SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENISTAAN AGAMA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF ( Analisis Yurisprudensi Terhadap Perkara yang Bermuatan Penistaan Agama ) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh : AHMAD RIZAL NIM : 104043201345 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENISTAAN AGAMA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (ANALISIS YURISPRUDENSI PERKARA YANG BERMUATAN PENISTAAN AGAMA)” ini telah diajukan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 2 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (Konsentrasi Perbandingan Hukum). Jakarta, 2 Juni 2009 Mengesahkan Dekan, Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422 PANITIA UJIAN MUNAQASYAH Ketua : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP : 150 210 422 (………….…….) Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiqi, M.Ag NIP : 150 290 159 (…………….….) Pembimbing I : Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag NIP : 150 275 509 (…………….….) Pembimbing II : Nahrowi, SH., MH NIP : 150 293 227 (…………….….) Penguji I : Asep Saepuddin Jahar, MA., Ph. D NIP : 150 276 211 (…………….….) Penguji II : Dr. Fuad Thohari, M.Ag NIP : 150 299 934 (…………….….) ‘ SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENISTAAN AGAMA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Analisis Yurisprudensi Perkara yang Bermuatan Penistaan Agama) SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh Ahmad Rizal NIM : 104043201345 Di Bawah Bimbingan Pembimbing I Pembimbing II Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M. Ag NIP. 150 275 509 Nahrowi, SH., MH NIP.150 293 227 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi dari Allah SWT dan sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 24 Rabiul Akhir 1430 H 20 April 2009 Ahmad Rizal ا ا ا KATA PENGANTAR Tanpa petunjuk dan kekuatan yang diberikan oleh Allah Tuhan Yang Maha Kuasa proses studi dan skripsi ini tidak lah mungkin terselesaikan. Sehingga penulis memohon kepada Sang Maha Bijaksana lagi Maha Pemberi Jalan mudah-mudahan skripsi ini juga bagian dari ibadah yang kelak akan mendapat balasan yang setimpal dan bermanfaat bagi semuanya. Shalawat dan salam juga selalu terlafalkan kepada pencetus revolusi dunia, Muhammad SAW dengan ajaran yang universal menuntut ummat manusia kejalan yang lurus dan benar. Penulis juga banyak sekali berhutang pada seluruh pihak yang selama ini membantu baik secara langsung maupun dengan dorongan moral yang tak terhargakan sampai kapan pun dan dengan apapun. Mudah-mudahan suatu saat nanti penulis dapat membalas dengan sesuatu yang pantas. Sehingga rasa terimakasih penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak DR. K. H. Ahmad Mukri Aji, MA., MH., sebagai Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum dan Bapak DR. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., sebagai Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum. 3. Bapak Dr. H. Mujar Ibn Syarif, M. Ag dan Nahrowi, SH, MH., sebagai Pembimbing, terima kasih atas bimbingan, kesabaran keramahan hati serta nasehat-nasehat berharga yang bapak berikan. 4. Pimpinan Perpustakaan Umum dan Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf, yang telah memberikan penulis fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan. 5. Yang tercinta kedua orang tuaku, Bpk. Sukiswo dan ibunda tercinta, Ibu. Casri, yang tak pernah henti berdoa untukku. Kemudian kepada Kakakkakakku, Alimi, Fitria Suciati, Hikmiatun, Nurseha, Seati, Sahuri (Alm), Nurcholis, tidak lupa pula keponakanku tercinta, Ajeng, Aliqa, Deby, Dhini, Dinda, Essa, Fajar, Icha, Tegar, Najma, dan saudara-saudaraku yang telah membantu baik secara langsung maupun dengan dorongan moral yang tak terhargakan sampai kapan pun dan dengan apapun, terima kasih yang tak terhingga, do’a dan kasih sayang kalian yang telah membuat penulis semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah senantiasa memberi keberkahan kepada kalian semua. 6. Terima kasih Untuk Guruku KH. E. Fachruddin Masthuro, selaku Pimpinan Pondok Pesantren Almasthuriyah, yang selalu mengingatkan saya dalam segala hal. Kemudian kepada Guru-guruku yang penulis tidak bisa sebutkan namun tidak mengurangi rasa hormat penulis kepada beliau. 7. Kepada kawan-kawan seperjuanganku di kelas PH periode 2004 : Eka, Hendra Hidayat, SH.I, Syamsul Rizal MZ, SH.I, Oyok Toli Salim, SH.I, dan teman-teman yang lain semua mudah-mudahan persahabatan kita akan terjalin untuk selamanya. 8. Kepada sahabat-sahabat setiaku (Rantang), Madinah, SH.I, Makdum, Musthopa, Nessa Khoirunnisa, SE, Saipul dan Sulton,S.Sos.I, terima kasih atas motivasinya dan doa yang selama ini kalian berikan, mudah-mudahan tali sillaturahmi kita tetap terjalin untuk selamanya. 9. Spesial untuk seorang wanita dengan nama Riana Intan, S.IP, yang tidak pernah berhenti mengingatkan dan memberikan semangat kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini, saya tidak akan melupakan jasamu. Semoga Allah SWT menjadikan orang yang sukses serta bermanfaat. 10. Dan terakhir buat teman-taman “Centro Margo City” khususnya untuk F.A Children, Adet, Ade Wahyu, Anita, Dhani, Ela, Egi, Margi, Nurlaela. Juga buat ex F.A Mens Apparel, Ari, Dedi, Rahman, Vina, Wita, Yudi. Terima kasih, kalian semua adalah penyemangat hidup bagiku. Tidak lupa juga buat team ROHIS “Centro Margo City” Abay, Haris, Irman, Juni, Mail, Mugi, Sofyan, Semoga Allah SWT menjadikan kalian orang yang sukses. Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menghaturkan terima kasih dan semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah kalian berikan. Amin. Jakarta, 24 Rabiul Akhir 1430 H 20 April 2009 M Penulis DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.......................................................................................... i DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................ 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 8 D. Metode Penelitian .................................................................... 9 E. Review Studi Terdahulu ............................................................ 10 F. Sistematika Penulisan................................................................ 11 BAB II SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Pengertian Sanksi Pidana .......................................................... 13 B. Macam-Macam Sanksi Pidana .................................................. 14 C. Sistem Sanksi Pidana ................................................................ 23 D. Prinsip dan Tujuan Sanksi Pidana ............................................. 28 BAB III SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Pengertian Sanksi Pidana .......................................................... 31 B. Macam-Macam Sanksi Pidana .................................................. 32 C. Sistem Sanksi Pidana ................................................................ 43 BAB IV SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENISTAAN AGAMA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian Penistaan Agama ..................................................... 48 B. Dasar Hukum Larangan Penistaan Agama ................................. 50 C. Unsur-Unsur Penistaan Agama.................................................. 56 D. Sanksi Pidana yang diberikan Terhadap Pelaku Penistaan Agama Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif ................................ 57 E. Analisis Yurisprudensi Beberapa Perkara yang Bermuatan Penistaan Agama.......................................................................... 63 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................... 86 B. Saran......................................................................................... 88 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.1 Perjalanan manusia untuk melaksanakan amanah tidaklah mulus. Berbagai rintangan, ujian, dan godaan menghadang ditengah jalan. Perjuangan manusia semakin berat karena harus berhadapan dengan musuh yang tidak terlihat. Musuhmusuh ini seringkali menipu daya manusia dengan perkataan-perkataan yang indah. Firman allah dalam Al-Qur’an: ⌧⌧ !"#$⌧% ⌧ * /0 *+,-. '() =7 89:;< 123457 8 C DEF A1/B<. >?@ I H7C G⌧% 1/B I 12+1C⌧B K :/B (112 :6/ )امL MN.O0 Artinya: Dan demikianlah kami jadikan tip-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jenis jin, sebahagian mereka membisikan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka adaadakan. (QS. Al-An’am (6) :112) 1 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), cet. 8. h.36 Agama Islam adalah agama yang membawa rahmat seluruh alam. Untuk mewujudkannya harus ada norma yang menjadi aturan, dalam agama islam norma tersebut dikenal dengan istilah syariah, yaitu suatu tatanan aturan kehidupan yang mengatur hubungan antara manusia dan sesamanya juga hubungan antara manusia dan tuhannya. Istilah syariah ini sebenarnya dalam kajian hukum Islam lebih menggambarkan kumpulan norma-norma hukum yang merupakan dari proses tasyrî’. Dalam istilah para ulama fiqh tasyrî’ bermakna menetapkan norma-norma hukum untuk menata kehidupan manusia baik hubungan manusia dengan tuhannya maupun dengan sesamanya.2 Syari’at yang dimaksud di sini adalan syariah yang mencakup ketentuanketentuan Allah dan rasulnya dan norma-norma hukum hasi kajian ulama mujtahid untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia. Inilah yang terkenal dengan Maqâsîd al-Syariah (tujuan perundang-undangan) dalam hukum Islam. Dari uraian di atas terlihat bahwa hukum Islam sangat menjaga dan memelihara urusan-arusan yang berkaitan dengan keyakinan (agama), hal itu terlihat dimana urusan tentang pemeliharaan agama di tempatkan pada urusan-urusan yang dharuri (adanya adalah mutlak), untuk itu setaip tindakan berkaitan dengan hal ini sangat diperhatikan misalnya hukum murtad (penyelewengan akidah). Untuk menghadapi fenomena berkembangnya aliran-aliran kepercayaan baru dalam masyarakat, kita tidak harus menanggapinya secara emosional dan reaktif 2 Muhammad Faruq Nabhan, al-Madkhal li al-Tasyri’I al-Islami, (Beirut: Dar al-Qolam, 1981), h. 11 dengan prasangka-prasangka yang tidak berdasar (tanpa melihat akar permasalahan) yang ada. Kita seharusnya lebih arif dan bijaksana dalam menyelesaikan masalah. Kekerasan, teror, acaman serta pengucilan, bukanlah jalan keluar yang baik. Menghancurkan, bahkan membunuh mereka yang dianggap sesat tanpa memperbaiki kondisi kesemrawutan bangsa kita dari segala aspek, hanya akan melahirkan kesesatan baru yang mungkin jauh lebih berbahaya. Kemunculan nabi-nabi palsu kini banyak menyeret umat yang lemah iman. Mereka yang lapar dan haus akan nilai-nilai religius lebih menyukai jalan pintas ke surga. Ironisnya, kepada para nabi palsu itu mereka gantungkan sejuta harapan akan ke surga dan kedamaian. Padahal surga yang ditawarkan oleh nabi palsu itu adalah surga yang palsu pula3. Bagi orang-orang yang beriman soal kenabian adalah ajaran yang sudah final. Muhammad adalah nabi yang terakhir dan tidak ada nabi lagi setelah beliau. Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an: : W G7 W FS☺UV QR⌧ PI A/\'C ,[$B 12R,ZC ,XI ?,`Za;bP ?^B? ]G de⌧] ;7 cG QR⌧ (40 :33/ )اابf☺a; Artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang lakilaki di antara kamu, tatapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Ahzab (33) : 40) 3 Armansyah, Jejak Nabi “Palsu”, (Bandung: PT Mizan Publika, 2007), hal. ii Sedangkan dalam hukum positif sebagai perwujudan aturan hukum untuk mencapai kehudupan masyarakat yang damai dan sejahtera meliputi perlindungan hukum terhadap hak-hak dasar warga negara, misalnya bidang agama. Hal itu sesuai dengan sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 yang berbunyi “Negara Berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sebagai dasar negara yang mengakui keberadaan berbagai macam kepercayaan (agama), jaminan kebebasan beragama ditujukan agar masyarakat Indonesia dapat memilih menentukan keberagamaan mereka masing-masing tanpa intimidasi dari pihak manapun. Disebutkan pula bahwa setiap umat beragama bebas untuk menjalankan tata cara beribadah menurut agama yang dianutnya. Hal ini senada dengan Azas kebebasan berkeyakinan yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat (2) : “Negara manjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal 28E ayat (1) menyebutkan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Ayat (2) pasal 28E menegaskan,”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”, Artinya seseorang dijamin kebebasannya untuk melakukan ibadah sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaannya. Tetapi perdebatan tentang penistaan atau penodaan agama senantiasa aktual, baik dalam hukum Islam maupun positif, khususnya yang diatur dalam KUHP. Sebut saja dalam komunitas umat Islam muncul aliran Salamullah yang di pimpin oleh Lia Aminuddin (Lia Eden) Alias Syamsuruati, al-Qiyadah al-Islamiyah yang didirikan oleh Ahmad Moshaddeq, aliran-aliran tersebut dianggap menyelewengkan nilai-nilai dasar akidah Islam yang benar, hal ini juga dilegitimasi dengan keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang sesatnya aliran tersebut.4 Bukan hanya itu, peraturan tentang penodaan terhadap agama di Indonesia diatur melalui instrumen Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama. Ketentuan yang lebih dikenal dengan UU PNPS No. 1 Tahun 1965 ini sangat singkat isinya, karena hanya berisi 5 Pasal.5 Pasal 1 ketentuan ini menyatakan bahwa “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan agama yang menyerupai kegiatan-kegiatan 4 MUI berdiri pada 26 juli 1975 berasaskan Islam, berkedudukan di Ibu kota Negara, bersifat keagamaan, kemasyarakatan, dan independent. Organisasi ini berfungsi sebagai wadah musyawarah, forum silaturahmu para ulama, zuama dan para cendikiawan muslimyang mengayomi umat dan mengembangkan kehidupan yang Islami, demokratis, akomodatif, dan insfiratif. Selain itu merupakan wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antar umat beragam sekaligus pemberi fatwa terhadap umat Islam baik diminta atau tidak diminta. Lihat pedoman organisasi Majelis Ulama Indonesia tahun 2001, h. 17-19 5 http://planetaswan.blogspot.com/2008/05/beragama-dan-kebebasan-tak berbatas.htmlabel: Publika, diakses pada tanggal 11-04-2009 keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokokpokok ajaran agama itu. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 1 ini tidak bisa langsung dilakukan upaya hukum dalam bentuk upaya penuntutan secara hukum. UU ini mengatur bahwa setiap orang yang melanggar pasal 1 tersebut, maka ia akan diberikan perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) dari Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri. Apabila setelah dikeluarkannya SKB tersebut, pelanggaran tersebut masih berulang dilakukan, maka jika pelanggaran itu dilakukan oleh organisasi atau aliran kepercayaan, maka Presiden dapat membubarkan organisasi tersebut dengan pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri apabila orang/organisasi tersebut masih melakukan penodaan agama, maka orang atau anggota, dan atau pengurus organisasi tersebut dapat dipidana selama-lamanya 5 tahun. Undang-undang ini juga memperkenalkan bentuk tindak pidana baru yaitu tindak pidana penodaan agama ke dalam KUHP dalam Pasal 156 a. Namun, penggunaan Pasal 156 a KUHP tetaplah tidak bisa dilakukan secara langsung, namun harus dilakukan melalui beragam tindakan administratif pendahuluan. Pasal 156 a KUHP Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia b. dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.6 Dari latar belakang masalah di atas penulis tertarik ingin menuangkannya dalam bentuk skripsi yang diberi judul “Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Penistaan Agama Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis Yurisprudensi Perkara yang Bermuatan Penistaan Agama)”. B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah maka dapat diidentifikasikan ada beberapa yang dipermasalahkan dalam skripsi ini di antaranya : 1. Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku penistaan agama menurut hukum Islam ? 2. Bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku terhadap penistaan agama menurut hukum positif ? 3. Apakah yurisprudensi perkara yang bermuatan penistaan agama yang ada di Indonesia sudah relevan dengan hukum Islam ? 6 21, h. 59 Moeljatno, Kitab undang-undang hukum pidana, (Bandung: PT Bumi Aksara, 2001), cet. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan menguji kebenaran suatu objek penelitian. Mengembangkan berarti mengkaji lebih dalam yang sudah berlaku. Sedangkan menguji kebenaran dilakukan jika terdapat terhadap apa yang sudah ada sebelumnya. Dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis sendiri dalam memperluas wawasan keilmuan khususnya bidang ilmu hukum. Di samping itu, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam memecahkan permasalahan di bidang hukum serta mengetahui mengenai pandangan hukum Islam dan hukum positif (KUHP) tentang penistaan agama yang berkembang di masyarakat Indonesia, karena itu merupakan cermin nilai-nilai aqidah yang diyakini oleh masyarakat. Secara khusus penelitian ini bertujuan : 1. Dapat mengetahui bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku penistaan agama menurut hukum Islam. 2. Untuk mengetahui sanksi pidana terhadap pelaku penistaan agama menurut hukum positif. 3. Untuk memahami atau mengetahui kesesuaian yurisprudensi perkara yang bermuatan penistaan agama dengan hukum Islam. Manfaat penelitian di sini bertujuan : 1. Menyumbangkan pemikiran sebagai hasil kegiatan penelitian berdasarkan prosedur, ilmiah, serta melatih kepekaan penulis terhadap masalah yang penulis paparkan. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat untuk lebih mengetahui tentang penistaan agama sehingga terhindar dari praktek penistaan agama. 3. Untuk menjelaskan tentang penistaan agama dalam ruang lingkup hukum Islam dan undang-undang serta akibat dan penerapan hukumnya dalam kehidupan masyarakat. D. Metode Penelitian Metode yang digunakan pada skripsi ini adalah Penelitian kepustakaan (library reseach), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji, buku-buku, artikel, jurnal dan lain-lain yang ada relevansinya dengan tema skripsi ini. Metode yang berikutnya yaitu penelitian analisis isi, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa kasus yang ada relevansinya dengan tema yang ada pada skripsi ini, dalam hal ini penulis menganalisa putusan yang kasusnya berada di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2007”. 1. Teknik Analisa Data Penelitian menggunakan penelitian yang dihimpun dari berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan obyek penelitian ini dengan berusaha mencari gambaran dengan cara mengumpulkan data dan kemudian dijelaskan dengan analisa serta dikaji berdasarkan teori dari berbagai sumber dan konsep dari para ahli sesuai dengan permasalahan utama sehingga menjadi suatu pembahasan yang sistematis untuk memperoleh hasil atau kesimpulan materi yang dapat diterima kebenarannya. Sumber data penelitian ini terbagi pada dua sumber, yaitu: sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer dari Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber hukum Islam dan dengan penjabaran pendapat dari para Ulama. Kemudian pijakan hukum positifnya dari materi perundang-undangan yang terkait. Yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 156 a. Sedangkan sumber sekunder, diambil dari karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan sanksi pidana terhadap pelaku penistaan agama. D. Review Studi Terdahulu Dari data katalog yang penulis cari, ada satu skripsi yang pembahasannya hampir sama dengan yang penulis bahas, skripsi tersebut berjudul Penodaan Agama ditinjau dari Hukum Islam dan KUHP (Studi Kasus Aliran Jamaah Salamullah) yang ditulis oleh Nurhasan, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008. Dalam skripsi ini dia membahas penodaan agama menurut hukum Islam dan KUHP, tinjauan umum tentang agama menurut hukum Islam dan hukum positif, penodaan agama menurut hukum Islam dan hukum positif, kemudian menganalisa kasus aliran jamaah Salamullah. Yang membedakannya dengan skripsi yang akan penulis bahas adalah bahwa skripsi yang akan penulis bahas akan memaparkan bagaimana sanksi pidana terhadap pelaku penistaan agama dan juga akan membahas penistaan agama menurut hukum Islam dan hukum positif, serta akan menganalisis yurisprudensi perkara yang bermuatan penistaan agama, dalam hal ini penulis mengambil kasus aliran al-Qiyadah al-Islamiyah dan aliran jamaah Salamullah. E. Sistematika Penulisan Dalam sistematika penyusunan, penulis membagi pembahasannya menjadi lima bab, selanjutnya dari tiap bab dirinci menjadi sub-bab, dengan susunan sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan. Dalam bab ini berisikan berupa latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II :Sanksi Pidana dalam Perspektif Hukum Islam. Pokok bahasan dalam bab ini tentang beberapa pengertian sanksi pidana, macam-macam sanksi pidana, sistem sanksi pidana, prinsip dan tujuan sanksi pidana. BAB III : Sanksi Pidana dalam Perspektif Hukum Positif. Uraian bab ini tentang beberapa pengertian sanksi pidana, macam-macam sanksi pidana, sistem sanksi pidana. BAB IV : Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Penistaan Agama Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif. Dalam bab ini menguraikan bagaimana sanksi pidana yang diberikan terhadap pelaku penistaan agama menurut hukum Islam dan hukum positif, serta analisis yuriprudensi perkara yang bermuatan penistaan agama. BAB V : Penutup. Bab ini berupa kesimpulan, saran, dan berupa daftar pustaka. BAB II SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. Pengertian Sanksi (uqûbah) Menurut Ahmad Fathi Bahasni sanksi (uqûbah) berarti balasan berbentuk ancaman yang ditetapkan syar’i (Allah) untuk mencegah terhadap perbuatan- perbuatan yang dilarangnya dan perbuatan meninggalkan yang ia perintahkan.7 Sedangkan Abdul Qadir Audah mendefinisikan sanksi atau hukuman adalah balasan yang telah ditentukan untuk kepentingan orang banyak atas perbuatan melanggar perintah Allah SWT.8 Di dalam kitabnya “Fatawa”, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa disyariatkan hukuman merupakan rahmat dari Allah SWT untuk manusia yang timbul sebagai rasa kasih sayangnya terhadap makhluk. Oleh karenanya adalah wajar Allah menjatuhkan hukuman terhadap perbuatan dosa dengan maksud berbuat baik kepada manusia. Maka ancaman, siksaan yang dijatuhkan dimaksudkan untuk mendidik pelakunya demi merealisasikan kemaslahatan umum. 7 A. Fathi Bahasni, al- Uqubah fi al-fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-syuruq, 1983), cet. Ke-V, h. 13 8 Abdul Qadir Audah, al-Tasyri’ al-Jinai al-Islami, (Beirut: Muassah al-Risalah, 1992), cet. Ke-II, Juz 1, h. 812 B. Macam-Macam Sanksi (Uqûbah) Hukuman dapat dibagi menjadi beberapa golongan menurut segi tinjauannya: 1. Berdasarkan Pertalian Satu Hukuman dengan lainnya a. Hukuman Pokok (al-‘Uqûbah al-Asliyyah) Hukuman pokok yaitu hukuman pokok yang telah ditetapkan pada satu tindak pidana, seperti hukuman qisas bagi tindak pidana pembunuhan, hukuman rajam bagi tindak pidana zina, dan hukuman potong tangan bagi tindak pidana pencurian.9 b. Hukuman Pengganti (al-‘Uqûbah al-Badaliyah) Hukuman pengganti yaitu hukuman yang menggantikan hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan karena adanya alasan yang syar’i, seperti hukuman diyat sebagai pengganti hukuman qisas dan hukuman ta’zîr sebagai pengganti hukuman hudûd dan qisas. Pada dasarnya hukuman pengganti adalah hukuman pokok sebelum berubah menjadi hukuman pengganti. Hukuman ini dianggap sebagai hukuman pengganti hukuman yang lebih berat yang tidak bisa dilaksanakan. Diyat adalah hukuman pokok pada tindak pidana pembunuhan semi sengaja, tetapi ia dianggap sebagai hukuman pengganti pada tindak pidana qisas. Ta’zîr juga adalah hukuman pokok untuk tindak pidana ta’zîr, tetapi menjadi hukuman pengganti pada tindak pidana 9 Ahsin Sakho Muhammad, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Karisma Ilmu, 2007), cet. Ke-I, jilid III, h. 39 hudûd dan qisas apabila hukuman keduanya tidak dapat dilaksanakan karena adanya alasan yang syar’i. c. Hukuman Tambahan (al’Uqûbah al-Tabâ’iyyah) Hukuman tambahan yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan tersendiri. Contohnya, larangan menerima warisan bagi pembunuh. Larangan menerima waris ini adalah konsekuensi atas penjatuhan hukuman mati terhadap pembunuh. Contoh lainnya, dicabutnya hak sebagai saksi terhadap pelaku qazaf. Hukuman ini tidak harus dikeluarkan melalui putusan hukuman, tetapi cukup dengan adanya putusan penjatuhan hukuman qazaf. d. Hukuman Pelengkap (Taklîmiyyah) Hukuman pelengkap yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan adanya putusan tersendiri dari hakim. 10 Hukuman pelengkap sejalan dengan hukuman tambahan karena keduanya merupakan konsekuensi/akibat dari hukuman pokok. Perbedaan keduanya: hukuman tambahan tidak mensyaratkan adanya putusan tersendiri dari hakim, sedangkan hukuman pelengkap mensyaratkan adanya putusan tersebut. Contoh hukuman pelengkap adalah mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong ke lehernya. Hukuman pengalungan ini baru boleh dilakukan setelah dikeluarkannya putusan hukuman tersebut. 