2. tinjauan pustaka

advertisement
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Karang
Terumbu karang merupakan kumpulan komunitas karang, yang hidup di dasar
perairan, berupa batuan kapur (CaCO3), dan mempunyai kemampuan untuk
menahan gaya gelombang laut.
Terumbu karang (coral reef) merupakan suatu
ekosistem, sedangkan karang (reef coral) merupakan individu organisme. Karang
merupakan hewan dari Filum Cnidaria (Supriharyono 2007).
Hewan dari Filum Cnidaria pada umumnya memiliki tubuh simetri radial atau
bilateral. Struktur tubuh filum ini dibedakan menjadi polip yang hidup menetap dan
medusa yang hidup berenang.
Karang termasuk dalam Kelas Anthozoa, yang
umumnya hidup sebagai polip dengan bentuk tubuh seperti tabung (Suwignyo et al.
2005). Karang memiliki tentakel yang tersusun dalam bentuk melingkar di sekitar
mulutnya dan berguna untuk menangkap makanan. Jaringan tubuh karang dibagi
menjadi tiga lapisan yaitu lapisan mesoglea, lapisan epidermis dan lapisan
endodermis. Lapisan mesoglea merupakan lapisan pemisah yang berada di antara
lapisan epidermis dan lapisan endodermis.
Sel penyengat (nematosit) yang
merupakan ciri dari kelompok hewan Cnidaria berada pada lapisan epidermis
(Gambar 2) (Thamrin 2006; Veron 2000).
Gambar 2. Anatomi polip karang
Sumber: Veron 2000
Hewan karang dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan kemampuan
membentuk terumbu, yaitu karang pembentuk terumbu (hermatypic) dan karang
yang tidak dapat membentuk terumbu (ahermatypic).
umumnya ditemukan di laut dalam.
Karang ahermatypic
Karang hermatypic bersimbiosis secara
mutualisme dengan alga zooxanthellae sehingga, penyebaran secara vertikal dibatasi
oleh faktor cahaya matahari (Thamrin 2006).
Zooxanthellae merupakan alga dari kelompok dinoflagellata.
Selain
bersimbiosis dengan hewan karang, zooxanthellae juga bersimbiosis dengan hewan
laut lainnya, seperti anemon, moluska, dan lainnya. Zooxanthellae terdapat pada
lapisan endodermis hewan karang (Thamrin 2006). Hubungan antara karang dengan
zooxanthellae saling menguntungkan. Melalui proses fotosintesis, zooxanthellae
membantu memberikan suplai makanan dan oksigen bagi karang, serta membantu
proses pembentukan kerangka kapur. Sebaliknya, karang menghasilkan sisa-sisa
metabolisme berupa nutrien seperti, nitrogen dan fosfat yang digunakan oleh
zooxanthellae untuk fotosintesis dan tumbuh (Gambar 3) (Castro dan Huber 2007).
Gambar 3. Simbiosis antara karang dan Zooxanthellae
Sumber: Castro dan Huber 2007
2.2. Reproduksi Karang
Karang memiliki dua jenis kelamin, yaitu karang yang hanya menghasilkan sel
telur saja (karang betina) dan karang yang hanya menghasilkan sel sperma saja
(karang jantan). Karang juga memiliki sifat hermaprodit yang dibedakan menjadi
hermaprodit simultan, protandri, dan protogini (Loyd dan Sakai 2008 in Suharsono
2008a). Karang berkembang biak dengan dua cara, yaitu secara seksual dan aseksual
(Gambar 4).
Perkembangbiakan seksual karang diawali dengan pertemuan ovarium dengan
sperma. Metode pembuahan berbeda-beda pada setiap karang. Karang bersifat
hermaprodit melakukan pembuhan di dalam induknya, sedangkan Karang yang lain
melakukan pertumbuhan di luar dengan melepaskan sperma dan ovarium (Castro
dan Huber 2007).
Reproduksi karang secara aseksual umumnya dengan cara
membentuk tunas yang akan menjadi individu baru pada induk, serta pembentukan
tunas secara terus-menerus yang merupakan mekanisme untuk menambah ukuran
koloni karang. Namun, tidak untuk menambah koloni baru (Nybakken 1988). Jalan
pertunasan pada setiap karang berbeda-beda, yaitu dengan cara ekstratentakular atau
intratentakular. Pertunasan ekstratentakular, merupakan pertumbuhan polip baru
yang tumbuh dari setengah bagian ke bawah. Pertunasan intratentakular, merupakan
pertumbuhan polip baru yang tumbuh dari penyekat yang membujur mulai dari oral
disk ke arah aboral (Suwignyo et al. 2005).
