SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU

advertisement
SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENISTAAN AGAMA
MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
( Analisis Yurisprudensi Terhadap Perkara yang Bermuatan Penistaan Agama )
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
AHMAD RIZAL
NIM : 104043201345
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENISTAAN
AGAMA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (ANALISIS
YURISPRUDENSI PERKARA YANG BERMUATAN PENISTAAN AGAMA)”
ini telah diajukan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 2 Juni 2009.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum
(Konsentrasi Perbandingan Hukum).
Jakarta, 2 Juni 2009
Mengesahkan
Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua
: Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM
NIP : 150 210 422
(………….…….)
Sekretaris
: Dr. H. Muhammad Taufiqi, M.Ag
NIP : 150 290 159
(…………….….)
Pembimbing I : Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag
NIP : 150 275 509
(…………….….)
Pembimbing II : Nahrowi, SH., MH
NIP : 150 293 227
(…………….….)
Penguji I
: Asep Saepuddin Jahar, MA., Ph. D
NIP : 150 276 211
(…………….….)
Penguji II
: Dr. Fuad Thohari, M.Ag
NIP : 150 299 934
(…………….….)
‘
SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENISTAAN AGAMA MENURUT
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
(Analisis Yurisprudensi Perkara yang Bermuatan Penistaan Agama)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh
Ahmad Rizal
NIM : 104043201345
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M. Ag
NIP. 150 275 509
Nahrowi, SH., MH
NIP.150 293 227
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H / 2009 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi dari Allah SWT dan sanksi yang berlaku di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 Rabiul Akhir 1430 H
20 April 2009
Ahmad Rizal
‫ ا ا ا‬
KATA PENGANTAR
Tanpa petunjuk dan kekuatan yang diberikan oleh Allah Tuhan Yang Maha
Kuasa proses studi dan skripsi ini tidak lah mungkin terselesaikan. Sehingga penulis
memohon kepada Sang Maha Bijaksana lagi Maha Pemberi Jalan mudah-mudahan
skripsi ini juga bagian dari ibadah yang kelak akan mendapat balasan yang setimpal
dan bermanfaat bagi semuanya.
Shalawat dan salam juga selalu terlafalkan kepada pencetus revolusi dunia,
Muhammad SAW dengan ajaran yang universal menuntut ummat manusia kejalan
yang lurus dan benar.
Penulis juga banyak sekali berhutang pada seluruh pihak yang selama ini
membantu baik secara langsung maupun dengan dorongan moral yang tak
terhargakan sampai kapan pun dan dengan apapun. Mudah-mudahan suatu saat nanti
penulis dapat membalas dengan sesuatu yang pantas. Sehingga rasa terimakasih
penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., sebagai Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak DR. K. H. Ahmad Mukri Aji, MA., MH., sebagai Ketua Program
Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum dan Bapak DR. H. Muhammad
Taufiki, M.Ag., sebagai Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan
Hukum.
3. Bapak Dr. H. Mujar Ibn Syarif, M. Ag dan Nahrowi, SH, MH., sebagai
Pembimbing, terima kasih atas bimbingan, kesabaran keramahan hati serta
nasehat-nasehat berharga yang bapak berikan.
4. Pimpinan Perpustakaan Umum dan Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta beserta staf, yang telah memberikan penulis fasilitas untuk
mengadakan studi perpustakaan.
5. Yang tercinta kedua orang tuaku, Bpk. Sukiswo dan ibunda tercinta, Ibu.
Casri, yang tak pernah henti berdoa untukku. Kemudian kepada Kakakkakakku, Alimi, Fitria Suciati, Hikmiatun, Nurseha, Seati, Sahuri (Alm),
Nurcholis, tidak lupa pula keponakanku tercinta, Ajeng, Aliqa, Deby, Dhini,
Dinda, Essa, Fajar, Icha, Tegar, Najma, dan saudara-saudaraku yang telah
membantu baik secara langsung maupun dengan dorongan moral yang tak
terhargakan sampai kapan pun dan dengan apapun, terima kasih yang tak
terhingga, do’a dan kasih sayang kalian yang telah membuat penulis
semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah senantiasa
memberi keberkahan kepada kalian semua.
6. Terima kasih Untuk Guruku KH. E. Fachruddin Masthuro, selaku Pimpinan
Pondok Pesantren Almasthuriyah, yang selalu mengingatkan saya dalam
segala hal. Kemudian kepada Guru-guruku yang penulis tidak bisa sebutkan
namun tidak mengurangi rasa hormat penulis kepada beliau.
7. Kepada kawan-kawan seperjuanganku di kelas PH periode 2004 : Eka,
Hendra Hidayat, SH.I, Syamsul Rizal MZ, SH.I, Oyok Toli Salim, SH.I, dan
teman-teman yang lain semua mudah-mudahan persahabatan kita akan
terjalin untuk selamanya.
8. Kepada sahabat-sahabat setiaku (Rantang), Madinah, SH.I, Makdum,
Musthopa, Nessa Khoirunnisa, SE, Saipul dan Sulton,S.Sos.I, terima kasih
atas motivasinya dan doa yang selama ini kalian berikan, mudah-mudahan
tali sillaturahmi kita tetap terjalin untuk selamanya.
9. Spesial untuk seorang wanita dengan nama Riana Intan, S.IP, yang tidak
pernah berhenti mengingatkan dan memberikan semangat kepada saya dalam
menyelesaikan skripsi ini, saya tidak akan melupakan jasamu. Semoga Allah
SWT menjadikan orang yang sukses serta bermanfaat.
10. Dan terakhir buat teman-taman “Centro Margo City” khususnya untuk F.A
Children, Adet, Ade Wahyu, Anita, Dhani, Ela, Egi, Margi, Nurlaela. Juga
buat ex F.A Mens Apparel, Ari, Dedi, Rahman, Vina, Wita, Yudi. Terima
kasih, kalian semua adalah penyemangat hidup bagiku. Tidak lupa juga buat
team ROHIS “Centro Margo City” Abay, Haris, Irman, Juni, Mail, Mugi,
Sofyan, Semoga Allah SWT menjadikan kalian orang yang sukses.
Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
skripsi ini, penulis menghaturkan terima kasih dan semoga Allah SWT membalas
semua kebaikan yang telah kalian berikan. Amin.
Jakarta, 24 Rabiul Akhir 1430 H
20
April 2009 M
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................
i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................
8
D. Metode Penelitian ....................................................................
9
E. Review Studi Terdahulu ............................................................ 10
F. Sistematika Penulisan................................................................ 11
BAB II
SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pengertian Sanksi Pidana .......................................................... 13
B. Macam-Macam Sanksi Pidana .................................................. 14
C. Sistem Sanksi Pidana ................................................................ 23
D. Prinsip dan Tujuan Sanksi Pidana ............................................. 28
BAB III
SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
A. Pengertian Sanksi Pidana .......................................................... 31
B. Macam-Macam Sanksi Pidana .................................................. 32
C. Sistem Sanksi Pidana ................................................................ 43
BAB IV
SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENISTAAN AGAMA
MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian Penistaan Agama ..................................................... 48
B. Dasar Hukum Larangan Penistaan Agama ................................. 50
C. Unsur-Unsur Penistaan Agama.................................................. 56
D. Sanksi Pidana yang diberikan Terhadap Pelaku Penistaan Agama
Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif ................................ 57
E. Analisis Yurisprudensi Beberapa Perkara yang Bermuatan
Penistaan Agama.......................................................................... 63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................... 86
B. Saran......................................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan,
ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman
bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.1
Perjalanan manusia untuk melaksanakan amanah tidaklah mulus. Berbagai
rintangan, ujian, dan godaan menghadang ditengah jalan. Perjuangan manusia
semakin berat karena harus berhadapan dengan musuh yang tidak terlihat. Musuhmusuh ini seringkali menipu daya manusia dengan perkataan-perkataan yang indah.
Firman allah dalam Al-Qur’an:
⌧⌧
!"#$⌧%
⌧

*
/0
*+,-.
'()
=7
89:;<
123457
8 C
DEF A1/B<. >?@
I
H7C
G⌧%
1/B
I
12+1C⌧B
K
:/B
(112 :6/‫ )ام‬L
MN.O0
Artinya: Dan demikianlah kami jadikan tip-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan
(dari jenis) manusia dan jenis jin, sebahagian mereka membisikan kepada
sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk
menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak
mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka adaadakan. (QS. Al-An’am (6) :112)
1
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1989), cet. 8. h.36
Agama Islam adalah agama yang membawa rahmat seluruh alam. Untuk
mewujudkannya harus ada norma yang menjadi aturan, dalam agama islam norma
tersebut dikenal dengan istilah syariah, yaitu suatu tatanan aturan kehidupan yang
mengatur hubungan antara manusia dan sesamanya juga hubungan antara manusia
dan tuhannya. Istilah syariah ini sebenarnya dalam kajian hukum Islam lebih
menggambarkan kumpulan norma-norma hukum yang merupakan dari proses tasyrî’.
Dalam istilah para ulama fiqh tasyrî’ bermakna menetapkan norma-norma hukum
untuk menata kehidupan manusia baik hubungan manusia dengan tuhannya maupun
dengan sesamanya.2
Syari’at yang dimaksud di sini adalan syariah yang mencakup ketentuanketentuan Allah dan rasulnya dan norma-norma hukum hasi kajian ulama mujtahid
untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia. Inilah yang terkenal dengan
Maqâsîd al-Syariah (tujuan perundang-undangan) dalam hukum Islam.
Dari uraian di atas terlihat bahwa hukum Islam sangat menjaga dan
memelihara urusan-arusan yang berkaitan dengan keyakinan (agama), hal itu terlihat
dimana urusan tentang pemeliharaan agama di tempatkan pada urusan-urusan yang
dharuri (adanya adalah mutlak), untuk itu setaip tindakan berkaitan dengan hal ini
sangat diperhatikan misalnya hukum murtad (penyelewengan akidah).
Untuk menghadapi fenomena berkembangnya aliran-aliran kepercayaan baru
dalam masyarakat, kita tidak harus menanggapinya secara emosional dan reaktif
2
Muhammad Faruq Nabhan, al-Madkhal li al-Tasyri’I al-Islami, (Beirut: Dar al-Qolam,
1981), h. 11
dengan prasangka-prasangka yang tidak berdasar (tanpa melihat akar permasalahan)
yang ada. Kita seharusnya lebih arif dan bijaksana dalam menyelesaikan masalah.
Kekerasan, teror, acaman serta pengucilan, bukanlah jalan keluar yang baik.
Menghancurkan, bahkan membunuh mereka yang dianggap sesat tanpa memperbaiki
kondisi kesemrawutan bangsa kita dari segala aspek, hanya akan melahirkan
kesesatan baru yang mungkin jauh lebih berbahaya.
Kemunculan nabi-nabi palsu kini banyak menyeret umat yang lemah iman.
Mereka yang lapar dan haus akan nilai-nilai religius lebih menyukai jalan pintas ke
surga. Ironisnya, kepada para nabi palsu itu mereka gantungkan sejuta harapan akan
ke surga dan kedamaian. Padahal surga yang ditawarkan oleh nabi palsu itu adalah
surga yang palsu pula3.
Bagi orang-orang yang beriman soal kenabian adalah ajaran yang sudah final.
Muhammad adalah nabi yang terakhir dan tidak ada nabi lagi setelah beliau. Allah
SWT menegaskan dalam Al-Qur’an:
:
W G7
W FS☺UV QR⌧ PI
A/\'C ,[$B
12R,ZC ,XI
?,`Za;bP ?^B?
]G
de⌧] ;7 cG QR⌧
(40 :33/‫ )ااب‬f☺a;
Artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang lakilaki di antara kamu, tatapi dia adalah Rasulullah dan penutup
nabi-nabi. Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu”. (QS.
Al-Ahzab (33) : 40)
3
Armansyah, Jejak Nabi “Palsu”, (Bandung: PT Mizan Publika, 2007), hal. ii
Sedangkan dalam hukum positif sebagai perwujudan aturan hukum untuk
mencapai kehudupan masyarakat yang damai dan sejahtera meliputi perlindungan
hukum terhadap hak-hak dasar warga negara, misalnya bidang agama. Hal itu sesuai
dengan sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 yang berbunyi “Negara Berdasar Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Sebagai dasar negara yang mengakui keberadaan berbagai macam kepercayaan
(agama), jaminan kebebasan beragama ditujukan agar masyarakat Indonesia dapat
memilih menentukan keberagamaan mereka masing-masing tanpa intimidasi dari
pihak manapun. Disebutkan pula bahwa setiap umat beragama bebas untuk
menjalankan tata cara beribadah menurut agama yang dianutnya. Hal ini senada
dengan Azas kebebasan berkeyakinan yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945
pasal 29 ayat (2) : “Negara manjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”.
Pasal 28E ayat (1) menyebutkan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali”. Ayat (2) pasal 28E menegaskan,”Setiap
orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya”, Artinya seseorang dijamin kebebasannya untuk
melakukan ibadah sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaannya.
Tetapi perdebatan tentang penistaan atau penodaan agama senantiasa aktual,
baik dalam hukum Islam maupun positif, khususnya yang diatur dalam KUHP. Sebut
saja dalam komunitas umat Islam muncul aliran Salamullah yang di pimpin oleh Lia
Aminuddin (Lia Eden) Alias Syamsuruati, al-Qiyadah al-Islamiyah yang didirikan
oleh Ahmad Moshaddeq, aliran-aliran tersebut dianggap menyelewengkan nilai-nilai
dasar akidah Islam yang benar, hal ini juga dilegitimasi dengan keluarnya fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang sesatnya aliran tersebut.4
Bukan hanya itu, peraturan tentang penodaan terhadap agama di Indonesia
diatur melalui instrumen Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama. Ketentuan yang lebih
dikenal dengan UU PNPS No. 1 Tahun 1965 ini sangat singkat isinya, karena hanya
berisi 5 Pasal.5
Pasal 1 ketentuan ini menyatakan bahwa “Setiap orang dilarang dengan
sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan
umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia
atau melakukan kegiatan-kegiatan agama yang menyerupai kegiatan-kegiatan
4
MUI berdiri pada 26 juli 1975 berasaskan Islam, berkedudukan di Ibu kota Negara, bersifat
keagamaan, kemasyarakatan, dan independent. Organisasi ini berfungsi sebagai wadah musyawarah,
forum silaturahmu para ulama, zuama dan para cendikiawan muslimyang mengayomi umat dan
mengembangkan kehidupan yang Islami, demokratis, akomodatif, dan insfiratif. Selain itu merupakan
wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antar umat beragam sekaligus
pemberi fatwa terhadap umat Islam baik diminta atau tidak diminta. Lihat pedoman organisasi Majelis
Ulama Indonesia tahun 2001, h. 17-19
5
http://planetaswan.blogspot.com/2008/05/beragama-dan-kebebasan-tak berbatas.htmlabel:
Publika, diakses pada tanggal 11-04-2009
keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokokpokok ajaran agama itu.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 1 ini tidak bisa langsung dilakukan
upaya hukum dalam bentuk upaya penuntutan secara hukum. UU ini mengatur bahwa
setiap orang yang melanggar pasal 1 tersebut, maka ia akan diberikan perintah dan
peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya dalam Surat Keputusan Bersama
(SKB) dari Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.
Apabila setelah dikeluarkannya SKB tersebut, pelanggaran tersebut masih
berulang dilakukan, maka jika pelanggaran itu dilakukan oleh organisasi atau aliran
kepercayaan, maka Presiden dapat membubarkan organisasi tersebut dengan
pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri apabila
orang/organisasi tersebut masih melakukan penodaan agama, maka orang atau
anggota, dan atau pengurus organisasi tersebut dapat dipidana selama-lamanya 5
tahun.
Undang-undang ini juga memperkenalkan bentuk tindak pidana baru yaitu
tindak pidana penodaan agama ke dalam KUHP dalam Pasal 156 a. Namun,
penggunaan Pasal 156 a KUHP tetaplah tidak bisa dilakukan secara langsung, namun
harus dilakukan melalui beragam tindakan administratif pendahuluan.
Pasal 156 a KUHP
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan :
a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia
b. dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang
bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.6
Dari latar belakang masalah di atas penulis tertarik ingin menuangkannya
dalam bentuk skripsi yang diberi judul “Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Penistaan
Agama Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis Yurisprudensi
Perkara yang Bermuatan Penistaan Agama)”.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah maka dapat diidentifikasikan
ada beberapa yang dipermasalahkan dalam skripsi ini di antaranya :
1. Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku penistaan agama menurut hukum
Islam ?
2. Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku terhadap penistaan agama menurut
hukum positif ?
3. Apakah yurisprudensi perkara yang bermuatan penistaan agama yang ada di
Indonesia sudah relevan dengan hukum Islam ?
