II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. CITARASA Citarasa suatu produk pangan sangat menentukan terhadap penerimaan produk tersebut oleh konsumen. Produk pangan higienis yang diklaim dapat memberikan manfaat kesehatan dan kepraktisan akan sulit diterima oleh konsumen jika secara organoleptik produk tersebut kurang disukai atau bahkan tidak disukai (Setyaningsih et al. 2010). Oleh karena itu, peningkatan penerimaan citarasa perlu diperhatikan dalam pengembangan produk pangan khas Indonesia khususnya jamu. Hal tersebut dilakukan agar jamu yang disajikan dalam bentuk minuman dapat dikategorikan sebagai minuman fungsional (Sampoerno dan Fardiaz 2001). Menurut Lindsay (1996), citarasa (flavor) merupakan kompleks sensasi yang ditimbulkan oleh berbagai indera (penciuman, pengecap, penglihatan, peraba, dan pendengaran) pada waktu mengonsumsi makanan. Citarasa (flavor) meliputi aroma, rasa, dan faktor stimulasi kimia (Meilgaard 1999). Citarasa bahan pangan terdiri dari tiga komponen, yaitu bau, rasa, dan rangsangan mulut (Winarno 2008). Aroma merupakan persepsi olfactory yang disebabkan oleh senyawa volatil yang dilepaskan dari suatu produk di dalam mulut melalui saraf posterior. Rasa merupakan persepsi gustatory (asin, manis, asam, dan pahit) yang disebabkan oleh senyawa yang larut di dalam mulut. Faktor stimulasi kimia merupakan rangsangan akhir saraf di dalam membran halus dari buccal dan nasal cavity (pedas/astringen, panas rempah, dingin, menyengat, flavor logam, dan rasa gurih) (Meilgaard 1999). Flavor pada pangan dapat dipelajari dengan mengetahui komposisi senyawa-senyawa pada pangan yang menghasilkan rasa dan bau serta interaksi yang terjadi antara komponen-komponen tersebut dengan alat indra kita. Senyawa kimia yang berkontribusi pada flavor secara garis besar dipengaruhi oleh dua senyawa, yaitu komponen volatil dan non volatil. Komponen volatil adalah komponen yang memberikan sensasi bau melalui reseptor pada hidung, memberikan top notes yang menguap dengan cepat. Komponen non volatil memberikan sensasi pada rasa yaitu : asam, asin, manis, dan pahit. Komponen non volatil tidak memberikan sensasi bau tetapi menjadi media bagi komponen volatil dan membantu menahan penguapan komponen volatil (Winarno 2002a). Klasifikasi flavor berdasarkan legal status menurut Burdock (1991) adalah: a. natural merupakan senyawa-senyawa yang diekstrak dari bahan-bahan yang terdapat di alam. Contohnya: vanillin, orange oil, dan celery oil. b. natural identical merupakan senyawa-senyawa yang dapat diekstrak atau terdapat di alam, tetapi dalam prosesnya dibuat secara kimia. Contohnya: etil asetat dan lakton. Umumnya flavor yang dibuat dari bahan ini lebih murah dibandingkan dengan natural. Suatu bahan disebut natural identical jika merupakan produk sintetis kimiawi dan sedikitnya berjumlah 99 %. c. artificial merupakan senyawa yang tidak terdapat di alam dan hanya dibuat melalui proses sintetis tetapi dapat memberikan efek flavor tertentu. Contohnya: ethyl vanillin (strukturnya hampir sama dengan vanilin tetapi sampai saat ini belum ditemukan secara alami). Upaya peningkatan penerimaan citarasa dapat dilakukan melalui uji organoleptik. Uji organoleptik adalah identifikasi, pengukuran ilmiah, analisis, dan interpretasi dari karakteristik/atribut suatu produk. Hal tersebut dilakukan berdasarkan penerimaan melalui kelima indera manusia, yaitu penglihatan, penciuman, pencicipan, perabaan, dan pendengaran. Uji organoleptik dilakukan untuk menunjukkan hasil pengukuran objektif terhadap atribut sensori suatu bahan pangan (Meilgaard 1999). Atribut sensori yang dianalisis dengan penginderaan tersebut antara lain penampilan, aroma, tekstur, konsistensi, citarasa, dan suara (Meilgaard 1999). 19 2.2. EVALUASI SENSORI Instrumen atau alat dapat digunakan untuk mengukur atau menilai suatu parameter dari produk tertentu, namun tidak semua hasil ciptaan manusia dapat digunakan sebagai alat bantu untuk mengukur kualitas suatu produk (misalnya mutu sensori bahan pangan). Indera manusia telah diciptakan oleh Tuhan dengan sensor yang paling canggih. Oleh sebab itu, penggunaan subjek manusia sebagai instrumen dalam mengevaluasi atribut sensori bahan pangan menjadi sangat penting. Evaluasi sensori adalah disiplin ilmu yang membutuhkan standardisasi dan pengendalian yang tepat pada setiap tahap, mulai dari persiapan contoh, pengukuran respon, analisis data, dan interpretasi hasil, sehingga dibutuhkan pencatatan dan dokumentasi yang cermat. Metode pengujian sensori melibatkan panelis dalam menilai suatu produk pangan. Panelis adalah orang atau sekelompok orang yang menilai dan memberikan tanggapan terhadap produk yang diuji. Panelis dapat dipilih dari konsumen awam pengguna produk sampai seorang yang sangat ahli dalam menilai kualitas sensori. Penggunaan panelis diharapkan dapat menjelaskan sensasi dan persepsi citarasa yang diterima oleh indra manusia (Setyaningsih et al. 2010). Evaluasi sensori menyediakan informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu produk. Hasil evaluasi sensori terhadap produk pangan menjadi landasan penting dalam pengambilan suatu keputusan yang berkaitan dengan sifat sensori yang dimiliki suatu produk. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan evaluasi sensori, yaitu: jenis panelis yang digunakan, metode analisis yang digunakan, kasus yang dihadapi, tujuan pengujian, pertanyaan yang sesuai, pengurangan adanya bias, dan informasi yang ingin diperoleh dari pengujian tersebut (Carpenter et al. 2000). Evaluasi sensori ada yang bersifat objektif dan subjektif. Analisis objektif digunakan untuk menilai kualitas suatu produk meliputi uji pembedaan dan uji deskripsi, sedangkan analisis subjektif digunakan untuk mengetahui kesukaan atau penerimaan konsumen. Uji pembedaan bertujuan mengetahui perbedaan di antara dua atau lebih contoh. Uji deskripsi bertujuan mendeskripsikan dan mengukur perbedaan yang ada atau yang ditemukan di antara suatu produk. Uji kesukaan atau penerimaan bertujuan mengidentifikasi tingkat kesukaan dan penerimaan suatu produk. Uji sensori secara umum terdiri atas tiga jenis yaitu uji pembedaan (difference or discrimination test), uji deskripsi, dan uji afektif (preference and acceptability test) (Meilgaard 1999). Evaluasi sensori dapat menyediakan informasi yang berkaitan dengan mutu suatu produk pangan. Informasi tersebut diantaranya adalah spesifikasi produk pangan, deteksi bau dan flavorasing dalam bahan pangan, reformulasi produk, pemetaan produk (product mapping), dan penerimaan produk. Uji sensori memiliki beberapa tujuan, yaitu menemukan karakteristik sensori untuk memenuhi fitness for use , mengetahui kesukaan konsumen, mengetahui preferensi konsumen, mengetahui kepekaan konsumen, inspeksi visual, perancangan produk, dan kesesuaian dengan standar sensori (Muhandiri dan Kadarisman 2008). Evaluasi sensori dapat bersifat subjektif jika jumlah panelis yang terlalu sedikit dan penilaian yang menimbulkan praanggapan terlebih dahulu terhadap suatu produk yang sedang diuji. Oleh sebab itu, teknik evaluasi sensori yang lebih formal, terstruktur, dan dengan metode yang baku perlu dikembangkan agar meminimalkan subjektivitas yang dilakukan panelis dalam menilai suatu bahan pangan (Meigaard et al. 1999). Para analis sensori harus mengetahui dengan jelas tujuan pengujian dan memahami analisis sensori dengan baik. Hal tersebut dilakukan agar penarikan kesimpulan dan pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan benar dan tepat. Pengujian kimia dan mikrobiologi juga dilakukan untuk mengetahui kualitas suatu produk (Setyaningsih et al. 2010). 20 2.3. UJI AFEKSI DAN UJI KESUKAAN (UJI HEDONIK) Uji afeksi adalah uji yang digunakan untuk mengukur sikap subjektif konsumen terhadap produk berdasarkan sifat-sifat sensori. Hasil yang diperoleh adalah penerimaan (diterima atau ditolak), kesukaan (tingkat suka atau tidak suka), dan pilihan (pilih satu dari yang lain) terhadap produk (Meilgaard 1999). Preferensi atau pilihan pada uji afeksi tidak sama dengan penerimaan, bisa jadi panelis lebih memilih contoh A dibanding contoh B, akan tetapi kedua contoh tidak dapat diterima. Metode yang digunakan dalam penyajian contoh pada uji afeksi ada tiga. yaitu: monadic, sequential monadic, dan penyajian berpasangan (paired presentation). Pemyajian monadic adalah penyajian semua contoh dalam satu waktu. Penyajian sequential monadic adalah penyajian contoh dalam beberapa rangkaian untuk diujikan pada waktu yang sama. Penyajian berpasangan adalah penyajian sebanyak dua buah atau satu pasang pada satu waktu yang sama (Lawless dan Heymann 1999). Tujuan utama uji afeksi adalah untuk mengetahui respon individu berupa penerimaan ataupun kesukaan dari konsumen terhadap produk yang sudah ada, produk yang baru, ataupun karakteristik khusus dari produk yang diuji (Meilgaard 1999). Uji afeksi menurut Setyaningsih et al. (2010) dapat bersifat kualitatif dan kuantitatif. Uji afeksi kualitatif digunakan untuk mengukur respon subjektif dari sebuah contoh oleh konsumen sesuai karakteristik sensori produk melalui sebuah wawancara atau diskusi kelompok. Moderator atau pewawancara pada uji kualitatif akan berinteraksi secara langsung dengan konsumen (panelis), sehingga moderator atau pewawancara harus