahuan ke dalam pengetahuan syar’iyyah dan pengetahuan ghairu syar’iyyah menjadi pola yang diikuti pada masa-masa 1Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 58. 2Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 308. 2 Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 sesudahnya, ketika Ibnu Khaldun muncul, semua perencanaan pendidikan dibuat berdasarkan formula tersebut.3 Dalam membahas kurikulum pendidikan, Ibnu Khaldun telah berbicara panjang lebar tentang pendidikan Islam, dan dapat dianggap pembicaraannya itu sesuai dengan kejadian yang sebenarnya. Kebenaran apa yang telah diungkapkannya bukanlah keadaan pendidikan yang terjadi pada masanya saja, yaitu pada abad ke empat belas dan kelima belas, akan tetapi sesuai dengan keadaan pendidikan beberapa abad sebelumnya, karena salah satu ciri dari pendidikan Islam adalah memelihara tradisi yang telah ada dalam mendidik anak-anak. Ibnu Khaldun melalui pembicaraannya itu dengan menunjukkan pentingnya mengajarkan al-Qur’an bagi anak-anak, kemudian dia menyebutkan sebab-sebab yang menarik perhatian orang-orang kepada mata pelajaran ini, yaitu mengajarkan al-Quran itu adalah titik permulaan dan dasar pendidikan yang terisi dalam seluruh kurikulum.4 Pernyataan-pernyataan ini mengindikasikan bahwa maksud pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah mentransformasikan nilainilai yang diperoleh dari pengalaman untuk dapat mempertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan adalah upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis. Ibnu Khaldun dalam berbagai pemikirannya memang tidak membicarakan tentang pengertian, kurikulum secara konkrit dan sistematis. Dia juga tidak menggunakan istilah kurikulum dalam karya-karyanya. Namun Ibnu Khaldun banyak berbicara tentang ilmu dan klasifikasinya. Untuk itu, penulis mengelompokkan pemikiran tentang ilmu dan klasifikasi ini dalam kurikulum. Sebab, ilmu dan klasifikasinya tersebut merupakan salah satu komponen dasar dalam kurikulum. Kurikulum yang dibicarakan di sini bukanlah dalam arti luas, melainkan dalam arti sempit dan hanya terbatas pada substansi dan materi saja. Dengan demikian, tulisan ini, merupakan bentuk 3M. Athiyah al-Abraysi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Gani (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 173. 4Ali Ashraf, Horizon Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hlm. 32. Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 3 analisis dengan interpretasi tentang substansi pemikiran Ibnu Khaldun yang dianggap signifikan. Biografi Singkat Ibnu Khaldun Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Abu Zayd ‘Abd al-Rahman Ibn Muhammad Ibn Khaldun Wali al-Din al-Tunisi al-Hadrami.5 Dia juga dikenal dengan Ibnu Khaldun karena dihubungkan dengan garis kepada kakeknya yang kesembilan yaitu Khalid bin Utsman. Kakeknya memasuki negeri Andalusia bersama para penakluk berkebangsaan Arab serta keturunannya kemudian dikenal dengan nama Bani Khaldun di Andalusia dan Magribi, sehingga orang-orang terkemuka yang lahir dari keturunan keluarga ini disebutnya dengan Ibnu Khaldun, namun pada akhirnya nama ini dikhususkan pada sebutan orang yang sedang kita bicarakan ini. Sebutan al-Tunisi al-Hadrami di belakang namanya, adalah bertalian dengan negeri asalnya yaitu Hadramaut, sebab seluruh keluarganya berasal dari Yaman Hadramaut.6 Ibnu khaldun lahir di Tunisia pada awal Ramadhan 732 H atau pada tanggal 27 Mei 1332 M. dan meninggal pada tanggal 16 Maret 1406 M bertepatan tanggal 26 Ramadhan 808 H. Dia dididik oleh keluarga yang terkemuka dalam bidang ilmu pengetahuan maupun politik. Rumah tempat kelahirannya masih utuh hingga sekarang yang terletak di jalan Turbatul Bay. Dalam beberapa tahun terakhir ini rumah tersebut sudah menjadi pusat sekolah Idarah ‘Ulya dan pada pintu masuknya terpampang sebuah batu marmer bertuliskan nama dan tanggal kelahiran Ibnu Khaldun.7 Keluarga Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut Yaman, dan garis keturunannya berasal dari Wa’il bin Hajar seorang Sahabat Nabi yang terkenal meriwayatkan kurang lebih tujuh puluh hadits dari Rasulullah Saw., dan pernah diutus oleh Rasulullah bersama Mu’awiyyah bin Abi Sufyan kepada penduduk negeri Yaman untuk mengajarkan al-Qur’an dan agama Islam kepada 5Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, terj. Mansuruddin dan Ahmadi Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), hlm. 9. 6Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, terj. Ahmadi Thoha (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hlm. 3-4. 7Zainab Khudhairi,. Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, terj. Ahmad Rofi’ (Bandung: Pustaka Utsmani, 1987), hlm. 10. 4 Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 mereka. Khalid Ibnu Utsman, yang kemudian terkenal dengan nama Khaldun adalah salah seorang cucu dari Wa’il bin Hajar, yang memasuki Andalusia pada abad ke 8 Masehi bersama-sama pasukan kaum muslimin dan bertempat tinggal di Qarmunah satu kota kecil yang terletak di tengah-tengah tiga segi tiga antara Cordova, Sevilla dan Granada. Ketiga kota ini adalah kota-kota yang sangat termasyhur dalam sejarah militer Islam di Spanyol, dan kota-kota ini kemudian terkenal sebagai pusat-pusat kebudayaan Islam di Spanyol. Kota kecil Qarmunah inilah dapat dikatakan sebagai tempat tinggal tetap yang pertama kali bagi nenek moyang Ibnu Khaldun. 8 Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa seluruh keluarga besar Bani Khaldun banyak bergerak dalam bidang politik dan ilmu pengetahuan, sehingga kondisi keluarga seperti ini yang berperan sangat dominan dalam membentuk jiwa dan kehidupan Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun merupakan pemikir muslim yang kreatif dan melahirkan pemikiran-pemikiran besar yang monumental melalui karya-karyanya. Di antara karya-karyanya adalah: 1. Kitab Al-’Ibar Kitab al-’Ibar ditulis Ibnu Khaldun selama kurang lebih empat tahun, yaitu pada akhir 776 H (1374 M) dan selesai akhir 780 H (1378 M). Kata ’ibrah (jamaknya ‘ibar) kadang-kadang dipakai dengan makna hikmah, pepatah, dan suri tauladan. Dari pemakaian ini tampak bahwa dibalik kata itu terdapat hikmah yang dapat dipahami atau dilaksanakan. Adapun dalam al-Qur’an dan alHadits, kata itu dipergunakan dengan makna suri tauladan sejarah, yaitu hikmah yang dapat diikhtisarkan dari sejarah atau masa lalu.9 Ibnu Khaldun menggunakan kata ‘Ibar sebagai judul buku sejarah yang universalnya tidak lepas dari tujuan agar manusia mengambil pelajaran dari masa lalu untuk kepentingankepentingan yang bersifat praktis. lebih jauh, ibnu khaldun ingin menafsirkan sejarah dan menyingkap sebab-sebab terjadinya 8Wafi, Ibnu Khaldun, hlm. 8-11. Filsafat Sejarah, hlm. 23. 