Gambar 4. Reproduksi seksual (kiri) dan aseksual (kanan) hewan karang
Sumber: Bengen 2001
Karang
Acropora
memiliki
reproduksi
secara
seksual
dan
bersifat
simultaneous hermaphrodites, yaitu dapat memproduksi ovum dan sperma secara
bersamaan. Karang yang memproduksi ovum terlebih dahulu kemudian berganti
memproduksi sperma disebut sequential hermaphrodites, salah satu karang yang
memiliki sifat ini ialah karang jenis Stylophora pistillata. Spawning (pemijahan)
karang Acropora pada umumnya terjadi pada saat bulan purnama. Karang Acropora
pada kondisi tertentu dapat bereproduksi secara aseksual, yaitu dengan fragmentasi.
Umumnya fragmentasi ini ditemukan pada karang yang memiliki bentuk
pertumbuhan bercabang. Karang fragmen merupakan patahan dari koloni karang,
akibat adanya gelombang, badai, predasi oleh ikan, atau faktor fisik lainnya
(Richmond 1997).
2.3. Klasifikasi Karang
Klasifikasi hewan karang yang ditransplantasi di Pulau Kelapa sebagai berikut
(Veron 2000) :
Filum
: Coelenterata
Class
: Anthozoa
Subclass
: Hexacorallia
Order
: Scleractinia
Family
: Acroporidae
Genus
: Acropora (Oken 1815)
Spesies
:1. A. humilis (Dana 1846)
2. A. brueggemanni (Brook 1893)
3. A. austera (Dana 1846)
Famili Acroporidae terdiri atas empat genus, yaitu Montipora, Astreopora,
Anacropora, dan Acropora. Famili ini biasanya ditemukan berkoloni kecuali Genus
Astreopora yang memiliki koralit yang kecil dan kolumelanya tidak tumbuh (Veron
2000).
Genus Acropora memiliki bentuk pertumbuhan (life form) bercabang
(branching), tabulate, digitate, dan kadang-kadang berbentuk encrusting atau
submassive. Koralit genus ini memiliki dua tipe, yaitu aksial dan radial, serta tidak
terdapat kolumela. Dinding koralit dan koenestum menjadi poros. Pada genus ini
tentakel hanya keluar pada malam hari (Veron 2000).
Spesies A. humilis memiliki bentuk pertumbuhan corymbose (Gambar 5).
Bentuk cabangnya menyerupai jari yang besar. Spesies ini memiliki diameter 10
hingga 25 mm dan memiliki panjang kurang dari 200 mm (Carpenter dan Niem
1998). Ukuran radial koralit ada yang besar dan kecil, koralit ukuran besar tersusun
rapih membentuk sebuah garis (Suharsono 2008b). Ujung cabangnya (aksial koralit)
berbentuk kubah tumpul. A. humilis biasa ditemukan pada perairan dangkal dan
terbuka (Carpenter dan Niem 1998).
Karang dengan bentuk pertumbuhan
corymbose lebih banyak menggunakan energi yang didapat untuk tumbuh ke
samping (Sadarun 1999).
Gambar 5. A. humilis
Sumber: Doc.PKSPL-IPB (kiri) dan Veron 2000 (kanan)
Spesies A. brueggemanni memiliki bentuk pertumbuhan prostrate atau
branching (Gambar 6).
Percabangan A. brueggemanni tidak teratur dan agak
meruncing pada ujungnya (Veron 2000).
Radial koralit terlihat membulat dan
tersusun rapat tidak teratur (Suharsono 2008b). Spesies ini biasa ditemukan pada
perairan dangkal (Veron 2000).