mengetahui cara atau metode investigasi, teknik untuk tampil netral, cara meringkas serta melaporkan secara jelas, dan memiliki keahlian menjaga kelompok diskusi agar tetap dinamis. Metode kualitatif dapat diaplikasikan pada beberapa situasi berikut: a. situasi untuk mengetahui dan memahami kebutuhan konsumen yang tidak dapat diekspresikan (contoh: Alasan seseorang membeli susu berkalsium tinggi padahal menu sehari-hari sudah cukup memenuhi kebutuhan kalsium). Metode ini berguna untuk mengidetifikasi kecenderungan atau tren perilaku konsumen dan produk yang digunakan. b. situasi untuk memperkirakan respon awal konsumen terhadap konsep atau prototipe produk. Uji kualitatif memungkinkan konsumen untuk berdiskusi secara terbuka mengenai konsep atau prototipe produk ketika pembuat produk ingin mengetahui penerimaan konsumen terhadap konsepnya. Hasil yang diperoleh dapat membantu peneliti untuk memahami reaksi awal konsumen terhadap konsep atau prototipe produk, sehingga dimungkinkan untuk langsung dilakukan penyesuaian-penyesuaian pada titik ini. c. situasi untuk mengajarkan konsumen untuk mendeskripsikan atribut sensori baik itu konsep, prototipe, ataupun produk komersial. Konsumen mendiskusikan atribut produk secara terbuka menggunakan bahasa mereka sendiri pada uji kualitatif. d. situasi untuk mengajarkan mengenai perilaku konsumen berkenaan dengan produk. Pembuat produk dapat mengetahui keputusan penggunaan produk oleh konsumen dan respon konsumen terhadap cara pemakaian produk. Uji afeksi kuantitatif berguna untuk mengetahui respon konsumen dalam sebuah kelompok besar (50 sampai beberapa ratus orang) dengan pertanyaan mengenai penerimaan, kesukaan, atribut sensori, dan lain-lain (Carpenter et al. 2000). Metode afeksi kuantitatif dapat diaplikasikan pada beberapa situasi berikut: a. situasi untuk mengetahui penerimaan atau kesukaan produk dengan melibatkan panelis yang merupakan konsumen yang mewakili populasi pengguna produk. 21 b. situasi untuk mengetahui panerimaan atau kesukaan panelis terhadap karakteristik sensori produk seperti aroma, flavor, tekstur, penampilan, dan lain-lain. Karakter produk dipelajari agar diperoleh informasi mengenai faktor yang mempengaruhi penerimaan atau kesukaan konsumen secara keseluruhan. c. situasi untuk mengukur respon konsumen terhadap atribut sensori tertentu yang spesifik dari produk dengan menggunakan skala intensitas atau hedonik, sehingga menghasilkan data yang dapat menghubungkan antara rating hedonik dan analisis deskripsi. Uji afeksi kuantitatif dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan tugas utamanya, yaitu: uji kesukaan dan uji penerimaan. Tugas utama pada uji kesukaan adalah memilih. Pertanyaan yang mendasari pada uji kesukaan menghasilkan jawaban produk yang dipilih dan produk yang lebih disukai di antara produk yang ada. Tugas utama pada uji penerimaan adalah me-rating. Pertanyaan yang mendasari pada uji penerimaan menghasilkan jawaban seberapa besar kesukaan dan penerimaan konsumen terhadap produk. Pertanyaan lain juga dapat ditanyakan pada uji penerimaan untuk mengetahui alasan konsumen menyukai atau menerima suatu produk (Meilgaard 1999). Uji afeksi terdiri atas uji penerimaan (acceptance test) dan uji kesukaan (preference test). Uji penerimaan berhubungan dengan penilaian seseorang tentang suatu sifat atau kualitas suatu produk yang menyebabkan seseorang menyukai produk tersebut. Panelis pada uji penerimaan mengemukakan tanggapan pribadi mengenai kesukaan terhadap sifat sensori atau kualitas yang dinilai dari suatu produk. Produk kerupuk yang gurih dan renyah dapat dijadikan contoh sebagai sifat-sifat yang disukai. Sebaliknya, produk daging yang hambar, terlalu asin, dan liat merupakan contoh dari sifat-sifat yang tidak disukai (Setyaningsih et al. 2010). Uji penerimaan bersifat lebih subjektif daripada uji pembedaan. Oleh karena itu, beberapa panelis yang memiliki kecenderungan ekstrim (sangat suka atau sangat tidak suka terhadap suatu produk) tidak dapat digunakan pada uji penerimaan. Uji penerimaan dapat dilakukan menggunakan panelis yang tidak terlatih. Contoh pembanding atau contoh baku tidak digunakan pada uji penerimaan. Panelis tidak boleh mengingat atau membandingkan dengan contoh yang diuji sebelumnya pada uji penerimaan. Tanggapan harus diberikan segera dan secara spontan, bahkan tanggapan yang sudah diberikan tidak boleh ditarik kembali meskipun kemudian timbul keraguan. Tanggapan kesukaan yang dihasilkan bersifat sangat pribadi, sehingga kesan seseorang tidak dapat digunakan sebagai petunjuk tentang penerimaan dari suatu produk (Lawless dan Heymann 1999). Tujuan dari uji penerimaan adalah untuk mengetahui penerimaan suatu produk atau suatu sifat sensorik tertentu oleh konsumen. Oleh karena itu, tanggapan kesukaan harus diperoleh dari sekelompok orang yang dapat mewakili pendapat umum atau mewakili suatu populasi masyarakat tertentu. Salah satu jenis uji penerimaan adalah uji kesukaan. Uji kesukaan atau hedonik dilakukan untuk memilih satu produk di antara produk lain secara langsung. Uji kesukaan meminta panelis untuk harus memilih satu pilihan tingkat kesukaan. Penentuan seberapa besar kesukaan konsumen terhadap produk dapat diketahui dengan menggunakan uji kesukaan. Produk dibandingkan dengan produk lain yang lebih baik atau lebih disukai pada uji kesukaan. Pembandingan produk juga dapat dilakukan dengan produk yang sudah ada sebelumnya. Skala hedonik kemudian digunakan untuk menunjukkan tingkat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap suatu produk. Skala hedonik suka dapat meliputi: amat sangat suka, sangat suka, suka, dan agak suka. Sebaliknya skala hedonik tidak suka dapat meliputi suka dan agak suka. Penilaian netral (bukan suka tetapi juga bukan tidak suka) juga terdapat pada skala hedonik (Carpenter et al. 2000). Skala pada uji hedonik dapat dilihat pada Tabel 1. Skala yang dapat digunakan pada uji hedonik adalah skala 1-3,1-5, 1-7, dan 1-9. Hal tersebut digunakan karena dengan menggunakan skala yang seimbang (jumlahnya ganjil) akan diperoleh hasil 22 yang paling baik. Skor tertinggi menunjukkan bahwa produk tersebut lebih disukai dibandingkan dengan skor yang lebih rendah. Penggunaan skala 1-9 dapat menggambarkan secara lebih detil nilai kesukaan dari panelis pada uji hedonik (Lawless dan Heymann 1999). Tabel 1. Skala pada uji hedonik Skala 1-9 Skala 1-7 1 = Amat sangat tidak suka 1 = Sangat tidak suka 2 = Sangat tidak suka 2 = Tidak ska 3 = Tidak suka 3 = Agak tidak suka 4 = Agak tidak suka 4 = Biasa saja 5 = Biasa saja 5 = Agak suka 6 = Agak suka 6 = Suka 7 = Suka 7 = Sangat suka 8 = Sangat suka 9 = Amat sangat suka Penggunaan skala hedonik dapat digunakan untuk mengetahui perbedaan antara sampel yang diuji, sehingga uji hedonik sering digunakan untuk menilai secara organoleptik komoditas yang sejenis atau produk yang sedang dalam tahap pengembangan. Uji hedonik banyak digunakan untuk menilai produk akhir. Data yang diperoleh dari hasil uji hedonik biasanya dianalisis menggunakan ANOVA (Analysis of variance) dan jika ada perbedaan digunakan uji lanjut seperti Duncan. Perlakuan terbaik dapat ditentukan dengan metode perbandingan eksponensial (MPE) (Setyaningsih et al. 2010). 2.4. PANGAN FUNGSIONAL Dasar pemilihan terhadap jenis makanan yang akan dikonsumsi, tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan energi, mengenyangkan perut, atau memberi kenikmatan dengan rasanya yang lezat serta penampilan yang menarik, tetapi juga mempertimbangkan potensi aktivitas fisiologis komponen yang dikandungnya terhadap kesehatan tubuh. Oleh karena itu, istilah pangan fungsional mulai dikenal oleh masyarakat. Definisi pangan fungsional yang diterima secara universal belum ada hingga saat ini (Robertfroid 2000 diacu dalam Wijaya 2007). Pemahaman dan definisi yang bervariasi berdampak pada kesulitan penyamaan persepsi dalam komunikasi internasional terutama yang terkait dengan publikasi ilmiah dan regulasi. Meskipun demikian, beberapa organisasi/asosiasi professional telah mengemukakan beberapa usulan definisi. International Food Information Council (IFIC) mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang memberikan keuntungan bagi kesehatan melebihi nilai nutrisi dasarnya. Definisi yang serupa juga dikemukakakan oleh International Life Science Institute (ILSI) Amerika Utara. Health Canada mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang serupa dengan penampakan pangan konvensional, dikonsumsi sebagai bagian dari diet umumnya, memiliki keunggulan fisiologis dan atau mengurangi risiko penyakit kronis melebihi fungsi nutrisi dasarnya. Institute of the National Academy of Sciences membatasi pangan fungsional pada produk yang mengandung satu atau lebih ingridien yang konsentrasinya telah dimodifikasi atau dimanipulasi guna meningkatkan kontribusinya pada diet yang menyehatkan. Institute of Medicine’s 23 Food and Nutrition Board di USA mengusulkan definisi pangan fungsional sebagai suatu produk pangan atau ingridien yang memberikan keuntungan kesehatan melebihi kandungan nutrisi tradisionalnya. Pangan fungsional menurut konsensus pada The First International Conference on East West Perspective on Functional Food (1996) adalah pangan yang kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi konvensional