9Al-Khudairi, Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 5 peristiwa dengan mengadakan analisa perbandingan terhadap masyarakat.10 Kitab al-’Ibar atau tarikh Ibnu Khaldun terdiri atas tujuh jilid, satu jilid pertama dari kitab al-’Ibar adalah kitab Muqaddimah yang khusus berisikan pembahasan tentang gejala-gejala sosial, sementara enam jilid sisanya membahas sejarah alam semesta. Kitab al’Ibar atau tarikh Ibnu Khaldun seperti yang dituturkan penulisnya disusun dengan sistematika sebagai berikut : a. Pendahuluan (al-Muqaddimah) yang membahas tentang manfaat historiografi, bentuk-bentuk historiografi dan beberapa kesalahan para sejarawan. b. Buku Pertama berisi tentang peradaban dan berbagai karakteristiknya, seperti kekuasaan, pemerintah, mata pencaharian, penghidupan, keahlian- keahlian dan ilmu pengetahuan. c. Buku Kedua mencakup uraian tentang sejarah bangsa arab dan bangsa-bangsa yan sezaman dengannya, seperti bangsa Nabti, Suryani, Persia, Israel, Qibti, Yamani, Romawi, Turki dan Franka. d. Buku Ketiga menguraikan sejarah bangsa Berber dan Zanatah, khususnya kerajaan dan negara-negara di Afrika Utara (Maghribi). Mengingat luasnya materi yang dibahas, kitab al-’Ibar layak disebut sebagai an exhaustive history of the word (sebuah sejarah dunia yang lengkap). Dari sinilah para pengkaji Ibnu Khaldun yang biasa disebut dengan kaum Khaldunian, baik dari kalangan Timur maupun Barat, sering menyebut kitab al-’Ibar dengan The Universal History atau The History of The Word.11 Jadi kitab al-’Ibar ini merupakan sumber utama untuk mendapatkan informasi tentang dinasti-dinasti Islam di barat, kerajaan Kristen, serta Islam di Afrika Utara. Lebih dari itu semua, kemasyhuran kitab al-Ibar justru terletak pada kitab al-Muqaddimah- 10Nourouzzaman Shiddiqi, Menguak Sejarah Muslim Suatu Kritik Metodologis (Yogyakarta: PLP2M, 1984), hlm. 48. 11Toto Suharto, Epistimologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldn (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), hlm. 61-62. 6 Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 nya atau bagian pendahuluan dari buku sejarah alam semesta tersebut. 2. Kitab al-Muqaddimah Kitab Muqaddimah seperti diketahui adalah sebuah kitab yang berdiri sendiri, meskipun pada awalnya merupakan jilid pertama dari tujuh jilid al-’Ibar. Namun dalam perkembangannya Ibnu Kahaldun justru lebih dikenal karena kitab al-Muqaddimah bukan karena kitab al-׳Ibar. Hal ini disebabkan karena dalam kitab Muqaddimah, Ibnu Khaldun telah memaparkan seluruh bangunan teorinya tentang ilmu-ilmu sosial, kebudayaan dan sejarah. Kitab al-‘Ibar dapat dikatakan sebagai bukti empiris historis dan teoriteori yang ada dalam kitab Muqaddimah. Maka dari itu Ibnu Khaldun dapat digolongkan sebagai salah seorang sejarawan terbesar sepanjang abad dan orang pertama yang mengupayakan suatu filsafat sejarah, yaitu “suatu teori perkembangan sejarah atas dasar iklim dan pengaruh-pengaruh geografik di satu pihak dan daya-daya moral serta spiritual yang berlaku dipihak lain”.12 Al-Muqaddimah merupakan karya besarnya Ibnu Khaldun ditulis dalam enam bab yang diawali dengan sebuah pendahuluan. Bab kedua membahas tentang peradaban Badui dengan berbagai kondisinya. Bab ketiga tentang dinasti, khilafah dan kerajaan serta yang berhubungan dengannya, bab keempat tentang peradaban kota dengan segala macam kondisinya, bab kelima tentang berbagai aspek mata pencaharian serta bab keenam tentang ilmu pengetahuan dan metode-metode memperolehnya.13 3. Kitab al-Ta’rîf Salah satu cabang ilmu sejarah yang ditekuni oleh Ibnu Khaldun adalah otobiografi dan dalam bidang ini Ibnu Khaldun merupakan orang terkemuka di antara para ahli sejarah Arab. Bahkan dia telah menulis kitabnya yang berjudul: al-Ta’rîf bi Ibn Khaldun wa Rihlatuh Gharban wa Syarqan.14 Dengan karya ini orang tidak akan mendapat kesulitan untuk menulis biografi Ibnu Khal12Amir Hasan Siddiqi, Studies In Islamic History, terj. M.J. Irawan (Bandung: Al-Ma’arif, 1985), hlm. 92. 13Suharto, Epistimologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun, hlm. 64. 14Wafi, Ibnu Khaldun, hlm. 149. Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 7 dun secara lengkap, sebab dengan karya ini telah membuat Ibnu Khaldun dipandang sebagai orang besar pada abad pertengahan yang paling sempurna meninggalkan riwayat hidupnya.15 Kitab al-Ta’rîf pada awalnya merupakan bagian akhir dari tujuh jilid kitab al-’Ibar, tetapi kemudian dipisahkan menjadi buku tersendiri. Al-Ta’rîf telah dirampungkan oleh Ibnu Khaldun pada tahun 797 H (1395M) sampai dengan akhir tahun 808 H (1406 M), yakni beberapa bulan menjelang wafatnya. Sehingga karya itu menjadi lebih tebal, lalu Ibnu Khaldun mengubah nama semula dengan judul yang baru terhadap kitab al–Ta’rif ini dengan judul: “Al-Ta’rîf bi Ibn Khaldun Mu’allif Hadza al-Kitab wa Rihlatuh Gharban wa Syarqan”.16 Berdasarkan informasi dari Lisanuddin Ibnu al–Khatib selain kitab–kitab yang telah disebutkan di atas, Ibnu Khaldun juga menulis sekitar lima buah kitab. Kelima kitab tersebut adalah: a. Komentar Ibnu Khaldun terhadap kitab al-Burdah karya alBusyiri; b. Ikhtisar beberapa karya Ibnu Rusyd; c. Beberapa uraian tentang logika; d. Sebuah karya di bidang Aritmetika; dan e. Ikhtisar kitab al-Muhassal karya Imam Fahruddin ar-Razi. Tetapi karya Ibnu Khaldun tersebut di atas itu telah hilang tidak sampai ke tangan kita. 17 Kurikulum Pendidikan Islam Perspektif Ibnu Khaldun Secara sederhana kurikulum diartikan kumpulan subjek yang diajarkan sekolah, atau arah suatu proses belajar. Namun dalam pengertian yang lebih luas kurikulum meliputi bagaimana cara mengembangkan siswa dari segi mental, fisik, emosional, sosial, spiritual, dan moral dengan melihat pengalaman-pengalaman sebelumhnya yang diamati dari proses belajar mengajarnya, baik dalam ruang kelas maupun di luar kelas.18 15Suharto, Epistimologi Sejarah, 66. Filsafat Sejarah, hlm. 39. 