kurikulum pendidikan islam perspektif ibnu khaldun

advertisement
KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM
PERSPEKTIF IBNU KHALDUN
Ismail
STAI Miftahul Ulum Panyepen Pamekasan
Email: [email protected]
Abstrak: Ibnu Khaldun memandang bahwa perkembangan dan
kemajuan pendidikan tidak dapat lepas dari kemajuan peradaban.
Tujuan pendidikan Islam menurutnya adalah meningkatkan kualitas
hidup, kualitas iman dan ketaatan, kualitas nalar, kualitas moral dan
kualitas kerja. Konsep Ibnu Khaldun tentang kurikulum dapat dilihat
dari apresiasinya terhadap ragam ilmu yang menjadi sarana
pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Dari konsep epistemologinya,
ia membagi menjadi ilmu-ilmu yang berdasarkan otoritas syari’at (al‘ulûm al-shar’iyyah al-naqliyyah) dan ilmu pengetahuan filosofis yang
bersifat alami dan diperoleh manusia dengan kemampuan pikirnya
(al-‘ulûm al-‘aqliyyah). Kurikulum yang dipandang baik untuk
mencapai tujuan pendidikan Islam adalah yang bersifat integratif dan
komprehensif antara ilmu-ilmu yang bersifat naqliyyah dan ‘aqliyyah
dengan memperhatikan landasan normativitas, historisitas, filosofis,
dan sosiologisnya.
Kata kunci: Kurikulum, pendidikan Islam, Ibn Khaldun
Abstract: Ibn Khaldun considers that the development and progress
of education can not be separated from the advancement of civilization. He says that the goal of Islamic education is to improve the
quality of life, faith and obedience, the quality of reasoning, moral
qualities and quality of work. Ibn Khaldun's concept of the curriculum
can be seen from the appreciation of the range of knowledge that
could be the means of human subsistence. Epistemologically, he
classified that science in the Islamic civilization into the sciences on
the authority of the shari'ah (al-‘ulûm al-shar’iyyah al-naqliyyah), and
philosophical knowledge that it is natural and acquired through his
mind (al-‘ulûm al-‘aqliyyah). The best curriculum is integrative and
comprehensive in nature, both naqliyyah and ‘aqliyyah by considering
the norm, historical, philosophical, and sociological bases.
Keywords: Curriculum, education, Islam, Ibn Khaldun
Pendahuluan
Kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan,
sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pendidikan. Kurikulum mencerminkan falsafah/pandangan hidup bangsa ke arah mana
dan bagaimana bentuk kehidupan itu. Hal ini akan ditentukan oleh
kurikulum yang digunakan oleh bangsa tersebut sampai sekarang.
Nilai sosial, kebutuhan dan tuntutan masyarakat cenderung mengalami perubahan antara lain akibat dari kemajuan ilmu pengatahuan
dan teknologi. Kurikulum harus dapat mengantisipasi perubahan
tersebut, sebab pendidikan adalah cara yang dianggap paling strategis
untuk mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
tersebut.
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan primer masyarakat
sejak dulu. Setiap orang memerlukan pendidikan untuk kelangsungan
hidupnya. Tujuan pendidikan sering dirumuskan untuk menyiapkan
generasi muda menjadi orang dewasa, anggota masyarakat yang
mandiri dan produktif. Fungsi sekolah erat hubungannya dengan
masyarakat. Pendidikan dalam masyarakat memiliki tiga sifat penting;
pertama, pendidikan mengandung nilai dan memberikan pribadi anak
agar sesuai dengan yang diharapkan masyarakat. Kedua, pendidikan
diarahkan pada kehidupan dalam masyarakat. Ketiga, pelaksanaan
pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh lingkungan masyarakat.1
Perkembangan dunia pendidikan tentunya tidak akan terlepas dari
sumbangsih para ilmuwan yang mencurahkan segala perhatiannya
pada dunia pendidikan ini. Begitu pun yang dilakukan oleh para
ulama sebagai yang merasa berkewajiban untuk menyebarluaskan
ilmunya. Ibnu Khaldun adalah salah satu ulama besar, sosiolog,
filosof, sekaligus intelektual muslim.2
Pola yang digunakan Imam al-Ghazali ketika mengklasifikasikan
ilmu pengetahuan ke dalam pengetahuan syar’iyyah dan pengetahuan
ghairu syar’iyyah menjadi pola yang diikuti pada masa-masa
1Nana
Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 58.
2Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 308.
2
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
sesudahnya, ketika Ibnu Khaldun muncul, semua perencanaan
pendidikan dibuat berdasarkan formula tersebut.3
Dalam membahas kurikulum pendidikan, Ibnu Khaldun telah berbicara panjang lebar tentang pendidikan Islam, dan dapat dianggap
pembicaraannya itu sesuai dengan kejadian yang sebenarnya. Kebenaran apa yang telah diungkapkannya bukanlah keadaan pendidikan
yang terjadi pada masanya saja, yaitu pada abad ke empat belas dan
kelima belas, akan tetapi sesuai dengan keadaan pendidikan beberapa
abad sebelumnya, karena salah satu ciri dari pendidikan Islam adalah
memelihara tradisi yang telah ada dalam mendidik anak-anak. Ibnu
Khaldun melalui pembicaraannya itu dengan menunjukkan pentingnya mengajarkan al-Qur’an bagi anak-anak, kemudian dia menyebutkan sebab-sebab yang menarik perhatian orang-orang kepada mata
pelajaran ini, yaitu mengajarkan al-Quran itu adalah titik permulaan
dan dasar pendidikan yang terisi dalam seluruh kurikulum.4
Pernyataan-pernyataan ini mengindikasikan bahwa maksud
pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah mentransformasikan nilainilai yang diperoleh dari pengalaman untuk dapat mempertahankan
eksistensi manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan adalah
upaya melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis.
Ibnu Khaldun dalam berbagai pemikirannya memang tidak
membicarakan tentang pengertian, kurikulum secara konkrit dan
sistematis. Dia juga tidak menggunakan istilah kurikulum dalam
karya-karyanya. Namun Ibnu Khaldun banyak berbicara tentang ilmu
dan klasifikasinya. Untuk itu, penulis mengelompokkan pemikiran
tentang ilmu dan klasifikasi ini dalam kurikulum. Sebab, ilmu dan
klasifikasinya tersebut merupakan salah satu komponen dasar dalam
kurikulum. Kurikulum yang dibicarakan di sini bukanlah dalam arti
luas, melainkan dalam arti sempit dan hanya terbatas pada substansi
dan materi saja. Dengan demikian, tulisan ini, merupakan bentuk
3M.
Athiyah al-Abraysi, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Gani
(Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 173.
4Ali Ashraf, Horizon Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1996), hlm. 32.
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
3
analisis dengan interpretasi tentang substansi pemikiran Ibnu
Khaldun yang dianggap signifikan.