yang terkandung di dalamnya. Pangan fungsional masih menjadi tren dalam perkembangan pangan dunia saat ini (Wijaya 2007). Pangan fungsional di dunia barat dipandang sebagai suatu revolusi, dicerminkan dengan perkembangan pangan fungsional yang sangat cepat dalam dunia industri pangan mereka saat ini. Pangan fungsional di dunia timur telah menjadi bagian dari kultur selama baerabadabad. Komponen yang biasanya ditambahkan oleh produsen pangan fungsional di Amerika Serikat adalah vitamin, produsen pangan fungsional di Asia lebih suka menambahkan ekstrak tumbuhan alami, sedangkan masyarakat Eropa lebih fokus kepada bakteri asam laktat (Winarno dan Kartawidjajaputra 2007). Definisi pangan fungsional menurut BPOM (2005) adalah pangan yang secara alamiah atau yang telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan fungsional adalah produk olahan pangan yang selain membawa komponen gizi, juga mengandung senyawa aktif yang berdampak positif pada pemeliharaan dan peningkatan kesehatan individu, penampilan fisik atau pada kondisi spiritual (state of mind) seseorang (Tejasari 2003). Meskipun demikian, pangan fungsional bukan berupa obat melainkan berupa makanan atau minuman. Pangan fungsional adalah jenis pangan atau produk pangan yang memiliki ciri-ciri fungsional sehingga berperan dalam perlindungan atau pencegahan, pengobatan terhadap penyakit, peningkatan kinerja fungsi tubuh optimal (seperti produksi kerja, belajar, fungsi intelek, dan reproduksi), dan memperlambat proses penuaan (Karyadi 2000). Hal tersebut sejalan dengan definisi pangan fungsional menurut Goldberg (1994) dan Hasler (1995), yaitu produk olahan pangan yang berfungsi dalam pencegahan atau penyembuhan penyakit untuk mencapai kesehatan tubuh optimal. Pengertian pangan fungsional menurut Winarno dan Kartawidjajaputra (2007) adalah makanan kesehatan yang berfungsi memelihara kesehatan dan mungkin mencegah penyakit (preventif) bukan menyembuhkan (kuratif). Oleh sebab itu, pangan fungsional tidak perlu melewati pengujian ketat sebelum dipasarkan dan juga tidak diawasi secara ketat oleh pemerintah. Pangan fungsional yang berupa minuman hendaknya memperhatikan aspek sensori rasa, bau, dan warna sehingga dapat disukai oleh konsumen. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tidak boleh mencantumkan klaim kesehatan, namun hanya boleh memuat pernyataan minuman ini diperkaya dengan atau mengandung suatu zat yang bermanfaat bagi kesehatan, harus jelas sasaran golongan konsumen penggunanya, dan tidak memuat peringatan yang terkait dengan kesehatan. Pangan fungsional atau Foods for Spesified Health Use (FOSHU) menurut Departemen Kesehatan Jepang adalah pangan yang diharapkan memiliki efek khusus terhadap kesehatan dikarenakan adanya suatu komponen pada pangan, pangan yang zat alergen di dalamnya telah dihilangkan, dan klaim mengenai efek menguntungkan pangan tersebut telah terbukti secara ilmiah, serta tidak memiliki risiko kesehatan dan kebersihan. Konsep pangan fungsional dikembangkan dengan tujuan khusus untuk meningkatkan kebugaran tubuh dan pengurangan risiko terhadap penyakit. Beberapa istilah yang dikenal oleh masyarakat internasional mengenai pangan fungsional, novel food, medical food, nutraceutical, dan lain-lain adalah sebagai berikut (Winarno 2002b): 24 1. nutraceutical adalah suatu istilah yang popular di AS, merupakan kombinasi nutrisional dan pharmaceutical untuk mengelompokkan klasifikasi baru bagi pangan hasil pengolahan tertentu. Nutraceutical di beberapa negara lain dipandang sebagai pangan dalam bentuk kapsul, powder atau pil, namun nutraceutical di AS dipandang sebagai senyawa atau suatu komposisi yang berbentuk sebagai makanan yang memiliki fungsi fisiologis yang mampu memperbaiki kesehatan termasuk pencegahan dan pengobatan penyakit. Jadi, nutraceutical dapat berbentuk pangan, suplemen pengolahan medical food, dan tidak ada perbedaan yang jelas antara konsep pangan fungsional dan nutraceutical. 2. novel food adalah suatu produk pangan yang sebelumnya tidak dikonsumsisecara luas dan umum. Novel food di negara Uni Eropa adalah pangan yang berasal dari ganggang atau algae, mikroba, dan jamur (fungi). Jadi, pangan fungsional tidak harus berarti novel food, misalnya puree blueberry dan sari prune dimasukkan ke dalam pangan fungsional tetapi bukan novel food. 3. designer foods adalah pangan yang secara alami mengandung fitokimia atau pangan yang diperkaya dengan fitokimia, yang tidak mewakili senyawa gizi atau senyawa bioaktif. Designer foods dapat membantu menurunkan risiko penyakit kanker. 4. synbiotics adalah produk yang mengandung baik probiotik maupun prebiotik. Kombinasi antara probiotik dan prebiotik menghasilkan suatu pengaruh yang sinergis yang dapat memperbaiki kesuburan pertumbuhan bakteri baik dalam flora usus. 5. medical foods termasuk kategori pangan khusus yang diberikan kepada pasien berdasarkan dignosa. Medical foods diberikan kepada pasien yang memerlukan zat gizi khusus yang tidak dapat dipenuhi oleh menu regular sehari-hari dan merupakan bagian dari pengobatan. 6. natural remedies dikelompokkan sebagai obat yang komponen aktifnya berasal dari alam. Produk tersebut harus diolah seminimal mungkin dan biasanya berasal dari sayuran, binatang ternak, atau kultur bakteri. Produk tersebut harus memiliki bukti ilmiah dan telah digunakan secara tradisional tetapi mungkin belum digunakan pada manusia. Dasar pertimbangan konsumen di negara-negara maju dalam memilih bahan pangan tidak hanya bertumpu pada kandungan gizi serta kelezatannya, tetapi juga pengaruhnya terhadap kesehatan tubuh (Goldberg 1994). Pangan fungsional mempunyai karakteristik sebagai makanan yaitu karakteristik sensori, baik warna, tekstur, dan citarasanya, serta mengandung zat gizi di samping mempunyai fungsi fisiologis bagi tubuh. Fungsi fisiologis yang diberikan oleh rnakanan fungsional diantaranya adalah mengatur daya tahan tubuh, mengatur ritmik kondisi fisik, mencegah penuaan, dan mencegah penyakit yang berkaitan dengan makanan. Meskipun demikian, pangan fungsional bukan berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa alami (Sampoerno dan Fardiaz 2001). Pangan fungsional secara sekilas hampir mirip dengan obat, karena mempunyai efek menyehatkan tubuh, tetapi terdapat perbedaan di antara keduanya. Obat hanya dikonsumsi pada saat-saat tertentu saja (tidak dapat dikonsumsi setiap hari), sedangkan pangan fungsional dapat dikonsumsi setiap hari. Suatu pangan dapat dikatakan sebagai pangan fungsional jika memenuhi syarat-syarat berikut (Ichikawa 1994): 1. pangan tersebut dapat digunakan sebagai makanan dan memiliki fungsi untuk kesehatan; 2. pangan tersebut memiliki manfaat bagi kesehatan dan pemenuhan gizi yang berdasarkan data ilmiah; 3. jumlah yang dikonsumsi setiap hari harus ditentukan dan diizinkan oleh ahli kesehatan dan gizi; 4. pangan tersebut aman dalam diet yang seimbang; 5. pangan tersebut memiliki karakteristik sifat fisik dan kimia disertai metode analisa yang jelas, serta sifat kuantitatif dan kualitatifnya di dalam bahan pangan dapat ditentukan; 6. pangan tersebut tidak mengurangi nilai gizi pangan; 25 7. pangan tersebut dikonsumsi dengan cara yang wajar; 8. pangan tersebut tidak dikonsumsi dalam bentuk tablet, kapsul, ataupun serbuk; 9. pangan tersebut berasal dari bahan-bahan alami. Pangan fungsional juga hendaknya memberikan fungsi tertentu ketika dicerna dan memberikan peran dalam proses tubuh tertentu, misalnya: memperkuat pertahanan tubuh, mencegah penyakit tertentu, memulihkan kondisi tubuh setelah sakit, memperlambat proses penuaan, dan lain-lain. Sifat fungsional pangan ditimbulkan oleh adanya zat aktif pangan yang termasuk zat gizi, maupun zat non gizi dan memiliki karakteristik tergantung pada kelompok senyawanya (Tejasari 2003). Zat aktif pada pangan yang berasal dari tumbuhan disebut senyawa fitokimia. Senyawa fitokimia mempunyai peranan yang sangat penting bagi kesehatan termasuk fungsinya dalam pencegahan terhadap penyakit degeneratif. Beberapa senyawa fitokimia yang diketahui memiliki fungsi fisiologis adalah karotenoid, fitosterol, saponin, glikosinolat, polifenol, protease inhibitor, monoterpen, fitoestrogen, sulfida, dan asam fitat. Senyawa-senyawa tersebut banyak terkandung dalam teh hijau, sayuran, kacang-kacangan, tanaman rempah, dan obat (Tejasari 2003 dan Winarti & Nurdjanah 2005). Sampoerno dan Fardiaz (2001) menyatakan bahwa jamu yang disajikan dalam bentuk minuman dapat dikategorikan sebagai minuman fungsional jika karakteristik sensorinya diatur sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas. Pangan fungsional dirancang sebagai pangan yang secara efektif mampu mereduksi jumlah penyakit-penyakit yang erat kaitannya dengan gaya hidup baru. Sifat fungsional fitokimia yang menjadi andalan pangan fungsional dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Winarno dan Kartawidjajaputra 2007): 1. antioksidan berfungsi memodifikasi kerusakan oksidatif sehingga dapat menjadi pertahanan tubuh terhadap stress oksidatif; 2. antimutagen dan antikarsinogen berfungsi mencegah timbulnya kanker; 3. antimikroba dan antivirus berfungsi mencegah timbulnya penyakit infeksi; 4. peningkatan fungsi saluran pencernaan misalnya serat pangan, probiotics, prebiotics; 5. immunomodulator berfungsi menstimulir