2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Karang Terumbu karang merupakan kumpulan komunitas karang, yang hidup di dasar perairan, berupa batuan kapur (CaCO3), dan mempunyai kemampuan untuk menahan gaya gelombang laut. Terumbu karang (coral reef) merupakan suatu ekosistem, sedangkan karang (reef coral) merupakan individu organisme. Karang merupakan hewan dari Filum Cnidaria (Supriharyono 2007). Hewan dari Filum Cnidaria pada umumnya memiliki tubuh simetri radial atau bilateral. Struktur tubuh filum ini dibedakan menjadi polip yang hidup menetap dan medusa yang hidup berenang. Karang termasuk dalam Kelas Anthozoa, yang umumnya hidup sebagai polip dengan bentuk tubuh seperti tabung (Suwignyo et al. 2005). Karang memiliki tentakel yang tersusun dalam bentuk melingkar di sekitar mulutnya dan berguna untuk menangkap makanan. Jaringan tubuh karang dibagi menjadi tiga lapisan yaitu lapisan mesoglea, lapisan epidermis dan lapisan endodermis. Lapisan mesoglea merupakan lapisan pemisah yang berada di antara lapisan epidermis dan lapisan endodermis. Sel penyengat (nematosit) yang merupakan ciri dari kelompok hewan Cnidaria berada pada lapisan epidermis (Gambar 2) (Thamrin 2006; Veron 2000). Gambar 2. Anatomi polip karang Sumber: Veron 2000 Hewan karang dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan kemampuan membentuk terumbu, yaitu karang pembentuk terumbu (hermatypic) dan karang yang tidak dapat membentuk terumbu (ahermatypic). umumnya ditemukan di laut dalam. Karang ahermatypic Karang hermatypic bersimbiosis secara mutualisme dengan alga zooxanthellae sehingga, penyebaran secara vertikal dibatasi oleh faktor cahaya matahari (Thamrin 2006). Zooxanthellae merupakan alga dari kelompok dinoflagellata. Selain bersimbiosis dengan hewan karang, zooxanthellae juga bersimbiosis dengan hewan laut lainnya, seperti anemon, moluska, dan lainnya. Zooxanthellae terdapat pada lapisan endodermis hewan karang (Thamrin 2006). Hubungan antara karang dengan zooxanthellae saling menguntungkan. Melalui proses fotosintesis, zooxanthellae membantu memberikan suplai makanan dan oksigen bagi karang, serta membantu proses pembentukan kerangka kapur. Sebaliknya, karang menghasilkan sisa-sisa metabolisme berupa nutrien seperti, nitrogen dan fosfat yang digunakan oleh zooxanthellae untuk fotosintesis dan tumbuh (Gambar 3) (Castro dan Huber 2007). Gambar 3. Simbiosis antara karang dan Zooxanthellae Sumber: Castro dan Huber 2007 2.2. Reproduksi Karang Karang memiliki dua jenis kelamin, yaitu karang yang hanya menghasilkan sel telur saja (karang betina) dan karang yang hanya menghasilkan sel sperma saja (karang jantan). Karang juga memiliki sifat hermaprodit yang dibedakan menjadi hermaprodit simultan, protandri, dan protogini (Loyd dan Sakai 2008 in Suharsono 2008a). Karang berkembang biak dengan dua cara, yaitu secara seksual dan aseksual (Gambar 4). Perkembangbiakan seksual karang diawali dengan pertemuan ovarium dengan sperma. Metode pembuahan berbeda-beda pada setiap karang. Karang bersifat hermaprodit melakukan pembuhan di dalam induknya, sedangkan Karang yang lain melakukan pertumbuhan di luar dengan melepaskan sperma dan ovarium (Castro dan Huber 2007). Reproduksi karang secara aseksual umumnya dengan cara membentuk tunas yang akan menjadi individu baru pada induk, serta pembentukan tunas secara terus-menerus yang merupakan mekanisme untuk menambah ukuran koloni karang. Namun, tidak untuk menambah koloni baru (Nybakken 1988). Jalan pertunasan pada setiap karang berbeda-beda, yaitu dengan cara ekstratentakular atau