2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Perilaku Konsumen
2.1.1 Pengertian
Kegiatan pemasaran memiliki tujuan untuk memenuhi dan memuaskan
kebutuhan serta keinginan pelanggan sasaran (Kotler, 2002). Oleh sebab itu, sangat
penting bagi manajer pemasaran untuk memahami bagaimana perilaku konsumen dalam
usaha memuaskan kebutuhan dan keinginannya. Menurut Kotler (2002) perilaku
konsumen merupakan studi tentang bagaimana pembuat keputusan (decision units), baik
individu, kelompok ataupun organisasi membuat keputusan-keputusan beli atau
melakukan transaksi pembelian suatu produk dan mengonsumsinya dalam rangka
memuaskan kebutuhan dan hasrat mereka. Perilaku konsumen dapat dikatakan sebagai
perilaku yang unik oleh karena konsumen sangat beraneka ragam mulai dari faktor
umur, pendidikan, pendapatan maupun selera. Berbagai macam latar belakang faktor
yang mempengaruhi perilaku konsumen, maka tidaklah mengherankan jika dalam
memahami perilaku konsumen mengalami kesulitan.
Menurut Hawkins, Best, dan Coney (2007) dalam Suryani (2008) perilaku
konsumen merupakan studi tentang bagaimana individu, kelompok, dan organisasi dan
proses yang dilakukan untuk memilih, mengamankan, menggunakan dan menghentikan
produk, jasa, pengalaman atau ide untuk memuaskan kebutuhannya dan dampaknya
terhadap konsumen dan masyarakat. Studi perilaku konsumen itu mencakup bidang
yang lebih luas, karena termasuk di dalamnya juga mempelajari dampak dari proses
dan aktivitas yang dilakukan konsumen ke konsumen lain maupun masyarakat.
8
9
Hal yang hampir sama diungkapkan oleh Schiffman dan Kanuk (2007) dalam
Suryani (2008) bahwa perilaku konsumen merupakan studi yang mengkaji bagaimana
individu membuat keputusan membelanjakan sumberdaya yang tersedia dan dimiliki
(waktu, uang dan usaha) untuk mendapatkan barang atau jasa yang nantinya akan
dikonsumsi. Dalam studi ini juga mengkaji tentang apa yang mereka beli, mengapa
mereka membeli, dimana mereka membeli dan bagaimana (berapa sering membeli) dan
bagaimana mereka menggunakannya.
Sedangkan Loudon dan Bitta (1995) dalam Suryani (2008) menjelaskan bahwa
perilaku konsumen mencakup proses pengambilan keputusan dan kegiatan yang
dilakukan konsumen secara fisik dalam pengevaluasian, perolehan penggunaan atau
mendapatkan barang dan jasa. Jadi di dalam menganalisis perilaku konsumen tidak
hanya menyangkut faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan kegiatan
saat pembelian, akan tetapi juga meliputi proses pengambilan keputusan yang menyertai
pembelian.
Berdasarkan pengertian perilaku konsumen tersebut dapat dikatakan bahwa
perilaku konsumen merupakan kegiatan-kegiatan konsumen yang secara langsung
terlibat dalam mendapatkan dan mempergunakan barang atau jasa, termasuk di
dalamnya proses pengambilan keputusan. Melihat pada beberapa pengertian tentang
perilaku konsumen, maka terlihat bahwa memahami perilaku konsumen bukanlah suatu
pekerjaan yang mudah karena banyaknya variable yang mempengaruhi dan variablevariabel tersebut saling berinteraksi. Menurut Suryani (2008), untuk mempelajari
perilaku konsumen ini pemasar tidak hanya berhenti pada perilaku konsumen semata
saja namun juga perlu mengaitkannya dengan strategi pemasaran yang akan disusunnya.
Strategi pemasaran yang baik pada hakikatnya didasarkan pada apa yang diinginkan dan
10
dibutuhkan konsumennya. Perusahaan yang mampu memahami perilaku konsumen
akan mendapatkan keuntungan yang cukup besar karena dapat menyusun strategi
pemasaran yang tepat sehingga dapat memberikan kepuasan yang lebih baik
dibandingkan pesaing.
2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen
Menurut teori yang dikembangkan oleh Lawrence Green dalam Notoatmodjo
(2003) bahwa kesehatan individu atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok,
yaitu faktor perilaku dan faktor non perilaku. Faktor perilaku ini ditentukan oleh tiga
kelompok faktor, yaitu: faktor predisposisi (predisposing faktor), faktor pendukung
(enabling faktor), dan faktor penguat (reinforcing faktor).
1. Faktor predisposisi (predisposing faktor)
Faktor-faktor predisposisi merupakan preferensi pribadi yang dibawa seseorang atau
kelompok ke dalam suatu pengalaman belajar dan memberikan kecenderungan
berperilaku tertentu. Faktor ini mencakup pengetahuan individu, sikap, kepercayaan,
tradisi, norma sosial, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan
masyarakat.
a. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca
indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Selain itu
pengetahuan merupakan hasil dari suatu produk sistem pendidikan dan akan
mendapatkan pengalaman yang nantinya akan memberikan suatu tingkat
pengetahuan dan kemampuan tertentu. Pengetahuan seseorang diperoleh dari proses
11
belajar (pendidikan), media massa, dan keterpaparan informasi. Pengetahuan
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang
(Notoatmodjo, 2003). Ada 6 tingkatan pengetahuan seseorang yang dicakup dalam
domain kognitif, yaitu:
1) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang
telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang
dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasi, menyatakan,
dan sebagainya.