Biografi Singkat Ibnu Khaldun
Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Abu Zayd ‘Abd al-Rahman
Ibn Muhammad Ibn Khaldun Wali al-Din al-Tunisi al-Hadrami.5 Dia
juga dikenal dengan Ibnu Khaldun karena dihubungkan dengan garis
kepada kakeknya yang kesembilan yaitu Khalid bin Utsman. Kakeknya memasuki negeri Andalusia bersama para penakluk berkebangsaan Arab serta keturunannya kemudian dikenal dengan nama Bani
Khaldun di Andalusia dan Magribi, sehingga orang-orang terkemuka
yang lahir dari keturunan keluarga ini disebutnya dengan Ibnu
Khaldun, namun pada akhirnya nama ini dikhususkan pada sebutan
orang yang sedang kita bicarakan ini. Sebutan al-Tunisi al-Hadrami di
belakang namanya, adalah bertalian dengan negeri asalnya yaitu
Hadramaut, sebab seluruh keluarganya berasal dari Yaman
Hadramaut.6
Ibnu khaldun lahir di Tunisia pada awal Ramadhan 732 H atau
pada tanggal 27 Mei 1332 M. dan meninggal pada tanggal 16 Maret
1406 M bertepatan tanggal 26 Ramadhan 808 H. Dia dididik oleh
keluarga yang terkemuka dalam bidang ilmu pengetahuan maupun
politik. Rumah tempat kelahirannya masih utuh hingga sekarang yang
terletak di jalan Turbatul Bay. Dalam beberapa tahun terakhir ini
rumah tersebut sudah menjadi pusat sekolah Idarah ‘Ulya dan pada
pintu masuknya terpampang sebuah batu marmer bertuliskan nama
dan tanggal kelahiran Ibnu Khaldun.7 Keluarga Ibnu Khaldun berasal
dari Hadramaut Yaman, dan garis keturunannya berasal dari Wa’il
bin Hajar seorang Sahabat Nabi yang terkenal meriwayatkan kurang
lebih tujuh puluh hadits dari Rasulullah Saw., dan pernah diutus oleh
Rasulullah bersama Mu’awiyyah bin Abi Sufyan kepada penduduk
negeri Yaman untuk mengajarkan al-Qur’an dan agama Islam kepada
5Fuad
Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, terj. Mansuruddin
dan Ahmadi Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), hlm. 9.
6Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, terj. Ahmadi Thoha
(Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hlm. 3-4.
7Zainab Khudhairi,. Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, terj. Ahmad Rofi’ (Bandung: Pustaka
Utsmani, 1987), hlm. 10.
4
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
mereka. Khalid Ibnu Utsman, yang kemudian terkenal dengan nama
Khaldun adalah salah seorang cucu dari Wa’il bin Hajar, yang
memasuki Andalusia pada abad ke 8 Masehi bersama-sama pasukan
kaum muslimin dan bertempat tinggal di Qarmunah satu kota kecil
yang terletak di tengah-tengah tiga segi tiga antara Cordova, Sevilla
dan Granada. Ketiga kota ini adalah kota-kota yang sangat
termasyhur dalam sejarah militer Islam di Spanyol, dan kota-kota ini
kemudian terkenal sebagai pusat-pusat kebudayaan Islam di Spanyol.
Kota kecil Qarmunah inilah dapat dikatakan sebagai tempat tinggal
tetap yang pertama kali bagi nenek moyang Ibnu Khaldun. 8
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa seluruh keluarga
besar Bani Khaldun banyak bergerak dalam bidang politik dan ilmu
pengetahuan, sehingga kondisi keluarga seperti ini yang berperan
sangat dominan dalam membentuk jiwa dan kehidupan Ibnu
Khaldun.
Ibnu Khaldun merupakan pemikir muslim yang kreatif dan
melahirkan pemikiran-pemikiran besar yang monumental melalui
karya-karyanya. Di antara karya-karyanya adalah:
1. Kitab Al-’Ibar
Kitab al-’Ibar ditulis Ibnu Khaldun selama kurang lebih empat
tahun, yaitu pada akhir 776 H (1374 M) dan selesai akhir 780 H
(1378 M). Kata ’ibrah (jamaknya ‘ibar) kadang-kadang dipakai dengan makna hikmah, pepatah, dan suri tauladan. Dari pemakaian
ini tampak bahwa dibalik kata itu terdapat hikmah yang dapat
dipahami atau dilaksanakan. Adapun dalam al-Qur’an dan alHadits, kata itu dipergunakan dengan makna suri tauladan sejarah,
yaitu hikmah yang dapat diikhtisarkan dari sejarah atau masa lalu.9
Ibnu Khaldun menggunakan kata ‘Ibar sebagai judul buku
sejarah yang universalnya tidak lepas dari tujuan agar manusia
mengambil pelajaran dari masa lalu untuk kepentingankepentingan yang bersifat praktis. lebih jauh, ibnu khaldun ingin
menafsirkan sejarah dan menyingkap sebab-sebab terjadinya
8Wafi,
Ibnu Khaldun, hlm. 8-11.
Filsafat Sejarah, hlm. 23.
9Al-Khudairi,
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
5
peristiwa dengan mengadakan analisa perbandingan terhadap
masyarakat.10
Kitab al-’Ibar atau tarikh Ibnu Khaldun terdiri atas tujuh jilid,
satu jilid pertama dari kitab al-’Ibar adalah kitab Muqaddimah yang
khusus berisikan pembahasan tentang gejala-gejala sosial, sementara enam jilid sisanya membahas sejarah alam semesta. Kitab al’Ibar atau tarikh Ibnu Khaldun seperti yang dituturkan penulisnya
disusun dengan sistematika sebagai berikut :
a. Pendahuluan (al-Muqaddimah) yang membahas tentang manfaat
historiografi, bentuk-bentuk historiografi dan beberapa
kesalahan para sejarawan.
b. Buku Pertama berisi tentang peradaban dan berbagai karakteristiknya, seperti kekuasaan, pemerintah, mata pencaharian,
penghidupan, keahlian- keahlian dan ilmu pengetahuan.
c. Buku Kedua mencakup uraian tentang sejarah bangsa arab dan
bangsa-bangsa yan sezaman dengannya, seperti bangsa Nabti,
Suryani, Persia, Israel, Qibti, Yamani, Romawi, Turki dan
Franka.
d. Buku Ketiga menguraikan sejarah bangsa Berber dan Zanatah,
khususnya kerajaan dan negara-negara di Afrika Utara
(Maghribi).
Mengingat luasnya materi yang dibahas, kitab al-’Ibar layak
disebut sebagai an exhaustive history of the word (sebuah sejarah
dunia yang lengkap). Dari sinilah para pengkaji Ibnu Khaldun yang
biasa disebut dengan kaum Khaldunian, baik dari kalangan Timur
maupun Barat, sering menyebut kitab al-’Ibar dengan The Universal
History atau The History of The Word.11
Jadi kitab al-’Ibar ini merupakan sumber utama untuk
mendapatkan informasi tentang dinasti-dinasti Islam di barat,
kerajaan Kristen, serta Islam di Afrika Utara. Lebih dari itu semua,
kemasyhuran kitab al-Ibar justru terletak pada kitab al-Muqaddimah-
10Nourouzzaman
Shiddiqi, Menguak Sejarah Muslim Suatu Kritik Metodologis (Yogyakarta: PLP2M, 1984), hlm. 48.
11Toto Suharto, Epistimologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldn (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru,
2003), hlm. 61-62.
6
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
nya atau bagian pendahuluan dari buku sejarah alam semesta
tersebut.