6
21, h. 59
Moeljatno, Kitab undang-undang hukum pidana, (Bandung: PT Bumi Aksara, 2001), cet.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan menguji
kebenaran suatu objek penelitian. Mengembangkan berarti mengkaji lebih dalam
yang sudah berlaku. Sedangkan menguji kebenaran dilakukan jika terdapat terhadap
apa yang sudah ada sebelumnya.
Dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis sendiri dalam
memperluas wawasan keilmuan khususnya bidang ilmu hukum. Di samping itu, hasil
penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam memecahkan permasalahan di
bidang hukum serta mengetahui mengenai pandangan hukum Islam dan hukum
positif (KUHP) tentang penistaan agama yang berkembang di masyarakat Indonesia,
karena itu merupakan cermin nilai-nilai aqidah yang diyakini oleh masyarakat. Secara
khusus penelitian ini bertujuan :
1. Dapat mengetahui bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku
penistaan agama menurut hukum Islam.
2. Untuk mengetahui sanksi pidana terhadap pelaku penistaan agama menurut
hukum positif.
3. Untuk memahami atau mengetahui kesesuaian yurisprudensi perkara yang
bermuatan penistaan agama dengan hukum Islam.
Manfaat penelitian di sini bertujuan :
1. Menyumbangkan pemikiran sebagai hasil kegiatan penelitian berdasarkan
prosedur, ilmiah, serta melatih kepekaan penulis terhadap masalah yang
penulis paparkan.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
untuk lebih mengetahui tentang penistaan agama sehingga terhindar dari
praktek penistaan agama.
3. Untuk menjelaskan tentang penistaan agama dalam ruang lingkup hukum
Islam dan undang-undang serta akibat dan penerapan hukumnya dalam
kehidupan masyarakat.
D. Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada skripsi ini adalah Penelitian kepustakaan
(library reseach), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji, buku-buku,
artikel, jurnal dan lain-lain yang ada relevansinya dengan tema skripsi ini.
Metode yang berikutnya yaitu penelitian analisis isi, yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara menganalisa kasus yang ada relevansinya dengan tema yang
ada pada skripsi ini, dalam hal ini penulis menganalisa putusan yang kasusnya berada
di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta 2007”.
1. Teknik Analisa Data
Penelitian menggunakan penelitian yang dihimpun dari berbagai sumber
pustaka yang berkaitan dengan obyek penelitian ini dengan berusaha mencari
gambaran dengan cara mengumpulkan data dan kemudian dijelaskan dengan analisa
serta dikaji berdasarkan teori dari berbagai sumber dan konsep dari para ahli sesuai
dengan permasalahan utama sehingga menjadi suatu pembahasan yang sistematis
untuk memperoleh hasil atau kesimpulan materi yang dapat diterima kebenarannya.
Sumber data penelitian ini terbagi pada dua sumber, yaitu: sumber data primer
dan sekunder. Sumber data primer dari Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber hukum
Islam dan dengan penjabaran pendapat dari para Ulama. Kemudian pijakan hukum
positifnya dari materi perundang-undangan yang terkait. Yaitu Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) pasal 156 a. Sedangkan sumber sekunder, diambil dari karya
ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan sanksi pidana terhadap pelaku penistaan
agama.
D. Review Studi Terdahulu
Dari data katalog yang penulis cari, ada satu skripsi yang pembahasannya
hampir sama dengan yang penulis bahas, skripsi tersebut berjudul Penodaan Agama
ditinjau dari Hukum Islam dan KUHP (Studi Kasus Aliran Jamaah Salamullah) yang
ditulis oleh Nurhasan, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2008. Dalam skripsi ini dia membahas penodaan agama menurut hukum Islam
dan KUHP, tinjauan umum tentang agama menurut hukum Islam dan hukum positif,
penodaan agama menurut hukum Islam dan hukum positif, kemudian menganalisa
kasus aliran jamaah Salamullah.
Yang membedakannya dengan skripsi yang akan penulis bahas adalah bahwa
skripsi yang akan penulis bahas akan memaparkan bagaimana sanksi pidana terhadap
pelaku penistaan agama dan juga akan membahas penistaan agama menurut hukum
Islam dan hukum positif, serta akan menganalisis yurisprudensi perkara yang
bermuatan penistaan agama, dalam hal ini penulis mengambil kasus aliran al-Qiyadah
al-Islamiyah dan aliran jamaah Salamullah.
E. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penyusunan, penulis membagi pembahasannya menjadi
lima bab, selanjutnya dari tiap bab dirinci menjadi sub-bab, dengan susunan sebagai
berikut :
BAB I : Pendahuluan. Dalam bab ini berisikan berupa latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II :Sanksi Pidana dalam Perspektif Hukum Islam. Pokok bahasan dalam
bab ini tentang beberapa pengertian sanksi pidana, macam-macam sanksi pidana,
sistem sanksi pidana, prinsip dan tujuan sanksi pidana.
BAB III : Sanksi Pidana dalam Perspektif Hukum Positif. Uraian bab ini
tentang beberapa pengertian sanksi pidana, macam-macam sanksi pidana, sistem
sanksi pidana.
BAB IV : Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Penistaan Agama Menurut Hukum
Islam dan Hukum Positif. Dalam bab ini menguraikan bagaimana sanksi pidana yang
diberikan terhadap pelaku penistaan agama menurut hukum Islam dan hukum positif,
serta analisis yuriprudensi perkara yang bermuatan penistaan agama.
BAB V : Penutup. Bab ini berupa kesimpulan, saran, dan berupa daftar
pustaka.
BAB II
SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pengertian Sanksi (uqûbah)
Menurut Ahmad Fathi Bahasni sanksi (uqûbah) berarti balasan berbentuk
ancaman
yang ditetapkan syar’i (Allah) untuk mencegah terhadap perbuatan-
perbuatan yang dilarangnya dan perbuatan meninggalkan yang ia perintahkan.7
Sedangkan Abdul Qadir Audah mendefinisikan sanksi atau hukuman adalah
balasan yang telah ditentukan untuk kepentingan orang banyak atas perbuatan
melanggar perintah Allah SWT.8
Di dalam kitabnya “Fatawa”, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa disyariatkan
hukuman merupakan rahmat dari Allah SWT untuk manusia yang timbul sebagai rasa
kasih sayangnya terhadap makhluk. Oleh karenanya adalah wajar Allah menjatuhkan
hukuman terhadap perbuatan dosa dengan maksud berbuat baik kepada manusia.
Maka ancaman, siksaan yang dijatuhkan dimaksudkan untuk mendidik pelakunya
demi merealisasikan kemaslahatan umum.
7
A. Fathi Bahasni, al- Uqubah fi al-fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-syuruq, 1983), cet. Ke-V,
h. 13
8
Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jinai al-Islami, (Beirut: Muassah al-Risalah, 1992), cet.
Ke-II, Juz 1, h. 812
B. Macam-Macam Sanksi (Uqûbah)
Hukuman dapat dibagi menjadi beberapa golongan menurut segi tinjauannya:
1. Berdasarkan Pertalian Satu Hukuman dengan lainnya
a. Hukuman Pokok (al-‘Uqûbah al-Asliyyah)
Hukuman pokok yaitu hukuman pokok yang telah ditetapkan pada
satu tindak pidana, seperti hukuman qisas bagi tindak pidana pembunuhan,
hukuman rajam bagi tindak pidana zina, dan hukuman potong tangan bagi
tindak pidana pencurian.9
b. Hukuman Pengganti (al-‘Uqûbah al-Badaliyah)
Hukuman pengganti yaitu hukuman yang menggantikan hukuman
pokok apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan karena adanya
alasan yang syar’i, seperti hukuman diyat sebagai pengganti hukuman
qisas dan hukuman ta’zîr sebagai pengganti hukuman hudûd dan qisas.
Pada dasarnya hukuman pengganti adalah hukuman pokok sebelum
berubah menjadi hukuman pengganti. Hukuman ini dianggap sebagai
hukuman pengganti hukuman yang lebih berat yang tidak bisa
dilaksanakan. Diyat adalah hukuman pokok pada tindak pidana
pembunuhan semi sengaja, tetapi ia dianggap sebagai hukuman pengganti
pada tindak pidana qisas. Ta’zîr juga adalah hukuman pokok untuk tindak
pidana ta’zîr, tetapi menjadi hukuman pengganti pada tindak pidana
9
Ahsin Sakho Muhammad, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Karisma Ilmu,
2007), cet. Ke-I, jilid III, h. 39
hudûd dan qisas apabila hukuman keduanya tidak dapat dilaksanakan
karena adanya alasan yang syar’i.
c. Hukuman Tambahan (al’Uqûbah al-Tabâ’iyyah)
Hukuman tambahan yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok
tanpa memerlukan keputusan tersendiri. Contohnya, larangan menerima
warisan bagi pembunuh. Larangan menerima waris ini adalah konsekuensi
atas penjatuhan hukuman mati terhadap pembunuh. Contoh lainnya,
dicabutnya hak sebagai saksi terhadap pelaku qazaf. Hukuman ini tidak
harus dikeluarkan melalui putusan hukuman, tetapi cukup dengan adanya
putusan penjatuhan hukuman qazaf.
d. Hukuman Pelengkap (Taklîmiyyah)
Hukuman pelengkap yaitu hukuman yang mengikuti hukuman
pokok dengan adanya putusan tersendiri dari hakim. 10
Hukuman pelengkap sejalan dengan hukuman tambahan karena
keduanya merupakan konsekuensi/akibat dari hukuman pokok. Perbedaan
keduanya: hukuman tambahan tidak mensyaratkan adanya putusan
tersendiri dari hakim, sedangkan hukuman pelengkap mensyaratkan
adanya
putusan
tersebut.
Contoh
hukuman
pelengkap
adalah
mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong ke lehernya. Hukuman
pengalungan ini baru boleh dilakukan setelah dikeluarkannya putusan
hukuman tersebut.
4
Ibid., h. 40
2. Berdasarkan Kekuasaan Hakim dalam Menentukan Bentuk dan Jumlah
Hukuman
Dalam hal ini ada dua macam hukuman, yaitu sebagai berikut:
a. Hukuman yang hanya memiliki satu batas
Artinya tidak memiliki batas tertinggi atau batas terendah. Hukuman
ini tidak dapat dikurangi atau ditambah meskipun pada dasarnya bisa
ditambah atau dikurangi. Contohnya, pencelaan, teguran, nasihat, atau
cambukan yang ditetapkan sebagai hukuman hudûd (seperti hukuman dera
sebagai hukuman hudûd sebanyak delapan puluh kali atau seratus kali).
b. Hukuman yang memiliki dua batas (Batas Tertinggi atau Terendah)
Dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman yang
sesuai antara kedua batas tersebut. Contohnya hukuman kurungan,
cambuk atau dera dalam hukuman ta’zîr.
3. Berdasarkan Kewajiban Menjatuhkan Suatu Hukuman
Dalam hal ini ada dua macam hukuman, yaitu sebagai berikut:
a. Hukuman yang telah ditentukan bentuk dan jumlahnya
Hukuman yang telah ditentukan bentuk dan jumlahnya yaitu
hukuman yang telah ditetapkan jenisnya dan telah dibatasi oleh syar’i
(Allah dan Rasul-Nya). Hakim wajib melaksanakannya tanpa boleh
mengurangi, menambah, atau menggantinya dengan hukuman lain.
Hukuman ini disebut juga dengan “uqûbah lazimah” (hukuman
keharusan) karena penguasa tidak boleh menggugurkan hukuman ini dan
memaafkan pelaku tindak pidana dari hukuman ini.
b. Hukuman yang tidak ditentukan bentuk dan jumlahnya
Hukuman yang tidak ditentukan bentuk dan jumlahnya yaitu
hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk memilihnya dari
sekumpulan hukuman yang ada dianggap sesuai dengan keadaan tindak
pidana serta pelaku. Hukuman ini disebut dengan uqûbah mukhayyarah
(hukuman pilihan) karena hakim berhak memilih diantara sekumpulan
hukuman tersebut.
4. Berdasarkan Tempat dilakukannya Hukuman
Hukuman ini terbagi manjadi tiga, yaitu sebagai berikut:
a. Hukuman badan (Uqûbah Badaniyah)
Yaitu hukuman yang dijatuhkan atas badan sipelaku, seperti
hukuman mati, dera, dan penjara.
b. Hukuman jiwa (Uqûbah Nafsiyyah)
Yaitu hukuman yang dijatuhkan atas jiwa sipelaku. Contohnya
hukuman nasihat, celaan, dan ancaman.
c. Hukuman harta (Uqûbah Mâliyyah)
Yaitu hukuman yang ditimpakan pada harta pelaku, seperti hukuman
diyat, denda dan biaya administrasi. 11
11
Ahsin Sakho Muhammad, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 40
5. Berdasarkan Macamnya Tindak Pidana yang Diancamkan Hukuman
Adapun rincian hukuman-hukuman tersebut adalah sebagai terbut:
a. Hukuman yang telah ditetapkan terhadap tindak pidana hudûd
Hukuman hudûd terbagi menjadi tujuh macam, sesuai dengan bilangan
tindak pidana hudûd, yaitu:
1) Zina;
2) Qazaf;
3) Meminum minuman keras;
4) Mencuri;
5) Melakukan hirabah (gangguan keamanan);
6) Murtad;
7) Memberontak.
Hukuman yang ditetapkan terhadap segala tindak pidana tersebut disebut
had (hudûd). Hudûd adalah hukuman yang telah ditetapkan sebagai hak Allah
SWT atau hukuman yang telah ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat.
Dikatakan sebagai hak Allah karena hukuman ini tidak dapat digugurkan, baik
oleh individu maupun masyarakat. Para fuqoha menjadikan suatu hukuman
sebagai hak Allah SWT ketika kemaslahatan masyarakat menuntut demikian,
yakni menghilangkan kerusakan dari manusia dan mewujudkan pemeliharaan
dan ketentraman untuk mereka.12
6
Ibid., h. 41
1) Hukuman Zina
Dalam hukum Islam hukuman atas tindak pidana zina ada tiga:
a) Jilid (cambuk atau dera);
b) Taghrîb (diasingkan);
c) Rajam.
Hukuman dera dan pengasingan ditetapkan bagi pelaku zina gairu
muhsan (belum pernah menikah), sedangkan rajam ditetapkan bagi pelaku
zina muhsan (pelaku yang sudah melakukan hubungan seksual melalui
pernikahan yang sah). Apabila keduanya gairu muhsan, hukumannya adalah
dera dan dibuang, tetapi jika keduanya muhsan hukumannya adalah rajam.
Apabila salah satunya muhsan sedangkan yang lain gairu muhsan, pelaku
pertama dijatuhi hukuman rajam, sedangkan yang gairu muhsan dijatuhi
hukuman cambuk.
2) Hukuman Qazaf (menuduh orang baik-baik malakukan zina tanpa bukti yang
jelas/fitnah)
Dalam hukum Islam tindak pidana qazaf dikenai dua hukuman:
a) Hukuman pokok berupan hukuman dera;
b) Hukuman tambahan berupa tidak diterima persaksian.
Dasar hukum qazaf adalah firman Allah SWT
Q/I1>0
!gR%G
e^B
'2^
($hieB☺.
U71C
j;7
K/j0
e^+
;mB
GUk4l
pq
n
!"n$o
^
t$Ukl
12rsb
K/.<B
2+ uv$Bj
wW
8 7
W
(4/24 : ‫ )ا ر‬Q/4<[x$⌧O.
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan
mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An-Nur (24) :4)
3) Hukuman Meminum Minuman Keras
a) Hukuman Dera13
Hukum Islam menjatuhkan hukuman delapan puluh kali jera bagi pelaku
tindak pidana meminum minuman keras . Ini merupakan hukuman yang memiliki
satu batas karena hakim tidak dapat mengurangi, menambahi, atau menggantinya
dengan hukuman yang lain.