intratentakular. Pertunasan ekstratentakular, merupakan pertumbuhan polip baru yang tumbuh dari setengah bagian ke bawah. Pertunasan intratentakular, merupakan pertumbuhan polip baru yang tumbuh dari penyekat yang membujur mulai dari oral disk ke arah aboral (Suwignyo et al. 2005). Gambar 4. Reproduksi seksual (kiri) dan aseksual (kanan) hewan karang Sumber: Bengen 2001 Karang Acropora memiliki reproduksi secara seksual dan bersifat simultaneous hermaphrodites, yaitu dapat memproduksi ovum dan sperma secara bersamaan. Karang yang memproduksi ovum terlebih dahulu kemudian berganti memproduksi sperma disebut sequential hermaphrodites, salah satu karang yang memiliki sifat ini ialah karang jenis Stylophora pistillata. Spawning (pemijahan) karang Acropora pada umumnya terjadi pada saat bulan purnama. Karang Acropora pada kondisi tertentu dapat bereproduksi secara aseksual, yaitu dengan fragmentasi. Umumnya fragmentasi ini ditemukan pada karang yang memiliki bentuk pertumbuhan bercabang. Karang fragmen merupakan patahan dari koloni karang, akibat adanya gelombang, badai, predasi oleh ikan, atau faktor fisik lainnya (Richmond 1997). 2.3. Klasifikasi Karang Klasifikasi hewan karang yang ditransplantasi di Pulau Kelapa sebagai berikut (Veron 2000) : Filum : Coelenterata Class : Anthozoa Subclass : Hexacorallia Order : Scleractinia Family : Acroporidae Genus : Acropora (Oken 1815) Spesies :1. A. humilis (Dana 1846) 2. A. brueggemanni (Brook 1893) 3. A. austera (Dana 1846) Famili Acroporidae terdiri atas empat genus, yaitu Montipora, Astreopora, Anacropora, dan Acropora. Famili ini biasanya ditemukan berkoloni kecuali Genus Astreopora yang memiliki koralit yang kecil dan kolumelanya tidak tumbuh (Veron 2000). Genus Acropora memiliki bentuk pertumbuhan (life form) bercabang (branching), tabulate, digitate, dan kadang-kadang berbentuk encrusting atau submassive. Koralit genus ini memiliki dua tipe, yaitu aksial dan radial, serta tidak terdapat kolumela. Dinding koralit dan koenestum menjadi poros. Pada genus ini tentakel hanya keluar pada malam hari (Veron 2000). Spesies A. humilis memiliki bentuk pertumbuhan corymbose (Gambar 5). Bentuk cabangnya menyerupai jari yang besar. Spesies ini memiliki diameter 10 hingga 25 mm dan memiliki panjang kurang dari 200 mm (Carpenter dan Niem 1998). Ukuran radial koralit ada yang besar dan kecil, koralit ukuran besar tersusun rapih membentuk sebuah garis (Suharsono 2008b). Ujung cabangnya (aksial koralit) berbentuk kubah tumpul. A. humilis biasa ditemukan pada perairan dangkal dan terbuka (Carpenter dan Niem 1998). Karang dengan bentuk pertumbuhan corymbose lebih banyak menggunakan energi yang didapat untuk tumbuh ke samping (Sadarun 1999). Gambar 5. A. humilis Sumber: Doc.PKSPL-IPB (kiri) dan Veron 2000 (kanan) Spesies A. brueggemanni memiliki bentuk pertumbuhan prostrate atau branching (Gambar 6). Percabangan A. brueggemanni tidak teratur dan agak meruncing pada ujungnya (Veron 2000). Radial koralit terlihat membulat dan tersusun rapat tidak teratur (Suharsono 2008b). Spesies ini biasa ditemukan pada perairan dangkal (Veron 2000). Gambar 6. A. brueggemanni Sumber: Doc.PKSPL-IPB (kiri) dan Veron 2000 (kanan) Spesies A. austera memiliki bentuk pertumbuhan arborecent dan percabangan yang berukuran besar (Gambar 7). Ciri-ciri karang ini memiliki percabangan yang melengkung menjauhi percabangan lain dan meruncing. Aksial koralit memiliki dinding yang tebal dan lubang berukuran kecil pada tengahnya. Radial koralit terkadang menyerupai barisan, serta memiliki ukuran yang tidak teratur. Spesies