BAB II LANDASAN TEORI A. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat dicegah dan
diobati, ditandai hambatan aliran udara persisten, progresif, dan berhubungan dengan
peningkatan respons inflamasi kronik saluran napas dan paru terhadap berbagai partikel atau
gas beracun. Eksaserbasi dan komorbid berpengaruh terhadap keparahan penyakit (Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2016; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2011). Mayoritas kasus PPOK di negara berpendapatan tinggi dihubungkan dengan merokok,
sedangkan kejadian PPOK di negara berpendapatan rendah dikaitkan dengan pajanan polusi
udara (Barnes, 2014).
Merokok merupakan faktor risiko utama PPOK di dunia, namun sekitar 15-20%
berkembang menjadi PPOK, hal ini menunjukkan ada keterlibatan faktor risiko lain yaitu
genetik, pajanan polutan berbahaya baik di dalam dan luar lingkungan, usia tua, dan beban
sosial ekonomi rendah yang menjadi modifikasi faktor risiko individu menjadi PPOK
(Brashier and Kodgule, 2012). Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian diisap
asapnya, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Asap rokok mengandung
lebih dari 4000 substansi yang teridentifikasi termasuk bahan yang secara farmakologik
bersifat antigenik, sitotoksik, mutagenik, dan karsinogenik (Brashier and Kodgule, 2012;
Rennard et al, 2008).
1. Patogenesis PPOK
Patogenesis PPOK dikaitkan dengan proses perubahan yang kompleks pada struktur
jaringan di saluran napas baik besar, kecil, parenkim, dan pembuluh darah paru. Pajanan asap
rokok menyebabkan sejumlah mekanisme terlibat dalam patogenesis PPOK. Inflamasi
diyakini berperan penting dalam patogenesis PPOK (Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease, 2016; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011; Alexandre and
Penque, 2013). Hipotesa inflamasi berasal dari inhalasi asap rokok menyebabkan penarikkan
sel imun ke dalam saluran napas dan paru. Produk yang diakibatkan oleh asap rokok dan sel
imun menimbulkan respons imflamasi berkepanjangan yang berdampak pada kerusakan
epitel saluran napas dan jaringan paru, menurunnya mekanisme pertahanan paru, serta
menggangu meperbaikan jaringan paru (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease, 2016; Senior and Atkinson, 2008; Sarker, 2014).
Mekanisme kedua ketidakseimbangan antaraoksidan dan antioksidan. Radikal bebas
adalah oksidan yang tidak mempunyai elektron tidak berpasangan sehingga cendrung untuk
menarik elektron lain.Sumber oksidan (ROS/RNS) pada PPOK dapat berasal dari luar
lingkungan seperti asap rokok dan polusi udara, sedangkansumber oksidan endogen berasal
dari metabolisme aerob selular berupa respirasi mitokondria dan nicotinamine adenine
dinucleotide phosphate (NADPH). Peningkatan beban ROS/RNS eksogen dan endogen yang
tidak diimbangi dengan pertahanan antioksidan endogen menyebabkan terjadinya fenomena
disebut stres oksidatif (Alexandre and Penque, 2013; Senior and Atkinson, 2008; Sarker,
2014). Stres oksidatif berperan mengatur beberapa proses penting antara lain meningkatkan
respons inflamasi, menurunkan pertahanan antioksidan endogen, aktivasi protease dan
inaktivasi antiprotease, serta proses apoptosis. Stres oksidatif juga menurunkan efek
kortikosteroid akibat menurunnya kadar enzim HDAC. Proses tersebut dikaitkan dengan
aktivasi jalur signal intraselular meliputi aktivasi faktor transkripsi utama NFκB (Senior and
Atkinson, 2008; Sarker, 2014; Durackova, 2010).
Mekanisme ketiga, suatu hipotesa menyatakan emfisema paru pada PPOK disebabkan
oleh ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease. Peningkatan aktivitas protease
menyebabkan kerusakan matriks ekstraselular, tanpa matriks sel epitel dan kompartemen unit
alveolar rusak berdampak pada terjadainya emfisema paru. Peningkatan aktivitas protease
merupakan konsekuensi inflamasi abnormal dengan melepaskan pelepasan enzim proteolitik
oleh sel inflamasi seperti makrofag dan netrofil, serta diperkuat oleh oleh faktor genetik
defisiensi α1AT. Mekanisme apoptosis sel epitel dan endotel alveolar pada PPOK disebabkan
oleh hambatan reseptor atau menurunnya ekspresi regulasi produksi genvascular endothelial
growth factor (VEGF). Ketidakseimbangan apoptosisdan pertumbuhan sel epitel dan
endotelalveolar berkontribusi pada kerusakan jaringan parenkim paru (Senior and Atkinson,
2008; Sarker, 2014). Mekanisme patobiologi pada PPOKdijelaskan pada Gambar 1 (Sarker,
2014).
Gambar 1. Mekanisme patobiologi PPOK.
Dikutip dari (Sarker, 2014)
a. Inflamasi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) ditandai dengan respons inflamasi abnormal
dengan melibatkan sejumlah sel imun dalam saluran napas besar, kecil, dan paru. Hipotesa
inflamasi pada PPOK berasal dari pajanan asap rokok dan zat iritan lain menginduksi sel
imun masuk kedalam saluran napas dan paru, dimana produk sel imun menyebabkan
kerusakan jaringan dan mengganggu mekanisme perbaikan paru (Senior and Atkinson, 2008).
Inflamasi dan respons imun berperan pada perkembangan dan progresifitas PPOK. Inflamasi
PPOK terjadi saat stabil dan eksaserbasi. Amplifying inflamasi kronik terjadi saat eksaserbasi
akut PPOK. Ampliflying inflamasi pada eksaserbasi akut PPOK utamanya disebabkan oleh
infeksi (bakteri dan virus) dan lingkungan. Ampliflying inflamasi pada eksaserbasi akut
PPOK meningkatkan produksi berbagai mediator inflamasi (Sarker, 2014). Mekanisme
pertahanan sistem respirasi terdiri dari alami dan didapat. Sistem imun alami dan didapat
memiliki kemampuan yang berbeda namun fungsi sel dan molekul saling bekerjasama untuk
melindungi struktur dan fungsi saluran napas dan parenkim paru (Senior and Atkinson, 2008;
Sarker, 2014).
Mekanisme pertahanan sistem imun alami/bawaan/nonspesifik
Mekanisme pertahanan alami sistem respirasi memberikan perlindungan utama
terhadap pajanan gas atau partikel berbahaya atau mikroorganisme patogen. Sistem imun
alami memberikan respons cepat, tidak spesifik, dan secara lambat dapat merangsang sistem
imun didapat. Mekanisme pertahanan sistem imun alami respirasi terdiri dari pertahanan
fisik, biokimia, dan selular (Baratawidjaja and Rengganis, 2014). Pertahanan fisik sistem
respirasi terdiri dari struktur penunjang, silia, lapisan sel didalam saluran napas dan alveoli
paru. Pertahanan biokimia merupakan protein terlarut yang melindungi permukaan saluran
napas dan paru. Sel epitel dan endotel diketahui dapat menghasilkan sejumlah sistem
pembersihan pada saluran napas dan alveoli paru yaitu peptida antimikroba dan antiprotease.
Peptida antimikroba meliputi defensin, lizosom, laktoferin, imunoglobulin, komplemen, dan
surfaktan. Antiprotease meliputi alpha1antitripsin (a1AT), antimacroglobulin, secretory
leukoproteinase inhibitor (SLI), dan tissue inhibitor of metalloproteinase (TIMP).Pertahanan
selular sistem imun alami meliputi sel epitel, makrofag, netrofil, dan dendritik.
(Baratawidjaja and Rengganis, 2014; Nicod, 2005).
Aktivasi respons sel imun alami terhadap iritasi seperti asap rokok atau partikel
berbahaya belum jelas namun ‘hipotesis danger’ yang dikemukan olehMatzinger dapat
diterima. Matzinger mengemukakan bahwa aktivasi responssel imun alami pada PPOK bukan
hanya berasal dari pajanan asap rokok dan mikroorganisme namun juga berasal dari stres
seluler atau akibat kerusakan sel dan jaringan paru (Cosio et al, 2009). Sel imun alami dapat
mengenali suatu molekul mikroba atau zat iritan yang disebut pathogen associated molecular
patterns (PAMPs) oleh pattern recognition receptors (PRRs). Pattern recognition receptors
(PRRs) terdiri dari toll-like receptor (TLR), nod-like receptor (NLR) sitosol, dan rig-i-like
receptor (RLR). Pattern recognition receptors (PRRs) diekspresikan padasel epitel,
makrofag alveolar, dan sel dendritik. Pattern recognition receptors (PRRs) juga dapat
teraktivasi melalui molekul endogen spesifik umumnya berasal dari sel epitel yang rusak
disebut damage-associated molecular patterns (DAMPs). Pengenalan PAMPs dan DAMPs
oleh PRRs merupakan tahapan penting pada respons inflamasi (Rovina et al, 2013; Brusselle
et al, 2011).
Sel epitel dan makrofag alveolar merupakan pertahanan utama pertama sel imun
alami saluran napas dan paru (Rovina et al, 2013; Brusselle et al, 2011). Aktivasi sel epitel
dan makrofag alveolar oleh PAMPs dan DAMPs akan mengeluarkan sejumlah mediator
inflamasi antara lain TNFα, IL1β, IL6, IL8, IFNɤ, TGFβ, GM-CSF, G-CSF, dan M-CSF,
serta enzim protease (NE dan MMPs). Granulosit monosit colony stimulating factor (GMCSF), G-CSF, dan M-CSF merupakan sitokin yang menstimulasi sel progenitor granulosit
dan monosit dari sumsum tulang ke darah menjadi sel makrofag dan netrofil di dalam
jaringan paru yang rusak. Sel inflamasi yang menumpuk di saluran napas dan paru akan
memulai suatu kaskade inflamasi. Sel inflamasi menyebabkan hipersekresi mukus, fibrosis
saluran napas kecil, dan kerusakan dinding alveoli paru. Respons inflamasi abnormal atau
tidak terkontrol akan terus berlangsung meskipun telah berhenti merokok (Senior and
Atkinson, 2008; Sarker, 2014; Barnes, 2008). Peran sel inflamasi pada PPOK dijelaskan pada
Gambar 2 (Barnes, 2008).
Gambar 2. Peran sel imun dalam patogenesis PPOK.
Keterangan: TNF: tumor necrosis factor; IL: interleukin; CXCL:
kemokin ligan; CCR: c-kemokin reseptor; TGF:tumor growth
factor; FGF: fibroblast growth factor; IFN: interferon; EGF:
epidermal growth factor.
Dikutip dari (Barnes, 2008)
Sel epitel saluran napas
Epitel saluran napas merupakan barier pertahanan struktur saluran napas dan paru
terhadap stimulus lingkungan. Epitel saluran napas memiliki peranan yang multifungsi dan
terdiri dari beberapa tipe sel yang berbeda antara lain sel epitel kolumner bersilia, goblet,
klara, basal, dan endotel alveoli. Sel epitel mensekresi peptida antimikroba, antioksidan, dan
antiprotease (Nicod, 2005). Respons sel epitel terhadap asap rokok menggambarkan usaha
melindungi diri dan memperbaiki kerusakan saluran napas akibat asap rokok. Sel epitel
saluran napas pasien PPOK berubah secara karakteristik akibat bahan rokok. Kerusakan
epitel kolumner bersilia menyebabkan gangguan pergerakan silia, perubahan dan
peningkatkan jumlah sel sel goblet, serta kelenjar mukosa. Perubahan tersebut mengakibatkan
terjadinya hipersekresi mukus, memudahkan kolonisasi kuman, dan obstruksi saluran
napas.Sel epitel juga secara aktif melepaskan berbagai mediator inflamasi antara lain
kemokin, sitokin, dan faktor pertumbuhan (Nicod, 2005; Rovina et al., 2013; Larsson, 2007).
Aktivasi sel epitel mensekresi berbagai mediator inflamasi meliputi IL6, IL8, CXCL8,
CXCL1, CXCL5, CXCL6 berikatan dengankemokin reseptor (CXCR)2 untuk menarik
netrofil dan monosit masuk kedalam saluran napas dan parenkim paru. Sel epitel mensekresi
CXCL9, CXCL10, dan CXCL11 berikatan dengan CXCR3 untuk menginduksi sekresi sel
Th1 dan sel T sitotoksik (CTL). Sel epitel juga menghasilkan faktor pertumbuhan yaitu TGFβ
dan FGF yang berperan sebagai stimulasi proliferasi fibroblast untuk menghasilkan fibrosis
di saluran napas kecil. Peningkatan mediator proinflamasi mencetuskan respons inflamasi
kronik dan remodelling dalam saluran napas kecil dan paru (Barnes, 2008; Larsson, 2007).
Peran sel epitel saluran napas pada penderita PPOK dilihat Gambar 3 (Larsson, 2007).
Gambar 3. Sel epitel saluran napas pada penderita PPOK.
Keterangan: TGFβ: transforming growth factor β; LTB4 : leukotrien
B4; MMP: matrix metalloproteinase; PGE2 prostaglandine E2;
CD8+: cell ofdiferrentiation8
Dikutip dari (Larsson, 2007)
Makrofag
Makrofag alveolar merupakan fagosit mononuklear yang memberikan pertahanan
selularpertama terhadap mikroorganisme atau partikel yang mencapai saluran napas bawah.