4) Hukuman Pencurian
a) Hukuman Potong Tangan (dan kaki)
Hukum Islam mengancamkan hukuman potong tangan (dan kaki) bagi
pelaku tindak pidana pencurian. Apabila seseorang mencuri untuk kali pertama,
yang dipotong adalah tangan kanannya, jika untuk kali kedua, yang dipotong
adalah kaki kirinya. Tangan yang dipotong mulai dari persendian telapak tangan,
sedangkan kaki yang dipotong mulai dari persendian mata kakinya. 14
5) Hukuman Gangguan Keamanan (Hirâbah)
13
Ahsin Sakho Muhammad, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 43
14
Ibid., h. 44
a) Hukuman Mati
Hukuman ini wajib dijatuhkan kepada pengganggu keamanan yang
melakukan pembunuhan. Hukuman ini adalah hukuman hudud, bukan qisas,
sehingga tidak bisa dimaafkan oleh wali korban.
b) Hukuman Mati disalib
Hukuman ini wajib dijatuhkan terhadap pengganggu keamanan yang
melakukan pembunuhan dan perampasan harta. Jadi hukuman ini dijatuhkan atas
pembunuhan dan pencurian harta sekaligus. 15
c) Pemotongan Anggota Badan
Hukuman ini harus dijatuhkan kepada pelaku hirâbah (gangguan
keamanan) jika ia mengambil harta, tetapi tidak melakukan pembunuhan. Yang
dimaksud dengan pemotongan adalah memotong tangan kanan dan kaki kirinya
sekaligus secara silang.
d) Hukuman Pengasingan
Hukuman ini ditetapkan bagi pelaku hirâbah apabila ia hanya menakut
nakuti orang, tetapi tidak mengambil harta dan tidak membunuh.
e) Hukuman Tindak Pidana Murtad
1. Hukuman Mati
Hukum Islam menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku murtad karena
perbuatan itu ditujukan terhadap agama Islam sebagai sistem sosial
masyarakat. Sikap menggampangkan dan ketidaktegasan dalam menghukum
15
Ibid., h. 45
tindak pidana murtad mengakibatkan terguncangnya sistem masyarakat
tersebut. Karena itu, tindak pidana ini dijatuhi hukuman terberat untuk
menumpas para pelakunya untuk melindungi masyarakat dan sistem sosial
mereka dari satu sisi sebagai peringatan dan pencegahan umum dari sisi
lainnya.16
2. Perampasan Harta
Hukuman tambahan bagi pelaku tindak pidana murtad adalah
perampasan harta pelakunya. Para fuqoha berbeda pendapat tantang cara
perampasan ini;. Menurut mazhab Maliki, Syafi’i, dan pendapat yang kuat
dari mazhab Hanbali, seluruh harta benda orang murtad dirampas. Sedangkan
menurut mazhab Abu Hanifah dan didukung oleh pendapat yang tidak kuat
dalam mazhab hanbali, hanya harta yang didapat dari pelaku murtad,
sedangkan harta yang didapat dari sebelum ia murtad diberikan kepada ahli
warisnya yang beragamaIslam.
f) Hukuman Pemberontakan
Tindak pidana pemberontakan ditujukan kepada sistem hukum dan
pelaksanaannya. Dalam hal ini hukum Islam bersikap keras karena apabila
bersikap memudahkan, akan timbul fitnah, kekacauan, dan ketidak stabilan dan
pada akhirnya akan menyebabkan kemunduran dan kehancuran masyarakat
umum. Tidak diragukan lagi bahwa hukuman mati adalah hukuman yang paling
10
Ibid., h. 65
mampu mencegah manusia dari melakukan tindak pidana ini yang biasanya
didorong oleh keserakahan serta mencintai kemuliaan dan kekuasaan.
C. Sistem Sanksi Pidana dalam Hukum Islam
Dalam hukum Islam perbuatan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain
atau masyarakat, baik anggota badan maupun jiwa, harta benda, perasaan, keamanan,
dapat dikatakan sebagai perbuatan jarimah.
Dalam hukum Islam tujuan pokok dari penjatuhan hukuman ialah pencegahan
(ar-rad’u waz-zajru), pengajaran serta pendidikan (al-islah wat-tahzîb).17 Adapun
yang dimaksud pencegahan ialah mencegah diri sipelaku untuk tidak mengukangi
perbuatannya dan mencegah diri orang lain dari perbuatan yang demikian. Dalam
hukum Islam, penjatuhan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik
yang dikuasai rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya
dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya.
Ditinjau dari perbuatannya, tindak pidana (jarîmah) dibedakan menjadi:
1. Jarimah Hudûd
Jarimah Hudûd yaitu, hukum yang diancam dengan had dan lebih ditentukan
oleh syara, dan menjadi hak Allah. Hukuman tersebut telah ditentukan oleh syara dan
tidak ada batas minimal dan maksimal, maka hukuman ini tidak bisa dilepaskan oleh
11
279
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), cet. Ke-1, h.
perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau masyarakat yang
diwakili oleh Negara.
Hukuman had merupakan hak Allah yang tidak dapat dimaafkan dan
dihapuskan oleh manusia. Macam-macam tindak pidana hudûd adalah:
a. Tindak Pidana Riddah (murtad) ;
b. Tindak Pidana Hirâbah;
c. Tindak Pidana Bughât;
d. Tindak Pidana perzinahan;
e. Tindak Pidana Qazaf ;
f. Tindak Pidana pencurian;
g. Tindak Pidana konsumsi khamar (Syurb al-khamar).
Adapun macam-macam hukuman dari tindak pidana (jarîmah) hudûd yaitu:
a. Hukuman mati, hukuman ini dijatuhkan kepada pelaku jarimah hirâbah
yang melakukan pembunuhan.
b. Hukuman cambuk, hukuman ini dijatuhkan kepada pelaku zina yang belum
kawin dengan sebanyak seratus kali cambuk dan sebanyak delapan pulih
kali cambuk kepada yang melakukan tuduhan palsu zina terhadap orang
lain.18
c. Hukuman rajam, yaitu hukuman mati dengan cara lempar batu. Hukuman
ini dijatuhkan kepada pelaku zina muhsan (sudah kawin) baik laki-laki
maupun perempuan.
18
Ibid., h. 289-294
2. Jarimah Qisâs dan Diyat
Qisas bisa diartikan sebagai pembalasan setimpal dengan perbuatannya. Qisas
merupakan hukuman yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, dimana perbuatan
diberi balasan sesuai dengan perbuatannya. Untuk terwujudnya keamanan dan
ketertiban, hukuman qisâs dapat lebih menjamin. Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin
membedakan tindak pidana qisas dan diyat berupa:
a. Pembunuhan dengan jalan sengaja. Ada tiga macam hukuman ialah hukuman
pokok, hukuman pengganti, dan hukuman tambahan.
1) Hukuman pokok dari pembunuhan dengan sengaja ialah berupa: Qisas,
membayar diyat dan ta’zîr;
2) Hukuman pengganti ialah berupa: Membayar diyat, berpuasa dua bulan
berturut-turut dan diberi ta’zîr;
3) Hukuman tambahan ialah berupa: Terlarangnya hak waris mewarisi dan
terlarangnya menerima wasiat.
b. Pembunuhan serupa disengaja (semi sengaja) hukumannya ialah:
1) Hukuman pokok ialah berupa: Membayar diyat;
2) Hukuman pengganti ialah berupa: Diberi ta’zîr dan berpuasa dua bulan
berturut-turut;
3) Hukuman tambahan ialah berupa: Terlarangnya waris mewarisi dan menerima
wasiat dari yang terbunuh.
c. Pembunuhan yang tidak disengaja, hukumannya ialah:
1) Hukuman pokok ialah berupa: membayar diyat;
2) Hukuman pengganti ialah berupa: ta’zîr dan berpuasa dua bulan berturutturut;
3) Hukuman tambahan ialah berupa: terlarangnya waris mewarisi dan menerima
wasiat dari yang terbunuh.
3. Jarimah Ta’zir
Jarimah ta’zîr ialah pidana diluar had dan qisas/diyat dan hukuman itu
dilaksanakan oleh penguasa dalam negara.
Adapun hukuman ta’zîr ialah:
a. Hukuman Mati: pada dasarnya hukuman ta’zîr adalah untuk memberi
pelajaran dan tidak sampai membinasakan, oleh karena itu hukuman mati
sebagai hukuman ta’zîr, merupakan suatu pengecualian dan hukuman
tersebut tidak boleh diperluas atau diserahkan seluruhnya kepada hakim, dan
menentukan jarimah yang dijatuhi hukuman;19
b. Hukuman Cambuk (jilid), merupakan hukuman pokok dalam syariat Islam,
dimana untuk jarimah hudud sudah tentu jumlahnya, misalkan 100 kali
untuk zina dan 80 kali untuk qazaf, sedang untuk jarimah ta’zîr tidak
tertentu jumlahnya. Dan dalam ta’zîr hukuman cambuk lebih diutamakan;
c. Hukuman Tahanan (penjara)
19
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Mazhab Syafi’i, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000),
cet. Ke-2, h. 325
Ada dua macam hukuman tahanan dalam syariat Islam, yaitu hukuman
tahanan terbatas dan hukuman tahanan tidak terbatas. Hukuman tahanan
terbatas yaitu: Batas hukuman terendah ini adalah satu hari, sedang batas
setinggi-tingginya tidak menjadi kesepakatan. Dan hukuman tahanan tidak
terbatas yaitu: sudah ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan dapat
berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya;20
d. Hukuman Pengasingan
Mengenai masa pengasingan dalam jarimah ta’zîr, maka menurut mazhab
Syafi’i dan Ahmad tidak lebih dari satu tahun agar tidak melebihi masa
pengasingan yang telah ditetapkan sebagai hukuman had, yaitu satu tahun
juga. Menurut imam Abu Hanifah masa pengasingan bisa lebih dari satu
tahun, sebab pengasingan disini adalah hukuman ta’zîr dan bukan hukuman
had;
e. Hukuman Denda atau ganti rugi
Hukuman denda ditetapkan juga oleh Syariat Islam misalkan mengenai
mencuri buah yang masih tergantung dipohonnya yang didenda dengan dua
kali lipat dua kali harga buah tersebut.
20
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 336-337
D. Prinsip dan Tujuan Sanksi
1. Prinsip Dasar Sanksi
Perlu diperhatikan bahwa prinsip dasar sebuah sanksi dalam pandangan
syariat terdiri dari dua prinsi dasar atau kaidah umum yaitu:21
a. Bertujuan
memerangi
segala
bentuk
tindak
kejahatan,
tanpa
memperdulikan kondisi dan status pelaku.
Maksud dari memerangi segala bentuk kejahatan, bertujuan untuk menjaga
kemaslahatan orang banyak dari segala tindak kejahatan.
b. Memperlihatkan kondisi dan status pelaku dengan tidak melupakan tujuan
sanksi untuk memerangi segala bentuk kejahatan.
Maksudnya dengan memperlihatkan kondisi dan status pelaku, bertujuan
sebagai pembenahan dan perbaikan baginya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa
dua kaidah dasar ini terdapat perbedaan yang mendasar, satu sisi menjaga
kemaslahatan orang banyak dari pelaku kejahatan berarti tidak memperdulikan
keadaan dan status pelaku, disisi lain memperhatikan kondisi dan status pelaku
berarti akan meninggalkan penjagaan terhadap kemaslahatan orang banyak.
2. Tujuan Sanksi
Sanksi (Uqûbah) di dalam Islam telah terbukti mampu mencegah kejahatan,
menjamin keamanan, keadilan dan ketenteraman bagi masyarakat. Sanksi-sanksi
yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak kriminal berfungsi sebagai “jawâzir”
21
Abdul Qadir ‘Audah, al-Tasyri’ al-Jinâi al-Islâmi, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992),
cet. Ke-II, juz 1, h. 813
(pencegah), karena memiliki efek jera yang menghalangi orang lain untuk
melakukan kejahatan yang sama.22 Selain sebagai pencegah sanksi juga bertujuan
sebagai penebus dosa seorang muslim dari azab Allah SWT dihari kiamat.
Tujuan berlakunya sanksi terhadap siapa saja yang melanggar perintah
Allah SWT adalah untuk memperbaiki perilaku hamba, menjaganya dari
kerusakan , menyelamatkannya dari kebodohan, menunjukinya dari kesesatan,
mencegahnya dari kemaksiatan dan menjadikannya taat dan patuh.23
Allah SWT menurunkan syariat-Nya dan mengutus para rasul-Nya adalah
untuk memberikan pendidikan kepada sekalian manusia dan mengarahkannya
kepada jalan yang benar. Ia menetapkan sanksi bagi siapa saja yang melanggar
segala perintahnya untuk kemaslahatan mereka sendiri sekalipun mereka
membencinya. Mencegahnya dari perbuatan yang sesat meskipun mereka
menyukainya.
Oleh karena itu, penetapan sanksi adalah untuk memperbaiki perilaku setiap
individu, menjaga dan mengatur kepentingan orang banyak. Allah SWT dalam
menurunkan syariat-Nya berupa sekumpulan hukum-hukum, lalu memerintahkan
kepada kita untuk melaksanakannya, tidak merasa dirugikan walaupun seluruh
manusia di muka bumi ini melanggar segala perintahnya, begitu juga ia tidak
22
http//imankpr.multiply.com/journal/item/13/Hukuman Mati2, diakses pada tanggal 02-05-
2009
23
Abdul Qadir ‘Audah, al-Tassyri’ al-Jinai al-Islami, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992),
Cet. Ke-II, juz 1, h. 812
diuntungkan walaupun seluruh manusia di muka bumi ini mematuhi segala
perintahnya.
Sanksi pidana Islam yang diberlakukan tentu saja jika memenuhi ketentuan
syari’at akan berfungsi sebagai penebus dosa. Dengan begitu pelakunya tidak
akan disiksa di akhirat karena dosa kejahatan tersebut. Bagi orang yang
mengimani kehidupan akhirat berikut pahala dan siksanya, sifat ini memberikan
dorongan besar baginya untuk mengakui kejahatan yang ia perbuat sekaligus
menjalani hukuman dsengan penuh kerelaan bahkan dengan kegembiraan.24
24
2009
http//imankpr.multiply.com/journal/item/13/Hukuman Mati 2 , diakses pada tanggal 02-05-
BAB III
SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
A. Pengertian Sanksi Pidana
Dalam membahas perihal hukum pidana, diantara persoalan penting yang
mustahil dilewatkan begitu saja ialah perihal sanksi pidana atau hukuman
dihubungkan dengan berat ringannya kejahatan maupun berkenaan dengan tujuan
sanksi pidana dikaitkan dengan perlindungan terhadap masyarakat khususnya pihak
korban.
Sanksi pidana terdiri dari dua kata sanksi dan pidana. Kata sanksi berarti
tindakan (hukum) yang memaksa orang untuk menepati janji atau menaati hukum. 25
Sedangkan kata pidana berasal dari bahasa Sanskerta dalam bahasa Belanda disebut
“straf” dan dalam bahasa inggris disebut “penalty” artinya hukuman.26
Dalam kamus lain sanksi pidana bisa diartikan juga sebagai salah satu alat
pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah, undang-undang, norma-norma hukum.
25
Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994),
26
Subekti dan Tjitrosoedibyo, Kamus Hukum, (Pradnya Paramita, 1990), h. 83
h. 692
Penegakan hukum pidana menghendaki sanksi hukum yaitu sanksi terdiri atas cerita
khusus yang dipaksakan kepada si bersalah.27
B. Macam-Macam Sanksi Pidana (hukuman)
Menurut hukum positif sebagaimana yang tercantum dalam pasal 10 kitab
undang-undang hukum pidana (KUHP), hukuman itu terdiri dari dua macam yaitu:
1. Hukuman Pokok
Yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan bersama-sama pidana tambahan, dan
dapat juga dijatuhkan sendiri.28
Macam-macam hukuman pokok ialah:
a. Hukuman Mati
Hukuman mati masih tetap dipertahankan dalam KUHP di Indonesia.
Walaupun sejak tahun 1870 hukuman mati ini telah dihapuskan dari KUHP
Nederland. Adapun tindak pidana yang diancam hukuman mati yang penulis kutip
dari Media Hukum dan HAM ada 14 peraturan Indonesia yang membenarkan
berlakunya hukuman mati, yaitu:29
1) Pasal 104 KUHP: Makar membunuh Presiden dan Wakil Presiden.
27
Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional Indonesia, (Jakarta: WIPRES, 2007), cet. Ke-I,
h. 436
28
Hartono Hadi Soeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993), cet.
Ke-I, h. 109-110
29
6
Media Hukum dan HAM, Pusat Study Hukum dan HAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h.
“Makar dengan maksud untuk membunuh atau merampas kemerdekaan
atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden diancam
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
sementara”.
2) Pasal 124 (3) KUHP: Kejahatan terhadap keamanan Negara.
“Pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara
paling lama 20 tahun dijatuhkan jika:
a) Memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh, menghancurkan
atau merusak sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki
suatu alat penghubung gudang persediaan perang, atau kas perang
ataupun Angkatan Laut, Angkatan Darat ataupun bagian daripadanya.
b) Menyebabkan atau memperlancar timbulnya huru hara pemberontakan
atau diserse dikalangan Angkatan Perang.
3) Pasal 340 KUHP: Pembunuhan berencana.
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan
jiwa
orang
lain,
dihukum
karena
pembunuhan
direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup
atau penjara semantara selama-lamanya 20 tahun.
4) Pasal 365 (4) KUHP: Pencurian dengan kekerasan.
“Diancam dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup atau
selama
waktu
tertentu
paling
lama
20
tahun,
jika
perbuatan
mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau
lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang diterangkan
dalam nomor (10 dan (3).