2) Memahami (comprehension)
Memahami merupakan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara besar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus
dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan
sebagainya.
3) Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang nyata.
12
4) Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan
masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan
kata
kerja
seperti
dapat
menggambarkan,
membedakan,
memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
5) Sintesis (synthesis)
Sintesis ini menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain, sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasiformulasi yang ada.
6) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan
pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteri-kriteria
yang telah ada.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2003)
adalah sebagai berikut:
1. Pengalaman
Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun orang lain.
Pengalaman yang sudah diperoleh dapat memperluas pengetahuan
seseorang.
13
2. Tingkat Pendidikan
Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang. Secara
umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai
pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat
pendidikannya lebih rendah.
3. Keyakinan
Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa adanya
pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini bias mempengaruhi pengetahuan
seseorang, baik keyakinan itu sifatnya positif maupun negatif
4. Fasilitas
Fasilitas-fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi
pengetahuann seseorang, misalnya radio, televisi, majalah, koran, dan buku.
5. Penghasilan
Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan seseorang.
Namun bila seseorang berpenghasilan cukup besar maka dia akan mampu
untuk menyediakan atau membeli fasilitas-fasilitas sumber informasi.
6. Sosial Budaya
Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi
pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang
menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat
disesuaikan dengan tingkatan domain diatas (Notoatmodjo, 2003).
14
b. Sikap
Sikap adalah determinan perilaku, karena berkaitan dengan persepsi, kepribadian
dan motivasi. Sebuah sikap merupakan suatu keadaan siap mental, yang dipelajari
dan diorganisasi menurut pengalaman dan yang menyebabkan timbulnya pengaruh
khusus atau reaksi seseorang terhadap orang-orang, objek-objek, dan situasi-situasi
dengan siapa ia berhubungan (Winardi, 2004). Menurut Notoatmodjo (2003), sikap
merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus
atau objek. Sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan
dahulu dari perilaku tertutup. Sikap itu masih merupakan reaksi terbuka atau tingkah
laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di
lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Pengertian lain
mengenai sikap dikemukakan oleh Schiffman dan Kanuk (2007) dalam Suryani
(2008) yang menyatakan bahwa sikap merupakan ekspresi perasaan yang berasal
dari dalam diri individu yang mencerminkan apakah seseorang senang atau tidak
senang, suka atau tidak suka dan setuju atau tidak setuju terhadap suatu objek.
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu:
1. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (objek).
2. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
15
3. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
4. Bertanggung jawab ( responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Menurut model tiga komponen sikap, sikap terbentuk dari tiga komponen,
yaitu komponen kognitif, afektif, dan komponen konatif. Untuk mempermudah
mengingatnya, umunya dikenal sebagai model ABC yang artinya sikap mengandung
komponen Affective (A = perasaan), Behavior Intention (B = keinginan untuk
berperilaku atau komponen konasi) dan Komponen Cognitive (C = kognisi)
(Suryani, 2008).
1) Komponen Kognitif
Komponen kognitif berisi tentang kepercayaan seseorang mengenai apa yang
berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. Kepercayaan datang dari apa
yang telah kita lihat atau apa yang telah kita ketahui. Berdasarkan apa yang
telah kita lihat itu kemudian terbentuk suatu idea tau gagasan mengenai sifat
atau karakteristik umum suatu objek.
2) Komponen Afektif
Menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek
sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang
dimiliki terhadap sesuatu, sifatnya evaluative.
16
3) Komponen Konatif
Menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada
dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.
Pengertian kecenderungan berperilaku menunjukkan bahwa komponen
konatif meliputi bentuk perilaku yang tidak hanya dapat dilihat secara
langsung saja, akan tetapi meliputi pula bentuk-bentuk perilaku yang berupa
pernyataan atau perkataan yang diucapkan oleh seseorang.
Menurut Kazt dalam Suryani (2008) terdapat empat macam fungsi sikap, yaitu:
a) Fungsi Utilitarian
Sikap merupakan fungsi penilaian konsumen tentang apakah obyek sikap
(misalnya produk) memberikan manfaat atau kegunaan bagi konsumen.
