BAB I PENDAHULUAN 1.1 Tinjauan Objek Studi Indeks Kompas100 adalah merupakan suatu indeks saham dari 100 saham perusahaan publik yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Indeks Kompas100 secara resmi diterbitkan BEI bekerjasama dengan koran Kompas pada hari Jumat tanggal 10 Agustus 2007. Saham-saham yang terpilih untuk dimasukkan dalam indeks Kompas100 ini selain memiliki likuiditas yang tinggi, serta nilai kapitalisasi pasar yang besar, juga merupakan saham-saham yang memiliki fundamental dan kinerja yang baik. Saham-saham yang termasuk dalam Kompas100 diperkirakan mewakili sekitar 70-80% dari total Rp 1.582 triliun nilai kapitalisasi pasar seluruh saham yang tercatat di BEI, maka dengan demikian investor bisa melihat kecenderungan arah pergerakan indeks dengan mengamati pergerakan indeks Kompas100. Akan tetapi, ini bisa saja berlawanan arah dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) maupun indeks lainnya. Manfaat dari keberadaan indeks ini yakni membuat suatu acuan (benchmark) baru bagi investor untuk melihat ke arah mana pasar bergerak dan kinerja portofolio investasinya, disamping itu pula para pelaku industri pasar modal juga akan memiliki acuan baru dalam menciptakan produk-produk inovasi yang berbasis indeks, misal mengacu pada indeks Kompas100. Indeks Kompas100 ini di evaluasi setiap semester (6 bulan), dan diumumkan pada website BEI tiap periode nya. Berikut kriteria saham-saham yang terdaftar dalam indeks Kompas100 : 1. Telah tercatat di BEI minimal 3 bulan. 2. Saham tersebut masuk dalam perhitungan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan). 3. Berdasarkan pertimbangan faktor fundamental perusahaan dan pola perdagangan di bursa, BEI dapat menetapkan untuk mengeluarkan saham tersebut dalam proses perhitungan indeks harga 100 saham. 4. Masuk dalam 150 saham dengan nilai transaksi dan frekuensi transaksi serta kapitalisasi pasar terbesar di pasar reguler, selama 12 bulan terakhir. 5. Dari sebanyak 150 saham tersebut, kemudian diperkecil jumlahnya menjadi 60 saham dengan mempertimbangkan nilai transaksi terbesar. 6. Dari sebanyak 90 saham yang tersisa, kemudian dipilih sebanyak 40 saham dengan mempertimbangkan kinerja: hari transaksi dan frekuensi transaksi serta nilai kapitalisasi pasar di pasar reguler, dengan proses sebagai berikut : 1. Dari 90 sisanya, akan dipilih 75 saham berdasarkan hari transaksi di pasar reguler. 2. Dari 75 saham tersebut akan dipilih 60 saham berdasarkan frekuensi transaksi di pasar reguler. 3. Dari 60 saham tersebut akan dipilih 40 saham berdasarkan Kapitalisasi Pasar. 7. Daftar 100 saham diperoleh dengan menambahkan daftar saham dari hasil perhitungan butir (5) ditambah dengan daftar saham hasil perhitungan butir (6). Daftar saham yang masuk dalam Kompas100 akan diperbaharui sekali dalam 6 bulan, atau tepatnya pada bulan Februari dan pada bulan Agustus. Perhitungan Indeks Kompas100 dimulai pada hari dasar tanggal 2 Januari 2002 dengan nilai dasar 100. 1.2 Latar Belakang Arus pemikiran utama yang selama ini diyakini dalam dunia keuangan ialah yang menerangkan bahwa pasar adalah efisien. Pasar efisien merupakan pasar yang menerangkan bahwa harga aset yang ada merupakan refleksi dari keseluruhan informasi yang terdapat pada aset tersebut. Dapat dikatakan bahwa harga yang terbentuk merupakan hasil dari pengolahan informasi secara tepat dan rasional, maka harga yang tercantum sudah pasti benar-benar merupakan refleksi atas keseluruhan informasi yang ada. Dalam pasar efisien, investor bertindak berdasarkan informasi yang diterimanya, sehingga dapat diasumsikan bahwa pasar tersebut sepenuhnya rasional dalam mencerna informasi. Dalam bidang manajemen keuangan, terdapat beberapa teori investasi yang menerangkan bagaimana seorang investor berlaku terhadap portofolio yang dimiliki berdasarkan informasi yang diterimanya. Kegiatan investasi merupakan kegiatan yang rasional, maka hal ini dapat dijelaskan dengan sejumlah teori pasar efisien. Berbagai upaya valuasi telah sering dilakukan dengan pendekatan pasar efisien, yaitu menggunakan berbagai