Fungsi utama makrofagyaitu fagositosis namun juga dapat berperan sebagai antigen
presenting cell (APC). Kemampuan makrofag berikatan dengan patogen diperantarai oleh
reseptor pada permukaan makrofagsehingga dapat mengikat ligan spesifik seperti
lipopolisakarida (LPS), polisakarida, dan toksin. Aktivasi makrofag mencetuskan berbagai
pengeluaran mediator inflamasi seperti sitokin, kemokin, sehingga dapat menarik dan
mempengaruhi sel imun seperti sel netrofil, limfosit T dan B, serta mengeluarkan metabolit
aktif yang menyebabkan kerusakan jaringan paru (Baratawidjaja and Rengganis, 2014;
Nicod, 2005).
Makrofag alveolar berperan dalam patofisiologi pada PPOK. Peningkatan jumlah
makrofag alveolar di dalam saluran napas berkorelasi signifikan dengan progresifitas
hambatan aliran udara PPOK. Studi penelitian menunjukkan bahwa makrofag alveolar
banyak ditemukan dalam paru perokok dibandingkan bukan perokok (Barnes, 2008). Pajanan
asap rokok menginduksi makrofag alveolar untuk mensekresi sejumlah kemoaktraktan yang
berperan dalam jalur orkestra inflamasi PPOK antara lain sekresi selektif kemoaktraktran
monosit yaitu CXCL1 (dikenal growth related oncogen-α (GRO-α)) dan CCL2 (dikenal
monocyte chemotactic peptide-1(MCP1)) bekerja melalui CCR2 untuk menarik monosit
darah dan selanjutnya berdiferensiasi menjadi makrofag alveolar di parenkim paru. Makrofag
juga mensekresi TNFα, leukotrien B4 (LTB4), CXCL8, dan CXCL1 bekerja melalui CXCR2
untuk menarik sel netrofil darah masuk ke dalam paru, dan menstimulasi IFNγ untuk
melepaskan kemokin ligand CXCL9 (dikenal dengan monokine induce IFNγ (MIG)),
CXCL10 (IFNγ induce protein (IP10), CXCL11 (I-TAC) sehingga Th1 dan sel T CTL
teraktivasi masuk kedalam paru melalui CXCR-3 (Barnes, 2008; Larsson, 2007).
Makrofag alveolar juga dapat mensekresi beberapa enzim elastolitik antara
lainMMP2, MMP9, MMP12, captesin K, L, S, dan netrofil elastase (berasal dari netrofil).
Enzim elastolitik bersama dengan sel Tc1 dan Th1 berkontribusi pada terjadinya emfisema.
Makrofag alveolar juga mensekresi TGFβ dan FGF untuk menghasilkan fibroblast sehingga
saluran napas kecil fibrosis. Pembentukan ROS endogen yang dihasilkan dari metabolisme
makrofag berkontribusi pada resistensi kortikosteroid. Penurunan aktivitas fagositosit
makrofag alveolar meningkatkan kolonisasi bakteri (Barnes, 2008; Larsson, 2007; Barnes,
2014). Peran makrofag pada PPOK dijelaskan Gambar 4 (Barnes, 2014).
Gambar 4. Peran utama makrofag pada PPOK.
Keterangan: TGFβ: transforming growth factor β; CCR: chemokine recepor;
CXCR: chemokine receptor; CXCL: chemokine; ROS: radical
oxygen species; LTB4: leukotrien B4; MMP: matrix
metalloproteinase; Th1: T-helper 1; Tc1: T citolitic.
Dikutip dari (Barnes, 2014)
Netrofil
Netrofil merupakan sel granulosit yang berasal dari sel induk sumsum tulang dan
terdapat di sirkulasi/darah. Netrofil mengandung granul azurofilik primer dan sekunder.
Granul azurofilik primer dan sekunder mengandung enzim antimikroba, protease, dan asam
hidrolase. Netrofil berperan sebagai respons pertahanan pertama sistem imun alami terhadap
infeksi dan inflamasi. Asap rokok menginduksi makrofag dan sel epitel untuk melepaskan
faktor kemotaktik netrofil sehingga sel netrofil yang terdapat di darah migrasi ke dalam
saluran napas yang mengalami kerusakan atau terinfeksi (Baratawidjaja and Rengganis,
2014; Nicod, 2005).
Pajanan asap rokok menyebabkan infiltrasi sel netrofil meningkat dalam sputum dan
BAL padapenderita PPOK. Faktor kemotaktik sel netrofil meliputi IL8 atau CXCL8, IL1β,
CXCL1, LTB4, dan TNFα. Sel netrofil migrasi dari pembuluh darah paru ke rongga alveoli
dengan melekat di dinding sel endotel alveoli. Perlekatan sel netrofil darah melibatkan
molekul adhesi yaitu VCAM-1, ICAM-1 dan e-selectin pada sel endotel saluran napas
penderita PPOK. Kelangsungan hidup sel netrofil dalam saluran napas dan paru mungkin
diperkuat oleh sitokin GM-CSF dan G-CSF dari sumsum tulang yang dilepaskan oleh
makrofag alveolar sehingga sel netrofil menetap lebih lama dalam saluran napas dan paru. Sel
netrofil diperkirakan berperan penting dalam patogenesis bronkitis kronis dan emfisema paru
pada PPOK (Barnes, 2014; Barnes, 2008; Larsson, 2007). Sel netrofil dapat mensekresi
keluarga serin protease dan MMPs. Keluarga serin protease meliputi netrofil elastase (NE),
cathepsinG (CatG), proteinase3 (Pr3) terdapat di dalam granul netrofil. Keluarga MMPs
yang disekresi oleh sel netrofil terutama MMP 8 dan 9. Keluarga serin protease merupakan
stimulan poten sekresi mukus, dan bersama dengan MMP8 dan MMP9 berkontribusi
terhadap kerusakan dinding alveolar paru pada penderita PPOK (Sarker, 2014; Barnes, 2008;
Larsson, 2007). Perekrutan dan peran sel netrofil pada patogenesis PPOK dijelaskan pada
Gambar 5 (Larsson, 2007).
Gambar 5. Peran netrofil pada PPOK.
Keterangan: TGFβ: transforming growth factor β;CXCR: chemokine
receptor; CXCL: chemokine; LTB4:leukotrien B4; MMP:
matrix metalloproteinase.
Dikutip dari (Larsson, 2007)
Mekanisme pertahanan sistem imun didapat/adaptif/spesifik
Antigen yang berasal dari pajanan asap rokok, bakteri, virus, produk hasil pemecahan
matriks ekstraseluler, dan kemungkinan autoantigen dari jaringan paru memicu respons
sistem imun didapat pada penderita PPOK.Sistem imun didapat berperan memberikan reaksi
lebih spesifik untuk mengenal pajanan sebelumnya dari benda asing yang masuk. Sistem
imun adaptif juga meningkatkan mekanisme pertahanan paru. Peningkatan respons sistem
imun adaptif terhadap kolonisasi dan infeksi dalam saluran napas bawah sering ditemukan
pada PPOK derajat berat. Sel yang berperan dalam sistem imun adaptif pada PPOK yaitu sel
limfosit TCD8+, CD4+ terutama subset Th1, Th17, dan limfosit B (Cosio et al, 2009; Rovina
et al, 2013; Brusselle et al, 2011).
Sel dendritik
Sel dendritik merupakan antigen presenting cell (APC) poten yang terdapat di
intrepitel dan subepitel saluran napas. Sel dendritik mempunyai peran penting dalam
memperantarai respons imun alami dan didapat. Sel dendritik (SD) sebagai APC paling
efektif dalam mengaktifkan sel T naif dan menentukan jenis respons sel limfosit T yang
diarahkan oleh antigen. Sel dendritk (SD) berasal dari sel induk sumsum tulang atau dari
prekusor monosit dalam darah (Barnes, 2014; Baratawidjaja and Rengganis, 2014; Cosio et
al., 2009;). Keberadaan PAMPs atau DAMPs pada permukaan epitel saluran napas menjadi
sinyal utama untuk SD imatur (SDi) teraktivasi.Sel dendritik imatur yang teraktivasi oleh
PAMPs/DAMPs migrasi dari epitel saluran napas ke kelenjar limfoid bronkus menjadi SD
matur. Sel dendritik matur di limfoid mempresentasikan antigen dengan mengekspresikan
MHC pada molekul ko-stimulator untuk limfosit T naif. Sel dendritik meningkat di dalam
saluran napas dan dinding alveolar parupada perokok. Peran SD pada PPOK belum jelas
namun SD diketahui berperan penting sebagai perantara pada respons imun alami dan didapat
dalam patogenesis inflamasi PPOK (Barnes and Cosio, 2006; Barnes, 2014; Brusselle et al,
2011).
Kerusakan epitel saluran napas akibat pajanan zat iritan seperti asap rokok juga
menginduksi makrofag untukmelepaskan berbagai mediator penarik SD imatur dalam darah
meliputi makrofag inflammatory protein3a (MIP-3a) atau CCL20 melalui CCR6. Pelepasan
CCL20 akan menarik SDi ke tempat akumulasi antigen atau kerusakan jaringan. Antigen
yang ditangkap dan diproses oleh SD imatur lepas dari CCR6, migrasi menuju organ
limfatikmelaluiCCR7. Sel dendritik imatur (SDi) menjadi matur setelah berada di organ
limfoid sekunder akan mengekspresikan sejumlah molekul MHC pada kostimulator sel T
seperti CD40, CD80 and CD86.Sel T berdiferensiasi dan berproliferasi menjadi sel CD4+ dan
CD8+.Sel dendritik imatur juga mampu menghasilkan MMP12 yang berkontribusi terhadap
patogenesis emfisema pada PPOK (Barnes and Cosio, 2006; Lambrecht and Bruselle, 2009).
Hubungan antara pajanan asap rokok, inflamasi dan SD dalam patogenesis PPOK dijelaskan
pada Gambar 6 (Lambrecht and Bruselle, 2009).
Gambar 6. Hubungan antara pajanan asap rokok, inflamasi dan SD
dalam patogenesis PPOK.
Keterangan: DC: dendritik cell;pDC: plasmasitoid DC; mDC:mieloid
DC; MIP-3a: makrofag inflammatory protein3a;
Dikutip dari (Lambrecht and Bruselle, 2009)
Limfosit
Sel limfosit merupakan sel yang berperan dalam sistem imun didapat atau spesifik.
Limfosit Sel limfosit T berperan dalam imunitas selular sedangkan sel B imunitas humoral.
Respons imun didapat dimulai ketika reseptor pada limfosit mengenali antigen. Sel B dan T
yang matur dapat mengekspresikan reseptor (BCR dan TCR) pada permukaanya. Sel B
menggunakan antibodi sebagai reseptor di permukaan membran untuk mengenali antigen
(Baratawidjajaand Rengganis, 2014). Sel T hanya mengenali antigen yang terikat molekul
MHC yang dipresentasikan oleh SD.Sel dendritik matur migrasi kedalam kelenjar getah
bening lokal dengan mengekspresikan MHC pada kostimulator CD80 dan CD86 untuk
mempresentasikan antigen ke sel T. Sel T berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
efektor limfosit T CD4+ dan CD8+. Keterlibatan sel T CD8+ dan CD4+ meningkat signifikan
di dalam saluran napas besar, kecil, dan parenkim paru pada perokok penderita PPOK.
Beberapa studi penelitian menunjukkan bahwa sel T CD8+ lebih berperan dibandingkan CD4+
pada perokok penderita PPOK. Peningkatan jumlah sel T CD8+ dikaitkan dengan kerusakan
alveoli dan derajat obstruksi saluran napas (Cosio et al., 2009; Barnes and and Cosio, 2006).
Sel T di dalam pembuluh darah tidak dapat masuk ke dalam parenkim paru namun
sekali teraktivasi sel T dapat ditarik masuk ke paru melalui tissue-specific chemokine
receptors. Sel epitel dan makrofag yang teraktivasi oleh asap rokok akan menstimulasi IFNγ
melepaskan kemokin ligand CXCL9 (dikenal dengan monokine induce IFNγ (MIG),
CXCL10 (dikenal dengan IFNγ induce protein (IP10), CXCL11 (I-TAC) untuk menarik sel
efektor Th1 CD4+ dan sel T sitolitik CD8+ masuk ke dalam paru melalui CXCR3.
Peningkatan sekresi IFNγ oleh Tc1 dan Th1 berikatan dengan CXCR3 dapat menyebabkan
proses inflamasi menetap. Sel T CD8+ saat teraktivasi akan berdiferensiasi menjadi sel T
sitotoksik (CTL/Tc) yang mampu membunuh sel terinfeksi dan dapat mensekresi protein
seperti porfirin atau granzim A dan B mengakibatkan sel apoptosis. Sel T CD8+ mengenal
antigen yang dipresentasikan oleh APC melalui MHC1 (Barnes, 2014; Brusselle et al, 2011;
Barnes and Cosio, 2006).
Sel T CD4+ berdiferensiasi menjadi beberapa sel efektor berdasarkan sitokin yang
diproduksinya. Antigen ditangkap, diproses, dan dipresentasikan oleh SD melalui MHC2
menjadi T CD4+naif. Sel T CD4+naifyang teraktivasikan berproliferasi dan berdiferensiasi
menjadi subset sel efektor diantaranya Th1,Th2, Th17, dan Treg. Sel efektor T CD4+berperan
mengaktifkan fungsi makrofag dan limfosit B. Subset selefektor T CD4+ Th1 dan Th17
sering ditemukan pada penderita PPOK stabil. Sel Th1 memproduksiIFNγ yang berperan
penting dalam meningkatkan fungsi fagositosis makrofag untuk membunuh patogen.
Interferon gama (IFNγ) juga memstimulasi sel B untuk memproduksi IgG yang bekerja
sebagai opsonin dalam fagositosis. Interferon gama (IFNγ) menstimulasi ekspresi MHC1 dan
MHC2 dan ko-stimulator pada APC sehingga memperkuat respons sel T. Peran CD4+ pada
penderita PPOK stadium lanjut belum jelas. Peningkatan jumlah sel T CD4+dan CD8+di
dalam paru dikaitkan dengan beratnya derajat PPOK (Barnes, 2014; Brusselle et al, 2011;
Barnes and Cosio, 2006).
