TINJAUAN PUSTAKA Kromium Kromium (Cr) merupakan mineral mikro esensial yang sangat penting dalam metabolisme glukosa, protein dan lemak dalam jaringan otot ternak. Kromium berperan dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein dan asam nukleat (NRC, 1997). Selain itu Cr juga diketahui bertanggung jawab dalam pengaturan kolesterol darah. Sebagian besar Cr yang terdapat di alam dalam bentuk Cr3+ (Ohh dan Lee, 2005). Unsur Cr dalam tubuh dapat membentuk senyawa komplek yang disebut glucose tolerance factor (GTF). Molekul tersebut terlibat dalam interaksi antara insulin dan sel reseptor yang memungkinkan banyaknya pasokan glukosa ke dalam sel(Linder, 1992). Struktur faktor toleransi glukosa disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Struktur Glucose Tolerance Factor (GTF) Sumber: Linder, 1992 Fungsi utama Cr adalah untuk meningkatkan aktivitas insulin dalam metabolisme glukosa dan untuk mempertahankan kecepatan transpor glukosa dari darah kedalam sel. Cr juga berperan dalam mengaktifkan kerja beberapa enzim. Defisiensi Cr menyebabkan terganggunya toleransi glukosa (Glucose Tolerance). Defisiensi yang lebih parah akan mengakibatkan pertumbuhan terganggu, hiperglikemia (hyperglycemia), glikosaria (glycosaria) dan meningkatnya kadar kolesterol dalam serum. Struktur GTF tersusun dari komplek antara Cr3+ dengan 2 molekul asam nikotinat dan 3 asam amino yang terkandung dalam glutation yaitu glutamat, glisin dan sistein (Linder, 1992). Kromium secara biologis aktif sebagai komponen dari GTF yang meningkatkan sensitifitas sel dan jaringan terhadap penggunaan glukosa dan insulin, tanpa adanya kromium GTF tidak aktif (Underwood, 2001). Sumber alami GTF adalah kapang, organ hati, merica, keju dan daging (Winarno, 2002). Kromium Organik Komplek Cr organik terdapat dalam bentuk Cr chelate, Cr proteinat dan Cr pikolinat (Lindenmann, 1996). Senyawa Cr proteinat merupakan Cr organik yang didapat dari protein ragi. Salah satu ragi yang banyak mengandung Cr adalah ragi bir karena banyak mengandung senyawa komplek yang mengandung Cr dan aktif secara biologis yang dikenal dengan GTF (Groff dan Gropper, 2000). Kromium dalam bentuk organik lebih mudah larut dan mudah diabsorpsi, sedangkan Cr anorganik lebih bersifat karsinogenik (Mordenti et al., 1997). Senyawa Cr pikolinat terbentuk dari Cr3+ yang mengikat tiga molekul asam pikolinat (Gambar 2). Apabila tiga molekul asam pikolinat atau nikotinat diikat oleh Cr3+ maka akan terbentuk Cr pikolinat atau Cr nikotinat. Pada keadaan alami Cr berikatan dengan asam nikotinat sehingga Cr yang berasal dari asam nikotinat lebih disukai karena sifat alaminya. Pada asam pikolinat gugus karboksil berada pada posisi tiga, sedangkan asam nikotinat pada posisi dua, kedua bentuk tersebut sama efektifnya dalam mempengaruhi metabolisme energi (Groff dan Gropper, 2000). Struktur asam nikotinat dan asam pikolinat disajikan pada Gambar 2. Gambar 2. Struktur Asam Nikotinat dan Asam Pikolinat Sumber: Groff dan Gropper, 2000 Jamur Lingzhi (Ganoderma lucidum) Jamur Ganoderma lucidum termasuk kingdom fungi, klas basidiomycetes, subklas holobasidiomycetes, seri hymenomycetes, ordo agaricales, famili polyporacea, genus Ganoderma dan spesies Ganoderma lucidum. Nama binomialnya adalah Ganoderma lucidum (FR) Karst, yang ditetapkan oleh Karsten. Kata latin lucidum berarti bersinar atau berkilauan dan menunjukan pernis yang muncul pada permukaan jamur. Kompleks Ganoderma lucidum terdiri dari tubuh buah yang tebal, bergabus dan berwarna kuning kemerahan pada awalnya dan kemudian berubah menjadi berwarna kecoklatan pada saat masaknya. Pada batas tubuh buah biasanya tipis berwarna putih pada awalnya dan menjadi coklat terang pada tahap akhirnya. Bentuknya bervariasi bundar, semi bundar