4 Ibid., h. 40 2. Berdasarkan Kekuasaan Hakim dalam Menentukan Bentuk dan Jumlah Hukuman Dalam hal ini ada dua macam hukuman, yaitu sebagai berikut: a. Hukuman yang hanya memiliki satu batas Artinya tidak memiliki batas tertinggi atau batas terendah. Hukuman ini tidak dapat dikurangi atau ditambah meskipun pada dasarnya bisa ditambah atau dikurangi. Contohnya, pencelaan, teguran, nasihat, atau cambukan yang ditetapkan sebagai hukuman hudûd (seperti hukuman dera sebagai hukuman hudûd sebanyak delapan puluh kali atau seratus kali). b. Hukuman yang memiliki dua batas (Batas Tertinggi atau Terendah) Dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman yang sesuai antara kedua batas tersebut. Contohnya hukuman kurungan, cambuk atau dera dalam hukuman ta’zîr. 3. Berdasarkan Kewajiban Menjatuhkan Suatu Hukuman Dalam hal ini ada dua macam hukuman, yaitu sebagai berikut: a. Hukuman yang telah ditentukan bentuk dan jumlahnya Hukuman yang telah ditentukan bentuk dan jumlahnya yaitu hukuman yang telah ditetapkan jenisnya dan telah dibatasi oleh syar’i (Allah dan Rasul-Nya). Hakim wajib melaksanakannya tanpa boleh mengurangi, menambah, atau menggantinya dengan hukuman lain. Hukuman ini disebut juga dengan “uqûbah lazimah” (hukuman keharusan) karena penguasa tidak boleh menggugurkan hukuman ini dan memaafkan pelaku tindak pidana dari hukuman ini. b. Hukuman yang tidak ditentukan bentuk dan jumlahnya Hukuman yang tidak ditentukan bentuk dan jumlahnya yaitu hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk memilihnya dari sekumpulan hukuman yang ada dianggap sesuai dengan keadaan tindak pidana serta pelaku. Hukuman ini disebut dengan uqûbah mukhayyarah (hukuman pilihan) karena hakim berhak memilih diantara sekumpulan hukuman tersebut. 4. Berdasarkan Tempat dilakukannya Hukuman Hukuman ini terbagi manjadi tiga, yaitu sebagai berikut: a. Hukuman badan (Uqûbah Badaniyah) Yaitu hukuman yang dijatuhkan atas badan sipelaku, seperti hukuman mati, dera, dan penjara. b. Hukuman jiwa (Uqûbah Nafsiyyah) Yaitu hukuman yang dijatuhkan atas jiwa sipelaku. Contohnya hukuman nasihat, celaan, dan ancaman. c. Hukuman harta (Uqûbah Mâliyyah) Yaitu hukuman yang ditimpakan pada harta pelaku, seperti hukuman diyat, denda dan biaya administrasi. 11 11 Ahsin Sakho Muhammad, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 40 5. Berdasarkan Macamnya Tindak Pidana yang Diancamkan Hukuman Adapun rincian hukuman-hukuman tersebut adalah sebagai terbut: a. Hukuman yang telah ditetapkan terhadap tindak pidana hudûd Hukuman hudûd terbagi menjadi tujuh macam, sesuai dengan bilangan tindak pidana hudûd, yaitu: 1) Zina; 2) Qazaf; 3) Meminum minuman keras; 4) Mencuri; 5) Melakukan hirabah (gangguan keamanan); 6) Murtad; 7) Memberontak. Hukuman yang ditetapkan terhadap segala tindak pidana tersebut disebut had (hudûd). Hudûd adalah hukuman yang telah ditetapkan sebagai hak Allah SWT atau hukuman yang telah ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat. Dikatakan sebagai hak Allah karena hukuman ini tidak dapat digugurkan, baik oleh individu maupun masyarakat. Para fuqoha menjadikan suatu hukuman sebagai hak Allah SWT ketika kemaslahatan masyarakat menuntut demikian, yakni menghilangkan kerusakan dari manusia dan mewujudkan pemeliharaan dan ketentraman untuk mereka.12 6 Ibid., h. 41 1) Hukuman Zina Dalam hukum Islam hukuman atas tindak pidana zina ada tiga: a) Jilid (cambuk atau dera); b) Taghrîb (diasingkan); c) Rajam. Hukuman dera dan pengasingan ditetapkan bagi pelaku zina gairu muhsan (belum pernah menikah), sedangkan rajam ditetapkan bagi pelaku zina muhsan (pelaku yang sudah melakukan hubungan seksual melalui pernikahan yang sah). Apabila keduanya gairu muhsan, hukumannya adalah dera dan dibuang, tetapi jika keduanya muhsan hukumannya adalah rajam. Apabila salah satunya muhsan sedangkan yang lain gairu muhsan, pelaku pertama dijatuhi hukuman rajam, sedangkan yang gairu muhsan dijatuhi hukuman cambuk. 2) Hukuman Qazaf (menuduh orang baik-baik malakukan zina tanpa bukti yang jelas/fitnah) Dalam hukum Islam tindak pidana qazaf dikenai dua hukuman: a) Hukuman pokok berupan hukuman dera; b) Hukuman tambahan berupa tidak diterima persaksian. Dasar hukum qazaf adalah firman Allah SWT Q/I1>0 !gR%G e^B '2^ ($hieB☺. U71C j;7 K/j0 e^+ ;mB GUk4l pq n !"n$o ^ t$Ukl 12rsb K/.<B 2+ uv$Bj wW 8 7 W (4/24 : )ا رQ/4<[x$⌧O. Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An-Nur (24) :4) 3) Hukuman Meminum Minuman Keras a) Hukuman Dera13 Hukum Islam menjatuhkan hukuman delapan puluh kali jera bagi pelaku tindak pidana meminum minuman keras . Ini merupakan hukuman yang memiliki satu batas karena hakim tidak dapat mengurangi, menambahi, atau menggantinya dengan hukuman yang lain. 4) Hukuman Pencurian a) Hukuman Potong Tangan (dan kaki) Hukum Islam mengancamkan hukuman potong tangan (dan kaki) bagi pelaku tindak pidana pencurian. Apabila seseorang mencuri untuk kali pertama, yang dipotong adalah tangan kanannya, jika untuk kali kedua, yang dipotong adalah kaki kirinya. Tangan yang dipotong mulai dari persendian telapak tangan, sedangkan kaki yang dipotong mulai dari persendian mata kakinya. 14 5) Hukuman Gangguan Keamanan (Hirâbah) 13 Ahsin Sakho Muhammad, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 43 14 Ibid., h. 44 a) Hukuman Mati Hukuman ini wajib dijatuhkan kepada pengganggu keamanan yang melakukan pembunuhan. Hukuman ini adalah hukuman hudud, bukan qisas, sehingga tidak bisa dimaafkan oleh wali korban. b) Hukuman Mati disalib Hukuman ini wajib dijatuhkan terhadap pengganggu keamanan yang melakukan pembunuhan dan perampasan harta. Jadi hukuman ini dijatuhkan atas pembunuhan dan pencurian harta sekaligus. 15 c) Pemotongan Anggota Badan Hukuman ini harus dijatuhkan kepada pelaku hirâbah (gangguan keamanan) jika ia mengambil harta, tetapi tidak melakukan pembunuhan. Yang dimaksud dengan pemotongan adalah memotong tangan kanan dan kaki kirinya sekaligus secara silang. d) Hukuman Pengasingan Hukuman ini ditetapkan bagi pelaku hirâbah apabila ia hanya menakut nakuti orang, tetapi tidak mengambil harta dan tidak membunuh. e) Hukuman Tindak Pidana Murtad 1. Hukuman Mati Hukum Islam menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku murtad karena perbuatan itu ditujukan terhadap agama Islam sebagai sistem sosial masyarakat. Sikap menggampangkan dan ketidaktegasan dalam menghukum 15 Ibid., h. 45 tindak pidana murtad mengakibatkan terguncangnya sistem masyarakat tersebut. Karena itu, tindak pidana ini dijatuhi hukuman terberat untuk menumpas para pelakunya untuk melindungi masyarakat dan sistem sosial mereka dari satu sisi sebagai peringatan dan pencegahan umum dari sisi lainnya.16 2. Perampasan Harta Hukuman tambahan bagi pelaku tindak pidana murtad adalah perampasan harta pelakunya. Para fuqoha berbeda pendapat tantang cara perampasan ini;. Menurut mazhab Maliki, Syafi’i, dan pendapat yang kuat dari mazhab Hanbali, seluruh harta benda orang murtad dirampas. Sedangkan menurut mazhab Abu Hanifah dan didukung oleh pendapat yang tidak kuat dalam mazhab hanbali, hanya harta yang didapat dari pelaku murtad, sedangkan harta yang didapat dari sebelum ia murtad diberikan kepada ahli warisnya yang beragamaIslam. f) Hukuman Pemberontakan Tindak pidana pemberontakan ditujukan kepada sistem hukum dan pelaksanaannya. Dalam hal ini hukum Islam bersikap keras karena apabila bersikap memudahkan, akan timbul fitnah, kekacauan, dan ketidak stabilan dan pada akhirnya akan menyebabkan kemunduran dan kehancuran masyarakat umum. Tidak diragukan lagi bahwa hukuman mati adalah hukuman yang paling 10 Ibid., h. 65 mampu mencegah manusia dari melakukan tindak pidana ini yang biasanya didorong oleh keserakahan serta mencintai kemuliaan dan kekuasaan. C. Sistem Sanksi Pidana dalam Hukum Islam Dalam hukum Islam perbuatan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat, baik anggota badan maupun jiwa, harta benda, perasaan, keamanan, dapat dikatakan sebagai perbuatan jarimah. Dalam hukum Islam tujuan pokok dari penjatuhan hukuman ialah pencegahan (ar-rad’u waz-zajru), pengajaran serta pendidikan (al-islah wat-tahzîb).17 Adapun yang dimaksud pencegahan ialah mencegah diri sipelaku untuk tidak mengukangi perbuatannya dan mencegah diri orang lain dari perbuatan yang demikian. Dalam hukum Islam, penjatuhan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang dikuasai rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya. Ditinjau dari perbuatannya, tindak pidana (jarîmah) dibedakan menjadi: 1. Jarimah Hudûd Jarimah Hudûd yaitu, hukum yang diancam dengan had dan lebih ditentukan oleh syara, dan menjadi hak Allah. Hukuman tersebut telah ditentukan oleh syara dan tidak ada batas minimal dan maksimal, maka hukuman ini tidak bisa dilepaskan oleh 11 279 A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), cet. Ke-1, h. perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau masyarakat yang diwakili oleh Negara. Hukuman had merupakan hak Allah yang tidak dapat dimaafkan dan dihapuskan oleh manusia. Macam-macam tindak pidana hudûd adalah: a. Tindak Pidana Riddah (murtad) ; b. Tindak Pidana Hirâbah; c. Tindak Pidana Bughât; d. Tindak Pidana perzinahan; e. Tindak Pidana Qazaf ; f. Tindak Pidana pencurian; g. Tindak Pidana konsumsi khamar (Syurb al-khamar). Adapun macam-macam hukuman dari tindak pidana (jarîmah) hudûd yaitu: a. Hukuman mati, hukuman ini dijatuhkan kepada pelaku jarimah hirâbah yang melakukan pembunuhan. b. Hukuman cambuk, hukuman ini dijatuhkan kepada pelaku zina yang belum kawin dengan sebanyak seratus kali cambuk dan sebanyak delapan pulih kali cambuk kepada yang melakukan tuduhan palsu zina terhadap orang lain.18 c. Hukuman rajam, yaitu hukuman mati dengan cara lempar batu. Hukuman ini dijatuhkan kepada pelaku zina muhsan (sudah kawin) baik laki-laki maupun perempuan. 18 Ibid., h. 289-294 2. Jarimah Qisâs dan Diyat Qisas bisa diartikan sebagai pembalasan setimpal dengan perbuatannya. Qisas merupakan hukuman yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, dimana perbuatan diberi balasan sesuai dengan perbuatannya. Untuk terwujudnya keamanan dan ketertiban, hukuman qisâs dapat lebih menjamin. Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin membedakan tindak pidana qisas dan diyat berupa: a. Pembunuhan dengan jalan sengaja. Ada tiga macam hukuman ialah hukuman pokok, hukuman pengganti, dan hukuman tambahan. 1) Hukuman pokok dari pembunuhan dengan sengaja ialah berupa: Qisas, membayar diyat dan ta’zîr; 2) Hukuman pengganti ialah berupa: Membayar diyat, berpuasa dua bulan berturut-turut dan diberi ta’zîr; 3) Hukuman tambahan ialah berupa: Terlarangnya hak waris mewarisi dan terlarangnya menerima wasiat. b. Pembunuhan serupa disengaja (semi sengaja) hukumannya ialah: 1) Hukuman pokok ialah berupa: Membayar diyat; 2) Hukuman pengganti ialah berupa: Diberi ta’zîr dan berpuasa dua bulan berturut-turut; 3) Hukuman tambahan ialah berupa: Terlarangnya waris mewarisi dan menerima wasiat dari yang terbunuh. c. Pembunuhan yang tidak disengaja, hukumannya ialah: 1) Hukuman pokok ialah berupa: membayar diyat; 2) Hukuman pengganti ialah berupa: ta’zîr dan berpuasa dua bulan berturutturut; 3) Hukuman tambahan ialah berupa: terlarangnya waris mewarisi dan menerima wasiat dari yang terbunuh. 3. Jarimah Ta’zir Jarimah ta’zîr ialah pidana diluar had dan qisas/diyat dan hukuman itu dilaksanakan oleh penguasa dalam negara. Adapun hukuman ta’zîr ialah: a. Hukuman Mati: pada dasarnya hukuman ta’zîr adalah untuk memberi pelajaran dan tidak sampai membinasakan, oleh karena itu hukuman mati sebagai hukuman ta’zîr, merupakan suatu pengecualian dan hukuman tersebut tidak boleh diperluas atau diserahkan seluruhnya kepada hakim, dan menentukan jarimah yang dijatuhi hukuman;19 b. Hukuman Cambuk (jilid), merupakan hukuman pokok dalam syariat Islam, dimana untuk jarimah hudud sudah tentu jumlahnya, misalkan 100 kali untuk zina dan 80 kali untuk qazaf, sedang untuk jarimah ta’zîr tidak tertentu jumlahnya. Dan dalam ta’zîr hukuman cambuk lebih diutamakan; c. Hukuman Tahanan (penjara) 19 Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Mazhab Syafi’i, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), cet. Ke-2, h. 325 Ada dua macam hukuman tahanan dalam syariat Islam, yaitu hukuman tahanan terbatas dan hukuman tahanan tidak terbatas. Hukuman tahanan terbatas yaitu: Batas hukuman terendah ini adalah satu hari, sedang batas setinggi-tingginya tidak menjadi kesepakatan. Dan hukuman tahanan tidak terbatas yaitu: sudah ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan dapat berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya;20 d. Hukuman Pengasingan Mengenai masa pengasingan dalam jarimah ta’zîr, maka menurut mazhab Syafi’i dan Ahmad tidak lebih dari satu tahun agar tidak melebihi masa pengasingan yang telah ditetapkan sebagai hukuman had, yaitu satu tahun juga. Menurut imam Abu Hanifah masa pengasingan bisa lebih dari satu tahun, sebab pengasingan disini adalah hukuman ta’zîr dan bukan hukuman had; e. Hukuman Denda atau ganti rugi Hukuman denda ditetapkan juga oleh Syariat Islam misalkan mengenai mencuri buah yang masih tergantung dipohonnya yang didenda dengan dua kali lipat dua kali harga buah tersebut. 20 A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, h. 336-337 D. Prinsip dan Tujuan Sanksi 1. Prinsip Dasar Sanksi Perlu diperhatikan bahwa prinsip dasar sebuah sanksi dalam pandangan syariat terdiri dari dua prinsi dasar atau kaidah umum yaitu:21 a. Bertujuan memerangi segala bentuk tindak kejahatan, tanpa memperdulikan kondisi dan status pelaku. Maksud dari memerangi segala bentuk kejahatan, bertujuan untuk menjaga kemaslahatan orang banyak dari segala tindak kejahatan. b. Memperlihatkan kondisi dan status pelaku dengan tidak melupakan tujuan sanksi untuk memerangi segala bentuk kejahatan. Maksudnya dengan memperlihatkan kondisi dan status pelaku, bertujuan sebagai pembenahan dan perbaikan baginya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dua kaidah dasar ini terdapat perbedaan yang mendasar, satu sisi menjaga kemaslahatan orang banyak dari pelaku kejahatan berarti tidak memperdulikan keadaan dan status pelaku, disisi lain memperhatikan kondisi dan status pelaku berarti akan meninggalkan penjagaan terhadap kemaslahatan orang banyak. 