PDF (Bab I)

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes mellitus merupakan salah satu masalah kesehatan yang
berdampak pada produktivitas dan dapat menurunkan sumber daya manusia.
Penyakit ini tidak hanya berpengaruh secara individu, tetapi sistem kesehatan
suatu Negara (Rismayanthi, 2010). Menurut WHO, Indonesia akan mengalami
peningkatan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta
pada tahun 2030 (PERKENI, 2006). Indonesia dengan jumlah penduduk yang
melebihi 200 juta jiwa, sejak awal abad ini telah menjadi negara dengan jumlah
penderita DM nomor 4 terbanyak didunia. Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2)
merupakan penyakit progresif dengan karakteristik penurunan fungsi sel beta
pankreas. Seiring meningkatnya angka kejadian DMT2, terutama pada orang
berusia relatif muda dan kemungkinan usia hidup masih panjang, maka semakin
banyak pasien DMT2 dengan defisiensi insulin.
Menurut kriteria Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI,
2006), apabila gula darah pada saat puasa diatas 126mg/dl dan 2 jam sesudah
makan diatas 200mg/dl, diagnosis diabetes bisa dipastikan. Diagnosis klinis DM
ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Jika terdapat
gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dl
diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan Glukosa Darah Puasa
(GDP) ≥ 126 mg/dl juga dapat digunakan untuk pedoman diagnosis DM. Untuk
pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali
saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan investigasi
lebih lanjut yaitu GDP ≥ 126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain atau
hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dl.
Pada diabetes mellitus tipe I, diperlukan pemberian insulin eksogen untuk
memperbaiki katabolisme, mencegah ketosis dan menurunkan peningkatan kadar
glukosa darah. Selain DM tipe I, insulin kadang digunakan oleh pasien DM tipe II
1
2
dan ibu hamil yang disertai Diabetes Mellitus, namun untuk waktu yang singkat
(Rismayanthi, 2010).
Keuntungan yang mendasar dari penggunaan insulin dibandingkan obat
antidiabetik oral dalam pengobatan diabetes mellitus adalah insulin lebih nyaman,
praktis, efektif digunakan serta insulin terdapat di dalam tubuh secara alamiah.
Kesalahan terapi insulin cukup sering ditemukan dan menjadi masalah klinis yang
penting. Bahkan terapi insulin termasuk dalam lima besar “pengobatan berisiko
tinggi (high-risk medication)” bagi pasien di rumah sakit (PERKENI, 2006).
Menurut Soegondo (2006), langkah pertama dalam mengelola DM selalu
dimulai dengan pendekatan non-farmakologis, yaitu berupa edukasi, perencanaan
diet, kegiatan jasmani serta penurunan berat badan apabila pasien DM
memilikiberat badan yang berlebih kemudian diikuti pendekatan farmakologis
atau pemakaian obat insulin.
Salah satu faktor kegagalan terapi insulin pada pasien DM adalah
ketidaktepatan teknik penggunaan pen insulin yang disebabkan oleh kurangnya
edukasi dan komunikasi dari para tenaga kesehatan tentang teknik penggunaan
pen insulin secara tepat khususnya di rumah sakit. Sebagian besar kesalahan
tersebut terkait dengan keterbatasan dalam hal keterampilan (skill-based), cara
atau protokol (rule-based), dan pengetahuan (knowledge-based) dalam hal
penggunaan insulin (PERKENI, 2006).
Menurut American Diabetes Association (2009) tenaga kesehatan (dokter,
perawat, apoteker) bertugas sebagai pendamping pasien dalam memberikan
edukasi yang lengkap dalam upaya untuk peningkatan motivasi dan perubahan
perilaku. Pendidikan kesehatan kepada pasien diabetes mellitus merupakan
komponen yang penting, pasien memiliki peran yang penting dalam manajemen
diri selain didukung oleh tim kesehatan, keluarga, maupun orang-orang di
sekitarnya.