Fungsi ini mengacu pada pendapat bahwa individu mengekspresikan
perasaannya untuk memaksimalkan penghargaan dan meminimalkan
hukuman dari orang lain. Konsumen dapat mengembangkan sikap positifnya
apabila objek tersebut dipandang memberikan manfaat atau mendatangkan
keuntungan bagi dirinya. Atas dasar fungsi inilah, maka pemasar untuk
mempengaruhi konsumen dalam mengiklankan suatu produk akan selalu
menunjukkan berbagai manfaat, keuntungan, kegunaan maupun keunggulan
produk tersebut kepada konsumennya.
b) Fungsi Ekspresi Nilai
Sikap dapat terbentuk sebagai fungsi dari keinginan individu untuk
mengekspresikan nilai-nilai individu kepada orang lain. Ekspresi sikap
digunakan oleh individu untuk menunjukkan konsep dirinya. Hampir
sebagian besar konsumen dalam perilaku pembelian, terutama ketika
17
memilih suatu produk tidak terlepas dari keinginannya untuk menunjukkan
nilai-nilai yang dianutnya dan dijunjung tinggi kepada konsumen lain atau
masyarakat. Karena sikap merupakan fungsi dari ekspresi nilai, maka
pemasar
berusaha
mempengaruhi
sikap
konsumen
dengan
cara
mengiklankan produknya dengan menonjolkan ekspresi nilai tertentu bagi
para pemakainya.
c) Fungsi mempertahankan Ego
Sikap konsumen seringkali merupakan sarana bagi konsumen untk
melindungi atau mempertahankan egonya. Sikap digunakan sebagai sarana
untuk melindungi diri dari kebenaran mendasar tentang dirinya atau sesuatu
yang akan mengancam. Atas dasar inilah, maka pemasar dalam iklannya
berusaha mempengaruhi konsumen dengan memberikan pesan pada
promosinya bahwa produknya dapat melindungi ego konsumen dari
penghinaan orang lain.
d) Fungsi Pengetahuan
Sikap konsumen merupakan fungsi dari pengetahuan dan pengalaman
konsumen mengenai objek sikapnya. Sikap juga digunakan individu sebagai
dasar untuk memahami. Melalui sikap yang ditunjukkan akan dapat
diketahui bahwa dirinya memiliki pengetahuan yang cukup, yang banyak
atau tidak tahu sama sekali mengenai objek sikap. Oleh karena pengetahuan
merupakan komponen penting dari sikap, maka pemasar perlu memberikan
informasi, wawasan mengenai produk atau objek sikap lainnya kepada
konsumen.
18
Sikap terbentuk dari adanya interaksi social yang dialami oleh individu. Dalam interaksi
sosialnya, individu akan bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai
objek psikologis yang dihadapinya. Faktor-faktor yang berperan penting dalam
pembentukan sikap (Azwar, 1995), yaitu:
1. Pengalaman Pribadi
Pengalaman individu terhadap stimulus sosial tertentu akan mempengaruhi
pembentukan sikap terhadap stimulus tersebut. Untuk dapat menjadi dasar
pembentukan sikap, pengalaman pribadi tersebut haruslah meninggalkan kesan
yang kuat. Oleh karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila
pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor
emosional.
2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan
sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi
oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik
dengan orang yang dianggap penting tersebut.
3. Pengaruh Kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar
terhadap
pembentukan
sikap
kita.
Tanpa
disadari,
kebudayaan
telah
menanamkan garis pengarah sikap individu terhadap berbagai masalah.
4. Media Massa
Berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan
lain-lain mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan opini dan
kepercayaan individu. Media massa membawa pesan-pesan sugestif yang dapat
19
mengarahkan opini individu. Pesan-pesan tersebut memberikan informasi yang
akan menjadi landasan kognitif bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut.
Bila cukup kuat, maka akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal
sehingga terbentuk arah sikap tertentu.
5. Lembaga pendidikan atau lembaga agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu system mempunyai
pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar
pengertian dan konsep moral dalam individu. Pemahaman akan baik dan buruk,
garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh
dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Dikarenakan
konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan system kepercayaan maka
tidaklah mengherankan kalau pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut
berperan dalam menentukan sikap individu terhadap suatu hal. Apabila terdapat
suatu hal yang kontroversial, pada umumnya orang akan mencari informasi lain
untuk memperkuat posisi sikapnya atau mungkin juga orang tersebut tidak
mengambil sikap memihak. Dalam hal seperti itu, ajaran moral yang diperoleh
dari lembaga pendidikan atau dari agama seringkali menjadi determinan tunggal
yang menentukan sikap.
6. Pengaruh faktor emosional
Suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang
berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk
mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian dapat merupakan sikap yang
sementara dan segera berlalu begitu frustasi sudah hilang, akan tetapi dapat pula
merupakan sikap yang persisten dan bertahan lama.
20
c. Nilai-nilai Budaya
Menurut Hawkins, et al (2007) dalam Suryani (2008) budaya diartikan sebagai
kompleks yang menyeluruh yang mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, hukum,
moral, kebiasaan dan kapabilitas lainnya serta kebiasaan-kebiasaan yang dikuasai
oleh individu sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Mowen dan Minor
(2002) dalam Suryani (2008) kebudayaan didefinisikan sebagai perangkat pola
perilaku yang diperoleh secara social dan diekspresikan melalui symbol-simbol,
bahasa dan cara-cara lain kepada anggota masyarakat.