5) Pasal 444 KUHP: Kejahatan terhadap pelayaran.
“Jika perbuatan kekerasan yang diterangkan pasal 438-441 mengakibatkan
seseorang yang dikapal diserang atau seseorang yang diserang itu mati
maka nahkoda, panglima atau pemimpin kapal dan mereka yang turut
serta melakukan perbuatan kekerasan diancam dengan pidana mati, atau
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu
paling lama 20 tahun.
6) dan 7) Pasal 479 (K) ayat 2 KUHP dan pasal 479 (0) ayat 2 KUHP:
Kejahatan penerbangan dan prasarana.
“Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya
pesawat udara itu dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 tahun”.
8) Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun1999: Korupsi atau merugikan
Negara dalam keadaan tertentu.
“Tindakan korupsi untuk memperkaya orang lain atau orang lain diancam
dengan hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun
ditambah denda minimal 200 jutu atau maksimal satu milyar”.
9) Pasal 80-82 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang: Memproduksi,
mengolah, menyediakan narkotika.
Pasal 80
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a.
Memproduksi,
mengolah,
mengkonversi,
perakit,
atau
menyediakan narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati
atau penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama-lamanya 20
tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu miliar
rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam:
a. Ayat (1) huruf a didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda
paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 2. 000.000.000.00 (dua miliar rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam:
a. Ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atu pidana penjara
paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling
sedikit Rp. 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah).
Pasal 81
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam:
a. Ayat (1) huruf a (membawa, mengirim, mengangkut narkotika
golongan I) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana
mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.
500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah).
Pasal 82
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum:
a. Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan,
menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara
jual beli, atau menukar narkotika golongan I, dipidana dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling
lama
20
tahun
dan
denda
1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).
paling
banyak
Rp.
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a
didahului dengan pemufakatan jahat maka terhadap tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam:
a. Ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara seumur 4 tahun dan paling lama
20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000.00 (dua miliar
rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam:
a. Ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan
denda paling sedikit Rp. 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 3.000.000.000.00 (tiga miliar rupiah).
10) Pasal 59 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997: Menyalahgunakan
obat-obatan psikotropika secara terorganisasi.
(1) Barang siapa:
a. Menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam
pasal 4 ayat (2), atau
b. Memproduksi atau menggunakan dalam proses produksi
psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam pasal 6
c. Mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal12 ayat (3), atau
d. Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan
ilmu pengetahuan, atau
e. Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan membawa
psikotropika golongan I.
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling
lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 150.000.000.00 (seratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000.00 (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah).
(2)
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan
secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 tahun dan
pidana denda sebesar Rp. 750.000.000.00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah).
11)
Perpu Nomor 1 tahun 2002 Jo pasal 6 Undang-Undang Nomor 15
2003 tentang terorisme:
“ Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana terror atau rasa
takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang
bersifat misal, dengan cara merampas atau menghilangkan nyawa
harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau
kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau
lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas internasional,
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20
tahun”.
Di dalam praktek terdapat peraturan-peraturan lain bagaimana
hukuman mati itu harus dilaksanakan, yaitu:30
a) Dilaksanakan di dalam penjara;
b) Dilaksanakan oleh penuntut umum dan hakim yang bersangkutan yang
mengadili si terhukum;
c) Didampingi seorang dokter yang memastikan bahwa si terhukum
benar-benar mati;
d) Dilaksanakan oleh seorang algojo yang merupakan seorang pejabat
negeri;
e) Tiga kali dua puluh empat jam sebelum hukuman mati dijalankan
polisi harus diberitahukan kepada ketua terhukum oleh ketua
pengadilan negeri atau yang diwakilkan dengan dibantu oleh panitera,
atau jika ketua pengadilan negeri tidak ada di tempat maka oleh jaksa;
30
Satochid Kertanegara, Kumpulan Kuliah Hukum Pidana, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa,
tth), cet. Ke-I, h. 273
f) Sejak si terhukum diberi tahu tentang hari akan dijalankannya
hukuman mati, ia harus dijaga ketat;
g) Seorang terhukum mati harus diizinkan bertemu dengan guru
keagamaan atau pendeta;
h) Persiapan-persiapan
untuk
menjalankan
hukuman
mati
harus
dilakukan tanpa diketahui atau dapat terlihat oleh si terhukum;
i) Hukuman mati tidak boleh dijalankan pada hari minggu, hari raya
nasional atau keagamaan.31
b. Hukuman Penjara
Di Indonesia si terhukum selalu menjalani hukuman penjara bersama-sama
dengan terhukum lainnya, karena Indonesia tidak menganut system cellulair,
sehingga hal ini semakin memberatkan si terhukum orang yang melakukan kejahatan
yang bukan dikarenakan bakat-bakat jahatnya. Akan tetapi oleh karena mengalami
kesulitan-kesulitan dalam hidupnya, atau penderitaan, kemudian melakukan kejahatan
setelah pada dirinya di hinggapi pikiran-pikiran yang melemahkan.
Oleh karena itu timbulah anggapan bahwa penjara itu justru merupakan
“kursus kejahatan” bagi mereka yang sebenarnya tidak mempunyai bakat jahat, akan
tetapi perbuatannya hanyalah dikarenakan oleh kesulitan hidup
c. Hukuman Kurungan
31
Wiryono Projodikoro, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT. Erasco, 1989),
cet. Ke-VI, h. 168
Jenis hukuman kurungan sifatnya mirip dengan hukuman penjara dengan
perbedaan sebagai berikut:
Pertama: Hukuman penjara diancamkan terhadap kejahatan berat, sedangkan
hukuman kurungan diancamkan sebagai hukuman alternatif.
Kedua: Hukuman penjara maksimal 15 tahun yang apabila disertai masalahmasalah tertentu dapat dinaikan menjadi 20 tahun. Sedangkan maksimum hukuman
kurungan satu tahun yang hanya dapat dinaikan menjadi satu tahun empat bulan jika
ada ,masalah-masalah yang memberatkan.
Ketiga: Hukuman penjara pelaksanaannya dapat dilaksanakan disemua
tempat. Sedangkan hukuman kurungan hanya dapat dilaksanakan di dalam
lingkungan daerah dimana terhukum bertempat tinggal. Jika terhukum tidak
mempunyai tempat tinggak maka dihukum di dalam di daerah dimana ia berada.
d. Hukuman Denda
Hukuman denda adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap harta kekayaan
terhukum.
2. Hukuman Tambahan
Sesuai dengan namanya maka pidana ini tidak dapat dijatuhkan tersendiri.
Jadi selalu dijatuhkan bersama-sama pidana pokok.32
Macam-macam hukuman tambahan sebagai berikut:
a. Pencabutan hak-hak tertentu
32
Hadi Soeprapto, Pengantar Tata Hukum, h. 109
Jenis hukuman tambahan ini disebut juga erestal, maksudnya hukuman
tambahan ini dijatuhkan terhadap kehormatan atau martabat seseorang. Adapun hakhak yang dapat dicabut ini meliputi lapangan hukum tata Negara dan lapangan hukum
perdata. Hal ini diatur dalam pasal 35 KUHP (1) yaitu hak-hak yang dapat dicabut itu
adalah:
1) Hak untuk memangku jabatan tertentu;
2) Hak untuk bekerja dalam angkatan perang atau alat kekuasaan lainnya;
3) Hak untuk memilih atau dipilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) atau Daerah yang diatur menurut undang-undang;
4) Hak untuk menjadi penasihat atau wali terhadap orang yang bukan anaknya
sendiri;
5) Hak untuk melakukan kekuasaan sebagai orang tua wali terhadap anaknya
sendiri;
6) Hak untuk bekerja atau mata pencaharian tertentu.
Adapun jangka waktu pencabutan hak tersebut di atas terikat oleh jangka waktu
tertentu sebagaimana yang diatur dalam pasal 38 KUHP yaitu antara sua tahun dan
seumur hidup.
1) Seumur hidup
Jika hukuman pokok yang dijatuhkan itu adalah hukuman mati atau
hukuman seumur hidup.
2) Sekurang-kurangnya dua tahun atau setinggi-tingginya lima tahun lebih.
Jika hukuman yang dijatuhkan itu adalah hukuman penjara atau hukuman
kurungan.
b. Penyitaan terhadap barang-barang tertentu
Hukuman tambahan ini berupa perampasan atau pembinasaan terhadap barangbarang tertentu. Adapun barang-barang yang dapat dirampas itu adalah barang yang
bersifat:
1. Milik terhukum sendiri, misalnya kepemilikan senjata api dengan tanpa
izin;
2. Barang-barang yang diperoleh terhukum dari kejahatan;
3. Barang-barang yang dipergunakan oleh terhukum untuk melakukan
kejahatan dengan sengaja.
c. Pengumuman keputusan hakim
Jika hukuman tambahan ini yaitu mengumumkan keputusan hakim agar umum
mengetahui bahwa terhukum telah melakukan perbuatan yang dapat dihukum.
Hukuman tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila dinyatakan dengan tegas
dalam perumusan suatu delik. Pengumuman ini dilakukan oleh penuntut umum.
Biasanya dilakukan melalui pers dengan biaya pengumuman menjadi tanggungan
terhukum.
C. Sistem Sanksi Pidana dalam Hukum Positif
Tindak pidana yang sebagaimana tercantum dalam KUHP, sejak zaman
Hindia Belanda sampai sekarang merupakan sesuatu yang dibuat oleh orang yang
menimbulkan akibat pada orang lain baik merasa tidak senang, cidera maupun
matinya seseorang.
Menurut
Moljatno,
perbuatan pidana
menurut
wujud
dan sifatnya
bertentangan dengan cara atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, yaitu
perbuatan hukum atau melawan hukum.33
Lebih lanjut Moeljatno mengatakan bahwa perkataan perbuatan yaitu suatu
pengertian abstrak yang menunjuk kepada kedua keadaan konkret. Pertama, adanya
jaminan yang tertentu, dan yang kedua adanya orang yang berbuat yang
menimbulkan kejadian itu.34
Ada dua macam jenis hukuman sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP
yaitu:
a. Pidana Pokok, terdiri atas:
1. Pidana Mati;
2. Pidana Penjara;
3. Kurungan;
4. Denda.
b. Pidana Tambahan, terdiri atas:
1. Pencabutan hak-hak tertentu;
33
34
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Aneka Cipta, 1993), h. 2
Ibid., h. 54
2. Perampasan barang-barang tertentu;
3. Pengumuman keputusan hakim. 35
1) Pidana Mati
Pidana mati dijalankan oleh algojo ditempat gantungan dengan
menjeratkan tali yang terikat ditiang gantungan pada leher terpidana
kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.
2) Pidana Penjara
Pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu atau sementara
ditentukan minimum dan maksimum lamanya penjara berjumlah 15 tahun
atau 20 tahun untuk batas yang paling akhir. 36
3) Hukuman Kurungan
Hukuman kurungan seringan-ringannya yang umum adalah satu hari
dan hukuman seberatnya yang umum adalah 1 tahun dan waktu 1 tahun
dapat ditambah paling lama sampai dengan 1 tahun 4 bulan.
4) Hukum Denda
Hukum denda diancam sering kali sebagai alternatif dengan hukuman
kurang terhadap hampir semua pelanggar hukum dalam buku III KUHP.
35
R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1979),
edisi kelima, h. 16
36
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1996), cet. Ke-I, h. 173
Terhadap semua kejahatan ringan hukuman denda diancam sebagai
alternative dengan hukuman penjara.
5) Pencabutan beberapa hak tertentu
Hukum ini disebut dalam KUHP pasal 35-38
Pasal 35 (1) hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat
dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) antara lain:
a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
b. Hak memasuki angkatan bersenjata;
c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan-aturan umum;
d. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan
pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas pengampu atau
pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
e. Hak menjalankan mata pencaharian tertentu
Ayat (2) hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari
jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain
untuk pemecatan itu.
6) Perampasan barang tertentu
Perampasan harus mengenai barang-barang diatur dalam pasal 39-42
KUHP
7) Pengumuman keputusan hakim
Pidana ini pun hanya dapat dikenakan dalam hal yang ditentukan oleh
undang-undang.
Di dalam KUHP menentukan tindak pidana penistaan agama adalah
kejahatan yang menodai suatu agama yang tercantum dalam pasal 156 a KUHP,
yang berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan:
c. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
d. dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang
bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.37
37
Moeljatno, S.H, Kitab undang-undang hukum pidana, cet. 21, h. 59
BAB IV
SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENISTAAN AGAMA MENURUT
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Pengertian Penistaan Agama
Perkataan
“menista”
berasal
dari
kata
“nista”.
Sebagian
pakar
mempergunakan kata celaan. Perbedaan istilah tersebut disebabkan penggunaan katakata dalam menerjemahkan kata smaad dari bahasa belanda. “Nista” berarti hina,
rendah, cela, noda.38
Dalam bahasa sansekerta istilah agama berasal dari “a” artinya kesini dan
“gam” artinya berjalan-jalan. Sehingga dapat berarti peraturan-peraturan tradisional,
ajaran, kumpulan hukum-hukum. Pendeknya apa saja yang turun temurun dan
ditentukan oleh adaptasi kebiasaan. 39
Menurut M. Taib Thahir Abdul Muin, agama adalah suatu peraturan yang
mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal, memegang peraturan tuhan dengan
kehendaknya sendiri untuk mencapai kebaikan hidup di dunia dan kebahagiaan kelak
di akherat.40
38
Leden Marpaung SH, Tindak Pidana Terhadap kehormatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1997), cet. Ke-I, h. 11
39
Mujahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
cet. Ke-2, h. 1
40
Ibid., h. 3
Dalam hukum Islam penistaan agama merupakan perbuatan yang dapat
dikategorikan perbuatan perusak akidah, yang diancam berdosa besar (bagi
pelakunya), karena hal ini bertentangan dengan norma agama Islam yang
telahditurunkan melalui al-Qur’an dan Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir.
Di dalam KUHP memang mengenai pengertian penistaan agama tidak
dijelaskan dan tidak secara jelas di paparkan, namun di dalam buku lain dikatakan
bahwa definisi tantang penistaan agama adalah penyerangan dengan sengaja atas
kehormatan atau nama baik orang lain atau suatu golongan secara lisan maupun
tulisan dengan maksud untuk diketahui oleh orang banyak. 41
Penodaan agama menurut Pasal 156 (a) KUHP merupakan salah satu bentuk
delik pers yang unsur-unsurnya adalah: Dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan
perasaan atau melakukan perbuatan dapat dilakukan dengan lisan, tulisan ataupun
perbuatan lain; Ditujukan pada niat untuk memusuhi atau menghina, dengan
demikian, maka uraianuraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara objektif
mengenai agama; Serta menganggu ketentraman umat beragama.42
41
42
J.C.T. Simorangkir, S.H, Kamus Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), cet. Ke-5, h. 124
http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2008-yulinantoh-8293&PHPSESSID=
a8764cbcbd82e3de543ea5dceb48224d, diakses pada tanggal 03-04-2009
B. Dasar Hukum Larangan Penistaan Agama
Sebelum membahas tentang dasar hukum mengenai larangan penistaan agama,
penulis akan sedikit lebih dahulu memaparkan tentang pengertian riddah atau murtad
yang menyebabkan orang dianggap telah melakukan penistaan terhadap suatu agama.