fungsi imunitas tubuh; 6. anti inflammantory agents berfungsi mencegah timbulnya radang; 7. cerebroactive atau neuroregulator berfungsi memperbaiki kondisi psikologis dan fungsi susunan syaraf; 8. antihypertensive berfungsi mencegah tekanan darah tinggi; 9. hypocholesteromic agents berfungsi menurunkan kadar kolesterol dalam plasma darah; 10. dimiished allergenicity berfungsi menghilangkan alergenitas; 11. antidiabetogenic berfungsi mencegah timbulnya diabetes; 12. prevention of osteoporosis berfungsi mencegah osteoporosis. Penelitian di bidang pangan yang paling banyak dilakukan saat ini adalah penelitian tentang pangan fungsional. Penelitian-penelitian tersebut di antaranya adalah penelitian tentang aktivitas dari suatu bahan atau ingridien, pencarian komponen bioaktif (aktivitas antioksidan merupakan topik yang banyak diminati), teknologi untuk penyertaan komponen aktif dalam produk pangan (agar diperoleh dosis yang efektif), rekayasa bahan baku (sebagai upaya pengkayaan kandungan nutrisi dan komponen bioaktif pada tanaman), dan pengembangan pangan fungsional dengan fungsinya terhadap performa dan “mood” (Wijaya 2007). Pangan fungsional dapat mendatangkan keuntungan baik bagi konsumen, pemerintah, maupun industri pangan. Pangan fungsional dapat menguntungkan konsumen karena dapat dilakukan pencegahan terhadap timbulnya berbagai macam penyakit, meningkatkan system imunitas, memperlambat proses penuaan, dan meningkatkan penampilan fisik. Pangan fungsional 26 menguntungkan pemerintah karena dapat menurunkan biaya yang diperlukan untuk menurunkan kesehatan rakyatnya. Pangan fungsional memberikan kesempatan yang tidak terbatas kepada industri pangan untuk secara inovatif memformulasi produk tersebut dengan memperhatikan penampilan produk, citarasa, dan klaim kesehatan yang dibuktikan secara ilmiah (Muchtadi dan Wijaya 1996). Tren pengembangan produk pangan fungsional menurut Wijaya (2007) di antaranya adalah produk-produk konfeksioneri, produk-produk susu, produk siap saji, snack, minuman energi, minuman oksigen, minuman yang diperkaya dengan serat, minuman rasa buah, dan minuman berbasis herbal. Pengembangan produk pangan tersebut memiliki beberapa tantangan di antaranya adalah penelitian yang terpadu dan komunikasi yang efektif kepada konsumen. Produk-produk tersebut tidak akan memberikan keunggulan dan keuntungan bagi kesehatan jika tidak secara efektif terkomunikasikan kepada konsumen. Informasi menjadi sangat penting agar hasil-hasil penelitian ilmiah pangan fungsional dapat dipahami dengan jelas, seimbang, tidak salah persepsi, dan mencegah isu yang menyesatkan. Pangan fungsional memberikan peluang manfaat di satu sisi dan peluang mengelabui di sisi lain (Wijaya dan Astawan 2001). Rambu-rambu yang jelas untuk mengatur klaim atas khasiat produk pangan diperlukan agar dapat mengatasi hal tersebut. Jepang telah meregulasi secara spesifik untuk mengatur proses penyetujuan suatu produk sebagai pangan fungsional (Hasler 1998). Regulasi pangan Eropa tentang peraturan pelabelan pangan (79/112/EEC) secara spesifik melarang pencantuman atribut yang terkait dengan pencegahan, pengobatan, perlakuan pada penyakit manusia atau referensi apapun yang terkait. Uni Eropa di sisi lain mengembangkan dan menetapkan pendekatan ilmiah pada pembuktian yang menunjang produk pangan fungsional menjadi dua tipe klaim, yaitu: tipe A (klaim “enhanced function “) dan tipe B (klaim”reduction of disease risk “). Amerika Serikat telah memperbolehkan klaim”reduction of disease risk “ pada produk-produk pangan tertentu sejak tahun 1993. Klaim kesehatan tersebut berada di bawah penanganan FDA (Food and Drug Administration) dengan didasarkan pada totalitas publisitas bukti-bukti ilmiah yang tersedia dan adanya persetujuan nyata di antara para ahli yang berkompeten terhadap klaim dari produk yang dipasarkan. Klaim pada label yang digunakan pada pangan fungsional dapat berupa klaim struktur & fungsi dan klaim mengurangi risiko penyakit. Codex Alimentarius pada tahun 1999 mengajukan dua tipe klaim kesehatan yang serupa dengan di Uni Eropa, yaitu tipeA dan B pada rancangan rekomendasi untuk klaim kesehatan. Cina dan Filipina memperbolehkan klaim kesehatan pada produk pangan selama ditunjang dengan bukti-bukti yang cukup. Negara lainnya (termasuk Singapura dan Malaysia) saat ini belum membolehkan klaim kesehatan dari suatunproduk pangan. Meskipun demikian, pemasaran nutraceutical dan pangan fungsional secara umum belum terregulasi dengan baik (Baghchi et al. 2004). Wijaya (2007) mengungkapkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap pangan fungsional di antaranya adalah usia, tingkat pendidikan, manfaat kesehatan, rasa, kebutuhan, budaya, dan keunggulan yang diklaim berdasarkan penelitian-penelitian ilmiah. Hal yang perlu diperhatikan agar pangan fungsional dapat diterima oleh konsuman adalah citarasa. Citarasa yang kurang baik tetap tidak bisa diterima meskipun pangan tersebut memiliki manfaat bagi kesehatan. Pangan indigenous Indonesia yang berasal dari warisan nenek moyang yang mencerminkan budaya khas Indonesia sebenarnya dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi pangan fungsional. Pengembangan pangan fungsional di Indonesia sangat manjanjikan jika dikelola dengan tepat. Hal tersebut didukung oleh latar belakang kultur yang ada, populasi yang tinggi, dan sumber daya alam yang sangat beragam. 27 Jamu telah dikenal oleh nenek moyang kita secara empiris sebagai minuman yang berkhasiat untuk kesehatan, kebugaran, dan identik dengan obat yang mujarab seperti: wedang (Jawa: minuman) jahe, wedang secang, sekoteng, serbat, beras kencur, bandrek memiliki khasiat mencegah masuk angin, demam, dan menghangatkan badan. Hasil penelitian terakhir menunjukkan ekstrak jahe segar dapat menekan proliferasi sel kanker leukemia. Selain itu juga, bir pletok yang terbuat dari bermacam-macam rimpang dan rempah alami berkhasiat meningkatkan stamina. Masyarakat Indonesia memiliki kepercayaan terhadap kemujaraban penyembuhan jamu, namun tidak banyak bukti ilmiah yang dapat mendukungnya. Masyarakat Indonesia diperkirakan sekitar 70-80% mengonsumsi segelas jamu setiap hari. Empat fungsi dasar yang terdapat dalam jamu, yaitu: menyembuhkan penyakit, mencegah terjadinya serangan penyakit dan mempertahankan kondisi kesehatan tubuh dengan cara meningkatkan sirkulasi darah & metabolisme tubuh, menyembuhkan sakit kepala dan sakit sejenisnya dengan cara mengurangi infeksi dan membantu proses pencernaan, dan mengoreksi terjadinya malfungsi organ tubuh (Winarno dan Agustinah 2007). Pangan tradisional banyak yang memenuhi persyaratan sebagai pangan fungsional tetapi informasinya masih terbatas, sehingga diperlukan adanya kajian khusus dan inventori pangan khas nusantara yang tergolong sebagai pangan fungsional. Selain itu juga, pemberian informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat diperlukan agar masyarakat memiliki pemahaman yang benar terhadap pangan fungsional (Winarno dan Kartawidjajaputra 2007). Ketentuan pokok mengenai pangan fungsional yang terbaru telah dikeluarkan oleh BPPOM RI no. HK 00.05.52.0685, sedangkan mengenai klaim pangan fungsional diatur dalam lampirannya. Pangan fungsional tidak harus berupa produk yang diolah secara modern dan mahal, tetapi juga dapat berupa produk yang diolah secara sederhana, bahkan bisa disiapkan sendiri di rumah. Jadi, pengetahuan dan kesadaran mengenai pentingnya peran pangan dalam menjaga kesehatan dan kebugaran yang disertai dengan data-data ilmiah yang ada merupakan dasar untuk mengetahui pangan fungsional. 2.5. MINUMAN FUNGSIONAL BERBASIS KUMIS KUCING Minuman fungsional berbasis kumis kucing merupakan minuman hasil formulasi dari beberapa ekstrak cair rempah dan herbal yang didasarkan pada aktivitas antioksidan, mutu citarasa, dan warna. Ingridien minuman yang paling dominan terdapat dalam minuman ini adalah ekstrak kumis kucing. Ekstrak rempah yang dominan setelah ekstrak kumis kucing secara berturut-turut adalah ekstrak kayu secang, jahe gajah, dan jeruk purut. Ekstrak temulawak merupakan ingridien dalam minuman yang ditambahkan dalam jumlah sedikit. Bahan tambahan pangan yang terdapat dalam minuman ini adalah sukrosa (gula pasir) sebagai pemanis, CMC (karboksimetil selulosa) sebagai penstabil, dan kalium sorbat atau natrium benzoat sebagai pengawet (Wijaya 2007 dan Kordial 2009). Penelitian minuman fungsional berbasis kumis kucing diawali dengan formulasi minuman yang dilakukan Herold (2007). Penelitian tersebut menghasilkan formula optimal dengan aktivitas antioksidan sebesar 621.78 ppm AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Activity), skor kesukaan panelis terhadap citarasa minuman berkisar antara netral dan suka (skala hedonik 3.32 dari skala 5.00), dan daya simpan 9 hari pada suhu ruang. Perpanjangan umur simpan dan perbaikan citarasa minuman kemudian dilakukan Kordial (2009) melalui penambahan ekstrak berbagai varietas jeruk serta optimasi proses pengolahan. Ekstrak jeruk y dipilih sebagai pengganti ekstrak jeruk lemon pada formulasi sebelumnya. Minuman yang dihasilkan dikemas dengan botol gelap yang steril dan dipasteurisasi pada suhu 800C selama 30 menit. Hasil penelitian tersebut adalah minuman fungsional berbasis kumis kucing dengan umur simpan 28 selama 3 bulan. Minuman pada minggu ke-0 memiliki aktivitas antioksidan sebesar 621.7 ppm AEAC dan pada minggu ke-12 sebesar 359 ppm AEAC. Skor kesukaan terhadap citarasa minuman berkisar antara agak suka dan suka (skala hedonik 5.57 dari skala 7.00). Karakteristik lain dari minuman fungsional berbasis kumis kucing ini adalah nilai pH 3.82, TPT 160 Brix, derajat warna L= ± 25, a= 1.1, b= 5.5, 0Hue= 81. Pengujian aktivitas anti-hiperglikemik minuman secara in vitro (inhibisi enzim α-glukosidase dan α-amilase) dan ex vivo (peningkatan penyerapan glukosa oleh sel diagrafma mencit) selanjutnya dilakukan oleh Diana (2010). Minuman ini mempunyai kemampuan inhibisi α-glukosidase dan αamilase dengan IC50 sebesar 217.12 dan 217.41 mg/ml. Minuman ini juga dapat meningkatkan penyerapan glukosa oleh sel diafragma mencit sebesar 37.48 µg glukosa/g sel. Minuman fungsional berbasis kumis kucing lebih berpotensi dalam stimulasi penyerapan glukosa (menurunkan kadar glukosa darah yang tinggi) dibandingkan dengan inhibisi α-glukosidase dan α-amilase (mencegah peningkatan kadar glukosa darah). 