Gambar 6. A. brueggemanni
Sumber: Doc.PKSPL-IPB (kiri) dan Veron 2000 (kanan)
Spesies A. austera memiliki bentuk pertumbuhan arborecent dan percabangan
yang berukuran besar (Gambar 7). Ciri-ciri karang ini memiliki percabangan yang
melengkung menjauhi percabangan lain dan meruncing. Aksial koralit memiliki
dinding yang tebal dan lubang berukuran kecil pada tengahnya. Radial koralit
terkadang menyerupai barisan, serta memiliki ukuran yang tidak teratur. Spesies ini
umumnya terdapat di perairan yang terbuka (Veron 2000).
Karang branching
arborescent cenderung memiliki pertambahan tinggi yang besar disebabkan,
pertumbuhan koloninya yang mengarah ke atas (Sadarun 1999).
Gambar 7. A. austera
Sumber: Doc.PKSPL-IPB (kiri) dan Veron 2000 (kanan)
2.4. Faktor Pembatas Karang Acropora
2.4.1. Cahaya
Karang umumnya hidup di perairan dangkal, dengan penetrasi cahaya
matahari yang masuk hingga ke dasar perairan. Intensitas cahaya merupakan salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi kehidupan karang. Hal ini berkaitan dengan
proses fotosintesis yang dilakukan oleh zooxanthellae. Hasil proses fotosintesis
tersebut dimanfaatkan sebagai salah satu sumber makanan bagi karang
(Supriharyono 2007). Oleh karena itu, distribusi vertikal terumbu karang dibatasi
oleh kedalaman efektif sinar matahari yang masuk ke perairan (Nybakken 1988).
Kedalaman berhubungan erat dengan intensitas cahaya. Semakin dalam perairan,
semakin berkurang intensitas cahaya yang masuk. Umumnya karang dapat tumbuh
baik pada kedalaman kurang dari 20 m (Kinsman 1964 in Supriharyono 2007).
2.4.2. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor pembatas kehidupan karang. Umumnya
karang membutuhkan suhu perairan yang hangat, yaitu antara 25-32 °C. Suhu di
atas 33 °C dapat menyebabkan karang mengalami pemutihan (bleaching).
Pemutihan karang yaitu keluarnya alga zooxanthellae dari polip karang yang dapat
mengakibatkan kematian (Tomascik et al.1997).
Menurut Well (1954) in Supriharyono (2007) suhu yang baik untuk
pertumbuhan karang berkisar antara 25-29 °C.
karang masih dapat ditemukan
dengan batas suhu minimun dan maksimum berkisar antara 16-17 °C dan sekitar
36 °C (Kinsman 1964 in Supriharyono 2007).
Suhu dapat mempengaruhi kecepatan metabolisme, reproduksi, perombakan
bentuk luar dari karang, dan sebaran karang (Kurniawan 2011). Selain itu, Suhu
dapat mempengaruhi tingkah laku makan bagi karang.
Karang umumnya
kehilangan kemampuan untuk menangkap mangsa pada suhu di atas 33,5 °C dan di
bawah 16 °C (Mayor 1915 in Supriharyono 2007). Namun Acropora dapat bertahan
pada suhu musiman 16-40 °C dan suhu harian paling rendah 10 °C di Pantai Trucial
(Kinsman 1964 in Supriharyono 2007).
Kematian karang tidak diakibatkan oleh suhu yang ekstrim, namun akibat
perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami (ambient level) (Supriharyono
2007). Coles dan Jokiel (1978) dan Neudecker (1981) in Supriharyono (2007)
menyatakan bahwa perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6 °C di bawah dan di
atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan bahkan hingga menyebabkan
kematian karang.
2.4.3. Salinitas
Salinitas ialah berat garam dalam gram per kilogram air laut (Hardjojo dan
Djokosetiayanto 2005 in Harmita 2008). Salinitas air laut di daerah tropis berkisar
antara 35 ‰. Karang dapat hidup subur pada kisaran salinitas antara 34-36 ‰
(Kinsman 1964 in Supriharyono 2007). Menurut Buddemeier dan Kinzie (1976)
karang tidak dapat bertahan di perairan yang memiliki salinitas di bawah 25 ‰ atau
di atas 40 ‰. Acropora dapat bertahan selama beberapa jam pada salinitas 40 ‰ di
West Indies (Kinsman 1964 in Supriharyono 2007).