Menurut Sayyid Sabiq, riddah adalah kembalinya orang Islam yang berakal dan
dewasa dari agama Islam kepada kekafiran, dengan kehendak sendiri tanpa ada
paksaan dari siapapun.43
Menurut Imam an-Nawawi dalam kitab Minhaj al-Thâlibîn, murtad adalah
memutuskan keislaman baik dengan niat, ucapan, perbuatan yang menyebabkan
kufur, atau secara yakin menghina dan menentang baik dengan ucapan atau
perbuatan. Barang siapa yang tidak mengakui para utusan Allah, mendustakan salah
seorang utusan Allah, menghalalkan sesuatu yang secara ijma telah dinyatakan
haram, seperti berzina atau sebaliknya (mengharamkan sesuatu yang telah dinyatakan
halal secara ijma), seseorang yang tidak mengakui kewajiban yang telah disepakati
atau sebaliknya (mengakui sesuatu yang secara ijma tidak dianggap wajib) sebagai
suatu kewajiban, seseorang berniat akan melakukan kekufuran, maka semua itu bisa
menjadikan kafir, perbuatan yang bisa berakibat pelakunya dianggap kafir adalah apa
yang diniatkan dalam rangka menghina agama secara terang-terangan atau secara
tegas menolak agama tersebut, seperti melemparkan mushaf al-Qur’an ke tempat
yang kotor (menjijikan) dan seperti sujud kepada berhala atau matahari. 44
43
44
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah II, (Beirut: Dar Al-Fiqr), cet ke-IV, h. 381
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahali, Kanz al-Râghibîn syarh Minhaj al-Thâlibîn,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), cet ke-1, h. 535
Menurut Wahbah az-Zuhaili, dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,
mandefinisikan riddah adalah kembali dari agama Islam menuju kepada kekafiran,
baik hal itu dilakukan dengan sebatas niat atau perbuatan yang mengakibatkan pelaku
dianggap kafir, maupun dengan ucapan berupa penghinaan atau menentang
keyakinan.45
Adapun unsur-unsur penting dalam Murtad ada dua:
1. Keluar dari Islam
Dalam hal ini bisa berlaku dengan tiga cara:
a. Dengan melakukan perbuatan atau meninggalkan perbuatan;
b. Dengan perkataan atau ucapan;
c. Dengan itikad.
a) Murtad dengan perbuatan atau meninggalkan perbuatan
Murtad dengan perbuatan seperti melakukan perbuatan yang diharamkan
oleh Islam secara menolak pengharaman itu dengan sengaja atau dengan tujuan
menghina Islam, seperti sujud kepada berhala atu mencapakan al-Qur’an atau
kitab-kitab Hadis ke tempat yang kotor atu menghina isi kandungan atau
mempersendakan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Temasuk juga
dalam kategori ini ialah melakukan sesuatu yang diharamkam oleh Islam dengan
menghalalkannya, seperti zina, minum arak, membunuh dan sebagainya dengan
menolak pengharaman.46
45
Wahbah az-Zuhaili, Al-fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989), juz VI,
h. 183
46
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaju al-Muslim Kitab Aqaid wa Adub wa Akhlak wa Ibadat wa
Muamalat, (Kaherah: Maktab al-Saqafi, t. th), h. 458
b) Mengingkari Al-Qur’an dan Kandungannya
Kekufuran itu terus berlaku atas siapa saja yang membuat ketetapan bahwa
al-Qur’an itu bukanlah dari pada Allah SWT, melainkan adalah karya Muhammad,
demikian juga orang yang mengingkari isi kandungan al-Qur’an, baik secara
keseluruhan maupun secara perincian.
c) Murtad dengan Perkataan
Murtad dengan perkataan seperti mengeluarkan kata-kata yang dapat
menunjukan atau membawa kepada kekufuran, seperti mengingkari ketuhanan
dengan mengatakan Allah SWT tidak ada atau mengingkari keesaan Allah SWT
dengan mengatakan ada sekutu-sekutu bagi Allah SWT, mengaku menjadi Nabi,
membenarkan orang yang menjadi nabi, mengingkari para Nabi-nabi dan Malaikat,
mengingkari al-Qur’an dan sebagainya.
d) Murtad dengan Itikad
Murtad dengan itikad bisa berlaku apabila seseoarang ini mempunyai itikad
atau kepercayaan yang bertentangan dengan Islam, seperti meyakini alam ini tidak
ada penciptanya, atau beritikad bahwa al-Qur’an bukan dari Allah dan Nabi
Muhammad bukan utusan Allah.
2. Niat Jahat
Untuk mewujudkan kesalahan murtad, niat jahat merupakan unsur yang perlu.
Ia mengertikan bahwa seseorang itu sengaja melakukan perbuatan atau perkataan
kufur yang dia sendiri mengerti mengenai perbuatan atau perkataan itu. Dengan kata
lain, tidak memadai semata-mata sengaja melakukan perbuatan atau perkataan kufur,
tetapi juga ada niat kufur.47
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa orang yang telah melecehkan atau
menghina Islam itu sudah termasuk orang yang dianggap murtad atau kufur. Dan
hukuman bagi orang yang murtad menuru hukum Islam adalah hukuman mati. Dasar
hukum ini berdasarkan kepada hadis Nabi sebagai berikut:
‫ دَ ُم‬45ِ6َ‫َ ی‬8 :َ‫َل‬3 َ"#َ‫َْ'ِ وَﺱ‬#َ) ُ
‫ ا‬+"#َ, ِ
‫)َْ اُْ ﻡَُْْدٍ أَن" رَﺱُْلَ ا‬
:ٍ‫َث‬:َ; ‫" ِءِْ=َى‬8ِ‫" ا
ِ وَأَن" رَﺱُْلَ ا
ِ إ‬8ِ‫َ اَِ'َ ا‬8 ْ‫ْ@َ=ُ أَن‬Aَ‫ٍِ ی‬#ُْ‫اﻡِْئٍ ﻡ‬
48
(#‫ ﻡ‬M‫ )روا‬.ِ'ِ ْ‫"رِكُ ِ=ِی‬K‫ وَا‬,HْI" ِ HْI" ‫ وَا‬,ْCِ‫ِ ا"ا‬DّْFَ‫ا‬
Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud: Telah bersabda Rasulullah SAW: seorang muslim
yang menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan yang sebenarnya
melainkan Allah; dan bahwasanya Nabi Muhammad pesuruhNya, ia
tidak halal dibunuh kecuali karena salah satu dari tiga sebab;
pertama orang perempuan yang sudah berkawin berzina, orang yang
membunuh orang, dan ketiga orang yang keluar dari
agamanya(agama Islam)” (H.R. Bukhari)
Hadis lain menyebutkan:
'#) ‫ ا‬+#, ‫ل رﺱل ا‬3 :‫ل‬3 ' ) ‫ ا‬+N‫س ر‬P) ‫و) ا‬
49
(‫رى‬RP‫ ا‬M‫ُ )روا‬Mُْ#ُKْ3َQ ' ْ‫ ﻡَْ َ="لَ دِی‬:#‫وﺱ‬
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barang
siapa menukar agamanya maka bunuhlah ia.” (H.R. Bukhari).
47
Faizah haji Ismail, Undang-Undang Jinayah Islam, (Petaling Jaya, Selangor: Dewan Pustaka
Islam, 1991), h. 246
48
Imam abi Husain Bin Hajaj Qusairi Nisaiburi, Mukhtasar Shohih Muslim, (Beirut: Maktab alAlami, 2000), cet ke-1, hadis ke 1023, h. 271
49
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Sahih al-Bukhori, (Beirut: Dar al-fikr,
1401), jilid VIII, h. 50
Hukuman mati dalam kasus orang murtad telah disepakati tanpa keraguan lagi
keempat mazhab hukum Islam. Namun kalau seseorang dipaksa mengucapkan
sesuatu yang berarti murtad, maka dalam keadaan demikian dia tidak akan dihukum
murtad.
Jika ada seseorang mengatakan” seandainya fulan itu menjadi nabi, maka aku
akan membenarkannya”, maka menurut al Muthi’i ia telah Murtad. Al Muthi’i telah
merujuk perkataan imam Syafi’i yang mengatakan”. Ada beberapa orang yang
murtad setelah Islam, mereka adalah Thalhah, Musailamah, ‘Ansa beserta para
pengikut mereka”. Ulama dari kalangan mazhab Hanabilah memiliki pendapat yang
serupa, Ibnu Khudamah al Muhgni (2/2181) rujukan mazhab Hambali, menyatakan,
“barang siapa mengaku-ngaku sebagai nabi atau membenarkan seruannya, maka ia
telah murtad”.
Kekufuran para pengingkar syariat, tentu yang namanya nabi palsu menyeru
hal-hal yang mungkar dan bathil, sebagai mana fakta yang terjadi dilapangan, mereka
mengajak penganutnya untuk meninggalkan ajaran-ajaran Nabi Saw, seperti sholat,
zakat atau ibadah-ibadah lain yang sudah disepakati kewajibanya dalam Islam atau
menghalalkan apa yang diharamkan Allah serta mengharamkan apa yang dihalalkan
oleh Allah.
Mengamalkan ajaran-ajaran mereka itu tidak sebatas maksiat biasa karena hal
itu pun sudah masuk kewilayah kekufuran. Ibnu al Khudamah dalam al Mughni
mengatakan, “begitu juga (dihukumi murtad, bagi mereka yang mengingkari), dasardasar Islam seperti zakat, puasa, haji, karena dalil yang menunjukan fardhunya
amalan-amalan itu hampir tidak bisa dihitung dan Ijma pun menyatakan hal yang
serupa “,
Tersebutkan dalam kitab Tafsir al Muhith
SCِP"‫ُ ﻡَِ ا‬5َTْQَ‫" ا‬Cِ َْ‫ أَن" ا‬+َِ‫ُ اَوْ إ‬UِVَWْ َ‫َﺕ‬8 َ‫ُ"ة‬P4 ‫َ أَن" ا‬Dَ‫وَﻡَْ ذَه‬
50
ُ\ْ‫َ@َُ زِْ=ِی‬Q
Artinya: " Barang siapa mengatakan bahwa kenabian belum putus (berakhir)
atau mengatakan bahwa wali lebih baik dari pada Nabi maka orang
itu adalah kafir Zindiq".
Firma Allah SWT tentang larangan penistaan agama :
َِ‫ اْ_ﺥَِةِ ﻡ‬CِQ َُ‫َ ﻡِ ْ'ُ وَه‬5َPْWُ‫َْ ی‬#َQ ً ‫َمِ دِی‬#ْ‫ِﺱ‬aْ‫ََْ ا‬b cِ َKْPَ‫وَﻡَْ ی‬
َ‫َﺱِِی‬Rْ‫ا‬
(85/3:‫)ال )ان‬
Artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali-Imran (3): 85)
Sedangkan dalam hukum positif (KUHP) larangan penistaan agama tercantum
pada pasal 156 a KUHP
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan :
e. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia
f. dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang
bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.51
50
Ibid., h. 254
51
Moeljatno, S.H, Kitab undang-undang hukum pidana, h. 59
C. Unsur-Unsur Penistaan Agama
Menentukan sesat atau tidaknya sebuah aliran paham keagamaan harus
dilakukan dengan hati-hati selain mendasarkan diri pada dalil-dalil keagamaan (annushus as-syar’iyah), juga perlu meneliti latar belakang hingga muncul pemahaman
yang menyimpang tersebut.
Suatu paham dikatakan sesat jika bertentangan dengan akidah dan hukumhukum syariah yang qath’i (), suatu paham yang menyimpang dari rukun Islam,
rukun iman, dan atau tidak mengimani kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah dapat
dikategorikan sesat atau melecehkan suatu agama.
Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) tahun
2007 yang lalu menetapkan kriteria sebuah aliran keagamaan dianggap sesat
diantaranya adalah:52
1. Mengingkari dari salah satu rukun Islam yang lima (5) dan rukun Iman yang
enam (6);
2. Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i (AlQur’an dan as-Sunnah);
3. Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur’an;
4. Menginkari otentisitas atau kebenaran isi Al-Qur’an;
5. Melakukan penafsiran Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir;
6. Mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam;
52
. Ma’ruf Amin, “Kebijakan Majelis Ulama Indonesia Tentang Aliran Sesat”, Mimbar Ulama,
no.341 (Rabi’ul Awal 1429/Maret 2008), h. 19.
7. Menghina, melecehkan atau merendahkan para Nabi dan Rasul;
8. Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir;
9. Merubah, menambah atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah
ditetapkan oleh syariah, seperti shalat fardhu tidak lima waktu dan pergi haji
tidak ke Baitullah;
10. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i. (al-Quran dan Sunnah).
Kriteria tersebut apabila dilanggar satu poin saja maka sudah dianggap sesat
atau setelah melakukan penistaan terhadap agama, apalagi kalau yang dilanggar
beberapa atau keseluruhan point-point dalam kriteria tersebut.
D. Sanksi Pidana yang diberikan Terhadap Pelaku Penistaan Agama
Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif
1. Menurut Hukum Islam
Dalam pembahasan ini mungkinkah pelaku penistaan agama dapat disamakan
hukumannya dengan orang yang murtad, karena adanya unsur kesengajaan (berniat)
melawan hukum Islam. Jika dilihat secara seksama, seandainya seseorang telah
secara nyata mengakui dari pernyataan-pernyataan, tulisan-tulisan, yang telah
diedarkan diberbagai media elektronik (khalayak ramai atau sembunyi-sembunyi)
bahwa ia telah menerima wahyu dari tuhan dan mengaku sebagai nabi atau mengakui
dirinya adalah jelmaan Jibril atau melanggar dasar akidah Islam, serta tidak mengakui
hukum-hukum syariat seperti akan kewajiban shalat dan rukun Islam lainnya maka ia
telah dianggap menyelewengkan agama.
Karena unsur yang dianggap adalah unsur yang dapat membuat seseorang
dianggap telah murtad karena melakukannya, maka dengan demikian hukuman yang
berlaku adalah hukuman murtad. Para ulama berbeda pendapat, hukuman mati dalam
hukum Islam termasuk dalam hukuman hudud. Apa akibat dari kemurtadan itu?.
Bagaimana jika ia insyaf dan kembali masuk Islam?Amalnya tidak dihapus dan
taubatnya diterima Allah SWT (itu pendapat ulama mazhab Syafi’i). Ulama mazhab
Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa jika seseorang murtad kemudian insyaf, maka
amalan apa saja yang pernah dilakukan batal, terhapus dan sia-sia.
Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman mati tidak diberlakukan bagi
seorang murtad wanita, tetapi ia harus dipaksa kembali kepada Islam, pendapat ini
menyamakan dengan kafir harbi. Paksaan ini dengan cara menahan dan
mengeluarkannya setiap hari agar ia mau bertaubat dan ditawari untuk kembali ke
agama Islam.53
Begitu juga Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. KH. Ali Mustofa Yakub
memfatwakan bahwa jika seseorang itu mau bertaubat maka berarti ia kembali
kedalam Islam, ttetapi jika ia tidak mau maka hukumannya murtad dan hukum bagi
murtad adalah hukuman mati.54
Sedangkan mazhab yang lain berbeda pendapat dengan imam Abu Hanifah,
mereka tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, laki-laki atau perempuan
53
54
Alaudin Al-Kasani, Bad’I As-Sana’I fi tarbisy Syara’I, jilid VII, h. 135
Ali Mustofa Yakub, Fatwa-Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2007), h. 26
yang murtad itu dihukum mati.55 Dalam literatur hukum Islam, posisi produk fatwa
memang tidak mengikat, statusnya sama dengan ijtihad individual, ia hanya mengikat
bagi yang berfatwa dan berijtihad. Produk hukum Islam yang mengikat secara publik
ada dua: putusan pengadilan dan peraturan perundangan produk penguasa. Mirip teori
hukum pada umumnya.
Sedangkan persoalan eksekusi menurut Didin Hafiduddin, yang mengikuti
sidang komisi fatwa, bukanlah urusan lembaga fatwa . Misalnya mereka yang
berstatus nurtad dan sesat mau diapakan? Di usir atau di bubarkan?. Keputusan fatwa
itu tidak eksekutorial, beda dengan putusan pengadilan. Peran-peran fatwa adalah
memberikan pendapat hukum, eksekusi ditangan pemerintah.56
Dalam hadis riwayat Abu Dawud, disebutkan dengan redaksi
،ُ5َKْWَُQ ،ُ'ُُْ‫َرِبُ ا
ُ وَرَﺱ‬6َُQ ِ‫َم‬:"‫ُْجُ ﻡَِ ا‬Rَ‫ُ ی‬5ُhَ‫وَر‬...
َِ‫َْﻡ‬Iْ ُ‫اَوْی‬
،ُDَ#ْjُ‫اَوْی‬
M‫)روا‬...57ِ‫َرْض‬8ْ‫ا‬
‫آ‬6‫' ا‬66,‫(و‬+k ‫اداودوا‬
Artinya: "…orang yang keluar dari Islam, lalu melawan Allah Rasul-Nya,
kemudian, ia dihukum mati, disalib, atau di asingkan dari tanah
airnya…" (HR. Abu Dawud dan Nasa'i serta disahihkan oleh
Hakim).
55
Muhammad Abdullah bin Qudamah, Al-Mughni ‘alâ Mukhtasar Al-kharoqy, (al-Manar, t. th),
jilid 1, h. 74
56
Dawan Rahardjo, Majelis Ulama itu Adalah Aliran Sesat, Laporan khusus Gatra, 1 agustus
2005, no. 38
57
Muhammad Abdullah bin Qudamah, Al-Mughni ‘alâ Mukhtasar Al-kharoqy, (al-Manar, t. th),
jilid 1, h. 14
Hadis tersebutkan tidak menyatakan murtad secara sederhana, tetapi disertai
dengan pembangkangan kepada Tuhan dan Rasulnya. Adapun hadis yang paling jelas
menyatakan jenis sanksi bagi tindakan riddah adalah yang diriwayatkan dari Ibnu
Abas.