2.5.1. Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus Bl. Miq) Tanaman kumis kucing (Orthosiphon aristatus Bl. Miq) termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospemae, kelas Dicotyledoneae, keluarga Lamiaceae, genus Orthosiphon, dan spesies Orthosiphon spp. Mahendra (2005) menjelaskan bahwa daun kumis kucing mengandung komponen-komponen bioaktif seperti senyawa sinensetin, flavon- flavon, 2 flavonol glikosida, zat samak, saponin, garam kalium, asarn-asarn organik, tanin, dan minyak atsiri. Tejasari (2003) menyebutkan bahwa zat aktif yang terdapat pada ekstrak daun kumis kucing meliputi: flavonoid, triterpene, dan alkaloid. Ekstrak daun kumis kucing dapat meningkatkan fungsi imun, stimulasi sel T, makrofag, antimutagenik, anti inflamasi, peluruh urin (diuretik), dan penghancur batu kemih. 2.5.2. Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) Kayu secang banyak digunakan untuk memberi warna merah pada minuman. Pewarna alami dapat memberikan fungsi tambahan sebagai perisa, antioksidan, antimikroba, dan fungsi lainnya. Pewarna alami umumnya rentan terhadap pH, sinar matahari, dan suhu tinggi, sehingga sebaiknya disimpan pada 4-8 oC untuk meminimumkan pertumbuhan mikroba dan degradasi pigmen (Wijaya dan Mulyono 2009). Ekstrak kayu secang secara empiris dipakai sebagai obat luka, batuk berdarah, penawar racun, sipilis, menghentikan pendarahan, pengobatan pascapersalinan, desinfektan, antidiare dan astringent (Winarti dan Nurdjanah 2005). Kayu secang juga berkhasiat mengobati demam berdarah dan katarak mata. Kandungan kimia dari kayu secang adalah tannin, asam galat, resin, resorsin, brazilin. brazielin, minyak atsiri, sappanin, proto sappanin, senyawa metohidroksibrasilin,turunan bensildihidrobensolfuran, senyawa brazilin, dan brazilein (Firmansyah 2003 dan Fuke et al. 1985). Sumber zat warna alami secang menurut Zerrudo (1999) berasal dari komponen pigmen brazilin (C16H14O5) yang berwarna merah yang bersifat mudah larut dalam air panas. Brazilin memiliki warna kuning dalam bentuk murninya, dapat dikristalkan, dan larut air. Suasana asam tidak mempengaruhi warna pigmen brazilin, tetapi dalam suasana basa dapat membuat warna brazilin menjadi lebih merah. Brazilin akan cepat membentuk warna merah jika terpapar sinar matahari dan akan terjadi perubahan secara lambat oleh pengaruh cahaya (Anonim 1976). 29 Brazilin memiliki aktivitas sebagai antioksidatif, antibakteri, dan bakteriostatik. Brazilin merupakan senyawa antioksidan yang mempunyai katekol dalam struktur kimianya. Oleh karena itu, brazilin diharapkan mempunyai efek melindungi tubuh dari keracunan akibat radikal kimia dan pelindung terhadap radikal bebas pada sel (Winarti dan Nurdjanah 2005). 2.5.3. Jahe (Zingiber officinale Roscoe) Jahe (Zingiber officinaIe Rosc.; Ginger) adalah tanaman herba tahunan dengan daun berpasang-pasangan dua-dua berbentuk pedang, rirnpang seperti tanduk, dan beraroma. Jahe secara taksonomi termasuk dalam divisi: Spermathophyta, kelas: Angiospermae, subkelas: Monocotyledoneae, ordo: Musales, famili: Zingiberaceae (Tejasari 2003). Hasil penelitian para ahli menunjukkan jahe memiliki efek farmakologis yang berkhasiat sebagai obat (Ahmad 2008). Tejasari (2003) menyatakan bahwa jahe mengandung zat aktif senyawa fenol. Sifat fungsional yang dimiliki jahe adalah antioksidatif (menurunkan radikal bebas limfosit, kadar malonaldehid), imunostimulasi sel B dan sel T, meningkatkan aktivitas sitolitik sel NK manusia, antimikroba, antiinflamatori, dan antitusif. Jahe mengandung beberapa komponen bioaktif diantaranya adalah gingerols, shogaols, diarylheptanoids, dan terpenoids (Kikuzaki 2000). Komponen bioaktif jahe diketahui memiliki aktivitas antioksidan, aktivitas antimikroba, aktivitas antihepatotoxic, menghambat pembentukan prostaglandin, gastroprotective, analgesic, antipyretic, dan antitumor promoting activity. Jahe digunakan sebagai penegas rasa dan aroma pada proses pembuatan bahan makanan karena mengandung flavanoida, polifenol, dan minyak atsiri (Saparinto dan Hidayanti 2006). Senyawasenyawa tersebut membuat aroma jahe kuat, dengan rasa pedas menyegarkan. Jahe juga bermanfaat untuk obat masuk angin, mual, dan encok serta pengusir hawa dingin. Jahe dapat dikelompokkan berdasarkan aroma, warna, bentuk, dan ukuran rimpangnya menjadi tiga jenis, yaitu jahe putih besar/gajah (Zingiber officinale var. Roscoe), jahe putih kecil/emprit (Zingiber officinale var. Amarum), dan jahe merah/sunti (Zingiber officinale var. Rubrum). Rimpang jahe dapat digunakan sebagai obat batuk, mengatasi influenza, demam, menambah nafsu makan, memperkuat lambung, dan memperbaiki pencernaan(sakit perut). Hasil penelitian Herold (2007) menunjukkan aktivitas antioksidan dari ketiga jenis jahe yang diukur dengan metode penangkapan senyawa radikal bebas stabil DPPH. Jahe merah memiliki aktivitas antioksidan yang paling tinggi diantara ketiga jenis jahe lainnya. Aktivitas antioksidan jahe merah yaitu sebesar 890.11 ppm AEAC. Aktivitas antioksidan jahe merah (890.11 ppm AEAC) dan jahe gajah (858.44 ppm AEAC) secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas antioksidan ekstrak jahe emprit (806.78 ppm AEAC), sedangkan aktivitas antioksidan ekstrak jahe gajah dan ekstrak jahe merah tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5 %. Hasanah et al. (2004) menyatakan bahwa jahe gajah memiliki karakter citarasa (rasa pedas dan aroma jahe) yang kurang tajam dibandingkan jahe emprit dan jahe merah. Hal tersebut dikarenakan kandungan minyak atsiri jahe gajah, yaitu sebesar 0.82 – 1.68 persen dari bobot kering. Kandungan minyak atsiri jahe merah berkisar antara 2.58 – 3.72 persen dari bobot kering. Kandungan minyak atsiri jahe emprit, yaitu sebesar 1.5 – 3.3 persen dari bobot kering (Ahmad 2008). Nilai aktivitas antioksidan antara ekstrak jahe gajah dan ekstrak jahe merah tidak berbeda nyata namun jahe gajah memiliki karakter citarasa jahe yang tidak terlalu pedas dibandingkan dengan jahe merah. Oleh sebab itu, formulasi minuman fungsional berbasis kumis kucing menggunakan ekstrak jahe gajah. 30 Obat fitofarmaka yang menggunakan bahan baku jahe baru satu macam yaitu zinax. Obat tersebut merupakan penemuan ahli biokimia Denmark, Dr. Morten Weidner (1991) dengan nama HMP 33 (Hydroxy-methoxy-Phenyl-Compound). HMP 33 merupakan hasil isolasi ekstrak jahe dari unsur gingerol yang telah dihilangkan shogaolnya. HMP 33 ini digunakan sebagai bahan aktif utama zinax yang berkhasiat mengatasi keluhan rasa sakit pada tulang, otot, dan sendi. Setiap kapsul mengandung 255 mg ekstrak HMP 33 yang setara dengan 6600 mg ekstrak bubuk jahe (Anonim 1997). 2.5.4. Jeruk Purut (Citrus hystrix DC.) Klasifikasi jeruk purut menurut (Sarwono 1994 dan Rukmana 2000) adalah sebagai berikut. Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Subkelas : Dialypetales Ordo : Rutales Famili : Rutaceae Sumber: (Anonim 2010b) Genus : Citrus Spesies : Citrus hystrix D.C (jeruk purut) Verheijj dan Coronel (1997) menyatakan bahwa tanaman jeruk purut berawakan pohon, tingginya mencapai 12 m, memiliki batang bengkok-bengkok dan duri-duri pendek tetapi kaku. Daunnya berbentuk bundar-telur-lebar sampai lonjong-bundar-telur, berukuran (3-15) cm x (2-6) cm, bunganya kecil-kecil, harum, dan berwarna putih. Buahnya bertipe buah buni, berbentuk bulat telur sampai menjorong, berdiameter 5-7 cm, berwarna hijau sampai kuning, sangat tidak rata dan tak beraturan, memiliki 10-12 segmen. Buahnya kecil, biasanya tidak pernah berdiameter lebih dari 2 cm, membulat dengan tonjolan-tonjolan dan permukaan kulitnya kasar, kulit buah tebal. Perbanyakan tanaman dilakukan dengan biji atau dengan pencangkokan ( Anonim 2010b). Hariana (2008) menyatakan bahwa jeruk purut memiliki rasa agak asin (asam), kelat, dan bersifat simultan serta penyegar. Beberapa bahan kimia yang terdapat pada jeruk purut diantaranya daun mengandung minyak atsiri 1-1,5 %, steroid triterpenoid, dan tannin 1.8 %. Kulit buah mengandung saponin, tannin 1 %, steroid triterpenoid, dan minyak atsiri dengan kandungan sitrat 22.5 %. Minyak essensial dari jeruk purut dapat digunakan untuk aroma terapi, nutraceutical, dan pemeliharaan kesehatan tubuh (Azlim et al. 