2.4.4. Nutrien (amonia, nitrat, ortofosfat)
Alga
zooxanthellae
membutuhkan
nutrien
untuk
melakukan
proses
fotosintesis. Selain hidrogen, karbon, dan oksigen terdapat elemen esensial lain
yang dibutuhkan fitoplankton untuk berfotosintesis dan tumbuh, yaitu nitrogen dan
fosfor. Nitrogen di laut tersedia dalam berbagai jenis bentuk garam organik seperti
nitrat, nitrit, amonia, dan berbagai jenis senyawa nitrogen seperti asam amino dan
urea, atau sebagai nitrogen molekuler. Alga umumnya lebih menggunakan amonia,
nitrat, dan nitrit (Tomascik et al. 1997).
Amonia bersifat mudah larut dalam air.
Amonia yang terukur dalam air
merupakan amonia total (NH3 dan NH4+). Kadar amonia dalam air biasanya kurang
dari 0,1 mg/liter (McNeely et al. 1979 in Effendi 2003). Apabila kadar amonia
dalam perairan tinggi, dapat diindikasikan bahwa terdapat pencemaran bahan
organik yang berasal dari limbah industri, domestik, dan limpasan pupuk pertanian
(Effendi 2003).
Nitrat (NO3) merupakan bentuk utama dari nitrogen di perairan dan
merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat sangat mudah
larut dalam air dan bersifat stabil.
Nitrat tidak bersifat toksik bagi organisme
akuatik. Kadar nitrat pada perairan alami tidak lebih dari 0,1 mg/liter. Kadar nitrat
yang lebih dari 0,2 mg/liter dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan.
Kadar nitrat yang tinggi di perairan dapat menyebabkan pertumbuhan alga dan
tumbuhan air meningkat secara pesat (blooming). Kadar nitrat yang mencapai nilai
lebih dari 5 mg/liter, dapat diindikasikan bahwa perairan tersebut mengalami
pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan
(Effendi 2003).
Unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen di perairan,
melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat)
dan senyawa organik yang berupa partikulat.
Kadar fosfat yang berlebih dan
nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan alga.
Ortofosfat merupakan
bentuk fosfat yang dapat digunakan oleh tumbuhan akuatik secara langsung (Effendi
2003).
Kandungan nutrien yang tinggi dalam perairan dapat mengakibatkan
pertumbuhan karang menjadi lebih lambat (Wallece 1985 in Bikerland 1988). Di
daerah yang kaya akan nutrien, fitoplankton akan bertambah dan menghalangi
cahaya yang masuk ke perairan.
Persaingan tempat juga akan terjadi dengan
bertambahnya keanekaragaman hewan bentik lainnya (Bikerland 1988).
2.4.5. Kekeruhan dan sedimentasi
Sedimentasi memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak langsung bagi
pertumbuhan karang. Menurut Hubbart dan Pocock (1972) in Supriharyono (2007),
pengaruh langsung bagi pertumbuhan karang terjadi apabila sedimentasi yang masuk
ke perairan, merupakan sedimentasi yang berukuran besar sehingga dapat menutupi
polyp karang.
Pengaruh tidak langsungnya ialah sedimentasi yang masuk ke
perairan dapat menyebabkan kekeruhan yang berdampak pada penurunan sinar
matahari, sehingga dapat menurunkan laju pertumbuhan karang (Pastorok dan
Bilyard 1985 in Supriharyono 2007). Selain itu, sedimentasi dan beberapa faktor
lainnya seperti, suhu dan salinitas juga dapat mempengaruhi keanekaragaman dan
kelimpahan karang (Lirman et al. 2003 in Crabbe dan Smith 2005).
Sedimentasi yang tinggi dapat menyebabkan karang bekerja keras untuk
membersihkan sedimen yang menutupi polip karang. Hal tersebut menyebabkan
ernergi yang didapatkan oleh karang, lebih dimanfaatkan untuk membersihkan diri
dari sedimen. Sedimentasi dapat menyebabkan kematian pada karang, hal ini terjadi
apabila laju sedimentasi lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan karang untuk
membersihkan diri. Dengan demikian, karang dapat tumbuh secara optimal pada
tempat yang jernih dan penetrasi cahaya yang cukup (Suharsono 2008a).
2.4.6. Arus
Arus merupakan salah satu faktor pendukung pertumbuhan karang.