Jika memang Al-Qur’an bermaksud memberikan hukuman pidana bagi pelaku
penistaan agama, dan beberapa hadis yang digunakan sebagai dasar pidananya riddah
adalah shahih, maka ijtihad merupakan alternatif untuk menjawab persoalan riddah di
Indonesia ini. Ijtihad juga diperbolehkan dalam bidang yang telah ada nas al-Qur’an
dan Hadisnya. Sebagai contoh Umar bin Khatab sahabat Nabi yang menjadi Khalifah
Nabi yang kedua pernah melakukan ijtihad dalam beberapa masalah hukum,
walaupun nas al-Qur’an dan Hadis telah menyebutkan secara jelas, diantaranya
mengenai tanah rampasan perang, dera bagi minuman keras, hukuman bagi pencuri.
Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa perhatian hukum syara' terhadap larangan
lebih besar daripada perhatian terhadap apa-apa yang diperitah oleh Allah SWT, yaitu
menjauhi segala ancaman yang dapat merusak akidah kita sehinga menimbulkan
perpecahan antara umat Islam sendiri.58
Dari penjelasan diatas bahwa sanksi pidana yang diberikan terhadap pelaku
penistaan agama itu pada dasarnya disamakan dengan hukuman murtad, hukumannya
adalah hukuman mati. Jadi sanksi pidana yang diberikan terhadap pelaku penistaan
agama menurut hukum Islam adalah sanksi yang diberlakukan terhadap orang yang
murtad. Murtad dalam pandangan hukum Islam berarti keluar dari Islam atau tidak
58
. Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh: Al Qawa'idul Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Mulia,
2001), h.39
mengakui kebenaran Islam, baik dengan berpindah agama lain (konversi agama) atau
menjadi tidak beragama sama sekali (atheis).
2. Menurut Hukum Positif
Sanksi pidana dalam KUHP sesungguhnya bersifat reaktif dalam suatu
perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku
perbuatan tersebut.59
Menurut Alf Ross Sanksi pidana adalah suatu sanksi yang harus memenuhi dua
syarat/tujuan. Pertama: pidana dikenakan kepada pengenaan penderitaan terhadap
orang yang bersangkutan. Kedua: pidana itu harus merupakan suatu pernyataan
pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.60
Perumusan sanksi pidana dalam KUHP pada umumnya memakai dua pilihan,
misalnya pidana penjara atau denda (system alternative). Jika dipandang dari sudut
sifatnya , sanksi merupakan akibat hukum dari pada pelanggaran suatu kaidah,
hukuman dijatuhkan berhubung dilanggarnya suatu normaoleh seseorang.
Mengenai aturan penodaan agama, sanksi yang dikenakan adalah sanksi penjara
sebagai bagian dari sanksi pidana dengan membuat pelaku tersebut menderita, sanksi
penodaan agama ini diatur dalam pasal 2 UU PNPS No 1/1965 (jo Undang-Undang
No 5/1965) dan pasal 156a KUHP. Pasal 2 UU PNPS No 1/1965 menyebutkan: Ayat
(1)
59
M. Solehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), h. 32
60
Ibid., h. 144
“Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan
peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu
keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam
Negeri”. Ayat (2) “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh
organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia
dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran
tersebut sebagai organisasi atau aliran terlarang, satu dan lain setelah
Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung
dan Menteri Dalam Negeri.
Sesuai dengan kepribadian Indonesia, maka terhadap orang-orang ataupun
penganut-penganut suatu aliran kepercayaan maupun anggota maupun anggota
pengurus organisasi yang melanggar larangan tersebut dalam pasal 1, untuk
permulaannya dirasa cukup diberi nasehat seperlunya. Apabila penyelewengan itu
dilakukan oleh organisasi atau penganut-penganut kepercayaan dan mempunyai efek
yang cukup serius bagi masyarakat yang beragama, maka Presiden berwenang untu
membubarkan organisasi itu dan untuk menyatakan sebagai organisasi atau aliran
terlarang dengan akibat-akibatnya.
Dalam pasal 3 disebutkan:
“Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama
Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik
Indonesia menurut ketentuan pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran
kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka
orang, penganut, anggota dan atau anggota Pengurus Organisasi yang
bersangkutan dari aliran itu dipidanna dengan pidana penjara selama-lamanya
lima tahun”.
Pemberian ancaman pidana yang diatur dalam pasal ini adalah tindakan lanjutan
terhadap anasir-anasir yang tetap mengabaikan peringatan tersebut, dalam pasal 2.
Oleh karena aliran kepercayaan biasanya tidak mempunyai bentuk seperti
organisasi/perhimpunan, di mana mudah dibedakan siapa pengurus dan siapa
anggotanya, maka mengenai aliran kepercayaan, hanya penganutnaya yang masih
melakukan pelanggaran yang dapat dikenakan pidana, sedang pemuka aliran sendiri
yang menghentikan kegiatannya tidak dapat dituntut. Mengingat sifat dari tindak
pidana dalam pasal ini, maka ancaman pidana 5 tahun dirasa sudah wajar.
Dalam pasal 4 disebutkan: Pada KUHP diadakan pasal baru yaitu pasal 156a
yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun
barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau
melakukan perbuatan: a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. b. Dengan
maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sanksi penjara tersebut diberlakukan jika tersangka telah terbukti secara sah
dan meyakinkan dan diputuskan oleh pengadilan dengan ancaman hukuman
maksimal lima tahuk penjara, dikatakan maksimal, artinya jumlah pidana tersebut
pelaku penistaan agama dalam KUHP adalah lima tahun penjara atau bahkan dapat
diberikan hukuman minimum.
E. Analisis Yurisprudensi Perkara yang Bermuatan Penistaan Agama (Kasus
Lia Aminuddin dan Ahmad Moshaddeq)
1. Putusan Terhadap Lia Eden (Nomor: 677/PID.B/2006/PN. Jkt. Pst)
a) Dakwaan Terhadap Lia Aminuddin alias Lia Eden
Bahwa terdakwa Symsuriati alias Lia Aminuddin alias Lia Eden bersama
dengan Muhammad Abdul Rachman yang bertempat di jalan Mahoni Nomor. 30 Rt.
008 Rw. 05 Kelurahan Bungur, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, telah melakukan
perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Terdakwa menyatakan dirinya sebagai Malaikat Jibril, pada tanggal 11 Juni
2000 dengan menulis surat kepada MUI dengan judul surat “peringatan terakhir
Jibril “. Pada tanggal 20 Juni 2000 mengatasnamakan Allah telah mengirim surat
kepada Menteri Agama RI, pada tanggal 3 April 2001 terdakwa mengatasnamakan
Allah telah menulis menggunakan kop “ Gods Kingdom “ berisi antara lain bahwa “
aku Malaikat Jibril bersumpah menyatakan datangnya hari kiamat atas perintah Allah.
Aku bersumpah itulah perintahnya kepadaku atas bangsa Indonesia”.
Bahwa pernyataan-pernyataan atau tulisan oleh terdakwa Syamsuriati alias Lia
Aminuddin alias Lia Eden diatas ditujukan kepada agama tertentu yaitu agama Islam
sedangkan pernyataan-pernyataan tulisan terdakwa tersebut sangat bertentangan
dengan ajaran Islam dan aqidah Islam.
Terdakwa menyatakan Muhammad Abdurachman sebagai reinkarnasi Nabi
Muhammad saw, selain itu juga terdakwa menyatakan membenarkan sholat 2 bahasa.
Terdakwa juga menyatakan atas nama Tuhan yang maha Rahim dan Terpercaya telah
berdiri kerajaan Tuhan dijalan Mahoni nomor 30 Wilayah Senen Jakarta, terdakwa
juga menyatakan firman Allah babi tidak haram lagi.
Bahwa terdakwa Syamsuriati alias Lia Aminuddin alias Lia Eden bersama
dengan Muhammad Abdul Rachman yang bertempat di jalan Mahoni Nomor. 30, Rt
008/05, Kelurahan Bungur Kecamatan Senen Jakarta Pusat, telah melakukan
perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia dengan maksud supaya isinya
diketahui secara umum. Perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa sebagai berikut:
Pada tahun 1997 terdakwa mendirikan yayasan Salamullah. Pada bulan April 2005
dan bulan Desember 2005 atau setidaknya pada tahun 2005 melakukan perbarengan
beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri
sehingga merupakan beberapa kejahatan, secara melawan hukum memaksa orang
lain, tidak melakukan atau membiarkan sesuatau dengan memakai kekerasan,
sesuatau perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan atau dengan
memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain terhadap sendiri maupun orang
lain.
b) Putusan Lia Aminuddin alias Lia Eden
Berdasarkan uraian diatas maka Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini,
dengan memperhatikan ketentuan Undang-undang yang bersangkutan menunutut
supaya majelis hakim yang mengadili perkara ini memutuskan:
a. Menyatakan terdakwa Syamsuriati alias Lia Aminuddin alias Lia Eden tidak
terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut dalam pasal
157 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan kedua.
b. Membebaskan terdakwa dari dakwaan kedua tersebut.
c. Menyatakan terdakwa Syamsuriati alias Lia Aminuddin alias Lia Eden telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara
bersama-sama melakukan penodaan terhadap suatu agama” sebagaimana
tersebut dalam pasal 156a KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam
dakwaan kesatu dalam tindak pidana secara melawan hukum, memaksa orang
melakukan suatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan
terhadap orang” sebagaiman tersebut dalam pasal 335 ayat (1) jo KUHP. pasal
165 ayat 1 KUHP dalam dakwaan ketiga.
d. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama dua
tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan
perintah tetap ditahan.
e.
Membankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 5000,-(lima ribu
rupiah)
Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan majelis hakim Pengailan
Negeri Jakarta Pusat dan putusan tersebut dibacakan dalam persidangan yang terbuka
untuk umum pada hari kamis tanggal 29 Juni 2006.
2. Putusan Terhadap Ahmad Moshaddeq (Nomor: 277/PID.B/2008/PN.Jkt.
Sel)
a) Dakwaan Terhadap Ahmad Moshaddeq
Bahwa terdakawa Drs. H. Abdussalam Alias Moshaddeq alias al Masih al
Mau’ud pada tanggal 23 Juli 2006, tanggal 7, 19 Oktober 2007, atau pada waktu-
waktu lain pada bulan Juli tahun 2006 sampai tahun 2007, di Gedung, Serbaguna
Bintaro, sektor IX Kab. Tanggerang, di Gedung BPPT Jl. Ragunan No. 30 Pasar
Minggu Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya di tempat-tempat lain dimana
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya
berdasarkan Pasal 84 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
karena terdakwa diketemukan atau ditahan dan tempat kediaman sebagian besar saksi
yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan Negeri Jakarta selatan, terdakwa
yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau penodaan terhadap
suatu agama yang dianut di Indonesia, perbuatan yang mana dilakukan Terdakwa
dengan cara sebagai berikut:
a. Pada mulanya terdakwa adalah penganut agama Islam yang dianut oleh
umat Islam di Indonesia, pada bulan Juli 2006 setelah terdakwa
melakukan nyepi/bertapa (tahanus) selama 40 hari 40 malam di gunung
Bunder Kecamatan Pamijahan Bogor Jawa barat, dihadapan 54 umatnya
terdakwa mengikrarkan atau mengumumkan dirinya sebagai Rasul dengan
gelar “ Al Masih Al Mau’ud “ yang artinya “ Juru selamat yang dijanjikan
“. Pada saat itu terdakwa berkata “ yang percaya kepada saya sebagai
Rasul, silahkan maju kedepan untuk bersyahadat, lalu mereka mendekat
ke terdakwa dan terdakwa mengajarkan kalimat syahadat dengan
berbahasa arab yang berbunyi:
ِ
‫ُ أَُْْ)ُْدُ رَﺱُُل ا‬mَِْْ‫" ا
ُ وَأَﺵْ@َ=ُ أَن" ا‬8ِ‫َ إَِ'َ إ‬8 ْ‫اَﺵْ@َ=ُ اَن‬
Artinya: "Aku bersakasi tidak ada tuhan selain Allah dan al Masih al
Mau'ud utusan Allah”
Selain itu juga terdakwa ajarkan kalimat tersebut kedalam bahasa
Indonesia yang berbunyi: “saya bersaksi tiada tuhan selain Allah dan saya
bersaksi anda al Masih al Mau’ud utusan Allah. Setelah mereka
memahami. Kemudian mereka bergiliran maju kedepan satu persatu
sambil berjabat tangan dan sambil saling menatap mata, mengucapkan
kalimat syahadat tersebut.
b. Terdakwa menjadi Nabi atau Rasul dalam komunitas al Qiyadah al
Islamiyah mengajarkan kepada umatnya dengan membawa/ menggunakan
nama “ Agama Islam “ dengan ajaranya sebagai berikut:
1. Ajaran terdakwa yakni membaca syahadat yang artinya: saya bersaksi
tiada tuhan selain Allah dan saya bersaksi anda al Masih al Mau’ud
utusan Allah.
2. Ajaran terdakwa untuk melaksanakan sholat dalam sehari semalam
hanya satu kali yakni sholat malam atau yang disebut qiyâmul lail
sebanyak 11 rakaat dengan menghafal Al-Qur’an dan belum
mewajibkan sholat 5 waktu.
3. Ajaran terdakwa belum mewajibkan puasa di bulan Ramadhan.
4. Ajaran terdakwa belum melaksanakan zakat tapi hanya melaksanakan
shodakoh dalam arti untuk membersihkan diri atau penyucian dari
segala dosa atau penebus dosa.
5. Ajaran terdakwa belum mewajibkan bagi yang mampu untuk
melaksanakan ibadah haji, karena haji menurut ajaran terdakwa hanya
berkumpul.
c. Bahwa kegiatan terdakwa Drs. H. Abdussalam alias Ahmad Moshaddeq
alias al Masih al Mau’ud selaku pimpinan komunitas al Qiyadah al
Islamiyah dan menyatakan sebagai Nabi dan Rasul setelah Nabi
Muhammad SAW dengan gelar al Masih al Mau’ud.
d. Adapun bentuk kegiatan yang dilakukan oleh terdakwa pada tanggal 7
Oktober 2007 terdakwa Drs. H. Abdussalam alias Ahmad Moshaddeq
alias al Masih al Mau’ud datang ke kantor saksi M. Amin Djamaludin di
LPPI dalam rangka silaturrahim untuk meyakinkan ajaran yang dibawanya
dengan memberikan buku-buku yang dijadikan baginya sebagai pedoman
pengetahuan ajaran yang di bawanya.
e. Kegiatan terdakwa selanjutnya adalah melakukan pertemuan dengan
umatnya dalam rangka penyebaran ajaran yang diajarkan dalam komunitas
al Qiyadah al Islamiyah tersebut dalam bentuk ta’lim.
b) Putusan Hakim
Dalam memutuskan perkara hakim mempunyai pertimbangan-pertimbangan
untuk memutuskan perkara ini diantaranya yaitu:
Menimbang bahwa, nota pembelaan penasehat hukum terdakwa bahwa
memang benar telah menyatakan bertaubat dihadapan tokoh-tokoh Islam dikantor
Kepolisian Daerah Ibu Kota Jakarta sebagaimana keterangan saksi H. Said Agil Siraj
dan saksa H.Agus Miftah namun bahwa bertobatnya terdakwa setelah atas yang
bersangkutan dilakukan pengusutan menurut aturan hukum bahwa tindak pidana
umum (bukan delik aduan) tidaklah dapat dihentikan pengusutannya dengan
pertaubatan tersebut, bahwa terhadap pembelaan penasehat hukum terdakwa bahwa
terdakwa dapat ditintut atas dakwaan pasal 156 huruf a KUHP.
Mengenai taubat yang telah dilakukan terdakwa setelah terjadinya perbuatan
pidana ini, majelis menilai bahwa perbuatan terdakwa tersebut haruslah didasari oleh
suatu kesadaran mendalam bahwa terdakwa mengakui tekah terlanjur melakukan
suatu perbuatan yang salah, perbuatan keliru dan sesat sehingga dengan kesadaran
tersebut dia minta ampun kepada Tuhan.
Bahwa ternyata dalam keterangan terdakwa dipersidangan dan dari uraian
pembelaan terdakwa, ternyata terdakwa tidak sedikitpun mengakui bahwa apa yang
telah dilakukannya adalah perbuatan yang salah dan keliru bahkan terdakwa dalam
pembelaannya justru telah menyampaikan argumentasi kebenaran ajarannya tersebut
sehingga majelis memandang bahwa perbuatan taubat yang dilakukan terdakwa
tidaklah dapat menjadi alasan untuk meringankan bagi terdakwa.
Berdasarkan bahwa terdakwa telah ditahan maka sesuai dengan ketentuan pasal
22 ayat 4 KUHAP, maka lamanya masa penahanan yang telah dijalani terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
Selanjutnya majelis hakim sesuai kewewenangannya dalam pasal 193 ayat 2
huruf b KUHAP menetapkan terdakwa tetap ditahan, oleh karena terdakwa telah
dinyatakan bersalah dan dipidana maka akan dibebani pula untuk membayar biayabiaya perkara.