Penelitian Kristantoro (2014) menunjukkan bahwa penggunaan pen insulin
pada penderita diabetes mellitus di RSUD Dr. Raden Soedjati Purwodadi
menunjukkan adanya hubungan antara responden dengan para tenaga kesehatan
3
terkait evaluasi ketepatan teknik penggunaan insulin menggunakan pen insulin,
dari 31 responden, 13 responden (41,9%) di antaranya telah paham dan tepat
dalam teknik penggunaan pen insulin, dan sebesar 18 responden (58,1%) tidak
tepat dalam teknik penggunaan pen insulin. Hal ini disebabkan karena kurangnya
edukasi, konseling serta evaluasi tentang ketepatan teknik penggunaan pen insulin
secara tepat pada pasien oleh tenaga kesehatan (Kristantoro, 2014).
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan terapi pada pasien
DM sehingga menyebabkan tidak terkontrolnya gula darah pasien, diantaranya :
faktor obat, pasien mengalami stress, kurang latihan jasmani, tidak melakukan
diet, dan ketidakpatuhan pasien, serta kesalahpahaman dalam menggunakan pen
insulin (PERKENI, 2006).
Ketidakpatuhan
(non-compliance)
dan
ketidaksepahaman
(non-
corcodance) pasien dalam menjalankan terapi merupakan salah satu penyebab
kegagalan terapi. Hal ini sering disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan
pemahaman pasien tentang obat dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
penggunaan obat untuk terapinya seperti ketepatan teknik penggunaan,
pengaturan dosis, cara penyimpanan dan hal-hal lain yang menyangkut tentang
obat oleh pasien dalam menjalankan terapinya. Akibat dari ketidakpatuhan dan
ketidaktahuan pasien terhadap terapi/penggunaan obat yang diberikan antara lain
adalah kegagalan terapi dan yang lebih berbahaya adalah terjadinya toksisitas. Hal
tersebut akibat dari kurangnya informasi dan komunikasi antara tenaga kesehatan
dengan pasien (Depkes, 2007).
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan kota Surakarta tahun 2009
diketahui jumlah penderita DM tipe 2 di RSUD Dr. Moewardi Surakarta
mencapai 12,5 ribu pasien (Dinkes Surakarta, 2009).
Berdasarkan hasil survei pendahuluan yang dilakukan di RSUD
Dr.Moewardi diketahui bahwa jumlah penderita DM pada pasien yang menjalani
rawat jalan mengalami peningkatan. Pada bulan Desember tahun 2010 jumlah
penderita DM tercatat sebanyak 984 pasien, sedangkan pada tahun 2011 jumlah
pasien DM meningkat menjadi 1,4 ribu pasien. Selain itu penyakit DM
merupakan peringkat pertama dalam 10 besar penyakit penyebab kematian di
4
RSUD Dr. Moewardi yaitu sebanyak 22 pasien yang meninggal karena penyakit
DM dalam satu tahun (Profil RSUD Dr. Moewardi, 2011).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat disimpulkan perlunya
dilakukan penelitian tentang evaluasi ketepatan teknik penggunaan pen insulin
oleh tenaga kesehatan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Moewardi dipilih sebagai tempat penelitian karena merupakan rumah
sakit pendidikan yang menyediakan sarana sebagai tempat belajar demi
peningkatan kualitas pelayanan rumah sakit, sekaligus menjadi rumah sakit
rujukan terpercaya terutama masyarakat kota Surakarta dengan pemberian
pelayanan cepat, tepat, nyaman, dan mudah diakses.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas maka dapat dirumuskan
suatu permasalahan yaitu “Bagaimana ketepatan teknik penggunaan pen insulin
oleh tenaga kesehatan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta?”.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengevaluasi ketepatan teknik
penggunaan pen insulin oleh tenaga kesehatan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
D. Tinjauan Pustaka
1. Diabetes Mellitus
a. Definisi
Diabetes Mellitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang
ditandai oleh kenaikan kadar glukosa darah atau hiperglikemia, lemak, dan protein
yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas
insulin, atau keduanya dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskuler,
makrovaskuler, dan neuropati. Kriteria dari diagnosis diabetes mellitus adalah
kadar glukosa puasa > 126mg/dL atau pada 2 jam setelah makan > 200mg/dL atau
HbA1c > 8%. Jika kadar glukosa 2 jam setelah makan > 140 mg/dL tetapi lebih
kecil dari 200 mg/dL dinyatakan glukosa toleransi lemah (PERKENI, 2006).