perhitungan diantaranya model valuasi terhadap ekuitas, teori portofolio, analisis laporan keuangan, dan sebagainya. Hal tersebut dianggap selalu sebagai acuan bagi para investor dalam melakukan pengambilan keputusan atas investasi yang dimilikinya. Pasar efisien mulai diperkenalkan oleh Fama (1969), pasar efisien merupakan bidang ilmu yang dianggap ‘mapan’ dalam kajian manajemen keuangan, artinya cabang ilmu tersebut memiliki banyak teori yang tersusun sistematis, terstruktur, dan diajarkan oleh para akademisi serta dianggap sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan berinvestasi. Teori-teori investasi tersebut digunakan dengan asumsi bahwa pasar benar-benar efisien. Dalam pasar efisien dikenal sebuah teori utilitas, yaitu teori yang menerangkan bahwa investor bertindak atas dasar memasimumkan utilitas. Dengan demikian, setiap investor mengambil keputusan investasinya dengan maksud memaksimumkan utilitas. Namun yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah pasar benar-benar efisien?. Kajian pasar efisien dalam kenyataannya bukan tanpa kritik dan tantangan. Dalam beberapa hal, rasionalitas investor ditantang, dan ternyata tidak selalu dapat bekerja sesuai teori. Hal ini dapat terlihat dari menyimpangnya harga aset, dalam hal ini saham, dari nilai wajarnya (fair value). Serta mudahnya mengambil keuntungan dari penyimpangan harga tersebut. Fakta tersebut memancing keingintahuan mengenai adanya faktor-faktor lain yang ikut memengaruhi investor dalam membuat keputusan, fenomena tersebut perlu pembuktian lebih lanjut sebagai bukti pembanding dari teori sebelumnya yang menyatakan bahwa harga aset sebanding dengan informasi. Inilah yang akhirnya membuat Kahneman dan Tversky (1979) melakukan penelitian terhadap sejumlah investor (menggunakan sejumlah set pertanyaan), untuk membuktikan bahwa terjadi pengaruh psikologis di dalam diri investor saat membuat keputusan. Hasil penelitian tersebut ternyata sangat mengejutkan, penelitian tersebut menggambarkan bahwa tidak seluruh investor merupakan investor yang rasional dan tidak seluruh investor rasional dapat rasional secara penuh (not fully rational), dan penelitian ini menghasilkan sebuah teori yang dinamakan teori prospek (prospect theory), yaitu teori yang menerangkan bahwa tidak selalu investor bertindak berdasar upaya memaksimumkan utilitas, melainkan bertindak dengan pertimbangan meminimumkan penyesalan (minimized regret), dengan mempertimbangkan prospek terjadinya risiko. Investor akan cenderung menjadi risk averse saat ‘menang’ dan menjadi risk seeking saat mengalami kekalahan. Teori prospek merupakan teori yang lahir sebagai kritik atas teori utility, yaitu teori yang menerangkan bahwa investor bertindak atas dasar memaksimumkan utilitas. Hasil penelitian tersebut membuka wawasan baru dalam dunia keuangan. Penelitian tersebut dihadiahkan nobel di tahun 2002. Fakta lain didapati dalam penelitian seperti studi yang dilakukan Barber dan Odean (2006). Dari studi tersebut didapati tiga indikator penting, antara lain: berita terbaru, pergerakan harga yang ekstrim dalam waktu singkat, dan excess trading volume. Hal ini menunjukkan keterbatasan investor dalam mengolah informasi meskipun dalam pelaksanaanya transparansi informasi telah dilakukan emiten, namun tidak seluruh investor memiliki kemampuan yang canggih dalam memroses informasi, sehingga mereka cenderung mendasarkan keputusannya pada heuristic dari pada analisis fundamental. Dapat disimpulkan bahwa tidak selalu pasar yang terjadi adalah pasar yang efisien seperti yang diperkenalkan oleh Fama (1969). Hal inilah yang menjadi dasar mengapa penelitian mengenai perilaku investor dalam memroses informasi penting untuk dilakukan untuk membutikan bahwa pasar tidak selamanya efisien. Sejalan dengan penelitian di atas, beberapa bukti empiris lain telah diemukan oleh beberapa peneliti, untuk membuktikan bahwa tidak seluruh investor bertindak rasional secara penuh saat melakukan kegiatan investasinya. Tindakan tersebut, berakibat pada terpengaruhnya harga aset yang ada di pasar. Sehingga dapat