Menurut Suryani (2008) dalam konteks pemahaman budaya dan pengaruhnya
terhadap perilaku konsumen, budaya didefinisikan sebagai keseluruhan dari
keyakinan, nilai dan kebiasaan yang dipelajari oleh suatu kelompok masyarakat
tertentu yang membantu mengarahkan perilaku konsumen. Adanya perbedaan
budaya menyebabkan terjadinya perbedaan dalam sikap, kebiasaan, dan berperilaku.
Beberapa produk menuntut dilakukan penyesuaian dan modifikasi sesuai dengan
kebiasaan masyarakat setempat.
d. Kepercayaan
Seseorang yang mempunyai atau meyakini suatu kepercayaan tertentu akan
mempengaruhi perilakunya dalam menghadapi suatu penyakit yang akan berpengaruh
terhadap kesehatannya (Green dan Kreuter, 2000).
e. Persepsi
Menurut Machfoedz (2005), persepsi adalah proses pemilihan, penyusunan,
dan penafsiran informasi untuk mendapatkan arti. Schiffman dan Kanuk (2004)
dalam Suryani (2008) mendefinisikan persepsi sebagai proses dimana dalam proses
21
tersebut individu memilih, mengorganisasikan dan mengintepretasikan stimuli
menjadi sesuatu yang bermakna.
Persepsi pada hakikatnya merupakan proses psikologis yang kompleks yang
juga melibatkan aspek fisiologis. Proses psikologis penting yang terlibat dimulai
dari adanya aktivitas memilih, mengorganisasi dan mengintepretasikan sehingga
konsumen dapat memberikan makna atas suatu objek. Usaha apapun yang dilakukan
oleh pemasar tidak akan punya arti kalau konsumen tidak mempersepsikan secara
tepat seperti yang dikehendaki oleh pemasar. Terdapat tiga proses penting dalam
persepsi
yaitu
menyeleksi
(memilih)
stimuli,
mengorganisasikan
dan
mengintepretasikan stimuli tersebut agar memiliki arti atau makna.
1. Seleksi
Proses persepsi diawali dengan adanya stimuli yang mengenai panca indra yang
disebut sebagai sensasi. Stimuli ini beragam bentuknya dan akan selalu
membombardir indra konsumen. Jika dilihat dari asalnya, stimuli ada yang
berasal dari luar individu (seperti aroma, iklan dan lain-lain) serta berasal dari
dalam individu seperti harapan, kebutuhan dan pengalaman. Dalam perilaku
konsumen stimuli yang berpengaruh pada persepsi konsumen adalah semua
usaha-usaha yang dilakukan oleh pemasar melalui strategi pemasarannya.
2. Pengorganisasian
Setelah konsumen memilih stimuli mana yang akan diperhatikan, konsumen
akan mengorganisasikan stimuli yang ada. Konsumen akan mengelompokkan,
menghubung-hubungkan stimuli yang dilihatnya agar dapat diintepretasikan,
sehingga mempunyai makna.
22
3. Intepretasi
Setelah konsumen mengorganisir stimuli yang ada dan mengkaitkannya dengan
informasi yang dimiliki, maka agar stimuli tersebut mempunyai makna,
konsumen mengintepretasikan atau memberi arti stimuli tersebut. Pada tahap
intepretasi ini konsumen secara sadar atau tidak sadar akan mengait-ngaitkan
dengan semua informasi yang dimilikinya agar mampu memberikan makna yang
tepat. Dalam proses ini pengalaman dan juga kondisi psikologis konsumen
seperti kebutuhan, harapan, dan
kepentingan akan berperan penting dalam
mengintepretasikan stimuli. Stimuli yang tidak jelas atau ambigu seringkali
menyulitkan konsumen untuk mengintepretasikan, bahkan bisa menyebabkan
kesalahan dalam memberikan makna.
2. Faktor pendukung (enabling factor)
Faktor pendukung ialah faktor-faktor yang memungkinkan seseorang atau kelompok
melakukan tindakan meliputi tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan
kemudahan untuk mencapainya.
3. Faktor pendorong (reinforcing factor)
Faktor pendorong adalah faktor-faktor yang mendorong perubahan perilaku
seseorang. Sumber pendorong perubahan perilaku ini mungkin datang dari rekan
sejawat, pimpinan, keluarga, suasana kerja, budaya kerja, dan lain sebagainya.
23
2.2
Kualitas Pelayanan
2.2.1 Pengertian Kualitas Pelayanan
Dalam membeli suatu produk konsumen selalu berharap agar barang yang
dibelinya dapat memuaskan segala keinginan dan kebutuhannya. Untuk itu perusahaan
harus dapat memahami keinginan konsumen, sehingga perusahaan dapat menciptakan
produk yang sesuai dengan harapan konsumen. Kualitas produk yang baik merupakan
harapan konsumen yang harus dipenuhi oleh perusahan, karena kualitas produk yang
baik merupakan kunci perkembangan produktivitas perusahaan.
Dalam pelaksanaannya kualitas produk atau layanan harus berorientasi pada
pelanggan karena pelangganlah yang menentukan tingkat kualitas. Pelangan yang
merasa puas akan mengatakan bahwa produk yang diberikan tersebut memiliki kualitas
yang tinggi. Oleh karena itu, untuk menciptakan kualitas yang baik dimata konsumen,
perlu diketahui konsep kualitas agar kualitas yang dimaksud dapat terwujud.