Sel Th17 merupakan T CD4+ yang mempunyai peranan dalam repons inflamasi dan
penyakit autoimun (Brusselle et al., 2011). Interleukin 17 berperan dalam pengerahan,
aktivasi, dan migrasi sel imun terutama sel netrofil pada saluran napas. Interleukin 17
diperkirakan berperan meningkatkan respons inflamasi terutama penyakit inflamasi kronik.
Peran SelTh17 perokok dan penderita PPOK belum jelas namun Th17 dapat menginduksi
kerusakan jaringan paru yang bersifat autoimun (Brusselle et al., 2011; Barnes, 2008). Sel T
CD4+ dan CD8+ pada patogenesis PPOK dijelaskan pada Gambar 7 (Barnes, 2008).
Gambar 7. Peran sel T CD8+ dan CD4+ pada PPOK.
Keterangan: IFNγ: interferon gamma; CXCL:kemokin ligan;Th1:
Thelper1;Tc1: T cell sitolitik.
Dikutip dari (Barnes, 2008)
b. Ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan
Radikal bebas adalah oksidan yang tidak mempunyai elektron tidak berpasangan
sehingga cendrung untuk menarik elektron lain. Sifat radikal bebas yang tidak berpasangan
membuat radikal bebas menjadi sangat reaktif, sehingga menyebabkan terjadi reaksi rantai
berantai yang dapat menimbulkan kerusakan sel, jaringan, dan menimbulkan proses penuaan.
Radikal bebas di terbentuk dalam membran sel, mitokondria, retikulum endoplasma, dan
sitosol melalui reaksi enzimatik yang berlangsung dalam proses metabolisme. Oksigen dalam
rantai pernafasan berperan sebagai akseptor terakhir dari elektron (Durackova, 2010; Lee and
Thomas, 2009). Sel menghasilkan ROS melalui reduksi O2, dijelaskan pada Gambar 8 (Lee
and Thomas, 2009).
Gambar 8. Proses produksi ROS.
Keterangan : O2-: anion superoksida; H2O2: hidrogen peroksida; HOCl:
Hypochlorous; HOBr: hypobromous acids; NO: nitrit
Oksida.
Dikutip dari (Lee and Thomas, 2009)
Sumber oksidan pada PPOK berasal dari luar/eksogen lingkungan seperti asap rokok
dan dari dalam/endogen lingkungan berupa hasil metabolisme selular. Sumber oksidan luar
lingkungan pada PPOK berasal dari pajanan gas dan partikel berbahaya terutama asap rokok
(Lee and Thomas, 2009). Asap rokok adalah senyawa yang mengandung > 4700 komponen
kimia dan oksidan dengan kadar tinggi (1014senyawa/puff) serta nitrit oksida 300 ppm/puff.
Asap rokok terdiri dari fase gas dan padat/partikulat. Fase padat adalah senyawa yang
tersaring dalam cambrigde filter, sedangkan fase gas yaitu senyawa yang melewati filter.
Fase gas asap rokok mengandung sekitar 1015 radikal bebas. Radikal bebas dalam fase gas
umumnya kurang stabil dan berumur pendek. Fase gas mengandung bahan karsinogenik sama
dengan yang terkandung dalam asap rokok. Fase partikulat dari asap rokok terdiri dari tar dan
nikotin. Fase tar mengandung sekitar 1017 radikal bebas. Radikal bebas yang dihasilkan oleh
tar bersifat lebih stabil dan berumur panjang. Fase tar bersifat lipofilik sehingga lebih mudah
berinteraksi dengan mitokondria dan menghasilkan ROS lebih banyak (Senior and Atkinson,
2008; Lee and Thomas, 2009). Salah satu radikal bebas yang dihasilkan oleh tar yaitu radikal
semiquinone dapat mereduksi O2 menjadi anion superoksida (O2.-). Anion superoksida (O2.-)
membentuk radikal hidroxil (OH-) dari hydrogen peroksida (H2O2). Nikotin merupakan
bahan kimia psikoaktif yang sangat adiktif atau lebih menyebabkan kecanduan dibandingkan
ganja, kafein, etanol, kokain dan heroin (Lee and Thomas, 2009).
Sumber oksidan endogen pada PPOK berasal dari metabolisme selular merupakan
hasil reaksi enzimatik dan nonenzimatik. Sumber pembentukan ROS/RNS selular berasal dari
sistem respirasi mitokondria, NADPH oksidase, xanthine oxidase (XO), dan arachidonic acid
(COX2). Sel epitel, endotel, dan sel inflamasi (makrofag dan netrofil) saat teraktivasi akan
menghasilkan NADPH oksidase dan xantine oksidase untuk mereduksi molekul oksigen (O2)
menjadi anion superoksida (O2-). Anion superoksida (O2-) berubah dengan cepat menjadi
hidrogen peroksida (H2O2) melalui reaksi katalitik enzim super oxide dismutase (SOD).
Hidrogen peroksida (H2O2) dirubah menjadi radikal hidroksil (OH.-) melalui katalitik
nonenzimatik dengan ion besi (Fe2+) sebagai reaksi fenton.
Radikal hidroksil (OH.-)
merupakan produk turunan O2- yang paling reaktif dan berbahaya. Anion superoksida (O2-)
juga dapat bereaksi dengan spesies molekul lain seperti nitrit oksida (NO) menghasilkan
produk radikal bebas peroksinitrit (ONOO) (Lee and Thomas, 2009; Kirkham and Rahman,
2006). Sumber stres oksidatif dapat dilihat pada Gambar 9 (Kirkham and Rahman, 2006).
Gambar 9. Sumber stres oksidatif
Keterangan: PMN:polimorfonuklear; Eos:eosinofil;NADPH
oxidase: enzim nikotinamida adenin dinukleotida fosfat
oxidase; AM:makrofag alveolar.
Dikutip dari (Kirkham and Rahman, 2006)
Reactive oxygen species (ROS) yang dihasilkan dari asap rokok dan reaksi
metabolisme endogen melalui sel inflamasi merupakan dapat meningkatkan beban oksidan di
dalam paru. Paru mempunyai kemampuan untuk menetralisir kadar ROS yang berlebih
melalui mekanisme pertahanan antioksidan selular meliputi superoksida dismutase (SOD),
katalase (CAT), dan glutation peroksidase (GSH). Peningkatan kadar radikal bebas melebihi
kemampuan pertahanan antioksidan selular di paru menyebabkan timbulnya keadaan stres
oksidatif (Kirkham and Rahman, 2006). Stres oksidatif baik secara langsung maupun tidak
langsung menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran napas dan parenkim paru. Stres
oksidatif secara langsung menyebabkan oksidasi deoxyribonucleat acid (DNA), lemak, dan
protein membran sel saluran napas dan paru. Oksidasi DNA mengakibatkan kerusakan paru
dan meningkatkan risiko kejadian kanker paru. Stres oksidatif tidak langsung menyebabkan
respons inflamasi meningkat, aktivasi protease dan inaktivasi antiprotease, dan apoptosis sel.
Proses ini diakibatkan oleh aktivasi faktor transkripsi sensitif redoks dan signal tranduksi
meliputi NFκB, aktivator protein1 (AP1), mitogen-activated protein kinases (MAPK), dan
phosphoinositide 3-kinases (PI3Ks) yang mengatur sejumlah transkripsi gen proinflamasi
(Calvacante and Bruin, 2009; Rahman and Adcock, 2006). Mekanisme stres oksidatif
menyebabkan perubahan struktur dan fungsi paru pada PPOK dijelaskan pada Gambar 10
(Calvacante and Bruin, 2009).
Gambar 10. Mekanisme stres oksidatif menyebabkan perubahan struktur paru
dan eksaserbasi pada PPOK.
Dikutip dari (Calvacante and Bruin, 2009)
Peroksidasi Lemak
Membran sel terdiri dari dua lapisan yaitu protein dan lemak yang kaya akan asam
lemak tidak jenuh ganda/polyunsaturated fatty acid (PUFA). Reactive oxygen species (ROS)
saat berikatan dengan lemak tak jenuh ganda penyusun fosfolipid membran selmudah
membentuk hidroperoksida (Calvacante and Bruin, 2009; Rahman and Adcock, 2006). Target
utama ROS adalah DNA, protein, asam lemak tak jenuh dan lipoprotein. Peroksidasi lemak
menyebabkan struktur membran terganggu, perubahan integritas, fluiditas, permeabilitas dan
gangguan fungsional, serta memodifikasi low density lipoprotein (LDL). Peroksidasi lemak
terlibat dalam patogenesis kerusakan jaringan paru pada penderita PPOK. Produk hasil
peroksidasi lemak berupa reaktif aldehid seperti malondialdehide (MDA), isoprostane (8-IP),
acrolein, dan4-hydroxy-2-nonenal (4-HNE). Produk reaktif aldehid secara in vivo relatif stabil
sehingga dapat digunakan sebagai penanda sebagai penanda stres oksidatif di paru.
Peningkatan kadar MDA, 4-HNE, dan 8-IP menyebabkan mutasi gen dan peningkatan risiko
kanker paru. Peroksidasi lemak membran sel dijelaskan pada Gambar 11 (Rahman and
Adcock, 2006).
Gambar 11. Mekanisme lipid peroksidasi membran sel oleh ROS.
Dikutip dari (Rahman and Adcock, 2006)
Aktivasi faktor transkripsi
Reactive oxygen species (ROS) secara tidak langsung dapat mencetuskan dan
meningkatkan respons inflamasi melalui jalur aktivasi faktor transkripsi sensitif redoks
seperti NFκB dan AP1 (Senior and Atkinson, 2008; Calvacante and Bruin, 2009; Rahman
and Adcock, 2006). Aktivitas NFκB dapat dicetuskan baik melalui fosforilasi keluarga
protein inhibitor κappa B (IκB) dengan atau tanpa stimulus keluarga protein kinase meliputi
mitogen-activated protein kinases (MAPK) p38, c-jun-n-terminal kinase (JNK), extracellular
signal regulated kinase (ERK), phosphoinositide 3-kinases (PI3Ks), dan protein kinase C
(PKC). Nuclear factor kaffa β (NFκβ) merupakan faktor transkripsi keluarga Rel yang
mengatur berbagai transkripsi gen dalam respons imun, reaksi inflamasi, proliferasi,
apoptosis, dan onkogenesis. Nuclear factor kaffa β (NFκβ) didapatkan pada semua jenis sel
yang terlibat dalam respons seluler terhadap stimulus, seperti stres oksidatif, sitokin,
kemokin, radikal bebas, radiasi UV, dan oksidasi LDL. Nuclear factor kaffa β (NFκβ) terdiri
dari lima anggota yang berasal dari keluarga Rel antara lain NFκβ1 (p50/p105), NFκβ2
(p52/p100), p65 (Rel A), Rel B, dan c Rel (Blackwell, 1997; Rahman and Adcock, 2006).
Nuclear factor kaffa β (NFκβ) dalam keadaan tidak teraktivasi berikatan dengan
protein keluarga inhibitor κappa β (Iκβ α, Iκβ β, dan Iκβ ε) di sitoplasma. Inhibitor κappa β
(Iκβ) merupakan penghalang translokasi faktor transkripsi NFκβ kedalam inti sel. Sitokin dan
stimulus ekstraselular meliputi sitokin (seperti TNFα, IL1β, dan IL6), radikal bebas, produk
bakteri, virus, sinar ultraviolet (UV), dan agen kemoterapi menginduksi fosforilasi dan
degradasi Iβ pada heterodimer subunit p50 dan p65 melalui katalisis suatu enzim Iβ kinase
(IK). Fosforilasi dan degradasi Iβ menyebabkan NFκβ lepas dari Iβ selanjutnya
translokasi kedalam inti sel dan berikatan dengan DNA membentuk kompleks ikatan DNA
dan NFκB. Kompleks ikatan DNA dan NFκβ menginduksi sejumlah pengaturan ekspresi gen
inflamasi seperti sitokin (TNFα, IL1β, IL6, IL8, IL12), kemokin (CXCL8, Gro α, β, dan γ,
MIP1, MCP1), colony stimulating factors (G-CSF dan GM-CSF), molekul adhesi (ICAM1
dan VCAM1), dan faktor pertumbuhan (TGFβ dan FGF). Peningkatan aktivitas NFκβ pada
PPOK berdampak pada peningkatan inflamasi, aktivasi protease, inaktivasi antiprotease,
apoptosis, dan penurunan kemampuan antioksidan enzimatik selular (Blackwell, 1997;
Rajendrasozhanet al, 2008). Mekanisme ROS dan berbagai stimulus dalam mengaktivasi
faktor transkripsi dijelaskan pada Gambar 12 (Senior and Atkinson, 2008).
Gambar 12. Mekanisme ROS dan berbagai stimulus mengaktivasi NFκβ.