5
Diabetes Mellitus merupakan penyakit degeneratif, peningkatan kadar gula
darah dan kelebihannya akan dikeluarkan melalui ginjal dan selanjutnya melalui
urine. Pada keadaan normal saat makan, pankreas mengeluarkan insulin yang
membawa glukosa masuk kedalam sel-sel untuk di ubah menjadi energi tenaga.
Jika insulin bekerja dengan baik, glukosa akan masuk ke dalam sel dan kadar gula
dalam darah akan turun ke batas normal (American Diabetes Association, 2004).
b. Klasifikasi Diabetes Mellitus
Klasifikasi diabetes mellitus berdasarkan etiologinya menurut PERKENI
(2006) ada 4 yaitu:
1) Diabetes mellitus tipe 1 juga disebut IDDM (Insulin Dependent Diabetes
Mellitus) (Tjay dan Rahardja, 2007). Terjadi karena destruksi sel beta,
umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut. Diabetes mellitus tipe ini
disebabkan oleh autoimun & idiopatik (PERKENI, 2006).
2) Diabetes mellitus Tipe 2
juga disebut NIDDM (Non-Insulin Dependent
Diabetes Mellitus) (Tjay dan Rahardja, 2007). Diabetes mellitus tipe ini
bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin
(PERKENI, 2006).
3) Diabetes mellitus tipe lain disebabkan kelainan genetik, penyakit pankreas,
obat, infeksi, antibodi, sindroma penyakit lain (Zein, 2008).
4) Diabetes mellitus pada masa kehamilan (Gestasional Diabetes). Perempuan
yang telah mengalami DM sebelum kehamilan tidak termasuk dalam
kelompok ini, DM biasanya terjadi pada trimester kedua atau ketiga yang
disebabkan oleh hormon yang disekresikan plasenta dan menghambat kerja
insulin. Bayi yang dilahirkan berisiko mengalami makrosomia/berukuran
abnormal (Black and Hawk, 2005).
6
c. Tanda dan Gejala Diabetes Mellitus
1) Gejala umum
Gejala dari DM adalah polifagi (banyak makan), polidipsi (banyak
minum), poliuria (sering kencing) serta berat badan yang turun, letih dan lesu.
Jika kadar gula terus menerus tinggi, berarti tidak terkontrol, lama kelamaan
timbul penyulit yang pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah misalnya
pembuluh darah otak (stroke), pembuluh darah mata (kebutaan), pembuluh darah
ginjal (Gagal Ginjal Kronis-hemodialisa). Jika sudah terjadi penyulit maka usaha
menormalkan sangat sulit, karena itu pencegahan dini sangat diperlukan. DM
dapat dicegah sedini mungkin dengan mempertahankan pola makan sehari-hari
sehat seimbang dangan meningkatkan konsumsi sayuran, buah dan serat,
membatasi makanan tinggi karbohidrat, protein dan lemak, mempertahankan berat
badan ideal sesuai umur dan tinggi badan, serta olahraga teratur (Tjay dan
Rahardja, 2007).
2) Gejala Klinis
Untuk mengetahui seseorang menderita DM adalah dengan mengukur
kadar gula darah. Gula Darah Puasa (GDP) penderita DM normal berkisar 80-<
110 mg/dL, dan setelah makan berkisar 110 - < 160mg/dl. Diagnosis DM
ditegakkan apabila apabila kadar gula darah puasa ≥ 126 mg% dan gula darah 2
jam post prandial ≥ 200 mg%. Gula darah 2 jampost prandial antara 140-199
mg% belum dapat dikatakan diabetes, tetapi sudah terjadi gangguan toleransi
glukosa sehingga penderita perlu pengaturan makan (Black and Hawk, 2005).