Adapun yang dimaksud dengan kualitas menurut Tjiptono dan Diana (2003)
kualitas adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia,
proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Pengertian lain juga
dikemukakan oleh Gaspersz (2005), kualitas adalah total dari karakteristik suatu produk
yang menunjang kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dispesifikasikan
atau diterapkan. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas
merupakan karakteristik barang atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhan dan
keinginan atau melebihi harapan pelanggan. Ini jelas merupakan definisi kualitas yang
berpusat pada konsumen, seorang produsen dapat memberikan kualitas bila produk atau
pelayanan yang diberikan dapat memenuhi atau melebihi harapan konsumen.
Berdasarkan beberapa pengertian kualitas diatas dapat diartikan bahwa kualitas hidup
24
kerja harus merupakan suatu pola pikir (mindset), yang dapat menerjemahkan tuntutan
dan kebutuhan pasar konsumen dalam suatu proses manajemen dan proses produksi
barang atau jasa terus menerus tanpa hentinya sehingga memenuhi persepsi kualitas
pasar konsumen tersebut. Sedangkan pelayanan adalah setiap tindakan atau kegiatan
yang dapat ditawarkan oleh sutu pihak kepada pihak lain, pada dasarnya tidak berwujud
dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun (Kotler, 2000).
Berdasarkan pengertian kualitas dan pelayanan tersebut, maka kualitas
pelayanan dapat didefinisikan sebagai seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan
harapan para pelanggan atas layanan yang mereka terima. Kualitas pelayanan dapat
diketahui dengan cara membandingkan persepsi para pelanggan atas layanan yang
benar-benar mereka terima. Apabila jasa yang dirasakan sesuai dengan jasa yang
diharapkan, maka kualitas pelayanan tersebut akan dipersepsikan baik atau positif. Jika
jasa yang dipersepsikan melebihi jasa yang diharapkan, maka kualitas jasa
dipersepsikan sebaga kualitas ideal. Demikian juga sebaliknya apabila jasa yang
dipersepsikan lebih jelek dibandingkan dengan jasa yang diharapkan maka kualitas jasa
dipersepsikan negatif atau buruk. Maka baik tidaknya kualitas pelayanan tergantung
pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggannya secara
konsisten.
2.2.2 Dimensi Kualitas Jasa
Menurut Parasuraman (1998), persepsi pelanggan atas kualitas layanan
mencakup lima dimensi mutu yang diukur adalah sebagai berikut:
1. Tangible (bukti fisik) yaitu kemampuan
suatu perusahaan dalam
menunjukkan eksistensinya pada pihak eksternal (konsumen). Bukti fisik
meliputi fasilitas fisik, peralatan dan penampilan petugas, kebersihan,
25
kerapian dan kenyamanan ruangan, kesiapan dan kebersihan alat. Konsumen
akan menggunakan indra penglihatan untuk menilai kualitas pelayanan
seperti menilai gedung, peralatan, seragam, yaitu hal-hal yang menimbulkan
kenikmatan bila dilihat.
2. Reliability (Kehandalan) yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan
pelayanan yang sesuai dengan janji yang ditawarkan secara akurat dan
terpercaya yang meliputi kemampuan petugas memberikan pelayanan
dengan segera, tepat waktu dan benar misalnya penerimaan yang cepat,
pelayanan pemeriksaan dan perawatan yang cepat dan tepat.
3. Responsiveness (Ketanggapan) yaitu suatu kemauan untuk membantu dan
memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada pelanggan yang
meliputi kemampuan petugas dalam menanggapi keluhan pelanggan
termasuk kemampuan petugas untuk cepat tanggap dalam menyelesaikan
keluhan dan tindakan cepat pada saat dibutuhkan.
4. Assurance (Jaminan) yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan
para petugas perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya pelanggan
kepada pelayanan perusahaan yang memiliki beberapa komponen, antara
lain:
a. Comunication (komunikasi), yaitu secara terus-menerus memberikan
informasi kepada pelanggan dalam bahasa dan penggunaan kata yang
jelas sehingga para pelanggan dapat dengan mudah mengerti di samping
itu perusahaan hendaknya dapat secara cepat dan tanggap dalam
menyikapi keluhan (complaine) yang dilakukan oleh pelanggan.
26
b. Credibility (Kredibilitas), yaitu perlunya jaminan atas suatu kepercayaan
yang diberikan kepada pelanggan, believability atau sifat kejujuran.
Menanamkan kepercayaan, memberikan kredibilitas yang baik bagi
perusahaan bagi masa yang akan datang.
c. Security (Keamanan), yaitu adanya suatu kepercayaan yang tinggi dari
pelanggan akan pelayanan yang diterima. Tentunya pelayanan yang
diberikan memberikan suatu jaminan kepercayaan yang maksimal.
d. Competence (Kompetensi) yaitu keterampilan yang dimiliki dan
dibutuhkan agar dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan dapat
dilaksanakan dengan optimal.
e. Courtesy (Sopan santun), yaitu dalam pelayanan adanya suatu nilai moral
yang dimiliki oleh perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada
pelanggan. Jaminan akan kesopansantunan yang ditawarkan kepada
pelanggan sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada.
