F11faa_BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. CITARASA
Citarasa suatu produk pangan sangat menentukan terhadap penerimaan produk tersebut oleh
konsumen. Produk pangan higienis yang diklaim dapat memberikan manfaat kesehatan dan
kepraktisan akan sulit diterima oleh konsumen jika secara organoleptik produk tersebut kurang disukai
atau bahkan tidak disukai (Setyaningsih et al. 2010). Oleh karena itu, peningkatan penerimaan
citarasa perlu diperhatikan dalam pengembangan produk pangan khas Indonesia khususnya jamu.
Hal tersebut dilakukan agar jamu yang disajikan dalam bentuk minuman dapat dikategorikan sebagai
minuman fungsional (Sampoerno dan Fardiaz 2001).
Menurut Lindsay (1996), citarasa (flavor) merupakan kompleks sensasi yang ditimbulkan oleh
berbagai indera (penciuman, pengecap, penglihatan, peraba, dan pendengaran) pada waktu
mengonsumsi makanan. Citarasa (flavor) meliputi aroma, rasa, dan faktor stimulasi kimia (Meilgaard
1999). Citarasa bahan pangan terdiri dari tiga komponen, yaitu bau, rasa, dan rangsangan mulut
(Winarno 2008). Aroma merupakan persepsi olfactory yang disebabkan oleh senyawa volatil yang
dilepaskan dari suatu produk di dalam mulut melalui saraf posterior. Rasa merupakan persepsi
gustatory (asin, manis, asam, dan pahit) yang disebabkan oleh senyawa yang larut di dalam mulut.
Faktor stimulasi kimia merupakan rangsangan akhir saraf di dalam membran halus dari buccal dan
nasal cavity (pedas/astringen, panas rempah, dingin, menyengat, flavor logam, dan rasa gurih)
(Meilgaard 1999).
Flavor pada pangan dapat dipelajari dengan mengetahui komposisi senyawa-senyawa pada
pangan yang menghasilkan rasa dan bau serta interaksi yang terjadi antara komponen-komponen
tersebut dengan alat indra kita. Senyawa kimia yang berkontribusi pada flavor secara garis besar
dipengaruhi oleh dua senyawa, yaitu komponen volatil dan non volatil. Komponen volatil adalah
komponen yang memberikan sensasi bau melalui reseptor pada hidung, memberikan top notes yang
menguap dengan cepat. Komponen non volatil memberikan sensasi pada rasa yaitu : asam, asin,
manis, dan pahit. Komponen non volatil tidak memberikan sensasi bau tetapi menjadi media bagi
komponen volatil dan membantu menahan penguapan komponen volatil (Winarno 2002a).
Klasifikasi flavor berdasarkan legal status menurut Burdock (1991) adalah:
a. natural merupakan senyawa-senyawa yang diekstrak dari bahan-bahan yang terdapat di alam.
Contohnya: vanillin, orange oil, dan celery oil.
b. natural identical merupakan senyawa-senyawa yang dapat diekstrak atau terdapat di alam, tetapi
dalam prosesnya dibuat secara kimia. Contohnya: etil asetat dan lakton. Umumnya flavor yang
dibuat dari bahan ini lebih murah dibandingkan dengan natural. Suatu bahan disebut natural
identical jika merupakan produk sintetis kimiawi dan sedikitnya berjumlah 99 %.
c. artificial merupakan senyawa yang tidak terdapat di alam dan hanya dibuat melalui proses sintetis
tetapi dapat memberikan efek flavor tertentu. Contohnya: ethyl vanillin (strukturnya hampir sama
dengan vanilin tetapi sampai saat ini belum ditemukan secara alami).
Upaya peningkatan penerimaan citarasa dapat dilakukan melalui uji organoleptik. Uji
organoleptik adalah identifikasi, pengukuran ilmiah, analisis, dan interpretasi dari karakteristik/atribut
suatu produk. Hal tersebut dilakukan berdasarkan penerimaan melalui kelima indera manusia, yaitu
penglihatan, penciuman, pencicipan, perabaan, dan pendengaran. Uji organoleptik dilakukan untuk
menunjukkan hasil pengukuran objektif terhadap atribut sensori suatu bahan pangan (Meilgaard
1999). Atribut sensori yang dianalisis dengan penginderaan tersebut antara lain penampilan, aroma,
tekstur, konsistensi, citarasa, dan suara (Meilgaard 1999).
19
2.2. EVALUASI SENSORI
Instrumen atau alat dapat digunakan untuk mengukur atau menilai suatu parameter dari produk
tertentu, namun tidak semua hasil ciptaan manusia dapat digunakan sebagai alat bantu untuk
mengukur kualitas suatu produk (misalnya mutu sensori bahan pangan). Indera manusia telah
diciptakan oleh Tuhan dengan sensor yang paling canggih. Oleh sebab itu, penggunaan subjek
manusia sebagai instrumen dalam mengevaluasi atribut sensori bahan pangan menjadi sangat penting.
Evaluasi sensori adalah disiplin ilmu yang membutuhkan standardisasi dan pengendalian yang
tepat pada setiap tahap, mulai dari persiapan contoh, pengukuran respon, analisis data, dan interpretasi
hasil, sehingga dibutuhkan pencatatan dan dokumentasi yang cermat. Metode pengujian sensori
melibatkan panelis dalam menilai suatu produk pangan. Panelis adalah orang atau sekelompok orang
yang menilai dan memberikan tanggapan terhadap produk yang diuji. Panelis dapat dipilih dari
konsumen awam pengguna produk sampai seorang yang sangat ahli dalam menilai kualitas sensori.
Penggunaan panelis diharapkan dapat menjelaskan sensasi dan persepsi citarasa yang diterima oleh
indra manusia (Setyaningsih et al. 2010).
Evaluasi sensori menyediakan informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan
terhadap suatu produk. Hasil evaluasi sensori terhadap produk pangan menjadi landasan penting
dalam pengambilan suatu keputusan yang berkaitan dengan sifat sensori yang dimiliki suatu produk.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan evaluasi sensori, yaitu: jenis panelis yang
digunakan, metode analisis yang digunakan, kasus yang dihadapi, tujuan pengujian, pertanyaan yang
sesuai, pengurangan adanya bias, dan informasi yang ingin diperoleh dari pengujian tersebut
(Carpenter et al. 2000).
Evaluasi sensori ada yang bersifat objektif dan subjektif. Analisis objektif digunakan untuk
menilai kualitas suatu produk meliputi uji pembedaan dan uji deskripsi, sedangkan analisis subjektif
digunakan untuk mengetahui kesukaan atau penerimaan konsumen. Uji pembedaan bertujuan
mengetahui perbedaan di antara dua atau lebih contoh. Uji deskripsi bertujuan mendeskripsikan dan
mengukur perbedaan yang ada atau yang ditemukan di antara suatu produk. Uji kesukaan atau
penerimaan bertujuan mengidentifikasi tingkat kesukaan dan penerimaan suatu produk. Uji sensori
secara umum terdiri atas tiga jenis yaitu uji pembedaan (difference or discrimination test), uji
deskripsi, dan uji afektif (preference and acceptability test) (Meilgaard 1999).
Evaluasi sensori dapat menyediakan informasi yang berkaitan dengan mutu suatu produk
pangan. Informasi tersebut diantaranya adalah spesifikasi produk pangan, deteksi bau dan flavorasing
dalam bahan pangan, reformulasi produk, pemetaan produk (product mapping), dan penerimaan
produk. Uji sensori memiliki beberapa tujuan, yaitu menemukan karakteristik sensori untuk
memenuhi fitness for use , mengetahui kesukaan konsumen, mengetahui preferensi konsumen,
mengetahui kepekaan konsumen, inspeksi visual, perancangan produk, dan kesesuaian dengan standar
sensori (Muhandiri dan Kadarisman 2008).
Evaluasi sensori dapat bersifat subjektif jika jumlah panelis yang terlalu sedikit dan penilaian
yang menimbulkan praanggapan terlebih dahulu terhadap suatu produk yang sedang diuji. Oleh sebab
itu, teknik evaluasi sensori yang lebih formal, terstruktur, dan dengan metode yang baku perlu
dikembangkan agar meminimalkan subjektivitas yang dilakukan panelis dalam menilai suatu bahan
pangan (Meigaard et al. 1999).
Para analis sensori harus mengetahui dengan jelas tujuan pengujian dan memahami analisis
sensori dengan baik. Hal tersebut dilakukan agar penarikan kesimpulan dan pengambilan keputusan
dapat dilakukan dengan benar dan tepat. Pengujian kimia dan mikrobiologi juga dilakukan untuk
mengetahui kualitas suatu produk (Setyaningsih et al. 2010).
20
2.3. UJI AFEKSI DAN UJI KESUKAAN (UJI HEDONIK)
Uji afeksi adalah uji yang digunakan untuk mengukur sikap subjektif konsumen terhadap
produk berdasarkan sifat-sifat sensori. Hasil yang diperoleh adalah penerimaan (diterima atau
ditolak), kesukaan (tingkat suka atau tidak suka), dan pilihan (pilih satu dari yang lain) terhadap
produk (Meilgaard 1999). Preferensi atau pilihan pada uji afeksi tidak sama dengan penerimaan, bisa
jadi panelis lebih memilih contoh A dibanding contoh B, akan tetapi kedua contoh tidak dapat
diterima.
Metode yang digunakan dalam penyajian contoh pada uji afeksi ada tiga. yaitu: monadic,
sequential monadic, dan penyajian berpasangan (paired presentation). Pemyajian monadic adalah
penyajian semua contoh dalam satu waktu. Penyajian sequential monadic adalah penyajian contoh
dalam beberapa rangkaian untuk diujikan pada waktu yang sama. Penyajian berpasangan adalah
penyajian sebanyak dua buah atau satu pasang pada satu waktu yang sama (Lawless dan Heymann
1999).
Tujuan utama uji afeksi adalah untuk mengetahui respon individu berupa penerimaan ataupun
kesukaan dari konsumen terhadap produk yang sudah ada, produk yang baru, ataupun karakteristik
khusus dari produk yang diuji (Meilgaard 1999).
