Simpulan Karakter morfologi kerang darah Bojonegara berbeda dengan kerang darah Panimbang dan Kuala Tungkal, hal ini erat kaitannya dengan kondisi lingkungan lokal yang menjadi habitat kerang darah. Keragaman morfologi kerang darah di perairan-perairan tersebut didorong oleh plastisitas fenotip sebagai strategi adaptasi. Karakter morfologi yang menjadi penciri kerang darah dari perairan asalnya adalah panjang, tinggi, tebal cangkang, bobot total, dan bobot tubuh lunak. Tebal cangkang dapat dijadikan sebagai salah satu indikator pertahanan diri dalam menghadapi tantangan lingkungan. 6 PEMBAHASAN UMUM Kondisi lingkungan perairan di Teluk Banten, Bojonegara dan Teluk Lada, Panimbang pada umumnya masih layak untuk menopang kehidupan kerang darah Anadara granosa, kecuali logam berat terutama merkuri yang kandungannya telah melewati batas ambang (threshold). Kerang darah yang dapat hidup di perairan tersebut diduga merupakan individu-individu yang tahan (resisten) terhadap kontaminasi bahan pencemar seperti logam berat. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan penyesuaian diri yang baik, ditandai oleh beberapa parameter biologi yang memperkuat keberadaan hewan ini di lingkungan yang berubah. Kerang darah di perairan Bojonegara masih dapat bereproduksi, dibuktikan dengan keberadaan individu-individu dewasa yang telah matang gonad (Wahyuningtias 2010) dan larva Anadara sp. (Agususilo 2010). Ukuran kerang darah yang tertangkap dari perairan Bojonegara dan Panimbang beragam, yang menunjukkan keberlangsungan proses peremajaan (recruitment) di kedua perairan tersebut masih tergolong baik. Amalia (2010) melaporkan bahwa jumlah stok induk kerang darah di Bojonegara berkorelasi positif dengan jumlah juvenil. Sedangkan di Panimbang jumlah juvenil lebih banyak dibandingkan dengan stok induk. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak semua juvenil dapat memasuki fase dewasa, yang menjadi faktor penyebabnya diduga tingkat kematian yang tinggi pada fase juvenile baik kematian alami maupun kematian karena penangkapan. Seperti yang dilaporkan oleh Lubayasari (2010), kematian yang disebabkan oleh faktor alami pada kerang darah Panimbang (46%) lebih tinggi dibandingkan dengan kerang darah Bojonegara (27%). Kontaminasi bahan pencemar seperti merkuri di perairan dapat menyebabkan stres bagi organisme, sehingga menimbulkan perubahan biologis. Stres yang diinduksi oleh lingkungan pertama kali akan direspon oleh sinyal hormonal yang selanjutnya disampaikan ke reseptor di permukaan sel. Informasi yang disampaikan tersebut akan diteruskan melalui jalur transduksi sinyal (Signaling Transduction Pathway) ke respon seluler (Wang et al. 2004). Cellular stress response (CSR) sebagai famili gen merupakan faktor kunci dalam menentukan derajat kemampuan organisme dalam merespon tekanan lingkungan agar organisme dapat beradaptasi dalam kondisi lingkungan yang demikian (Evans & Hofmann 2012). Salah satu gen yang termasuk ke dalam famili gen CSR yang diaktivasi dalam kondisi stres diantaranya adalah gen Hsp70 yang melalui ekspresinya menghasilkan produk berupa protein (Lindquist 1986; Evans & Hofmann 2012). Gen Hsp70 sebagai molecular chaperone berperan dalam melindungi jaringan dan sel dengan memperbaiki struktur protein yang ada di dalam sel kembali menjadi bentuk asal (native protein). Sesuai dengan pendapat Morimoto (1998) bahwa, ekspresi berlebih (overexpression) gen Hsp mampu melindungi sel dan jaringan terhadap pemaparan lethal pada berbagai tekanan lingkungan. Sel dan jaringan tidak dapat terlindungi dari gangguan eksternal, jika gen Hsp tidak terekspresi. Dengan terlindunginya jaringan dan sel, maka organ yang lebih kompleks juga akan terlindungi dari tekanan lingkungan. Dan sebaliknya, organ yang kompleks tidak dapat dilindungi dari ancaman gangguan eksternal jika jaringan dan sel tidak berhasil dilindungi. Dengan demikian, penjagaan sel dan jaringan (cytoprotection) oleh terekspresinya gen Hsp70, menyebabkan meningkatnya pertahanan hidup kerang darah terhadap tekanan lingkungan. Sebagai konsekuensinya, gen yang resisten