3) Pengukuran HbA1c
Penetapan standar kontrol gula darah pada pasien DM menurut American
Diabetes Association, (ADA), 2004 menetapkan standar kontrol yang lebih tinggi
dalam tahun 2000, yaitu tidak lagi menetapkan kadar gula darah sebelum sarapan
dan 2 jam setelah sarapan tetapi menentukan standar kadar dengan HbA1c. Kadar
ini harus terletak antara 6 dan 7%. HbA1c merupakan kadar gula dalam eritrosit
(%) yang mencerminkan kadar 3 bulan terakhir (eritrosit hidup 3 bulan), sehingga
penentuan kadar HbA1c merupakan variabel yang lebih konstan dibandingkan
kadar gula plasma, yang sangat bervariasi dari hari ke hari dan jam ke jam. Angka
7
ini diambil karena menurut hasil studi terbanyak, kadar HbA1c diantara 6-7%
berkorelasi dengan sedikitnya komplikasi diabetes (mata, cerebral, ginjal, jantung,
tekanan darah, lemah, dan kaki diabetik). Variabel kedua terbaik untuk
mengurangi komplikasi diabetes setelah HbA1c adalah kadar glukosa puasa yang
harus kurang dari 140 mg% (Cramer dan Manyon, 2007).
Pengukuran hemoglobin (Hb) terglikosilasi (A1c) adalah cara yang paling
akurat untuk menentukan tingkat ketinggian gula darah selama dua sampai tiga
bulan terakhir. Hemoglobin adalah bagian dari sel darah merah yang
mengangkut oksigen, salah satu jenisnya adalah HbA dan HbA1c yang
merupakan subtipe spesifik dari HbA. Semakin tinggi kadar glukosa darah akan
semakin cepat HbA1c terbentuk yang mengakibatkan tingginya kadar HbA1c,
sehingga ketidakpatuhan pasien pada penatalaksanaan DM bisa dinilai dengan
kadar HbA1c. Kadar ini juga merupakan pemeriksaan tunggal terbaik untuk
menilai resiko terhadap kerusakan jaringan yang disebabkan oleh tingginya kadar
glukosa darah contohnya pada saraf dan pembuluh darah kecil di mata dan ginjal.
Selain itu juga bisa menilai resiko terhadap komplikasi penyakit DM (Black &
Hawk, 2005).
d. Epidemiologi
Pasien DM di Amerika Serikat diperkirakan 18,2 juta pasien dan dari 18,2
juta pasien diantaranya 5,2 juta tidak terdiagnosa. Pada tahun 2000 resiko pada
bayi yang baru lahir untuk terkena penyakit DM adalah sebesar 32,8% untuk pria
dan 38,5% untuk wanita. Untuk kejadian DM tipe I ditemukan pada 5% sampai
10% pasien dengan diabetes dan prevalensinya pada manusia berusia kurang dari
20 tahun adalah 1 dalam 400 (Cramer and Manyon, 2007).
Data yang diperoleh dari organisasi Persatuan Rumah Sakit di Indonesia
(PERSI) pada tahun 2008, negara Indonesia menempati urutan ke-empat dalam
hal jumlah penderita DM. Penyandang penyakit DM di Indonesia pada tahun 2006
mencapai 14 juta orang. Dari berbagai penelitian yang dilakukan prevalensi
kejadian DM di Indonesia berkisar 1,5% sampai 2,3% (PERSI, 2008).
8
e. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus
Langkah pertama dalam mengelola DM selalu dimulai dengan pendekatan
non-farmakologis, yaitu berupa edukasi, perencanaan makan dan asupan kalori,
kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih
kemudian diikuti pendekatan farmakologis atau pemakaian obat insulin
(Soegondo, 2006).
Dengan demikian ada empat pilar penatalaksanaan DM yaitu:
1) Penyuluhan/ Edukasi.