17Ali Audah, Sebuah Pengantar Ibnu Khaldun (Jakarta: Pustaka Firdaus, tt), hlm. 20-21. 18Dakir dan Sardimi, Pendidikan Islam dan ESQ Komparasi-Integratif Upaya Menuju Stadium Insan Kamil (Semarang: Rasail Media Group, 2011), hlm. 129. 16Al-Khudairi, 8 Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 Kurikulum dalam pendidikan Islam, dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh pendidik bersama anak didiknya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mereka.19 Selain itu, kurikulum juga dapat dipandang sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan.20 Jika diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan Islam, maka kurikulum berfungsi sebagai pedoman yang digunakan oleh pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan tertinggi pendidikan Islam, melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dalam hal ini proses pendidikan Islam bukanlah suatu proses yang dapat dilakukan secara serampangan, tetapi hendaknya mengacu kepada konseptualisasi manusia paripurna (insan kamil) yang bermanfaat dan berguna bagi kehidupan sosialnya. Adapun Pemikiran Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan Islam dapat dilihat dari konsep-konsep epistemologinya yang akan penulis uraikan dalam pokok pembahasan berikut. Isi Kurikulum Pendidikan Islam Ibnu Khaldun Salah satu komponen operasional pendidikan Islam adalah kurikulum, yang mengandung materi ajar secara sistematis sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pada hakikatnya antara materi dan kurikulum mengandung arti yang sama, yaitu bahan-bahan pelajaran yang disajikan dalam proses kependidikan dalam suatu sistem institusional pendidikan. Seseorang yang akan membuat lesson plan tidak cukup hanya mempunyai kemampuan membuat rumusan tujuan pengajaran. Ia juga harus menguasai materi pengajaran, karena rumusan tujuan pengajaran itu diilhami oleh antara lain materi pengajaran. Oleh karena itu guru harus menguasai materi pengajaran.21 Istilah materi pengajaran berarti mengorganisir bidang-bidang ilmu pengetahuan ini satu dengan lainnya dipisah-pisahkan namun merupakan satu-kesatuan yang utuh dan terpadu. Materi pendidikan 19Omar Mohammad Al-Toumy A-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hassan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 478. 20Zakiyah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 122. 21Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia (Jakarta: kencana, 2009), hlm. 11. Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 9 harus mengacu pada tujuan, bukan sebaliknya tujuan mengacu kepada suatu materi, oleh karenanya materi pendidikan tidak boleh berdiri sendiri terlepas dari kontrol tujuannya.22 Salah satu faktor ketidakjelasan kurikulum yang terjadi dalam sistem pendidikan modern pada mayoritas negara berpenduduk Muslim adalah hilangnya visi hirarki pengetahuan sebagaimana yang dapat dijumpai dalam sistem pendidikan tradisional. Padahal, dalam tradisi intelektual Islam ada suatu hirarki dan saling hubungan antar berbagai disiplin ilmu yang memungkinkan realisasi kesatuan dalam kemajemukan (unity in plurality).23 Karena itu pembahasan tentang klasifikasi ilmu menemukan relevansinya dalam konteks rekonstruksi pendidikan Islam di negara yang berpenduduk mayoritas Islam. Dari paparan tersebut di atas, menurut Ibnu Khaldun ada tiga kategori kurikulum yang perlu diajarkan kepada peserta didik yaitu : a. Kurikulum yang merupakan alat bantu pemahaman, kurikulum ini mencakup ilmu bahasa, ilmu nahwu, ilmu balaghah, bayan, dan sastra (adab) atau bahasa yang tersusun secara puitis (syair). b. Kurikulum sekunder yaitu yang menjadi pendukung untuk memahami Islam, kurikulum ini meliputi filsafat dan semua ilmu pengetahuan. Termasuk di dalam kategori ilmu ini adalah ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu-ilmu tehnik, hitung, fisika, kimia, antropologi, kedokteran, anstronomi, sejarah, dan tingkah laku (behavior) manusia. Termasuk juga ilmu sihir dan ilmu nujum (perbintangan).24 Tentang ilmu nujum, Ibnu Khaldun menganggapnya sebagai ilmu fasid (merusak), karena ilmu itu dipergunakan untuk meramalkan segala kejadian sebelum terjadi atas dasar perbintangan. Hal itu merupakan sesuatu yang bathil berlawanan dengan ilmu tauhid dan syari’at agama yang menegaskan bahwa tidak ada yang menciptakan kecuali Allah itu sendiri.25 22M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta : Bumi Aksara, 2009), hlm. 77. Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto (Bandung: Mizan, 1986), hlm. 11. 24Arifin, Filsafat Pendidikan, hlm. 83-84. 25Ahmadie Thoha (Penj), Muqaddimah Ibn Khaldun, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 682. 23Osman 10 Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 c. Kurikulum primer, yaitu merupakan kurikulum yang menjadi inti pelajaran Islam, kurikulum ini meliputi semua bidang al-‘ulûm alnaqliyah, seperti al-Qur’an, hadits, ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu qiraat, ilmu ushul fiqih, fiqih, faraid, ilmu kalam, tasawuf dan lainlain.26 Pemikiran Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan di atas dapat dikelompokkan menjadi: “ilmu-ilmu agama Islam yang berdasarkan otoritas syari’at (al-‘ulûm asy-syari’iyyah al-naqliyyah), dan Ilmu pengetahuan filosofis yang bersifat alami dan diperoleh manusia dengan kemampuan akal dan pikirannya (al-‘ulûm al-‘aqliyyat).27 Klasifikasi ilmu pengetahuan menurut Ibnu Khaldun tersebut di atas mencerminkan buah pikiran dan pengamatannya yang sangat cermat serta teliti dalam suatu babak sejarah bagi seorang sarjana muslim yang ahli sejarah dan boleh dikatakan berada di luar peristiwa sejarah tersebut.28 Lebih dari itu Ibnu Khaldun dapat diumpamakan sebagai cahaya terang yang menyinari umat manusia sebelum memasuki zaman gelap gulita yang berlanjut berabad-abad lamanya.29 Dari klarifikasi ilmu yang telah dibuat oleh Ibnu Khaldun tersebut, dapat diketahui dengan jelas bahwa pemikirannya tentang kurikulum (materi pendidikan) memiliki karakteristik tersendiri, di antaranya yaitu: Pertama, tidak adanya pemisahan antara ilmu teoritis dengan ilmu praktis. Karakteristik ini tampak ketika Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa “kebiasaan, keterampilan, atau penguasaan (malakah) yang terbentuk dari pengajaran ilmu atau pencarian keterampilan ialah buah dari aktivitas intelektual”.30 Kedua, adanya keseimbangan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Meskipun dia meletakkan ilmu agama pada tempat pertama ditinjau dari segi kegunaannya bagi umat Islam, karena dapat membentuk kepribadiannya untuk hidup dengan baik. Namun Ibnu Khaldun juga menganjurkan untuk mempelajari ilmu-ilmu aqliyah, 26Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm. 172. Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 543. 28Nasr, Sain dan Peradaban, hlm. 45. 29Rustam E. Tamburaka, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat dan IPTEK (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hlm. 219-220. 30Thoha, Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 534. 27Thoha, Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 11 karena hal itu merupakan hasil dari aktivitas akal yang merupakan pemberian tersebar dari Allah SWT kepada manusia.31 Ketiga, Ibnu Khaldun mengklasifikasikan ilmu ke dalam ilmu syar’iyah dan ghairu syar’iyah atau naqli dan aqli, tidak dapat dipahami bahwa dia telah memisahkan antara ilmu yang satu dengan yang lainnya. Akan tetapi klasifikasi tersebut hanya sebatas pemilahan yang antara ilmu tersebut tetap saling mendukung dan melengkapi.32 Penulis dapat menegaskan bahwa paradigma semacam ini jelas menghilangkan dikotomi ilmu dalam artian pemisahan dan pertentangan antara satu dengan yang lainnya. Tujuan Kurikulum Pendidikan Islam Ibnu Khaldun percaya bahwa mencari ilmu pengetahuan adalah kebutuhan pokok kehidupan manusia, karena manusia memiliki kemampuan berpikir. Di samping itu, Ibnu Khaldun percaya bahwa realitas harus dengan penalaran intelektual. Untuk mengetahui realitas bagi kaum muslim adalah al-Qur’an dan al-Sunnah. Tujuan akhir pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri sebagai hamba Allah lahir dan bathin, di dunia dan akhirat.33 Dengan demikian ilmu pengetahuan Islam dan tujuan hidupnya akan sejalan sesuai ajaran Islam dan akan menolongnya untuk menjadi muslim yang baik serta anggota masyarakat yang baik pula. Sedangkan Samsul Nizar mengklasifikasikan tentang tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun, antara lain sebagai berikut: a. Pengembangan kemahiran (al-malakah) dalam bidang tertentu. Orang awam bisa meneliti pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuwan. Akan tetapi potensi tidak bisa dimiliki oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami dan mendalami suatu disiplin tertentu. 31Ibid., hlm. 544. Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Mizan, 2005), 15. Lihat juga, Muhammad Kosim, Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun: Kritis, Humanis, dan Religius (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm. 81. 33Fathiyyah Hasan Sulaiman, Pandangan Ibnu Khaldun tentang Ilmu dan Pendidikan, terj. Herry Noer Ali (Bandung: Diponegoro, 1987), hlm. 35. 32Mulyadi 12 Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 b. Penguasaan keterampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman (lingkungan dan materi). Dalam hal ini pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh keterampilan yang tinggi pada potensi tertentu. Pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat manusia di muka bumi. Pendidikan yang meletakkan ketrampilan sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai dan mempertahankan peradaban secara keseluruhan. c. Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir merupakan jenis pembeda antara manusia dengan binatang. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya di format dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensipotensi psikologis peserta didik. Melalui pengembangan akal, akan dapat membimbing peserta didik untuk menciptakan hubungan kerjasama sosial dalam kehidupannya, guna mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.34 Dari tujuan tersebut bahwa maksud kurikulum pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun adalah mentransformasikan nilai-nilai yang diperoleh dari pengalaman untuk mempertahankan eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan adalah upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis.35 Prinsip-prinsip Pelaksanaan Kurikulum Perspektif Ibnu Khaldun Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pelaksanaan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum.36 Ibnu Khaldun tampaknya juga mengemukakan beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengajaran ilmu. Adapun prinsip dasar yang dijadikan sebagai landasan pemikiran Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan di latar belakangi dari pemikirannya tentang pendidikan secara umum, di antaranya penulis dapat mengklasifikasikan sebagai berikut: 34Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, hlm. 93-94. 35Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husein (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 107. 36Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, hlm., 150. Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 13 a. Mengajarkan materi dari yang bersifat inderawi ke yang rasional Sebagaimana pendapatnya tentang proses berpikir, kemampuan manusia dalam berpikir terjadi dalam tiga tingkatan. Tingkatan yang terendah ialah al-’aql al-tamyizi yang bersifat empiris. Sedangkan tingkatan yang kedua ialah al’aql altajribi, dimana pada tahap ini akal telah mampu melakukan berbagai eksperimen dan mulai mampu berpikir lebih rasional. Setelah itu, al-‘aql al-nadzari atau berpikir spekulatif, yaitu kemampuan akal untuk berpikir lebih abstrak dari tingkatan sebelumnya.37 Pemikiran tentang tingkatan akal ini membawa implikasi terhadap pendidikan. Ibnu khaldun menganjurkan agar pendidik tidak mengajarkan anak-anak pemula dengan definisi-definisi yang rumit atau sulit serta kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, khususnya bagi pelajar tingkat pemula. Tetapi hendaknya memulai proses belajar mengajar dengan mendahulukan materi pelajaran yang dapat ditangkap oleh panca indera, lalu diteruskan kepada pelajaran yang rasional.38 Prinsip yang ditawarkan Ibnu Khaldun ini tampaknya berkaitan dengan pentingnya penggunaan metode al-tadrîj (bertahap) dalam mengajar. b. Prinsip spesifikasi dan integrasi Sebagaimana yang dijelaskan pada bagian klasifikasi ilmu, Ibnu Khaldun telah mengemukakan berbagai macam cabang ilmu pengetahuan. Meskipun terdapat banyak cabang ilmu, peserta didik tidak diharuskan untuk menguasia seluruhnya. Ibnu khaldun justru memandang perlunya spesifikasi ilmu pengetahuan. Artinya, seorang pelajar mesti mengkhususkan kajiannya pada satu bidang keilmuan. Sebab, menurut Ibnu Khaldun, apabila seorang pelajar dihadapkan kepada persoalan yang banyak sekaligus niscaya ia tidak akan sanggup memahami secara keseluruhan. Akibatnya, otaknya akan jemu dan tidak sanggup untuk beraktivitas sehingga bisa membuatnya meninggalkan ilmu yang sedang dipelajarinya.39 37Thoha, Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 522-523. Ibid., hlm. 753. 39Ibid. 38 14 Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 Meskipun ibnu khaldun menganjurkan untuk mengkaji ilmu pengetahuan secara khusus, bukan berarti ilmu yang lain diabaikan. Dia malah berpendapat bahwa pelajar yang telah menguasai suatu disiplin ilmu maka dia akan lebih siap untuk menggunaka keahliannya dalam memahami cabang ilmu yang lain, di samping keahliannya akan meningkat lebih tinggi lagi sehingga pemahamannya terhadap ilmu pengetahuan secara menyeluruh akan tercapai.40 c. Prinsip kontinuitas dalam penyajian materi Ibnu khaldun juga berpendapat bahwa setiap pendidik seharusnya memperhatikan prinsip kontinuitas dalam menyajikan materi pelajaran. Dengan demikian antara penyajian suatu materi ke materi lainnya hendaknya tidak ada jarak waktu yang terlalu lama, sebab hal itu dapat menyebabkan murid lupa terhadap materi-materi sebelumnya.41 Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Ibnu Khaldun bahwa; “Jika terjadi selang waktu yang cukup lama akan memberi peluang munculnya sifat pelupa kepada pelajar sehingga menceraiberaikan dan membuat terputusnya berbagai bagian ilmu yang sedang dipelajari, sehingga keahlian dalam bidang ilmu yang bersangkutan sulit untuk diperoleh”.42 d. Tidak mencampuradukkan antara dua ilmu pengetahuan dalam satu waktu Ibnu khaldun menegaskan, seorang guru agar tidak mencampuradukkan antara dua ilmu pengetahuan dalam satu waktu sekaligus. Menurutnya, mengajarkan dua atau lebih ilmu pengetahuan dalam satu waktu hanya akan membingungkan bagi peserta didik. Sebab metode seperti itu akan sukar sekali dikuasai oleh peserta didik dan perhatiannya akan terbagi serta dapat terganggu antara satu ilmu dengan yang lainnya.43 e. Menghindari kekerasan terhadap murid dalam mengajar Ibnu Khaldun menganjurkan kepada guru untuk tidak menggunakan kekerasan dan kasar dalam mengajar. Dia menjelaskan 40Thoha, Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 749-753. Pemikiran Pendidikan Islam, hlm. 100. 42 Thoha, Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 753. 43Ibid. 41Kosim, Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 15 dalam kitab Muqaddimah-nya bahwa:” Hukum yang keras di dalam pengajaran (ta’lim), berbahaya pada murid khususnya bagi anakanak kecil. Karena itu termasuk tindakan yang dapat menyebabkan timbulnya kebiasaan buruk. Kekasaran dan kekerasan dalam pengajaran, dapat mengakibatkan dan mencegah perkembangan pribadi anak yang bersangkutan. Kekerasan membuka jalan ke arah kemalasan dan keserongan, penipuan serta kelicikan, yang pada gilirannya akan merusak sifat kemanusiaannya.”44 Meskipun demikian, Ibnu Khaldun juga membolehkan memberikan sanksi, tetapi sanksi tesebut bersifat edukatif. Hal ini dapat dianalisa dari pendapat Muhammad bin Abi Sayd yang berkenaan dengan hubungan guru dan murid, yang dikutip oleh Ibnu Khaldun bahwa: “apabila anak-anak terpaksa dipukul, guru hendaknya tidak memukul mereka lebih dari tiga kali”.45 f. Mempelajari ilmu alat sebaiknya tidak menjadi tujuan utama Ibnu khaldun memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu alat, seperti bahasa arab sebagai alat untuk memahi kandungan alQur’an, tetapi Ibnu Khaldun menegaskan agar tidak menjadikan ilmu alat tersebut sebagai tujuan utama. Lebih lanjut dia mengatakan: “Ilmu-ilmu yang merupakan alat bagi berbagai ilmu yang lain, seperti ilmu bahasa arab, logika, dan sebagainya, seharusnya dipelajari hanya sebagai alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang lainnya. Pembahasan dan analisis yang panjang lebar mengenainya tidak perlu diadakan, karena akan menjauhkan pelajar dari tujuan ilmunya sendiri. Sebab, tujuan yang sebanarnya hanyalah sebagai alat belaka, bukan untuk tujuan lainnya. Sejauh ilmu alat itu menyimpang dari fungsinya sebagai alat, sejauh itu pula ia keluar dari tujuannya itu.”46 Prinsip-prinsip dalam pelaksanaan dan pengembangan kurikulum yang telah dikemukakan Ibnu Khaldun di atas sungguh sangat brilian, di mana saat tokoh-tokoh lain terutama pada zaman- 44Ibid., hlm. 763. hlm. 764. 46Ibid., hlm. 758. 45Ibid., 16 Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 nya belum sampai pada kajian ini, dia dengan sangat yakin menjelaskan pemikirannya.47 Bahkan menurut analisis penulis hasil pemikiran Ibnu Khaldun secara keseluruhan dan secara khusus masih relevan terhadap kajian-kajian pengembangan kurikulum saat ini. Berikut kajian tentang prinsip-prinsip pengembangan kurikulum modern yang masih sangat relevan dengan hasil pemikiran Ibnu Khaldun. 1) Prinsip relevansi; secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara komponen-komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi dan evaluasi). Sedangkan secara eksternal bahwa komponen-komponen tersebut memiliki relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi epistemologis), tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi psikologis) serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat (relevansi sosilogis). 2) Prinsip fleksibilitas; dalam pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur dan fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu berkembang, serta kemampuan dan latar bekang peserta didik. 