Keterangan: Iβ: inhibitor kappaβ; p65 dan p50: subunit protein; p:
phosforilasi; ub: ubiquitin; ERK: extracellular signal
regulated kinase; JNK: c-Jun-N-terminal kinase; MAPKp38:
subfamily mitogen-activated protein kinases; NFκβ: nuclear
factor kappaβ
Dikutip dari (Senior and Atkinson, 2008)
Stres oksidatif tidak hanya menginduksi jalur signal sensitif redoks namun juga
menyebabkan ketidakseimbangan asetilasi dan deasetilasi protein histon (remodelling
kromatin). Kromatin tersusun dari kompleks ikatan protein histon dengan DNA membentuk
suatu kromosom di dalam inti sel. Deoxyribonucleat (DNA) merupakan suatu biomolekul
yang menyimpan dan mengkode gen pada organisme. Perubahan kimia menyebabkan protein
histon mengalami berbagai modifikasi seperti asetilasi, metilasi, dan fosforilasi. Modifikasi
posttranslasi protein histon mengakibatkan perubahan struktur kromatin dan berdampak pada
transkripsi gen (Rajendrasozhan et al., 2008; Rahman and Adcock, 2006). Asetilasi protein
merupakan proses pengikatan gugus asetil pada rantai asam amino lisin. Proses asetilasi
menurunkan kemampuan ikatan protein histon dengan DNA mengakibatkan perubahan
struktur kromatin dalam inti sel. Perubahan struktur kromatin mempermudah faktor
transkripsi NFκβ berikatan dengan DNA dan berdampak pada sejumlah transkripsi gen.
Oksidan baik dari asap rokok dan metabolisme selular atau mediator inflamasi menginduksi
molekul koaktivator faktor transkripsi NFκβ yaitu CREB (cAMP response element-binding
protein)-binding protein (CBP)/p300 mengandung enzim asetiltransferase (HAT). Aktivasi
molekul koaktivator CBP/p300 menyebabkan DNA unwinding (terurai DNA) dari ikatan
protein histon dan berikatan dengan faktor transkripsi mengakibatkan transkripsi gen
(Blackwell, 1997; Rajendrasozhan et al, 2008).
Deasetilasi protein merupakan proses pemutusan gugus asetil dari rantai asam amino
lisin. Proses deasetilasi bertujuan untuk menjaga struktur kromatin sehingga faktor transkripsi
NFκβ tidak dapat berinteraksi dengan DNA dan tidak terjadi transkripsi gen. Proses
deasetilasi protein dikatalisis oleh kelompok enzim histon deasetilasi (HDAC) (Rahman,
2003; Rahman and Chung, 2010). Perokok dan penderita PPOK sebagian besar mengalami
resistensi glukokortikosteroid (Rahman and Chung, 2010). Reactive oxygen species (ROS)
melalui reaksi peroksinitrit dan karbosilasi menyebabkan kadar enzim HDAC kelas 2
menurun. Penurunan kadar enzim HDAC 2 mengakibatkan efikasi glukokortikosteroid
menurun. glukokortikosteroid melalui reseptor glukokortikosteroid (RG) bertranslokasi dari
sitoplasma kedalam inti sel dan dengan bantuan enzim HDAC kelas 2 mampu menekan
kompleks promoting asetilasi protein sehingga regulasi transkripsi gen inflamasi dapat
dihambat dan menstimulasi gen sensitif steroid (Rajendrasozhan et al, 2008; Rahman, 2003;
Rahman and Chung, 2010). Pengaruh asap rokok dan stres oksidatif terhadap asetilasi dan
deasetilasi protein histon dalam mengatur ekspresi gen inflamasi dijelaskan pada Gambar 13
(Rahman, 2006).
Gambar 13. Pengaruh stres oksidatif terhadap regulasi kromatin dan ekspresi gen
proinflamasi.
Dikutip dari (Rahman, 2006)
c. Ketidakseimbangan protease dan antiprotease
Emfisema paru yaitu suatu kondisi paru yang ditandai dengan kerusakan dan dilatasi
abnormal mulai dari saluran napas distal bronkiolus terminalis sampai dinding alveoli paru.
Ketidakseimbangan proteinase-antiproteinase menyebabkan emfisema paru pada PPOK.
Serat elastin merupakan salah satu komponen jaringan penyusun matriks ekstraselular
parenkim paru yang menjadi target utama enzim protease. Kerusakan serat elastin akan
menyebabkan elastisitas parenkim paru menurun (Senior and Atkinson, 2008; Sarker, 2014;
Yoshida and Tuder, 2007). Asap rokok menginduksi sel epitel untuk mengaktivasi sel
makrofag dan netrofil masuk kedalam paru. Peningkatan aktivitas sel makrofag dan netrofil
dapat menghasilkan beberapa enzim protease seperti netrofil elastase (NE), MMPs, cathepsin
S, L, dan G, serta proteinase 3. Peningkatan aktivitas enzim protease dapat meningkatkan
efek proteolitik dan menurunkan aktivitas antiprotease antara lain α1AT, TIMPs, SLPI, dan
α-macroglobulin. Protease merupakan enzim proteolitik yang mampu memecah atau
mendegradasi komponen jaringan ikat penyusun matriks ekstraselular parenkim paru
sehingga mengakibatkan kerusakan dinding alveoli/emfisema paru (Sarker, 2014). Oksidan
turut berperan menurunkan kadar atau aktivtas enzim antiprotease mengakibatkan kerusakan
dinding alveoli paru. Defisiensi α1AT diduga berasal dari oksidan yang dihasilkan oleh asap
rokok. Suatu studi penelitian menunjukkan perokok mengalami defisiensi α1AT sekitar 40%
(Yoshida and Tuder, 2007; Abboud, 2014). Mekanisme ketidakseimbangan proteinaseantiproteinase dan emfisema paru dijelaskan pada Gambar 14 (Abboud, 2014)
Gambar 14. Mekanisme asap rokok mencetuskan ketidakseimbangan proteinaseantiproteinase dan emfisem paru.
Dikutip dari (Abboud, 2014)
d. Apoptosis
Apoptosis adalah mekanisme kematian sel terprogram. Apoptosis secara fisiologis
berperan menjaga homoestasis sel dan jaringan. Sel epitel alveolar dan endotel pembuluh
darah paru secara rutin mengalami apoptosis dan proliferasi. Gangguan pengaturan apoptosis
berdampak kelainan penyakit paru. Peningkatan apoptosis sel epitel dan endotel paru tanpa
diimbangi dengan proliferasi sel mengakibatkan destruksi jaringan dan emfisema paru pada
PPOK. Mekanisme peningkatan apoptosis sel epitel dan endotel paru sulit dijelaskan pada
PPOK. Mekanisme peningkatan apoptosis kemungkinan disebabkan oleh hambatan reseptor
atau menurunnya ekspresi regulasi produksi gen vascular endothelial growth factor (VEGF)
(Sarker, 2014; Abboud, 2014; Platakiet al, 2009).
Asap rokok atau pajanan lingkungan diketahui dapat menurunkan regulasi gen
produksi dan reseptor VEGF, serta memendekkan usia VEGF-dependent pada sel epitel dan
endotel alveoli paru. Vascular endothelial growth factor (VEGF) merupakan sitokin faktor
pertumbuhan yang melindungi sel dan reseptor endotel paru. Kerusakan membran sel endotel
oleh MMPs menyebabkan hilangnya signal kelangsungan hidup dan menginduksi terjadinya
apoptosis sel epitel dan endotel alveolar. Peningkatan sel limfosit T CD8+ pada penderita
PPOK melalui pelepasan enzim profirin dan grandzim juga menyebabkan apoptosis sel epitel
alveoli dan berkembang menjadi emfisema paru (Sarker, 2014; Abboud, 2014; Platakiet al,
2009). Interaksi apoptosis dengan mekanisme patogenesis PPOK dijelaskan Gambar 15
(Platakiet al, 2009).
Gambar 15. Interaksi antara apoptosis dan mekanisme patogenesis PPOK.
Dikutip dari (Platakiet al, 2009)
2. Interleukin (IL)-8
Interleukin (IL)-8, kemokin CXC adalah kemoaktraktan poten netrofil yang memiliki
peranan penting dalam amplifikasi respons inflamasi pada PPOK eksaserbasi. Kadar IL-8
meningkat di sputum dan BAL pada PPOK terutama kondisi eksaserbasi (Barnes, 2008;
Lambrecht and Brusselle, 2009). Peningkatan kadar IL-8 dikaitkan dengan peningkatan
jumlah netrofil di dalam sputum. Interleukin(IL)-8 disintesis oleh beberapa sel yaitu epitel,
netrofil, makrofag sebagai respons terhadap stimulus (asap rokok, TNFα, lipopolisakarida,
produk bakteri, dan virus) (Mukaida, 2003; Lambrecht and Brusselle, 2009). Sel netrofil juga
dapat melepaskan IL-8 sehingga menarik netrofil lebih banyak yang berdampak pada
peningkatan respons inflamasi. Aktivasi faktor transkripsi utama NFκB dapat meningkatkan
pelepasan gen mediator inflamasiIL-8. Peningkatan kadar IL-8 dalam sputum dan plasma
dikaitkan dengan perburukkan gejala klinis, peningkatan rawat inap rumah sakit, penurunan
fungsi paru dan kualitas hidup, serta peningkatan mortalitas (Wedzicha et al, 2013).
3. Matrix metalloproteinase (MMP)-9
Matrix metalloproteinases (MMPs) merupakan enzim proteolitik yang mampu
mendegradasi komponen matriks ekstraselular baik proses fisiologi dan patofisiologi
remodeling jaringan. Anggota keluarga MMP terbagi menjadi beberapa kelompok
berdasarkan kemampuan degradasi matriks meliputi kolagenase (MMP1, 8, dan 13),
gelatinase (MMP2 dan 9), stromelysin (MMP1, 3, dan 10), matrilysin (MMP7), dan
makrofag metalloelastase (MMP12) (Yabluchanskiy et al., 2013).
Matrix metalloproteinase (MMP)-9 adalah enzim elastolitik utama yang memiliki
kemampuan mendegradasi jaringan ikat elastin (Barnes, 2008).
Makrofag alveolar
merupakan sumber utama elastase MMP-9, dapat meningkat pada makrofag yang aktif
(Shapiro, 2001). Aktivitas elastase makrofag meningkat secara signifikan setelah pajanan
asap rokok (diakibatkan oleh pajanan nikotin rokok) dan lingkungan berpolutan (Sansores,
1997). Kadar enzim elastase MMP-9 dalam sirkulasi dan bahkan pada septum interalveoler
dapat berbulan-bulan, dan lebih lama dibanding sitokin inflamasi. Hasil penelitian lavase
cairan bronkus kadar MMP-9 lebih tinggi ditemukan pada penderita emfisema dibanding
tidak emfisema (Suradi, 2014). Peningkatan sekresi dan aktivitas enzimatik elastase MMP-9
lebih besar ditemukan dalam cairan BAL dan penderita emfisema (Barnes, 2008).
4. Patologi PPOK
Mekanisme patogenesis PPOK yang kompleks menyebabkan perubahan patologi pada
kompartemen paru yang berbeda meliputi saluran napas besar, kecil, parenkim paru, dan
pembuluh darah paru.Perubahan patologi saluran napas dan parenkim paru pada pada
penderita PPOK bervariasi (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2016;
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011; Senior and Atkinson, 2008). Perubahan patologi
yang terjadi pada PPOK meliputi :
1. Saluran napas proksimal
Bronkitis kronis adalah batuk kronik dan peningkatan produksi sputum setiap hari
selama tiga bulan dalam satu tahun dan setidaknya dua tahun berturut-turut. Ciri khas
bronkitis kronis yaitu hipersekresi mukus dan inflamasi kronik di dalam saluran napas
besar.Struktur saluran napas besar dimulai dari ujung trakea (pinggir bawah kartilago
krikoidea) sampai bronkiolus terminalis dengan diameter > 2 milimeter (mm) (Turato et
al, 2001). Inflamasi kronik saluran napas menyebabkan perubahan morfologi dan selular.
Perubahan morfologi terjadi mulai dari sel epitel, kelenjar submukosa, dan jaringan ikat
tulang rawan bronkus. Perubahan morfologi tersebut meliputi metaplasia sel epitel,
hiperplasia sel goblet,hipertropi kelenjar mukus submukosa, serta hipertropi otot polos dan
jaringan ikat tulang rawan bronkus. Sel yang menginfiltrasi dinding saluran napas besar
seperti sel makrofag, netrofil, dan limfosit T (Mac Nee, 2011; Turato et al, 2001; ATS and
ERS, 2004).
2. Saluran napas perifer
Studi penelitian menunjukkan penderita PPOK mengalami perubahan abnormal pada
struktur saluran napas kecil. Perubahan saluran napas kecil pada perokok dan penderita
PPOK terjadi di dalam bronkiolus respiratorius diameter < 2 mm. Perubahan patologi
saluran napas kecil meliputi metaplasia sel epitel, hiperplasia sel goblet, fibrosis,dan
remodelling. Perubahan salurannapas kecil dikaitkan dengan akumulasi sel inflamasi. Sel
inflamasi yang terdapat di dalam epitel dan subepitel saluran napas kecil antara lain
makrofag, netrofil, dan limfosit T CD8+>CD4+. Fibrosis peribronkial kemungkinan
berkontribusi pada obstruksi saluran napas kecil yang ireversibel.Iritasi kronik
menginduksi sel epitel saluran napas yang rusak untuk melepaskan faktor pertumbuhan
seperti tumor growth factorβ (TGFβ) dan fibroblast growth factor (FGF) berperan dalam
menstimulasi proliferasi fibroblast sehingga menyebabkan fibrosis pada saluran napas
kecil (Mac Nee, 2011; Turato et al, 2001; ATS and ERS, 2004).
3. Parenkim paru
Patogenesis emfisema melibatkan destruksi alveolar. Emfisema paru yaitu suatu
kondisi anatomi paru yang ditandai dengan pembesaran abnormal permanen mulai
bronkiolus terminalis sampai kerusakan dinding alveolar paru tanpa adanya bukti fibrosis.
Suatu data menunjukkan bahwa proses destruksi dikaitkan dengan peningkatan matriks
kolagen, menunjukkan bahwa emfisema paru dapat terjadi fibrosis pada dinding alveolar
(Senior and Atkinson, 2008). Kontribusi emfisema paru pada penderita POK terhadap
hambatan aliran udara ekspirasi penting namun morfologi dilatasi dan kerusakan
menentukan perubahan fungsi paru (Senior and Atkinson, 2008; Turato et al., 2001; ATS
and ERS, 2004).