ini umumnya terdapat di perairan yang terbuka (Veron 2000). Karang branching arborescent cenderung memiliki pertambahan tinggi yang besar disebabkan, pertumbuhan koloninya yang mengarah ke atas (Sadarun 1999). Gambar 7. A. austera Sumber: Doc.PKSPL-IPB (kiri) dan Veron 2000 (kanan) 2.4. Faktor Pembatas Karang Acropora 2.4.1. Cahaya Karang umumnya hidup di perairan dangkal, dengan penetrasi cahaya matahari yang masuk hingga ke dasar perairan. Intensitas cahaya merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kehidupan karang. Hal ini berkaitan dengan proses fotosintesis yang dilakukan oleh zooxanthellae. Hasil proses fotosintesis tersebut dimanfaatkan sebagai salah satu sumber makanan bagi karang (Supriharyono 2007). Oleh karena itu, distribusi vertikal terumbu karang dibatasi oleh kedalaman efektif sinar matahari yang masuk ke perairan (Nybakken 1988). Kedalaman berhubungan erat dengan intensitas cahaya. Semakin dalam perairan, semakin berkurang intensitas cahaya yang masuk. Umumnya karang dapat tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 m (Kinsman 1964 in Supriharyono 2007). 2.4.2. Suhu Suhu merupakan salah satu faktor pembatas kehidupan karang. Umumnya karang membutuhkan suhu perairan yang hangat, yaitu antara 25-32 °C. Suhu di atas 33 °C dapat menyebabkan karang mengalami pemutihan (bleaching). Pemutihan karang yaitu keluarnya alga zooxanthellae dari polip karang yang dapat mengakibatkan kematian (Tomascik et al.1997). Menurut Well (1954) in Supriharyono (2007) suhu yang baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25-29 °C. karang masih dapat ditemukan dengan batas suhu minimun dan maksimum berkisar antara 16-17 °C dan sekitar 36 °C (Kinsman 1964 in Supriharyono 2007). Suhu dapat mempengaruhi kecepatan metabolisme, reproduksi, perombakan bentuk luar dari karang, dan sebaran karang (Kurniawan 2011). Selain itu, Suhu dapat mempengaruhi tingkah laku makan bagi karang. Karang umumnya kehilangan kemampuan untuk menangkap mangsa pada suhu di atas 33,5 °C dan di bawah 16 °C (Mayor 1915 in Supriharyono 2007). Namun Acropora dapat bertahan pada suhu musiman 16-40 °C dan suhu harian paling rendah 10 °C di Pantai Trucial (Kinsman 1964 in Supriharyono 2007). Kematian karang tidak diakibatkan oleh suhu yang ekstrim, namun akibat perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami (ambient level) (Supriharyono 2007). Coles dan Jokiel (1978) dan Neudecker (1981) in Supriharyono (2007) menyatakan bahwa perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6 °C di bawah dan di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan bahkan hingga menyebabkan kematian karang. 2.4.3. Salinitas Salinitas ialah berat garam dalam gram per kilogram air laut (Hardjojo dan Djokosetiayanto 2005 in Harmita 2008). Salinitas air laut di daerah tropis berkisar antara 35 ‰. Karang dapat hidup subur pada kisaran salinitas antara 34-36 ‰ (Kinsman 1964 in Supriharyono 2007). Menurut Buddemeier dan Kinzie (1976) karang tidak dapat bertahan di perairan yang memiliki salinitas di bawah 25 ‰ atau di atas 40 ‰. Acropora dapat bertahan selama beberapa jam pada salinitas 40 ‰ di West Indies (Kinsman 1964 in Supriharyono 2007). 