dan bentuk kipas atau seperti ginjal (Chang dan Miles, 2004). Gambar 3. Jamur Lingzhi (Ganoderma lucidum) Sumber: www.celestialherbsllc.com Dilihat dari sifat hidupnya, Ganoderma lucidum termasuk jamur saprofitik karena tumbuh pada batang mati atau serbuk gergaji kayu (Suriawiria, 2001). Jamur ini dikenal juga sebagai jamur busuk putih (white rot fungi) karena merupakan parasit penyebab busuknya batang kelapa sawit. Adanya enzim ekstraseluler yang dimiliki oleh Ganoderma lucidum menyebabkan jamur ini mampu merombak serat kasar terutama lignin dan selulosa dan menggunakannya sebagai energi untuk pertumbuhan (Vares dan Hatakka, 1997). Pada umumnya jamur yang berpotensi mendegradasi lignin termasuk kelompok mesofil yang hidup pada suhu antara 5-370C dan optimum pada suhu 39400C (Febrina, 2002). Jenis enzim ekstraseluler yang diproduksi jamur dipengaruhi oleh substrat tumbuhnya. Adapun enzim yang disekresikan oleh Ganoderma lucidum merupakan enzim ligninase yang terdiri atas enzim lakase, enzim lignin peroksidase (LiP) dan enzim mangan peroksidase (MnP). Ganoderma lucidum memiliki enzim dengan aktivitas lignolitik yang tinggi (Ariwibowo, 1996). Ganoderma lucidum mempunyai kandungan senyawa aktif baik pada tubuh buah maupun pada miselium. Kandungan senyawa aktif ini bermanfaat untuk kesehatan kebugaran tubuh dan senyawa tersebut antara lain: polisakarida, adenosin, asam ganoderik, protein, triterpenoid, vitamin, elemen makro dan mikro, germanium organik, antikanker, antitumor, antikarsinogen dan zat pengatur tubuh (Sjabana, 2001). Chang dan Miles (2004) juga menyatakan bahwa senyawa utama yang terdapat di dalam Ganoderma Lucidum yang mempunyai aktivitas farmakologi adalah triterpen dan polisakarida, meskipun protein-protein, asam-asam nukleat yang bioaktif dan subtansi-subtansi lainnnya yang juga telah diidentifikasi. Hal yang menarik yang terkandung adalah kelompok dari fungal immunomodulatory protein. Yang et al. (2005) menyatakan bahwa Ganoderma lucidum mempunyai kemampuan untuk menginkorporasi Cr ke dalam sel fungi tersebut. Walker (1998) menyebutkan bahwa kromium yang masuk ke dalam tubuh fungi akan berikatan dengan protein fungi. Metabolisme Rumen Sistem pencernaan pada ruminansia melibatkan interaksi dinamis antar bahan pakan, populasi mikroba dan ternak itu sendiri. Pakan yang masuk ke mulut akan mengalami proses pengunyahan atau pemotongan secara mekanis sehingga membentuk bolus. Pada proses ini, pakan bercampur dengan saliva kemudian masuk ke rumen melalui esofagus untuk selanjutnya mengalami proses fermentatif. Bolus di dalam rumen akan dicerna oleh enzim mikroba. Partikel pakan yang tidak tercerna di rumen dialirkan ke abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzim pencernaan. Hasil pencernaan tersebut akan diserap oleh usus halus dan selanjutnya masuk dalam darah (Sutardi, 1977). Proses fermentasi pakan di dalam rumen menghasilkan VFA dan NH3, serta gas-gas (CO2, H2 dan CH4) yang dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Arora, 1995). Volatile Fatty Acid (VFA) Volatile Fatty Acid (VFA) merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan sumber energi utama bagi ternak ruminansia (Parakkasi, 1999). McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa pakan yang masuk ke dalam rumen difermentasi untuk menghasilkan produk utama berupa VFA, sel-sel mikroba, serta gas metan dan CO2. Karbohidrat pakan di dalam rumen mengalami tiga tahap pencernaan oleh enzimenzim yang dihasilkan mikroba rumen. Pada tahap pertama, karbohidrat mengalami hidrolisis menjadi monosakarida, seperti glukosa, fruktosa dan pentosa. Hasil pencernaan tahap pertama tersebut masuk ke jalur glikolisis Embden-Meyerhoff untuk mengalami pencernaan tahap kedua yang menghasilkan piruvat. Piruvat