dikatakan bahwa tidak selalu harga aset yang ada merupakan refleksi atas seluruh informasi yang tersedia di pasar, dikarenakan perbedaan sikap investor dalam merespon informasi dan keterbatasan investor mengolah informasi, atau dapat dikatakan telah terjadi bias. Beberapa tahun terakhir, kajian keuangan tersebut menjadi kajian yang menarik bagi para peneliti di bidang psikologi dan keuangan. Penelitian Kahneman dan Tversky (teori prospek) membuat sejumlah ilmuwan lain tertarik untuk menggali lebih jauh mengenai rasionalitas investor sebagai upaya meneruskan dan mengembangkan penelitian yang telah ada. Berikut beberapa peneliti dan artikel penelitian yang telah berhasil dipublikasikannya antara lain, Barberis dan Thaler (2002), Schleifer dan Vishny (1997) mengenai terbatasnya melakukan arbitrase bagi investor rasional sebagai akibat dari adanya investor yang tidak sepenuhnya rasional, sehingga menyulitkan mengembalikan harga ke nilai wajarnya. Statman (1997) meneliti terjadinya mental accounting, Shleifer dan Summers (1990), menyatakan bahwa investor irrasional (noise trader) akan dimanfaatkan oleh para arbitrageur, noise trader juga menjadikan returns on assets lebih berisiko. Statman, Thorley, dan Vorkink (2006), Barber dan Odean (2001), membuktikan terjadinya overconfidence di antara investor. Dari terbitnya sejumlah artikel keuangan perilaku, berkembanglah cabang ilmu keuangan yang baru, yang menjadi gebrakan pada dunia keuangan investasi yaitu Behavioral Finance atau Keuangan Perilaku. Cabang ilmu ini mencoba menerangkan bagaimana dan sejauh mana psikologi berdampak terhadap keuangan. Berikut contoh dari faktor-faktor psikologis yang memengaruhi investor dalam bertindak dan mengambil keputusan berinvestasi, diantaranya, pertama mental accounting, yaitu melakukan pengambilan risiko yang begitu besar terhadap salah satu account investasi, dan menjadi sangat konservatif terhadap account yang lainnya, contoh: investor lebih agresif atau sangat berani mengambil risiko tehadap account investasi dari hasil bonus, namun menjadi konservatif pada account investasi dari gaji yang hasilnya digunakan untuk pendidikan dan kesehatan, padahal semestinya keduanya diperlakukan sama. Berikutnya framing, keputusan dipengaruhi oleh bagaimana pilihan-pilihan terbingkai, artinya investor cenderung menjadi risk averse saat mengalami ‘kemenangan’, dan menjadi risk seeking saat mengalami ‘kekalahan’, ketiga overconfidence, yaitu perasaan merasa memiliki kemampuan yang lebih baik dari investor lain setelah mengalami ‘kemenangan’ berkali-kali. Kedua karena terlalu yakin terhadap presisinya informasi baru yang dimiliki dan dirasa tidak diketahui oleh investor lain, sehingga keduanya menyebabkan investor mengalami kepercayaan diri yang tinggi dan terjadi underestimate terhadap risiko yang akan dihadapinya, hal tersebut mengakibatkan investor melakukan aktivitas perdagangan lebih sering dari biasanya, yang justru dapat berakibat buruk terhadap nilai portofolio miliknya. Overconfidence ini berpeluang terjadi pada investor yang belum banyak memiliki pengalaman (inexperienced investor) (Shefrin, 2002). Kajian mengenai overconfidence ini menarik untuk ditelaah. Lebih jauh penulis akan mengupas seluk beluk terjadinya overconfidence di antara investor. Menurut Odean (1998), Gervais dan Odean (2001) investor yang mengalami overconfidence berpeluang melakukan trading secara berlebihan, yang kemudian akan meningkatkan volume perdagangan sebagai akibat peningkatan return. Tingginya kenaikan indeks pasca krisis keuangan global di tahun 2008 dilihat telah memberikan peluang terjadinya peningkatan return (baik return pasar maupun return individual saham) dan peningkatan yang cukup cepat ini berpeluang menjadikan investor berpikir tidak lagi rasional secara penuh. Return yang tinggi (baik return pasar maupun return individual saham) dapat memicu aktivitas perdagangan yang tinggi sebagai akibat dari tejadinya investor overconfidence (Gervais dan Odean; 2001). Kondisi bursa Indonesia di tahun 2008 hingga 2011 mengalami banyak situasi mulai dari