Uji afeksi menurut Setyaningsih et al. (2010) dapat bersifat kualitatif dan kuantitatif. Uji
afeksi kualitatif digunakan untuk mengukur respon subjektif dari sebuah contoh oleh konsumen sesuai
karakteristik sensori produk melalui sebuah wawancara atau diskusi kelompok. Moderator atau
pewawancara pada uji kualitatif akan berinteraksi secara langsung dengan konsumen (panelis),
sehingga moderator atau pewawancara harus mengetahui cara atau metode investigasi, teknik untuk
tampil netral, cara meringkas serta melaporkan secara jelas, dan memiliki keahlian menjaga kelompok
diskusi agar tetap dinamis. Metode kualitatif dapat diaplikasikan pada beberapa situasi berikut:
a. situasi untuk mengetahui dan memahami kebutuhan konsumen yang tidak dapat diekspresikan
(contoh: Alasan seseorang membeli susu berkalsium tinggi padahal menu sehari-hari sudah cukup
memenuhi kebutuhan kalsium). Metode ini berguna untuk mengidetifikasi kecenderungan atau
tren perilaku konsumen dan produk yang digunakan.
b. situasi untuk memperkirakan respon awal konsumen terhadap konsep atau prototipe produk. Uji
kualitatif memungkinkan konsumen untuk berdiskusi secara terbuka mengenai konsep atau
prototipe produk ketika pembuat produk ingin mengetahui penerimaan konsumen terhadap
konsepnya. Hasil yang diperoleh dapat membantu peneliti untuk memahami reaksi awal
konsumen terhadap konsep atau prototipe produk, sehingga dimungkinkan untuk langsung
dilakukan penyesuaian-penyesuaian pada titik ini.
c. situasi untuk mengajarkan konsumen untuk mendeskripsikan atribut sensori baik itu konsep,
prototipe, ataupun produk komersial. Konsumen mendiskusikan atribut produk secara terbuka
menggunakan bahasa mereka sendiri pada uji kualitatif.
d. situasi untuk mengajarkan mengenai perilaku konsumen berkenaan dengan produk. Pembuat
produk dapat mengetahui keputusan penggunaan produk oleh konsumen dan respon konsumen
terhadap cara pemakaian produk.
Uji afeksi kuantitatif berguna untuk mengetahui respon konsumen dalam sebuah kelompok
besar (50 sampai beberapa ratus orang) dengan pertanyaan mengenai penerimaan, kesukaan, atribut
sensori, dan lain-lain (Carpenter et al. 2000). Metode afeksi kuantitatif dapat diaplikasikan pada
beberapa situasi berikut:
a. situasi untuk mengetahui penerimaan atau kesukaan produk dengan melibatkan panelis yang
merupakan konsumen yang mewakili populasi pengguna produk.
21
b. situasi untuk mengetahui panerimaan atau kesukaan panelis terhadap karakteristik sensori produk
seperti aroma, flavor, tekstur, penampilan, dan lain-lain. Karakter produk dipelajari agar diperoleh
informasi mengenai faktor yang mempengaruhi penerimaan atau kesukaan konsumen secara
keseluruhan.
c. situasi untuk mengukur respon konsumen terhadap atribut sensori tertentu yang spesifik dari
produk dengan menggunakan skala intensitas atau hedonik, sehingga menghasilkan data yang
dapat menghubungkan antara rating hedonik dan analisis deskripsi.
Uji afeksi kuantitatif dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan tugas utamanya, yaitu: uji
kesukaan dan uji penerimaan. Tugas utama pada uji kesukaan adalah memilih. Pertanyaan yang
mendasari pada uji kesukaan menghasilkan jawaban produk yang dipilih dan produk yang lebih
disukai di antara produk yang ada. Tugas utama pada uji penerimaan adalah me-rating. Pertanyaan
yang mendasari pada uji penerimaan menghasilkan jawaban seberapa besar kesukaan dan penerimaan
konsumen terhadap produk. Pertanyaan lain juga dapat ditanyakan pada uji penerimaan untuk
mengetahui alasan konsumen menyukai atau menerima suatu produk (Meilgaard 1999).
Uji afeksi terdiri atas uji penerimaan (acceptance test) dan uji kesukaan (preference test). Uji
penerimaan berhubungan dengan penilaian seseorang tentang suatu sifat atau kualitas suatu produk
yang menyebabkan seseorang menyukai produk tersebut.
Panelis pada uji penerimaan
mengemukakan tanggapan pribadi mengenai kesukaan terhadap sifat sensori atau kualitas yang dinilai
dari suatu produk. Produk kerupuk yang gurih dan renyah dapat dijadikan contoh sebagai sifat-sifat
yang disukai. Sebaliknya, produk daging yang hambar, terlalu asin, dan liat merupakan contoh dari
sifat-sifat yang tidak disukai (Setyaningsih et al. 2010).
Uji penerimaan bersifat lebih subjektif daripada uji pembedaan. Oleh karena itu, beberapa
panelis yang memiliki kecenderungan ekstrim (sangat suka atau sangat tidak suka terhadap suatu
produk) tidak dapat digunakan pada uji penerimaan. Uji penerimaan dapat dilakukan menggunakan
panelis yang tidak terlatih. Contoh pembanding atau contoh baku tidak digunakan pada uji
penerimaan. Panelis tidak boleh mengingat atau membandingkan dengan contoh yang diuji
sebelumnya pada uji penerimaan. Tanggapan harus diberikan segera dan secara spontan, bahkan
tanggapan yang sudah diberikan tidak boleh ditarik kembali meskipun kemudian timbul keraguan.
Tanggapan kesukaan yang dihasilkan bersifat sangat pribadi, sehingga kesan seseorang tidak dapat
digunakan sebagai petunjuk tentang penerimaan dari suatu produk (Lawless dan Heymann 1999).
Tujuan dari uji penerimaan adalah untuk mengetahui penerimaan suatu produk atau suatu sifat
sensorik tertentu oleh konsumen. Oleh karena itu, tanggapan kesukaan harus diperoleh dari
sekelompok orang yang dapat mewakili pendapat umum atau mewakili suatu populasi masyarakat
tertentu. Salah satu jenis uji penerimaan adalah uji kesukaan.
Uji kesukaan atau hedonik dilakukan untuk memilih satu produk di antara produk lain secara
langsung. Uji kesukaan meminta panelis untuk harus memilih satu pilihan tingkat kesukaan.
Penentuan seberapa besar kesukaan konsumen terhadap produk dapat diketahui dengan menggunakan
uji kesukaan. Produk dibandingkan dengan produk lain yang lebih baik atau lebih disukai pada uji
kesukaan. Pembandingan produk juga dapat dilakukan dengan produk yang sudah ada sebelumnya.
Skala hedonik kemudian digunakan untuk menunjukkan tingkat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap
suatu produk. Skala hedonik suka dapat meliputi: amat sangat suka, sangat suka, suka, dan agak suka.
Sebaliknya skala hedonik tidak suka dapat meliputi suka dan agak suka. Penilaian netral (bukan suka
tetapi juga bukan tidak suka) juga terdapat pada skala hedonik (Carpenter et al. 2000). Skala pada uji
hedonik dapat dilihat pada Tabel 1.
Skala yang dapat digunakan pada uji hedonik adalah skala 1-3,1-5, 1-7, dan 1-9. Hal tersebut
digunakan karena dengan menggunakan skala yang seimbang (jumlahnya ganjil) akan diperoleh hasil
22
yang paling baik. Skor tertinggi menunjukkan bahwa produk tersebut lebih disukai dibandingkan
dengan skor yang lebih rendah. Penggunaan skala 1-9 dapat menggambarkan secara lebih detil nilai
kesukaan dari panelis pada uji hedonik (Lawless dan Heymann 1999).
Tabel 1. Skala pada uji hedonik
Skala 1-9
Skala 1-7
1 = Amat sangat tidak suka
1 = Sangat tidak suka
2 = Sangat tidak suka
2 = Tidak ska
3 = Tidak suka
3 = Agak tidak suka
4 = Agak tidak suka
4 = Biasa saja
5 = Biasa saja
5 = Agak suka
6 = Agak suka
6 = Suka
7 = Suka
7 = Sangat suka
8 = Sangat suka
9 = Amat sangat suka
Penggunaan skala hedonik dapat digunakan untuk mengetahui perbedaan antara sampel yang
diuji, sehingga uji hedonik sering digunakan untuk menilai secara organoleptik komoditas yang
sejenis atau produk yang sedang dalam tahap pengembangan. Uji hedonik banyak digunakan untuk
menilai produk akhir. Data yang diperoleh dari hasil uji hedonik biasanya dianalisis menggunakan
ANOVA (Analysis of variance) dan jika ada perbedaan digunakan uji lanjut seperti Duncan.
Perlakuan terbaik dapat ditentukan dengan metode perbandingan eksponensial (MPE) (Setyaningsih et
al. 2010).
2.4. PANGAN FUNGSIONAL
Dasar pemilihan terhadap jenis makanan yang akan dikonsumsi, tidak hanya dapat memenuhi
kebutuhan energi, mengenyangkan perut, atau memberi kenikmatan dengan rasanya yang lezat serta
penampilan yang menarik, tetapi juga mempertimbangkan potensi aktivitas fisiologis komponen yang
dikandungnya terhadap kesehatan tubuh. Oleh karena itu, istilah pangan fungsional mulai dikenal
oleh masyarakat.
Definisi pangan fungsional yang diterima secara universal belum ada hingga saat ini
(Robertfroid 2000 diacu dalam Wijaya 2007). Pemahaman dan definisi yang bervariasi berdampak
pada kesulitan penyamaan persepsi dalam komunikasi internasional terutama yang terkait dengan
publikasi ilmiah dan regulasi. Meskipun demikian, beberapa organisasi/asosiasi professional telah
mengemukakan beberapa usulan definisi.
International Food Information Council (IFIC)
mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang memberikan keuntungan bagi kesehatan
melebihi nilai nutrisi dasarnya. Definisi yang serupa juga dikemukakakan oleh International Life
Science Institute (ILSI) Amerika Utara. Health Canada mendefinisikan pangan fungsional sebagai
pangan yang serupa dengan penampakan pangan konvensional, dikonsumsi sebagai bagian dari diet
umumnya, memiliki keunggulan fisiologis dan atau mengurangi risiko penyakit kronis melebihi fungsi
nutrisi dasarnya. Institute of the National Academy of Sciences membatasi pangan fungsional pada
produk yang mengandung satu atau lebih ingridien yang konsentrasinya telah dimodifikasi atau
dimanipulasi guna meningkatkan kontribusinya pada diet yang menyehatkan. Institute of Medicine’s
23
Food and Nutrition Board di USA mengusulkan definisi pangan fungsional sebagai suatu produk
pangan atau ingridien yang memberikan keuntungan kesehatan melebihi kandungan nutrisi
tradisionalnya.
Pangan fungsional menurut konsensus pada The First International Conference on East West
Perspective on Functional Food (1996) adalah pangan yang kandungan komponen aktifnya dapat
memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi konvensional
yang terkandung di dalamnya. Pangan fungsional masih menjadi tren dalam perkembangan pangan
dunia saat ini (Wijaya 2007). Pangan fungsional di dunia barat dipandang sebagai suatu revolusi,
dicerminkan dengan perkembangan pangan fungsional yang sangat cepat dalam dunia industri pangan
mereka saat ini. Pangan fungsional di dunia timur telah menjadi bagian dari kultur selama baerabadabad. Komponen yang biasanya ditambahkan oleh produsen pangan fungsional di Amerika Serikat
adalah vitamin, produsen pangan fungsional di Asia lebih suka menambahkan ekstrak tumbuhan
alami, sedangkan masyarakat Eropa lebih fokus kepada bakteri asam laktat (Winarno dan
Kartawidjajaputra 2007).