5. Empathy (Empati) yaitu memberikan perhatian tulus dan bersifat individual
atau pribadi yang diberikan kepada pelanggan dengan berupaya memahami
keinginan konsumen, dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki suatu
pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan
pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman
bagi pelanggan. Hal ini meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan
komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan klien yang terwujud dalam
penuh perhatian terhadap setiap pasien.
27
2.3
Pemasaran
2.3.1 Definisi Pemasaran dan Manajemen Pemasaran
Perkembangan dunia bisnis pada era globalisasi menuntut kinerja yang
sempurna dari setiap proses yang dijalankan perusahaan. Pemasaran tidak lagi
dipandang sebagai bagian yang terpisah dari organisasi yang hanya berperan sebagai
proses penjualan suatu produk. Pemasaran dalam suatu perusahaan memegang peranan
yang sangat penting, karena pemasaran merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan
untuk mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan, melakukan perkembangan
terhadap perusahaan dan untuk pencapaian tujuan perusahaan dalam memperoleh
keuntungan.
Perkembangan konsep pemasaran sendiri tidak terlepas dari fungsi-fungsi
organisasi yang lain dan pada akhirnya mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan
dan keinginan konsumen. Pemasaran yang tidak efektif (ineffective marketing) dapat
membahayakan bisnis karena dapat berakibat pada konsumen yang tidak puas.
Pemasaran yang efektif (effective marketing) justru berakibat sebaliknya yaitu
menciptakan nilai atau utilitas. Menciptakan nilai dan kepuasan pelanggan adalah inti
pemikiran pemasaran modern. Tujuan kegiatan pemasaran adalah menarik pelanggan
baru dengan menjanjikan nilai yang tepat dan mempertahankan pelanggan saat ini
dengan memenuhi harapannya sehingga dapat menciptakan tingkat kepuasan.
Pengertian pemasaran oleh para ahli dikemukakan berbeda-beda dalam
penyajiannya, namun semua itu sebenarnya memiliki pengertian yang hampir sama
antara satu dengan yang lainnya. Pemasaran menurut Stanton dalam Dharmesta dan
Handoko (2008) adalah suat sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditujukan
untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang
28
dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan kepada pembeli yang ada maupun pembeli
potensial. Menurut Kotler dalam Saladin (2006) pemasaran adalah proses social yang
didalamnya individu atau kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan
inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan menukarkan produk dan jasa yang
bernilai dengan pihak lain. Sedangkan menurut Saladin (2003), pemasaran adalah suatu
system total dari kegiatan bisnis yang dirancang untuk merencanakan, menentukan
harga, promosi dan mendistribusikan barang-barang yang dapat memuaskan keinginan
dan mencapai pasar sasaran serta tujuan perusahaan.
Dari beberapa definisi pemasaran diatas, dapat disimpulkan bahwa pemasaran
merupakan suatu proses sosial dan manajerial dari individu dan kelompok untuk
memenuhi kebutuhan dan keinginannya melalui penciptaan, penawaran, dan pertukaran
(nilai) produk dengan pihak lain dan diharapkan produk tersebut mampu memberikan
kepuasan bagi konsumennya.
Definisi menurut Assauri (2009) manajemen pemasaran merupakan kegiatan
penganalisisan, perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian program-program yang
dibuat untuk membentuk, membangun dan memelihara keuntungan dari pertukaran
melalui sasaran pasar guna mencapai tujuan organisasi dalam jangka panjang.
Sedangkan menurut Machfoedz (2005) manajemen pemasaran adalah analisis
perencanaan, implementasi dan pengendalian program yang dipolakan untuk
menciptakan, membangun, dan mempertahankan pertukaran manfaat dengan pembeli
dengan maksud untuk mencapai tujuan perusahaan.
Kesimpulan dari definisi diatas bahwa manajemen pemasaran adalah suatu
proses yang saling terkait antara perencanaan dan pelaksanaan apa yang telah dipikirkan
29
dan ditetapkan dalam penyaluran suatu gagasan barang dan jasa untuk dapat mencapai
tujuan antara pihak-pihak yang saling membutuhkan di dalamnya.
2.3.2 Manajemen Pemasaran Rumah Sakit
Kemajuan bisnis telah menjadi sebab menariknya pengetahuan pemasaran bagi
perusahaan dan lembaga. Manajemen pemasaran dalam mengelola suatu perusahaan
sangat penting untuk keberhasilan suatu perusahaan misalnya rumah sakit karena
dengan manajemen pemasaran suatu rumah sakit dapat memperoleh pelanggan baru
dengan menjanjikan nilai yang tepat dan dapat mempertahankan pelanggan saat ini
dengan memenuhi harapannya sehingga dapat menciptakan tingkat kepuasan.
Menurut Wikipedia Indonesia, pengertian rumah sakit adalah sebuah institusi
perawatan kesehatan professional yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat,
dan tenaga ahli kesehatan lainnya. Sedangkan menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.