pra krisis, krisis, hingga kembalinya pasar modal ke dalam kondisi semula bahkan lebih baik. Kondisi bursa sebelum krisis keuangan global tepatnya di awal tahun 2007 berada pada zona yang sangat baik ditandai dengan meningkatnya IHSG tepatnya di level 2000-an dan sempat menembus level 2700 pada pertengahan tahun 2007 dan bahkan diekpektasikan oleh sejumlah besar analis akan menembus level 2800 hingga 3000-an, namun dalam kenyataannya, ketika krisis keuangan global melanda, di sekitar tahun 2008 khususnya pertengahan hingga akhir tahun, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus mengalami penurunan hingga mencapai level terendahnya yaitu di level 1200-an. Hal ini memaksa otoritas bursa untuk melakukan suspend atau penutupan perdagangan sementara untuk menahan laju penurunan indeks. Grafik 1.1 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Periode 2007 s.d 2010 Sumber: www.yahoofinance.com Turunnya IHSG secara drastis disinyalir sebagai efek psikologis investor yang terlalu khawatir terhadap posisi investasi mereka di pasar modal. Sehingga, rasionalitas investor mulai ditantang pada kondisi tersebut. Kondisi ekonomi Indonesia masih cukup baik bila dibandingkan dengan negara-negara di Eropa dan Amerika, meskipun terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hanya saja banyak investor mengalami kekhawatiran yang berlebihan sehingga harga yang terbentuk dalam aset yang terdapat di pasar semakin terdeviasi dari nilai intrinsiknya. Kondisi krisis keuangan global perlahan mulai membaik di tahun 2009, dengan ditandainya kenaikan indeks dari 1200 ke level 1700an hingga 2000 dan kemudian meningkat dengan cepat sepanjang tahun 2010 hingga berhasil menembus level 3000-an. Kenaikan indeks yang cepat pasca krisis ini dapat memicu overconfidence di antara investor bursa Indonesia. Sebab, peningkatan return pasar akan diikuti dengan peningkatan return masing-masing saham yang kemudian membuat sebagian investor melakukan trading lebih sering dari sebelumnya sehingga terjadi peningkatan volume perdagangan pasca 2008. Grafik 1.2 Market return Bursa Efek Indonesia (2007 s.d 2010) Sumber: www.yahoofinance.com Grafik 1.3 Volume Perdagangan Bursa Efek Indonesia (2007 s.d 2010) Sumber: www.yahoofinance.com Menurut Statman, Thorley, dan Vorkink (2006) overconfidence terjadi ketika market return dan security return meningkat, sehingga digambarkan dalam aktivitas perdagangan yang aktif atau turnover. Peningkatan return baik return pasar maupun return individual saham akan memicu peningkatan volume perdagangan, begitu pula dengan peningkatan turnover, hal tersebut turut meningkatkan volume perdagangan saham. Untuk mengkaji lebih jauh mengenai terjadinya overconfidence di antara investor pasar saham khususnya investor di pasar modal Indonesia. Peneliti akan melakukan penelitian terhadap investor di BEI melalui sejumlah data sebagai proxy untuk membuktikan sejauh mana return yang dihasilkan, baik return pasar maupun return individual saham menjadikan investor overconfidence dan memengaruhi aktivitas perdagangan, artinya investor melakukan aktivitas perdagangan lebih sering dari sebelumnya, hal ini dapat dilihat dari meningkatnya volume perdagangan. Model yang digunakan peneliti dalam membuktikan terjadinya overconfidence adalah dengan menggunakan persamaan VAR (Vector Autoregressive), yaitu model analisis yang menerangkan bahwa setiap variabel saling berpengaruh satu sama lain (simultan), seluruh variabel adalah endogen, pengaruh nilai masa lalu (lagged value) terhadap yang akan datang, serta sifat data yang dalam jangka panjang adalah stationer. Dalam persamaan tersebut, penulis menggunakan tools Impulse Response Function (IRF) untuk melihat bagaimana masing-masing variabel berhubungan satu sama lain sepanjang waktu (Hamilton, 1994). Impulse Response Function dilakukan dengan cara melakukan perubahan terhadap nilai residual salah satu variabel yang kemudian akan merubah future value dari variabel lainnya termasuk nilai variabel itu sendiri. Dalam persamaan diketahui bahwa masing-masing variabel dapat