Definisi pangan fungsional menurut BPOM (2005) adalah pangan yang secara alamiah atau
yang telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian
ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan
fungsional adalah produk olahan pangan yang selain membawa komponen gizi, juga mengandung
senyawa aktif yang berdampak positif pada pemeliharaan dan peningkatan kesehatan individu,
penampilan fisik atau pada kondisi spiritual (state of mind) seseorang (Tejasari 2003). Meskipun
demikian, pangan fungsional bukan berupa obat melainkan berupa makanan atau minuman. Pangan
fungsional adalah jenis pangan atau produk pangan yang memiliki ciri-ciri fungsional sehingga
berperan dalam perlindungan atau pencegahan, pengobatan terhadap penyakit, peningkatan kinerja
fungsi tubuh optimal (seperti produksi kerja, belajar, fungsi intelek, dan reproduksi), dan
memperlambat proses penuaan (Karyadi 2000). Hal tersebut sejalan dengan definisi pangan
fungsional menurut Goldberg (1994) dan Hasler (1995), yaitu produk olahan pangan yang berfungsi
dalam pencegahan atau penyembuhan penyakit untuk mencapai kesehatan tubuh optimal.
Pengertian pangan fungsional menurut Winarno dan Kartawidjajaputra (2007) adalah makanan
kesehatan yang berfungsi memelihara kesehatan dan mungkin mencegah penyakit (preventif) bukan
menyembuhkan (kuratif). Oleh sebab itu, pangan fungsional tidak perlu melewati pengujian ketat
sebelum dipasarkan dan juga tidak diawasi secara ketat oleh pemerintah. Pangan fungsional yang
berupa minuman hendaknya memperhatikan aspek sensori rasa, bau, dan warna sehingga dapat
disukai oleh konsumen. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tidak boleh mencantumkan klaim
kesehatan, namun hanya boleh memuat pernyataan minuman ini diperkaya dengan atau mengandung
suatu zat yang bermanfaat bagi kesehatan, harus jelas sasaran golongan konsumen penggunanya, dan
tidak memuat peringatan yang terkait dengan kesehatan.
Pangan fungsional atau Foods for Spesified Health Use (FOSHU) menurut Departemen
Kesehatan Jepang adalah pangan yang diharapkan memiliki efek khusus terhadap kesehatan
dikarenakan adanya suatu komponen pada pangan, pangan yang zat alergen di dalamnya telah
dihilangkan, dan klaim mengenai efek menguntungkan pangan tersebut telah terbukti secara ilmiah,
serta tidak memiliki risiko kesehatan dan kebersihan. Konsep pangan fungsional dikembangkan
dengan tujuan khusus untuk meningkatkan kebugaran tubuh dan pengurangan risiko terhadap
penyakit.
Beberapa istilah yang dikenal oleh masyarakat internasional mengenai pangan fungsional,
novel food, medical food, nutraceutical, dan lain-lain adalah sebagai berikut (Winarno 2002b):
24
1. nutraceutical adalah suatu istilah yang popular di AS, merupakan kombinasi nutrisional dan
pharmaceutical untuk mengelompokkan klasifikasi baru bagi pangan hasil pengolahan tertentu.
Nutraceutical di beberapa negara lain dipandang sebagai pangan dalam bentuk kapsul, powder
atau pil, namun nutraceutical di AS dipandang sebagai senyawa atau suatu komposisi yang
berbentuk sebagai makanan yang memiliki fungsi fisiologis yang mampu memperbaiki kesehatan
termasuk pencegahan dan pengobatan penyakit. Jadi, nutraceutical dapat berbentuk pangan,
suplemen pengolahan medical food, dan tidak ada perbedaan yang jelas antara konsep pangan
fungsional dan nutraceutical.
2. novel food adalah suatu produk pangan yang sebelumnya tidak dikonsumsisecara luas dan umum.
Novel food di negara Uni Eropa adalah pangan yang berasal dari ganggang atau algae, mikroba,
dan jamur (fungi). Jadi, pangan fungsional tidak harus berarti novel food, misalnya puree
blueberry dan sari prune dimasukkan ke dalam pangan fungsional tetapi bukan novel food.
3. designer foods adalah pangan yang secara alami mengandung fitokimia atau pangan yang
diperkaya dengan fitokimia, yang tidak mewakili senyawa gizi atau senyawa bioaktif. Designer
foods dapat membantu menurunkan risiko penyakit kanker.
4. synbiotics adalah produk yang mengandung baik probiotik maupun prebiotik. Kombinasi antara
probiotik dan prebiotik menghasilkan suatu pengaruh yang sinergis yang dapat memperbaiki
kesuburan pertumbuhan bakteri baik dalam flora usus.
5. medical foods termasuk kategori pangan khusus yang diberikan kepada pasien berdasarkan
dignosa. Medical foods diberikan kepada pasien yang memerlukan zat gizi khusus yang tidak
dapat dipenuhi oleh menu regular sehari-hari dan merupakan bagian dari pengobatan.
6. natural remedies dikelompokkan sebagai obat yang komponen aktifnya berasal dari alam. Produk
tersebut harus diolah seminimal mungkin dan biasanya berasal dari sayuran, binatang ternak, atau
kultur bakteri. Produk tersebut harus memiliki bukti ilmiah dan telah digunakan secara tradisional
tetapi mungkin belum digunakan pada manusia.
Dasar pertimbangan konsumen di negara-negara maju dalam memilih bahan pangan tidak
hanya bertumpu pada kandungan gizi serta kelezatannya, tetapi juga pengaruhnya terhadap kesehatan
tubuh (Goldberg 1994). Pangan fungsional mempunyai karakteristik sebagai makanan yaitu
karakteristik sensori, baik warna, tekstur, dan citarasanya, serta mengandung zat gizi di samping
mempunyai fungsi fisiologis bagi tubuh. Fungsi fisiologis yang diberikan oleh rnakanan fungsional
diantaranya adalah mengatur daya tahan tubuh, mengatur ritmik kondisi fisik, mencegah penuaan, dan
mencegah penyakit yang berkaitan dengan makanan. Meskipun demikian, pangan fungsional bukan
berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa alami (Sampoerno dan Fardiaz 2001).
Pangan fungsional secara sekilas hampir mirip dengan obat, karena mempunyai efek menyehatkan
tubuh, tetapi terdapat perbedaan di antara keduanya. Obat hanya dikonsumsi pada saat-saat tertentu
saja (tidak dapat dikonsumsi setiap hari), sedangkan pangan fungsional dapat dikonsumsi setiap hari.
Suatu pangan dapat dikatakan sebagai pangan fungsional jika memenuhi syarat-syarat berikut
(Ichikawa 1994):
1. pangan tersebut dapat digunakan sebagai makanan dan memiliki fungsi untuk kesehatan;
2. pangan tersebut memiliki manfaat bagi kesehatan dan pemenuhan gizi yang berdasarkan data
ilmiah;
3. jumlah yang dikonsumsi setiap hari harus ditentukan dan diizinkan oleh ahli kesehatan dan gizi;
4. pangan tersebut aman dalam diet yang seimbang;
5. pangan tersebut memiliki karakteristik sifat fisik dan kimia disertai metode analisa yang jelas,
serta sifat kuantitatif dan kualitatifnya di dalam bahan pangan dapat ditentukan;
6. pangan tersebut tidak mengurangi nilai gizi pangan;
25
7. pangan tersebut dikonsumsi dengan cara yang wajar;
8. pangan tersebut tidak dikonsumsi dalam bentuk tablet, kapsul, ataupun serbuk;
9. pangan tersebut berasal dari bahan-bahan alami.
Pangan fungsional juga hendaknya memberikan fungsi tertentu ketika dicerna dan memberikan
peran dalam proses tubuh tertentu, misalnya: memperkuat pertahanan tubuh, mencegah penyakit
tertentu, memulihkan kondisi tubuh setelah sakit, memperlambat proses penuaan, dan lain-lain.
Sifat fungsional pangan ditimbulkan oleh adanya zat aktif pangan yang termasuk zat gizi,
maupun zat non gizi dan memiliki karakteristik tergantung pada kelompok senyawanya (Tejasari
2003). Zat aktif pada pangan yang berasal dari tumbuhan disebut senyawa fitokimia. Senyawa
fitokimia mempunyai peranan yang sangat penting bagi kesehatan termasuk fungsinya dalam
pencegahan terhadap penyakit degeneratif. Beberapa senyawa fitokimia yang diketahui memiliki
fungsi fisiologis adalah karotenoid, fitosterol, saponin, glikosinolat, polifenol, protease inhibitor,
monoterpen, fitoestrogen, sulfida, dan asam fitat. Senyawa-senyawa tersebut banyak terkandung
dalam teh hijau, sayuran, kacang-kacangan, tanaman rempah, dan obat (Tejasari 2003 dan Winarti &
Nurdjanah 2005). Sampoerno dan Fardiaz (2001) menyatakan bahwa jamu yang disajikan dalam
bentuk minuman dapat dikategorikan sebagai minuman fungsional jika karakteristik sensorinya diatur
sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas.
Pangan fungsional dirancang sebagai pangan yang secara efektif mampu mereduksi jumlah
penyakit-penyakit yang erat kaitannya dengan gaya hidup baru. Sifat fungsional fitokimia yang
menjadi andalan pangan fungsional dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Winarno dan
Kartawidjajaputra 2007):
1. antioksidan berfungsi memodifikasi kerusakan oksidatif sehingga dapat menjadi pertahanan
tubuh terhadap stress oksidatif;
2. antimutagen dan antikarsinogen berfungsi mencegah timbulnya kanker;
3. antimikroba dan antivirus berfungsi mencegah timbulnya penyakit infeksi;
4. peningkatan fungsi saluran pencernaan misalnya serat pangan, probiotics, prebiotics;
5. immunomodulator berfungsi menstimulir fungsi imunitas tubuh;
6. anti inflammantory agents berfungsi mencegah timbulnya radang;
7. cerebroactive atau neuroregulator berfungsi memperbaiki kondisi psikologis dan fungsi susunan
syaraf;
8. antihypertensive berfungsi mencegah tekanan darah tinggi;
9. hypocholesteromic agents berfungsi menurunkan kadar kolesterol dalam plasma darah;
10. dimiished allergenicity berfungsi menghilangkan alergenitas;
11. antidiabetogenic berfungsi mencegah timbulnya diabetes;
12. prevention of osteoporosis berfungsi mencegah osteoporosis.
Penelitian di bidang pangan yang paling banyak dilakukan saat ini adalah penelitian tentang
pangan fungsional. Penelitian-penelitian tersebut di antaranya adalah penelitian tentang aktivitas dari
suatu bahan atau ingridien, pencarian komponen bioaktif (aktivitas antioksidan merupakan topik yang
banyak diminati), teknologi untuk penyertaan komponen aktif dalam produk pangan (agar diperoleh
dosis yang efektif), rekayasa bahan baku (sebagai upaya pengkayaan kandungan nutrisi dan
komponen bioaktif pada tanaman), dan pengembangan pangan fungsional dengan fungsinya terhadap
performa dan “mood” (Wijaya 2007).