2. Tujuan Sanksi Sanksi (Uqûbah) di dalam Islam telah terbukti mampu mencegah kejahatan, menjamin keamanan, keadilan dan ketenteraman bagi masyarakat. Sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak kriminal berfungsi sebagai “jawâzir” 21 Abdul Qadir ‘Audah, al-Tasyri’ al-Jinâi al-Islâmi, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992), cet. Ke-II, juz 1, h. 813 (pencegah), karena memiliki efek jera yang menghalangi orang lain untuk melakukan kejahatan yang sama.22 Selain sebagai pencegah sanksi juga bertujuan sebagai penebus dosa seorang muslim dari azab Allah SWT dihari kiamat. Tujuan berlakunya sanksi terhadap siapa saja yang melanggar perintah Allah SWT adalah untuk memperbaiki perilaku hamba, menjaganya dari kerusakan , menyelamatkannya dari kebodohan, menunjukinya dari kesesatan, mencegahnya dari kemaksiatan dan menjadikannya taat dan patuh.23 Allah SWT menurunkan syariat-Nya dan mengutus para rasul-Nya adalah untuk memberikan pendidikan kepada sekalian manusia dan mengarahkannya kepada jalan yang benar. Ia menetapkan sanksi bagi siapa saja yang melanggar segala perintahnya untuk kemaslahatan mereka sendiri sekalipun mereka membencinya. Mencegahnya dari perbuatan yang sesat meskipun mereka menyukainya. Oleh karena itu, penetapan sanksi adalah untuk memperbaiki perilaku setiap individu, menjaga dan mengatur kepentingan orang banyak. Allah SWT dalam menurunkan syariat-Nya berupa sekumpulan hukum-hukum, lalu memerintahkan kepada kita untuk melaksanakannya, tidak merasa dirugikan walaupun seluruh manusia di muka bumi ini melanggar segala perintahnya, begitu juga ia tidak 22 http//imankpr.multiply.com/journal/item/13/Hukuman Mati2, diakses pada tanggal 02-05- 2009 23 Abdul Qadir ‘Audah, al-Tassyri’ al-Jinai al-Islami, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1992), Cet. Ke-II, juz 1, h. 812 diuntungkan walaupun seluruh manusia di muka bumi ini mematuhi segala perintahnya. Sanksi pidana Islam yang diberlakukan tentu saja jika memenuhi ketentuan syari’at akan berfungsi sebagai penebus dosa. Dengan begitu pelakunya tidak akan disiksa di akhirat karena dosa kejahatan tersebut. Bagi orang yang mengimani kehidupan akhirat berikut pahala dan siksanya, sifat ini memberikan dorongan besar baginya untuk mengakui kejahatan yang ia perbuat sekaligus menjalani hukuman dsengan penuh kerelaan bahkan dengan kegembiraan.24 24 2009 http//imankpr.multiply.com/journal/item/13/Hukuman Mati 2 , diakses pada tanggal 02-05- BAB III SANKSI PIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Pengertian Sanksi Pidana Dalam membahas perihal hukum pidana, diantara persoalan penting yang mustahil dilewatkan begitu saja ialah perihal sanksi pidana atau hukuman dihubungkan dengan berat ringannya kejahatan maupun berkenaan dengan tujuan sanksi pidana dikaitkan dengan perlindungan terhadap masyarakat khususnya pihak korban. Sanksi pidana terdiri dari dua kata sanksi dan pidana. Kata sanksi berarti tindakan (hukum) yang memaksa orang untuk menepati janji atau menaati hukum. 25 Sedangkan kata pidana berasal dari bahasa Sanskerta dalam bahasa Belanda disebut “straf” dan dalam bahasa inggris disebut “penalty” artinya hukuman.26 Dalam kamus lain sanksi pidana bisa diartikan juga sebagai salah satu alat pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah, undang-undang, norma-norma hukum. 25 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), 26 Subekti dan Tjitrosoedibyo, Kamus Hukum, (Pradnya Paramita, 1990), h. 83 h. 692 Penegakan hukum pidana menghendaki sanksi hukum yaitu sanksi terdiri atas cerita khusus yang dipaksakan kepada si bersalah.27 B. Macam-Macam Sanksi Pidana (hukuman) Menurut hukum positif sebagaimana yang tercantum dalam pasal 10 kitab undang-undang hukum pidana (KUHP), hukuman itu terdiri dari dua macam yaitu: 1. Hukuman Pokok Yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan bersama-sama pidana tambahan, dan dapat juga dijatuhkan sendiri.28 Macam-macam hukuman pokok ialah: a. Hukuman Mati Hukuman mati masih tetap dipertahankan dalam KUHP di Indonesia. Walaupun sejak tahun 1870 hukuman mati ini telah dihapuskan dari KUHP Nederland. Adapun tindak pidana yang diancam hukuman mati yang penulis kutip dari Media Hukum dan HAM ada 14 peraturan Indonesia yang membenarkan berlakunya hukuman mati, yaitu:29 1) Pasal 104 KUHP: Makar membunuh Presiden dan Wakil Presiden. 27 Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional Indonesia, (Jakarta: WIPRES, 2007), cet. Ke-I, h. 436 28 Hartono Hadi Soeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993), cet. Ke-I, h. 109-110 29 6 Media Hukum dan HAM, Pusat Study Hukum dan HAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. “Makar dengan maksud untuk membunuh atau merampas kemerdekaan atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara”. 2) Pasal 124 (3) KUHP: Kejahatan terhadap keamanan Negara. “Pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara paling lama 20 tahun dijatuhkan jika: a) Memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh, menghancurkan atau merusak sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki suatu alat penghubung gudang persediaan perang, atau kas perang ataupun Angkatan Laut, Angkatan Darat ataupun bagian daripadanya. b) Menyebabkan atau memperlancar timbulnya huru hara pemberontakan atau diserse dikalangan Angkatan Perang. 3) Pasal 340 KUHP: Pembunuhan berencana. “Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara semantara selama-lamanya 20 tahun. 4) Pasal 365 (4) KUHP: Pencurian dengan kekerasan. “Diancam dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam nomor (10 dan (3). 5) Pasal 444 KUHP: Kejahatan terhadap pelayaran. “Jika perbuatan kekerasan yang diterangkan pasal 438-441 mengakibatkan seseorang yang dikapal diserang atau seseorang yang diserang itu mati maka nahkoda, panglima atau pemimpin kapal dan mereka yang turut serta melakukan perbuatan kekerasan diancam dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama 20 tahun. 6) dan 7) Pasal 479 (K) ayat 2 KUHP dan pasal 479 (0) ayat 2 KUHP: Kejahatan penerbangan dan prasarana. “Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya 20 tahun”. 8) Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun1999: Korupsi atau merugikan Negara dalam keadaan tertentu. “Tindakan korupsi untuk memperkaya orang lain atau orang lain diancam dengan hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun ditambah denda minimal 200 jutu atau maksimal satu milyar”. 9) Pasal 80-82 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang: Memproduksi, mengolah, menyediakan narkotika. Pasal 80 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum : a. Memproduksi, mengolah, mengkonversi, perakit, atau menyediakan narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama-lamanya 20 tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah). (2) Apabila tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam: a. Ayat (1) huruf a didahului dengan pemufakatan jahat, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2. 000.000.000.00 (dua miliar rupiah). (3) Apabila tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam: a. Ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atu pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah). Pasal 81 (4) Apabila tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam: a. Ayat (1) huruf a (membawa, mengirim, mengangkut narkotika golongan I) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah). Pasal 82 (1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: a. Mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara jual beli, atau menukar narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah). paling banyak Rp. (2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a didahului dengan pemufakatan jahat maka terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: a. Ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara seumur 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.000.000.000.00 (dua miliar rupiah). (3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam: a. Ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000.00 (tiga miliar rupiah). 10) Pasal 59 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997: Menyalahgunakan obat-obatan psikotropika secara terorganisasi. (1) Barang siapa: a. Menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam pasal 4 ayat (2), atau b. Memproduksi atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 c. Mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal12 ayat (3), atau d. Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan, atau e. Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan membawa psikotropika golongan I. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp. 150.000.000.00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000.00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 tahun dan pidana denda sebesar Rp. 750.000.000.00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). 11) Perpu Nomor 1 tahun 2002 Jo pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 2003 tentang terorisme: “ Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat misal, dengan cara merampas atau menghilangkan nyawa harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas public atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun”. Di dalam praktek terdapat peraturan-peraturan lain bagaimana hukuman mati itu harus dilaksanakan, yaitu:30 a) Dilaksanakan di dalam penjara; b) Dilaksanakan oleh penuntut umum dan hakim yang bersangkutan yang mengadili si terhukum; c) Didampingi seorang dokter yang memastikan bahwa si terhukum benar-benar mati; d) Dilaksanakan oleh seorang algojo yang merupakan seorang pejabat negeri; e) Tiga kali dua puluh empat jam sebelum hukuman mati dijalankan polisi harus diberitahukan kepada ketua terhukum oleh ketua pengadilan negeri atau yang diwakilkan dengan dibantu oleh panitera, atau jika ketua pengadilan negeri tidak ada di tempat maka oleh jaksa; 30 Satochid Kertanegara, Kumpulan Kuliah Hukum Pidana, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tth), cet. Ke-I, h. 273 f) Sejak si terhukum diberi tahu tentang hari akan dijalankannya hukuman mati, ia harus dijaga ketat; g) Seorang terhukum mati harus diizinkan bertemu dengan guru keagamaan atau pendeta; h) Persiapan-persiapan untuk menjalankan hukuman mati harus dilakukan tanpa diketahui atau dapat terlihat oleh si terhukum; i) Hukuman mati tidak boleh dijalankan pada hari minggu, hari raya nasional atau keagamaan.31 b. Hukuman Penjara Di Indonesia si terhukum selalu menjalani hukuman penjara bersama-sama dengan terhukum lainnya, karena Indonesia tidak menganut system cellulair, sehingga hal ini semakin memberatkan si terhukum orang yang melakukan kejahatan yang bukan dikarenakan bakat-bakat jahatnya. Akan tetapi oleh karena mengalami kesulitan-kesulitan dalam hidupnya, atau penderitaan, kemudian melakukan kejahatan setelah pada dirinya di hinggapi pikiran-pikiran yang melemahkan. Oleh karena itu timbulah anggapan bahwa penjara itu justru merupakan “kursus kejahatan” bagi mereka yang sebenarnya tidak mempunyai bakat jahat, akan tetapi perbuatannya hanyalah dikarenakan oleh kesulitan hidup c. Hukuman Kurungan 31 Wiryono Projodikoro, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT. Erasco, 1989), cet. Ke-VI, h. 168 Jenis hukuman kurungan sifatnya mirip dengan hukuman penjara dengan perbedaan sebagai berikut: Pertama: Hukuman penjara diancamkan terhadap kejahatan berat, sedangkan hukuman kurungan diancamkan sebagai hukuman alternatif. Kedua: Hukuman penjara maksimal 15 tahun yang apabila disertai masalahmasalah tertentu dapat dinaikan menjadi 20 tahun. Sedangkan maksimum hukuman kurungan satu tahun yang hanya dapat dinaikan menjadi satu tahun empat bulan jika ada ,masalah-masalah yang memberatkan. Ketiga: Hukuman penjara pelaksanaannya dapat dilaksanakan disemua tempat. Sedangkan hukuman kurungan hanya dapat dilaksanakan di dalam lingkungan daerah dimana terhukum bertempat tinggal. Jika terhukum tidak mempunyai tempat tinggak maka dihukum di dalam di daerah dimana ia berada. d. Hukuman Denda Hukuman denda adalah hukuman yang dijatuhkan terhadap harta kekayaan terhukum. 2. Hukuman Tambahan Sesuai dengan namanya maka pidana ini tidak dapat dijatuhkan tersendiri. Jadi selalu dijatuhkan bersama-sama pidana pokok.32 Macam-macam hukuman tambahan sebagai berikut: a. Pencabutan hak-hak tertentu 32 Hadi Soeprapto, Pengantar Tata Hukum, h. 109 Jenis hukuman tambahan ini disebut juga erestal, maksudnya hukuman tambahan ini dijatuhkan terhadap kehormatan atau martabat seseorang. Adapun hakhak yang dapat dicabut ini meliputi lapangan hukum tata Negara dan lapangan hukum perdata. Hal ini diatur dalam pasal 35 KUHP (1) yaitu hak-hak yang dapat dicabut itu adalah: 1) Hak untuk memangku jabatan tertentu; 2) Hak untuk bekerja dalam angkatan perang atau alat kekuasaan lainnya; 3) Hak untuk memilih atau dipilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Daerah yang diatur menurut undang-undang; 4) Hak untuk menjadi penasihat atau wali terhadap orang yang bukan anaknya sendiri; 5) Hak untuk melakukan kekuasaan sebagai orang tua wali terhadap anaknya sendiri; 6) Hak untuk bekerja atau mata pencaharian tertentu. Adapun jangka waktu pencabutan hak tersebut di atas terikat oleh jangka waktu tertentu sebagaimana yang diatur dalam pasal 38 KUHP yaitu antara sua tahun dan seumur hidup. 