2010). Efek farmakologis jeruk purut diantaranya adalah anti-spasmodik dan anti-septik. Jeruk purut berkhasiat mengobati penyakit influenza. Verheijj dan Coronel (1997) menyatakan bahwa ekstrak jeruk purut dapat digunakan sebagai bahan penyedap dan dapat diolah menjadi minuman. Jeruk purut merupakan salah satu kerabat dekat jeruk nipis dari famili Rutaceae (Rukmana 2000). Jeruk purut memiliki ukuran lebih kecil dari kepalan tangan, berbentuk buah pir, banyak tonjolan sehingga bentuknya susah dipertahankan. Kulit buahnya tebal dan berwama hijau tetapi ketika masak buahnya akan berwarna sedikit kuning. Daging buahnya benwarna hijau kekuningan, rasanya sangat masarn dan kadang pahit. Kulit buahnya dapat diparut dan dicampur air untuk bahan pencuci rambut, dapat digunakan dalam masakan, dan pembuatan kue serta manisan. Ketiak daun berduri, durinya pendek halus, warnanya hitam dengan ujung kecoklatan. Panjang duri antara 0,2-1 cm. Letak daun berpencar dan silih berganti. Daun berbentuk bulat telur, ujungnya tumpul, dan bertangkai satu. Tangkai daun bersayap lebar dan bentuknya hampir menyerupai daun. 31 Daunnya berwarna hijau dan baunya beraroma sedap, sehingga banyak dipakai sebagai bumbu bermacam-macam masakan (Sarwono 1994). Daun jeruk purut berkhasiat sebagai stimulan dan penyegar. Kulit buahnya berkhasiat sebagai stimultan, berbau khas aromatik, bersifat mengelat, dan rasanya agak asin dan pahit. Buahnva dapat membantu mengatasi gejala influenza, memperbaiki stamina tubuh, mengatasi rambut kepala yang bau, serta mangatasi kulit bersisik dan mengelupas (Sarwono 1994). 2.5.5. Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia Swingle) Klasifikasi jeruk nipis menurut (Sarwono 1994 dan Rukmana 2000) adalah sebagai berikut. Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Subkelas : Dialypetales Ordo : Rutales Famili : Rutaceae Sumber: (Anonim 2010a) Genus : Citrus Spesies : Citrus aurantifolia Swingle (jeruk nipis) Muhlisah (2008) menyatakan bahwa tanaman jeruk nipis merupakan pohon yang berukuran kecil, batangnya memiliki duri tajam, dan banyak cabang-cabang kecil. Daunnya berbentuk bulat telur dan bertekstur agak kaku serta panjang daun sekitar 4-6 cm. Tepi daun agak berlekuk ke atas. Tangkai daunnya kecil dan sempit. Bunga jeruk nipis berwarna putih dan baunya harum. Buahnya berbentuk agak bulat dengan ujungnya sedikit menguncup. Jeruk nipis memiliki karakieristik citarasa yang lembut, berair, dan sangat asam dengan aroma yang tajam (Feller 1985). Pemanfaatan jeruk nipis cukup luas antara lain sebagai bahan obat tradisional, untuk perawatan kecantikan, untuk penyedap makanan, dan untuk menambah rasa segar pada minuman. Aromanya yang tajam dan rasa asamnya menyebabkan jeruk ini menjadi pertimbangan utama dalam memperbaiki citarasa minuman fungsional berbasis kumis kucing sekaligus sebagai asidulan alami. Kualitas penyegar ekstrak jeruk nipis dapat menonjol pada sari buah, teh jeruk, dan ketika dicampur dengan buah-buahan lain. Buah berwarna hijau ketika masih muda dan berwarna hijau muda atau kekuningan ketika tua. Buah jeruk nipis berbentuk bulat berdiameter 3-6 cm. Jeruk nipis kini dibudidayakan diseluruh wilayah tropik dan subtropik hangat (Verheijj dan Coronel 1997). Jeruk nipis dapat berbuah terus-menerus sepanjang tahun dengan produksi 400 buah setiap pohon (Sarwono 1994). Hasil analisa komposisi jeruk nipis per 100 g bagian yang dapat dimakan di Thailand yaitu: air 91 g,protein 0.5 g, lemak2.4 g, karbohidrat 5.9 g, serat 0.3 g, vitamin A 17 SI, vitamin C 46 mg,dan nilai energinya sekitar 150 kJ per 100 g. Buah jeruk nipis dapat menghasilkan ekstrak jeruk nipis sekitar 41 % dari berat buah (Verheijj dan Coronel 1997). Komposisi kimia buah jeruk nipis per 100 g berat dapat dimakan dapat dilihat pada Tabel 2. Jeruk nipis mengandung asam sitrat sebanyak7-7.6%, dammar lemak, mineral, vitamin B1, minyak atsiri, sitral limonene, fellandren, lemon kamfer, geranil asetat, cadinen, dan linalin asetat, vitamin C sebanyak 27mg/100 g jeruk, Ca sebanyak 40 mg/100g jeruk, dan P sebanyak 22 mg (Muhlisah 2008). Efek farmakologis yang dimiliki oleh jeruk nipis diantaranya adalah anti demam, dapat menyembuhkan batuk, sakit tenggorokan, flu, mengobati anemia, menyegarkan tubuh, memperlancar 32 pengeluaran air seni, anti-inflamasi, dan anti-bakteri. Tanaman jeruk nipis mengandung limonene, linalin asetat, geranil asetat, asam sitrat, vitamin C, kalsium, fosfor, vitamin B1, zat besi, fellandren, dan sitral (Muhlisah 2008). Jeruk (nipis) selain kaya vitamin dan mineral juga mengandung zat bioflavonoid yang berguna untuk mencegah terjadinya pendarahan pada pembuluh nadi, kemunduran mental dan fisik, serta mengurangi luka memar (Rukmana 2000) Tabel 2. Komposisi kimia buah jeruk nipis per 100 g berat dapat dimakan Komposisi Jeruk Nipis Kadar air (g) 88.90 Kadar abu (g) 0.40 Kadar protein (g) 0.50 Kadar lemak (g) 0.20 Hidrat arang total (g) 10.00 Serat (g) 0.40 Energi (kkal) 44.00 Kalsium (mg) 18.00 Fosfor (mg) 22.00 Besi (mg) 0.20 Karoten (mg) 0.004 Thiamin (mg) 0.000 Riboflavin (mg) 0.010 Asam askorbat (mg) 19.70 Sumber: Departemen Kesehatan R1 1990 dan Anonim 2009 2.5.6. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia yang termasuk salah satu jenis temu-temuan dari divisi Spermatophyta, subdivisi Angibrerales, bangsa Zingiberales, suku Zingiberaceae, marga Curcuma dan jenis Curcuma xanthorriza Roxb. Muhlisah (2008) menyatakan bahwa temulawak telah lama dikenal sebagai bahan ramuan obat. Aroma dan warna khas dari temulawak adalah berbau tajam, rasanya pahit, dan daging buahnya berwarna kekuning-kuningan. Rimpang temulawak telah diketahui mempunyai efek antiinflamasi, antioksidan, antibakteri, antikolesterol, antikanker, dan antiplatelet agregasi (Septiatin 2008). Temulawak mengandung minyak atsiri, curcumin, kamfer, glukosida, phellandrene, tomerol, myrcene, xathorrihizol, isofuranog-germacreene, p-tplyletycarbinol, dan tepung (Muhlisah 2008). Komponen bioaktif yang terdapat dalam temulawak diantaranya adalah kurkumin, demethoxycurcumin, dan bisdemetoxy-curcumin. Kurkumin merupakan komponen utama yang berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan (Kikuzaki 2000). Kurkumin berwarna kuning pada pH rendah, jingga pada kondisi basa, dan hijau pada pH tinggi. Kurkumin merupakan pewarna alami yang termasuk dalam kelompok flavonoid. Kurkumin stabil terhadap panas, tetapi sensitif terhadap cahaya (Wijaya dan Mulyono 2009). 33 2.5.7. Flavor Enhancer Pszczola (2010) menyatakan zat yang dapat memunculkan citarasa yang baru disebut dengan taste modulators/flavor enhancer/masking agents/salt replacers/bitterness blocker/sugar extenders/sweetness enhancers (inhibitors)/umami potentiator. Taste modulator dapat digunakan dalam proses formulasi suatu produk untuk memberikan keseimbangan citarasa yang sesuai di antara citarasa yang berbeda. Oleh karena itu, taste modulator memiliki peranan yang sangat penting dalam proses formulasi produk pangan. Flavor enhancer tidak hanya memiliki pengaruh terhadap peningkatan citarasa, tetapi juga memiliki pengaruh negatif terhadap kesehatan. Flavor enhancer biasanya ditambahkan dalam konsentrasi tertentu sesuai dengan jenis produk pangannya. Citarasa yang kurang sesuai yang dihasilkan setelah penambahan flavor enhancer biasanya disebabkan oleh adanya suatu penambahan (misalnya mineral) atau adanya sesuatu yang dihilangkan (misalnya : gula atau garam) dari produk pangan tersebut. Mekanisme kerja flavor enhancer/masking agent (umumnya sudah dicampur dengan modifier,inhibitor, dan enhancer) yaitu dengan menutupi karakteristik flavor yang tidak diinginkan melalui adanya sensasi lain, berkompetisi dengan reseptor spesifik, atau dengan meningkatkan flavor yang lain (Gascon 2006). Seseorang akan merasakan citarasa dari suatu produk ketika makanan ataupun minuman tersebut berinteraksi dengan reseptor citarasa di dalam mulut. Proses lebih detilnya adalah senyawa flavordari makanan maupun minuman berikatan dengan reseptor pengecap yang terdapat di dalam lidah. Reseptor pada lidah selanjutnya akan mengirimkan sinyal kepada bagian otak yang spesifik menerima rangsangan citarasa untuk diberikan suatu respon (Winarno 2008). Flavor sangat penting dalam proses formulasi atau pengembangan produk pangan (De Ross dan Nederland 2006). Hal tersebut dikarenakan flavor dapat mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap produk pangan tersebut. Flavor yang dimaksud di sini adalah aroma dan rasa. Aroma adalah sensasi yang dihasilkan dari interaksi senyawa kimia volatil dengan reseptor yang ada di dalam hidung. Rasa adalah sensasi yang dihasilkan dari interaksi senyawa kimia dengan reseptor yang ada di dalam hidung. Citarasa dapat dirasakan ketika senyawa kimia tersebut larut dalam saliva. Rasa dapat timbul dari sensasi trigeminal , seperti astrigency dan pungency (Carpenter et al. 2000). Faktorfaktor yang dapat mempengaruhi kestabilan flavor yaitu keberadaan air, protein, sulfit, sistein, mikroorganisme, asam, enzim, dan ion logam (Winarno 2002a). Seseorang yang memformulasi pangan dapat meningkatkan atau menguatkan citarasa dari produk pangan tersebut dengan cara mengoptimalkan lima rasa dasar yang ada di lidah. Salah satu citarasa dasar yang dapat dikembangkan adalah rasa umami. Umami dapat