Pangan fungsional dapat mendatangkan keuntungan baik bagi konsumen, pemerintah, maupun
industri pangan. Pangan fungsional dapat menguntungkan konsumen karena dapat dilakukan
pencegahan terhadap timbulnya berbagai macam penyakit, meningkatkan system imunitas,
memperlambat proses penuaan, dan meningkatkan penampilan fisik.
Pangan fungsional
26
menguntungkan pemerintah karena dapat menurunkan biaya yang diperlukan untuk menurunkan
kesehatan rakyatnya. Pangan fungsional memberikan kesempatan yang tidak terbatas kepada industri
pangan untuk secara inovatif memformulasi produk tersebut dengan memperhatikan penampilan
produk, citarasa, dan klaim kesehatan yang dibuktikan secara ilmiah (Muchtadi dan Wijaya 1996).
Tren pengembangan produk pangan fungsional menurut Wijaya (2007) di antaranya adalah
produk-produk konfeksioneri, produk-produk susu, produk siap saji, snack, minuman energi,
minuman oksigen, minuman yang diperkaya dengan serat, minuman rasa buah, dan minuman berbasis
herbal. Pengembangan produk pangan tersebut memiliki beberapa tantangan di antaranya adalah
penelitian yang terpadu dan komunikasi yang efektif kepada konsumen. Produk-produk tersebut tidak
akan memberikan keunggulan dan keuntungan bagi kesehatan jika tidak secara efektif
terkomunikasikan kepada konsumen. Informasi menjadi sangat penting agar hasil-hasil penelitian
ilmiah pangan fungsional dapat dipahami dengan jelas, seimbang, tidak salah persepsi, dan mencegah
isu yang menyesatkan.
Pangan fungsional memberikan peluang manfaat di satu sisi dan peluang mengelabui di sisi
lain (Wijaya dan Astawan 2001). Rambu-rambu yang jelas untuk mengatur klaim atas khasiat produk
pangan diperlukan agar dapat mengatasi hal tersebut. Jepang telah meregulasi secara spesifik untuk
mengatur proses penyetujuan suatu produk sebagai pangan fungsional (Hasler 1998). Regulasi
pangan Eropa tentang peraturan pelabelan pangan (79/112/EEC) secara spesifik melarang
pencantuman atribut yang terkait dengan pencegahan, pengobatan, perlakuan pada penyakit manusia
atau referensi apapun yang terkait. Uni Eropa di sisi lain mengembangkan dan menetapkan
pendekatan ilmiah pada pembuktian yang menunjang produk pangan fungsional menjadi dua tipe
klaim, yaitu: tipe A (klaim “enhanced function “) dan tipe B (klaim”reduction of disease risk “).
Amerika Serikat telah memperbolehkan klaim”reduction of disease risk “ pada produk-produk pangan
tertentu sejak tahun 1993. Klaim kesehatan tersebut berada di bawah penanganan FDA (Food and
Drug Administration) dengan didasarkan pada totalitas publisitas bukti-bukti ilmiah yang tersedia dan
adanya persetujuan nyata di antara para ahli yang berkompeten terhadap klaim dari produk yang
dipasarkan. Klaim pada label yang digunakan pada pangan fungsional dapat berupa klaim struktur &
fungsi dan klaim mengurangi risiko penyakit. Codex Alimentarius pada tahun 1999 mengajukan dua
tipe klaim kesehatan yang serupa dengan di Uni Eropa, yaitu tipeA dan B pada rancangan
rekomendasi untuk klaim kesehatan. Cina dan Filipina memperbolehkan klaim kesehatan pada
produk pangan selama ditunjang dengan bukti-bukti yang cukup. Negara lainnya (termasuk
Singapura dan Malaysia) saat ini belum membolehkan klaim kesehatan dari suatunproduk pangan.
Meskipun demikian, pemasaran nutraceutical dan pangan fungsional secara umum belum terregulasi
dengan baik (Baghchi et al. 2004).
Wijaya (2007) mengungkapkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan konsumen
terhadap pangan fungsional di antaranya adalah usia, tingkat pendidikan, manfaat kesehatan, rasa,
kebutuhan, budaya, dan keunggulan yang diklaim berdasarkan penelitian-penelitian ilmiah. Hal yang
perlu diperhatikan agar pangan fungsional dapat diterima oleh konsuman adalah citarasa. Citarasa
yang kurang baik tetap tidak bisa diterima meskipun pangan tersebut memiliki manfaat bagi
kesehatan.
Pangan indigenous Indonesia yang berasal dari warisan nenek moyang yang mencerminkan
budaya khas Indonesia sebenarnya dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi pangan fungsional.
Pengembangan pangan fungsional di Indonesia sangat manjanjikan jika dikelola dengan tepat. Hal
tersebut didukung oleh latar belakang kultur yang ada, populasi yang tinggi, dan sumber daya alam
yang sangat beragam.
27
Jamu telah dikenal oleh nenek moyang kita secara empiris sebagai minuman yang berkhasiat
untuk kesehatan, kebugaran, dan identik dengan obat yang mujarab seperti: wedang (Jawa: minuman)
jahe, wedang secang, sekoteng, serbat, beras kencur, bandrek memiliki khasiat mencegah masuk
angin, demam, dan menghangatkan badan. Hasil penelitian terakhir menunjukkan ekstrak jahe segar
dapat menekan proliferasi sel kanker leukemia. Selain itu juga, bir pletok yang terbuat dari
bermacam-macam rimpang dan rempah alami berkhasiat meningkatkan stamina.
Masyarakat Indonesia memiliki kepercayaan terhadap kemujaraban penyembuhan jamu,
namun tidak banyak bukti ilmiah yang dapat mendukungnya. Masyarakat Indonesia diperkirakan
sekitar 70-80% mengonsumsi segelas jamu setiap hari. Empat fungsi dasar yang terdapat dalam jamu,
yaitu: menyembuhkan penyakit, mencegah terjadinya serangan penyakit dan mempertahankan kondisi
kesehatan tubuh dengan cara meningkatkan sirkulasi darah & metabolisme tubuh, menyembuhkan
sakit kepala dan sakit sejenisnya dengan cara mengurangi infeksi dan membantu proses pencernaan,
dan mengoreksi terjadinya malfungsi organ tubuh (Winarno dan Agustinah 2007).
Pangan tradisional banyak yang memenuhi persyaratan sebagai pangan fungsional tetapi
informasinya masih terbatas, sehingga diperlukan adanya kajian khusus dan inventori pangan khas
nusantara yang tergolong sebagai pangan fungsional. Selain itu juga, pemberian informasi yang
seluas-luasnya kepada masyarakat diperlukan agar masyarakat memiliki pemahaman yang benar
terhadap pangan fungsional (Winarno dan Kartawidjajaputra 2007).
Ketentuan pokok mengenai pangan fungsional yang terbaru telah dikeluarkan oleh BPPOM RI
no. HK 00.05.52.0685, sedangkan mengenai klaim pangan fungsional diatur dalam lampirannya.
Pangan fungsional tidak harus berupa produk yang diolah secara modern dan mahal, tetapi juga dapat
berupa produk yang diolah secara sederhana, bahkan bisa disiapkan sendiri di rumah. Jadi,
pengetahuan dan kesadaran mengenai pentingnya peran pangan dalam menjaga kesehatan dan
kebugaran yang disertai dengan data-data ilmiah yang ada merupakan dasar untuk mengetahui pangan
fungsional.
2.5. MINUMAN FUNGSIONAL BERBASIS KUMIS KUCING
Minuman fungsional berbasis kumis kucing merupakan minuman hasil formulasi dari beberapa
ekstrak cair rempah dan herbal yang didasarkan pada aktivitas antioksidan, mutu citarasa, dan warna.
Ingridien minuman yang paling dominan terdapat dalam minuman ini adalah ekstrak kumis kucing.
Ekstrak rempah yang dominan setelah ekstrak kumis kucing secara berturut-turut adalah ekstrak kayu
secang, jahe gajah, dan jeruk purut. Ekstrak temulawak merupakan ingridien dalam minuman yang
ditambahkan dalam jumlah sedikit. Bahan tambahan pangan yang terdapat dalam minuman ini adalah
sukrosa (gula pasir) sebagai pemanis, CMC (karboksimetil selulosa) sebagai penstabil, dan kalium
sorbat atau natrium benzoat sebagai pengawet (Wijaya 2007 dan Kordial 2009).
Penelitian minuman fungsional berbasis kumis kucing diawali dengan formulasi minuman
yang dilakukan Herold (2007). Penelitian tersebut menghasilkan formula optimal dengan aktivitas
antioksidan sebesar 621.78 ppm AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Activity), skor
kesukaan panelis terhadap citarasa minuman berkisar antara netral dan suka (skala hedonik 3.32 dari
skala 5.00), dan daya simpan 9 hari pada suhu ruang.
Perpanjangan umur simpan dan perbaikan citarasa minuman kemudian dilakukan Kordial
(2009) melalui penambahan ekstrak berbagai varietas jeruk serta optimasi proses pengolahan. Ekstrak
jeruk y dipilih sebagai pengganti ekstrak jeruk lemon pada formulasi sebelumnya. Minuman yang
dihasilkan dikemas dengan botol gelap yang steril dan dipasteurisasi pada suhu 800C selama 30 menit.
Hasil penelitian tersebut adalah minuman fungsional berbasis kumis kucing dengan umur simpan
28
selama 3 bulan. Minuman pada minggu ke-0 memiliki aktivitas antioksidan sebesar 621.7 ppm
AEAC dan pada minggu ke-12 sebesar 359 ppm AEAC. Skor kesukaan terhadap citarasa minuman
berkisar antara agak suka dan suka (skala hedonik 5.57 dari skala 7.00). Karakteristik lain dari
minuman fungsional berbasis kumis kucing ini adalah nilai pH 3.82, TPT 160 Brix, derajat warna L=
± 25, a= 1.1, b= 5.5, 0Hue= 81.
Pengujian aktivitas anti-hiperglikemik minuman secara in vitro (inhibisi enzim α-glukosidase
dan α-amilase) dan ex vivo (peningkatan penyerapan glukosa oleh sel diagrafma mencit) selanjutnya
dilakukan oleh Diana (2010). Minuman ini mempunyai kemampuan inhibisi α-glukosidase dan αamilase dengan IC50 sebesar 217.12 dan 217.41 mg/ml. Minuman ini juga dapat meningkatkan
penyerapan glukosa oleh sel diafragma mencit sebesar 37.48 µg glukosa/g sel. Minuman fungsional
berbasis kumis kucing lebih berpotensi dalam stimulasi penyerapan glukosa (menurunkan kadar
glukosa darah yang tinggi) dibandingkan dengan inhibisi α-glukosidase dan α-amilase (mencegah
peningkatan kadar glukosa darah).