Untuk memasarkan produk, sebuah rumah sakit memerlukan konsep pemasaran
(Machfoedz, 2005). Pemasaran berorientasi menciptakan rasa senang pada pihak
konsumen dengan menawarkann nilai produk, barang atau jasa yang mereka butuhkan.
Pemasaran dalam rumah sakit bertujuan untuk memberitahukan kepada pihak konsumen
mengenai produk atau barang yang dimiliki oleh rumah sakit dan penjelasan lainnya
agar konsumen bisa memilih produk rumah sakit untuk kesehatannya.
30
2.4
Proses Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan adalah suatu kegiatan individu yang secara langsung
terlibat dalam mendapatkan dan mempergunakan barang yang ditawarkan. Setiap hari
konsumen mengambil berbagai keputusan untuk membeli suatu produk. Perusahaan
besar pada umunya melakukan riset dengan cermat tentang keputusan konsumen
membeli produk untuk mengetahui sesuatu yang dibeli oleh konsumen, tempat, alasan,
dan cara mereka membeli serta tingkat harga yang mereka bayar. Mengkaji alasan
perilaku pembelian konsumen dan proses keputusan untuk membeli bukan hal yang
mudah karena alasan tersebut berada di dalam pikiran konsumen.
Menurut Kotler (1996) dalam Machfoedz (2005), tahapan untuk mencapai
keputusan membeli dilakukan oleh konsumen melalui beberapa tahapan yang meliputi
mengenali kebutuhan, mencari informasi, evaluasi alternatif, keputusan membeli dan
perilaku setelah pembelian. Tahapan-tahapan tersebut dapat diilustrasikan dalam
gambar 2.1 sebagai berikut:
Mengenali
Kebutuhan
Mencari
Informasi
Evaluasi
Alternatif
Keputusan
Membeli
Perilaku Purna
Pembelian
Gambar 2.1 Proses Keputusan Membeli, Kotler (1996) dalam Machfoedz (2005)
Proses pembelian bermula jauh sebelum seseorang membeli suatu produk dan
berlangsung lama sesudahnya. Ini mendorong produsen atau pemasar untuk berfokus
pada seluruh proses pembelian daripada sekedar pada proses pembelian. Bagan ini
menunjukkan bahwa konsumen melalui kelima tahapan setiap kali melakukan
pembelian.
31
2.4.1 Mengenali Kebutuhan
Proses pembelian bermula dengan mengenali kebutuhan. Pembeli merasakan
perbedaan diantara keadaan nyata dan kondisi yang diinginkan. Kebutuhan dapat dipicu
oleh stimuli internal pada saat kebutuhan normal muncul ke tingkat yang dapat menjadi
pendorong. Dari pengalaman yang pernah terjadi, orang telah mempelajari cara
mengatasi dorongan demikian dan memotivasinya kearah tujuan yang diketahuinya
akan dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Kebutuhan juga dapat dipicu oleh stimuli eksternal. Iklan yang menawarkan
suatu produk atau jasa dapat menjadikan seseorang menyadari kebutuhannya. Pada
tahapan ini, produsen atau pemasar perlu menetapkan faktor dan keadaan yang dapat
memicu konsumen mengenali kebutuhannya.
2.4.2 Mencari Informasi
Konsumen secara disadari atau tidak akan mencari informasi. Jika motivasinya
kuat dan produknya sesuai dengan kebutuhan serta harganya terjangkau, mungkin ia
akan membelinya. Jika tidak, barangkali konsumen hanya dapat mengingat kebutuhan
tersebut atau mencari informasi sebatas yang berkaitan dengan kebutuhannya.
Setelah konsumen menyadari adanya masalah kebutuhan dan kebutuhan tersebut
dirasa sangat mendesak untuk dipenuhi maka konsumen akan mencari informasi secara
aktif dengan membaca berbagai informasi tertulis, bertanya kepada beberapa pihak yang
dianggapnya berkompeten dan menghimpun informasi dengan berbagai cara. Jumlah
pencarian yang dilakukan akan sangat ditentukan oleh kuatnya dorongan motivasi,
jumlah informasi awal yang didapat dan kemudahan dalam memperoleh lebih banyak
32
informasi, skala prioritas nilai informasi tambahan dan kepuasan yang didapat dari
pencarian. Konsumen dapat memperoleh informasi dari berbagai sumber yang meliputi:
1. Individu: keluarga, kawan, tetangga, kerabat
2. Komersial: iklan, wiraniaga, penyalur, kemasan, pameran
3. Umum: media massa, lembaga konsumen
4. Pengalaman: penggunaan produk, pemilikan produk, pengujian produk
Pengaruh hubungan sumber-sumber informasi tersebut terhadap pembeli bervariasi.