2.4.4. Nutrien (amonia, nitrat, ortofosfat) Alga zooxanthellae membutuhkan nutrien untuk melakukan proses fotosintesis. Selain hidrogen, karbon, dan oksigen terdapat elemen esensial lain yang dibutuhkan fitoplankton untuk berfotosintesis dan tumbuh, yaitu nitrogen dan fosfor. Nitrogen di laut tersedia dalam berbagai jenis bentuk garam organik seperti nitrat, nitrit, amonia, dan berbagai jenis senyawa nitrogen seperti asam amino dan urea, atau sebagai nitrogen molekuler. Alga umumnya lebih menggunakan amonia, nitrat, dan nitrit (Tomascik et al. 1997). Amonia bersifat mudah larut dalam air. Amonia yang terukur dalam air merupakan amonia total (NH3 dan NH4+). Kadar amonia dalam air biasanya kurang dari 0,1 mg/liter (McNeely et al. 1979 in Effendi 2003). Apabila kadar amonia dalam perairan tinggi, dapat diindikasikan bahwa terdapat pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah industri, domestik, dan limpasan pupuk pertanian (Effendi 2003). Nitrat (NO3) merupakan bentuk utama dari nitrogen di perairan dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Nitrat tidak bersifat toksik bagi organisme akuatik. Kadar nitrat pada perairan alami tidak lebih dari 0,1 mg/liter. Kadar nitrat yang lebih dari 0,2 mg/liter dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan. Kadar nitrat yang tinggi di perairan dapat menyebabkan pertumbuhan alga dan tumbuhan air meningkat secara pesat (blooming). Kadar nitrat yang mencapai nilai lebih dari 5 mg/liter, dapat diindikasikan bahwa perairan tersebut mengalami pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan (Effendi 2003). Unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen di perairan, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat. Kadar fosfat yang berlebih dan nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan alga. Ortofosfat merupakan bentuk fosfat yang dapat digunakan oleh tumbuhan akuatik secara langsung (Effendi 2003). Kandungan nutrien yang tinggi dalam perairan dapat mengakibatkan pertumbuhan karang menjadi lebih lambat (Wallece 1985 in Bikerland 1988). Di daerah yang kaya akan nutrien, fitoplankton akan bertambah dan menghalangi cahaya yang masuk ke perairan. Persaingan tempat juga akan terjadi dengan bertambahnya keanekaragaman hewan bentik lainnya (Bikerland 1988). 2.4.5. Kekeruhan dan sedimentasi Sedimentasi memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak langsung bagi pertumbuhan karang. Menurut Hubbart dan Pocock (1972) in Supriharyono (2007), pengaruh langsung bagi pertumbuhan karang terjadi apabila sedimentasi yang masuk ke perairan, merupakan sedimentasi yang berukuran besar sehingga dapat menutupi polyp karang. Pengaruh tidak langsungnya ialah sedimentasi yang masuk ke perairan dapat menyebabkan kekeruhan yang berdampak pada penurunan sinar matahari, sehingga dapat menurunkan laju pertumbuhan karang (Pastorok dan Bilyard 1985 in Supriharyono 2007). Selain itu, sedimentasi dan beberapa faktor lainnya seperti, suhu dan salinitas juga dapat mempengaruhi keanekaragaman dan kelimpahan karang (Lirman et al. 2003 in Crabbe dan Smith 2005). Sedimentasi yang tinggi dapat menyebabkan karang bekerja keras untuk membersihkan sedimen yang menutupi polip karang. Hal tersebut menyebabkan ernergi yang didapatkan oleh karang, lebih dimanfaatkan untuk membersihkan diri dari sedimen. Sedimentasi dapat menyebabkan kematian pada karang, hal ini terjadi apabila laju sedimentasi lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan karang untuk membersihkan diri. Dengan demikian, karang dapat tumbuh secara optimal pada tempat yang jernih dan penetrasi cahaya yang cukup (Suharsono 2008a). 