2. Kitab al-Muqaddimah
Kitab Muqaddimah seperti diketahui adalah sebuah kitab yang
berdiri sendiri, meskipun pada awalnya merupakan jilid pertama
dari tujuh jilid al-’Ibar. Namun dalam perkembangannya Ibnu
Kahaldun justru lebih dikenal karena kitab al-Muqaddimah bukan
karena kitab al-‫׳‬Ibar. Hal ini disebabkan karena dalam kitab
Muqaddimah, Ibnu Khaldun telah memaparkan seluruh bangunan
teorinya tentang ilmu-ilmu sosial, kebudayaan dan sejarah. Kitab
al-‘Ibar dapat dikatakan sebagai bukti empiris historis dan teoriteori yang ada dalam kitab Muqaddimah. Maka dari itu Ibnu
Khaldun dapat digolongkan sebagai salah seorang sejarawan
terbesar sepanjang abad dan orang pertama yang mengupayakan
suatu filsafat sejarah, yaitu “suatu teori perkembangan sejarah atas
dasar iklim dan pengaruh-pengaruh geografik di satu pihak dan
daya-daya moral serta spiritual yang berlaku dipihak lain”.12
Al-Muqaddimah merupakan karya besarnya Ibnu Khaldun
ditulis dalam enam bab yang diawali dengan sebuah pendahuluan.
Bab kedua membahas tentang peradaban Badui dengan berbagai
kondisinya. Bab ketiga tentang dinasti, khilafah dan kerajaan serta
yang berhubungan dengannya, bab keempat tentang peradaban
kota dengan segala macam kondisinya, bab kelima tentang
berbagai aspek mata pencaharian serta bab keenam tentang ilmu
pengetahuan dan metode-metode memperolehnya.13
3. Kitab al-Ta’rîf
Salah satu cabang ilmu sejarah yang ditekuni oleh Ibnu
Khaldun adalah otobiografi dan dalam bidang ini Ibnu Khaldun
merupakan orang terkemuka di antara para ahli sejarah Arab.
Bahkan dia telah menulis kitabnya yang berjudul: al-Ta’rîf bi Ibn
Khaldun wa Rihlatuh Gharban wa Syarqan.14 Dengan karya ini orang
tidak akan mendapat kesulitan untuk menulis biografi Ibnu Khal12Amir
Hasan Siddiqi, Studies In Islamic History, terj. M.J. Irawan (Bandung: Al-Ma’arif,
1985), hlm. 92.
13Suharto, Epistimologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun, hlm. 64.
14Wafi, Ibnu Khaldun, hlm. 149.
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
7
dun secara lengkap, sebab dengan karya ini telah membuat Ibnu
Khaldun dipandang sebagai orang besar pada abad pertengahan
yang paling sempurna meninggalkan riwayat hidupnya.15
Kitab al-Ta’rîf pada awalnya merupakan bagian akhir dari tujuh jilid kitab al-’Ibar, tetapi kemudian dipisahkan menjadi buku
tersendiri. Al-Ta’rîf telah dirampungkan oleh Ibnu Khaldun pada
tahun 797 H (1395M) sampai dengan akhir tahun 808 H (1406 M),
yakni beberapa bulan menjelang wafatnya. Sehingga karya itu
menjadi lebih tebal, lalu Ibnu Khaldun mengubah nama semula
dengan judul yang baru terhadap kitab al–Ta’rif ini dengan judul:
“Al-Ta’rîf bi Ibn Khaldun Mu’allif Hadza al-Kitab wa Rihlatuh Gharban
wa Syarqan”.16
Berdasarkan informasi dari Lisanuddin Ibnu al–Khatib selain
kitab–kitab yang telah disebutkan di atas, Ibnu Khaldun juga
menulis sekitar lima buah kitab. Kelima kitab tersebut adalah:
a. Komentar Ibnu Khaldun terhadap kitab al-Burdah karya alBusyiri;
b. Ikhtisar beberapa karya Ibnu Rusyd;
c. Beberapa uraian tentang logika;
d. Sebuah karya di bidang Aritmetika; dan
e. Ikhtisar kitab al-Muhassal karya Imam Fahruddin ar-Razi.
Tetapi karya Ibnu Khaldun tersebut di atas itu telah hilang
tidak sampai ke tangan kita. 17
Kurikulum Pendidikan Islam Perspektif Ibnu Khaldun
Secara sederhana kurikulum diartikan kumpulan subjek yang diajarkan sekolah, atau arah suatu proses belajar. Namun dalam pengertian yang lebih luas kurikulum meliputi bagaimana cara mengembangkan siswa dari segi mental, fisik, emosional, sosial, spiritual, dan
moral dengan melihat pengalaman-pengalaman sebelumhnya yang
diamati dari proses belajar mengajarnya, baik dalam ruang kelas
maupun di luar kelas.18
15Suharto,
Epistimologi Sejarah, 66.
Filsafat Sejarah, hlm. 39.
17Ali Audah, Sebuah Pengantar Ibnu Khaldun (Jakarta: Pustaka Firdaus, tt), hlm. 20-21.
18Dakir dan Sardimi, Pendidikan Islam dan ESQ Komparasi-Integratif Upaya Menuju
Stadium Insan Kamil (Semarang: Rasail Media Group, 2011), hlm. 129.
16Al-Khudairi,
8
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
Kurikulum dalam pendidikan Islam, dikenal dengan kata manhaj
yang berarti jalan yang terang yang dilalui oleh pendidik bersama
anak didiknya untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan,
dan sikap mereka.19 Selain itu, kurikulum juga dapat dipandang
sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan dan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan.20
Jika diaplikasikan dalam kurikulum pendidikan Islam, maka kurikulum berfungsi sebagai pedoman yang digunakan oleh pendidik
untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan tertinggi pendidikan Islam, melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan
dan sikap. Dalam hal ini proses pendidikan Islam bukanlah suatu
proses yang dapat dilakukan secara serampangan, tetapi hendaknya
mengacu kepada konseptualisasi manusia paripurna (insan kamil)
yang bermanfaat dan berguna bagi kehidupan sosialnya.
Adapun Pemikiran Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan
Islam dapat dilihat dari konsep-konsep epistemologinya yang akan
penulis uraikan dalam pokok pembahasan berikut.
Isi Kurikulum Pendidikan Islam Ibnu Khaldun
Salah satu komponen operasional pendidikan Islam adalah kurikulum, yang mengandung materi ajar secara sistematis sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan. Pada hakikatnya antara materi dan
kurikulum mengandung arti yang sama, yaitu bahan-bahan pelajaran
yang disajikan dalam proses kependidikan dalam suatu sistem institusional pendidikan. Seseorang yang akan membuat lesson plan tidak
cukup hanya mempunyai kemampuan membuat rumusan tujuan
pengajaran. Ia juga harus menguasai materi pengajaran, karena rumusan tujuan pengajaran itu diilhami oleh antara lain materi pengajaran.
Oleh karena itu guru harus menguasai materi pengajaran.21
Istilah materi pengajaran berarti mengorganisir bidang-bidang
ilmu pengetahuan ini satu dengan lainnya dipisah-pisahkan namun
merupakan satu-kesatuan yang utuh dan terpadu. Materi pendidikan
19Omar
Mohammad Al-Toumy A-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hassan
Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 478.
20Zakiyah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 122.
21Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulullah sampai Indonesia (Jakarta: kencana, 2009), hlm. 11.
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
9
harus mengacu pada tujuan, bukan sebaliknya tujuan mengacu
kepada suatu materi, oleh karenanya materi pendidikan tidak boleh
berdiri sendiri terlepas dari kontrol tujuannya.22
Salah satu faktor ketidakjelasan kurikulum yang terjadi dalam
sistem pendidikan modern pada mayoritas negara berpenduduk
Muslim adalah hilangnya visi hirarki pengetahuan sebagaimana yang
dapat dijumpai dalam sistem pendidikan tradisional. Padahal, dalam
tradisi intelektual Islam ada suatu hirarki dan saling hubungan antar
berbagai disiplin ilmu yang memungkinkan realisasi kesatuan dalam
kemajemukan (unity in plurality).23 Karena itu pembahasan tentang
klasifikasi ilmu menemukan relevansinya dalam konteks rekonstruksi
pendidikan Islam di negara yang berpenduduk mayoritas Islam.