Menurut Asosiasi Diabetes Amerika (American Diabetes Association/
ADA), tahun 2004 edukasi yang diberikan adalah pemahaman tentang perjalanan
penyakit, pentingnya pengendalian penyakit, komplikasi yang ditimbulkan dan
risikonya, pentingnya intervensi obat dan pemantauan glukosa darah, cara
mengatasi hipoglikemia, perlunya latihan fisik yang teratur, dan cara
mempergunakan fasilitas kesehatan. Petugas kesehatan bertugas sebagai
pendamping pasien dalam memberikan edukasi yang lengkap dalam upaya untuk
peningkatan motivasi dan perubahan perilaku. Pendidikan kesehatan kepada
pasien diabetes mellitus merupakan komponen yang penting, pasien memiliki
peran yang penting dalam manajemen diri selain didukung oleh tim kesehatan,
keluarga, maupun orang-orang di sekitarnya. ADA telah mencatat perubahan
perilaku yang diharapkan dari adanya pendidikan kesehatan (Self-Management
Education Programs), yaitu: tingkat pengetahuan, sikap dan keyakinan, status
psikologis, kondisi fisik, serta pola hidup yang sehat (American Diabetes
Association, 2004).
2) Terapi pemberian nutrisi (Diet)
Perencanaan
makan
yang
baik
merupakan
bagian
penting
dari
penatalaksanaan diabetes secara total. Diet seimbang akan mengurangi beban
kerja insulin dengan meniadakan pekerjaan insulin dalam mengubah gula menjadi
glikogen. Keberhasilan terapi ini melibatkan dokter, perawat, ahli gizi, pasien itu
sendiri dan keluarganya. Pada satu studi di India, program diet tidak diikuti secara
teratur oleh 63% pasien, sementara itu sebuah studi di USA menunjukkan sekitar
9
48% pasien tidak mengikuti rencana diet, dan melaporkan 30% pasien tidak patuh
menjalani program tinggi karbohidrat, tinggi serat dalam diet (Riaz, 2009).
Perencanaan diet agar cukup asupan kalori, protein, lemak, asam mineral
dan serat air. Pasien DM perlu melakukan perencanaan diet karena perencanaan
diet bertujuan untuk mengontrol gula darah baik dalam keadaan puasa maupun
setelah makan, oleh karena itu pasien DM diharapkan mampu merencanakan diet
dan melaksanakan perencanaan diet tersebut dengan patuh guna mencapai
keberhasilan terapi. Penyakit DM tipe 2 biasanya terjadi pada pasien dengan gaya
hidup dan perilaku yang kurang tepat dan mengakibatkan tingginya kadar gula
dalam darah pasien dan gaya hidup serta perilaku tersebut telah terbentuk dengan
kuat sehingga mengakibatkan sulitnya pasien DM dalam melakukan terapi diet
ataupun olahraga teratur (American Diabetes Association, 2004).
3) Latihan Fisik Teratur
Latihan fisik berguna untuk menurunkan berat badan dan menjaga
kebugaran terutama bagi pasien DM yang gemuk. Melakukan kegiatan fisik
seperti pekerjaan mengepel, mencuci mobil, berjalan kaki ke tempat kerja secara
teratur selama 3-4 kali seminggu dengan waktu 30 menit setiap kalinya dapat
memperbaiki sensitifitas insulin dan mengendalikan glukosa darah. Monitoring
kadar gula darah sebelum, selama, sesudah olahraga pada pasien DM bermanfaat
untuk menentukan kebutuhan insulin dan asupan makanan. Apabila pasien DM
berolahraga ringan pasien tidak perlu mengatur insulin cukup dengan
mengkonsumsi makanan ringan sebelum olahraga pada gula darah < 80 mg/dl.
Apabila pasien DM berolahraga dalam waktu yang lama, pasien DM dapat
mengkonsumsi makanan ringan setiap ½-1 jam. Pada olahraga berat, dosis perlu
diturunkan untuk mencegah hipoglikemi serta minum banyak cairan untuk
mencegah dehidrasi (Rismayanthi, 2010).
4) Intervensi Farmakologis dengan minum OHO (Obat Hipoglikemik Oral) atau
suntik insulin
Sarana pengelolaan farmakologis DM dapat berupa Obat Hipoglikemik
Oral (OHO) dan/ atau insulin. Langkah ini dilakukan jika kadar glukosa darah
10
penderita DM belum tercapai normal dengan terapi gizi dan latihan fisik. Pada
sebuah studi yang menilai pola monitoring diri terhadap kadar gula darah di
California Utara, 60% pasien diabetes tipe 2 tidak melakukan monitoring glukosa
secara teratur sebagaimana yang direkomendasikan (misal; 1x/hari untuk diabetes
tipe 2 yang mendapatkan penanganan farmakologis). Temuan yang sama
dihasilkan pada sebuah studi di India, dimana 67% pasien DM tidak melakukan
monitoring glukosa dirumah (Riaz, 2009).