dirasakan sebagai rasa gurih yang ditimbulkan oleh glutamat dan 5’ ribonukleotida (IMP dan GMP). Rasa umami sangat penting dalam memahami adanya sinergi yang terdapat pada citarasa yang lainnya. Rasa umami dapat ditingkatkan dengan sinergisitas interaksi antara glutamate bebas, IMP, dan GMP. Rasa umami yang ditimbulkan dari kombinasi IMP dan GMP menghasilkan sensasi rasa yang jauh lebih besar dari pada komponen tunggalnya. Keberhasilan dalam proses formulasi minuman tergantung pada kombinasi zat yang kita tambahkan pada sistem flavor yang ada pada minuman tersebut. Penggunaan flavor alami dalam proses formulasi dapat memberikan manfaat melalui peningkatan rasa manis, penutupan citarasa, pengeblokan rasa pahit, bahkan dapat membentuk persepsi pada mouthfeel (Pszczola 2010). Masking flavor dapat digunakan untuk mengurangi aftertaste dari ekstrak herbal. Bentuk masking flavor bermacam-macam yaitu: cair, (bubuk) kering, alami, buatan, dan organik. Jumlah 34 masking flavor yang digunakan dalam pangan yaitu antara 0.05-0.25%. Nukleotida hasil ekstrak khamir (misalnya : IMP dan GMP) dapat berfungsi menutupi citarasa yang tidak diinginkan. Sweetness enhancer dapat membantu mengurangi rasa pahit dan juga memblok rasa asam sehingga dapat memunculkan persepsi manis. Ekstrak khamir bernukleotida tinggi dengan komposisi sampai dengan 20 % 5’GMP + 5’IMP dapat digunakan untuk meningkatkan penerimaan citarasa suatu produk pangan. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi yang sangat baik dengan komponen citarasa yang lainnya pada sistem pangan (mouthfeel, creaminess, freshness, dan mengurangi aftertaste pahit). Ekstrak khamir tersebut pada asalnya memiliki sedikit rasa gurih, namun secara alami nukleotida hampir tidak memiliki rasa. Meskipun bahan tersebut digunakan dengan dosis yang rendah, namun dapat meningkatkan rasa gurih ketika ditambahkan dalam pangan (Noordam dan Meijer 2006). Upaya peningkatan penerimaan citarasa muniman fungsional berbasis kumis kucing dilakukan dengan menggunakan flavor enhancer A dengan konsentrasi X-Y % atau P/P flavor enhancer dengan konsentrasi A-B %. Penggunaan P/P flavor enhancer dengan konsentrasi A-B % pada minuman diharapkan menimbulkan efek sinergi sebagaimana pencampuran P:P MSG dan IMP dapat menimbulkan efek sinergi (Marcus 2006). Bahan tambahan pangan, penyedap rasa dan aroma, dan penguat rasa menurut Peraturan Menteri Kesehatan R.I No.722/Menkes/Per/IX/88 didefinisikan sebagai bahan tambahan pangan yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa dan aroma. Bahan penyedap mempunyai beberapa fungsi dalam bahan pangan sehingga dapat memperbaiki, membuat lebih bernilai atau diterima, dan lebih menarik di antaranya dengan menutupi after taste dan membentu aroma baru. Sifat utama pada penyedap adalah memberi ciri khusus suatu pangan seperti flavor jeruk manis, jeruk nipis, lemon, dan sebagainya (Cahyadi 2006). Bentuk produk-produk 5'-ribonukleotida, disodium Inosine-5'-monophosphate (IMP), disodium-5'-guanosine monophosphate (GMP), dan campuran (I + G) adalah kristal putih atau bubuk kristal. Produk-produk tersebut larut dalam air dan dalam alkohol tetapi tidak larut dalam eter. Produk-produk tersebut dibuat dari proses fermentasi gula diikuti dengan proses pemurnian. Produkproduk tersebut memiliki kemampuan yang sangat kuat dalam meningkatkan cita rasa. Penggunaan produk 5'-ribonukleotida dalam pangan telah disetujui oleh FDA (Anonim 2010c). Guanosin monofosfat (GMP) adalah sebuah nukleotida yang ditemukan pada RNA. Senyawa tersebut adalah ester dari asam fosfat dengan guanosin nukleosida. GMP terdiri atas gugus fosfat, gula pentosa ribosa, dan basa nukleotida guanin. Guanosin monofosfat dihasilkan dari ikan kering atau ganggang laut kering. Guanosin monofosfat dalam bentuk garamnya, seperti dinatrium guanilat (E627), dipotassium guanilat (E628) dan kalsium guanilat (E629), adalah bahan tambahan pangan yang digunakan sebagai penguat rasa untuk memberikan rasa umami. Senyawa ini sering digunakan bersamaan dengan dinatrium inosinat agar lebih bersinergi. Kombinasi keduanya dikenal sebagai dinatrium 5'-ribonukleotida. Dinatrium guanilat digunakan pada mi instan, keripik kentang (snack), sayuran kaleng, daging curing, dan sup (Anonim 2010d). Spesifikasi flavor enhancer GMP dan IMP dapat dilihat pada Tabel 3. Dinatrium inosinat (E631 [1]) dengan rumus kimia C10H11N2Na2O8P, adalah garam dinatrium asam inosinat. Senyawa ini adalah bahan tambahan pangan pemberi rasa umami yang digunakan pada mi instan, keripik kentang, dan berbagai makanan ringan lainnya. Senyawa ini terdapat pada babi dan ikan. Senyawa ini sering ditambahkan pada pangan bersama dengan dinatrium guanilat dan kombinasinya dikenal sebagai dinatrium 5'-ribonukleotida (Anonim 2010e). Pengaruh penggunaan guanosin 5 ‘-disodium fosfat, inosin 5 ‘-disodium fosfat, dan sodium 5 ‘-ribonukleotida terhadap 35 kesehatan tidak diketahui, namun tidak boleh digunakan pada pangan bayi, anak-anak, dan penderita encok (Cahyadi 2006). Tabel 3. Spesifikasi Flavor Enhancer GMP dan IMP (Anonim 2010c) Disodium Inosine-5’-monophosphate (IMP) Disodium Guanosine-5’-monophosphate (GMP) CAS No.:4691-65-0 (anhydrous) CAS No.:85-32-5 (anhydrous) Formula : C10H11O8N4PNa2.7.5H2O Formula : C10H12O8N5PNa2.7H2O Berat molekul : 527.25 Berat molekul : 533.26 Properti IMP GMP Penampakan bubuk kristal putih Kadar logam 97.0 %-102.0 % Kehilangan saat pengeringan max. 28.5 % Logam berat max. 10 ppm max. 10 ppm Kandungan arsen max. 1 ppm max. 1 ppm pH 7.0-8.5 7.0-8.5 Properti 97.0 %-102.0 % max. 25.0 % Flavor enhancer (P:P) Penampakan bubuk kristal putih Kadar logam 97.0 %-102.0 % Kehilangan saat pengeringan max. 25.0 % Logam berat max. 10 ppm Kandungan arsen max. 1 ppm pH 7.0-8.5 Proporsi campuran P-P % Aplikasi food additive, flavor enhancer 2.5.8. Pemanis Pembuatan minuman fungsional berbasis kumis kucing yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan tiga jenis pemanis, yaitu: gula, sukralosa, dan kombinasi sukralosa, aspartam, & siklamat. Penggunaan pemanis yang dikombinasikan bertujuan untuk meningkatkan keamanan, kualitas, dan kestabilan rasa produk pangan (Wijaya dan Mulyono 2010). Penggunaan gula pada minuman ini diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak menderita diabetes, sedangkan penggunaan pemanis pada minuman diperuntukkan bagi penderita diabetes. 36 Gula digunakan sebagai sumber energi oleh sel-sel tubuh dan otak, sehingga sel-sel tubuh dapat mempertahankan kelangsungan metabolisme. Gula yang dikonsumsi lebih mudah dicerna dan ditransportasikan ke dalam darah. Hormon insulin diperlukan agar gula dari darah dapat ditransportasikan ke dalam sel tubuh dan otak, sehingga kadar gula darah menjadi turun. Penderita diabetes mengalami gangguan produksi hormon insulin, sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa di dalam pembuluh darah (hiperglikemia). Organisasi Pangan Masyarakat Jerman menyarankan kebutuhan kalori bagi wanita dewasa per hari sekitar 2000 kalori, laki-laki dewasa 2400 kalori, dan untuk gula tidak lebih dari 10 persennya, yang berarti sekitar 200-240 kalori (± 2.5 sendok makan). Para pakar ilmu pangan menyarankan agar penggunaan gula per hari tidak dalam batas maksimum. Hal tersebut dikarenakan dalam berbagai bahan pangan lainnya yang dikonsumsi telah mengandung sejumlah gula (Winarno dan Kartawidjajaputra 2007). Bahan makanan yang mengandung gula jika terlalu banyak dikonsumsi dapat menimbulkan dampak-dampak yang merugikan, antara lain: karies gigi, gangguan pada pencernaan (usus), kelebihan berat badan, terasa sakit pada persendian, darah tinggi, dan penyakit jantung. Gula mengandung kalori yang cukup tinggi akan tetapi nilai gizinya sangat sedikit sehingga terjadi ketidakseimbangan energi jika kita mengonsumsi melebihi dari jumlah yang dibutuhkan. Gula yang dikonsumsi berlebihan jika terjadi terus-menerus akan diubah menjadi lemak di dalam tubuh, yang dapat mengakibatkan kegemukan. Efek samping dari hal tersebut adalah adanya gangguan pada sirkulasi lemak, sirkulasi darah, penyakit gula (diabetes), dan nyeri pada persendian. Pemanis buatan rendah kalori atau bahkan nonkalori sekaligus nonkariogenik dapat digunakan sebagai pengganti gula, sehingga dapat menghindari dampak-dampak negatif yang telah disebutkan. Pemanis digunakan agar penderita diabetes mellitus masih dapat mengonsumsi produk pangan yang manis tanpa menimbulkan masalah (Wijaya dan Mulyono 2010). Kroger et al. (2006) menyatakan bahwa penggunaan pemanis buatan dapat menekan biaya produksi. Pemanis merupakan senyawa kimia yang sering ditambahkan dan digunakan untuk keperluan produk olahan pangan, industri, minuman dan makanan kesehatan. Pemanis menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 235 termasuk ke dalam bahan tambahan pangan, selain zat seperti antioksidan, pemutih, pewarna, pengawet, dll. Pemanis berfungsi meningkatkan citarasa dan aroma, memperbaiki sifat-sifat fisik, sebagai pengawet, memperbaiki sifat-sifat kimia sekaligus merupakan sumber kalori bagi tubuh. Pemanis buatan adalah pemanis yang dihasilkan melalui reaksi-reaksi kimia organik dilaboratorium atau dalam skala industri (dibuat secara sintetis), dan tidak menghasilkan kalori. WHO telah menetapkan ADI (Acceptable Daily Intake), yaitu sejumlah