3) Prinsip kontinuitas; yakni adanya kesinambungandalam kurikulum, baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam tingkat kelas, antar jenjang pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan. 4) Prinsip efisiensi; yakni mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan sumberyang ada secara cermat dan tepat sehingga hasilnya memadai. 5) Prinsip efektivitas; yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.48 6) Prinsip universal (menyeluruh, totalitas, dan menyeluruh).49 47A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 51. Pengembangan Kurikulum, hlm. 150-154. 48Sukmadinata, Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 17 Dengan demikian, berdasarkan hasil analisis penulis tentang berbagai konsep kurikulum pendidikan Islam di atas, dapat dipahami secara teoritis adanya relevansi antara kurikulum yang di gagas oleh Ibnu Khaldun dengan kurikulum yang dikembangkan dalam pendidikan Islam di Indonesia. Sebagai contoh klasifikasi ilmu sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Ibnu Khaldun juga terjadi dalam pendidikan Islam di Indonesia. Jika Ibnu Khaldun membagi ilmu secara garis besar ke dalam dua bentuk, al-‘ulūm al-naqliyyah dan al‘ulūm al-‘aqliyah, maka di Indonesia juga dibagi dalam dua bentuk, yaitu ilmu agama dan ilmu umum. Kedua bentuk ilmu ini menjadi bagian dalam kurikulum pendidikan Islam di Indonesia Landasan Normativitas dan Historisitas dalam Kurikulum Pendidikan Islam Landasan normativitas dalam kurikulum pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun dapat dipahami bahwa, peserta didik terjun ke masyarakat dengan dilandasi oleh internalisasi ajaran dan nilai-nilai Islam, yang mengandung makna bahwa setiap langkah dan tahap kegiatan yang hendak dilakukan di masyarakat selalu dilandasi oleh niat yang suci untuk menjunjung tinggi ajaran dan niali-nilai fundamental Islam sebagaimana yang tertuang dan terkandung dalam Al-Qur'an dan Sunnah atau hadits Rasulullah SAW, serta berusaha membangun (kembali) masyarakat atas dasar komitmen, loyalitas, dan dedikasi sebagai pelaku (actor) terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam tersebut.50 Sementara ditinjau dari segi landasan historistas menurut Ibnu Khaldun bahwa: “ilmu pengetahuan dan pengajaran merupakan hal yang alami dalam peradaban manusia, hal itu ditandai dengan adanya tradisi pengajaran ilmu dari satu generasi ke generasi berikutnya”.51 Islam telah memiliki tradisi yang kuat di bidang ilmu pengetahuan di masa lampau, kesaksian sejarah telah diberikan untuk itu, dengan munculnya para ilmuan dan penemu yang berasal dari 49Nik Haryati, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Bangung: Alfabeta, 2011), hlm. 51. 50Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidian Agama Islam Di Sekolah, Madrasah, Dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 175 51Thoha, Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 534. 18 Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 peradaban Islam. Tidak hanya itu saja banyak sejarawan ilmu (science historians) yang menyebut peradaban di zaman keemasannya “peradaban ilmu”, sehingga tidak ada bidang ilmu pengetahuan terkenal pada waktu itu yang tidak memiliki pemuka-pemuka dari kalangan kaum Muslim. Bahkan banyak cabang dan bidang baru dalam ilmu pengetahuan, yang telah dirintis dan diciptakan oleh para sarjana muslim, demikian pula beberapa pokok cabang yang dikemudian harinya dinamakan ilmu pengetahuan modern itu, sebenarnya telah dirintis oleh para ilmuan muslim seperti sosiologi dan filsafat sejarah yang dirintis oleh Ibnu Khaldun.52 Kurikulum pendidikan Islam pada waktu dulu tidak terikat dengan sekian jam untuk suatu mata pelajaran dalam seminggu seperti halnya sekarang ini, tetapi pelajaran dulu sifatnya umum dimana guru mempunyai kebebasan memilih buku dan bahan pelajaran yang akan diajarkannya.53 Sedangkan dalam pendidikan modern dewasa ini, pembawaan dan keinginan seorang anak sangat diperhatikan.54 Dalam membahas kurikulum pendidikan, Ibnu Khaldun telah berbicara panjang lebar tentang pendidikan, dan dapat dianggap pembicaraanya itu sesuai dengan kejadian yang sebenarnya. Kebenaran apa yang telah diungkapkannya bukanlah keadaan pendidikan yang terjadi pada masanya saja, yaitu pada abad ke empat belas dan kelima belas, akan tetapi sesuai dengan keadaan pendidikan beberapa abad sebelumnya, karena salah satu ciri dari pendidikan Islam yaitu memelihara tradisi yang telah ada dalam mendidik anakanak. Ibnu Khaldun melalui pembicaraannya dengan menunjukkan pentingnya mengajarkan al-Qur’an bagi anak-anak, kemudian Ibnu Khaldun menyebutkan sebab-sebab yang menarik perhatian orangorang kepada mata pelajaran ini, yaitu mengajarkan al-Quran itu 52Ahmad Busyairi dan Azharudin Sahil, Tantangan Pendidikan Islam (Yogjakarta: Lembaga Press Mahasiswa UII, 1987), hlm. 57. 53Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, terj. M. Arifin (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), hlm. 159. 54M. Athiyah al-Abraysi Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Gani (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 160. Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 19 adalah titik permulaan dan dasar pendidikan yang terisi dalam seluruh kurikulum pendidikan Islam.55 Bahkan Ibnu Khaldun sempat mengkritisi kurikulum pendidikan yang berlaku di kawasan dunia Islam antara lain Maghribi, Andalusia, Ifriqiyah dan orang-orang Timur, Ibnu Khaldun melalui pengalamannya memandang bahwa kurikulum pendidikan yang ditawarkan oleh Qodli Abu Bakar bin al-‘Arabi sebagai kurikulum pendidikan yang baik. Abu Bakar bin al-‘Arabi dalam kitab “Rihlah”nya menasehatkan agar kurikulum yang pertama kali diajarkan kepada peserta didik adalah Bahasa Arab dan Syair paling depan mendahului semua ilmuilmu yang lain. Syair dan Filologi Bahasa Arab hendaknya diajarkan lebih dahulu, kemudian peserta didik melanjutkan belajar Ilmu Hitung Aritmatika secara terus-menerus hingga mengenal rumus-rumusnya. Selanjutnya, diteruskan dengan mempelajari al-Qur’an. Al-Qur’an jangan diajarkan di permulaan, karena hal ini akan