4. Pembuluh darah arteri paru
Perokok penderita PPOK derajat ringan dapat ditemukan disfungsi endotel dan
penebalan tunika intima pembuluh darah paru. Perubahan morfologi otot polos pembuluh
darah paru pada PPOK stadium lanjut berupa hipertropi dan hiperplasia sel endotel, serta
serat elastin dan kolagen menumpuk dan menebal di dalam otot polos pembuluh darah
paru. Perubahan tersebut menyebabkan lumen pembuluh darah paru tersumbat yang
berdampak pada penyakit tromboemboli, hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan
(McNee, 2011; ATS dan ERS, 2004).
5. Patofisiologi PPOK
Perubahan patofisiologi PPOK karena perubahan patologis pada saluran napas
proksimal, perifer, parenkim paru, dan pembuluh darah paru. Perubahan karakteristik PPOK
berhubungan dengan perubahan abnormalitas fisiologis dan gejala yang khas. Inflamasi dan
penyempitan saluran napas perifer menyebabkan penurunan VEP1.Emfisema paru yang
diakibatkan oleh kerusakan parenkim pada PPOK berkontribusi terhadap hambatan aliran
udara dan gangguan pertukaran gas (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease,
2016; Senior and Atkinson, 2008). Perubahan fisiologis PPOK meliputi:
1. Hipersekresi mukus dan disfungsi silia
Hipersekresi mukus mengakibatkan batuk kronik produktif yang merupakan
gambaran klinis bronkitis kronik. Hipersekresi mukus pada PPOK terjadi karena
peningkatan jumlah sel goblet dan pembesaran kelenjar sub mukosa sebagai respons
inflamasi saluran napas kronik terhadap asap rokok dan zat berbahaya lainnya. Beberapa
mediator dan protease yang berperan menstimulasi sekresi mukus antara lain proteinase
(netrofil elastase dan MMP9) dan (EGFR) (Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease, 2016; Senior and Atkinson, 2008; ATS dan ERS, 2004).
2. Hambatan aliran udara dan air trapping
Hambatan aliran udara saat ekspirasi sebagian besar ireversibel merupakan
tanda fisiologis utama PPOK. Hambatan aliran udara terutama pada salurannapas
konduksi kecil dengan diameter < 2 mm akibat adanya airway remodeling yaitu fibrosis
dan penyempitan. Perluasan inflamasi, fibrosis,dan eksudat di lumen saluran napas kecil
berhubungan dengan penurunanVEP1, rasio VEP1/KVP, dan percepatan penurunan nilai
VEP1 sebagai tandakhas pada PPOK (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease, 2016; ATS dan ERS, 2004). Penderita PPOK mengalami penurunan nilai VEP1
sebesar 50-60 mL/tahun. Penurunan rasio VEP1/KVP berdasarkan spirometri dengan
menilai cut off rasio VEP1/KVP postbronkodilator <70% (Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease, 2016; ATS dan ERS, 2004).
3. Ketidakseimbangan asam-basa
Penderita PPOK yang mengalami eksaserbasi menyebabkan gangguan pertukaran gas
berdampak terjadinya hipoksemia dan hiperkapnia. Pertukaran gas antara oksigen (O2) dan
karbondioksida (CO2) semakin bertambah berat dengan beratnya derajat progesifitas
PPOK. Penurunan ventilasi menyebabkan sensitivitas kemoreseptorpusat menurun akibat
retensi karbondioksida (CO2). Pemberian oksigen (O2) berlebih pada pasien PPOK
terutama pada saat ekasarsebasi akan menurunkan sensitivitas pusat pernapasan (Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2016; Brashier, 2012).
4. Hipertensi pulmonal
Hipertensi pulmonal, gagal jantung kanan, dan tromboemboli merupakan kejadian
yang sering terjadi pada PPOK stadium lanjut. Hipertensi pulmonal disebabkan oleh
vasokontriksi pembuluh darah kapiler paru yang diinduksi oleh keadaan hipoksia, dan
akhirnya menyebabkan disfungsi endotel, remodelling pembuluh darah kapiler paru akibat
hiperplasia dan hipertrofi sel otot polos, destruksi capillary bed pulmonal. Progresifitas
hipertensi pulmonal menyebabkan hipertrofi, dilatasi, dan disfungsi ventrikel kanan yang
bermanifestasi sebagai gagal jantung kanan kronik (Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease, 2016; Mac Nee, 2011).
5. Eksaserbasi
Eksaserbasi adalah perburukan gejala (batuk, sesak, perubahan dahak) dari kondisi
biasa sehari-hari. Eksaserbasi pada PPOK sekitar 70% disebabkan oleh infeksi baik
bakteri maupun virus selebihnya polutan lingkungan dan komorbid (Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease, 2016; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).
Eksaserbasi berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi dan perburukan gejala.
Kondisi eksaserbasi akut PPOK merupakan suatu kondisi penting karena memiliki efek
negatif terhadap kualitas hidup penderita. Eksaserbasi akut PPOK memperberat derajat
PPOK. Perbaikan gejala dan perbaikan fungsi paru akibat eksaserbasi membutuhkan
waktu lebih lama. Eksaserbasi juga menyebabkan meningkatnya perawatan di rumah sakit
(RS), meningkatnya beban sosio ekonomi, meningkatnya angka mortalitas, dan
memperburuk prognosis (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2016;
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011; MacNae, 2011).
6. Diagnosis PPOK
Diagnosis klinis PPOK dipertimbangkan jika didapatkan sesak napas (bersifat
progresif, persisten, dan memberat dengan beraktivitas), batuk kronik (dapat bersifat
intermiten dan tidak produktif), produksi sputum kronik, riwayat paparan faktor risiko (asap
rokok, asap pembakaran dan pemanasan, debu pekerjaan, dan kimia) dan riwayat keluarga
dengan PPOK. Spirometri diperlukan pada pasien lebih dari 40 tahun dengan klinis tersebut
dan ditegakkan diagnosis PPOK jika didapatkan VEP1/KVP paska uji bronkodilator < 0,7
yang menunjukkan keterbatasan aliran udara persisten (Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease, 2016; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).
Pemeriksaan fisik penderita PPOK seringkali normal diluar serangan dan saat
penyakit pada stadium dini. Kelainan pemeriksaan fisik tampak saat derajat berat. Tanda khas
PPOK berupa pursed lipsbreathing, barrel chest, penggunaan otot bantu napas, hipertrofi otot
bantu napas, pelebaran sela iga, peningkatan tekanan vena jugularis, dan edema tungkai.
Ronki basah kasar dan mengi sering terdapat pada saat ekspirasi (Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease, 2016; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).
Penilaian derajat keparahan PPOK ditentukan berdasarkan gejala klinis, derajat obstruksi
aliran udara, risiko eksaserbasi, dan faktor komorbiditas. Global Initiative of Chronic
Obstructive Lung Diseases (GOLD) tahun 2016 merekomendasikan penggunaan dua
kuisioner untuk menilai gejala klinis PPOK yaitu kuisioner Modified Medical Research
Council (mMRC) dan COPD Assesment test (CAT) (Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease, 2014; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011). Kuesioner
mMRC untuk menentukan derajat sesak napas PPOK dijelaskan oleh Tabel 1 (Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2016; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
2011; Bestal et al, 1999).
Tabel 1 kuesioner dari mMRC.
TEBALKAN DALAM KOTAK YANG SESUAI DENGAN ANDA (SATU KOTAK SAJA)
mMRC tingkat 0. Saya hanya mendapat sesak apabila latihan yang berat
mMRC tingkat 1. Saya mendapat sesak apabila tergesa-gesa menaiki tangga atau berjalan
menaiki bukit.
mMRC tingkat 2. Saya berjalan lebih lambat daripada orang lain seusia saya karena rasa
sesak, atau saya harus berhenti untuk bernapas ketika berjalan pada
tingkat kecepatan saya sendiri
mMRC tingkat 3. Saya berhenti bernapas setelah berjalan 100 meter atau setelah beberapa
menit dengan tingkatannya
mMRC tingkat 4. Saya terlalu mudah sesak untuk bepergian meninggalkan rumah atau
saya merasakan sesak ketika memakai pakaian atau melepaskan pakaian
Dikutip dari (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease,2016)
7. Skor COPD assessment test pada PPOK
Skor COPD Assessment Test (CAT) merupakan kuesioner yang tervalidasi dan mudah
diterapkan terdiri dari delapan item pernyataan untuk mengetahui status kesehatan pada
PPOK (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2016; Jones, 2009). COPD
Assessment Test bisa digunakan untuk semua pasien yang terdiagnosis PPOK pada semua
derajat keparahan baik PPOK stabil maupun eksaserbasi. COPD assessment test (CAT)
bukan merupakan alat diagnostik pengganti spirometri dan tidak menggantikan terapi PPOK,
tetapi CAT dan spirometri merupakan komponen pengukuran untuk menilai klinis,
membantu monitoring efek PPOK seperti program rehabilitasi atau perbaikan eksaserbasi
sehingga terapi yang diberikan dapat optimal. Nilai skor CAT meningkat saat eksaserbasi
akut dan menggambarkan beratnya eksaserbasi berkaitan dengan fungsi paru dan lama
perawatan (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2016, Jones et al, 2009).
Kuesioner CAT dijelaskan oleh Gambar 16 (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease, 2016; Jones et al, 2009).
Gambar 16. Kuesioner CAT memiliki 8 item pertanyaan.
Dikutip dari (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2016; Jones et al,
2009)
Pemeriksaan spirometri merupakan baku emas penegakan diagnosis PPOK dan dapat
digunakan untuk menentukan derajat berat obstruksi saluran napas.Standar emas diagnosis
PPOK berdasarkan nilai VEP1 prediksi (VEP1/KVP) paska bronkodilator <70%. Nilai VEP1
menunjukkan kecepatan udara yang keluar dan digunakan untuk mengukur obstruksi aliran
udara. Derajat obstruksi saluran napas dibagi menjadi ringan, sedang, berat, dan sangat berat,
seperti pada Tabel 2 (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2016).
Tabel 2.Derajat obstruksi menurut hasil spirometri.
Penderita
FEV-1/FVC < 70%
Prediksi
GOLD 1
GOLD 2
GOLD 3
GOLD 4
Ringan
FEV-1 ≥ 80% prediksi
Sedang
50% ≤ FEV-1< 80% prediksi
Berat
30% ≤ FEV-1< 50% prediksi
Sangat berat
FEV-1< 30% prediksi
(Dikutip dari Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2016)
8. Derajat Eksaserbasi
Eksaserbasi rata-rata terjadi tiap tahun dan menjadi penting karena berhubungan
dengan pemberian terapi. Derajat eksaserbasi akut tanpa gagal napas diklasifikasikan
berdasarkan beberapa sistem penderajatan. Salah satu klasifikasi berdasar kriteria Winnipeg.
Winnipeg membagi derajat eksaserbasi berdasar tiga gejala kardinal yaitu peningkatan
jumlah dahak, perubahan warna (purulensi) dahak, dan penambahan sesak napas. Kriteria
Winnipeg dapat dilihat pada Tabel 3 (MacIntyre and Huang, 2008).
Tabel 3.Derajat eksaserbasi akut PPOK berdasar kriteria Winnipeg.
Derajat eksaserbasi Gejala klinis
Tipe 1
Tiga gejala meliputi peningkatan jumlah sputum, purulensi
sputum, dan sesak napas bertambah
Tipe 2
Dua dari tiga gejala
Tipe 3
Satu dari tiga gejala ditambah paling tidak satu kriteria
yaituinfeksi saluran napas, demam, mengi, batuk bertambah,
atau peningkatan denyut jantung >20% dari nilai dasar.
(Dikutip dari MacIntyre and Huang, 2008)
Global Initiative of Chronic Obstructive Lung Diseases tahun 2016 membagi PPOK
menjadi grup A, B, C, dan D berdasarkan penilaian keempat faktor diatas. Penderita derajat A
adalah penderita dengan risiko rendah dan sedikit gejala, ditandai derajat obstruksi saluran
napas GOLD 1-2, risiko eksaserbasi ≤1x/ tahun atau tidak membutuhkan perawatan RS, dan
nilai mMRC 0-1 atau CAT <10. Penderita derajat B adalah penderita risiko rendah dan gejala
lebih, ditandai derajat obstruksi saluran napas GOLD 1-2, risiko eksaserbasi ≤1x/ tahun atau
tidak mmbutuhkan perawatan RS, dan nilai mMRC ≥2 atau CAT ≥10. Penderita derajat C
adalah penderita risiko tinggi dan sedikit gejala, ditandai derajat obstruksi saluran napas
GOLD 3-4, risiko eksaserbasi ≥2x/ tahun atau ≥1x membutuhkan perawatan RS, dan nilai
mMRC 0-1 atau CAT <10. Penderita derajat D adalah penderita risiko tinggi dan gejala lebih,
ditandai derajat obstruksi saluran napas GOLD 3-4, risiko eksaserbasi ≥2x/ tahun atau ≥1x
membutuhkan perawatan RS, dan nilai mMRC >2 atau CAT ≥10 (Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease, 2016). Penilaian derajat berat penyakit PPOK menurut
GOLD dapat dilihat pada Gambar 17 (Global Initiative of Chronic Obstructive Lung Disease,
2016).
Gambar 17. Kategori penderita PPOK.
Keterangan : kategori penderita dikelompokan menjadi empat golongan
berdasarkan derajat hambatan saluran napas, gejala sesak
napas dan risiko eksaserbasi dalam setahun.