Sementara di Indonesia, 58% pasien DM salah menggunakan obat, 75%
tidak menjalani diet, dan 80% menyuntikkan insulin dengan cara yang salah
(Rismayanthi, 2010).
Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa ketidakpatuhan
pasien terhadap OHO/ suntik insulin masih tinggi.
2. Insulin
a. Definisi insulin
Insulin merupakan hormon yang diproduksi oleh pankreas yang berfungsi
mengontrol kadar glukosa (gula) di dalam darah. Pada pasien DM, kemampuan
tubuh untuk bereaksi dengan insulin dapat menurun, atau pankreas dapat
menghentikan sama sekali produksi insulin. Keadaan ini menimbulkan
hiperglikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi metabolik akut seperti
diabetes ketoasidosis dan sindrom hiperosmolar non-ketotik. Hiperglikemia
jangka panjang dapat ikut menyebabkan komplikasi mikrovaskuler yang kronis
seperti penyakit ginjal dan mata, serta komplikasi neuropati seperti penyakit saraf.
Diabetes juga disertai peningkatan insidens penyakit makrovaskuler yang
mencakup infark miokard, stroke dan penyakit vaskuler perifer (Cramer and
Manyon, 2007).
11
b. Klasifikasi insulin
Menurut Koda-Kimble tahun 2009 berdasarkan lama kerja, insulin terbagi
menjadi empat jenis, yakni:
Tabel 1. Tipe insulin, nama dagang dan jadwal pengaturan dosis
Tipe Insulin/
aksi(penampilan sediaan)
Rapid-acting analog (jernih)
Onset (10-15 menit)
Peak (60-90 menit)
Duration (4-5 jam)
Short acting (jernih)
Onset (0.5-1 jam)
Peak (2-4 jam)
Duration (5-8 jam)
Intermediate-acting (keruh)
Onset (1-3 jam)
Peak (5-8 jam)
Duration (diatas 18 jam)
Extended long-acting
analogue (jernih)
Onset (2-4 jam)
Peak (tidak ada)
Duration (24 jam)
Nama Dagang
(nama generik)
Humalog®(insulin lispro)
NovoRapid®(insulin aspart)
Novolin® ge Toronto
Humulin®-R
Humulin®-N
Novolin®ge NPH
Jadwal PengaturanDosis
Diberikan sebelum makan
atau untuk menurunkan
kadar gula darah yang
tinggi
Diberikan sekitar 30 menit
sebelum makan atau untuk
menurunkan kadar gula
darah yang tinggi
Diberikan 2 kali sehari
(pagi hari dan sebelum
tidur)
Diberikan 1 sampai 2 kali
sehari
Lantus®(insulin glargine)
Levemir®(insulin detemir)
(Koda Kimble, 2009).
1) Insulin rapid-acting analogue, insulin ini mempunyai onset pendek dan
durasi yang singkat. Contohnya insulin Humalog dan Novorapid. Sediaan ini
terdiri dari insulin tunggal ‘soluble regular insulin’. Onsetnya dalam 10-15
menit (injeksi subkutan) mencapai puncaknya 60-90 menit kemudian
bertahan dengan durasi 4-5 jam (Koda Kimble, 2009).
2) Insulin short-acting, insulin ini mempunyai onset lebih panjang yaitu 0.5-1
jam, mencapai puncaknya 2-4 jam dengan durasi 5-8 jam. Contohnya insulin
Humulin dan Novolinge Toronto (Koda Kimble, 2009).
3) Insulin intermediate-acting, insulin ini mempunyai onset yaitu 1-3 jam,
mencapai puncaknya 5-8 jam dengan durasi di atas 18 jam. Contohnya insulin
Humulin dan Novolinge NPH (Koda Kimble, 2009).