2.5.1. Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus Bl. Miq)
Tanaman kumis kucing (Orthosiphon aristatus Bl. Miq) termasuk ke dalam divisi
Spermatophyta, sub divisi Angiospemae, kelas Dicotyledoneae, keluarga Lamiaceae, genus
Orthosiphon, dan spesies Orthosiphon spp. Mahendra (2005) menjelaskan bahwa daun kumis kucing
mengandung komponen-komponen bioaktif seperti senyawa sinensetin, flavon- flavon, 2 flavonol
glikosida, zat samak, saponin, garam kalium, asarn-asarn organik, tanin, dan minyak atsiri. Tejasari
(2003) menyebutkan bahwa zat aktif yang terdapat pada ekstrak daun kumis kucing meliputi:
flavonoid, triterpene, dan alkaloid. Ekstrak daun kumis kucing dapat meningkatkan fungsi imun,
stimulasi sel T, makrofag, antimutagenik, anti inflamasi, peluruh urin (diuretik), dan penghancur batu
kemih.
2.5.2. Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.)
Kayu secang banyak digunakan untuk memberi warna merah pada minuman. Pewarna alami
dapat memberikan fungsi tambahan sebagai perisa, antioksidan, antimikroba, dan fungsi lainnya.
Pewarna alami umumnya rentan terhadap pH, sinar matahari, dan suhu tinggi, sehingga sebaiknya
disimpan pada 4-8 oC untuk meminimumkan pertumbuhan mikroba dan degradasi pigmen (Wijaya
dan Mulyono 2009).
Ekstrak kayu secang secara empiris dipakai sebagai obat luka, batuk berdarah, penawar racun,
sipilis, menghentikan pendarahan, pengobatan pascapersalinan, desinfektan, antidiare dan astringent
(Winarti dan Nurdjanah 2005). Kayu secang juga berkhasiat mengobati demam berdarah dan
katarak mata.
Kandungan kimia dari kayu secang adalah tannin, asam galat, resin, resorsin, brazilin.
brazielin, minyak atsiri, sappanin, proto sappanin, senyawa metohidroksibrasilin,turunan
bensildihidrobensolfuran, senyawa brazilin, dan brazilein (Firmansyah 2003 dan Fuke et al. 1985).
Sumber zat warna alami secang menurut Zerrudo (1999) berasal dari komponen pigmen brazilin
(C16H14O5) yang berwarna merah yang bersifat mudah larut dalam air panas. Brazilin memiliki warna
kuning dalam bentuk murninya, dapat dikristalkan, dan larut air. Suasana asam tidak mempengaruhi
warna pigmen brazilin, tetapi dalam suasana basa dapat membuat warna brazilin menjadi lebih merah.
Brazilin akan cepat membentuk warna merah jika terpapar sinar matahari dan akan terjadi perubahan
secara lambat oleh pengaruh cahaya (Anonim 1976).
29
Brazilin memiliki aktivitas sebagai antioksidatif, antibakteri, dan bakteriostatik. Brazilin
merupakan senyawa antioksidan yang mempunyai katekol dalam struktur kimianya. Oleh karena itu,
brazilin diharapkan mempunyai efek melindungi tubuh dari keracunan akibat radikal kimia dan
pelindung terhadap radikal bebas pada sel (Winarti dan Nurdjanah 2005).
2.5.3. Jahe (Zingiber officinale Roscoe)
Jahe (Zingiber officinaIe Rosc.; Ginger) adalah tanaman herba tahunan dengan daun
berpasang-pasangan dua-dua berbentuk pedang, rirnpang seperti tanduk, dan beraroma. Jahe secara
taksonomi termasuk dalam divisi: Spermathophyta, kelas: Angiospermae, subkelas:
Monocotyledoneae, ordo: Musales, famili: Zingiberaceae (Tejasari 2003).
Hasil penelitian para ahli menunjukkan jahe memiliki efek farmakologis yang berkhasiat
sebagai obat (Ahmad 2008). Tejasari (2003) menyatakan bahwa jahe mengandung zat aktif senyawa
fenol. Sifat fungsional yang dimiliki jahe adalah antioksidatif (menurunkan radikal bebas limfosit,
kadar malonaldehid), imunostimulasi sel B dan sel T, meningkatkan aktivitas sitolitik sel NK manusia,
antimikroba, antiinflamatori, dan antitusif.
Jahe mengandung beberapa komponen bioaktif diantaranya adalah gingerols, shogaols,
diarylheptanoids, dan terpenoids (Kikuzaki 2000). Komponen bioaktif jahe diketahui memiliki
aktivitas antioksidan, aktivitas antimikroba, aktivitas antihepatotoxic, menghambat pembentukan
prostaglandin, gastroprotective, analgesic, antipyretic, dan antitumor promoting activity.
Jahe digunakan sebagai penegas rasa dan aroma pada proses pembuatan bahan makanan karena
mengandung flavanoida, polifenol, dan minyak atsiri (Saparinto dan Hidayanti 2006). Senyawasenyawa tersebut membuat aroma jahe kuat, dengan rasa pedas menyegarkan. Jahe juga bermanfaat
untuk obat masuk angin, mual, dan encok serta pengusir hawa dingin.
Jahe dapat dikelompokkan berdasarkan aroma, warna, bentuk, dan ukuran rimpangnya menjadi
tiga jenis, yaitu jahe putih besar/gajah (Zingiber officinale var. Roscoe), jahe putih kecil/emprit
(Zingiber officinale var. Amarum), dan jahe merah/sunti (Zingiber officinale var. Rubrum). Rimpang
jahe dapat digunakan sebagai obat batuk, mengatasi influenza, demam, menambah nafsu makan,
memperkuat lambung, dan memperbaiki pencernaan(sakit perut).
Hasil penelitian Herold (2007) menunjukkan aktivitas antioksidan dari ketiga jenis jahe yang
diukur dengan metode penangkapan senyawa radikal bebas stabil DPPH. Jahe merah memiliki
aktivitas antioksidan yang paling tinggi diantara ketiga jenis jahe lainnya. Aktivitas antioksidan jahe
merah yaitu sebesar 890.11 ppm AEAC. Aktivitas antioksidan jahe merah (890.11 ppm AEAC) dan
jahe gajah (858.44 ppm AEAC) secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas antioksidan
ekstrak jahe emprit (806.78 ppm AEAC), sedangkan aktivitas antioksidan ekstrak jahe gajah dan
ekstrak jahe merah tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5 %.
Hasanah et al. (2004) menyatakan bahwa jahe gajah memiliki karakter citarasa (rasa pedas dan
aroma jahe) yang kurang tajam dibandingkan jahe emprit dan jahe merah. Hal tersebut dikarenakan
kandungan minyak atsiri jahe gajah, yaitu sebesar 0.82 – 1.68 persen dari bobot kering. Kandungan
minyak atsiri jahe merah berkisar antara 2.58 – 3.72 persen dari bobot kering. Kandungan minyak
atsiri jahe emprit, yaitu sebesar 1.5 – 3.3 persen dari bobot kering (Ahmad 2008).
Nilai aktivitas antioksidan antara ekstrak jahe gajah dan ekstrak jahe merah tidak berbeda
nyata namun jahe gajah memiliki karakter citarasa jahe yang tidak terlalu pedas dibandingkan dengan
jahe merah. Oleh sebab itu, formulasi minuman fungsional berbasis kumis kucing menggunakan
ekstrak jahe gajah.
30
Obat fitofarmaka yang menggunakan bahan baku jahe baru satu macam yaitu zinax. Obat
tersebut merupakan penemuan ahli biokimia Denmark, Dr. Morten Weidner (1991) dengan nama
HMP 33 (Hydroxy-methoxy-Phenyl-Compound). HMP 33 merupakan hasil isolasi ekstrak jahe dari
unsur gingerol yang telah dihilangkan shogaolnya. HMP 33 ini digunakan sebagai bahan aktif utama
zinax yang berkhasiat mengatasi keluhan rasa sakit pada tulang, otot, dan sendi. Setiap kapsul
mengandung 255 mg ekstrak HMP 33 yang setara dengan 6600 mg ekstrak bubuk jahe (Anonim
1997).
2.5.4. Jeruk Purut (Citrus hystrix DC.)
Klasifikasi jeruk purut menurut (Sarwono 1994 dan Rukmana 2000) adalah sebagai berikut.
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Subkelas
: Dialypetales
Ordo
: Rutales
Famili
: Rutaceae
Sumber: (Anonim 2010b)
Genus
: Citrus
Spesies
: Citrus hystrix D.C (jeruk purut)
Verheijj dan Coronel (1997) menyatakan bahwa tanaman jeruk purut berawakan pohon,
tingginya mencapai 12 m, memiliki batang bengkok-bengkok dan duri-duri pendek tetapi kaku.
Daunnya berbentuk bundar-telur-lebar sampai lonjong-bundar-telur, berukuran (3-15) cm x (2-6) cm,
bunganya kecil-kecil, harum, dan berwarna putih. Buahnya bertipe buah buni, berbentuk bulat telur
sampai menjorong, berdiameter 5-7 cm, berwarna hijau sampai kuning, sangat tidak rata dan tak
beraturan, memiliki 10-12 segmen. Buahnya kecil, biasanya tidak pernah berdiameter lebih dari 2 cm,
membulat dengan tonjolan-tonjolan dan permukaan kulitnya kasar, kulit buah tebal. Perbanyakan
tanaman dilakukan dengan biji atau dengan pencangkokan ( Anonim 2010b).
Hariana (2008) menyatakan bahwa jeruk purut memiliki rasa agak asin (asam), kelat, dan
bersifat simultan serta penyegar. Beberapa bahan kimia yang terdapat pada jeruk purut diantaranya
daun mengandung minyak atsiri 1-1,5 %, steroid triterpenoid, dan tannin 1.8 %. Kulit buah
mengandung saponin, tannin 1 %, steroid triterpenoid, dan minyak atsiri dengan kandungan sitrat 22.5 %. Minyak essensial dari jeruk purut dapat digunakan untuk aroma terapi, nutraceutical, dan
pemeliharaan kesehatan tubuh (Azlim et al. 2010).
Efek farmakologis jeruk purut diantaranya adalah anti-spasmodik dan anti-septik. Jeruk purut
berkhasiat mengobati penyakit influenza. Verheijj dan Coronel (1997) menyatakan bahwa ekstrak
jeruk purut dapat digunakan sebagai bahan penyedap dan dapat diolah menjadi minuman. Jeruk purut
merupakan salah satu kerabat dekat jeruk nipis dari famili Rutaceae (Rukmana 2000).
Jeruk purut memiliki ukuran lebih kecil dari kepalan tangan, berbentuk buah pir, banyak
tonjolan sehingga bentuknya susah dipertahankan. Kulit buahnya tebal dan berwama hijau tetapi
ketika masak buahnya akan berwarna sedikit kuning. Daging buahnya benwarna hijau kekuningan,
rasanya sangat masarn dan kadang pahit. Kulit buahnya dapat diparut dan dicampur air untuk bahan
pencuci rambut, dapat digunakan dalam masakan, dan pembuatan kue serta manisan.