membuat mereka membaca apa yang tidak dimengertinya, yang pada gilirannya kurang paham terhadap bacaannya. Setelah itu baru peserta didik mempelajari prinsip-prinsip Islam, seperti: ilmu kalam, fiqih, ushul fiqih, ilmu hadits, ilmu debat dan ilmu-ilmu lainnya. Menurut Ibnu Khaldun, apa yang ditawarkan oleh Abu Bakar bin al-Arabi ini yaitu tidak mendahulukan belajar al-Qur’an akan membuat mereka tidak mengalami keterputusan ilmu karena mempelajarinya secara utuh. Alasan pendapat yang mendahulukan belajar al-Qur’an adalah masalah barakah dan pahala dari Tuhan itu kurang tepat. Padahal selama peserta didik tinggal di rumah, selama itu pula orang tuanya diberi otoritas untuk mengajarkan al-Qur’an kepadanya.56 Dari pernyataan Ibnu Khaldun tersebut penulis dapat menegaskan bahwa merupakan kewajiban orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama di rumah dalam mengajarkan al-Qur’an kepada anak-anaknya. Sementara dalam lembaga pendidikan di samping mengajarkan al-Qur’an juga sangat penting diajarkan pula ilmu-ilmu yang dapat membantu anak dalam memahami dan mendalami alQur’an. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan Ibnu Khaldun, 55Ali Ashraf, Horizon Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996), hlm. 32. 56Thoha, Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 762-763. 20 Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 bahwa: ”Ketahuilah, mengajar anak-anak mendalami al-Qur’an merupakan suatu simbol dan pekerti Islam. Orang Islam memiliki alQur’an dan mempraktekkan ajarannya, dan menjadikannya pengajaran (ta’lim), di semua kota mereka, hal itu akan mengilhami hati dengan suatu keimanan, dan memperteguh keyakinan kepada alQur’an dan matan-matan hadits. Al-Qur’an menjadi dasar ta’lim, dan fondasi bagi semua keahlian yang diperoleh kemudian. Sebab, hal-hal yang diajarkan kepada seorang anak akan mengakar lebih dalam dari apapun juga, dan menjadi dasar bagi semua pengetahuan yang diperoleh setelah itu. Pengaruh kesan pertama yang diterima hati merupakan fondasi bagi semua tradisi ilmiah. Karena keadan fondasi menentukan kondisi bangunan. Meteode-metode kaum muslimin dalam mengajarkan ta’lim al-Qur’an kepada anak-anak berbeda-beda sesuai perbedaan pendapat mengenai berbagai keahlian yang timbul dari pengajaran tadi”.57 Landasan Filosofis dan Sosiologis dalam Kurikulum Pendidikan Islam Ibnu Khaldun berbeda dengan pemikir filosof pada umumnya, karena dia tidak hanya melihat manusia pada segi kepribadian atau akalnya, tapi manusia dalam hubungan dan interaksinya dengan masyarakat. Sebagai seorang sosiolog, dia lebih realis dan sosiologis dalam memandang sesuatu, namun sebagai filosof, pemikiran filosofisnya juga tidak dipungkiri.58 Ibnu Khaldun menyatakan bahwa manusia adalah makhluk berpikir. Hal ini yang membedakannya dari hewan dan makhluk lainnya. Kesanggupan berpikir ini merupakan sumber dari segala kesempurnaan, puncak dari segala kemuliaan, dan ketinggian di atas makhluk lain. Sementara hewan, hanya memiliki kemampuan mengindra (Idrak) yaitu kasadaran subjek akan sesuatu yang ada di luar dirinya, karena adanya indera pendengar, pencium, penglihat, perasa, dan pengecap. Kurikulum pendidikan Islam berbasis sosial sangat memperhatikan hubungan kurikulum dengan sosial masyarakat dan politik 57Ibid., hlm. 759. Pendidikan Islam dalam Perspektif filosofis (Pamekasan: Stain Pmk Press, 2009), hlm. 77-78. 58Siswanto, Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 21 perkembangan ekonomi. Kurikulum ini lebih memusatkan perhatian pada problema-problema yang dihadapi dalam masyarakat, untuk selanjutnya dengan memerankan ilmu-ilmu dan teknologi, serta bekerja secara kooperatif dan kolaboratif, akan dicarikan upaya pemecahannya menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik. 59 Dari segi kehidupan sosial, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ilmu dan pengajaran sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat manusia ke arah yang lebih baik. Semakin dinamis budaya suatu masyarakat, maka akan semakin bermutu dan dinamis pula keterampilan di masyarakat tersebut. Oleh karenanya, manusia berusaha memperoleh ilmu dan keterampilan dalam masyarakat sebanyak mungkin, sebagai salah satu cara membantunya untuk dapat hidup dengan baik dalam masyarakat yang dinamis dan berbudaya. Dengan demikian, eksistensi pendidikan merupakan suatu saran yang dapat membantu individu dan masyarakat menuju kemajuan dan kecemerlangan. Selain itu, pendidikan juga bertujuan mendorong terciptanya tatanan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. 60 Namun demikian, antara pendidikan dengan kehidupan sosial memiliki kaitan yang sangat erat. Menurut Ibnu Khaldun, aktivitas ilmiah dan pendidikan hanya akan berkembang di kota-kota dan masyarakat yang memiliki peradaban yang berkembang pesat. Ketika peradaban suatu masyarakat hancur, maka aktivitas ilmiah pun akan sirna dan berpindah ke kota-kota lain.61 Menurut Ibnu Khaldun manusia memiliki perbedaan dengan makhluk lainnya khususnya binatang, karena manusia di samping memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidup, juga memiliki sikap hidup bermasyarakat yang dapat membentuk suatu masyarakat antara yang satu dengan yang lainnya saling tolong menolong. Dari keadaan yang demikian ini maka timbullah kurikulum dan masyarakat, pemikiran tersebut pada suatu saat diperlukan dalam menghasilkan sesuatu yang tidak dapat 59Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 143. 60Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm. 21-22. 61Thoha, Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 542. 