2.4.6. Arus Arus merupakan salah satu faktor pendukung pertumbuhan karang. Arus dibutuhkan untuk membawa makanan, serta dapat membersihkan karang dari endapan-endapan. Oleh karena itu, pertumbuhan karang pada daerah yang berarus cenderung lebih baik bila dibandingkan dengan pertumbuhan karang pada daerah yang tenang (Nontji 1987 in Suhendra 2002). Arus juga dapat memberikan pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang. Terdapat kecenderungan bahwa semakin besar tekanan hidrodinamis seperti arus dan gelombang, bentuk karang akan lebih mengarah ke bentuk pertumbuhan encrusting (Supriharyono 2007). 2.5. Kerusakan Karang Kerusakan karang dapat mempengaruhi keberadaan biota akuatik yang berasosiasi dengan terumbu karang. Terumbu karang merupakan tempat nursery, feeding dan spawning bagi biota akuatik. Kerusakan terumbu karang diakibatkan oleh tiga faktor, yaitu faktor manusia, faktor biologi, dan faktor fisik. Wilkinson (2000) in Fabricius dan Alderslade (2001) menyatakan kondisi terumbu karang di dunia mengalami penurunan akibat aktivitas manusia. Tiga faktor utama penyebab kerusakan ialah penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, pemanasan global, dan terrestrial run-off (Fabricius dan Alderslade 2001). Selain akibat aktivitas manusia, kerusakan karang juga dapat disebabkan oleh faktor biologi, seperti predasi dan persaingan. Persaingan yang terjadi pada ekosistem terumbu karang disebabkan faktor relung. Persaingan tersebut terjadi di antara karang, karang yang pertumbuhannya lebih cepat dapat menutupi cahaya bagi karang yang pertumbuhannya lambat. Karang jenis percabangan umumnya lebih cepat tumbuh bila dibandingkan dengan karang berbentuk hamparan. Selain bersaing dengan sesama karang, persaingan untuk mendapatkan tempat juga terjadi antara karang dengan alga dan invertebrata sessile. Alga biasanya ditemukan pada tempat yang kondisi terumbu karangnya tidak baik, seperti akibat adanya sedimentasi, gelombang, dan predasi. Predasi karang dapat berdampak pada jumlah dan jenis karang yang dapat hidup (Nybakken 1988; Castro dan Huber 2007). Predator yang memangsa karang diantaranya moluska gastropoda (Famili Architectonidae, Epitoniidae, Ovulidae, Muricidae dan Coralliophilidae), cacing policaeta amfinomid (Hermodice), teritip tertentu (Pyrgoma), dan beberapa kepiting (Mithraculus, Trapezia, Tetralia). Namun, predator-predator tersebut tidak memberikan dampak yang besar terhadap koloni karang. Predator yang memiliki pengaruh yang besar pada koloni karang ialah ikan pemakan koloni karang (Famili Tetraodontidae, Monacanthidae, Balistidae, dan Chaetodantidae) dan Acanthaster planci. Pemulihan karang dapat berlangsung selama 10 hingga 15 tahun akibat ledakan populasi Acanthaster planci (Nybakken 1988; Castro dan Huber 2007). Faktor fisik yang dapat mempengaruhi ekosistem terumbu karang diantaranya adalah kenaikan suhu perairan, badai, dan topan. Peningkatan suhu permukaan laut atau El-Nino juga mengancam terumbu karang. Peristiwa El-Nino yang terjadi di Barat Pasifik dan Laut Hindia pada bulan Desember 1982 hingga Februari 1983. Memberikan dampak yang besar bagi terumbu karang. Banyak ditemui karang bleaching dan diikuti dengan kematian karang (Brown 1987 in Supriharyono 2007). Terumbu karang yang mengalami kerusakan akibat badai dan topan dapat pulih dalam waktu 25-30 tahun (Nybakken 1988). 