Ketiak daun berduri, durinya pendek halus, warnanya hitam dengan ujung kecoklatan. Panjang
duri antara 0,2-1 cm. Letak daun berpencar dan silih berganti. Daun berbentuk bulat telur, ujungnya
tumpul, dan bertangkai satu. Tangkai daun bersayap lebar dan bentuknya hampir menyerupai daun.
31
Daunnya berwarna hijau dan baunya beraroma sedap, sehingga banyak dipakai sebagai bumbu
bermacam-macam masakan (Sarwono 1994). Daun jeruk purut berkhasiat sebagai stimulan dan
penyegar. Kulit buahnya berkhasiat sebagai stimultan, berbau khas aromatik, bersifat mengelat, dan
rasanya agak asin dan pahit. Buahnva dapat membantu mengatasi gejala influenza, memperbaiki
stamina tubuh, mengatasi rambut kepala yang bau, serta mangatasi kulit bersisik dan mengelupas
(Sarwono 1994).
2.5.5. Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia Swingle)
Klasifikasi jeruk nipis menurut (Sarwono 1994 dan Rukmana 2000) adalah sebagai berikut.
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Subkelas
: Dialypetales
Ordo
: Rutales
Famili
: Rutaceae
Sumber: (Anonim 2010a)
Genus
: Citrus
Spesies
: Citrus aurantifolia Swingle (jeruk nipis)
Muhlisah (2008) menyatakan bahwa tanaman jeruk nipis merupakan pohon yang berukuran
kecil, batangnya memiliki duri tajam, dan banyak cabang-cabang kecil. Daunnya berbentuk bulat
telur dan bertekstur agak kaku serta panjang daun sekitar 4-6 cm. Tepi daun agak berlekuk ke atas.
Tangkai daunnya kecil dan sempit. Bunga jeruk nipis berwarna putih dan baunya harum. Buahnya
berbentuk agak bulat dengan ujungnya sedikit menguncup.
Jeruk nipis memiliki karakieristik citarasa yang lembut, berair, dan sangat asam dengan aroma
yang tajam (Feller 1985). Pemanfaatan jeruk nipis cukup luas antara lain sebagai bahan obat
tradisional, untuk perawatan kecantikan, untuk penyedap makanan, dan untuk menambah rasa segar
pada minuman. Aromanya yang tajam dan rasa asamnya menyebabkan jeruk ini menjadi
pertimbangan utama dalam memperbaiki citarasa minuman fungsional berbasis kumis kucing
sekaligus sebagai asidulan alami. Kualitas penyegar ekstrak jeruk nipis dapat menonjol pada sari
buah, teh jeruk, dan ketika dicampur dengan buah-buahan lain. Buah berwarna hijau ketika masih
muda dan berwarna hijau muda atau kekuningan ketika tua. Buah jeruk nipis berbentuk bulat
berdiameter 3-6 cm. Jeruk nipis kini dibudidayakan diseluruh wilayah tropik dan subtropik hangat
(Verheijj dan Coronel 1997). Jeruk nipis dapat berbuah terus-menerus sepanjang tahun dengan
produksi 400 buah setiap pohon (Sarwono 1994).
Hasil analisa komposisi jeruk nipis per 100 g bagian yang dapat dimakan di Thailand yaitu: air
91 g,protein 0.5 g, lemak2.4 g, karbohidrat 5.9 g, serat 0.3 g, vitamin A 17 SI, vitamin C 46 mg,dan
nilai energinya sekitar 150 kJ per 100 g. Buah jeruk nipis dapat menghasilkan ekstrak jeruk nipis
sekitar 41 % dari berat buah (Verheijj dan Coronel 1997). Komposisi kimia buah jeruk nipis per 100
g berat dapat dimakan dapat dilihat pada Tabel 2.
Jeruk nipis mengandung asam sitrat sebanyak7-7.6%, dammar lemak, mineral, vitamin B1,
minyak atsiri, sitral limonene, fellandren, lemon kamfer, geranil asetat, cadinen, dan linalin asetat,
vitamin C sebanyak 27mg/100 g jeruk, Ca sebanyak 40 mg/100g jeruk, dan P sebanyak 22 mg
(Muhlisah 2008).
Efek farmakologis yang dimiliki oleh jeruk nipis diantaranya adalah anti demam, dapat
menyembuhkan batuk, sakit tenggorokan, flu, mengobati anemia, menyegarkan tubuh, memperlancar
32
pengeluaran air seni, anti-inflamasi, dan anti-bakteri. Tanaman jeruk nipis mengandung limonene,
linalin asetat, geranil asetat, asam sitrat, vitamin C, kalsium, fosfor, vitamin B1, zat besi, fellandren,
dan sitral (Muhlisah 2008). Jeruk (nipis) selain kaya vitamin dan mineral juga mengandung zat
bioflavonoid yang berguna untuk mencegah terjadinya pendarahan pada pembuluh nadi, kemunduran
mental dan fisik, serta mengurangi luka memar (Rukmana 2000)
Tabel 2. Komposisi kimia buah jeruk nipis per 100 g berat dapat dimakan
Komposisi
Jeruk Nipis
Kadar air (g)
88.90
Kadar abu (g)
0.40
Kadar protein (g)
0.50
Kadar lemak (g)
0.20
Hidrat arang total (g)
10.00
Serat (g)
0.40
Energi (kkal)
44.00
Kalsium (mg)
18.00
Fosfor (mg)
22.00
Besi (mg)
0.20
Karoten (mg)
0.004
Thiamin (mg)
0.000
Riboflavin (mg)
0.010
Asam askorbat (mg)
19.70
Sumber: Departemen Kesehatan R1 1990 dan Anonim 2009
2.5.6. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia yang termasuk
salah satu jenis temu-temuan dari divisi Spermatophyta, subdivisi Angibrerales, bangsa Zingiberales,
suku Zingiberaceae, marga Curcuma dan jenis Curcuma xanthorriza Roxb. Muhlisah (2008)
menyatakan bahwa temulawak telah lama dikenal sebagai bahan ramuan obat. Aroma dan warna khas
dari temulawak adalah berbau tajam, rasanya pahit, dan daging buahnya berwarna kekuning-kuningan.
Rimpang temulawak telah diketahui mempunyai efek antiinflamasi, antioksidan, antibakteri,
antikolesterol, antikanker, dan antiplatelet agregasi (Septiatin 2008).
Temulawak mengandung minyak atsiri, curcumin, kamfer, glukosida, phellandrene, tomerol,
myrcene, xathorrihizol, isofuranog-germacreene, p-tplyletycarbinol, dan tepung (Muhlisah 2008).
Komponen bioaktif yang terdapat dalam temulawak diantaranya adalah kurkumin,
demethoxycurcumin, dan bisdemetoxy-curcumin. Kurkumin merupakan komponen utama yang
berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan (Kikuzaki 2000). Kurkumin berwarna kuning pada pH
rendah, jingga pada kondisi basa, dan hijau pada pH tinggi. Kurkumin merupakan pewarna alami
yang termasuk dalam kelompok flavonoid. Kurkumin stabil terhadap panas, tetapi sensitif terhadap
cahaya (Wijaya dan Mulyono 2009).
33
2.5.7. Flavor Enhancer
Pszczola (2010) menyatakan zat yang dapat memunculkan citarasa yang baru disebut dengan
taste modulators/flavor enhancer/masking agents/salt replacers/bitterness blocker/sugar
extenders/sweetness enhancers (inhibitors)/umami potentiator. Taste modulator dapat digunakan
dalam proses formulasi suatu produk untuk memberikan keseimbangan citarasa yang sesuai di antara
citarasa yang berbeda. Oleh karena itu, taste modulator memiliki peranan yang sangat penting dalam
proses formulasi produk pangan.
Flavor enhancer tidak hanya memiliki pengaruh terhadap peningkatan citarasa, tetapi juga
memiliki pengaruh negatif terhadap kesehatan. Flavor enhancer biasanya ditambahkan dalam
konsentrasi tertentu sesuai dengan jenis produk pangannya. Citarasa yang kurang sesuai yang
dihasilkan setelah penambahan flavor enhancer biasanya disebabkan oleh adanya suatu penambahan
(misalnya mineral) atau adanya sesuatu yang dihilangkan (misalnya : gula atau garam) dari produk
pangan tersebut.
Mekanisme kerja flavor enhancer/masking agent (umumnya sudah dicampur dengan
modifier,inhibitor, dan enhancer) yaitu dengan menutupi karakteristik flavor yang tidak diinginkan
melalui adanya sensasi lain, berkompetisi dengan reseptor spesifik, atau dengan meningkatkan flavor
yang lain (Gascon 2006).
Seseorang akan merasakan citarasa dari suatu produk ketika makanan ataupun minuman
tersebut berinteraksi dengan reseptor citarasa di dalam mulut. Proses lebih detilnya adalah senyawa
flavordari makanan maupun minuman berikatan dengan reseptor pengecap yang terdapat di dalam
lidah. Reseptor pada lidah selanjutnya akan mengirimkan sinyal kepada bagian otak yang spesifik
menerima rangsangan citarasa untuk diberikan suatu respon (Winarno 2008).
Flavor sangat penting dalam proses formulasi atau pengembangan produk pangan (De Ross
dan Nederland 2006). Hal tersebut dikarenakan flavor dapat mempengaruhi penerimaan konsumen
terhadap produk pangan tersebut. Flavor yang dimaksud di sini adalah aroma dan rasa. Aroma
adalah sensasi yang dihasilkan dari interaksi senyawa kimia volatil dengan reseptor yang ada di dalam
hidung. Rasa adalah sensasi yang dihasilkan dari interaksi senyawa kimia dengan reseptor yang ada
di dalam hidung. Citarasa dapat dirasakan ketika senyawa kimia tersebut larut dalam saliva. Rasa
dapat timbul dari sensasi trigeminal , seperti astrigency dan pungency (Carpenter et al. 2000). Faktorfaktor yang dapat mempengaruhi kestabilan flavor yaitu keberadaan air, protein, sulfit, sistein,
mikroorganisme, asam, enzim, dan ion logam (Winarno 2002a).
Seseorang yang memformulasi pangan dapat meningkatkan atau menguatkan citarasa dari
produk pangan tersebut dengan cara mengoptimalkan lima rasa dasar yang ada di lidah. Salah satu
citarasa dasar yang dapat dikembangkan adalah rasa umami. Umami dapat dirasakan sebagai rasa
gurih yang ditimbulkan oleh glutamat dan 5’ ribonukleotida (IMP dan GMP). Rasa umami sangat
penting dalam memahami adanya sinergi yang terdapat pada citarasa yang lainnya. Rasa umami dapat
ditingkatkan dengan sinergisitas interaksi antara glutamate bebas, IMP, dan GMP. Rasa umami yang
ditimbulkan dari kombinasi IMP dan GMP menghasilkan sensasi rasa yang jauh lebih besar dari pada
komponen tunggalnya. Keberhasilan dalam proses formulasi minuman tergantung pada kombinasi zat
yang kita tambahkan pada sistem flavor yang ada pada minuman tersebut. Penggunaan flavor alami
dalam proses formulasi dapat memberikan manfaat melalui peningkatan rasa manis, penutupan
citarasa, pengeblokan rasa pahit, bahkan dapat membentuk persepsi pada mouthfeel (Pszczola 2010).