Arus
dibutuhkan untuk membawa makanan, serta dapat membersihkan karang dari
endapan-endapan. Oleh karena itu, pertumbuhan karang pada daerah yang berarus
cenderung lebih baik bila dibandingkan dengan pertumbuhan karang pada daerah
yang tenang (Nontji 1987 in Suhendra 2002).
Arus juga dapat memberikan
pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang. Terdapat kecenderungan bahwa
semakin besar tekanan hidrodinamis seperti arus dan gelombang, bentuk karang
akan lebih mengarah ke bentuk pertumbuhan encrusting (Supriharyono 2007).
2.5. Kerusakan Karang
Kerusakan karang dapat mempengaruhi keberadaan biota akuatik yang
berasosiasi dengan terumbu karang. Terumbu karang merupakan tempat nursery,
feeding dan spawning bagi biota akuatik. Kerusakan terumbu karang diakibatkan
oleh tiga faktor, yaitu faktor manusia, faktor biologi, dan faktor fisik.
Wilkinson (2000) in Fabricius dan Alderslade (2001) menyatakan kondisi
terumbu karang di dunia mengalami penurunan akibat aktivitas manusia.
Tiga
faktor utama penyebab kerusakan ialah penangkapan ikan yang tidak ramah
lingkungan, pemanasan global, dan terrestrial run-off (Fabricius dan Alderslade
2001). Selain akibat aktivitas manusia, kerusakan karang juga dapat disebabkan
oleh faktor biologi, seperti predasi dan persaingan. Persaingan yang terjadi pada
ekosistem terumbu karang disebabkan faktor relung. Persaingan tersebut terjadi di
antara karang, karang yang pertumbuhannya lebih cepat dapat menutupi cahaya bagi
karang yang pertumbuhannya lambat. Karang jenis percabangan umumnya lebih
cepat tumbuh bila dibandingkan dengan karang berbentuk hamparan.
Selain
bersaing dengan sesama karang, persaingan untuk mendapatkan tempat juga terjadi
antara karang dengan alga dan invertebrata sessile. Alga biasanya ditemukan pada
tempat yang kondisi terumbu karangnya tidak baik, seperti akibat adanya
sedimentasi, gelombang, dan predasi. Predasi karang dapat berdampak pada jumlah
dan jenis karang yang dapat hidup (Nybakken 1988; Castro dan Huber 2007).
Predator yang memangsa karang diantaranya moluska gastropoda (Famili
Architectonidae, Epitoniidae, Ovulidae, Muricidae dan Coralliophilidae), cacing
policaeta amfinomid (Hermodice), teritip tertentu (Pyrgoma), dan beberapa kepiting
(Mithraculus, Trapezia, Tetralia).
Namun, predator-predator tersebut tidak
memberikan dampak yang besar terhadap koloni karang. Predator yang memiliki
pengaruh yang besar pada koloni karang ialah ikan pemakan koloni karang (Famili
Tetraodontidae, Monacanthidae, Balistidae, dan Chaetodantidae) dan Acanthaster
planci. Pemulihan karang dapat berlangsung selama 10 hingga 15 tahun akibat
ledakan populasi Acanthaster planci (Nybakken 1988; Castro dan Huber 2007).
Faktor fisik yang dapat mempengaruhi ekosistem terumbu karang diantaranya
adalah kenaikan suhu perairan, badai, dan topan. Peningkatan suhu permukaan laut
atau El-Nino juga mengancam terumbu karang. Peristiwa El-Nino yang terjadi di
Barat Pasifik dan Laut Hindia pada bulan Desember 1982 hingga Februari 1983.
Memberikan dampak yang besar bagi terumbu karang. Banyak ditemui karang
bleaching dan diikuti dengan kematian karang (Brown 1987 in Supriharyono 2007).
Terumbu karang yang mengalami kerusakan akibat badai dan topan dapat pulih
dalam waktu 25-30 tahun (Nybakken 1988).
2.6. Transplantasi Karang
Transplantasi karang ialah suatu teknik penanaman dan pertumbuhan koloni
karang baru dengan metode fragmentasi, dimana benih karang diambil dari suatu
induk koloni tertentu (Harriot dan Fisk 1988). Teknik transplantasi pertama kali
dikembangkan pada tahun 1997, oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH)LPPM IPB bekerja sama dengan Pusat Penelitian Oseanografi LIPI serta Asosiasi
Koral Kerang dan Ikan Hias Indonesia (AKKII) (Soedharma dan Subhan 2008).