dan mampu mengekspresikan karakter fenotip tertentu, memfasilitasi adaptasi terhadap kondisi lingkungan yang demikian. Di dalam membahas strategi adaptasi kerang darah secara umum di perairan Bojonegara dan Panimbang, alur pemikirannya disajikan seperti yang dapat dilihat pada Gambar 24. Keragaman level ekspresi gen Hsp70 difasilitasi oleh habituasi organisme terhadap kondisi lingkungan. Kerang darah yang sudah lama terpapar sehingga terbiasa hidup di lingkungan yang kurang ideal, maka gen Hsp70nya sebagai gen yang responsif terhadap tekanan lingkungan akan terekspresi berlebih. Sedangkan kerang darah yang belum terbiasa dengan kondisi lingkungan tersebut, ekspresi gen Hsp70 masih rendah. Penyesuaian terhadap kondisi lingkungan memerlukan waktu yang lama dan dilakukan secara bertahap melalui beberapa fase. Ketika pertama kali menghadapi perubahan lingkungan, kerang darah akan mengekspresikan gen Hsp70 sebagai bentuk perlindungan diri dan beberapa sifat fisiologis seperti mekanisme respirasi juga akan berubah. Ekspresi gen Hsp70 menjadi salah satu faktor penentu dalam perkembangan fenotip. Fase yang pertama ini hanya terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari saja, fase ini dinamakan fase aklimatisasi. Kerang darah yang memiliki daya tahan tinggi dan telah melalui fase aklimatisasi, maka akan dapat mencapai fase selanjutnya yaitu fase penyesuaian (adjustment). Ekspresi gen dan perubahan fisiologis masih berlangsung pada fase ini, selain itu juga terjadi seleksi pada genotip terpilih yang tahan terhadap stres yang berlanjut. Seleksi menyebabkan peningkatan frekuensi genotip tertentu yang dapat menyesuaikan dengan kondisi lingkungan yang baru berubah, frekuensi genotip lain yang tidak sesuai akan menurun bahkan menghilang. Sehingga dengan adanya seleksi genotip, maka akan mendorong terjadinya proses kanalisasi (canalized character) pada fase adaptif dan mengarahkan keheterogenan genotip menuju ke arah kehomogenan. Keberhasilan kanalisasi karakter genotip yang adaptif dalam rangka penyesuaian terhadap kondisi lingkungan, akan diikuti oleh perubahan pada karakter fenotip. Sesuai dengan pendapat Sultan (1987) bahwa penyesuaian fenotip terhadap lingkungan didorong oleh adanya seleksi alam yang terjadi pada genotip. Karakter genotip dan morfologi pada fase ini belum bersifat menetap karena masih ada peluang bagi generasi berikutnya untuk mengalami perbedaan karakter dari karakter induk. Untuk memperoleh karakter akis (acquired character) yang menetap diperlukan periode waktu yang lebih lama, yang dapat dicapai pada fase adaptasi dimana ekosistem sudah stabil dan individu-individu telah terbiasa dengan kondisi lokal. Pada fase adaptasi ini, bentuk morfologi telah stabil dan genotip bersifat homogen. Proses adaptasi ini memerlukan waktu yang lama dan melibatkan belasan hingga puluhan generasi dan biasanya bersifat genetis. Menurut Waddington (1953), Drosophila membutuhkan 17 generasi untuk mencapai kestabilan genotip dan morfologi, sehingga beradaptasi (adapted). Model adaptasi demikian dapat diaplikasikan pada kerang darah di Bojonegara dan Panimbang. Resistensi terhadap tekanan lingkungan yang diinduksi oleh merkuri pada kerang darah Bojonegara lebih tinggi dibandingkan dengan kerang darah Panimbang. Habituasi terhadap kondisi lingkungan yang telah lama terkontaminasi bahan pencemar sehingga teraktivasinya gen Hsp70, menyebabkan kerang darah dapat mengatasi stres yang berada di atas batas ambang (threshold). Kerang darah Bojonegara telah lama beradaptasi dengan lingkungan yang terkontaminasi berbagai macam faktor abiotik, sehingga ketika dilakukan aklimatisasi di laboratorium dengan cara menginduksinya dengan logam berat merkuri berkonsentrasi tinggi, hewan tersebut masih dapat mempertahankan diri dengan cara mengekspresikan gen Hsp70. Plastisitas gen Hsp70 yang dikembangkan oleh kerang darah Bojonegara ini membantu melindungi jaringan dan sel ketika hewan tersebut menghadapi tantangan lingkungan, hal ini dibuktikan dengan derajat kerusakan struktur histologis insang yang rendah dibandingkan dengan kerang