Masking flavor dapat digunakan untuk mengurangi aftertaste dari ekstrak herbal. Bentuk
masking flavor bermacam-macam yaitu: cair, (bubuk) kering, alami, buatan, dan organik. Jumlah
34
masking flavor yang digunakan dalam pangan yaitu antara 0.05-0.25%. Nukleotida hasil ekstrak
khamir (misalnya : IMP dan GMP) dapat berfungsi menutupi citarasa yang tidak diinginkan.
Sweetness enhancer dapat membantu mengurangi rasa pahit dan juga memblok rasa asam
sehingga dapat memunculkan persepsi manis. Ekstrak khamir bernukleotida tinggi dengan komposisi
sampai dengan 20 % 5’GMP + 5’IMP dapat digunakan untuk meningkatkan penerimaan citarasa suatu
produk pangan. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi yang sangat baik dengan komponen
citarasa yang lainnya pada sistem pangan (mouthfeel, creaminess, freshness, dan mengurangi
aftertaste pahit). Ekstrak khamir tersebut pada asalnya memiliki sedikit rasa gurih, namun secara
alami nukleotida hampir tidak memiliki rasa. Meskipun bahan tersebut digunakan dengan dosis yang
rendah, namun dapat meningkatkan rasa gurih ketika ditambahkan dalam pangan (Noordam dan
Meijer 2006).
Upaya peningkatan penerimaan citarasa muniman fungsional berbasis kumis kucing dilakukan
dengan menggunakan flavor enhancer A dengan konsentrasi X-Y % atau P/P flavor enhancer dengan
konsentrasi A-B %. Penggunaan P/P flavor enhancer dengan konsentrasi A-B % pada minuman
diharapkan menimbulkan efek sinergi sebagaimana pencampuran P:P MSG dan IMP dapat
menimbulkan efek sinergi (Marcus 2006).
Bahan tambahan pangan, penyedap rasa dan aroma, dan penguat rasa menurut Peraturan
Menteri Kesehatan R.I No.722/Menkes/Per/IX/88 didefinisikan sebagai bahan tambahan pangan yang
dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa dan aroma. Bahan penyedap mempunyai
beberapa fungsi dalam bahan pangan sehingga dapat memperbaiki, membuat lebih bernilai atau
diterima, dan lebih menarik di antaranya dengan menutupi after taste dan membentu aroma baru.
Sifat utama pada penyedap adalah memberi ciri khusus suatu pangan seperti flavor jeruk manis, jeruk
nipis, lemon, dan sebagainya (Cahyadi 2006).
Bentuk produk-produk 5'-ribonukleotida, disodium Inosine-5'-monophosphate (IMP),
disodium-5'-guanosine monophosphate (GMP), dan campuran (I + G) adalah kristal putih atau bubuk
kristal. Produk-produk tersebut larut dalam air dan dalam alkohol tetapi tidak larut dalam eter.
Produk-produk tersebut dibuat dari proses fermentasi gula diikuti dengan proses pemurnian. Produkproduk tersebut memiliki kemampuan yang sangat kuat dalam meningkatkan cita rasa. Penggunaan
produk 5'-ribonukleotida dalam pangan telah disetujui oleh FDA (Anonim 2010c).
Guanosin monofosfat (GMP) adalah sebuah nukleotida yang ditemukan pada RNA. Senyawa
tersebut adalah ester dari asam fosfat dengan guanosin nukleosida. GMP terdiri atas gugus fosfat,
gula pentosa ribosa, dan basa nukleotida guanin. Guanosin monofosfat dihasilkan dari ikan kering
atau ganggang laut kering. Guanosin monofosfat dalam bentuk garamnya, seperti dinatrium guanilat
(E627), dipotassium guanilat (E628) dan kalsium guanilat (E629), adalah bahan tambahan pangan
yang digunakan sebagai penguat rasa untuk memberikan rasa umami. Senyawa ini sering digunakan
bersamaan dengan dinatrium inosinat agar lebih bersinergi. Kombinasi keduanya dikenal sebagai
dinatrium 5'-ribonukleotida. Dinatrium guanilat digunakan pada mi instan, keripik kentang (snack),
sayuran kaleng, daging curing, dan sup (Anonim 2010d). Spesifikasi flavor enhancer GMP dan IMP
dapat dilihat pada Tabel 3.
Dinatrium inosinat (E631 [1]) dengan rumus kimia C10H11N2Na2O8P, adalah garam dinatrium
asam inosinat. Senyawa ini adalah bahan tambahan pangan pemberi rasa umami yang digunakan pada
mi instan, keripik kentang, dan berbagai makanan ringan lainnya. Senyawa ini terdapat pada babi dan
ikan. Senyawa ini sering ditambahkan pada pangan bersama dengan dinatrium guanilat dan
kombinasinya dikenal sebagai dinatrium 5'-ribonukleotida (Anonim 2010e). Pengaruh penggunaan
guanosin 5 ‘-disodium fosfat, inosin 5 ‘-disodium fosfat, dan sodium 5 ‘-ribonukleotida terhadap
35
kesehatan tidak diketahui, namun tidak boleh digunakan pada pangan bayi, anak-anak, dan penderita
encok (Cahyadi 2006).
Tabel 3. Spesifikasi Flavor Enhancer GMP dan IMP (Anonim 2010c)
Disodium Inosine-5’-monophosphate (IMP)
Disodium Guanosine-5’-monophosphate (GMP)
CAS No.:4691-65-0 (anhydrous)
CAS No.:85-32-5 (anhydrous)
Formula : C10H11O8N4PNa2.7.5H2O
Formula : C10H12O8N5PNa2.7H2O
Berat molekul : 527.25
Berat molekul : 533.26
Properti
IMP
GMP
Penampakan
bubuk kristal putih
Kadar logam
97.0 %-102.0 %
Kehilangan saat pengeringan
max. 28.5 %
Logam berat
max. 10 ppm
max. 10 ppm
Kandungan arsen
max. 1 ppm
max. 1 ppm
pH
7.0-8.5
7.0-8.5
Properti
97.0 %-102.0 %
max. 25.0 %
Flavor enhancer (P:P)
Penampakan
bubuk kristal putih
Kadar logam
97.0 %-102.0 %
Kehilangan saat pengeringan
max. 25.0 %
Logam berat
max. 10 ppm
Kandungan arsen
max. 1 ppm
pH
7.0-8.5
Proporsi campuran
P-P %
Aplikasi
food additive, flavor enhancer
2.5.8. Pemanis
Pembuatan minuman fungsional berbasis kumis kucing yang dilakukan dalam penelitian ini
menggunakan tiga jenis pemanis, yaitu: gula, sukralosa, dan kombinasi sukralosa, aspartam, &
siklamat. Penggunaan pemanis yang dikombinasikan bertujuan untuk meningkatkan keamanan,
kualitas, dan kestabilan rasa produk pangan (Wijaya dan Mulyono 2010). Penggunaan gula pada
minuman ini diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak menderita diabetes, sedangkan penggunaan
pemanis pada minuman diperuntukkan bagi penderita diabetes.
36
Gula digunakan sebagai sumber energi oleh sel-sel tubuh dan otak, sehingga sel-sel tubuh
dapat mempertahankan kelangsungan metabolisme. Gula yang dikonsumsi lebih mudah dicerna dan
ditransportasikan ke dalam darah. Hormon insulin diperlukan agar gula dari darah dapat
ditransportasikan ke dalam sel tubuh dan otak, sehingga kadar gula darah menjadi turun. Penderita
diabetes mengalami gangguan produksi hormon insulin, sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa di
dalam pembuluh darah (hiperglikemia).
Organisasi Pangan Masyarakat Jerman menyarankan kebutuhan kalori bagi wanita dewasa per
hari sekitar 2000 kalori, laki-laki dewasa 2400 kalori, dan untuk gula tidak lebih dari 10 persennya,
yang berarti sekitar 200-240 kalori (± 2.5 sendok makan). Para pakar ilmu pangan menyarankan agar
penggunaan gula per hari tidak dalam batas maksimum. Hal tersebut dikarenakan dalam berbagai
bahan pangan lainnya yang dikonsumsi telah mengandung sejumlah gula (Winarno dan
Kartawidjajaputra 2007).
Bahan makanan yang mengandung gula jika terlalu banyak dikonsumsi dapat menimbulkan
dampak-dampak yang merugikan, antara lain: karies gigi, gangguan pada pencernaan (usus),
kelebihan berat badan, terasa sakit pada persendian, darah tinggi, dan penyakit jantung. Gula
mengandung kalori yang cukup tinggi akan tetapi nilai gizinya sangat sedikit sehingga terjadi
ketidakseimbangan energi jika kita mengonsumsi melebihi dari jumlah yang dibutuhkan. Gula yang
dikonsumsi berlebihan jika terjadi terus-menerus akan diubah menjadi lemak di dalam tubuh, yang
dapat mengakibatkan kegemukan. Efek samping dari hal tersebut adalah adanya gangguan pada
sirkulasi lemak, sirkulasi darah, penyakit gula (diabetes), dan nyeri pada persendian.
Pemanis buatan rendah kalori atau bahkan nonkalori sekaligus nonkariogenik dapat digunakan
sebagai pengganti gula, sehingga dapat menghindari dampak-dampak negatif yang telah disebutkan.
Pemanis digunakan agar penderita diabetes mellitus masih dapat mengonsumsi produk pangan yang
manis tanpa menimbulkan masalah (Wijaya dan Mulyono 2010). Kroger et al. (2006) menyatakan
bahwa penggunaan pemanis buatan dapat menekan biaya produksi.
Pemanis merupakan senyawa kimia yang sering ditambahkan dan digunakan untuk keperluan
produk olahan pangan, industri, minuman dan makanan kesehatan. Pemanis menurut Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 235 termasuk ke dalam bahan tambahan pangan, selain zat
seperti antioksidan, pemutih, pewarna, pengawet, dll. Pemanis berfungsi meningkatkan citarasa dan
aroma, memperbaiki sifat-sifat fisik, sebagai pengawet, memperbaiki sifat-sifat kimia sekaligus
merupakan sumber kalori bagi tubuh.
Pemanis buatan adalah pemanis yang dihasilkan melalui reaksi-reaksi kimia organik
dilaboratorium atau dalam skala industri (dibuat secara sintetis), dan tidak menghasilkan kalori.