Dari paparan tersebut di atas, menurut Ibnu Khaldun ada tiga
kategori kurikulum yang perlu diajarkan kepada peserta didik yaitu :
a. Kurikulum yang merupakan alat bantu pemahaman, kurikulum ini
mencakup ilmu bahasa, ilmu nahwu, ilmu balaghah, bayan, dan
sastra (adab) atau bahasa yang tersusun secara puitis (syair).
b. Kurikulum sekunder yaitu yang menjadi pendukung untuk memahami Islam, kurikulum ini meliputi filsafat dan semua ilmu pengetahuan. Termasuk di dalam kategori ilmu ini adalah ilmu mantiq
(logika), ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu-ilmu tehnik, hitung,
fisika, kimia, antropologi, kedokteran, anstronomi, sejarah, dan
tingkah laku (behavior) manusia. Termasuk juga ilmu sihir dan
ilmu nujum (perbintangan).24 Tentang ilmu nujum, Ibnu Khaldun
menganggapnya sebagai ilmu fasid (merusak), karena ilmu itu
dipergunakan untuk meramalkan segala kejadian sebelum terjadi
atas dasar perbintangan. Hal itu merupakan sesuatu yang bathil
berlawanan dengan ilmu tauhid dan syari’at agama yang
menegaskan bahwa tidak ada yang menciptakan kecuali Allah itu
sendiri.25
22M.
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta : Bumi Aksara, 2009), hlm. 77.
Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto
(Bandung: Mizan, 1986), hlm. 11.
24Arifin, Filsafat Pendidikan, hlm. 83-84.
25Ahmadie Thoha (Penj), Muqaddimah Ibn Khaldun, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000),
hlm. 682.
23Osman
10
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
c. Kurikulum primer, yaitu merupakan kurikulum yang menjadi inti
pelajaran Islam, kurikulum ini meliputi semua bidang al-‘ulûm alnaqliyah, seperti al-Qur’an, hadits, ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu
qiraat, ilmu ushul fiqih, fiqih, faraid, ilmu kalam, tasawuf dan lainlain.26
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan di atas
dapat dikelompokkan menjadi: “ilmu-ilmu agama Islam yang berdasarkan otoritas syari’at (al-‘ulûm asy-syari’iyyah al-naqliyyah), dan Ilmu
pengetahuan filosofis yang bersifat alami dan diperoleh manusia dengan kemampuan akal dan pikirannya (al-‘ulûm al-‘aqliyyat).27
Klasifikasi ilmu pengetahuan menurut Ibnu Khaldun tersebut di
atas mencerminkan buah pikiran dan pengamatannya yang sangat
cermat serta teliti dalam suatu babak sejarah bagi seorang sarjana
muslim yang ahli sejarah dan boleh dikatakan berada di luar peristiwa
sejarah tersebut.28 Lebih dari itu Ibnu Khaldun dapat diumpamakan
sebagai cahaya terang yang menyinari umat manusia sebelum memasuki zaman gelap gulita yang berlanjut berabad-abad lamanya.29
Dari klarifikasi ilmu yang telah dibuat oleh Ibnu Khaldun
tersebut, dapat diketahui dengan jelas bahwa pemikirannya tentang
kurikulum (materi pendidikan) memiliki karakteristik tersendiri, di
antaranya yaitu:
Pertama, tidak adanya pemisahan antara ilmu teoritis dengan ilmu
praktis. Karakteristik ini tampak ketika Ibnu Khaldun menjelaskan
bahwa “kebiasaan, keterampilan, atau penguasaan (malakah) yang
terbentuk dari pengajaran ilmu atau pencarian keterampilan ialah
buah dari aktivitas intelektual”.30
Kedua, adanya keseimbangan antara ilmu agama dengan ilmu
umum. Meskipun dia meletakkan ilmu agama pada tempat pertama
ditinjau dari segi kegunaannya bagi umat Islam, karena dapat
membentuk kepribadiannya untuk hidup dengan baik. Namun Ibnu
Khaldun juga menganjurkan untuk mempelajari ilmu-ilmu aqliyah,
26Toto
Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006), hlm. 172.
Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 543.
28Nasr, Sain dan Peradaban, hlm. 45.
29Rustam E. Tamburaka, Pengantar Ilmu Sejarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat dan
IPTEK (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hlm. 219-220.
30Thoha, Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 534.
27Thoha,
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
11
karena hal itu merupakan hasil dari aktivitas akal yang merupakan
pemberian tersebar dari Allah SWT kepada manusia.31
Ketiga, Ibnu Khaldun mengklasifikasikan ilmu ke dalam ilmu
syar’iyah dan ghairu syar’iyah atau naqli dan aqli, tidak dapat dipahami
bahwa dia telah memisahkan antara ilmu yang satu dengan yang
lainnya. Akan tetapi klasifikasi tersebut hanya sebatas pemilahan yang
antara ilmu tersebut tetap saling mendukung dan melengkapi.32
Penulis dapat menegaskan bahwa paradigma semacam ini jelas
menghilangkan dikotomi ilmu dalam artian pemisahan dan pertentangan antara satu dengan yang lainnya.
Tujuan Kurikulum Pendidikan Islam
Ibnu Khaldun percaya bahwa mencari ilmu pengetahuan adalah
kebutuhan pokok kehidupan manusia, karena manusia memiliki
kemampuan berpikir. Di samping itu, Ibnu Khaldun percaya bahwa
realitas harus dengan penalaran intelektual. Untuk mengetahui
realitas bagi kaum muslim adalah al-Qur’an dan al-Sunnah.
Tujuan akhir pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi
dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri sebagai hamba Allah lahir dan
bathin, di dunia dan akhirat.33 Dengan demikian ilmu pengetahuan
Islam dan tujuan hidupnya akan sejalan sesuai ajaran Islam dan akan
menolongnya untuk menjadi muslim yang baik serta anggota masyarakat yang baik pula. Sedangkan Samsul Nizar mengklasifikasikan
tentang tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun, antara lain
sebagai berikut:
a. Pengembangan kemahiran (al-malakah) dalam bidang tertentu.
Orang awam bisa meneliti pemahaman yang sama tentang suatu
persoalan dengan seorang ilmuwan. Akan tetapi potensi tidak bisa
dimiliki oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar
memahami dan mendalami suatu disiplin tertentu.
31Ibid.,
hlm. 544.
Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: Mizan,
2005), 15. Lihat juga, Muhammad Kosim, Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun:
Kritis, Humanis, dan Religius (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hlm. 81.
33Fathiyyah Hasan Sulaiman, Pandangan Ibnu Khaldun tentang Ilmu dan Pendidikan, terj.
Herry Noer Ali (Bandung: Diponegoro, 1987), hlm. 35.