bahan tertentu yang dapat dikonsumsi tanpa menimbulkan risiko. Nilai ADI untuk orang dewasa tidak terlalu berarti, tetapi bagi anak-anak relatif menimbulkan kepekaan yang besar. Hal yang perlu diperhatikan adalah pemanis buatan tidak diizinkan penggunaannnya pada produk pangan untuk kelompok tertentu, seperti: bayi, balita, ibu hamil dan menyusui dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatannya (BPOM 2004). Pemanis buatan adalah bahan tambahan pangan (BTP) yang dapat menyebabkan rasa manis pada produk pangan, tidak atau sedikit mempunyai nilai gizi atau kalori, hanya boleh ditambahkan ke dalam produk pangan dalam jumlah tertentu (Depkes 1999; SNI 2004; BPOM 2004). BTP harus digunakan dengan tepat dan benar sesuai dengan spesifikasi dan karakteristik penggunaanya dosis penggunaannya sehingga dapat memberikan manfaat positif bagi pengadaan produk pangan. BTP yang digunakan dengan cara yang kurang tepat dapat memicu kecurangan bahkan membahayakan 37 kesehatan manusia. Selain itu juga, penggunaan BTP pada produk pangan harus dicantumkan pada label sebagai informasi bagi konsumen. Sepuluh persyaratan ideal BTP pemanis yang digunakan sebagai pemanis pengganti gula (sukrosa) menurut Wijaya dan Mulyono (2010) antara lain: 1. pemanis tersebut mempunyai rasa dan sifat atau karakteristik fungsional seperti sukrosa; 2. nilai kalorinya kurang dari sukrosa pada tingkat kemanisan yang sama; 3. pemanis tersebut tidak berwarna; 4. pemanis tersebut tidak berbau; 5. pemanis tersebut tidak beracun; 6. pemanis tersebut dapat dimetabolisme secara normal atau dikeluarkan dari dalam tubuh; 7. pemanis tersebut tidak menyebabkan alergi; 8. pemanis tersebut stabil terhadap perubahan kimia dan panas; 9. pemanis tersebut dapat dikombinasikan dengan bahan pangan lainnya; 10. pemanis tersebut bersifat ekonomis. Sukralosa (C12H19C13O8) dengan struktur kimia 4, 1’6’-triklorogalaktosukrosa pada kondisi sangat asam dan suhu tinggi akan terhidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa. Sukralosa merupakan pemanis nonkalori yang tidak memberikan after taste. Sukralosa tidak dapat dicerna oleh tubuh dan termasuk dalam golongan GRAS. Nilai ADInya sebesar 0-15 mg/kg bobot badan (JECFA 2005a). Sukralosa memiliki tingkat kemanisan 600 kali dinbandingkan sukrosa. Sukralosa memiliki beberapa kelebihan antara lain: tahan panas sehingga tingkat kemanisan yang diperoleh tidak menurun, jumlah yang diperlukan untuk mencapai tingkat kemanisan yang diinginkan sangat sedikit, memiliki stabilitas yang bagus, baik dalam bentuk kering maupun cair. Penggunaan sukralosa disetujui oleh FDA sejak April 1988. Sukralosa dapat dikeluarkan melalui urin hampir tanpa adanya perubahan. FDA menyimpulkan bahwa sukralosa tidak bersifat karsinogenik, tidak mengganggu reproduksi (kesuburan) ataupun risiko neurologik (saraf) setelah dilakukan lebih dari 100 penelitian pada hewan dan manusia (Winarno dan Kartawidjajaputra 2007). Aspartam (C14H18N2O5) dengan struktur kimia 3-amino-N (α-carbomethoxy-phenetyl) succinamic acid, N-L-α-aspartyl-L-phenilalanine-1-methyl ester memiliki nama dagang Equal, Nutrasweet, dan Canderel. Pemanis ini bersifat slower onset, namun kemanisannya tahan lama. Kestabilan aspartam dapat ditingkatkan dengan enkapsulasi. Aspartam berada dalam bentuk terdisosiasi sehingga rasanya kurang manis pada pH 3.1 dan 7.9 (SNI 2004). Penambahan hidrolisat pati terhidrogenasi disarankan pada produk pangan berkadar air tinggi untuk meningkatkan kestabilan aspartam (Carrol dan Kehoe 1988). Minuman berkarbonasi rasa jeruk yang disimpan selama enam bulan akan berkurang kadar aspartamnya hingga 52-56% (de Cock dan Bechert 2002). Aspartam memiliki waktu paruh paling lama selama 300 hari pada pH 4.3, namun waktu paruhnya hanya beberapa hari pada pH 7. Produk yang menggunakan aspartam harus mencantumkan peringatan khusus bagi penderita fenilketonuria. JECFA menetapkan nilai ADI sebesar 40 mg/kg bobot badan (JECFA 2000). FDA menyetujui penggunaan aspartam pada semua makanan dan minuman. Aspartam disetujui penggunaannya oleh lebih 100 negara termasuk Indonesia. Aspartam terdapat dalam berbagai bentuk seperti cair, enkapsulasi (bersifat tahan panas), dan bubuk. Aspartam memiliki tingkat kemanisan 160-220 kali dibandingkan sukrosa dan relatif tidak mengandung kalori. Meskipun aspartam memberikan kalori sebesar 4 kalori/g, namun karena pemakaiannnya dalam jumlah yang sangat kecil sehingga kalori yang diberikan boleh dianggap tidak ada (Winarno dan Kartawidjajaputra 2007). Aspartam dibentuk dari penggabungan asam aspartat dan fenilalanin. Semua pemanis nonkalori tidak mengalami proses metabolisme, kecuali aspartam. Proses pencernaannya 38 sebagaimana proses pencernaan protein sehingga tidak akan terakumulasi dalam tubuh. Aspartam telah dinyatakan aman untuk digunakan bagi penderita kencing manis, wanita hamil, wanita menyusui, bahkan anak-anak. Aspartam tidak terbukti sebagai penyebab sakit kepala, gangguan penglihatan, meningkatkan berat badan, kejang alzhemier, gangguan janin, lupus, sklerosis multiple maupun kanker otak (Cahyadi 2006). Siklamat tersedia dalam bentuk asam siklamat (asam siklohesilsulfamat, C6H13NO3S), garam natrium atau kalsiumnya. Nama dagang dari natrium siklamat adalah “sodium” atau “biang gula”. Pemanis ini sangat larut dalam air, stabil terhadap suhu tinggi, nonkalori, dan tidak memberika after taste, namun jika terurai akan menghasilkan siklohesilamina dengan rasa pahit (Nelson 2000). Kadar maksimum asam siklamat yang diperbolehkan pada pangan dan minuman berkalori rendah serta untuk penderita diabetes mellitus menurut peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88 adalah 3 g/kg bahan pangan dan minuman. FDA mengeluarkan siklamat dari daftar GRAS, karena menyebabkan tumor kandung kemih pada tikus, namun beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa siklamat tidak bersifat karsinogen (Weihrauch Diehl 2004). Siklamat dapat menurunkan kandungan vitamin B1, vitamin C, dan asam amino esensial. Nilai ADI siklamat 0-11 mg/kg bobot badan (JECFA 2005b). Siklamat dalam penggunaannya seringkali dikombinasikan dengan pemanis lain. Siklamat memiliki rasa yang enakdan mampu menutupi rasa pahit yang tidak dikehendaki. Pemanis ini stabil dalam kisaran temperatur dan pH yang luas. Siklamat memiliki intensitas kemanisan sebesar 30-140 kali sukrosa. Pemanis ini cocok digunakan untuk produk buah-buahan karena selain mampu mempertajam rasanya, pada konsentrasi rendah ia dapat menutupi rasa getir dari beberapa buahbuahan (Wijaya dan Mulyono 2010). 2.5.9. Pengawet Bahan pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian lain pada makanan yang disebabkan oleh pertumbuhan mikroba (Depkes 1999). Bahan pengawet yang sering digunakan pada bahan makanan diantaranya adalah asam sorbat dan asam benzoat (Buckle et al. 1987). Efektivitas bahan pengawet ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: konsentrasi bahan pengawet, jenis mikroorganisme yang akan dihambat, suhu dan waktu, serta sifat fisik dan kimia dari bahan yang akan diawetkan (Buckle et al. 1987). 2.6. MIXTURE EXPERIMENT (ME)/ MIXTURE DESIGN (MD) Menurut Rusviani (2007), optimasi pada salah satu atau seluruh aspek produk adalah tujuan dalam pengembangan produk. Hasil evaluasi sensori seringkali digunakan untuk menentukan apakah produk yang optimum telah dikembangkan dengan benar. Metode mixture experiment (ME) seringkali diterapkan dalam mengoptimasi formula suatu produk. ME merupakan kumpulan dari teknik matematika dan statistika yang berguna untuk permodelan dan analisa masalah sebuah respon yang dipengaruhi oleh beberapa variabel dan tujuannya adalah mengoptimalkan respon tersebut (Montgomery 2002). Respon yang digunakan dalam ME adalah fungsi dari proporsi perbedaan komponen atau bahan dalam suatu formula. Penggabungan beberapa ingridien atau bahan baku dilakukan untuk menghasilkan suatu produk pangan yang dapat dinikmati. Hasil akhir produk tersebut tentunya dipengaruhi oleh persentase atau proporsi relatif masing-masing ingridien yang ada dalam formulasi. Penggabungan beberapa ingridien dalam mixture experiment dapat digunakan untuk melihat pengaruh 39 pencampuran dua komponen atau lebih tersebut mampu menghasilkan produk akhir dengan sifat yang lebih diinginkan, dibandingkan dengan penggunaan ingridien tunggalnya dalam menghasilkan produk yang sama. Penggunaan Mixture Experiment dalam merancang suatu percobaan untuk mendapatkan kombinasi yang optimal dirasakan mampu menjawab permasalahan dilihat dari segi waktu (mengurangi jumlah trial and error rancangan) dan biaya (Cornell 1990). Rancangan percobaan kombinasi ekstrak jeruk yang berbeda dan flavor enhancer yang ditambahkan ke dalam minuman fungsional berbasis kumis kucing dilakukan dengan menggunakan Mixture Experiment. Pengolahan data ME menggunakan program Design Expert (DX) 7.0. Data yang diperlukan dalam pengolahan dengan DX 7.0 adalah variabel uji yang digunakan beserta kisaran taraf masing-masing variabel. Design Expert akan menghasilkan suatu desain percobaan yang nantinya dilakukan untuk mendapatkan respon. Respon yang digunakan dalam penentuan kombinasi ekstrak jeruk yang berbeda dan flavor enhancer yang ditambahkan ke dalam minuman fungsional berbasis kumis kucing adalah respon uji hedonik. 40