Metode transplantasi karang lebih sering digunakan karena biaya untuk melakukan
metode ini tergolong murah. Waktu yang dibutuhkan dengan menggunakan metode
ini tergolong cepat. Hal ini disebabkan, metode transplantasi menggunakan bagian
kecil dari koloni karang. Pertumbuhan karang yang berukuran kecil dapat tumbuh
sama dengan koloni karang. Oleh karena itu, metode ini dapat dikembangkan oleh
orang umum dan digunakan untuk merehabilitasi wilayah terumbu karang (Yuliantri
2006; Soong dan Chen 2003).
Secara umum terdapat dua metode untuk
transplantasi yaitu in situ (langsung di alam) dan ex situ (di sistem terkontrol).
Transplantasi karang memiliki manfaat yang cukup banyak untuk masyarakat
dan lingkungan. Menurut Soedharma dan Arafat (2007), manfaat tersebut untuk
mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak, rehabilitasi lahan-lahan
kosong atau yang rusak, menciptakan komunitas baru, konservasi plasma nutfah,
dan untuk keperluan perdagangan. Akan tetapi, pengembangan teknik transplantasi
ini masih banyak mengalami kendala. Secara umum, terdapat dua faktor yang
menjadi kendala bagi keberhasilan pengembangan transplantasi karang, yaitu faktor
manusia dan faktor lingkungan. Faktor manusia yang dapat menghambat ialah
masih kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian terumbu
karang. Faktor lingkungan yang menjadi kendala, yaitu aspek penyakit, hama, dan
parasit karang (Soedharma dan Subhan 2008).
Penelitian tentang pertumbuhan karang yang ditransplantasi sudah dilakukan
sejak tahun 1999 oleh Sadarun di Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Penelitian tentang
pertumbuhan karang transplantasi dari tahun 1999 hingga tahun 2010 telah banyak
dilakukan (Lampiran 1). Jenis karang yang telah diteliti mulai dari karang keras
(seperti genus Acropora, Porites, dan Montipora) hingga karang lunak (seperti
Sarcophyton trocheliophorum dan Lobophytum strictum).
2.7. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Gugusan Kepulauan Seribu terbentang antara 106°20’00”-106°57’00” BT dan
5°10’00”-5°57’00” LS,
terdiri dari 105 gugusan pulau yang terbentang secara
vertikal dari teluk Jakarta ke utara. Perairan di daerah Kepulauan Seribu tergolong
dangkal dengan kedalaman maksimum 40 m. Kondisi perairan di Kepulauan Seribu
dipengaruhi musim barat, musim timur, dan musim peralihan. Musim barat terjadi
pada bulan Desember hingga Maret dan membawa udara yang bersifat basah.
Musim timur kebalikannya, yaitu membawa udara yang bersifat kering yang
berlangsung pada bulan Juli hingga Agustus. Bulan April hingga Mei dan Oktober
hingga November terjadi musim peralihan, dengan kondisi angin yang relatif lemah
namun tidak menentu (Tomascik et al. 1997). Suhu udara di Kepulauan Seribu
berkisar antara 21-32 °C. Suhu permukaan air laut berkisar antara 28,5-30,0 °C
pada musim barat, dan 28,5-31,0 °C pada musim timur (Bappekab Administratif
Kepulauan Seribu 2005 in Setyawan et al. 2011).
Pulau Kelapa merupakan satu satu pulau yang terdapat di Kepulauan Seribu.
Memiliki luas pulau sekitar 13,09 ha. Pulau ini merupakan pulau terpadat, dengan
kepadatan 354 orang/ha pada tahun 2002.
Kualitas perairan Pulau Kelapa
berdasarkan pengamatan Bapepalda DKI Jakarta dan LAPI ITB pada tahun 2001
didapatkan suhu perairan pulau kelapa sebesar 30,2 ºC, pH 7,94, dan salinitas
34,4 0/00. Pengamatan yang dilakukan Seawatch-BPPT pada bulan November dan
Desember 1998 mencatat kecepatan arus pada kisaran 0,6 cm/dtk hingga 77,3
cm/dtk, dengan rata-rata kecepatan sebesar 23,6 cm/dtk. Arah arus didominasi ke
timur atau timur laut (Noor 2003).
Download