WHO telah menetapkan ADI (Acceptable Daily Intake), yaitu sejumlah bahan tertentu yang dapat
dikonsumsi tanpa menimbulkan risiko. Nilai ADI untuk orang dewasa tidak terlalu berarti, tetapi bagi
anak-anak relatif menimbulkan kepekaan yang besar. Hal yang perlu diperhatikan adalah pemanis
buatan tidak diizinkan penggunaannnya pada produk pangan untuk kelompok tertentu, seperti: bayi,
balita, ibu hamil dan menyusui dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatannya
(BPOM 2004).
Pemanis buatan adalah bahan tambahan pangan (BTP) yang dapat menyebabkan rasa manis
pada produk pangan, tidak atau sedikit mempunyai nilai gizi atau kalori, hanya boleh ditambahkan ke
dalam produk pangan dalam jumlah tertentu (Depkes 1999; SNI 2004; BPOM 2004). BTP harus
digunakan dengan tepat dan benar sesuai dengan spesifikasi dan karakteristik penggunaanya dosis
penggunaannya sehingga dapat memberikan manfaat positif bagi pengadaan produk pangan. BTP
yang digunakan dengan cara yang kurang tepat dapat memicu kecurangan bahkan membahayakan
37
kesehatan manusia. Selain itu juga, penggunaan BTP pada produk pangan harus dicantumkan pada
label sebagai informasi bagi konsumen.
Sepuluh persyaratan ideal BTP pemanis yang digunakan sebagai pemanis pengganti gula
(sukrosa) menurut Wijaya dan Mulyono (2010) antara lain:
1. pemanis tersebut mempunyai rasa dan sifat atau karakteristik fungsional seperti sukrosa;
2. nilai kalorinya kurang dari sukrosa pada tingkat kemanisan yang sama;
3. pemanis tersebut tidak berwarna;
4. pemanis tersebut tidak berbau;
5. pemanis tersebut tidak beracun;
6. pemanis tersebut dapat dimetabolisme secara normal atau dikeluarkan dari dalam tubuh;
7. pemanis tersebut tidak menyebabkan alergi;
8. pemanis tersebut stabil terhadap perubahan kimia dan panas;
9. pemanis tersebut dapat dikombinasikan dengan bahan pangan lainnya;
10. pemanis tersebut bersifat ekonomis.
Sukralosa (C12H19C13O8) dengan struktur kimia 4, 1’6’-triklorogalaktosukrosa pada kondisi
sangat asam dan suhu tinggi akan terhidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa. Sukralosa merupakan
pemanis nonkalori yang tidak memberikan after taste. Sukralosa tidak dapat dicerna oleh tubuh dan
termasuk dalam golongan GRAS. Nilai ADInya sebesar 0-15 mg/kg bobot badan (JECFA 2005a).
Sukralosa memiliki tingkat kemanisan 600 kali dinbandingkan sukrosa. Sukralosa memiliki
beberapa kelebihan antara lain: tahan panas sehingga tingkat kemanisan yang diperoleh tidak
menurun, jumlah yang diperlukan untuk mencapai tingkat kemanisan yang diinginkan sangat sedikit,
memiliki stabilitas yang bagus, baik dalam bentuk kering maupun cair. Penggunaan sukralosa
disetujui oleh FDA sejak April 1988. Sukralosa dapat dikeluarkan melalui urin hampir tanpa adanya
perubahan. FDA menyimpulkan bahwa sukralosa tidak bersifat karsinogenik, tidak mengganggu
reproduksi (kesuburan) ataupun risiko neurologik (saraf) setelah dilakukan lebih dari 100 penelitian
pada hewan dan manusia (Winarno dan Kartawidjajaputra 2007).
Aspartam (C14H18N2O5) dengan struktur kimia 3-amino-N (α-carbomethoxy-phenetyl)
succinamic acid, N-L-α-aspartyl-L-phenilalanine-1-methyl ester memiliki nama dagang Equal,
Nutrasweet, dan Canderel. Pemanis ini bersifat slower onset, namun kemanisannya tahan lama.
Kestabilan aspartam dapat ditingkatkan dengan enkapsulasi. Aspartam berada dalam bentuk
terdisosiasi sehingga rasanya kurang manis pada pH 3.1 dan 7.9 (SNI 2004). Penambahan hidrolisat
pati terhidrogenasi disarankan pada produk pangan berkadar air tinggi untuk meningkatkan kestabilan
aspartam (Carrol dan Kehoe 1988). Minuman berkarbonasi rasa jeruk yang disimpan selama enam
bulan akan berkurang kadar aspartamnya hingga 52-56% (de Cock dan Bechert 2002). Aspartam
memiliki waktu paruh paling lama selama 300 hari pada pH 4.3, namun waktu paruhnya hanya
beberapa hari pada pH 7.
Produk yang menggunakan aspartam harus mencantumkan peringatan khusus bagi penderita
fenilketonuria. JECFA menetapkan nilai ADI sebesar 40 mg/kg bobot badan (JECFA 2000). FDA
menyetujui penggunaan aspartam pada semua makanan dan minuman. Aspartam disetujui
penggunaannya oleh lebih 100 negara termasuk Indonesia. Aspartam terdapat dalam berbagai bentuk
seperti cair, enkapsulasi (bersifat tahan panas), dan bubuk. Aspartam memiliki tingkat kemanisan
160-220 kali dibandingkan sukrosa dan relatif tidak mengandung kalori. Meskipun aspartam
memberikan kalori sebesar 4 kalori/g, namun karena pemakaiannnya dalam jumlah yang sangat kecil
sehingga kalori yang diberikan boleh dianggap tidak ada (Winarno dan Kartawidjajaputra 2007).
Aspartam dibentuk dari penggabungan asam aspartat dan fenilalanin. Semua pemanis
nonkalori tidak mengalami proses metabolisme, kecuali aspartam.
Proses pencernaannya
38
sebagaimana proses pencernaan protein sehingga tidak akan terakumulasi dalam tubuh. Aspartam
telah dinyatakan aman untuk digunakan bagi penderita kencing manis, wanita hamil, wanita
menyusui, bahkan anak-anak. Aspartam tidak terbukti sebagai penyebab sakit kepala, gangguan
penglihatan, meningkatkan berat badan, kejang alzhemier, gangguan janin, lupus, sklerosis multiple
maupun kanker otak (Cahyadi 2006).
Siklamat tersedia dalam bentuk asam siklamat (asam siklohesilsulfamat, C6H13NO3S), garam
natrium atau kalsiumnya. Nama dagang dari natrium siklamat adalah “sodium” atau “biang gula”.
Pemanis ini sangat larut dalam air, stabil terhadap suhu tinggi, nonkalori, dan tidak memberika after
taste, namun jika terurai akan menghasilkan siklohesilamina dengan rasa pahit (Nelson 2000). Kadar
maksimum asam siklamat yang diperbolehkan pada pangan dan minuman berkalori rendah serta untuk
penderita diabetes mellitus menurut peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88
adalah 3 g/kg bahan pangan dan minuman.
FDA mengeluarkan siklamat dari daftar GRAS, karena menyebabkan tumor kandung kemih
pada tikus, namun beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa siklamat tidak bersifat karsinogen
(Weihrauch Diehl 2004). Siklamat dapat menurunkan kandungan vitamin B1, vitamin C, dan asam
amino esensial. Nilai ADI siklamat 0-11 mg/kg bobot badan (JECFA 2005b).
Siklamat dalam penggunaannya seringkali dikombinasikan dengan pemanis lain. Siklamat
memiliki rasa yang enakdan mampu menutupi rasa pahit yang tidak dikehendaki. Pemanis ini stabil
dalam kisaran temperatur dan pH yang luas. Siklamat memiliki intensitas kemanisan sebesar 30-140
kali sukrosa. Pemanis ini cocok digunakan untuk produk buah-buahan karena selain mampu
mempertajam rasanya, pada konsentrasi rendah ia dapat menutupi rasa getir dari beberapa buahbuahan (Wijaya dan Mulyono 2010).
2.5.9. Pengawet
Bahan pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat
fermentasi, pengasaman atau penguraian lain pada makanan yang disebabkan oleh pertumbuhan
mikroba (Depkes 1999). Bahan pengawet yang sering digunakan pada bahan makanan diantaranya
adalah asam sorbat dan asam benzoat (Buckle et al. 1987). Efektivitas bahan pengawet ditentukan
oleh beberapa faktor, yaitu: konsentrasi bahan pengawet, jenis mikroorganisme yang akan dihambat,
suhu dan waktu, serta sifat fisik dan kimia dari bahan yang akan diawetkan (Buckle et al. 1987).
2.6. MIXTURE EXPERIMENT (ME)/ MIXTURE DESIGN (MD)
Menurut Rusviani (2007), optimasi pada salah satu atau seluruh aspek produk adalah tujuan
dalam pengembangan produk. Hasil evaluasi sensori seringkali digunakan untuk menentukan apakah
produk yang optimum telah dikembangkan dengan benar. Metode mixture experiment (ME)
seringkali diterapkan dalam mengoptimasi formula suatu produk. ME merupakan kumpulan dari
teknik matematika dan statistika yang berguna untuk permodelan dan analisa masalah sebuah respon
yang dipengaruhi oleh beberapa variabel dan tujuannya adalah mengoptimalkan respon tersebut
(Montgomery 2002).
Respon yang digunakan dalam ME adalah fungsi dari proporsi perbedaan komponen atau
bahan dalam suatu formula. Penggabungan beberapa ingridien atau bahan baku dilakukan untuk
menghasilkan suatu produk pangan yang dapat dinikmati. Hasil akhir produk tersebut tentunya
dipengaruhi oleh persentase atau proporsi relatif masing-masing ingridien yang ada dalam formulasi.
Penggabungan beberapa ingridien dalam mixture experiment dapat digunakan untuk melihat pengaruh
39
pencampuran dua komponen atau lebih tersebut mampu menghasilkan produk akhir dengan sifat yang
lebih diinginkan, dibandingkan dengan penggunaan ingridien tunggalnya dalam menghasilkan produk
yang sama. Penggunaan Mixture Experiment dalam merancang suatu percobaan untuk mendapatkan
kombinasi yang optimal dirasakan mampu menjawab permasalahan dilihat dari segi waktu
(mengurangi jumlah trial and error rancangan) dan biaya (Cornell 1990).
Rancangan percobaan kombinasi ekstrak jeruk yang berbeda dan flavor enhancer yang
ditambahkan ke dalam minuman fungsional berbasis kumis kucing dilakukan dengan menggunakan
Mixture Experiment. Pengolahan data ME menggunakan program Design Expert (DX) 7.0. Data
yang diperlukan dalam pengolahan dengan DX 7.0 adalah variabel uji yang digunakan beserta kisaran
taraf masing-masing variabel. Design Expert akan menghasilkan suatu desain percobaan yang
nantinya dilakukan untuk mendapatkan respon. Respon yang digunakan dalam penentuan kombinasi
ekstrak jeruk yang berbeda dan flavor enhancer yang ditambahkan ke dalam minuman fungsional
berbasis kumis kucing adalah respon uji hedonik.
40
Download