Pada umunya, porsi informasi terbesar yang diperoleh konsumen berasal dari sumber
komersial yang dikendalikan oleh produsen atau pemasar. Meskipun demikian, sumber
individu merupakan yang paling efektif, terutama dalam pembelian jasa. Karena
informasi yang diperoleh lebih banyak, konsumen semakin menyadari dan banyak
mengetahui tentang berbagai merk dan cirri produk yang tersedia. Informasi juga
membantu seseorang untuk menentukan pilihan pada produk merek tertentu. Perusahaan
harus mendesain bauran pemasarannya agar semakin banyak calon konsumen
mengetahui merek yang ditawarkan. Jika hal ini tidak berhasil dilakukan, perusahaan
akan kehilangan kesempatan untuk menjual produk kepada konsumen.
2.4.3 Evaluasi Alternatif
Cara konsumen memproses informasi untuk sampai pada pemilihan merek
disebut evaluasi alternatif. Untuk mengetahui proses tersebut bukan hal yang mudah
karena konsumen menempuh berbagai cara untuk mengevaluasi setiap situasi
pembelian.
Konsep dasar tertentu dapat membantu menerangkan setiap proses evaluasi
konsumen. Pertama, diasumsikan bahwa setiap konsumen berusaha untuk memenuhi
beberapa kebutuhan dan mencari manfaat tertentu yang dapat diperoleh dengan
33
membeli produk atau jasa. Selanjutnya, konsumen memandang produk sebagai
sekelompok ciri barang dengan berbagai kapasitas yang menawarkan manfaat untuk
memenuhi kebutuhan. Konsumen akan menentukan alternatif dalam memilih ciri
produk yang manfaatnya sesuai dengan kebutuhan.
Kedua, konsumen akan memperhatikan tingkat perbedaan pada setiap
keunggulan sifat produk. Meskipun demikian, hal tersebut bukan merupakan yang
terpenting bagi konsumen. Beberapa ciri suatu produk dapat menonjol karena iklan
yang dibaca oleh konsumen menyebutkan berbagai keunggulan sehingga mampu
menempatkannya pada peringkat teratas dalam pikiran konsumen. Diantara ciri-ciri
suatu produk, ada kalanya terlupakan oleh konsumen dan ketika ciri tersebut disebutkan
akan mengingatkannya pada keunggulan. Produsen atau pemasar harus lebih
memperhatikan arti penting ciri suatu produk daripada keunggulannya.
Ketiga, konsumen kemungkinan untuk mengembangkan ketetapan rasa percaya
pada suatu merek dengan merinci setiap keunggulannya. Pengembangan kepercayaan
pada merek tertentu ini kemudian dikenal sebagai citra merek. Kepercayaan konsumen
dapat bervariasi dari kebenaran ciri berdasarkan pengalaman dan dampak persepsi
selektif, distorssi selektif, dan retensi selektif.
2.4.4 Keputusan Untuk Membeli
Pada tahap evaluasi, konsumen menyusun peringkat merek dan membentuk
tujuan pembelian. Biasanya, keputusan pembelian konsumen akan menetapkan untuk
membeli merek yang paling diminati, tetapi ada dua faktor yang dapat muncul diantara
tujuan pembelian dan keputusan untuk membeli. Faktor yang pertama adalah sikap
pihak lain. Sejauh mana sikap pihak lain berpengaruh terhadap keputusan pembelian
dan motivasi seseorang untuk mengikuti keinginan pihak lain tersebut.
34
Tujuan pembelian juga dipengaruhi oleh faktor situasi tak terduga. Konsumen
menetapkan tujuan pembelian berdasarkan beberapa faktor, seperti pendapatan
keluarga, harga yang diperkirakan terjangkau, dan manfaat yang akan diperoleh dari
produk. Ketika konsumen akan melakukan pembelian, muncul faktor kondisi yang tak
terduga sehingga mengubah atau bahkan membatalkan keputusan pembelian. Tahapan
diantara evaluasi alternatif dan keputusan pembelian dapat digambarkan dalam gambar
2.2 sebagai berikut:
Sikap pihak
lain
Evaluasi
alternatif
Keputusan
pembelian
Tujuan
pembelian
Faktor situasi
tak terduga
Gambar 2.2 Tahapan di Antara Evaluasi Alternatif dan Keputusan Pembelian, Kotler
(1996) dalam Machfoedz (2005).
2.4.5 Sikap Setelah Pembelian
Tugas produsen atau penjual bukan berakhir pada saat produk laku terjual.
Setelah melakukan pembelian suatu produk, konsumen dapa memperoleh kepuasan atau
sebaliknya, merasa kecewa dengan produk yang dibeli. Kondisi ini akan berpotensi
membentuk perilaku pembelian pada minat konsumen terhadap produsen atau penjual.
Faktor penyebab kepuasan atau kekecewaan di pihak konsumen terletak pada hubungan
antara harapan konsumen dan citra produk yang didapatkannya.
Berbagai sumber informasi tentang suatu produk merupakan dasar harapan
konsumen untuk mendapatkan kepuasan dari penggunaan produk. Jika pemasar atau
produsen terlalu melebih-lebihkan ciri produk justru akan menimbulkan kekecewaan
35
konsumen karena ketidaksesuaian antara informasi dan kenyataan. Karena itu,
pernyataan produsen atau pemasar harus mencerminkan kejujuran tentang produk yang
ditawarkannya.
Download