selanjutnya akan diubah menjadi VFA yang umumnya terdiri dari asetat, butirat dan propionat (Arora, 1995). Proses metabolisme karbohidrat di dalam rumen ternak ruminansia dapat dilihat pada Gambar 4. Selulosa Pati Selobiosa Maltosa Glukosa-1-fosfat Glukosa Glukosa 6-fosfat Pektin Asam Uronat Sukrosa Fruktosa 6-fosfat Hemiselulosa Fruktosa Pentosa Fruktosa 1,6-difosfat Asam Piruvat As. Oksaloasetat As. Malat As. Laktat As. Asetil CoA As. Format As. Asetil fosfat As. Laktil CoA As. Asetoasetil CoA CO2 + H2 As. Fumarat As. Akrilil CoA β-Hidroksibutiril CoA As. Suksinat As. Propionil CoA Butiril CoA As. Propionat As. Butirat As. Propionat As. Asetat CH4 Gambar 4. Proses Metabolisme Karbohidrat di dalam Rumen Ternak Ruminansia Sumber: McDonald et al., 2002 Kisaran optimum VFA total yang layak bagi kelangsungan hidup ternak adalah 80–160 mM (Suryapratama, 1999). Konsentrasi VFA parsial selalu berubah tergantung jenis pakan yang dikonsumsi. Pada pemberian pakan dengan komposisi hijauan yang lebih tinggi akan menghasilkan proporsi asetat : propionat : butirat sebesar 65% : 20% : 10% (Gambar 4), sedangkan 5% berupa valerat dan VFA rantai cabang yaitu isovalerat dan isobutirat yang berasal dari asam amino valin, leusin dan isoleusin (Sutardi, 1977). Amonia (NH3) Protein bahan makanan yang masuk ke dalam rumen pada awalnya akan mengalami proteolisis oleh enzim-enzim protease menjadi peptida, lalu dihidrolisa menjadi asam amino yang kemudian secara cepat dideaminasi menjadi amonia (Gambar 5). Keduanya akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba. Umumnya proporsi protein yang didegradasi dalam rumen sekitar 70-80 %, atau 30-40 % untuk protein yang sulit dicerna. Kandungan protein ransum yang tinggi dan proteinnya mudah didegradasi akan menghasilkan konsentrasi NH3 di dalam rumen (McDonald et al., 2002). Selain itu, tingkat hidrolisis protein bergantung kepada daya larutnya yang akan mempengaruhi kadar NH3. Gula terlarut yang tersedia di dalam rumen dipergunakan oleh mikroba untuk menghabiskan amonia (Arora, 1995). Pengukuran N-NH3 in vitro dapat digunakan untuk mengestimasi degradasi protein dan penggunaannya oleh mikroba. Produksi amonia dipengaruhi oleh waktu setelah makan dan umumnya produksi maksimum dicapai pada 2-4 jam setelah pemberian pakan yang bergantung kepada sumber protein yang digunakan dan mudah tidaknya protein tersebut didegradasi (Wohlt et al., 1976). Jika pakan defisien protein atau tinggi kandungan protein yang lolos degradasi, maka konsentrasi NH3 rumen akan rendah (lebih rendah dari 50 mg/l atau 3,57 mM) dan pertumbuhan organisme rumen akan lambat (Satter dan Slyter, 1974). Sebaliknya, jika degradasi protein lebih cepat daripada sintesis protein mikroba, maka NH3 akan terakumulasi dan melebihi konsentrasi optimumnya. Kisaran optimum NH3 dalam rumen berkisar antara 85-300 mg/l atau 6-21 mM (McDonald et al., 2002). Proses metabolisme protein di dalam rumen ternak ruminansia dapat dilihat pada Gambar 5. Pakan Protein Non-protein N Kelenjar Saliva Mudah Non-protein N Didegradasi Sulit Didegradasi Enzim protease Peptida Enzim peptidase Hati Deaminasi Asam Amino Amonia NH3 urea Rumen Protein Mikroba Ginjal Dicerna di Usus Halus Diekskresikan (urine) Gambar 5. Proses Metabolisme Protein di dalam Rumen Ternak Ruminansia Sumber: McDonald et al., 2002 Ranjhan (1977) menyatakan bahwa peningkatan jumlah karbohidrat yang mudah difermentasi akan mengurangi produksi amonia, karena terjadi kenaikan penggunaan amonia untuk pertumbuhan protein mikroba. Kondisi yang ideal adalah sumber energi tersebut dapat difermentasi sama cepatnya dengan pembentukan NH3 sehingga pada saat NH3 terbentuk terdapat produksi fermentasi asal karbohidrat yang akan digunakan sebagai sumber dan kerangka karbon