1) Seumur hidup Jika hukuman pokok yang dijatuhkan itu adalah hukuman mati atau hukuman seumur hidup. 2) Sekurang-kurangnya dua tahun atau setinggi-tingginya lima tahun lebih. Jika hukuman yang dijatuhkan itu adalah hukuman penjara atau hukuman kurungan. b. Penyitaan terhadap barang-barang tertentu Hukuman tambahan ini berupa perampasan atau pembinasaan terhadap barangbarang tertentu. Adapun barang-barang yang dapat dirampas itu adalah barang yang bersifat: 1. Milik terhukum sendiri, misalnya kepemilikan senjata api dengan tanpa izin; 2. Barang-barang yang diperoleh terhukum dari kejahatan; 3. Barang-barang yang dipergunakan oleh terhukum untuk melakukan kejahatan dengan sengaja. c. Pengumuman keputusan hakim Jika hukuman tambahan ini yaitu mengumumkan keputusan hakim agar umum mengetahui bahwa terhukum telah melakukan perbuatan yang dapat dihukum. Hukuman tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila dinyatakan dengan tegas dalam perumusan suatu delik. Pengumuman ini dilakukan oleh penuntut umum. Biasanya dilakukan melalui pers dengan biaya pengumuman menjadi tanggungan terhukum. C. Sistem Sanksi Pidana dalam Hukum Positif Tindak pidana yang sebagaimana tercantum dalam KUHP, sejak zaman Hindia Belanda sampai sekarang merupakan sesuatu yang dibuat oleh orang yang menimbulkan akibat pada orang lain baik merasa tidak senang, cidera maupun matinya seseorang. Menurut Moljatno, perbuatan pidana menurut wujud dan sifatnya bertentangan dengan cara atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, yaitu perbuatan hukum atau melawan hukum.33 Lebih lanjut Moeljatno mengatakan bahwa perkataan perbuatan yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada kedua keadaan konkret. Pertama, adanya jaminan yang tertentu, dan yang kedua adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.34 Ada dua macam jenis hukuman sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP yaitu: a. Pidana Pokok, terdiri atas: 1. Pidana Mati; 2. Pidana Penjara; 3. Kurungan; 4. Denda. b. Pidana Tambahan, terdiri atas: 1. Pencabutan hak-hak tertentu; 33 34 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Aneka Cipta, 1993), h. 2 Ibid., h. 54 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman keputusan hakim. 35 1) Pidana Mati Pidana mati dijalankan oleh algojo ditempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat ditiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri. 2) Pidana Penjara Pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu atau sementara ditentukan minimum dan maksimum lamanya penjara berjumlah 15 tahun atau 20 tahun untuk batas yang paling akhir. 36 3) Hukuman Kurungan Hukuman kurungan seringan-ringannya yang umum adalah satu hari dan hukuman seberatnya yang umum adalah 1 tahun dan waktu 1 tahun dapat ditambah paling lama sampai dengan 1 tahun 4 bulan. 4) Hukum Denda Hukum denda diancam sering kali sebagai alternatif dengan hukuman kurang terhadap hampir semua pelanggar hukum dalam buku III KUHP. 35 R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1979), edisi kelima, h. 16 36 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), cet. Ke-I, h. 173 Terhadap semua kejahatan ringan hukuman denda diancam sebagai alternative dengan hukuman penjara. 5) Pencabutan beberapa hak tertentu Hukum ini disebut dalam KUHP pasal 35-38 Pasal 35 (1) hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) antara lain: a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; b. Hak memasuki angkatan bersenjata; c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; d. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; e. Hak menjalankan mata pencaharian tertentu Ayat (2) hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu. 6) Perampasan barang tertentu Perampasan harus mengenai barang-barang diatur dalam pasal 39-42 KUHP 7) Pengumuman keputusan hakim Pidana ini pun hanya dapat dikenakan dalam hal yang ditentukan oleh undang-undang. Di dalam KUHP menentukan tindak pidana penistaan agama adalah kejahatan yang menodai suatu agama yang tercantum dalam pasal 156 a KUHP, yang berbunyi: Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: c. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; d. dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.37 37 Moeljatno, S.H, Kitab undang-undang hukum pidana, cet. 21, h. 59 BAB IV SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENISTAAN AGAMA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian Penistaan Agama Perkataan “menista” berasal dari kata “nista”. Sebagian pakar mempergunakan kata celaan. Perbedaan istilah tersebut disebabkan penggunaan katakata dalam menerjemahkan kata smaad dari bahasa belanda. “Nista” berarti hina, rendah, cela, noda.38 Dalam bahasa sansekerta istilah agama berasal dari “a” artinya kesini dan “gam” artinya berjalan-jalan. Sehingga dapat berarti peraturan-peraturan tradisional, ajaran, kumpulan hukum-hukum. Pendeknya apa saja yang turun temurun dan ditentukan oleh adaptasi kebiasaan. 39 Menurut M. Taib Thahir Abdul Muin, agama adalah suatu peraturan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal, memegang peraturan tuhan dengan kehendaknya sendiri untuk mencapai kebaikan hidup di dunia dan kebahagiaan kelak di akherat.40 38 Leden Marpaung SH, Tindak Pidana Terhadap kehormatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), cet. Ke-I, h. 11 39 Mujahid Abdul Manaf, Sejarah Agama-Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), cet. Ke-2, h. 1 40 Ibid., h. 3 Dalam hukum Islam penistaan agama merupakan perbuatan yang dapat dikategorikan perbuatan perusak akidah, yang diancam berdosa besar (bagi pelakunya), karena hal ini bertentangan dengan norma agama Islam yang telahditurunkan melalui al-Qur’an dan Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir. Di dalam KUHP memang mengenai pengertian penistaan agama tidak dijelaskan dan tidak secara jelas di paparkan, namun di dalam buku lain dikatakan bahwa definisi tantang penistaan agama adalah penyerangan dengan sengaja atas kehormatan atau nama baik orang lain atau suatu golongan secara lisan maupun tulisan dengan maksud untuk diketahui oleh orang banyak. 41 Penodaan agama menurut Pasal 156 (a) KUHP merupakan salah satu bentuk delik pers yang unsur-unsurnya adalah: Dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dapat dilakukan dengan lisan, tulisan ataupun perbuatan lain; Ditujukan pada niat untuk memusuhi atau menghina, dengan demikian, maka uraianuraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara objektif mengenai agama; Serta menganggu ketentraman umat beragama.42 41 42 J.C.T. Simorangkir, S.H, Kamus Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), cet. Ke-5, h. 124 http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2008-yulinantoh-8293&PHPSESSID= a8764cbcbd82e3de543ea5dceb48224d, diakses pada tanggal 03-04-2009 B. Dasar Hukum Larangan Penistaan Agama Sebelum membahas tentang dasar hukum mengenai larangan penistaan agama, penulis akan sedikit lebih dahulu memaparkan tentang pengertian riddah atau murtad yang menyebabkan orang dianggap telah melakukan penistaan terhadap suatu agama. Menurut Sayyid Sabiq, riddah adalah kembalinya orang Islam yang berakal dan dewasa dari agama Islam kepada kekafiran, dengan kehendak sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun.43 Menurut Imam an-Nawawi dalam kitab Minhaj al-Thâlibîn, murtad adalah memutuskan keislaman baik dengan niat, ucapan, perbuatan yang menyebabkan kufur, atau secara yakin menghina dan menentang baik dengan ucapan atau perbuatan. Barang siapa yang tidak mengakui para utusan Allah, mendustakan salah seorang utusan Allah, menghalalkan sesuatu yang secara ijma telah dinyatakan haram, seperti berzina atau sebaliknya (mengharamkan sesuatu yang telah dinyatakan halal secara ijma), seseorang yang tidak mengakui kewajiban yang telah disepakati atau sebaliknya (mengakui sesuatu yang secara ijma tidak dianggap wajib) sebagai suatu kewajiban, seseorang berniat akan melakukan kekufuran, maka semua itu bisa menjadikan kafir, perbuatan yang bisa berakibat pelakunya dianggap kafir adalah apa yang diniatkan dalam rangka menghina agama secara terang-terangan atau secara tegas menolak agama tersebut, seperti melemparkan mushaf al-Qur’an ke tempat yang kotor (menjijikan) dan seperti sujud kepada berhala atau matahari. 44 43 44 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah II, (Beirut: Dar Al-Fiqr), cet ke-IV, h. 381 Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahali, Kanz al-Râghibîn syarh Minhaj al-Thâlibîn, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), cet ke-1, h. 535 Menurut Wahbah az-Zuhaili, dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, mandefinisikan riddah adalah kembali dari agama Islam menuju kepada kekafiran, baik hal itu dilakukan dengan sebatas niat atau perbuatan yang mengakibatkan pelaku dianggap kafir, maupun dengan ucapan berupa penghinaan atau menentang keyakinan.45 Adapun unsur-unsur penting dalam Murtad ada dua: 1. Keluar dari Islam Dalam hal ini bisa berlaku dengan tiga cara: a. Dengan melakukan perbuatan atau meninggalkan perbuatan; b. Dengan perkataan atau ucapan; c. Dengan itikad. a) Murtad dengan perbuatan atau meninggalkan perbuatan Murtad dengan perbuatan seperti melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Islam secara menolak pengharaman itu dengan sengaja atau dengan tujuan menghina Islam, seperti sujud kepada berhala atu mencapakan al-Qur’an atau kitab-kitab Hadis ke tempat yang kotor atu menghina isi kandungan atau mempersendakan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Temasuk juga dalam kategori ini ialah melakukan sesuatu yang diharamkam oleh Islam dengan menghalalkannya, seperti zina, minum arak, membunuh dan sebagainya dengan menolak pengharaman.46 45 Wahbah az-Zuhaili, Al-fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989), juz VI, h. 183 46 Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaju al-Muslim Kitab Aqaid wa Adub wa Akhlak wa Ibadat wa Muamalat, (Kaherah: Maktab al-Saqafi, t. th), h. 458 b) Mengingkari Al-Qur’an dan Kandungannya Kekufuran itu terus berlaku atas siapa saja yang membuat ketetapan bahwa al-Qur’an itu bukanlah dari pada Allah SWT, melainkan adalah karya Muhammad, demikian juga orang yang mengingkari isi kandungan al-Qur’an, baik secara keseluruhan maupun secara perincian. c) Murtad dengan Perkataan Murtad dengan perkataan seperti mengeluarkan kata-kata yang dapat menunjukan atau membawa kepada kekufuran, seperti mengingkari ketuhanan dengan mengatakan Allah SWT tidak ada atau mengingkari keesaan Allah SWT dengan mengatakan ada sekutu-sekutu bagi Allah SWT, mengaku menjadi Nabi, membenarkan orang yang menjadi nabi, mengingkari para Nabi-nabi dan Malaikat, mengingkari al-Qur’an dan sebagainya. d) Murtad dengan Itikad Murtad dengan itikad bisa berlaku apabila seseoarang ini mempunyai itikad atau kepercayaan yang bertentangan dengan Islam, seperti meyakini alam ini tidak ada penciptanya, atau beritikad bahwa al-Qur’an bukan dari Allah dan Nabi Muhammad bukan utusan Allah. 2. Niat Jahat Untuk mewujudkan kesalahan murtad, niat jahat merupakan unsur yang perlu. Ia mengertikan bahwa seseorang itu sengaja melakukan perbuatan atau perkataan kufur yang dia sendiri mengerti mengenai perbuatan atau perkataan itu. Dengan kata lain, tidak memadai semata-mata sengaja melakukan perbuatan atau perkataan kufur, tetapi juga ada niat kufur.47 Dari penjelasan di atas, jelas bahwa orang yang telah melecehkan atau menghina Islam itu sudah termasuk orang yang dianggap murtad atau kufur. Dan hukuman bagi orang yang murtad menuru hukum Islam adalah hukuman mati. Dasar hukum ini berdasarkan kepada hadis Nabi sebagai berikut: دَ ُم45ِ6ََ ی8 :ََل3 َ"#ََْ'ِ وَﺱ#َ) ُ ا+"#َ, ِ )َْ اُْ ﻡَُْْدٍ أَن" رَﺱُْلَ ا :ٍَث:َ; " ِءِْ=َى8ِ" ا ِ وَأَن" رَﺱُْلَ ا ِ إ8َِ اَِ'َ ا8 ْْ@َ=ُ أَنAٍَِ ی#ُْاﻡِْئٍ ﻡ 48 (# ﻡM )روا.ِ'ِ ْ"رِكُ ِ=ِیK وَا,HْI" ِ HْI" وَا,ْCِِ ا"اDّْFَا Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud: Telah bersabda Rasulullah SAW: seorang muslim yang menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan yang sebenarnya melainkan Allah; dan bahwasanya Nabi Muhammad pesuruhNya, ia tidak halal dibunuh kecuali karena salah satu dari tiga sebab; pertama orang perempuan yang sudah berkawin berzina, orang yang membunuh orang, dan ketiga orang yang keluar dari agamanya(agama Islam)” (H.R. Bukhari) Hadis lain menyebutkan: '#) ا+#, ل رﺱل ا3 :ل3 ' ) ا+Nس رP) و) ا 49 (رىRP اMُ )رواMُْ#ُKْ3َQ ' ْ ﻡَْ َ="لَ دِی:#وﺱ Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa menukar agamanya maka bunuhlah ia.” (H.R. Bukhari). 