Pemimpin Berkualitas Bisa Merasa, Bukan Merasa Bisa Sofyan Badrie Indonesia makin demokratis. Tapi kian berkualitaskah hasil demokrasinya? Para pemimpin Indonesia masih harus belajar banyak dari Nelson Mandela. Saat ini Indonesia sedang menghadapi tantangan besar, apakah demokrasi dapat membawa bangsa ini pada kemajuan dan kejayaan, ataukah sebaliknya justru menjerumuskan pada pertikaian dan keterpurukan. Menurut Prof Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah, demokrasi sebenarnya hanya sebuah cara yang saat ini dianggap paling fair untuk melahirkan kepemimpinan. ”Tapi kita sering dihadapkan pada realitas proses demokrasi ternyata tak selalu melahirkan kepemimpinan yang baik dan memuaskan rakyat,” kata Bang Din, sapaan akrab mantan ketua Jurusan Perbandingan Agama Institut Islam Agama Islam (IAIN), kini Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu, kepada Qalam. Din mengakui, demokrasi di Indonesia memang masih hanya sekedar sebuah prosedur. Sementara dari segi kualitas masih belum terlalu menjanjikan. Kepemimpinan yang dilahirkan proses demokrasinya masih tidak berkualitas, dan tidak menjamin lahirnya kepemimpinan ideal. Tapi, imbuh Din, kita tak boleh putus asa untuk mencobanya dengan penuh kesabaran. ”Sebab, kualitas demokrasi akan sangat ditentukan oleh seberapa besar kedewasaan masyarakat yang terlibat,” tegasnya. Oleh karena itu, pengasuh Pengajian Orbit ini menegaskan, umat Islam Indonesia wajib mengawal demokrasi agar semakin dewasa dan berkualitas. Sebab, dalam Islam kepemimpinan merupakan tindakan fardlu khifâyah yang harus diupayakan. Bahkan, jika ada dua orang Muslim bepergian, diwajibkan untuk menentukan dari salah satu di antara keduanya sebagai pemimpin. Dan menjadi salah, jika umat Islam tak peduli atau lari dari tanggungjawab kepemimpinan. Tapi, jangan pula mereka terjebak dalam motivasi kepemimpinan yang salah. Menurut Din, ada dua referensi yang dapat selalu kita jadikan rujukan dalam melihat motivasi kepemimpinan. Pertama, model Abu Dzar al-Ghifari yang oleh Rasulullah SAW ditolak ketika meminta jabatan. Karena Rasulullah tahu bahwa Abu Dzar tak akan mampu mengenban amanah itu. Kedua, model Nabi Yusuf AS yang menawarkan diri untuk menjadi bendaharawan negeri Mesir, karena menyadari kemampuan dirinya untuk menyelamatkan Mesir dari paceklik panjang dan kebangkrutan (krisis multidimensi). Dari sini jelaslah, motivasi kepemimpinan harus selalu dikembangkan atas dasar “sikap bisa merasa”, bukan “sekedar merasa bisa”. Oleh karena itu, siapa saja anak bangsa yang ingin tampil dalam kepemimpinan nasional, di manapun dan apapun levelnya, harus menyadari bahwa memimpin adalah untuk berkhidmat demi umat dan rakyat. Sebab, kepemimpinan adalah amanah yang harus dijalankan dengan baik. Dan Allah SWT akan meminta pertanggungjawabannya. Jangan Modal Ambisi Sementara menurut Faturochman, peneliti Puslit Kependudukan UGM Yogyakarta, menjadi pemimpin tidaklah mudah. Dan lebih sulit lagi untuk menjadi pemimpin yang baik. ”Sayangnya, banyak orang tidak menyadari bahwa mereka tidak layak menjadi seorang pemimpin. Ambisi besar malah sering menjadi modal satu-satunya,” ujar dosen Fakultas Psikologi UGM ini. Pemimpin yang demikian tentu akan menggunakan cara-cara kurang terpuji guna mencapai puncak tujuan. Ia akan sulit menjadi teladan yang baik. Karena, melalui jalur legal dan benar saja belum menjadi jaminan untuk bisa menjadi teladan. Terlebih sebagai pemimpin, setiap saat ia akan disorot dan diuji untuk menjadi teladan. Sebalik cacat saja akan mengakibatkan banyak reaksi negatif mengalir kepadanya. ”Keteladanan seorang pemimpin bisa dipahami dengan konsep belajar sosial yang banyak dibahas dalam psikologi,” papar Faturochman. Menurut konsep belajar sosial, untuk menjadi teladan, pemimpin harus benar-benar bisa menjadi pusat perhatian yang positif dan menarik. Perhatian masyarakat terhadap pemimpinnya, akan banyak menimbulkan proses psikologis masyarakat. Ucapan dan perilakunya akan banyak dijadikan referensi. Bila kebijaksanaan-kebijaksanaan para pemimpin itu menguntungkan anggota masyarakat, itu menjadi reward untuk menguatkan anggapan dan perilaku yang terbentuk. Dengan demikian, keteladanan yang terbentuk akan menjadi sangat kuat terhadap masyarakat. Dan pemimpin yang mempunyai hubungan psikologis erat dengan anggota masyarakat, cenderung akan banyak mendapat toleransi bila sekalipun ia melakukan kekeliruan. Lebih jauh Faturochman mengungkapkan, masyarakat yang meneladani pemimpin, berarti mereka mengidentikasi diri seperti para pemimpinnya. Menurut Herbert Kelman (1961), identifikasi diri merupakan puncak dari kompromi dan kepatuhan terhadap pemimpin. Bila anggota masyarakat telah mengidentifikasi (baca: meneladani) pemimpinnya, maka apapun yang dilakukan dan diinginkannya akan dituruti. Namun untuk mencapai pada tingkat keteladanan yang tinggi, bukan hal yang mudah. Karena, untuk sekedar kompromi dan patuh kepada pemimpin, tak perlu sampai perlu meneladaninya. Seringkali, pemimpin hanya ingin anggota yang dipimpinnya mengikuti berbagai aturan yang ia buat. Dengan kata lain, ia hanya ingin anggota masyarakat patuh kepadanya. Keadaan ini merupakan pola terentan dalam hubungan pemimpin dan yang dipimpin. Kepatuhan yang lemah ini, biasanya hanya digunakan untuk mendapatkan keuntungan dan menghindari sanksi. Bila tak ada sanksi, mereka akan berbuat seenaknya. Seperti pola hubungan ABS alias asal bapak senang. Di depan mereka patuh, namun di belakang mereka mencibir. Boks 8 Pelajaran dari Nelson Mandela Mendengar kata ”politikus”, banyak orang sontak mendadak mual. Yang terbayang adalah monster-monster yang merampok uang negara. Tak heran jika Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan (Afesl), terlihat bagai seorang suci (santo) di dunia politik yang kotor. Ia mampu membawa Afsel yang apartheid menuju ranah demokrasi. Banyak orang di dunia mengagungkan tokoh ini. Lantas, apa rahasia kepemimpinannya? Wawancara terbaru Mandela dengan Majalah TIME mengungkap delapan prinsip kepemimpinannya yang patut ditiru semua pemimpin di dunia ini.