Berdasarkan keterangan saksi-saksi, alat bukti dan tuntutan jaksa penuntut
umum serta pertimbangan-pertimbangan diatas maka hakim (Majelis Hakim)
memutuskan:
Menyatakan terdakwa Drs. H. Abdussalam alias Ahmad Mosaddeq alias Al
Masih Al Mau’ud telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana dengan sengaja dimuka umum melakukan perbuatan yang pada
pokoknya bersifat penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia dengan
menjatuhkan pidana terhadap Drs. H. Abdussalam alias Ahmad Mosaddeq alias Al
Masih Al Mau’ud dengan pidana penjara selama 4 tahun dan menetapkan lamanya
terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan
serta menetapkan terdakwa tetap ditahan dan membebankan biaya perkara kepada
terdakwa sebesar Rp.2000,Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan pada hari jum’at tanggal 11 april 2008.
F. Analisis Yurisprudensi
1) Dalam Hukum Islam
Sekitar abad ke-15, Raden Fatah berkuasa di Kerajaan Demak Bintara sekitar
pantai utara Jawa Tengah. Ketika itu, wali songo memegang otoritas dalam
memberikan pendapat hukum (Islam). Mereka dikisahkan memvonis mati Syekh Siti
Jenar karena ia berpendapat Tuhan telah bersemayam dalam dirinya. Saat hamba
(kawula) dan Tuhan (gusti) telah menyatu, seseorang tidak perlu lagi shalat.
Ada yang menyebutkan Syekh Siti Jenar sebenarnya telah mencapai puncak
perjalanan spiritualnya hingga ia dapat merasakan “kehadiran” Tuhan dalam dirinya.
Kesalahannya
hanya
terletak
pada
penyebarluasan
ajarannya
karena
dapat
menyesatkan orang awam. Ada pula yang menganalisis, eksekusi atas Siti Jenar
berlatar politik. Alasannya, Ki Ageng Pengging, seorang murid Siti Jenar. Ia dan
pengikutnya tidak mau tunduk pada kekuasaan Raden Fatah. Pengging adalah
keturunan terakhir raja Majapahit, Prabu Brawijaya.
Dalam sejarah Islam, ada nama Musailamah ibn Habib dari Bani Hanifah.
Setelah Rasulullah wafat, ia mengaku sebagai nabi. Musailamah menyebarluaskan
syair-syair (menirukan Al-Qur’an) yang diklaimnya sebagai wahyu dari Tuhan.
Pengikutnya banyak dan membangun berbasis kekuatan di Yamamah. Karena
kesalahan aqidah ini hingga Khalifah Abu Bakar (ra.) memerangi mereka. Peristiwa
ini tercatat dalam sejarah Islam sebagai Perang Yamamah.
Tiga divisi pasukan yang diturunkan. Pertama, yang dipimpin Ikrimah ibn Abu
Jahal. Kedua, yang dipimpin Syurahbil ibn Hasanah. Baik Ikrimah maupun
Syurahbil, gagal menaklukkan Musailamah. Pasukan ketiga di bawah pimpinan
Khalid ibn Walid yang pada akhirnya dapat memenangkan Perang Yamamah.
Musailamah terbunuh. Sebagian besar pengikutnya juga ikut tewas.
Kita mungkin tidak menduga, untuk mendukung pasukan Khalid, Abu Bakar
(ra.) akhirnya menyertakan kelompok masyarakat yang sangat ia sayangi: para
penghafal Al Qur’an dan pasukan Perang Badar. Bila seorang nabi palsu dan
ajarannya tidaklah dianggap berbahaya, mengapa Khalifah Abu Bakar (ra.)
menurunkan pasukan khusus dan menyatakan perang dengan mereka.61
Setelah penulis mengamati kasus penistaan terhadap agama yang dilakukan
oleh Abdus Salam alias Ahmad Moshaddeq alias al Masih al Mau’ud dan Syamsuriati
alias Lia Aminuddin alias Lia Eden, dan telah diputus oleh majelis hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dikarenakan syarat
pemberian hukuman itu telah terpenuhi dan masing-masing diputus hukuman penjara
empat tahun untuk Ahmad Mushaddeq dan dua tahun penjara untuk Lia Aminuddin
dengan pertimbangan terbukti melanggar pasal 156a KUHP. Walaupun putusan telah
dijatuhkan akan tetapi menurut hukum Islam putusan tersebut tidaklah sesuai dan
tidaklah memberikan keadilan yang sesungguhnya.
Dari sejarah penistaan agama di atas Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwa bahwa aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah sesat, dan meminta
pemerintah melarang penyebaran paham baru tersebut, serta menindak tegas
pemimpinnya.
Masyarakat perlu mewaspadai aliran yang didirikan oleh Ahmad Moshaddeq
ini, karena mengajarkan adanya nabi baru sesudah Nabi Muhammad dengan
menobatkan dirinya sebagai nabi terakhir itu,” kata ketua MUI, KH Ma`ruf Amin, di
kantor MUI di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis.
61
http://planetaswan.blogspot.com/2008/05/beragama-dan-kebebasan-tak-berbatas.htmlabel:
Publika, diakses pada tanggal 11-04-2009
Aliran sesat tersebut juga mengajarkan syahadat baru, yakni:
ِ
‫ُ أَُْْ)ُْدُ رَﺱُُل ا‬mَِْْ‫" ا
ُ وَأَﺵْ@َ=ُ أَن" ا‬8ِ‫َ إَِ'َ إ‬8 ْ‫اَﺵْ@َ=ُ اَن‬
Artinya: "Aku bersakasi tidak ada tuhan selain Allah dan al Masih al Mau'ud
utusan Allah"
Di mana umat yang tidak beriman kepada “al-Masih al-Mau`ud” berarti kafir
dan bukan muslim. Pendirinya Ahmad Moshaddeq, yang sejak 23 Juli 2006 setelah
bertapa selama 40 hari 40 malam, mengaku dirinya mendapat wahyu dari Allah dan
mengaku sebagai Rasul menggantikan posisi Muhammad SAW.
Siapa yang mengaku Nabi setelah Nabi Muhammad SAW maka di kafir, karena
dia telah mendustakan Allah SWT, mendustakan Rasulullah SAW, mendustakan Ijmâ
(kesepakatan) kaum muslimin, karena kaum muslimin sepakat tidak ada lagi Nabi
setelah Nabi Muhammad SAW.62
Selain itu, ujar Ma`ruf, aliran baru ini tak mewajibkan shalat, puasa dan haji,
karena pada abad ini masih dianggap tahap perkembangan Islam awal sebelum
akhirnya terbentuk khilafah Islamiyah. Kitab suci yang digunakan adalah al-Qur`an,
tetapi meninggalkan hadis dan menafsirkannya sendiri. Aliran tersebut juga mengenal
penebusan dosa dengan menyerahkan sejumlah uang kepada al-Masih al-Mau`ud.
Dakwah aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah itu, disebutkannya, cukup mengkhawatirkan
karena telah menyebar ke beberapa provinsi, antara lain di Jawa Barat, Jakarta,
Yogyakarta, dan tercatat ribuan orang mengikuti dakwahnya.
62
Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-Nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2008), cet. Ke-I, h. 60
MUI menyatakan bahwa aliran ini berada di luar Islam, dan orang yang
mengikutinya adalah murtad (keluar dari ajaran Islam). “Bagi mereka yang sudah
terlanjur mengikutinya diminta bertobat dan segera kembali kepada ajaran Islam yang
sejalan dengan al-Quran dan hadis,” katanya. Aliran sesat tersebut, tambah Ma`ruf,
telah terbukti menodai dan mencemari ajaran Islam karena mengajarkan sesuatu yang
menyimpang dengan mengatasnamakan Islam.
Pada tanggal 03 Oktober 2007 MUI menetapkan fatwa tentang aliran AlQiyadah al-Islamiyah berdasarkan karena aliran ini mengajarkan tentang, adanya
syahadat baru, adanya Nabi/Rasul baru sesudah Nabi Muhammad SAW, belum
mewajibkan sholat, puasa dan haji. Oleh karena itu aliran Al-Qiyadah al-Islamiyah
tersebut adalah sesat dan menyesatkan serta berada di luar Islam.63
MUI juga menyatakan terhadap aliran jamaah Salamullah yang di dirikan oleh
Lia Aminuddin dianggap juga sesat karena ia merasa dirinya sebagai jelmaan
malaikat Jibril. Dan itu jelas telah menodai suatu agama yaitu agama Islam. Dan MUI
juga meminta kepada pemerintah menindak tegas dan memberi hukuman kapada
pelaku dengan hukuman yang setimpal dan yang berlaku. MUI mem fatwakan
bahwa: Pertama, keyakinan atau akidah tentang malaikat termasuk Malaikat Jibril,
baik mengenai sifat maupun tugasnya harus didasarkan pada keterangan atau
penjelasan dari wahyu (Al-Qur’an dan Hadis). Kedua, tidak ada satupun ayat maupun
hadis yang menyatakan bahwa Malaikat Jibril masih diberi tugas oleh Allah untuk
menurunkan ajaran pada umat manusia, baik ajaran baru maupun ajaran yang bersifat
63
Ibid., h. 408
penjelasan terhadap ajaran agama yang telah ada. Hal ini karena ajaran Allah telah
sempurna. Ketiga, pengakuan seseorang bahwa dirinya didampingi dan mendapat
ajaran keagamaan dari Malaikat Jibril bertentangan dengan Al-Qur’an. Oleh karena
itu, pengakuan tersebut dipandang sesat dan menyesatkan.64
Dalam lapangan hukum Islam penistaan agama merupakan perbuatan yang
dikategorikan perbuatan perusakan akidah yang diancam dosa besar, dan dapat
dikategorikan dalam hukum murtad. Sedangkan perbuatan menafsirkan ayat AlQur’an dengan sekehendak hati atau penyelewengan tahrîf baik secara maknawî atau
lafzi.
Hukuman bagi sesorang yang murtad adalah hukuman mati, maka hukuman
yang pantas bagi Ahmad Mosaddeq dan Lia Aminuddin adalah hukuman mati secara
maksimal karena ia telah melakukan perbuatan yang bukan saja merusak pribadinya
tetapi juga mempengaruhi orang lain dan menyatakan penentangannya kepada
khalayak umum dan tidak bertaubat, dalam hal ini ia dapat dikategorikan orang yang
murtad.
Prof. KH. Ali Musthofa Ya’kub, MA, mengatakan bahwa bagi siapa saja yang
menafsirkan Al-Qur’an sesuai pendapatnya sendiri maka itu berarti penistaan
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan kalau dia orang Islam maka bersiaplah untuk
masuk neraka.65
64
Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2002), cet. Ke-2, h. 155
65
Putusan No. 677/PID.B/2006/PN. JKT. PST
MUI menyatakan tentang aliran yang dipimpin Lia Aminuddn alian Lia Eden,
bahwa tidak ada satupun ayat maupun hadis yang menyatakan bahwa Malaikat Jibril
masih diberi tugas oleh Allah untuk menurunkan ajaran kepada umat manusia, baik
ajaran baru atau ajaran yang bersifat penjelasan terhadap ajaran agama yang telah
ada. Hal ini karena ajaran Allah telah sempurna. Pengakuan seorang bahwa dirinya
didampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari Malaikat Jibril bertentangan dengan
Al-Qur’an. Oleh karena itu , pengakuan itu dipandang sesat dan menyesatkan.66
Menurut akidah Islam, Malaikat Jibril hanya turun kepada para Nabi untuk
menyampaikan wahyu Allah, dan mengingat Nabi Muhammad SAW adalah Nabi
terakhir.
Maka Malaikat
Jibril tidak lagi turun menemui manusia untuk
menyampaikan wahyu.67
Dalam kasus diatas pelaku melakukan penistaan terhadap agama Islam, dan hal
ini termasuk ke dalam hukum pidana Islam (jinâyah). Pelaku dapat dikategorikan
sebagai orang yang murtad dengan i’tikad. Mereka mengaku sebagai Nabi dan
Malaikat yang dibuktikan melalui ucapan dan perbuatan, lebih lagi mereka berusaha
menyebarkan ajarannya kepada orang lain, sehingga seharusnya mereka mendapat
hukuman mati. Namun sebelum dilaksanakan hukuman mati, orang yang murtad itu
harus diberi kesempatan untuk bertaubat dalam jangka waktu tiga hari tiga malam
dan taubatnya cukup dengan mengucap dua kalimat syahadat.
66
Ahmad Jaiz, Nabi-Nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008),
cet. Ke-I, h. 410
67
Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2002), cet. Ke-2, h. 148
Dan apabila penulis menganalisis lebih jauh tentang sanksi yang dijatuhkan
majelis hakim, maka hukuman yang dijatuhkan tidaklah cukup untuk menimbulkan
efek jera untuk pelaku, karena majelis hakim hanya memberi hukuman penjara saja.
Dengan kata lain perbuatan itu akan dapat dilakukan kembali setelah habis masa
tahanannya dan juga akan bermunculan nabi-nabi serta malaikat-malaikat palsu yang
lainnya.
Dengan adanya hukuman mati yang ditetapkan oleh syari’at Islam, ini akan
memberikan shock therapy untuk perorangan atau masyarakat dalam menjaga
terciptanya keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu juga dapat
mengurangi tindak pidana untuk yang lainnya karena bagi calon pelaku akan berfikir
untuk yang kedua kalinya dalam melakukan suatu tindak pidana.
Apabila orang yang telah keluar dari ajaran Islam maak orang tersebut di
anggap murtad, dan orang yang murtad hendaknya diajak kembali kepada agama
Islam, selama tiga hari dan diingatkan dengan disertai dengan peringatan-peringatan.
Jika kembali lagi kepada agama Islam maka tidak dibunuh. Tetapi jika tidak mau
kembali maka hukumannya adalah dibunuh dengan pedang sebagai hukumannya.
Apabila orang yang murtad telah dibunuh maka jangan dimandikan, jangan
dishalatkan atau dikubur di dalam kuburan orang-orang muslim. Dan jangan diwarisi
atau menerima warisan. Harta yang ditinggalkan menjadi harta rampasan bagi kaum
muslimin untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama.68
68
Ahmad Jaiz, Nabi-Nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008),
cet. Ke-I, h. 63-64
2) Menurut Hukum Positif
Di negara kita persoalan agama merupakan persoalan yang sangat sensitif dan
merupakan salah satu sumbu peledak yang dapat menghancurkan sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Mungkin masih segar dalam ingatan kita
bagaimana konflik antar umat beragama terjadi di Ambon, Maluku yang bukan saja
membawa petaka untuk pihak-pihak yang bertikai namun juga membawa derita yang
berkepanjangan yang masih terasa hingga saat ini khususnya di Maluku.
Untuk itulah diperlukan adanya suatu ketegasan sikap khususnya bagi
pemerintah untuk dapat segera menyikapi masalah-masalah penodaan agama yang
bersumber dari peristiwa-peristiwa yang awalnya dianggap sepele namun kemudian
memberi dampak yang cukup besar. Sikap pemerintah yang perlu diambil adalah
dalam hal penegakan hukum terhadap kasus-kasus penodaan agama. Beruntung bagi
kita perangkat untuk penegakan hukum dalam delik penodaan agama telah kita
miliki.
Hal itu dapat kita rujuk dari KUHP yakni pasal 156 huruf a. Pada prinsipnya
kedua pasal tersebut melarang seseorang dengan sengaja dimuka umum untuk
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat
permusuhan, kebencian, penyalahgunaan dan penodaan terhadap suatu agama dan
atau suatu golongan rakyat Indonesia. Jadi berdasarkan kedua pasal di atas tidaklah
boleh seseorang itu dengan sengaja melakukan hal-hal yang menyebabkan timbulnya
perasaan kebencian, permusuhan, penyalahgunaan dan atau penodaan baik terhadap
suatu agama maupun terhadap suatu golongan masyarakat. Ancaman hukuman untuk
yang melanggar kedua pasal tersebut ialah pidana penjara selama empat sampai lima
tahun.69
Selain di KUHP, larangan terhadap penodaan agama juga diatur dalam
Penetapan Presiden RI Nomor 1 Tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan
dan atau penodaan agama dan keputusan Menteri Agama RI Nomor 70 Tahun 1978
tentang pedoman penyiaran agama. Dari kedua aturan tersebut yang penting kita
soroti ialah keputusan Menteri Agama RI Nomor 70 Tahun 1978 yang pada
pokoknya mengatur hal-hal sebagai berikut :
a. Untuk menjaga stabilitas nasional dan demi tegaknya kerukunan antar umat
beragama, pengembangan dan penyiaran agama supaya dilaksanakan dengan
semangat kerukunan, tenggang rasa, teposeliro, saling menghargai, hormat
menghormati antar umat beragama sesuai jiwa Pancasila;
b. Penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap orang dan atau
orang-orang yang telah memeluk suatu agama lain;
c. Bilamana ternyata pelaksanaan pengembangan dan penyiaran agama
sebagaimana yang dimaksud di atas, menimbulkan terganggunya kerukunan
hidup antar umat beragama akan diambil tindakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
69
http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg02084.html, diakses pada
tanggal 08-05-09
Jika ditinjau dari sudut KUHP yang berdasar pada Penetapan Presiden No 1
tahun 196570, putusan pengadilan negeri Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan tentang
penistaan agama yang dipimpin oleh Ahmad Moshaddeq dan Lia Aminuddin belum
sesuai dengan amanat undang-undang yang berlaku di Indonesia. Dalam putusan
tersebut terdakwa hanya dijatuhi hukuman 2 tahun penjara bagi Lia Aminuddin dan 4
tahun penjara bagi Ahmad Moshaddeq, padahal dalam perkara tersebut terdakwa
telah terbukti secara meyakinkan melakukan perbuatan penistaan agama (pasal 156a
KUHP) dan tindakan tidak menyenangkan yang seharusnya dihukum 5 tahun penjara
atas pelanggaran dakwaan pertama.