47 Faizah haji Ismail, Undang-Undang Jinayah Islam, (Petaling Jaya, Selangor: Dewan Pustaka Islam, 1991), h. 246 48 Imam abi Husain Bin Hajaj Qusairi Nisaiburi, Mukhtasar Shohih Muslim, (Beirut: Maktab alAlami, 2000), cet ke-1, hadis ke 1023, h. 271 49 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Sahih al-Bukhori, (Beirut: Dar al-fikr, 1401), jilid VIII, h. 50 Hukuman mati dalam kasus orang murtad telah disepakati tanpa keraguan lagi keempat mazhab hukum Islam. Namun kalau seseorang dipaksa mengucapkan sesuatu yang berarti murtad, maka dalam keadaan demikian dia tidak akan dihukum murtad. Jika ada seseorang mengatakan” seandainya fulan itu menjadi nabi, maka aku akan membenarkannya”, maka menurut al Muthi’i ia telah Murtad. Al Muthi’i telah merujuk perkataan imam Syafi’i yang mengatakan”. Ada beberapa orang yang murtad setelah Islam, mereka adalah Thalhah, Musailamah, ‘Ansa beserta para pengikut mereka”. Ulama dari kalangan mazhab Hanabilah memiliki pendapat yang serupa, Ibnu Khudamah al Muhgni (2/2181) rujukan mazhab Hambali, menyatakan, “barang siapa mengaku-ngaku sebagai nabi atau membenarkan seruannya, maka ia telah murtad”. Kekufuran para pengingkar syariat, tentu yang namanya nabi palsu menyeru hal-hal yang mungkar dan bathil, sebagai mana fakta yang terjadi dilapangan, mereka mengajak penganutnya untuk meninggalkan ajaran-ajaran Nabi Saw, seperti sholat, zakat atau ibadah-ibadah lain yang sudah disepakati kewajibanya dalam Islam atau menghalalkan apa yang diharamkan Allah serta mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Mengamalkan ajaran-ajaran mereka itu tidak sebatas maksiat biasa karena hal itu pun sudah masuk kewilayah kekufuran. Ibnu al Khudamah dalam al Mughni mengatakan, “begitu juga (dihukumi murtad, bagi mereka yang mengingkari), dasardasar Islam seperti zakat, puasa, haji, karena dalil yang menunjukan fardhunya amalan-amalan itu hampir tidak bisa dihitung dan Ijma pun menyatakan hal yang serupa “, Tersebutkan dalam kitab Tafsir al Muhith SCِP"ُ ﻡَِ ا5َTْQَ" اCِ َْ أَن" ا+َُِ اَوْ إUِVَWْ ََﺕ8 َُ"ةP4 َ أَن" اDَوَﻡَْ ذَه 50 ُ\َْ@َُ زِْ=ِیQ Artinya: " Barang siapa mengatakan bahwa kenabian belum putus (berakhir) atau mengatakan bahwa wali lebih baik dari pada Nabi maka orang itu adalah kafir Zindiq". Firma Allah SWT tentang larangan penistaan agama : َِ اْ_ﺥَِةِ ﻡCِQ ََُ ﻡِ ْ'ُ وَه5َPْWَُْ ی#َQ ً َمِ دِی#ِْﺱaََْْ اb cِ َKْPَوَﻡَْ ی ََﺱِِیRْا (85/3:)ال )ان Artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali-Imran (3): 85) Sedangkan dalam hukum positif (KUHP) larangan penistaan agama tercantum pada pasal 156 a KUHP Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : e. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia f. dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.51 50 Ibid., h. 254 51 Moeljatno, S.H, Kitab undang-undang hukum pidana, h. 59 C. Unsur-Unsur Penistaan Agama Menentukan sesat atau tidaknya sebuah aliran paham keagamaan harus dilakukan dengan hati-hati selain mendasarkan diri pada dalil-dalil keagamaan (annushus as-syar’iyah), juga perlu meneliti latar belakang hingga muncul pemahaman yang menyimpang tersebut. Suatu paham dikatakan sesat jika bertentangan dengan akidah dan hukumhukum syariah yang qath’i (), suatu paham yang menyimpang dari rukun Islam, rukun iman, dan atau tidak mengimani kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah dapat dikategorikan sesat atau melecehkan suatu agama. Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional (RAKERNAS) tahun 2007 yang lalu menetapkan kriteria sebuah aliran keagamaan dianggap sesat diantaranya adalah:52 1. Mengingkari dari salah satu rukun Islam yang lima (5) dan rukun Iman yang enam (6); 2. Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i (AlQur’an dan as-Sunnah); 3. Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur’an; 4. Menginkari otentisitas atau kebenaran isi Al-Qur’an; 5. Melakukan penafsiran Al-Qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir; 6. Mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam; 52 . Ma’ruf Amin, “Kebijakan Majelis Ulama Indonesia Tentang Aliran Sesat”, Mimbar Ulama, no.341 (Rabi’ul Awal 1429/Maret 2008), h. 19. 7. Menghina, melecehkan atau merendahkan para Nabi dan Rasul; 8. Mengingkari Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir; 9. Merubah, menambah atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti shalat fardhu tidak lima waktu dan pergi haji tidak ke Baitullah; 10. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i. (al-Quran dan Sunnah). Kriteria tersebut apabila dilanggar satu poin saja maka sudah dianggap sesat atau setelah melakukan penistaan terhadap agama, apalagi kalau yang dilanggar beberapa atau keseluruhan point-point dalam kriteria tersebut. D. Sanksi Pidana yang diberikan Terhadap Pelaku Penistaan Agama Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif 1. Menurut Hukum Islam Dalam pembahasan ini mungkinkah pelaku penistaan agama dapat disamakan hukumannya dengan orang yang murtad, karena adanya unsur kesengajaan (berniat) melawan hukum Islam. Jika dilihat secara seksama, seandainya seseorang telah secara nyata mengakui dari pernyataan-pernyataan, tulisan-tulisan, yang telah diedarkan diberbagai media elektronik (khalayak ramai atau sembunyi-sembunyi) bahwa ia telah menerima wahyu dari tuhan dan mengaku sebagai nabi atau mengakui dirinya adalah jelmaan Jibril atau melanggar dasar akidah Islam, serta tidak mengakui hukum-hukum syariat seperti akan kewajiban shalat dan rukun Islam lainnya maka ia telah dianggap menyelewengkan agama. Karena unsur yang dianggap adalah unsur yang dapat membuat seseorang dianggap telah murtad karena melakukannya, maka dengan demikian hukuman yang berlaku adalah hukuman murtad. Para ulama berbeda pendapat, hukuman mati dalam hukum Islam termasuk dalam hukuman hudud. Apa akibat dari kemurtadan itu?. Bagaimana jika ia insyaf dan kembali masuk Islam?Amalnya tidak dihapus dan taubatnya diterima Allah SWT (itu pendapat ulama mazhab Syafi’i). Ulama mazhab Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa jika seseorang murtad kemudian insyaf, maka amalan apa saja yang pernah dilakukan batal, terhapus dan sia-sia. Abu Hanifah berpendapat bahwa hukuman mati tidak diberlakukan bagi seorang murtad wanita, tetapi ia harus dipaksa kembali kepada Islam, pendapat ini menyamakan dengan kafir harbi. Paksaan ini dengan cara menahan dan mengeluarkannya setiap hari agar ia mau bertaubat dan ditawari untuk kembali ke agama Islam.53 Begitu juga Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. KH. Ali Mustofa Yakub memfatwakan bahwa jika seseorang itu mau bertaubat maka berarti ia kembali kedalam Islam, ttetapi jika ia tidak mau maka hukumannya murtad dan hukum bagi murtad adalah hukuman mati.54 Sedangkan mazhab yang lain berbeda pendapat dengan imam Abu Hanifah, mereka tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, laki-laki atau perempuan 53 54 Alaudin Al-Kasani, Bad’I As-Sana’I fi tarbisy Syara’I, jilid VII, h. 135 Ali Mustofa Yakub, Fatwa-Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), h. 26 yang murtad itu dihukum mati.55 Dalam literatur hukum Islam, posisi produk fatwa memang tidak mengikat, statusnya sama dengan ijtihad individual, ia hanya mengikat bagi yang berfatwa dan berijtihad. Produk hukum Islam yang mengikat secara publik ada dua: putusan pengadilan dan peraturan perundangan produk penguasa. Mirip teori hukum pada umumnya. Sedangkan persoalan eksekusi menurut Didin Hafiduddin, yang mengikuti sidang komisi fatwa, bukanlah urusan lembaga fatwa . Misalnya mereka yang berstatus nurtad dan sesat mau diapakan? Di usir atau di bubarkan?. Keputusan fatwa itu tidak eksekutorial, beda dengan putusan pengadilan. Peran-peran fatwa adalah memberikan pendapat hukum, eksekusi ditangan pemerintah.56 Dalam hadis riwayat Abu Dawud, disebutkan dengan redaksi ،ُ5َKْWَُQ ،ُ'َُُْرِبُ ا ُ وَرَﺱ6َُQ َِم:"ُْجُ ﻡَِ اRَُ ی5ُhَوَر... ََِْﻡIْ ُاَوْی ،ُDَ#ْjُاَوْی M)روا...57َِرْض8ْا آ6' ا66,(و+k اداودوا Artinya: "…orang yang keluar dari Islam, lalu melawan Allah Rasul-Nya, kemudian, ia dihukum mati, disalib, atau di asingkan dari tanah airnya…" (HR. Abu Dawud dan Nasa'i serta disahihkan oleh Hakim). 55 Muhammad Abdullah bin Qudamah, Al-Mughni ‘alâ Mukhtasar Al-kharoqy, (al-Manar, t. th), jilid 1, h. 74 56 Dawan Rahardjo, Majelis Ulama itu Adalah Aliran Sesat, Laporan khusus Gatra, 1 agustus 2005, no. 38 57 Muhammad Abdullah bin Qudamah, Al-Mughni ‘alâ Mukhtasar Al-kharoqy, (al-Manar, t. th), jilid 1, h. 14 Hadis tersebutkan tidak menyatakan murtad secara sederhana, tetapi disertai dengan pembangkangan kepada Tuhan dan Rasulnya. Adapun hadis yang paling jelas menyatakan jenis sanksi bagi tindakan riddah adalah yang diriwayatkan dari Ibnu Abas. Jika memang Al-Qur’an bermaksud memberikan hukuman pidana bagi pelaku penistaan agama, dan beberapa hadis yang digunakan sebagai dasar pidananya riddah adalah shahih, maka ijtihad merupakan alternatif untuk menjawab persoalan riddah di Indonesia ini. Ijtihad juga diperbolehkan dalam bidang yang telah ada nas al-Qur’an dan Hadisnya. Sebagai contoh Umar bin Khatab sahabat Nabi yang menjadi Khalifah Nabi yang kedua pernah melakukan ijtihad dalam beberapa masalah hukum, walaupun nas al-Qur’an dan Hadis telah menyebutkan secara jelas, diantaranya mengenai tanah rampasan perang, dera bagi minuman keras, hukuman bagi pencuri. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa perhatian hukum syara' terhadap larangan lebih besar daripada perhatian terhadap apa-apa yang diperitah oleh Allah SWT, yaitu menjauhi segala ancaman yang dapat merusak akidah kita sehinga menimbulkan perpecahan antara umat Islam sendiri.58 Dari penjelasan diatas bahwa sanksi pidana yang diberikan terhadap pelaku penistaan agama itu pada dasarnya disamakan dengan hukuman murtad, hukumannya adalah hukuman mati. Jadi sanksi pidana yang diberikan terhadap pelaku penistaan agama menurut hukum Islam adalah sanksi yang diberlakukan terhadap orang yang murtad. Murtad dalam pandangan hukum Islam berarti keluar dari Islam atau tidak 58 . Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh: Al Qawa'idul Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h.39 mengakui kebenaran Islam, baik dengan berpindah agama lain (konversi agama) atau menjadi tidak beragama sama sekali (atheis). 2. Menurut Hukum Positif Sanksi pidana dalam KUHP sesungguhnya bersifat reaktif dalam suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut.59 Menurut Alf Ross Sanksi pidana adalah suatu sanksi yang harus memenuhi dua syarat/tujuan. Pertama: pidana dikenakan kepada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan. Kedua: pidana itu harus merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.60 Perumusan sanksi pidana dalam KUHP pada umumnya memakai dua pilihan, misalnya pidana penjara atau denda (system alternative). Jika dipandang dari sudut sifatnya , sanksi merupakan akibat hukum dari pada pelanggaran suatu kaidah, hukuman dijatuhkan berhubung dilanggarnya suatu normaoleh seseorang. Mengenai aturan penodaan agama, sanksi yang dikenakan adalah sanksi penjara sebagai bagian dari sanksi pidana dengan membuat pelaku tersebut menderita, sanksi penodaan agama ini diatur dalam pasal 2 UU PNPS No 1/1965 (jo Undang-Undang No 5/1965) dan pasal 156a KUHP. Pasal 2 UU PNPS No 1/1965 menyebutkan: Ayat (1) 59 M. Solehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 32 60 Ibid., h. 144 “Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”. Ayat (2) “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi atau aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Sesuai dengan kepribadian Indonesia, maka terhadap orang-orang ataupun penganut-penganut suatu aliran kepercayaan maupun anggota maupun anggota pengurus organisasi yang melanggar larangan tersebut dalam pasal 1, untuk permulaannya dirasa cukup diberi nasehat seperlunya. Apabila penyelewengan itu dilakukan oleh organisasi atau penganut-penganut kepercayaan dan mempunyai efek yang cukup serius bagi masyarakat yang beragama, maka Presiden berwenang untu membubarkan organisasi itu dan untuk menyatakan sebagai organisasi atau aliran terlarang dengan akibat-akibatnya. Dalam pasal 3 disebutkan: “Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan atau anggota Pengurus Organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidanna dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun”. Pemberian ancaman pidana yang diatur dalam pasal ini adalah tindakan lanjutan terhadap anasir-anasir yang tetap mengabaikan peringatan tersebut, dalam pasal 2. Oleh karena aliran kepercayaan biasanya tidak mempunyai bentuk seperti organisasi/perhimpunan, di mana mudah dibedakan siapa pengurus dan siapa anggotanya, maka mengenai aliran kepercayaan, hanya penganutnaya yang masih melakukan pelanggaran yang dapat dikenakan pidana, sedang pemuka aliran sendiri yang menghentikan kegiatannya tidak dapat dituntut. Mengingat sifat dari tindak pidana dalam pasal ini, maka ancaman pidana 5 tahun dirasa sudah wajar. Dalam pasal 4 disebutkan: Pada KUHP diadakan pasal baru yaitu pasal 156a yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. b. Dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sanksi penjara tersebut diberlakukan jika tersangka telah terbukti secara sah dan meyakinkan dan diputuskan oleh pengadilan dengan ancaman hukuman maksimal lima tahuk penjara, dikatakan maksimal, artinya jumlah pidana tersebut pelaku penistaan agama dalam KUHP adalah lima tahun penjara atau bahkan dapat diberikan hukuman minimum. E. Analisis Yurisprudensi Perkara yang Bermuatan Penistaan Agama (Kasus Lia Aminuddin dan Ahmad Moshaddeq) 1. Putusan Terhadap Lia Eden (Nomor: 677/PID.B/2006/PN. Jkt. Pst) a) Dakwaan Terhadap Lia Aminuddin alias Lia Eden Bahwa terdakwa Symsuriati alias Lia Aminuddin alias Lia Eden bersama dengan Muhammad Abdul Rachman yang bertempat di jalan Mahoni Nomor. 