(Dikutip dari Global Initiative of Chronic Obstructive Lung Disease, 2016)
9. Penatalaksanaan PPOK
Tujuan penatalaksanaan PPOK antara lain mengurangi gejala, mencegah progresivitas
penyakit, meningkatkan toleransi latihan, meningkatkan kualitas hidup penderita, mencegah
dan menangani komplikasi, mencegah dan menangani eksaserbasi, serta menurunkan risiko
kematian (Global Initiative of Chronic Obstructive Lung Disease, 2016; Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2011).Tatalaksana PPOK terdiri atas non-farmakologik dan farmakologik.
Terapi non-farmakologik antara lain berhenti merokok, rehabilitasi dengan fisioterapi dada
serta latihan pernapasan untuk memperkuat otot napas dan membuang kelebihan CO yang
terkumpul di alveoli paru. Terapi farmakologis diberikan saat penderita dalam kondisi stabil
dan eksaserbasi.Pemilihan terapi PPOK saat stabil disesuaikan dengan derajat klasifikasi
PPOK sesuai pedoman GOLD 2016 dijelaskan pada Tabel 4 (Global Initiative of Chronic
Obstructive Lung Disease, 2016).
Tabel 4.Terapi farmakologisPPOK saat stabil
Pasien
Rekomendasi pilihan
Pilihan alternative
Terapi lain
SAMA bila perlu atau
LAMA atau LABA
Teophyline
SABA bila perlu
atau SAMA dan
pertama
A
SABA
B
LAMA atau LABA
LAMA dan LABA
SABA dan atau SAMA
Theophyline
C
ICS + LABA atau
LAMA dan LABA
SABA dan atau SAMA
LAMA
atau LAMA dan
Theophyline
PDE4-inh
D
ICS + LABA dan atau
ICS + LAMA dan
Carbosistein
LAMA
LABA atau ICS +
SABA dan atau SAMA
LABA dan PDE4-inh
Theophyline
atau LAMA dan
LABA atau LAMA
dan PDE4-inh
Keterangan: SAMA: short acting muscarinic agent; SABA:short acting
beta agonis; LAMA: long acting muscarinic agent; LABA: long acting
beta agonis; PDE4-inh: phosphodiesterase inhibitor.
Dikutip dari (Global Initiative of Chronic Obstructive Lung Disease, 2016)
Kriteria Rawat dan Pemulangan Pasien PPOK Eksaserbasi Akut
Indikasi rawat inap pasien PPOK eksaserbasi akut adalah peningkatan gejala yang
jelas seperti peningkatan sesak saat istirahat secara mendadak, riwayat PPOK berat,
ditemukan tanda fisik baru seperti sianosis atau edema perifer, gagal respon pada terapi awal,
adanya komorbid serius seperti gagal jantung atau aritmia, usia tua, eksaserbasi yang sering
berulang dan fasilitas perawatan dirumah yang tidak memadai (Global Initiative of Chronic
Obstructive Lung Disease, 2016).
Kriteria pasien pulang mampu menggunakan bronkodilator kerja panjang seperti β2
agonis dan atau antikolinergik dengan atau tanpa kortikosteroid inhalasi, membutuhkan
bronkodilator jangka pendek tidak lebih dari tiap 4 jam, mampu bergerak sekitar ruangan,
mampu makan dan tidur tidak terbangun karena sesak, pasien stabil secara klinis dalam 12-24
jam, analisis gas darah stabil dalam 12-24 jam dan pasien mampu menggunakan pengobatan
di rumah, pemantauan dan rencana perawatan dirumah yang lengkap dan pasien keluarga
serta dokter yakin bahwa perawatan pasien dirumah berhasil (Global Initiative of Chronic
Obstructive Lung Disease, 2016; Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).
10. Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut
Terapi PPOK eksaserbasi meliputi pemberian bronkodilator kerja singkat,
kortikosteroid, dan antibiotik. Pemberian inhalasi short acting β2 agonis (SABA) dengan
atau tanpa short acting anticholinergik (SAMA) selalu menjadi pilihan dalam terapi PPOK
eksaserbasi. Kortikosteroid sistemik pada PPOK eksaserbasi bertujuan untuk mempercepat
penyembuhan, memperbaiki oksigenasi dan fungsi paru, mengurangi risiko eksaserbasi
berulang serta kegagalan terapi. Pemberian antibiotik pada PPOK eksaserbasi masih menjadi
kontroversi, karena eksaserbasi dapat disebabkan karena virus atau bakteri. Antibiotik
diberikan pada PPOK eksaserbasi jika terdapat tanda infeksi bakteri dengan tiga tanda
kardinal PPOK yaitu peningkatan sesak napas dan produksi dahak, serta perubahan warna
dahak (Global Initiative of Chronic Obstructive Lung Disease, 2016; Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2011).
11. Terapi Antiinflamasi PPOK
Inflamasi berperan penting dalam patofisiologi PPOK. Infeksi bakteri atau pajanan
asap rokok menginduksi peningkatan sel imun dan mediator inflamasi di saluran napas dan
paru. Peningkatan inflamasi paru terutama saat eksaserbasi menyebabkan spillover mediator
inflamasi
paru
ke
sirkulasi
sehingga
berdampak
padapeningkatan
inflamasi
sistemik.Inflamasi kronik pada PPOKmenyebabkan resisten terhadap kortikosteroid.
Penurunan sensitivitas ktortikosteroid diakibatkan oleh penurunan kadar atau aktivitas HDAC
(Knobloch et al, 2013; Roche, 2013). Pendekatan terapi antiinflamasialternatif PPOK
diperlukan untuk menurunkan inflamasi sehingga dapat memperlambat progresifitas
penyakit, memperlambat penurunan fungsi paru, menurunkan risiko eksaserbasi, morbiditas
kardiovaskular, dan risiko kanker paru, serta meningkatkan kualitas hidup penderita.
Pendekatan terapi antiinflamasi alternative nonsteroidPPOK meliputi phosphodiesterase
(PDE)-4inhibitor,anti TNFα, NFκB dan MAPK inhibitor, serta CXCR antagonis (Hoonhorst
et al. 2014).
Tumbuhan telah diketahui memiliki berbagai aktivitas biologi karena dapat
menghasilkan ribuan senyawa aktif. Fitoaleksin merupakan salah satu senyawa bioaktif
dengan berat molekul rendah yang dihasilkan oleh tumbuhan sebagai respons terhadap
infeksi mikroorganisme atau pada keadaan stres akibat pajanan sinar ultraviolet. Beberapa
studi telah mempelajari bahwa fitoaleksin bermanfaat bagi kesehatan manusia antara lain
antiinflamasi, antioksidan, kardioprotektif, dan neuroprotektif. Kelompok fitoaleksin
beragam antara lain trepenoid, kumarin, steroid, alkaloid, dan polifenol. Salah satu senyawa
fitoaleksin polifenol yang dimanfaatkan sebagai suplemen adalah resveratrol (Scalbert et al,
2005; Kumar et al, 2009).
B. Resveratrol
Resveratrol (RES, 3,4’,5-trihydroxystilbene) merupakan suatu fitoaleksin polifenol
turunan stilbene yang dihasilkan oleh beberapa jenis tumbuhan sebagai mekanisme
pertahanan terhadap bakteri atau jamur. Resveratrol ditemukan pada kulit buah anggur, akar
kering polygonum cuspidatum atau knotweed jepang, dan red wine. Resveratrol juga
ditemukan dalam kacang-kacangan dan buah beri yaitu blueberi, cranberi, dan lain-lain
(Kumar et al, 2009). Resveratrol telah menarik banyak perhatian ahli biologi dan kimia
karena memiliki aktivitas biologi yang luas bagi kesehatan manusia. Resveratrol mempunyai
aktivitas
antioksidan,
antinflamasi,
antikanker,
kardioprotektif,
neuroprotektif,
dan
antipenuaan (Scalbert et al, 2005; Kumar et al, 2009).
Resveratrol dikelompokkan dalam senyawa stilbenoid (senyawa turunan stilbene
terhidroksi) atau senyawa polifenol karena memiliki lebih dari dua gugus hidroksil dalam
struktur kimianya. Struktur kimia senyawa polifenol tersusun dari satu atau lebih gugus
hidroksil (OH) yang terikat langsung dengan cincin aromatik hidrokarbon.Senyawa polifenol
mempunyai kemampuan sebagai antioksidan alami. Kemampuan senyawa polifenol sebagai
antioksidan tergantung dari sifat gugus fenol dalam mereduksi status redoks dan mempunyai
potensi untuk melengkapi kekurangan elektron dari struktur kimia yang dimiliki radikal
bebas (Scalbert et al, 2005; Yordi et al, 2011).
1. Sejarah Resveratrol
Resveratrol (RES, 3,5,4’-trihydroxystilbene) pertama kali ditemukan pada tahun 1940
oleh Michio Takaoka dari akar keringtumbuhan hellebore white (veratrum grandiflorum O.
loes). Nonomura dkk. tahun 1963 menemukan resveratrol dari akar tanaman kering
polygonum cuspidum atau knotweed sebagai obat tradisional negara jepang dan cina.
Polygonum cuspidum atau knotweed Jepang digunakan untuk mengobati berbagai penyakit
seperti dermatitis supuratif, gonorea favus, inflamasi,hiperlipidemia,dan athlete’s foot (tinea
pedis) di negara jepang. Hasil produk polygonum cuspidum seperti teh itadori atau ko-jo-kon
yang merupakan sumber resveratrol menjadi konsumsiutama minuman jepang sampai
sekarang. Resveratrol pada tahun berikutnya telah banyak diteliti ditemukan lebih dari 70
jenis tumbuhan dan buah meliputi anggur, blueberi, mulberi, cranberi, rhubard, kacang, dan
cacao (Agarwaland Shisodia, 2006; King et al, 2006)
Resveratrol menjadi terkenal saat ditemukan dalam red wine oleh Siemann dan
Creasy pada tahun 1992 karena menjadi suatu fenomena yang disebut “french paradoks” di
negara Perancis. Penelitian epidemiologi di negara Perancis menunjukkan konsumsi red wine
jangka panjang dan tidak berlebih diperkirakan dapat menurunkan risiko penyakit jantung
meskipun kebiasaanmakan penduduk negara Perancis diit tinggi lemak, kurang olahraga, dan
perokok.Salah satu alasan resveratrol menarik perhatian oleh para peneliti membuktikan
bahwa resveratrol memperpanjang umur manusia. Resveratrol yang terdapat di dalam red
wine merupakan hasil fermentasi utama anggur. Konsumsi resveratrol saat ini semakin
meningkat di Eropa karena efek pleiotrofik biologis yang bermanfaat bagi kesehatan manusia
(Smoliga et al; 2011; Agarwaland Shisodia, 2006; King et al, 2006).
2. Struktur Resveratrol
Resveratrol merupakan senyawa polifenol stilbene yang memiliki struktur rantai
karbon C6-C2-C6. Stilbene berasal dari etilen yang mempunyai dua buah cincin fenol. Cincin
A umumnya mempunyai dua kelompok gugus hidroksil sedangkan cincin B mempunyai
sebuah kelompok gugus hidroksil. Senyawa yang beragam dibentuk berdasarkan jumlah dan
lokasi kelompok gugus hidroksil. Rumus molekul resveratrol yaitu C14H12O3. Sifat fisik-kimia
resveratrol yaitu berbentuk bubuk padat, berwarna off white, berat molekul 228,25 dalton
atom (DA), dan meleleh pada suhu 253-255˚c (Agarwal and Shisodia, 2006; Basavaraju,
2014). Struktur kimia resveratrol dapat dilihat pada Gambar 18 (Agarwaland Shisodia, 2006).
Gambar 18. Stuktur kimia resveratrol (RES, 3,5,4’-trihydroxystilbene).
Keterangan: HO: Hidroksil
Dikutip dari (Agarwal and Shisodia,2006)
Ikatan ganda pada struktur kimia resveratrol berperan dalam pembentukan isomer cis
dan trans-resveratrol. Resveratrol (RES) terdiri dari dua bentuk struktur isomer kimia cis dan
trans.Bentuk cis dan trans resveratrol juga dapat terikat dengan senyawa glukosa disebut
dengan piceid (resveratrol-3-O-β-D-glucoside). Bentuk isomer cis dan trans-resveratrol
merupakan bentuk alami dan mempunyai efek biologis yang sama namun bentuk isomer
trans telah diteliti dan dikenal secara luas. Trans-resveratrol lebih dominan dan stabil dalam
bentuk alami. Resveratrol yang relatif stabil dan tahan lama karena tahan terhadap pH tinggi
dan sinar ultraviolet (UV).Cis-resveratrol sangat sensitif terhadap sinar namun dapat stabil
dalam keadaan gelap pada suhu udara ambien.Cis-resveratrol hampir tidak dapat ditemukan
dalam ekstrak anggur. Bentuk umum resveratrol yaitu trans-resveratrol atau trans-3,5,4’trihydroxystilbene (Aggarwal et al, 2004; Udenigwe et al, 2008). Bentuk resveratrol
dijelaskan pada Gambar 19 (Udenigwe et al, 2008).
Gambar 19. Bentuk resveratrol.
Keterangan: HO: hidroksi; GluO: glycosides.