Jadi hukuman bagi Ahmad Moshaddeq seharusnya 5 tahun penjara dan bagi
Lia Aminuddin 8 tahun penjara karena disebabkan tidak adanya alasan-alasan atau
hal-hal memperingan atas putusan terhadap tindak pidana yang dilakukannya.
Mengenai aturan penistaan agama sanksi yang dikenakan adalah sanksi penjara
sebagai bagian dari sanksi pidana dengan membuat pelaku tersebut menderita, sanksi
pidana ini diatur dalam pasal 2 UU PNPS No 1/1965 (jo Undang-undang No 5/1969
dan pasal 156a (KUHP). Pasal 2 UU PNPS No 1/1965 menyebutkan: ayat (1),
“Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan
peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan
bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Ayat (2)
70
Penetapan Presiden Indonesia No 1 tahun 1965 (UU No 1/PNPS tentang Pencegahan
Penodaan Agama di Indonesia) yang berbunyi: dalam pasal 1 “Setiap orang dilarang dengan sengaja
dimuka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan
penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari itu, kegiatan mana menyimpang dan
pokok-pokok ajaran agama itu.
apbila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu
aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan
organisasi itu dan menyatakan organisasi tersebut sebagai organisasi atau aliran
terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama,
Menteri/Jaksa Agung”.
Ajaran Ahmad Moshaddeq juga telah dilarang beredar oleh Kejaksaan Negeri
Jakarta untuk wilayah Jakarta sejak 29 Oktober 2007. Para pentolannya ditangkap
polisi untuk diproses. Kemudian dilarang secara Nasional diseluruh wilayah
Indonesia oleh pakem (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) Kejaksaan
Agung, November 2007.71
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan perbuatan terdakwa terbukti secara
sah dan meyakinkan dan selama persidangan tidak ditemukan adanya hal-hal yang
dapat menghapuskan kesalahan terdakwa, baik alasan pemaaf maupun alasan
pembenar.
Pada dakwaan pertama, Lia dijerat Pasal 156a KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke
ssatu KUHP. Dalam pasal tersebut disebutkan barangsiapa dengan sengaja di muka
umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia, dipidana maksimal lima tahun penjara.
Pada dakwaan kedua, Lia dijerat pasal 157 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat satu
kesatu KUHP tentang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau
71
Ibid., h. 5
lukisan di muka umum yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan,
kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat
Indonesia supaya isinya diketahui umum.
Sedangkan pada dakwaan ketiga, Lia dijerat pasal 335 ayat satu kesatu KUHP
jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang melakukan perbuatan tidak menyenangkan, karena
membakar salah satu pengikutnya yang berumur sembilan tahun dalam suatu kegiatan
penyucian komunitas Eden. JPU menyatakan hal yang memberatkan Lia adalah
karena perbuatannya telah merusak akidah dan ajaran Islam serta melukai perasaan
umat Islam. Selain itu, Lia juga tanpa merasa bersalah dengan semaunya sendiri
mengubah makna ayat-ayat Al-Qur’an.
Perbuatan terdakwa juga menyesatkan dan meresahkan masyarakat di
kalangan umum Islam. Terdakwa juga telah melecehkan lembaga peradilan dengan
dalih sebagai Malaikat Jibril di depan persidangan menyatakan pengadilan tidak
berwenang mengadili, karena terdakwa yang berhak melakukan penghakiman," tutur
JPU Arief Basuki.
Sebaliknya, JPU menyatakan tidak ada hal yang meringankan bagi terdakwa.
JPU menyatakan perbuatan Lia yang menyebarkan ajarannya bahwa Lia adalah
Malaikat Jibril yang diutus untuk menyampaikan wahyu Tuhan, serta perbuatannya
yang msenyatakan shalat dalam dua bahasa sah serta daging babi adalah halal, telah
menodai ajaran Islam.
Nabi palsu yang dianggap jelmaan Nabi Muhammad SAW itu semula
mendapatkan vonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, setelah Lia Eden
terkena sendiri hukuman dua tahun atas tingkah polanya yang terbukti menodai
agama Islam, diantaranya menghalalkan daging babi, atas nama apa yang Lia klaim
sebagai wahyu dari Malaikat Jibril. Setelah menikmati putusan bebas ternyata nabi
palsu Abdul Rahman dikenai vonis tiga tahum penjara oleh Mahkama Agung, 9
November 2007.72
Dari sini kita bisa memahami, dalam pengalaman sebelumnya, siapapun yang
diadili dengan jeratan “penodaan agama” orang itu akan sulit lepas. Karena itu, tanpa
bermaksud mencampuri urusan hakim, saya menduga kuat, Lia Eden akan menjadi
korban baru dari pasal ini dan dia divonis sebagai orang yang menodai agama. Lia
Eden dan tim pengacaranya boleh saja membuat berbagai argumen tentang kebebasan
beragama yang dijamin konstitusi dan undang-undang, namun vonisnya akan tetap
menyatakan Lia Eden telah sesat dan menodai agama Islam.73
Selanjutnya hukuman yang diberikan majelis hakim terhadap pelaku tindak
pidana penodaan terhadap agama yang dilakukan oleh Ahmad Musaddeq hanya 4
tahun. Hukuman ini dibawah apa yang ditetapkan pasal 156a KUHP yang ancaman
hukumannya 5 tahun.
Tetapi di balik itu semua hakim mempunyai interpretasi dalam menggunakan
hukum sesuai dengan bukti-bukti dan keterangan para saksi di dalam persidangan,
jadi walaupun di dalam KUHP disebutkan hukuman yang ditetapkan sangat
72
73
Ibid., h. 209
http://www.wahidinstitute.org/Program/Email_page?id=223/penodaan-agama-untuk-lia-eden,
diakses pada tanggal 08-05-09
memberatkan akan tetapi dalam prakteknya hukuman sangat meringankan pelaku dan
itu terbukti dari contoh putusan hakim dalam tindak pidana penodaan terhadap agama
tersebut. Dan akibat hukuman yang ditetapkan sangat meringankan para pelaku maka
tidak menimbulkan efek jera baik dalam tindak pidana penodaan terhadap agama
maupun tindak pidana lainnya dan ini merupakan bentuk ketidaktegasan aparat
hukum dalam memutuskan suatu perkara.
Hal ini tidak terlepas dari peran kepolisian sebagai penyidik perkara tersebut,
sehingga Jaksa Penuntut Umum hanya menuntut 4 tahun bagi Ahmad Moshaddeq,
yang pada akhirnya majelis hakim pun tidak akan jauh memutus perkara tersebut
sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Apalagi hakim di Indonesia hanya
bertugas menjalankan undang-undang untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku,
karena sistem hukum di Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental yaitu
masih kebanyakan menggunakan hukum Belanda.
Oleh sebab itu hukum yang berlaku di Indonesia untuk kasus penodaan
agama, dalam hal ini tidaklah sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh Islam, yang
benar-benar asli hukum yang diciptakan Allah dan disampaikan kepada Nabi
Muhammad Saw.
Bahwasanya seseorang yang telah mengaku atau merasa sebagai dirinya Nabi
atau Malaikat itu dapat dikategorikan sebagai orang yang tidak percaya atau
mengingkari adanya Rukun iman, dan barang siapa yang mengingkari rukun iman
berarti dia telah keluar dari Islam, dan barang siapa yang keluar dari Islam berarti
hukuman yang pantas adalah hukuman mati atau dibunuh.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis mengamati dengan cermat atas data-data yang telah didapatkan
maka penulis menyimpulkan:
1. Sanksi pidana yang diberikan terhadap pelaku penistaan agama menurut
hukum Islam adalah sanksi yang diberlakukan terhadap orang yang murtad.
Murtad dalam pandangan hukum Islam berarti keluar dari Islam atau tidak
mengakui kebenaran Islam, baik dengan berpindah agama lain (konversi
agama) atau tidak mempunyai agama sama sekali (atheis). Hukuman bagi
orang yang murtad dalam hukum Islam adalah hukuman mati.
2. Sedangkan sanksi pidana yang diberikan terhadap pelaku penistaan agama
menurut hukum positif yaitu sesuai yang tercantum dalam KUHP yaitu pasal
156a dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang
siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia dengan maksud
supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun dalam kasus yang ada pada skripsi ini
pelaku penistaan agama yaitu Ahmad Moshaddeq diberi hukuman empat
tahun penjara dan Lia Aminuddin dua tahun penjara. Putusan itu semua
karena pertimbangan hakim yang memutuskan.
3. Yurisprudensi perkara yang bermuatan agama yang ada di Indonesia belum
relevan dengan hukum Islam. Karena menurut pandangan hukum pidana
Islam, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tidak sesuai dan tidaklah memberikan keadilan yang
sesungguhnya. Menurut hukum pidana Islam, apabila seseorang mengaku
sebagai nabi atau mengaku sebagai malaikat Jibril dan tidak mempercayai
Nabi Muhammad Saw sebagai nabi terakhir serta menyebarkan ajarannya
yang dianggap sesat kepada orang lain, maka ia sudah tergolong kepada
tindak pidana jarîmah murtad dan hukumannya adalah hukuman mati atau
dibunuh. Tetapi sebelum dieksekusi pelaku diberi kesempatan untuk
bertaubat. Sedangkan menurut hukum pidana positif, pelaku seharusnya
dikenakan hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun, tetapi Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat hanya menjatuhkan hukuman selama 2 tahun. Disinilah
kekurang efektifnya hukum yang berlaku di Indonesia sehingga dalam kasus
penodaan agama pelaku hanya dikenakan sanksi yang begitu ringan, sehingga
akan menimbulkan aliran-aliran sesat baru yang meresahkan di tengah
masyarakat Indonesia yang memang mayoritas beragama Islam.
B. Saran
Agar tidak muncul lagi aliran atau paham sesat yang lainnya dan membuat
kasus penistaan agama di Indonesia semakin meluas, saran saya:
1. Kepada pemerintah agar memberi hukuman yang setimpal sesuai aturan yang
ada agar para pelaku penistaan agama tidak mengulanginya lagi dan tidak ada
lagi aliran-aliran sesat seperti yang sudah ada sekarang. Juga harus
diperhatikan pemahaman ajaran agama yang benar, maksudnya pemahaman
ajaran agama Islam secara benar adalah pemahaman ajaran sebagaimana
yang telah diajarkan Rasulullah SAW. Sejalan dengan tata cara pemahaman
nash yang telah Rasulullah SAW sampaikan kepada para sahabat, dan
kemudian diformulasikan oleh para imam Mazhab dalam bentuk metodologi
dalam pengambilan hukum Islam.
2. Untuk masyarakat umum khususnya umat Islam harus mengikuti apa-apa
yang
telah disampaikan oleh Rasulullah
SAW dan
memahaminya
sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat. Mengikuti apa-apa yang telah
disampaikan oleh Rasulullah SAW artinya adalah berpegang teguh kepada Al
Quran dan Sunnah. Kemudian peningkatan iman dan ketakwaan di dalam
masyarakat untuk berpeganglah pada tali agama dan hukum yang berlaku di
Indonesia, serta kenali berbagai fenomena yang sekarang begitu merebak di
seluruh media informasi baik cetak, visual ataupun audio visual. Terkadang
tak sedikit hikmah yang dapat diambil dan harus ada suatu wadah atau forum
kebebasan menyatakan pendapat, dan membiarkan masyarakat mendengarkan
semuanya lalu menyimpulkan mana yang benar dan mana yang tidak, serta
diperlukan ketegasan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menyikapi
adanya berbagai macam pendapat tentang paham atau aliran yang berkembang
di masyarakat.
3. Selayaknya ada pihak-pihak yang tetap berjuang dan berusaha dengan segala
daya dan kekuatan agar aliran-aliran menistakan suatu agama tersebut bisa
dilarang oleh pemerintah Indonesia demi memurnikan ajaran Islam yang
benar, berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis sesuai dengan pemahaman
salafush shalih, bukan pemahaman versi oriental yang berusaha merusak
Islam dari dalam. Karena, kalau Al-Qur’an dan As-Sunnah itu dipahami
seperti selera orientalis, yahudi, nashrani, dan aneka anteknya yang
memunculkan aliran-aliran sesat, maka akibatnya Islam tinggal namanya, dan
Al-Qur’an tinggal tulisannya, sedang masjid-masjidnya ramai dan megah
tetapi jauh dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Itu justru tanda-tanda akhir
zaman bagi Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
Abdullah, M. Sufyan Raji, Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-Ciri
Ajarannya, Jakarta: Pustaka Al Riyadl 2007
Amin, Ma’ruf, “Kebijakan Majelis Ulama Indonesia Tentang Aliran Sesat”, Mimbar
Ulama, no.341 Rabi’ul Awawl 1429/Maret 2008.
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1996
Armansyah, Jejak Nabi “Palsu”, Bandung: PT Mizan Publika, 2007
Audah, Abdul Qadir, al-Tassyri’ al-Jinai al-Islami, Beirut: Muassah al-Risalah, 1992
Bahasni, A. Fathi, al- Uqubah fi al-fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-syuruq, 1983
Fathoni, Muslih, Faham Mahd Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 1994
Hanafi, A., Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967
http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2008-yulinantoh8293&PHPSESSID=a8764cbcbd82e3de543ea5dceb48224d, diakses pada
tanggal 03-04-2009
http://planetaswan.blogspot.com/2008/05/beragama-dan-kebebasan-takberbatas.htmlabel: Publika, diakses pada tanggal 11-04-2009
http//imankpr.multiply.com/journal/item/13/Hukuman Mati2, diakses pada tanggal
02-05-2009
http://www.wahidinstitute.org/Program/Email_page?id=223/penodaan-agama-untuklia-eden, diakses pada tanggal 08-05-09
http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg02084.html,
pada tanggal 08-05-09
diakses
Jaiz, Hartono Ahmad, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2002
, Nabi-Nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2008
Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai
Pustaka, 1989
Kertanegara, Satochid, Kumpulan Kuliah Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lektur
Mahasiswa, tth
Manaf, Mujahid Abdul, Sejarah Agama-Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1996
Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap kehormatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1997
Mas’ud, Ibnu dan Abidin, Zainal, Fiqh Mazhab Syafi’I, Bandung: CV Pustaka Setia,
2000
Media Hukum dan HAM, Pusat Study Hukum dan HAM UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Aneka Cipta, 1993
Moeljatno, Kitab undang-undang hukum pidana, Bandung : PT Bumi Aksara, 2001
Mudjib Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh: Al Qawa'idul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam
Mulia, 2001
Muhammad, Ahsin Sakho, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. karisma
Ilmu, 2007
Partanto, Pius A dan Al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola,
1994
Projodikoro, Wiryono, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT. Erasco,
1989
Rakernas MUI 2007, Mengapa Diperlukan Adanya Kriteria Aliran sesat.”, Mimbar
Ulama, no.341 Rabi’ul Awawl 1429/Maret 2008.
Simorangkir, J.C.T., Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1995
Soeprapto, Hartono Hadi, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: Liberty,
1993
Soerodibroto, R. Soenarto, KUHP dan KUHAP, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1979
Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional Indonesia, Jakarta: WIPRES, 2007
Solehuddin, M, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003
Subekti dan Tjitrosoedibyo, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, 1990
Syamsu, Nazwar, Al-Quran tentang Alinsaan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983
Zainuddin, Fachruddin HS, Nasaruddin Thaha, Djohar Arifin, Terjemah Hadist Sahih
Buchari, Jakarta : Widjaya, 1961
Download