30 Rt. 008 Rw. 05 Kelurahan Bungur, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, telah melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Terdakwa menyatakan dirinya sebagai Malaikat Jibril, pada tanggal 11 Juni 2000 dengan menulis surat kepada MUI dengan judul surat “peringatan terakhir Jibril “. Pada tanggal 20 Juni 2000 mengatasnamakan Allah telah mengirim surat kepada Menteri Agama RI, pada tanggal 3 April 2001 terdakwa mengatasnamakan Allah telah menulis menggunakan kop “ Gods Kingdom “ berisi antara lain bahwa “ aku Malaikat Jibril bersumpah menyatakan datangnya hari kiamat atas perintah Allah. Aku bersumpah itulah perintahnya kepadaku atas bangsa Indonesia”. Bahwa pernyataan-pernyataan atau tulisan oleh terdakwa Syamsuriati alias Lia Aminuddin alias Lia Eden diatas ditujukan kepada agama tertentu yaitu agama Islam sedangkan pernyataan-pernyataan tulisan terdakwa tersebut sangat bertentangan dengan ajaran Islam dan aqidah Islam. Terdakwa menyatakan Muhammad Abdurachman sebagai reinkarnasi Nabi Muhammad saw, selain itu juga terdakwa menyatakan membenarkan sholat 2 bahasa. Terdakwa juga menyatakan atas nama Tuhan yang maha Rahim dan Terpercaya telah berdiri kerajaan Tuhan dijalan Mahoni nomor 30 Wilayah Senen Jakarta, terdakwa juga menyatakan firman Allah babi tidak haram lagi. Bahwa terdakwa Syamsuriati alias Lia Aminuddin alias Lia Eden bersama dengan Muhammad Abdul Rachman yang bertempat di jalan Mahoni Nomor. 30, Rt 008/05, Kelurahan Bungur Kecamatan Senen Jakarta Pusat, telah melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia dengan maksud supaya isinya diketahui secara umum. Perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa sebagai berikut: Pada tahun 1997 terdakwa mendirikan yayasan Salamullah. Pada bulan April 2005 dan bulan Desember 2005 atau setidaknya pada tahun 2005 melakukan perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, secara melawan hukum memaksa orang lain, tidak melakukan atau membiarkan sesuatau dengan memakai kekerasan, sesuatau perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain terhadap sendiri maupun orang lain. b) Putusan Lia Aminuddin alias Lia Eden Berdasarkan uraian diatas maka Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ini, dengan memperhatikan ketentuan Undang-undang yang bersangkutan menunutut supaya majelis hakim yang mengadili perkara ini memutuskan: a. Menyatakan terdakwa Syamsuriati alias Lia Aminuddin alias Lia Eden tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut dalam pasal 157 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan kedua. b. Membebaskan terdakwa dari dakwaan kedua tersebut. c. Menyatakan terdakwa Syamsuriati alias Lia Aminuddin alias Lia Eden telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara bersama-sama melakukan penodaan terhadap suatu agama” sebagaimana tersebut dalam pasal 156a KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan kesatu dalam tindak pidana secara melawan hukum, memaksa orang melakukan suatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan terhadap orang” sebagaiman tersebut dalam pasal 335 ayat (1) jo KUHP. pasal 165 ayat 1 KUHP dalam dakwaan ketiga. d. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama dua tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah tetap ditahan. e. Membankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp. 5000,-(lima ribu rupiah) Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan majelis hakim Pengailan Negeri Jakarta Pusat dan putusan tersebut dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada hari kamis tanggal 29 Juni 2006. 2. Putusan Terhadap Ahmad Moshaddeq (Nomor: 277/PID.B/2008/PN.Jkt. Sel) a) Dakwaan Terhadap Ahmad Moshaddeq Bahwa terdakawa Drs. H. Abdussalam Alias Moshaddeq alias al Masih al Mau’ud pada tanggal 23 Juli 2006, tanggal 7, 19 Oktober 2007, atau pada waktu- waktu lain pada bulan Juli tahun 2006 sampai tahun 2007, di Gedung, Serbaguna Bintaro, sektor IX Kab. Tanggerang, di Gedung BPPT Jl. Ragunan No. 30 Pasar Minggu Jakarta Selatan atau setidak-tidaknya di tempat-tempat lain dimana Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya berdasarkan Pasal 84 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) karena terdakwa diketemukan atau ditahan dan tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan Negeri Jakarta selatan, terdakwa yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, perbuatan yang mana dilakukan Terdakwa dengan cara sebagai berikut: a. Pada mulanya terdakwa adalah penganut agama Islam yang dianut oleh umat Islam di Indonesia, pada bulan Juli 2006 setelah terdakwa melakukan nyepi/bertapa (tahanus) selama 40 hari 40 malam di gunung Bunder Kecamatan Pamijahan Bogor Jawa barat, dihadapan 54 umatnya terdakwa mengikrarkan atau mengumumkan dirinya sebagai Rasul dengan gelar “ Al Masih Al Mau’ud “ yang artinya “ Juru selamat yang dijanjikan “. Pada saat itu terdakwa berkata “ yang percaya kepada saya sebagai Rasul, silahkan maju kedepan untuk bersyahadat, lalu mereka mendekat ke terdakwa dan terdakwa mengajarkan kalimat syahadat dengan berbahasa arab yang berbunyi: ِ ُ أَُْْ)ُْدُ رَﺱُُل اmَِْْ" ا ُ وَأَﺵْ@َ=ُ أَن" ا8َِ إَِ'َ إ8 ْاَﺵْ@َ=ُ اَن Artinya: "Aku bersakasi tidak ada tuhan selain Allah dan al Masih al Mau'ud utusan Allah” Selain itu juga terdakwa ajarkan kalimat tersebut kedalam bahasa Indonesia yang berbunyi: “saya bersaksi tiada tuhan selain Allah dan saya bersaksi anda al Masih al Mau’ud utusan Allah. Setelah mereka memahami. Kemudian mereka bergiliran maju kedepan satu persatu sambil berjabat tangan dan sambil saling menatap mata, mengucapkan kalimat syahadat tersebut. b. Terdakwa menjadi Nabi atau Rasul dalam komunitas al Qiyadah al Islamiyah mengajarkan kepada umatnya dengan membawa/ menggunakan nama “ Agama Islam “ dengan ajaranya sebagai berikut: 1. Ajaran terdakwa yakni membaca syahadat yang artinya: saya bersaksi tiada tuhan selain Allah dan saya bersaksi anda al Masih al Mau’ud utusan Allah. 2. Ajaran terdakwa untuk melaksanakan sholat dalam sehari semalam hanya satu kali yakni sholat malam atau yang disebut qiyâmul lail sebanyak 11 rakaat dengan menghafal Al-Qur’an dan belum mewajibkan sholat 5 waktu. 3. Ajaran terdakwa belum mewajibkan puasa di bulan Ramadhan. 4. Ajaran terdakwa belum melaksanakan zakat tapi hanya melaksanakan shodakoh dalam arti untuk membersihkan diri atau penyucian dari segala dosa atau penebus dosa. 5. Ajaran terdakwa belum mewajibkan bagi yang mampu untuk melaksanakan ibadah haji, karena haji menurut ajaran terdakwa hanya berkumpul. c. Bahwa kegiatan terdakwa Drs. H. Abdussalam alias Ahmad Moshaddeq alias al Masih al Mau’ud selaku pimpinan komunitas al Qiyadah al Islamiyah dan menyatakan sebagai Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad SAW dengan gelar al Masih al Mau’ud. d. Adapun bentuk kegiatan yang dilakukan oleh terdakwa pada tanggal 7 Oktober 2007 terdakwa Drs. H. Abdussalam alias Ahmad Moshaddeq alias al Masih al Mau’ud datang ke kantor saksi M. Amin Djamaludin di LPPI dalam rangka silaturrahim untuk meyakinkan ajaran yang dibawanya dengan memberikan buku-buku yang dijadikan baginya sebagai pedoman pengetahuan ajaran yang di bawanya. e. Kegiatan terdakwa selanjutnya adalah melakukan pertemuan dengan umatnya dalam rangka penyebaran ajaran yang diajarkan dalam komunitas al Qiyadah al Islamiyah tersebut dalam bentuk ta’lim. b) Putusan Hakim Dalam memutuskan perkara hakim mempunyai pertimbangan-pertimbangan untuk memutuskan perkara ini diantaranya yaitu: Menimbang bahwa, nota pembelaan penasehat hukum terdakwa bahwa memang benar telah menyatakan bertaubat dihadapan tokoh-tokoh Islam dikantor Kepolisian Daerah Ibu Kota Jakarta sebagaimana keterangan saksi H. Said Agil Siraj dan saksa H.Agus Miftah namun bahwa bertobatnya terdakwa setelah atas yang bersangkutan dilakukan pengusutan menurut aturan hukum bahwa tindak pidana umum (bukan delik aduan) tidaklah dapat dihentikan pengusutannya dengan pertaubatan tersebut, bahwa terhadap pembelaan penasehat hukum terdakwa bahwa terdakwa dapat ditintut atas dakwaan pasal 156 huruf a KUHP. Mengenai taubat yang telah dilakukan terdakwa setelah terjadinya perbuatan pidana ini, majelis menilai bahwa perbuatan terdakwa tersebut haruslah didasari oleh suatu kesadaran mendalam bahwa terdakwa mengakui tekah terlanjur melakukan suatu perbuatan yang salah, perbuatan keliru dan sesat sehingga dengan kesadaran tersebut dia minta ampun kepada Tuhan. Bahwa ternyata dalam keterangan terdakwa dipersidangan dan dari uraian pembelaan terdakwa, ternyata terdakwa tidak sedikitpun mengakui bahwa apa yang telah dilakukannya adalah perbuatan yang salah dan keliru bahkan terdakwa dalam pembelaannya justru telah menyampaikan argumentasi kebenaran ajarannya tersebut sehingga majelis memandang bahwa perbuatan taubat yang dilakukan terdakwa tidaklah dapat menjadi alasan untuk meringankan bagi terdakwa. Berdasarkan bahwa terdakwa telah ditahan maka sesuai dengan ketentuan pasal 22 ayat 4 KUHAP, maka lamanya masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Selanjutnya majelis hakim sesuai kewewenangannya dalam pasal 193 ayat 2 huruf b KUHAP menetapkan terdakwa tetap ditahan, oleh karena terdakwa telah dinyatakan bersalah dan dipidana maka akan dibebani pula untuk membayar biayabiaya perkara. Berdasarkan keterangan saksi-saksi, alat bukti dan tuntutan jaksa penuntut umum serta pertimbangan-pertimbangan diatas maka hakim (Majelis Hakim) memutuskan: Menyatakan terdakwa Drs. H. Abdussalam alias Ahmad Mosaddeq alias Al Masih Al Mau’ud telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dimuka umum melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia dengan menjatuhkan pidana terhadap Drs. H. Abdussalam alias Ahmad Mosaddeq alias Al Masih Al Mau’ud dengan pidana penjara selama 4 tahun dan menetapkan lamanya terdakwa berada dalam tahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan serta menetapkan terdakwa tetap ditahan dan membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp.2000,Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada hari jum’at tanggal 11 april 2008. F. Analisis Yurisprudensi 1) Dalam Hukum Islam Sekitar abad ke-15, Raden Fatah berkuasa di Kerajaan Demak Bintara sekitar pantai utara Jawa Tengah. Ketika itu, wali songo memegang otoritas dalam memberikan pendapat hukum (Islam). Mereka dikisahkan memvonis mati Syekh Siti Jenar karena ia berpendapat Tuhan telah bersemayam dalam dirinya. Saat hamba (kawula) dan Tuhan (gusti) telah menyatu, seseorang tidak perlu lagi shalat. Ada yang menyebutkan Syekh Siti Jenar sebenarnya telah mencapai puncak perjalanan spiritualnya hingga ia dapat merasakan “kehadiran” Tuhan dalam dirinya. Kesalahannya hanya terletak pada penyebarluasan ajarannya karena dapat menyesatkan orang awam. Ada pula yang menganalisis, eksekusi atas Siti Jenar berlatar politik. Alasannya, Ki Ageng Pengging, seorang murid Siti Jenar. Ia dan pengikutnya tidak mau tunduk pada kekuasaan Raden Fatah. Pengging adalah keturunan terakhir raja Majapahit, Prabu Brawijaya. Dalam sejarah Islam, ada nama Musailamah ibn Habib dari Bani Hanifah. Setelah Rasulullah wafat, ia mengaku sebagai nabi. Musailamah menyebarluaskan syair-syair (menirukan Al-Qur’an) yang diklaimnya sebagai wahyu dari Tuhan. Pengikutnya banyak dan membangun berbasis kekuatan di Yamamah. Karena kesalahan aqidah ini hingga Khalifah Abu Bakar (ra.) memerangi mereka. Peristiwa ini tercatat dalam sejarah Islam sebagai Perang Yamamah. Tiga divisi pasukan yang diturunkan. Pertama, yang dipimpin Ikrimah ibn Abu Jahal. Kedua, yang dipimpin Syurahbil ibn Hasanah. Baik Ikrimah maupun Syurahbil, gagal menaklukkan Musailamah. Pasukan ketiga di bawah pimpinan Khalid ibn Walid yang pada akhirnya dapat memenangkan Perang Yamamah. Musailamah terbunuh. Sebagian besar pengikutnya juga ikut tewas. Kita mungkin tidak menduga, untuk mendukung pasukan Khalid, Abu Bakar (ra.) akhirnya menyertakan kelompok masyarakat yang sangat ia sayangi: para penghafal Al Qur’an dan pasukan Perang Badar. Bila seorang nabi palsu dan ajarannya tidaklah dianggap berbahaya, mengapa Khalifah Abu Bakar (ra.) menurunkan pasukan khusus dan menyatakan perang dengan mereka.61 Setelah penulis mengamati kasus penistaan terhadap agama yang dilakukan oleh Abdus Salam alias Ahmad Moshaddeq alias al Masih al Mau’ud