darah Panimbang. Sebagai konsekuensi dari perlindungan jaringan dan sel, maka selanjutnya organ yang lebih kompleks juga akan terlindungi dan ketahanan hidup menjadi meningkat. Pada kerang darah Panimbang, gen Hsp70 tidak mampu mencegah terjadinya kerusakan struktur histologis insang ketika diberi perlakuan merkuri lebih tinggi dari 1 ppm. Hewan tersebut belum terbiasa dengan kondisi stres seperti ini karena periode waktu pemaparan di alam terhadap perubahan lingkungan masih relatif baru. Perairan Teluk Lada, Panimbang mengalami kontaminasi yang signifikan setelah beroperasinya PLTU berbahan bakar batubara pada tahun 2009 yang mengeluarkan limbah merkuri. Kerang darah di perairan Teluk Lada, Panimbang masih membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan lingkungan yang baru berubah. Fase Bivalvia Faktor eksternal Aklimatisasi Kondisi ekosistem Fase adaptif Adaptasi (adapted) Biokimia: sintesis nukleotida & protein, dll Morfologi: perubahan bentuk tubuh Morfologi: stabilisasi Seleksi Biokimia: sintesis nukleotida & protein, dll Faktor yang dipengaruhi Fase penyesuaian (adjustment) Fisiologi: respirasi, osmosis, dll Fisiologi: respirasi, osmosis, dll Genetik: seleksi genotip terpilih Generasi G0 G4-8 Gambar 24. Model adaptasi bivalvia pada lingkungan yang baru. Fisiologi: respirasi, osmosis, dll Genetik: kanalisasi genotip terpilih G9-17 Genetik: homogenase genotip yang adaptif G>17 Penjagaan jaringan dan sel (cytoprotection) yang difasilitasi oleh ekspresi gen Hsp70 yang plastis mendorong keberhasilan adaptasi kerang darah pada lingkungan yang fluktuatif. Kerang darah yang berhasil beradaptasi adalah kerang darah yang memiliki struktur jaringan dan sel yang baik, sehingga terbentuk karakter morfologi terpilih yang sesuai memenuhi prasyarat adaptasi dan bersifat akis (acquired character). Perolehan karakter akis tersebut merupakan hasil dari proses habituasi dan seleksi dalam jangka waktu yang lama dan telah melewati beberapa generasi. Seleksi genotip dan morfologi terpilih menjamin ketahanan dan kelestarian hidup sehingga kerang darah di perairan Bojonegara dapat bereproduksi, walaupun kondisi lingkungan tidak maksimal. Kerang darah telah beradaptasi (adapted) dengan kondisi perairan Bojonegara dan telah mengembangkan karakter akisnya kurang lebih 17 generasi, dengan pertimbangan bahwa perubahan kondisi di ekosistem tersebut telah melebihi 17 generasi kerang darah. Perhitungan generasi ini disesuaikan dengan yang dilaporkan oleh Broom (1985) bahwa umur kerang darah mencapai tingkat stadia dewasa adalah antara enam bulan sampai satu tahun dengan panjang cangkang mencapai 1.8 – 2 cm. Adaptasi biasanya menguntungkan karakter morfologi tertentu melalui proses seleksi. Perubahan lingkungan mendorong proses seleksi untuk merubah karakter morfologi ke satu arah atau arah lain yang pada awalnya merupakan karakter fenotip yang menyimpang dari rata-rata untuk karakter tersebut. Vermeij (1993) berpendapat bahwa karakter morfologi seperti cangkang yang tebal diperlukan bagi bivalvia yang hidup sebagai hewan sesil di lingkungan yang fluktuatif, agar dapat melindungi organ-organ pentingnya yang terletak di dalam mantelnya yang lunak. Perlindungan diri terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan, mendorong kerang darah untuk mengembangkan karakter morfologi tertentu seperti cangkang yang tebal agar dapat mempertahankan kelestariannya. Karakter cangkang yang demikian menjadi penciri kerang darah. Dibandingkan dengan kerang darah Panimbang maupun Kuala Tungkal sebagai kontrol, cangkang kerang darah Bojonegara lebih tebal. Dengan demikian, ketebalan cangkang dan karakter morfologi lainnya seperti panjang cangkang, lebar cangkang, bobot tubuh, dan bobot total dapat dijadikan bioindikator pada perairan tercemar. Ukuran morfologi menjadi kriteria pencemaran di suatu perairan (Tabel 11). Tabel 11. Kriteria pencemaran berdasarkan ukuran morfologi Morfologi Tebal Panjang Lebar Bobot tubuh Bobot total Tinggi >2 >3 >2 >2.2 >10 Kriteria Pencemaran Sedang Rendah 1.5-2 <1.5 2.5-3 <2.5 1.9-2 <1.9 1.7-2.2 <1.7 5.3-10 <5.3