saling memengaruhi satu sama lain. Variabel-variabel yang digunakan untuk menggambarkan terjadinya overconfidence dan kaitannya terhadap volume perdagangan antara lain, market return (mret), market turnover (mturn), security return (ret), dan security turnover (turn). Dari desain model analisis yang digunakan tersebut, akan didapati adanya investor overconfidence Penelitian ini akan menjadi pembuktian bahwa terjadi investor overconfidence pasar modal Indonesia, dari adanya pengaruh nilai masa lalu (lagged value) market return, security return, market turnover, dan security turnover terhadap nilai market return, security return, market turnover, dan security turnover saat ini. Oleh sebab itu peneliti melakukan penelitian yang kemudian diberi judul: Pengaruh Shock dari Lagged Value Market return, Security Return, Market turnover, Dan Security Turnover Terhadap Nilai Diferensial Market return, Security Return, Market turnover, Dan Security Turnover (Studi Indeks Kompas100 Bursa Efek Indonesia Periode 2007-2010) 1.3 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti dapat mengidentifikasikan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh shock dari lagged value market return, security return, market turnover, dan security turnover terhadap nilai diferensial market return, security return, market turnover, dan security turnover ? 2. Bagaimana pengaruh shock dari lagged value market return, security return, market turnover, dan security turnover terhadap nilai diferensial market return, security return, market turnover, dan security turnover pada saham berdasarkan kapitalisasi pasar ? 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan antara lain : 1. Menjelaskan pengaruh shock dari lagged value market return, security return, market turnover, dan security turnover terhadap nilai diferensial market return, security return, market turnover, dan security turnover. 2. Menjelaskan pengaruh shock dari lagged value market return, security return, market turnover, dan security turnover terhadap nilai diferensial market return, security return, market turnover, dan security turnover pada saham berdasarkan kapitalisasi pasar. 1.5 Kegunaan Penelitian 1.5.1 Kegunaan Teoritis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu mengembangan khasanah keilmuan khususnya pada bidang keuangan investasi. 2. Hasil penelitian juga dapat dijadikan referensi bagi mahasiswa untuk menambah wawasan dan pengetahuan serta digunakan sebagai pedoman pustaka untuk penelitian selanjutnya. 1.5.2. Kegunaan Praktis 1.Investor a. Sebagai referensi bagi para investor maupun calon investor dalam memberikan gambaran mengenai pentingnya melakukan kegiatan investasi secara lebih bijaksana. 1.6 Batasan Masalah Dalam penelitian ini, penulis membuat batasan masalah yang diuraikan sebagai berikut: 1. Objek penelitian terdiri atas saham-saham yang secara konsisten telah terdaftar di dalam indeks Kompas100 selama 4 tahun berturutturut. 2. Data yang akan dianalisis pada penelitian ini adalah data aktivitas perdagangan saham-saham tersebut selama 4 tahun, terhitung sejak tahun 2007 s.d 2010. 1.7 Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang tinjauan terhadap objek studi,latar belakang, permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, batasan masalah, dan sistematika penelitian. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi uraian mengenai teori – teori yang berkaitan dengan penelitian dan mendukung pemecahan permasalahan. BAB III METODE PENELITIAN Bab ini berisi tentang jenis penelitian yang digunakan, operasionalisasi variabel, metode pengumpulan data, metode pengolahan data, serta analisis data. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini akan dijelaskan secara rinci mengenai pembahasan dan analisa – analisa yang dilakukan sehingga akan jelas gambaran permasalahan yang terjadi serta menguraikan deskriptif objek penelitian dan hasil analisisnya. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan akhir dari hasil analisis data dan berisi saransaran yang berguna dan dianggap perlu dalam penelitian.