32Mulyadi
12
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
b. Penguasaan keterampilan professional sesuai dengan tuntutan
zaman (lingkungan dan materi). Dalam hal ini pendidikan
hendaknya ditujukan untuk memperoleh keterampilan yang tinggi
pada potensi tertentu. Pendekatan ini akan menunjang kemajuan
dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat
manusia di muka bumi. Pendidikan yang meletakkan ketrampilan
sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai dan
mempertahankan peradaban secara keseluruhan.
c. Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir merupakan
jenis pembeda antara manusia dengan binatang. Oleh karena itu,
pendidikan hendaknya di format dan dilaksanakan dengan terlebih
dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensipotensi psikologis peserta didik. Melalui pengembangan akal, akan
dapat membimbing peserta didik untuk menciptakan hubungan
kerjasama sosial dalam kehidupannya, guna mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.34
Dari tujuan tersebut bahwa maksud kurikulum pendidikan Islam
menurut Ibnu Khaldun adalah mentransformasikan nilai-nilai yang
diperoleh dari pengalaman untuk mempertahankan eksistensi
manusia dalam peradaban masyarakat. Pendidikan adalah upaya
melestarikan dan mewariskan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat,
agar masyarakat tersebut bisa tetap eksis.35
Prinsip-prinsip Pelaksanaan Kurikulum Perspektif Ibnu Khaldun
Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pelaksanaan
kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum
yang akan menjiwai suatu kurikulum.36 Ibnu Khaldun tampaknya
juga mengemukakan beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam
pengajaran ilmu. Adapun prinsip dasar yang dijadikan sebagai landasan pemikiran Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan di latar
belakangi dari pemikirannya tentang pendidikan secara umum, di
antaranya penulis dapat mengklasifikasikan sebagai berikut:
34Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, hlm.
93-94.
35Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husein
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 107.
36Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, hlm., 150.
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
13
a. Mengajarkan materi dari yang bersifat inderawi ke yang rasional
Sebagaimana
pendapatnya
tentang
proses
berpikir,
kemampuan manusia dalam berpikir terjadi dalam tiga tingkatan.
Tingkatan yang terendah ialah al-’aql al-tamyizi yang bersifat
empiris. Sedangkan tingkatan yang kedua ialah al’aql altajribi,
dimana pada tahap ini akal telah mampu melakukan berbagai
eksperimen dan mulai mampu berpikir lebih rasional. Setelah itu,
al-‘aql al-nadzari atau berpikir spekulatif, yaitu kemampuan akal
untuk berpikir lebih abstrak dari tingkatan sebelumnya.37
Pemikiran tentang tingkatan akal ini membawa implikasi
terhadap pendidikan. Ibnu khaldun menganjurkan agar pendidik
tidak mengajarkan anak-anak pemula dengan definisi-definisi yang
rumit atau sulit serta kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, khususnya
bagi pelajar tingkat pemula. Tetapi hendaknya memulai proses
belajar mengajar dengan mendahulukan materi pelajaran yang
dapat ditangkap oleh panca indera, lalu diteruskan kepada
pelajaran yang rasional.38
Prinsip yang ditawarkan Ibnu Khaldun ini tampaknya
berkaitan dengan pentingnya penggunaan metode al-tadrîj
(bertahap) dalam mengajar.
b. Prinsip spesifikasi dan integrasi
Sebagaimana yang dijelaskan pada bagian klasifikasi ilmu, Ibnu
Khaldun telah mengemukakan berbagai macam cabang ilmu
pengetahuan. Meskipun terdapat banyak cabang ilmu, peserta
didik tidak diharuskan untuk menguasia seluruhnya. Ibnu khaldun
justru memandang perlunya spesifikasi ilmu pengetahuan. Artinya,
seorang pelajar mesti mengkhususkan kajiannya pada satu bidang
keilmuan. Sebab, menurut Ibnu Khaldun, apabila seorang pelajar
dihadapkan kepada persoalan yang banyak sekaligus niscaya ia
tidak akan sanggup memahami secara keseluruhan. Akibatnya,
otaknya akan jemu dan tidak sanggup untuk beraktivitas sehingga
bisa membuatnya meninggalkan ilmu yang sedang dipelajarinya.39
37Thoha,
Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 522-523.
Ibid., hlm. 753.
39Ibid.
38
14
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
Meskipun ibnu khaldun menganjurkan untuk mengkaji ilmu
pengetahuan secara khusus, bukan berarti ilmu yang lain
diabaikan. Dia malah berpendapat bahwa pelajar yang telah
menguasai suatu disiplin ilmu maka dia akan lebih siap untuk
menggunaka keahliannya dalam memahami cabang ilmu yang lain,
di samping keahliannya akan meningkat lebih tinggi lagi sehingga
pemahamannya terhadap ilmu pengetahuan secara menyeluruh
akan tercapai.40
c. Prinsip kontinuitas dalam penyajian materi
Ibnu khaldun juga berpendapat bahwa setiap pendidik
seharusnya memperhatikan prinsip kontinuitas dalam menyajikan
materi pelajaran. Dengan demikian antara penyajian suatu materi
ke materi lainnya hendaknya tidak ada jarak waktu yang terlalu
lama, sebab hal itu dapat menyebabkan murid lupa terhadap
materi-materi sebelumnya.41 Hal ini sesuai dengan apa yang
diungkapkan Ibnu Khaldun bahwa; “Jika terjadi selang waktu yang
cukup lama akan memberi peluang munculnya sifat pelupa kepada
pelajar sehingga menceraiberaikan dan membuat terputusnya
berbagai bagian ilmu yang sedang dipelajari, sehingga keahlian
dalam bidang ilmu yang bersangkutan sulit untuk diperoleh”.42
d. Tidak mencampuradukkan antara dua ilmu pengetahuan dalam
satu waktu
Ibnu khaldun menegaskan, seorang guru agar tidak mencampuradukkan antara dua ilmu pengetahuan dalam satu waktu
sekaligus. Menurutnya, mengajarkan dua atau lebih ilmu
pengetahuan dalam satu waktu hanya akan membingungkan bagi
peserta didik. Sebab metode seperti itu akan sukar sekali dikuasai
oleh peserta didik dan perhatiannya akan terbagi serta dapat
terganggu antara satu ilmu dengan yang lainnya.43
e. Menghindari kekerasan terhadap murid dalam mengajar
Ibnu Khaldun menganjurkan kepada guru untuk tidak menggunakan kekerasan dan kasar dalam mengajar. Dia menjelaskan
40Thoha,
Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 749-753.
Pemikiran Pendidikan Islam, hlm. 100.
42 Thoha, Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 753.
43Ibid.