Dikutip dari (Udenigwe et al, 2008)
3. Farmakokinetik dan Farmakodinamik Resveratrol
Interaksi antara obat dan sistem biologis terbagi dua yaitu farmakokinetik dan
farmakodinamik. Farmakokinetik resveratrol meliputi absorbsi, metabolisme, distribusi, dan
eliminasi. Bioavailabilitas resveratrol tergantung dari absorbsi, distribusi, metabolisme ikatan
resveratrol dengan berbagai molekul, dan eksresi pada tiap individu (Walle, 2011; Smoliga
and Blanchrad, 2014).
a. Absorbsi resveratrol
Resveratrol oral diabsorbsi dengan baik sekitar 70-80%dan relatif cepat dalam saluran
gastrointestinal. Resveratrolyang telah tercerna diabsobsisebagian besar secara difusi pasif
oleh epitel usus halusdan transport aktif oleh ATP-dependent binding cassette (ABC)
sehingga memudahkan translokasi bahan terlarut masuk kedalam sel. Struktur kimia RES
menyebabkan kelarutan dalam air rendah. Peningkatan kelarutan RES dalam air rendah
diperlukan pelarut organik antara lain dilarutkan dalam etanol (white wine) atau bersamaan
dengan makanan. Trans-resveratrol oral memiliki berat molekul kecil dan bersifat larut
lemaksehingga absorbsi lebih baik ke dalam sel (Walle, 2011; Smoliga and Blanchrad, 2014).
b. Metabolisme resveratrol
Resveratrol mengalami konjugasi glukoronida dan sulfat di hepar dan usus
halussetelah diabsorbsi sehingga mencapai sirkulasi sekitar 30-60 menit. Proses konjugasi
glukuronida dan sulfat dapat meningkatkan kelarutan resveratrol dalam air sehingga mudah
diekresikan oleh ginjal melalui urin. Resveratrol dalam hati manusia diubah menjadi transresveratrol-3-O-4’-disulfat (S1), trans-resveratrol-4’-O-sulfat (S2), dan trans-resveratrol-3O-sulfat (S3) oleh enzim sulfatransferase (SULT). Resveratrol dalam usus halus ditemukan
dalam
bentuk
trans-resveratrol-4’-O-glucuronide
(G1)
dan
trans-resveratrol-3-O-
glucuronide (G2). Perubahan bentuk metabolit resveratrol dalam usus karena mengalami
glukoronidase oleh uridine 5’-diphospho-glucoronosyltransferases (UGTs).Kemampuan usus
halus mengabsorbsi dan memetabolisme resveratrol tergantung fungsi hepar dan aktivitas
metabolik mikroflora lokal usus pada manusia (Smoliga and Blanchrad, 2014; Neves et al,
2012). Jalur metabolisme resveratrol dalam hati oleh enzim SULT dapat dilihat pada Gambar
20 (Neves et al, 2012).
Gambar 20. Jalur metabolisme resveratrol dalam hati oleh enzim SULT.
transresveratrol-3-O-4’-Odisulfate (S1), trans-resveratrol-4’-O-sulfate (S2), dan
trans-resveratrol-3-O-sulfate (S3).
Dikutip dari (Neveset al, 2012).
c. Distribusi
Suatu senyawa terapeutik bersifat efisien bila memiliki afinitas berikatan dengan
protein pengangkut. Resveratrol memiliki sifat kelarutan air rendah oleh karena itu
resveratrol harus berikatan dengan protein plasma untuk memastikan terdistribusi ke seluruh
tubuh dan bioavailabilitas adekuat. Resveratrol dalam proses transportasi berikatan dengan
protein serum seperti albumin, asam lemak, dan lipoprotein sehingga ikatan kompleks
tersebut dapat memfasilitasi penyerapan obat ke seluruh organ tubuh. Studi penelitian in vitro
menunjukkan trans-resveratrol lebih dari 90% mudah berikatan dengan plasma lipoprotein
manusia (Smoliga et al, 2014; Neves et al, 2012).
d. Eksresi
Seluruh metabolit resveratrol dieksresikan melalui urin dan feses setelah 24 jam pada
pemberian tunggal. Metabolit utama yang ditemukan dalam urin mencit yaitu monoglukuronida dan dihidro-resveratrol, sadangkan metabolit yang ditemukan dalam urin
manusia berupa konjugasi glucuronida dan sulfat dari resveratrol dan dihydro-resveratrol.
Total ekskresi konjugasi glucuronida dan sulfat dalam urine dan feses manusia sekitar 8098% setelah pemberian oral dan 59-91% setelah intravena (iv) (Neves et al, 2012).
e. Bioavabilitas resveratrol
Bioavailabilitas resveratrol tergantung dari efektivitas absorpsi usus halus dan
ekskresi ginjal. Data farmakokinetik dari beberapa penelitian menunjukkan trans-resveratrol
diabsorbsi, dimetabolisme, dan diekskresikan dengan cepat pada manusia dan hewan namun
resveratrol memiliki bioavailabilitas rendah sehingga mengurangi manfaat biologis dan
farmakologis dalam tubuh. Studi penelitian pada manusia menunjukkan pemberian
resveratrol oral 25 mg/kgbb/hari diserap sekitar 75% dan dimetabolisme dengan cepat sekitar
30 menit dengan kadar puncak di dalam plasma sebesar 2μM (Smoliga et al., 2014; Neves et
al., 2012). Resveratrol dengan dosis besar dapat digunakan untuk memaksimalkan hasil
resveratrol namun dosis besar juga dihubungkan denganefek samping yang buruk. Salah satu
pendekatan yang sederhana untuk meningkatkan bioavailabilitas resveratrol yaitu bersamaan
dengan makanan. Piperin adalah polifenol yang ditemukan pada merica hitam, dilaporkan
dapat meningkatkan kadar maksimal plasma (Cmax) dan under area curve (AUC) resveratrol
dalam serum tikus secara bermakna. Johnson dkk. tahun 2008 menunjukkan pemberian
piperin 10mg dengan resveratrol 100mg meningkatkan kadar resveratrol dalam plasma
sekitar 100% dan menghambat salah satu metabolisme glukuronida resveratrol (Neves et al,
2012).
Sejumlah
penelitian
baru
menunjukkan
pemberian
nanocapsul
resveratrol
memperbaiki stabilitas dan bioavailabilitas, serta meningkatkan pemberian intraselular
(Smoliga et al, 2014; Neveset al, 2012).
f. Toksisitas
Beberapa studi penelitian telah mempublikasikan berbagai efek samping pemberian
trans-resveratrol oral pada hewan dan manusia. Penelitian Juan et al. 2002 melakukan
penelitian pemberian trans-resveratrol intravena 80 mg/kg/hari pada tikus selama 5 hari tidak
menunjukkan efek samping. Penelitan tersebut dilanjutkan dengan pemberian transresveratrol oral 250 mg/kg/hari selama 5 hari namun juga tidak menunjukkan adanya efek
samping pada tikus. Studi penelitian menunjukkan bahwa efek toksik akut pemberian transresveratrol terjadi pada dosis letal (DL50) yaitu dosis letal rata-rata lebih dari 3 g/hari.
Kebanyakan efek samping yang terjadi pada dosis tinggi berupa penurunan fungsi ginjal
(Neves et al, 2012).
Pemberian trans-resveratrol jangka panjang pada tikus juga tidak menimbulkan efek
samping. Penelitian Crowell dkk. tahun 2004 menunjukkan bahwa pemberian transresveratrol oral dengan dosis terbagi masing-masing 300, 1000, dan 3000 mg/kg/hari selama
28 hari pada tikus (Neves et al, 2012). Efek samping terbanyak didapatkan pada dosis 3000
mg/kg/hari. Efek samping tersebut meliputi penurunan nafsu makan dan berat badan, serta
peningkatan tanda klinis toksik berupa peningkatan enzim hati (ALT), plasma BUN dan
kreatinin. Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan perubahan patologi berat pada ginjal.
Banyak peneliti menunjukkan pemberian trans-resveratrol oral dosis 300 sampai 1000
mg/hari tidak menimbulkan efek samping pada tikus. Produk suplemen diet trans-resveratrol
rata-rata sekitar 50 sampai 500 mg. Penelitian klinis pada manusia menunjukkan bahwa
pemberian trans-resveratrol 50-1000 mg/hari tidak menunjukkan efek samping. Food drug
administration (FDA) merekomendasikan pemberian trans-resveratrol oral dosis 300 mg/hari
telah memenuhi standar untuk tingkat keamanan suplemen (Smoliga et al, 2014; Neves et al,
2012).
4. Peran Resveratrol pada PPOK
Senyawa resveratrol diketahui mempunyai berbagai aktivitas biologi yang bermanfaat
bagi kesehatan manusia antara lain melindungi dari penyakit kanker, jantung,
neurodegeneratif, antiinflamasi, antioksidan, antiproliferatif, antiapoptosis, serta pengobatan
dan pencegahan penyakit paru inflamasi kronik pada asma dan PPOK. Peranan resveratrol
pada PPOK dikaitkan dengan aktivitas antioksidan dan antiinflamasi (Rahman and Chung,
2010; Pandey and Rizvi, 2011). Resveratrol sebagai antiinflamasi mempunyai sifat
pleiotrofik yaitu mampu mentargetkan berbagai jalur signal selular. Resveratrol menurunkan
respons inflamasi paru pada PPOK melalui hambatan beberapa jalur signal sensitif redoks
intraselular seperti NFκβ, AP1, dan MAPK. Resveratrol selain menurunkan inflamasi juga
dapat meningkatkan sensitivitas glukokortikoid. Peranan resveratrol terhadap sensitivitas
glukokortikoid dikaitkan peningkatan aktivitas fungsi enzim HDAC. Resveratrol sebagai
antioksidan dapat mengikat (scavenger) radikal bebas secara langsung, menghambat
peroksidasi lemak dan meningkatkan fungsi antioksidan enzimatik selular seperti superoxide
dismutase (SOD), MnSOD, glutation (GSH), dan katalase (CAT) melalui aktivasi sirtuin1
dan nuclear factor E2 related factor2 (Nrf2) (Pandey and Rizvi, 2011).
a. Resveratrol sebagai antiinflamasi
Resveratrol diketahui memiliki peranan sebagai antiinflamasi. Efek antiinflamasi
resveratrol dikaitkan dengan sejumlah hambatan jalur signal selular redoks faktor transkripsi
dan kinaseseperti NFκβ, AP1, dan PKC. Resveratrol secara langsung menghambat faktor
transkripsi utama NFκβ melalui hambatan pembentukan inhibitor κβ kinase (IκK). Hambatan
enzimIκK dapat menekan fosforilasi dan degradasi protein Iκβ kinase sehingga
mencegahtranslokasi heterodimer subunit p65 dan p50 NFκβ kedalam inti sel. Inhibitor κβ
kinase (IκK) merupakan enzim inhibitor pendegradasi Iκβ sehingga jumlah Iκβ meningkat
dan aktivitas NFκβ terhambat. Faktor transkripsi sekunder API, MAPKp38, dan PKC juga
dapat dihambat oleh resveratrol. Hambatan aktivasi NFκβ menurunkan berbagai ekspresi gen
inflamasi (seperti TNFα,IL1, IL6, IL8, dan GM-CSF), molekul adhesi, dan enzim protease
seperti MMPs pada PPOK (Agarwal and Shisodia, 2006; Louise, 2004). Hambatan NFκβ
oleh resveratrol pada penderita PPOK terjadi di sel epitel saluran napas dan makrofag
alveolar. Hambatan NFκβ juga dapat meningkatkan efek antiinflamasi steroid. Efek
resveratrol pada jalur NFκβ, dijelaskan pada Gambar 21 (Agarwaland Shisodia, 2006).
Gambar 21. Efek resveratrol padajalur NFκβ.
Keterangan : NFκβ: nuklear kappaβ; Iκβ: Inhibitor kappaβ; P: fosforilasi.
Dikutip dari (Agarwaland Shisodia,2006)
Holmes McNary dan Baldwin tahun 2000 menunjukkan resveratrol merupakan
penghambat poten aktivasi NFκβ dan AP1 padasel monosit U937 dan sel epitel alveolar
A549 manusia (Lastra and Villages, 2005). Pemberian resveratrol oral 30 mg menghambat
TNF atau LPS yang diinduksi oleh aktivasi NF-κβ melalui hambatan aktivitas Iκβ.
Resveratrol juga telah menunjukkan dapat menghambat TNFα memperantarai ekspresi
MMP9 dengan menurunkan regulasi aktivitas NFκβ. Resveratrol juga menghambat IL1β dan
pengeluaran IL8 dan GM-CSF dari makrofag alveolar oleh asap rokok (Agarwal and
Shisodia, 2006; Bisht et al, 2015). Culpitt dkk. tahun 2001 menunjukkan resveratrol dapat
menghambat pelepasan IL8 pada pasien perokok dan penderita PPOK sekitar 88% dan 94%
(Agarwaland Shisodia, 2006).
Hambatan resveratrol terhadap GM-CSF akan menurunkan molekul adhesi yaitu
ICAM-1 dan e-selectin sehingga perlekatan migrasi netrofil kedalam saluran napas oleh
faktor kemotaktik TNFα, LTB4, IL1β, CXCL1, CXCL5, CXCL8 menurun. Resveratrol
menghambat pelepasan GM-CSF sekitar 74% dan 79% pada perokok dan penderita PPOK.
Mediator faktor kemotaktik ini berasal dari makrofag, sel epitel, sel T, dan netrofil.
Hambatan netrofil yang teraktivasi akan mencegah pelepasan serin protease meliputi netrofil
elastase (NE), cathepsin G, dan proteinase 3, serta MMP8, MMP9 sehingga tidak
menyebabkan destruksi parenkim paru, hipersekresi mukus, dan aktivasi TGFβ. Penurunan
jumlah netrofil karena resveratrol pada PPOK eksaserbasi akut akan menurunkan faktor
kemotaktik netrofil seperti LTB4, CXCL8 (Agarwal and Shisodia, 2006).
b. Resveratrol memperbaiki sensitivitas steroid
Glukokortikosteroid merupakan terapi utama penyakit inflamasi saluran napas.