4)
Insulin extended long-acting analogue, insulin ini mempunyai onset yaitu 90
menit, dengan durasi di atas 24 jam. Contohnya insulin Lantus dan Levemir
(Koda Kimble, 2009).
Menurut Clinical Diabetes Association (CDA) tahun 2001, klasifikasi
insulin menurut aplikasi penggunaanya, terdapat 4 pengaplikasian insulin, yaitu:
12
1) Pen Insulin merupakan kombinasi jarum suntik dan isi insulin pada satu unit
berbentuk pen, membuat insulin ini lebih mudah dan nyaman diaplikasikan
oleh pasien DM serta insulin dalam bentuk pen insulin dapat di bawa pada
saat pasien berpergian. Kelemahan dari pengaplikasian insulin menggunakan
pen insulin adalah pasien DM tidak dapat mencampur dua jenis insulin
menjadi berbagai kombinasi, kecuali yang sudah tersedia dalam sediaan tetap
(Insulin Premixed) (CDA, 2001).
2) Jet Injeksi, tidak mempunyai jarum suntik sama sekali. Alat ini melepaskan
insulin dengan cara arus kecil, kemudian menembus ke dalam kulit karena
tekanan (CDA, 2001).
3) Jarum suntik, untuk ukuran dari jarum suntik sekarang lebih kecil daripada
yang dahulu. Sehingga rasa sakit yang dialami oleh pasien DM akan
berkurang pada saat penyuntikkan (CDA, 2001). Keterbatasan dari jarum
suntik adalah jarum suntik memerlukan penglihatan yang baik dan
ketrampilan yang cukup untuk menarik dosis insulin yang tepat (PERKENI,
2008).
4) Pompa Insulin, merupakan penggunaan insulin yang aplikasinya paling aman
dan efektif pada terapi insulin. Alat ini menggunakan pipa kecil, yang
disematkan di bawah kulit, dan sebuah pompa, dan berada di luar tubuh.
Pompa tersebut sebagai penyuplai dan dapat di program untuk mengantarkan
sejumlah kecil insulin pada waktu yang ditentukan (CDA, 2001).
c. Efek Samping Insulin
Menurut PERKENI (2011), efek samping terapi insulin yang sering terjadi
adalah reaksi hipoglikemia, selanjutnya reaksi imunologi terhadap insulin yang
dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Resistensi insulin berarti ketidaksanggupan insulin memberi efek biologik
yang normal pada kadar gula darah tertentu. Dikatakan resisten insulin bila
dibutuhkan kadar insulin yang lebih banyak untuk mencapai kadar glukosa darah
yang normal (American Diabetes Association, 2004).
Penelitian lain juga menyebutkan bahwa kejadian hipoglikemia lebih besar
dialami oleh pasien dengan pemberian insulin dibandingkan dengan pemberian
13
obat oral. Hipoglikemia ini terjadi karena dosis, waktu pemberian dan tipe insulin
yang tidak tepat. Selain terjadinya efek hipoglikemia, penelitian lain menyebutkan
bahwa efek yang sering terjadi akibat penggunaan insulin adalah peningkatan
berat badan. Peningkatan berat badan berkisar antara 0,3-6,4 kg yang terjadi
mulai minggu pertama sampai beberapa bulan setelah menggunakan insulin (Lau,
2012).
d. Cara Penyimpanan Insulin
Pen insulin yang belum di buka atau belum digunakan sama sekali di
simpan pada lemari pendingin dengan temperatur 20C sampai 100C (350F sampai
500F). Pen insulin yang telah dibuka atau setelah pemakaian, mempunyai waktu
pakai 28 hari dari waktu kadaluarsa yang tertera pada kemasan pen insulin. Vial
yang belum di buka mempunyai waktu simpan lebih baik yaitu sampai waktu
kadaluarsa, dan harus dipastikan waktu kadaluarsa pada sediaan insulin tersebut
sebelum digunakan serta harus dipastikan sediaan insulin tersebut tidak membeku
atau tidak terlalu panas (CDA, 2001).
e. Area Penyuntikan Insulin
Berdasarkan MedStar Health tahun (2010), membagi daerah/tempat
penyuntikkan insulin menjadi beberapa bagian yaitu:
1) Insulin dapat disuntikkan pada daerah perut, insulin yang disuntikkan pada
daerah perut mempunyai kecepatan efek teraupetik tercepat dibandingkan
penyuntikkan pada daerah penyuntikkan insulin lainnya.