dari asam amino protein mikroba telah tersedia. Mikroba yang telah mati akan masuk ke usus sebagai sumber protein bagi ternak. Protein mikroba tersebut bersama dengan protein pakan yang lolos degradasi mengalami pencernaan di dalam usus oleh enzim-enzim protease dengan hasil akhir asam amino (Sutardi, 1977). Efek Kromium Organik dan Biomasa Limbah Serat Sawit Hasil Fermentasi dengan Ganoderma lucidum dalam Metabolisme Rumen Astuti (2005) menyebutkan bahwa suplementasi Cr organik dengan carrier Saccharomyces cerevisiae pada level 2 mg/kg menghasilkan konsentrasi VFA total yang cukup tinggi (146,5 mM). Hal ini sejalan dengan penelitian Jayanegara (2003) yang menunjukkan bahwa suplementasi Cr organik dengan carrier Rhizopus sp. pada level 1 ppm dalam ransum dapat meningkatkan konsentrasi VFA total. Besong et al. (2001) menyatakan bahwa suplementasi Cr organik pada dosis yang tepat akan mempengaruhi produksi VFA parsial dalam cairan rumen, dimana pemakaian 1,6 mg Cr/kg ransum dapat meningkatkan proporsi molar isobutirat. Konsentrasi VFA total biomasa limbah serat kelapa sawit hasil penumbuhan Ganodema lucidum dalam bentuk ransum sama dengan VFA total rumput gajah dalam bentuk ransum dan masih dapat memenuhi kebutuhan mikroba rumen (91,140-105,896 mM) (Lubnah, 2003). Hasil penelitian Toharmat et al. (2008) menunjukkan bahwa fermentasi in vitro pakan berserat (tandan kosong sawit dan jerami padi) dengan fungi Ganoderma lucidum menghasilkan konsentrasi VFA yang meningkat dengan semakin meningkatnya lama fermentasi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa fermentasi pakan berserat oleh fungi Ganoderma lucidum mempunyai potensi dijadikan sebagai pakan. Astuti et al. (2007) menyatakan bahwa konsentrasi NH3 dalam rumen dipengaruhi oleh tingkat produksinya yang berkaitan dengan pencernaan protein pakan, dan dipengaruhi pula oleh laju penggunaannya oleh mikroba rumen. Ransum yang disuplementasi dengan Cr organik dan probiotik menunjukkan penurunan konsentrasi NH3. Hal ini disebabkan oleh peningkatan laju penggunaan oleh mikroba rumen. Aktivitas mikroba rumen yang meningkat karena pemberian probiotik dan kromium organik menyebabkan konsumsi NH3 meningkat. Ransum yang mengandung biomasa limbah serat kelapa sawit hasil penumbuhan Ganodema lucidum menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi NH3. Hal ini disebabkan adanya proses fermentasi, lama pembentukan biomasa, yang dapat meningkatkan kadar protein dalam substrat (limbah serat kelapa sawit) sehingga meningkatkan konsentrasi NH3 (Lubnah, 2003). Toharmat et al. (2008) menyebutkan bahwa fungi Ganoderma lucidum dapat menyediakan nitrogen sehingga dapat dimanfaatkan mikroba rumen. Suplementasi Cr organik 1 mg/kg dengan carrier Saccharomyces cerevisiae, Aspergillus oryzae, Rhizopus oryzae dan ragi tape mampu meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum. Peningkatan nilai kecernaan tersebut diduga akibat kinerja mikroba rumen yang semakin aktif karena suplai energi yang cukup sebagai akibat dari pengaruh suplementasi Cr organik tersebut (Astuti, 2005). Astuti et al. (2007) menyatakan bahwa suplementasi Cr organik hasil fermentasi menggunakan substrat singkong dan ragi tape sebagai starter mampu meningkatkan kecernaan bahan kering dan organik ransum meskipun tidak cukup signifikan. Lubnah (2003) menyatakan bahwa koefisien cerna meningkat pada ransum yang disuplementasi biomasa limbah serat sawit hasil fermentasi dengan Ganoderma lucidum dibandingkan dengan ransum yang mengandung rumput gajah. Hal serupa juga dinyatakan oleh Toharmat et al. (2008), produk fermentasi tandan kosong sawit dengan fungi Ganoderma lucidum memiliki nilai kecernaan bahan kering berkisar antara 19,73 – 31,24 % dan kecernaan bahan organik 17,50 – 29,16 %.