Penyakit inflamasi saluran napas respons terhadap glukokortikosteroid yaitu asma. Penderita
asma yang merokok dan PPOK sebagian besar resisten terhadap steroid. Glukokortikosteroid
adalah antiinflamasi yang bekerja dengan cara berikatan pada reseptor glukokortikosteroid
dan melibatkan aktivitas enzim HDAC2 untuk menekan regulasi transkripsi gen proinflamasi.
Kegagalan terapi antiinflamasi steroid disebabkan oleh menurunnya aktivitas enzim HDAC
(Knobloch et al, 2010)
Reactive oxygen/nitrogen species (ROS/RNS) yang dihasilkan dari pajanan asap
rokok dan metabolisme selular dapat menurunkan aktivitas fungsi enzim HDAC kelas 2
sehingga kompleks interaksi HDAC dengan RelA/p65 terganggu (rasio HAT terhadap HDAC
meningkat), asetilasi RelA/p65 meningkat di dalam inti sel dan terjadi sejumlah transkripsi
gen proinflamasi. Histon deasetilasi (HDAC) terdiri dari 4 kelas enzim meliputi 1, 2, 3, dan 4
(Rajendrasozhan et al, 2008; Rahman and chung, 2010). Stres oksidatif juga dapat
menyebabkan aktivitas enzim HDAC kelas 3 (sirtuin 1/sir2) menurun. Suatu penelitian baru
menunjukkan bahwa asap rokok mengganggu fungsi sirtuin1 pada makrofag alveolar pada
manusia secara in vitro dan pada paru tikus secara in vivo. Penurunan kadar/aktivitas enzim
HDAC kelas 2 dan sirtuin 1/sir2 menyebabkan efek faktor transkripsi NFκβ semakin kuat dan
efek terapi antiinflamasi steroid menurun pada perokok dan penderita PPOK (Rajendrasozhan
et al, 2008; Rahman and chung, 2010).
Sirtuin, homolog sir yeast2 adalah gen yang berperan dalam antiaging pada jamur
seperti jamur caenorhabditis elegans, and drosophila. Sirtuin terdiri dari 7 isoenzim. Sirtuin
1/sir2 merupakan gen penting pada manusia berperan untukmemperrtahankan terhadap
kondisi stres selular, inflamasi, penuaan, dan metabolisme baik protein maupun lemak.
Sirtuin 1 berperan sebagai antiinflamasi, antioksidan, dan antiaging pada PPOK. Resveratrol
memperantai aktivitas sirtuin 1 dalam memperpanjang kelangsungan hidup sel dan
memperbaiki fungsi mitokondria pada makhluk hidup. Suatu penelitian Sirtuin 1 termasuk
kelompok HDAC kelas 3 dan membutuhkan nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+)
sebagai ko-subtrat dalam proses deasetilasi. Target molekular sirtuin1 seperti NFκβ subunit
RelA/p65, p300, p53, peroxisome proliferator-activated response-coactivator-1α (PARP),
dan forkhead transcription factorbox kelas O3 (FOXO3) (Yang et al, 2007; Agarwal and
Shisodia, 2006; Rahman, 2003). Resveratrol secara langsung menginduksi sirtuin1 untuk
berikatan dengan NFκβ subunit RelA/p65 sehingga tidak terjadi asetilasi RelA/p65 dan
proses “silencing” transkripsi gen proinflamasi dapat dihambat, dijelaskan pada Gambar 22
(Rahman, 2003).
Gambar 22. Efek stres oksidatif dan diit polifenol pada modifikasi struktur kromatin
dan ekspresi gen proinflamasi.
Keterangan : IκB : inhibitor kappa B; p65 dan p50 : subunit protein;
CBP/p300 :cAMP binding protein; HAT : histon
asetiltransferase; SIRT :silent information regulator.
Dikutip dari (Rahman, 2003)
c. Resveratrol sebagai antioksidan
Resveratrol mempunyai aktivitas antioksidan karena mampu menetralisir radikal
bebas dan meningkatkan antioksidan enzimatik selular. Zini et al.1999 menunjukkan
resveratrol berperan sebagai antioksidan alami melalui tiga mekanisme yang berbeda yaitu
(a) mengikat (scavenger) radikal bebas, (b) mencegah peroksidasi lemak yang dihasilkan dari
reaksi fenton, (c) menstimulasi biosintesis antioksidan endogen enzimatik melalui modulasi
signal transduksi redoks antara lain nuclear erythroid-related factor (Nrf2) dan FOXO3
(Agarwal and Shisodia, 2006). Resveratrol sebagai antioksidan berperan mengikat
(scavenger) radikal bebas dengan menyumbangkan elektronnya (atom hidrogen) ke molekul
radikal bebas yang bersifat reaktif sehingga menjadi lebih stabil. Resveratrol baik secara in
vivo dan in vitro dapat mengaktifkan dan meningkatkan beberapa antioksidan endogen
enzimatik seperti MnSOD, CAT, glutation (GSH) reduktase, dan peroksidase. (Yang et al,
2007; Lastra et al, 2006). Penelitian menurut Yen dkk dilanjutkan oleh Pandey dan Rizvi
pada tahun 2010 menyatakan bahwa resveratrol mampu melindungi sel epitel saluran napas
dari kerusakan oksidatif dengan menginduksi sintesis GSH melalui faktor transkripsi nuclear
factor E2 related factor2 (Nrf2) (Pandey and Rizvi, 2011) .
C. Kerangka Teori
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) eksaserbasi adalah kondisi akut yang ditandai
dengan perburukan gejala respiratorik berupa sesak napas, batuk, dan produksi dahak diluar
variasi normal sehingga membutuhkan pengobatan lebih intensif. Faktor penyebab PPOK
eksaserbasi yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu infeksi saluran napas dan
eksternal yaitu pajanan polutan didalam rumah (keluarga perokok dan asap pembakaran
kayu) dan pajanan polutan diluar rumah (asap transportasi dan tempat kerja). Faktor umur,
status gizi, pekerjaan juga dapat menjadi perancu timbulnya eksaserbasi. Eksaserbasi
berkontribusi terhadap keparahan penyakit oleh karena dapat meningkatkan respons
inflamasi, stres oksidatif, dan kadar protease.
Peningkatan (amplifikasi) respons inflamasi mengakibatkan pengerahan sel inflamasi
(neutrofil, makrofag, eosinofil, limfosit) dalam jumlah besar masuk ke saluran napas dan
paru. Peningkatan sel inflamasi menyebabkan faktor transkripsi NFκβ teraktivasi. Nuclear
factor kaffa β (NFκβ) dalam keadaan tidak teraktivasi berikatan dengan protein keluarga
inhibitor κappa β (Iκβ α, Iκβ β, dan Iκβ ε) di sitoplasma. Inhibitor κappa β (Iκβ) merupakan
penghalang translokasi faktor transkripsi NFκβ kedalam inti sel. Fosforilasi dan degradasi
Iβ oleh radikal bebas menyebabkan NFκβ lepas dari Iβ melalui enzim IK selanjutnya
translokasi kedalam inti sel. Aktivitas NFκβ di dalam inti sel menghasilkan berbagai mediator
inflamasi antara lain, sitokin (TNF-α, IL-8, IL-6,dan IL-1β), kemokin (chemokine ligand
CXCL8), dan proteinase (netrofil elastase, dan MMP-9). Kondisi eksaserbasi juga dapat
meningkatkan inflamasi sistemik yang disebabkan oleh spillover mediator inflamasi paru ke
sirkulasi. Inflamasi kronik PPOK meningkatkan resistensi glukokortikosteroid.
Sel inflamasi neutrofil dan makrofag merupakan sumber utama ROS/RNS endogen.
Paru memiliki mekanisme pertahanan untuk mempertahankan kondisi homeostasis dengan
menghasilkan antioksidan endogen. Kondisi eksaserbasi akan mengerahkan sel inflamasi
kedalam saluran napas sehingga menghasilkan pelepasan ROS berlebih. Ketidakseimbangan
antara oksidan dan antioksidan yang mengakibatkan timbulnya stres oksidatif. Stres oksidatif
baik secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan perubahan struktur dan fungsi
saluran napas dan parenkim paru. Stres oksidatif secara langsung menyebabkan oksidasi
DNA, lemak, dan protein membran sel saluran napas dan paru. Stres oksidatif tidak langsung
mengaktivasi faktor transkripsi NFκβ yang berdampak pada regulasi sejumlah mediator
inflamasi.
Amplifikasi inflamasi, peningkatan stres oksidatif, dan peningkatan produksi dan
aktivitas protease menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan fungsi saluran napas yang
bersifat kronik, progresif, dan ireversibel. Perubahan patofisiologis berupa hipersekresi
mukus dan disfungsi silia, edema saluran napas, dan fibrosis saluran napas kecil, serta
emfisema paru. Perburukan gejala klinis PPOK saat eksaserbasi dapat dinilai dengan
kuesioner CAT. Kerangka teori secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 23.
PPOK
Faktor internal : infeksi saluran napas
Faktor eksternal : pajanan polutan
lingkungan, lingkungan keluarga perokok
Variabel perancu : umur,
status gizi, pekerjaan
PPOK
eksarsebasi
akut
CAT
Amplifikasi inflamasi
↑ aktivitas dan jumlah sel inflamasi
(makrofag, neutrofil, monosit, limfosit,
fibroblast) Struktur sel saluran napas (sel
epitel, sel goblet)
↑ROS
↑Protease
↓antiprotease
↑Stres oksidatif
Aktivasi faktor
transkripsi
(NFkβ)
Oksidasi
lipid
Destruksi
MES
Emfisema
MDA
Release mediator inflamasi
IL-8↑
IL-1β↑
IL-6↑
TNF-α↑
GMCSF ↑
TGF-β ↑
Neutrofil
elastase
MMP-9
↑
↑ Inflamasi saluran napas, hipersekresi mukus, edema saluran napas, fibrosis saluran napas kecil,
dan emfisema paru
Perburukan gejala klinis
(CAT↑)
Gambar 23.Kerangka Teori Patogenesis PPOK.
D. Kerangka Konsep Penelitian
Inflamasi memegang peranan penting dalam imunopatogenesis PPOK. Pada kondisi
eksaserbasi respons inflamasi meningkat (amplifying) di saluran napas dan paru. Eksaserbasi
dapat disebabkan oleh faktor internal yaitu infeksi saluran napas dan faktor ekternal antara
lain pajanan polutan lingkungan luar dan lingkungan keluarga perokok. Faktor umur, status
gizi, pekerjaan juga dapat menjadi perancu terjadinya eksaserbasi. Penderita PPOK
eksaserbasi akut derajat berat dilaporkan lebih banyak mengalami malnutrisi. Penyebab
malnutrisi PPOK antara lain diit rendah, inflamasi, dan hipoksia kronik (Global Initiative of
Chronic Obstructive Lung Disease, 2016)
Amplifikasi inflamasi mengakibatkan pengerahan sel imun (neutrofil, makrofag,
eosinofil, limfosit) masuk dalam saluran napas dan paru. Peningkatan sel imun menstimulasi
aktivitas NFκß. Aktivasi NFκβ akan mengeluarkan berbagai mediator inflamasi yaitu IL-8
dan MMP-9. Peningkatan sel imun juga dapat mengaktivasi protease sehingga terjadi
emfisema paru. Interleukin (IL)-8 memiliki peranan penting dalam amplifikasi respons
inflamasi pada PPOK eksaserbasi. Kadar IL-8 meningkat di sputum dan plasma pada PPOK
eksaserbasi. Peningkatan kadar IL-8 menyebabkan jumlah sel netrofil meningkat (Wedzicha
and donaldson, 2003; Barnes, 2008). Peningkatan jumlah sel netrofil akan menghasilkan
enzim elastase. Matrik metalloproteinase (MMP)-9 diketahui mempunyai peranan penting
dalam mendegradasi jaringan elastin (Churg et al, 2011; Barnes et al, 2008).
Resveratrol merupakan senyawa polifenol stilbene yang memiliki aktivitas
antiinflamasi. Resveratrol secara langsung menghambat faktor transkripsi utama NFκβ
melalui hambatan pembentukan IκK. Hambatan aktivasi NFκβ menurunkan berbagai
pengaturan ekspresi gen mediator inflamasi salah satunya IL-8 dan MMP-9 (Agarwal and
Shisodia, 2006; Louise, 2004). Penurunan mediator inflamasi diharapkan dapat memperbaiki
gejala klinis yang dinilai dengan skor CAT. Kerangka konsep secara ringkas dapat dilihat
pada Gambar 24.
PPOK
Faktor internal : infeksi saluran napas
Faktor eksternal : pajanan polutan
lingkungan, lingkungan keluarga perokok
Variabel perancu : umur,
status gizi, pekerjaan
PPOK
eksarsebasi
akut
CAT
Amplifikasi inflamasi
↓ Aktivasi faktor
Resveratrol
transkripsi
(NF-kβ)
(NFkβ)
↓Release mediator
↓Releaseinflamasi
mediator inflamasi
↓interleukine
↓interleukine
(IL)-8
(IL)-8
plasma,
plasma,
MMP-9
MMP-9
plasma
plasma
↓ Inflamasi saluran napas, hipersekresi mukus, edema saluran napas, fibrosis saluran napas kecil,
dan emfisema paru
Perbaikan gejala klinis
(CAT↓)
Gambar 24. Kerangka konsep penelitian tentang pengaruh resveratrol terhadap kadar
IL-8 dan MMP-9 plasma, penderita PPOK eksaserbasi akut.
Variabel penelitian:
variabel terikat
,variabel bebas
, Area penelitian:-------
E. Hipotesis Penelitian
1. Ada penurunan kadar IL-8 plasma penderita PPOK eksaserbasi akut setelah pemberian
resveratrol.
2. Ada penurunan kadar MMP-9 plasma penderita PPOK eksaserbasi akut setelah pemberian
resveratrol.
Download