2) Insulin dapat disuntikkan pada daerah lengan, insulin yang disuntikkan pada
daerah lengan mempunyai kecepatan efek terapetik sedang dibandingkan
penyuntikkan pada daerah penyuntikkan insulin lainnya.
3) Insulin dapat disuntikkan pada daerah paha, insulin yang disuntikkan pada
daerah
paha
mempunyai
kecepatan
efek
teraupetik
paling
lambat
dibandingkan penyuntikkan pada daerah penyuntikkan insulin lainnya.
4) Memutar/ memindah area injeksi pen insulin 1 inci terpisah (sekitar lebar 2
jari) dalam area tubuh yang sama akan mencegah masalah kulit.
5) Apabila pasien DM berencana untuk mengganti area penyuntikkan insulin
pada daerah belakang atau depan tubuh, maka pasien diharuskan
14
menyuntikkan pada area tersebut pada jam yang sama (misalnya, setiap pagi
menyuntikkan pada daerah perut dan setiap malam menyuntikkan pada daerah
paha).
6) Insulin memberikan respon lebih cepat apabila pasien berolahraga, oleh
karena itu pasien DM diharuskan untuk menghindari menyuntikkan insulin
pada daerah yang akan dipengaruhi oleh latihan/olahraga tersebut (misalnya,
apabila pasien akan berolahraga lari atau berjalan cepat, maka pasien harus
menghindari menyuntikkan insulin pada daerah paha atau otot-otot kaki)
(MedStar Health, 2010).
f. Langkah-langkah teknik penggunaan pen insulin
Langkah-langkah teknik penggunaan pen insulin secara tepat menurut
Nurse Practitioner Healthcare Foundation (NPHF) tahun 2011 adalah sebagai
berikut:
1) Mencuci dan mengeringkan tangan terlebih dahulu,
2) Membersihkan area penyuntikkan insulin dengan menggunakan kapas yang
telah dibasahi dengan alkohol,
3) Memutar dosis unit insulin pada pen insulin sesuai dengan resep dokter,
4) Mencubit kulit (lapisan lemak) dengan mengunakan 2 jari,
5) Menyuntikkan jarum pada pen insulin pada lapisan lemak dengan sudut 900
(tegak lurus) lalu menekan pen insulin ke bawah plunger sampai dosis unit
insulin yang diresepkan telah masuk ke dalam kulit,
6) Menahan pen insulin selama 5 detik,
7) Melepaskan kulit yang dicubit dan melepaskan juga pen insulin secara hatihati,
8) Membersihkan area penyuntikkan insulin (kulit) dengan menggunakan kapas
yang telah dibasahi alkohol,
9) Membersihkan jarum pada pen insulinyang telah digunakan pada pen insulin
dengan kapas yang telah dibasahi alkohol, lalu membuang jarum tersebut
pada tempat yang aman dan tidak mudah sobek.
15
g. Keterangan empiris
Menurut Grissinger (2011) pentingnya melakukan evaluasi ketepatan
teknik
penggunaan
pen
insulin
oleh
tenaga
kesehatan
adalah
untuk
mengoptimalkan keberhasilan terapi penggunaan insulin pada pasien DM
sehingga dapat mewujudkan hasil terapi terbaik dari pengobatan yang dilakukan.
Masalah yang diakibatkan oleh kesalahan tenaga kesehatan pada teknik
penggunaan pen insulin meliputi hipoglikemia, lipoatrofi, lipohipertrofi, alergi
sistemik atau lokal, resistensi insulin, edema insulin dan sepsis.
Adanya penelitian ini diharapkan dapat mendeskripsikan data demografi
tenaga kesehatan (berdasarkan jenis kelamin dan usia, berdasarkan jenis profesi,
berdasarkan lama bekerja) serta gambaran ketepatan teknik penggunaan pen
insulin tenaga kesehatan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
Download