22 Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 dicapai oleh panca indera, ilmu yang demikian mestinya diperoleh dari orang lain yang telah lebih dahulu mengetahui. Orang yang demikian ini disebut sebagai pendidik (guru). Agar proses pencapaian ilmu yang disampaikan itu menjadi baik maka perlu diselenggarakan kegiatan pendidikan.62 Dalam proses pencarian ilmu pengetahuan biasanya dilakukan oleh individu atau kelompok yang terkonsentrasi di wilayah yang relatif lebih maju (kota) dimana kecenderungan di suatu kota akan munculnya kompetisi untuk mencari sesuatu yang dianggap lebih baik dan lebih mendukung.63 Kalau diperhatikan landasan kurikulum dari segi sosiologis menurut Ibnu Khaldun tersebut di atas, tampak jelas bahwa hubungan antara kurikulum dan kehidupan sosial adalah hubungan saling mempengaruhi. Kurikulum pendidikan yang baik menyebabkan kehidupan sosial menjadi maju, sebaliknya kehidupan sosial yang maju bisa memicu peningkatan ilmu pengetahuan/ kurikulum. Ibnu Khaldun memandang banyaknya kemajuan dalam masyarakat, serta perhatian individu dan masyarakat terhadap pencapaiannya, merupakan bukti kemajuan dan keberbudayaan masyarakat. Sementara secara filosofis dinyatakan bahwa akal manusia yang merupakan karunia Allah membedakannya dari hewan, bekerja dan aktif menurut tabi’atnya sehingga secara bertahap lahirlah ilmu dan industri. Hanya saja akal insani ini tidak akan dapat mencapai puncak keaktifan dan kesempurnaan, kecuali di dalam masyarakat berbudaya yang di sana telah mendapatkan lapangan untuk bekerja dan berlatih, sehingga bertambahlah kemampuan akal untuk bekerja, berproduksi dan mencipta. Penutup Latar belakang yang demikian unik dari sosok Ibnu khaldun memunculkan pemikiran pendidikan yang sangat istimewa dan brilian. Hal ini tercermin dari pandangannya tentang kemuliaan manusia dari sudut akalnya. Ibnu Khaldun mengakui akal sebagai 62Ibid, hlm. 174-175. Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), hlm. 103- 63Ahmad 104. Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 23 sumber otonom bagi pengetahuan, keterampilan, keahlian dan menjadikan pencarian kebenaran yang mampu mengantarkan manusia kepada kesempurnaan eksistensinya sebagai hamba Allah yang pada hakikatnya diciptakan sebagai makhluk yang mulia serta mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifahNya di muka bumi, di samping itu, Ibnu Khaldun sebagai seorang sosiolog, melihat manusia tidak hanya pada segi kepribadian atau akalnya saja, akan tetapi manusia dalam hubungan dan interaksinya dengan masyarakat. Namun sebagai filosof, dia menyatakan bahwa yang membedakan manusia dari binatang adalah berpikir, dan dari berpikir inilah timbullah ilmu pengetahuan. Konsep Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan Islam dapat dilihat dari apresiasinya terhadap ragam ilmu yang menjadi saran pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Dari konsep epistemologinya dia mengatakan bahwa ilmu pengetahuan dalam peradaban umat Islam dapat diklasifikasikan menjadi: “ilmu-ilmu agama Islam yang berdasarkan otoritas syari’at (al-‘ulum asy-syari’iyyah an-naqliyyah), dan Ilmu pengetahuan filosofis yang bersifat alami dan diperoleh manusia dengan kemampuan akal dan pikirannya (al-‘ulum al-‘aqliyyat). Adapun kurikulum yang dipandang baik untuk mencapai tujuan pendidikan adalah yang bersifat integratif dan komprehensif baik dari segi normativitas, historisitas, filosofis, dan sosiologis. Wa Allâh a’lam bi al-Shawâb.* Daftar Pustaka Abraysi, M. Athiyah (Terj). Bustami A. Gani. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1970. Ashraf, Ali. Horizon Baru Pendidikan Islam. Terj. Sori Siregar. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. Audah, Ali. Sebuah Pengantar Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka Firdaus, tt. Arifin, Muzayyin. Ilmu pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1994. Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2003. 24 Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, terj. Mansuruddin dan Ahmadi Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989. Dakir, Sardimi. Pendidikan Islam dan ESQ Komparasi-Integratif Upaya Menuju Stadium Insan Kamil. Semarang: Rasail Media Group, 2011. Departemen Agama RI. al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, 2004. Daradjat, Zakiyah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2006. Fakhry, Madjid (Terj) R. Mulyadhi Kartanegara. Sejarah Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Jaya, 1986. Ghofur, Abd. Ibnu Khaldun: Pendidikan Islam dalam Konteks Manajemen Berbasis Sekolah. Surabaya: Amantara, 2011. Haryati, Nik. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Bangung: Alfabeta, 2011. Ibn Khaldun, Abdurrahman. Muqaddimah Ibn Khaldun. Beirut: Dar alKitab al-Ilmiyah, 1993. Ibn Khaldun/ Penerjemah Ahmadie Thoha. Muqaddimah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Kosim, Muhammad. Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun: Kritis, Humanis, dan Religius. Jakarta: Rineka Cipta, 2012. Khudhairi, Zainab (Terj) Ahmad Rofi’. Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Bandung: Pustaka Utsmani, 1987. Kartanegara, Mulyadi. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: Mizan, 2005. Langgulung, Hasan. Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke 21. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1998. Madjid, Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1994. Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. Jakarta: kencana, 2009. Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012 25 Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001. Ramayulis dan Samsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia. Jakarta: Quantum Teaching, 2005. Suharto,Toto. Epistimologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003. Syar’i, Ahmad. Filsafal Pendidikan Islam. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2005. Shiddiqi, Nourouzzaman. Menguak Sejarah Muslim Suatu Kritik Metodologis. Yogyakarta : PLP2M, 1984. Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006. Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011. Susanto, A. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah, 2009. Siswanto. Pendidikan Islam dalam Perspektif filosofis. Pamekasan: Stain Pmk Press, 2009. Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy. Falsafah Pendidikan Islam. Terj. Hassan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Thoha, Ahmadie (Penj). Muqaddimah Ibn Khaldun. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000. Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010. Wafi, Ali Abdul Wahid. Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya. Terj. Ahmadi Thoha. Jakarta: Grafiti Pers, 1985. 26 Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012