2.6. Transplantasi Karang Transplantasi karang ialah suatu teknik penanaman dan pertumbuhan koloni karang baru dengan metode fragmentasi, dimana benih karang diambil dari suatu induk koloni tertentu (Harriot dan Fisk 1988). Teknik transplantasi pertama kali dikembangkan pada tahun 1997, oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH)LPPM IPB bekerja sama dengan Pusat Penelitian Oseanografi LIPI serta Asosiasi Koral Kerang dan Ikan Hias Indonesia (AKKII) (Soedharma dan Subhan 2008). Metode transplantasi karang lebih sering digunakan karena biaya untuk melakukan metode ini tergolong murah. Waktu yang dibutuhkan dengan menggunakan metode ini tergolong cepat. Hal ini disebabkan, metode transplantasi menggunakan bagian kecil dari koloni karang. Pertumbuhan karang yang berukuran kecil dapat tumbuh sama dengan koloni karang. Oleh karena itu, metode ini dapat dikembangkan oleh orang umum dan digunakan untuk merehabilitasi wilayah terumbu karang (Yuliantri 2006; Soong dan Chen 2003). Secara umum terdapat dua metode untuk transplantasi yaitu in situ (langsung di alam) dan ex situ (di sistem terkontrol). Transplantasi karang memiliki manfaat yang cukup banyak untuk masyarakat dan lingkungan. Menurut Soedharma dan Arafat (2007), manfaat tersebut untuk mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak, rehabilitasi lahan-lahan kosong atau yang rusak, menciptakan komunitas baru, konservasi plasma nutfah, dan untuk keperluan perdagangan. Akan tetapi, pengembangan teknik transplantasi ini masih banyak mengalami kendala. Secara umum, terdapat dua faktor yang menjadi kendala bagi keberhasilan pengembangan transplantasi karang, yaitu faktor manusia dan faktor lingkungan. Faktor manusia yang dapat menghambat ialah masih kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian terumbu karang. Faktor lingkungan yang menjadi kendala, yaitu aspek penyakit, hama, dan parasit karang (Soedharma dan Subhan 2008). Penelitian tentang pertumbuhan karang yang ditransplantasi sudah dilakukan sejak tahun 1999 oleh Sadarun di Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Penelitian tentang pertumbuhan karang transplantasi dari tahun 1999 hingga tahun 2010 telah banyak dilakukan (Lampiran 1). Jenis karang yang telah diteliti mulai dari karang keras (seperti genus Acropora, Porites, dan Montipora) hingga karang lunak (seperti Sarcophyton trocheliophorum dan Lobophytum strictum). 2.7. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Gugusan Kepulauan Seribu terbentang antara 106°20’00”-106°57’00” BT dan 5°10’00”-5°57’00” LS, terdiri dari 105 gugusan pulau yang terbentang secara vertikal dari teluk Jakarta ke utara. Perairan di daerah Kepulauan Seribu tergolong dangkal dengan kedalaman maksimum 40 m. Kondisi perairan di Kepulauan Seribu dipengaruhi musim barat, musim timur, dan musim peralihan. Musim barat terjadi pada bulan Desember hingga Maret dan membawa udara yang bersifat basah. Musim timur kebalikannya, yaitu membawa udara yang bersifat kering yang berlangsung pada bulan Juli hingga Agustus. Bulan April hingga Mei dan Oktober hingga November terjadi musim peralihan, dengan kondisi angin yang relatif lemah namun tidak menentu (Tomascik et al. 1997). Suhu udara di Kepulauan Seribu berkisar antara 21-32 °C. Suhu permukaan air laut berkisar antara 28,5-30,0 °C pada musim barat, dan 28,5-31,0 °C pada musim timur (Bappekab Administratif Kepulauan Seribu 2005 in Setyawan et al. 2011). Pulau Kelapa merupakan satu satu pulau yang terdapat di Kepulauan Seribu. Memiliki luas pulau sekitar 13,09 ha. Pulau ini merupakan pulau terpadat, dengan kepadatan 354 orang/ha pada tahun 2002. Kualitas perairan Pulau Kelapa berdasarkan pengamatan Bapepalda DKI Jakarta dan LAPI ITB pada tahun 2001 didapatkan suhu perairan pulau kelapa sebesar 30,2 ºC, pH 7,94, dan salinitas 34,4 0/00. Pengamatan yang dilakukan Seawatch-BPPT pada bulan November dan Desember 1998 mencatat kecepatan arus pada kisaran 0,6 cm/dtk hingga 77,3 cm/dtk, dengan rata-rata kecepatan sebesar 23,6 cm/dtk. Arah arus didominasi ke timur atau timur laut (Noor 2003).