41Kosim,
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
15
dalam kitab Muqaddimah-nya bahwa:” Hukum yang keras di dalam
pengajaran (ta’lim), berbahaya pada murid khususnya bagi anakanak kecil. Karena itu termasuk tindakan yang dapat menyebabkan
timbulnya kebiasaan buruk. Kekasaran dan kekerasan dalam
pengajaran, dapat mengakibatkan dan mencegah perkembangan
pribadi anak yang bersangkutan. Kekerasan membuka jalan ke arah
kemalasan dan keserongan, penipuan serta kelicikan, yang pada
gilirannya akan merusak sifat kemanusiaannya.”44
Meskipun demikian, Ibnu Khaldun juga membolehkan
memberikan sanksi, tetapi sanksi tesebut bersifat edukatif. Hal ini
dapat dianalisa dari pendapat Muhammad bin Abi Sayd yang
berkenaan dengan hubungan guru dan murid, yang dikutip oleh
Ibnu Khaldun bahwa: “apabila anak-anak terpaksa dipukul, guru
hendaknya tidak memukul mereka lebih dari tiga kali”.45
f. Mempelajari ilmu alat sebaiknya tidak menjadi tujuan utama
Ibnu khaldun memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu
alat, seperti bahasa arab sebagai alat untuk memahi kandungan alQur’an, tetapi Ibnu Khaldun menegaskan agar tidak menjadikan
ilmu alat tersebut sebagai tujuan utama. Lebih lanjut dia mengatakan: “Ilmu-ilmu yang merupakan alat bagi berbagai ilmu yang
lain, seperti ilmu bahasa arab, logika, dan sebagainya, seharusnya
dipelajari hanya sebagai alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan
yang lainnya. Pembahasan dan analisis yang panjang lebar
mengenainya tidak perlu diadakan, karena akan menjauhkan
pelajar dari tujuan ilmunya sendiri. Sebab, tujuan yang sebanarnya
hanyalah sebagai alat belaka, bukan untuk tujuan lainnya. Sejauh
ilmu alat itu menyimpang dari fungsinya sebagai alat, sejauh itu
pula ia keluar dari tujuannya itu.”46
Prinsip-prinsip dalam pelaksanaan dan pengembangan kurikulum yang telah dikemukakan Ibnu Khaldun di atas sungguh
sangat brilian, di mana saat tokoh-tokoh lain terutama pada zaman-
44Ibid.,
hlm. 763.
hlm. 764.
46Ibid., hlm. 758.
45Ibid.,
16
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
nya belum sampai pada kajian ini, dia dengan sangat yakin
menjelaskan pemikirannya.47
Bahkan menurut analisis penulis hasil pemikiran Ibnu Khaldun
secara keseluruhan dan secara khusus masih relevan terhadap
kajian-kajian pengembangan kurikulum saat ini. Berikut kajian
tentang prinsip-prinsip pengembangan kurikulum modern yang
masih sangat relevan dengan hasil pemikiran Ibnu Khaldun.
1) Prinsip relevansi; secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara komponen-komponen kurikulum (tujuan, bahan,
strategi, organisasi dan evaluasi). Sedangkan secara eksternal
bahwa komponen-komponen tersebut memiliki relevansi
dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi
epistemologis), tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi
psikologis) serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan
masyarakat (relevansi sosilogis).
2) Prinsip fleksibilitas; dalam pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur dan
fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya
penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi
tempat dan waktu yang selalu berkembang, serta kemampuan
dan latar bekang peserta didik.
3) Prinsip kontinuitas; yakni adanya kesinambungandalam kurikulum, baik secara vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus
memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam tingkat
kelas, antar jenjang pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan.
4) Prinsip efisiensi; yakni mengusahakan agar dalam pengembangan
kurikulum dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan sumberyang ada secara cermat dan tepat sehingga hasilnya memadai.
5) Prinsip efektivitas; yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang
mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.48
6) Prinsip universal (menyeluruh, totalitas, dan menyeluruh).49
47A.
Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 51.
Pengembangan Kurikulum, hlm. 150-154.
48Sukmadinata,
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
17
Dengan demikian, berdasarkan hasil analisis penulis tentang berbagai konsep kurikulum pendidikan Islam di atas, dapat dipahami
secara teoritis adanya relevansi antara kurikulum yang di gagas oleh
Ibnu Khaldun dengan kurikulum yang dikembangkan dalam pendidikan Islam di Indonesia. Sebagai contoh klasifikasi ilmu sebagaimana
yang telah dirumuskan oleh Ibnu Khaldun juga terjadi dalam
pendidikan Islam di Indonesia. Jika Ibnu Khaldun membagi ilmu
secara garis besar ke dalam dua bentuk, al-‘ulūm al-naqliyyah dan al‘ulūm al-‘aqliyah, maka di Indonesia juga dibagi dalam dua bentuk,
yaitu ilmu agama dan ilmu umum. Kedua bentuk ilmu ini menjadi bagian dalam kurikulum pendidikan Islam di Indonesia
Landasan Normativitas dan Historisitas dalam Kurikulum Pendidikan Islam
Landasan normativitas dalam kurikulum pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun dapat dipahami bahwa, peserta didik terjun ke masyarakat dengan dilandasi oleh internalisasi ajaran dan nilai-nilai
Islam, yang mengandung makna bahwa setiap langkah dan tahap
kegiatan yang hendak dilakukan di masyarakat selalu dilandasi oleh
niat yang suci untuk menjunjung tinggi ajaran dan niali-nilai
fundamental Islam sebagaimana yang tertuang dan terkandung dalam
Al-Qur'an dan Sunnah atau hadits Rasulullah SAW, serta berusaha
membangun (kembali) masyarakat atas dasar komitmen, loyalitas, dan
dedikasi sebagai pelaku (actor) terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam
tersebut.50
Sementara ditinjau dari segi landasan historistas menurut Ibnu
Khaldun bahwa: “ilmu pengetahuan dan pengajaran merupakan hal
yang alami dalam peradaban manusia, hal itu ditandai dengan adanya
tradisi pengajaran ilmu dari satu generasi ke generasi berikutnya”.51
Islam telah memiliki tradisi yang kuat di bidang ilmu pengetahuan di masa lampau, kesaksian sejarah telah diberikan untuk itu,
dengan munculnya para ilmuan dan penemu yang berasal dari
49Nik
Haryati, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Bangung: Alfabeta,
2011), hlm. 51.
50Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidian Agama Islam Di Sekolah, Madrasah, Dan
Perguruan Tinggi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 175
51Thoha, Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 534.
18
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
peradaban Islam. Tidak hanya itu saja banyak sejarawan ilmu (science
historians) yang menyebut peradaban di zaman keemasannya “peradaban ilmu”, sehingga tidak ada bidang ilmu pengetahuan terkenal
pada waktu itu yang tidak memiliki pemuka-pemuka dari kalangan
kaum Muslim. Bahkan banyak cabang dan bidang baru dalam ilmu
pengetahuan, yang telah dirintis dan diciptakan oleh para sarjana
muslim, demikian pula beberapa pokok cabang yang dikemudian
harinya dinamakan ilmu pengetahuan modern itu, sebenarnya telah
dirintis oleh para ilmuan muslim seperti sosiologi dan filsafat sejarah
yang dirintis oleh Ibnu Khaldun.52
Kurikulum pendidikan Islam pada waktu dulu tidak terikat
dengan sekian jam untuk suatu mata pelajaran dalam seminggu
seperti halnya sekarang ini, tetapi pelajaran dulu sifatnya umum
dimana guru mempunyai kebebasan memilih buku dan bahan
pelajaran yang akan diajarkannya.53 Sedangkan dalam pendidikan
modern dewasa ini, pembawaan dan keinginan seorang anak sangat
diperhatikan.54
Dalam membahas kurikulum pendidikan, Ibnu Khaldun telah
berbicara panjang lebar tentang pendidikan, dan dapat dianggap
pembicaraanya itu sesuai dengan kejadian yang sebenarnya.
Kebenaran apa yang telah diungkapkannya bukanlah keadaan
pendidikan yang terjadi pada masanya saja, yaitu pada abad ke empat
belas dan kelima belas, akan tetapi sesuai dengan keadaan pendidikan
beberapa abad sebelumnya, karena salah satu ciri dari pendidikan
Islam yaitu memelihara tradisi yang telah ada dalam mendidik anakanak. Ibnu Khaldun melalui pembicaraannya dengan menunjukkan
pentingnya mengajarkan al-Qur’an bagi anak-anak, kemudian Ibnu
Khaldun menyebutkan sebab-sebab yang menarik perhatian orangorang kepada mata pelajaran ini, yaitu mengajarkan al-Quran itu
52Ahmad
Busyairi dan Azharudin Sahil, Tantangan Pendidikan Islam (Yogjakarta:
Lembaga Press Mahasiswa UII, 1987), hlm. 57.
53Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, terj. M.
Arifin (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), hlm. 159.
54M. Athiyah al-Abraysi Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. Bustami A. Gani
(Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 160.
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
19
adalah titik permulaan dan dasar pendidikan yang terisi dalam
seluruh kurikulum pendidikan Islam.55
Bahkan Ibnu Khaldun sempat mengkritisi kurikulum pendidikan
yang berlaku di kawasan dunia Islam antara lain Maghribi, Andalusia,
Ifriqiyah dan orang-orang Timur, Ibnu Khaldun melalui pengalamannya memandang bahwa kurikulum pendidikan yang ditawarkan oleh
Qodli Abu Bakar bin al-‘Arabi sebagai kurikulum pendidikan yang
baik. Abu Bakar bin al-‘Arabi dalam kitab “Rihlah”nya menasehatkan
agar kurikulum yang pertama kali diajarkan kepada peserta didik
adalah Bahasa Arab dan Syair paling depan mendahului semua ilmuilmu yang lain. Syair dan Filologi Bahasa Arab hendaknya diajarkan
lebih dahulu, kemudian peserta didik melanjutkan belajar Ilmu Hitung
Aritmatika secara terus-menerus hingga mengenal rumus-rumusnya.
Selanjutnya, diteruskan dengan mempelajari al-Qur’an. Al-Qur’an
jangan diajarkan di permulaan, karena hal ini akan membuat mereka
membaca apa yang tidak dimengertinya, yang pada gilirannya kurang
paham terhadap bacaannya. Setelah itu baru peserta didik mempelajari prinsip-prinsip Islam, seperti: ilmu kalam, fiqih, ushul fiqih, ilmu
hadits, ilmu debat dan ilmu-ilmu lainnya. Menurut Ibnu Khaldun, apa
yang ditawarkan oleh Abu Bakar bin al-Arabi ini yaitu tidak mendahulukan belajar al-Qur’an akan membuat mereka tidak mengalami
keterputusan ilmu karena mempelajarinya secara utuh. Alasan pendapat yang mendahulukan belajar al-Qur’an adalah masalah barakah
dan pahala dari Tuhan itu kurang tepat. Padahal selama peserta didik
tinggal di rumah, selama itu pula orang tuanya diberi otoritas untuk
mengajarkan al-Qur’an kepadanya.56
Dari pernyataan Ibnu Khaldun tersebut penulis dapat menegaskan
bahwa merupakan kewajiban orang tua sebagai pendidik yang
pertama dan utama di rumah dalam mengajarkan al-Qur’an kepada
anak-anaknya. Sementara dalam lembaga pendidikan di samping
mengajarkan al-Qur’an juga sangat penting diajarkan pula ilmu-ilmu
yang dapat membantu anak dalam memahami dan mendalami alQur’an. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan Ibnu Khaldun,
55Ali
Ashraf, Horizon Baru Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar (Jakarta : Pustaka Firdaus,
1996), hlm. 32.
56Thoha, Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 762-763.
20
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
bahwa: ”Ketahuilah, mengajar anak-anak mendalami al-Qur’an
merupakan suatu simbol dan pekerti Islam. Orang Islam memiliki alQur’an dan mempraktekkan ajarannya, dan menjadikannya
pengajaran (ta’lim), di semua kota mereka, hal itu akan mengilhami
hati dengan suatu keimanan, dan memperteguh keyakinan kepada alQur’an dan matan-matan hadits. Al-Qur’an menjadi dasar ta’lim, dan
fondasi bagi semua keahlian yang diperoleh kemudian. Sebab, hal-hal
yang diajarkan kepada seorang anak akan mengakar lebih dalam dari
apapun juga, dan menjadi dasar bagi semua pengetahuan yang
diperoleh setelah itu. Pengaruh kesan pertama yang diterima hati
merupakan fondasi bagi semua tradisi ilmiah. Karena keadan fondasi
menentukan kondisi bangunan. Meteode-metode kaum muslimin
dalam mengajarkan ta’lim al-Qur’an kepada anak-anak berbeda-beda
sesuai perbedaan pendapat mengenai berbagai keahlian yang timbul
dari pengajaran tadi”.57
Landasan Filosofis dan Sosiologis dalam Kurikulum Pendidikan
Islam
Ibnu Khaldun berbeda dengan pemikir filosof pada umumnya,
karena dia tidak hanya melihat manusia pada segi kepribadian atau
akalnya, tapi manusia dalam hubungan dan interaksinya dengan
masyarakat. Sebagai seorang sosiolog, dia lebih realis dan sosiologis
dalam memandang sesuatu, namun sebagai filosof, pemikiran filosofisnya juga tidak dipungkiri.58 Ibnu Khaldun menyatakan bahwa
manusia adalah makhluk berpikir. Hal ini yang membedakannya dari
hewan dan makhluk lainnya. Kesanggupan berpikir ini merupakan
sumber dari segala kesempurnaan, puncak dari segala kemuliaan, dan
ketinggian di atas makhluk lain. Sementara hewan, hanya memiliki
kemampuan mengindra (Idrak) yaitu kasadaran subjek akan sesuatu
yang ada di luar dirinya, karena adanya indera pendengar, pencium,
penglihat, perasa, dan pengecap.
Kurikulum pendidikan Islam berbasis sosial sangat memperhatikan hubungan kurikulum dengan sosial masyarakat dan politik
57Ibid.,
hlm. 759.
Pendidikan Islam dalam Perspektif filosofis (Pamekasan: Stain Pmk Press,
2009), hlm. 77-78.
58Siswanto,
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
21
perkembangan ekonomi. Kurikulum ini lebih memusatkan perhatian
pada problema-problema yang dihadapi dalam masyarakat, untuk
selanjutnya dengan memerankan ilmu-ilmu dan teknologi, serta
bekerja secara kooperatif dan kolaboratif, akan dicarikan upaya
pemecahannya menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik. 59
Dari segi kehidupan sosial, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa
ilmu dan pengajaran sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf
hidup masyarakat manusia ke arah yang lebih baik. Semakin dinamis
budaya suatu masyarakat, maka akan semakin bermutu dan dinamis
pula keterampilan di masyarakat tersebut. Oleh karenanya, manusia
berusaha memperoleh ilmu dan keterampilan dalam masyarakat
sebanyak mungkin, sebagai salah satu cara membantunya untuk dapat
hidup dengan baik dalam masyarakat yang dinamis dan berbudaya.
Dengan demikian, eksistensi pendidikan merupakan suatu saran yang
dapat membantu individu dan masyarakat menuju kemajuan dan
kecemerlangan. Selain itu, pendidikan juga bertujuan mendorong
terciptanya tatanan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. 60
Namun demikian, antara pendidikan dengan kehidupan sosial
memiliki kaitan yang sangat erat. Menurut Ibnu Khaldun, aktivitas
ilmiah dan pendidikan hanya akan berkembang di kota-kota dan
masyarakat yang memiliki peradaban yang berkembang pesat. Ketika
peradaban suatu masyarakat hancur, maka aktivitas ilmiah pun akan
sirna dan berpindah ke kota-kota lain.61
Menurut Ibnu Khaldun manusia memiliki perbedaan dengan
makhluk lainnya khususnya binatang, karena manusia di samping
memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidup, juga memiliki sikap hidup bermasyarakat
yang dapat membentuk suatu masyarakat antara yang satu dengan
yang lainnya saling tolong menolong. Dari keadaan yang demikian ini
maka timbullah kurikulum dan masyarakat, pemikiran tersebut pada
suatu saat diperlukan dalam menghasilkan sesuatu yang tidak dapat
59Oemar
Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 143.
60Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam; Mengenal Tokoh
Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm.
21-22.
61Thoha, Muqaddimah Ibn Khaldun, hlm. 542.
22
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
dicapai oleh panca indera, ilmu yang demikian mestinya diperoleh
dari orang lain yang telah lebih dahulu mengetahui. Orang yang
demikian ini disebut sebagai pendidik (guru). Agar proses pencapaian
ilmu yang disampaikan itu menjadi baik maka perlu diselenggarakan
kegiatan pendidikan.62
Dalam proses pencarian ilmu pengetahuan biasanya dilakukan
oleh individu atau kelompok yang terkonsentrasi di wilayah yang
relatif lebih maju (kota) dimana kecenderungan di suatu kota akan
munculnya kompetisi untuk mencari sesuatu yang dianggap lebih
baik dan lebih mendukung.63
Kalau diperhatikan landasan kurikulum dari segi sosiologis
menurut Ibnu Khaldun tersebut di atas, tampak jelas bahwa hubungan
antara kurikulum dan kehidupan sosial adalah hubungan saling
mempengaruhi. Kurikulum pendidikan yang baik menyebabkan kehidupan sosial menjadi maju, sebaliknya kehidupan sosial yang maju
bisa memicu peningkatan ilmu pengetahuan/ kurikulum. Ibnu
Khaldun memandang banyaknya kemajuan dalam masyarakat, serta
perhatian individu dan masyarakat terhadap pencapaiannya,
merupakan bukti kemajuan dan keberbudayaan masyarakat.
Sementara secara filosofis dinyatakan bahwa akal manusia yang
merupakan karunia Allah membedakannya dari hewan, bekerja dan
aktif menurut tabi’atnya sehingga secara bertahap lahirlah ilmu dan
industri. Hanya saja akal insani ini tidak akan dapat mencapai puncak
keaktifan dan kesempurnaan, kecuali di dalam masyarakat berbudaya
yang di sana telah mendapatkan lapangan untuk bekerja dan berlatih,
sehingga bertambahlah kemampuan akal untuk bekerja, berproduksi
dan mencipta.
Penutup
Latar belakang yang demikian unik dari sosok Ibnu khaldun
memunculkan pemikiran pendidikan yang sangat istimewa dan
brilian. Hal ini tercermin dari pandangannya tentang kemuliaan
manusia dari sudut akalnya. Ibnu Khaldun mengakui akal sebagai
62Ibid,
hlm. 174-175.
Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), hlm. 103-
63Ahmad
104.
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
23
sumber otonom bagi pengetahuan, keterampilan, keahlian dan
menjadikan pencarian kebenaran yang mampu mengantarkan
manusia kepada kesempurnaan eksistensinya sebagai hamba Allah
yang pada hakikatnya diciptakan sebagai makhluk yang mulia serta
mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifahNya di muka bumi, di samping itu, Ibnu Khaldun sebagai seorang
sosiolog, melihat manusia tidak hanya pada segi kepribadian atau
akalnya saja, akan tetapi manusia dalam hubungan dan interaksinya
dengan masyarakat. Namun sebagai filosof, dia menyatakan bahwa
yang membedakan manusia dari binatang adalah berpikir, dan dari
berpikir inilah timbullah ilmu pengetahuan.
Konsep Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan Islam dapat
dilihat dari apresiasinya terhadap ragam ilmu yang menjadi saran
pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Dari konsep epistemologinya
dia mengatakan bahwa ilmu pengetahuan dalam peradaban umat
Islam dapat diklasifikasikan menjadi: “ilmu-ilmu agama Islam yang
berdasarkan otoritas syari’at (al-‘ulum asy-syari’iyyah an-naqliyyah), dan
Ilmu pengetahuan filosofis yang bersifat alami dan diperoleh manusia
dengan kemampuan akal dan pikirannya (al-‘ulum al-‘aqliyyat).
Adapun kurikulum yang dipandang baik untuk mencapai tujuan
pendidikan adalah yang bersifat integratif dan komprehensif baik dari
segi normativitas, historisitas, filosofis, dan sosiologis. Wa Allâh a’lam
bi al-Shawâb.*
Daftar Pustaka
Abraysi, M. Athiyah (Terj). Bustami A. Gani. Dasar-Dasar Pokok
Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Ashraf, Ali. Horizon Baru Pendidikan Islam. Terj. Sori Siregar. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1996.
Audah, Ali. Sebuah Pengantar Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka Firdaus, tt.
Arifin, Muzayyin. Ilmu pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
24
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, terj.
Mansuruddin dan Ahmadi Thoha. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
Dakir, Sardimi. Pendidikan Islam dan ESQ Komparasi-Integratif Upaya
Menuju Stadium Insan Kamil. Semarang: Rasail Media Group, 2011.
Departemen Agama RI. al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, 2004.
Daradjat, Zakiyah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Fakhry, Madjid (Terj) R. Mulyadhi Kartanegara. Sejarah Filsafat Islam.
Jakarta: Pustaka Jaya, 1986.
Ghofur, Abd. Ibnu Khaldun: Pendidikan Islam dalam Konteks Manajemen
Berbasis Sekolah. Surabaya: Amantara, 2011.
Haryati, Nik. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam.
Bangung: Alfabeta, 2011.
Ibn Khaldun, Abdurrahman. Muqaddimah Ibn Khaldun. Beirut: Dar alKitab al-Ilmiyah, 1993.
Ibn Khaldun/ Penerjemah Ahmadie Thoha. Muqaddimah. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000.
Kosim, Muhammad. Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun: Kritis,
Humanis, dan Religius. Jakarta: Rineka Cipta, 2012.
Khudhairi, Zainab (Terj) Ahmad Rofi’. Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun.
Bandung: Pustaka Utsmani, 1987.
Kartanegara, Mulyadi. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik.
Bandung: Mizan, 2005.
Langgulung, Hasan. Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke 21. Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1998.
Madjid, Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1994.
Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri jejak Sejarah
Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. Jakarta: kencana, 2009.
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
25
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan
Praktis. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
2001.
Ramayulis dan Samsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam;
Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia.
Jakarta: Quantum Teaching, 2005.
Suharto,Toto. Epistimologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun. Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2003.
Syar’i, Ahmad. Filsafal Pendidikan Islam. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2005.
Shiddiqi, Nourouzzaman. Menguak Sejarah Muslim Suatu Kritik
Metodologis. Yogyakarta : PLP2M, 1984.
Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Pengembangan Kurikulum Teori dan
Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
Susanto, A. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah, 2009.
Siswanto. Pendidikan Islam dalam Perspektif filosofis. Pamekasan: Stain
Pmk Press, 2009.
Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy. Falsafah Pendidikan Islam.
Terj. Hassan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Thoha, Ahmadie (Penj). Muqaddimah Ibn Khaldun. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2000.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010.
Wafi, Ali Abdul Wahid. Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya. Terj.
Ahmadi Thoha. Jakarta: Grafiti Pers, 1985.
26
Tadrîs Volume 7 Nomor 2 Desember 2012
Download