dan Syamsuriati alias Lia Aminuddin alias Lia Eden, dan telah diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dikarenakan syarat pemberian hukuman itu telah terpenuhi dan masing-masing diputus hukuman penjara empat tahun untuk Ahmad Mushaddeq dan dua tahun penjara untuk Lia Aminuddin dengan pertimbangan terbukti melanggar pasal 156a KUHP. Walaupun putusan telah dijatuhkan akan tetapi menurut hukum Islam putusan tersebut tidaklah sesuai dan tidaklah memberikan keadilan yang sesungguhnya. Dari sejarah penistaan agama di atas Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah sesat, dan meminta pemerintah melarang penyebaran paham baru tersebut, serta menindak tegas pemimpinnya. Masyarakat perlu mewaspadai aliran yang didirikan oleh Ahmad Moshaddeq ini, karena mengajarkan adanya nabi baru sesudah Nabi Muhammad dengan menobatkan dirinya sebagai nabi terakhir itu,” kata ketua MUI, KH Ma`ruf Amin, di kantor MUI di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis. 61 http://planetaswan.blogspot.com/2008/05/beragama-dan-kebebasan-tak-berbatas.htmlabel: Publika, diakses pada tanggal 11-04-2009 Aliran sesat tersebut juga mengajarkan syahadat baru, yakni: ِ ُ أَُْْ)ُْدُ رَﺱُُل اmَِْْ" ا ُ وَأَﺵْ@َ=ُ أَن" ا8َِ إَِ'َ إ8 ْاَﺵْ@َ=ُ اَن Artinya: "Aku bersakasi tidak ada tuhan selain Allah dan al Masih al Mau'ud utusan Allah" Di mana umat yang tidak beriman kepada “al-Masih al-Mau`ud” berarti kafir dan bukan muslim. Pendirinya Ahmad Moshaddeq, yang sejak 23 Juli 2006 setelah bertapa selama 40 hari 40 malam, mengaku dirinya mendapat wahyu dari Allah dan mengaku sebagai Rasul menggantikan posisi Muhammad SAW. Siapa yang mengaku Nabi setelah Nabi Muhammad SAW maka di kafir, karena dia telah mendustakan Allah SWT, mendustakan Rasulullah SAW, mendustakan Ijmâ (kesepakatan) kaum muslimin, karena kaum muslimin sepakat tidak ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.62 Selain itu, ujar Ma`ruf, aliran baru ini tak mewajibkan shalat, puasa dan haji, karena pada abad ini masih dianggap tahap perkembangan Islam awal sebelum akhirnya terbentuk khilafah Islamiyah. Kitab suci yang digunakan adalah al-Qur`an, tetapi meninggalkan hadis dan menafsirkannya sendiri. Aliran tersebut juga mengenal penebusan dosa dengan menyerahkan sejumlah uang kepada al-Masih al-Mau`ud. Dakwah aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah itu, disebutkannya, cukup mengkhawatirkan karena telah menyebar ke beberapa provinsi, antara lain di Jawa Barat, Jakarta, Yogyakarta, dan tercatat ribuan orang mengikuti dakwahnya. 62 Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-Nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2008), cet. Ke-I, h. 60 MUI menyatakan bahwa aliran ini berada di luar Islam, dan orang yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari ajaran Islam). “Bagi mereka yang sudah terlanjur mengikutinya diminta bertobat dan segera kembali kepada ajaran Islam yang sejalan dengan al-Quran dan hadis,” katanya. Aliran sesat tersebut, tambah Ma`ruf, telah terbukti menodai dan mencemari ajaran Islam karena mengajarkan sesuatu yang menyimpang dengan mengatasnamakan Islam. Pada tanggal 03 Oktober 2007 MUI menetapkan fatwa tentang aliran AlQiyadah al-Islamiyah berdasarkan karena aliran ini mengajarkan tentang, adanya syahadat baru, adanya Nabi/Rasul baru sesudah Nabi Muhammad SAW, belum mewajibkan sholat, puasa dan haji. Oleh karena itu aliran Al-Qiyadah al-Islamiyah tersebut adalah sesat dan menyesatkan serta berada di luar Islam.63 MUI juga menyatakan terhadap aliran jamaah Salamullah yang di dirikan oleh Lia Aminuddin dianggap juga sesat karena ia merasa dirinya sebagai jelmaan malaikat Jibril. Dan itu jelas telah menodai suatu agama yaitu agama Islam. Dan MUI juga meminta kepada pemerintah menindak tegas dan memberi hukuman kapada pelaku dengan hukuman yang setimpal dan yang berlaku. MUI mem fatwakan bahwa: Pertama, keyakinan atau akidah tentang malaikat termasuk Malaikat Jibril, baik mengenai sifat maupun tugasnya harus didasarkan pada keterangan atau penjelasan dari wahyu (Al-Qur’an dan Hadis). Kedua, tidak ada satupun ayat maupun hadis yang menyatakan bahwa Malaikat Jibril masih diberi tugas oleh Allah untuk menurunkan ajaran pada umat manusia, baik ajaran baru maupun ajaran yang bersifat 63 Ibid., h. 408 penjelasan terhadap ajaran agama yang telah ada. Hal ini karena ajaran Allah telah sempurna. Ketiga, pengakuan seseorang bahwa dirinya didampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari Malaikat Jibril bertentangan dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, pengakuan tersebut dipandang sesat dan menyesatkan.64 Dalam lapangan hukum Islam penistaan agama merupakan perbuatan yang dikategorikan perbuatan perusakan akidah yang diancam dosa besar, dan dapat dikategorikan dalam hukum murtad. Sedangkan perbuatan menafsirkan ayat AlQur’an dengan sekehendak hati atau penyelewengan tahrîf baik secara maknawî atau lafzi. Hukuman bagi sesorang yang murtad adalah hukuman mati, maka hukuman yang pantas bagi Ahmad Mosaddeq dan Lia Aminuddin adalah hukuman mati secara maksimal karena ia telah melakukan perbuatan yang bukan saja merusak pribadinya tetapi juga mempengaruhi orang lain dan menyatakan penentangannya kepada khalayak umum dan tidak bertaubat, dalam hal ini ia dapat dikategorikan orang yang murtad. Prof. KH. Ali Musthofa Ya’kub, MA, mengatakan bahwa bagi siapa saja yang menafsirkan Al-Qur’an sesuai pendapatnya sendiri maka itu berarti penistaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan kalau dia orang Islam maka bersiaplah untuk masuk neraka.65 64 Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), cet. Ke-2, h. 155 65 Putusan No. 677/PID.B/2006/PN. JKT. PST MUI menyatakan tentang aliran yang dipimpin Lia Aminuddn alian Lia Eden, bahwa tidak ada satupun ayat maupun hadis yang menyatakan bahwa Malaikat Jibril masih diberi tugas oleh Allah untuk menurunkan ajaran kepada umat manusia, baik ajaran baru atau ajaran yang bersifat penjelasan terhadap ajaran agama yang telah ada. Hal ini karena ajaran Allah telah sempurna. Pengakuan seorang bahwa dirinya didampingi dan mendapat ajaran keagamaan dari Malaikat Jibril bertentangan dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu , pengakuan itu dipandang sesat dan menyesatkan.66 Menurut akidah Islam, Malaikat Jibril hanya turun kepada para Nabi untuk menyampaikan wahyu Allah, dan mengingat Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir. Maka Malaikat Jibril tidak lagi turun menemui manusia untuk menyampaikan wahyu.67 Dalam kasus diatas pelaku melakukan penistaan terhadap agama Islam, dan hal ini termasuk ke dalam hukum pidana Islam (jinâyah). Pelaku dapat dikategorikan sebagai orang yang murtad dengan i’tikad. Mereka mengaku sebagai Nabi dan Malaikat yang dibuktikan melalui ucapan dan perbuatan, lebih lagi mereka berusaha menyebarkan ajarannya kepada orang lain, sehingga seharusnya mereka mendapat hukuman mati. Namun sebelum dilaksanakan hukuman mati, orang yang murtad itu harus diberi kesempatan untuk bertaubat dalam jangka waktu tiga hari tiga malam dan taubatnya cukup dengan mengucap dua kalimat syahadat. 66 Ahmad Jaiz, Nabi-Nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), cet. Ke-I, h. 410 67 Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002), cet. Ke-2, h. 148 Dan apabila penulis menganalisis lebih jauh tentang sanksi yang dijatuhkan majelis hakim, maka hukuman yang dijatuhkan tidaklah cukup untuk menimbulkan efek jera untuk pelaku, karena majelis hakim hanya memberi hukuman penjara saja. Dengan kata lain perbuatan itu akan dapat dilakukan kembali setelah habis masa tahanannya dan juga akan bermunculan nabi-nabi serta malaikat-malaikat palsu yang lainnya. Dengan adanya hukuman mati yang ditetapkan oleh syari’at Islam, ini akan memberikan shock therapy untuk perorangan atau masyarakat dalam menjaga terciptanya keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu juga dapat mengurangi tindak pidana untuk yang lainnya karena bagi calon pelaku akan berfikir untuk yang kedua kalinya dalam melakukan suatu tindak pidana. Apabila orang yang telah keluar dari ajaran Islam maak orang tersebut di anggap murtad, dan orang yang murtad hendaknya diajak kembali kepada agama Islam, selama tiga hari dan diingatkan dengan disertai dengan peringatan-peringatan. Jika kembali lagi kepada agama Islam maka tidak dibunuh. Tetapi jika tidak mau kembali maka hukumannya adalah dibunuh dengan pedang sebagai hukumannya. Apabila orang yang murtad telah dibunuh maka jangan dimandikan, jangan dishalatkan atau dikubur di dalam kuburan orang-orang muslim. Dan jangan diwarisi atau menerima warisan. Harta yang ditinggalkan menjadi harta rampasan bagi kaum muslimin untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama.68 68 Ahmad Jaiz, Nabi-Nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), cet. Ke-I, h. 63-64 2) Menurut Hukum Positif Di negara kita persoalan agama merupakan persoalan yang sangat sensitif dan merupakan salah satu sumbu peledak yang dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Mungkin masih segar dalam ingatan kita bagaimana konflik antar umat beragama terjadi di Ambon, Maluku yang bukan saja membawa petaka untuk pihak-pihak yang bertikai namun juga membawa derita yang berkepanjangan yang masih terasa hingga saat ini khususnya di Maluku. Untuk itulah diperlukan adanya suatu ketegasan sikap khususnya bagi pemerintah untuk dapat segera menyikapi masalah-masalah penodaan agama yang bersumber dari peristiwa-peristiwa yang awalnya dianggap sepele namun kemudian memberi dampak yang cukup besar. Sikap pemerintah yang perlu diambil adalah dalam hal penegakan hukum terhadap kasus-kasus penodaan agama. Beruntung bagi kita perangkat untuk penegakan hukum dalam delik penodaan agama telah kita miliki. Hal itu dapat kita rujuk dari KUHP yakni pasal 156 huruf a. Pada prinsipnya kedua pasal tersebut melarang seseorang dengan sengaja dimuka umum untuk mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, kebencian, penyalahgunaan dan penodaan terhadap suatu agama dan atau suatu golongan rakyat Indonesia. Jadi berdasarkan kedua pasal di atas tidaklah boleh seseorang itu dengan sengaja melakukan hal-hal yang menyebabkan timbulnya perasaan kebencian, permusuhan, penyalahgunaan dan atau penodaan baik terhadap suatu agama maupun terhadap suatu golongan masyarakat. Ancaman hukuman untuk yang melanggar kedua pasal tersebut ialah pidana penjara selama empat sampai lima tahun.69 Selain di KUHP, larangan terhadap penodaan agama juga diatur dalam Penetapan Presiden RI Nomor 1 Tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama dan keputusan Menteri Agama RI Nomor 70 Tahun 1978 tentang pedoman penyiaran agama. Dari kedua aturan tersebut yang penting kita soroti ialah keputusan Menteri Agama RI Nomor 70 Tahun 1978 yang pada pokoknya mengatur hal-hal sebagai berikut : a. Untuk menjaga stabilitas nasional dan demi tegaknya kerukunan antar umat beragama, pengembangan dan penyiaran agama supaya dilaksanakan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, teposeliro, saling menghargai, hormat menghormati antar umat beragama sesuai jiwa Pancasila; b. Penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap orang dan atau orang-orang yang telah memeluk suatu agama lain; c. Bilamana ternyata pelaksanaan pengembangan dan penyiaran agama sebagaimana yang dimaksud di atas, menimbulkan terganggunya kerukunan hidup antar umat beragama akan diambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 69 http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg02084.html, diakses pada tanggal 08-05-09 Jika ditinjau dari sudut KUHP yang berdasar pada Penetapan Presiden No 1 tahun 196570, putusan pengadilan negeri Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan tentang penistaan agama yang dipimpin oleh Ahmad Moshaddeq dan Lia Aminuddin belum sesuai dengan amanat undang-undang yang berlaku di Indonesia. Dalam putusan tersebut terdakwa hanya dijatuhi hukuman 2 tahun penjara bagi Lia Aminuddin dan 4 tahun penjara bagi Ahmad Moshaddeq, padahal dalam perkara tersebut terdakwa telah terbukti secara meyakinkan melakukan perbuatan penistaan agama (pasal 156a KUHP) dan tindakan tidak menyenangkan yang seharusnya dihukum 5 tahun penjara atas pelanggaran dakwaan pertama. Jadi hukuman bagi Ahmad Moshaddeq seharusnya 5 tahun penjara dan bagi Lia Aminuddin 8 tahun penjara karena disebabkan tidak adanya alasan-alasan atau hal-hal memperingan atas putusan terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Mengenai aturan penistaan agama sanksi yang dikenakan adalah sanksi penjara sebagai bagian dari sanksi pidana dengan membuat pelaku tersebut menderita, sanksi pidana ini diatur dalam pasal 2 UU PNPS No 1/1965 (jo Undang-undang No 5/1969 dan pasal 156a (KUHP). Pasal 2 UU PNPS No 1/1965 menyebutkan: ayat (1), “Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Ayat (2) 70 Penetapan Presiden Indonesia No 1 tahun 1965 (UU No 1/PNPS tentang Pencegahan Penodaan Agama di Indonesia) yang berbunyi: dalam pasal 1 “Setiap orang dilarang dengan sengaja dimuka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari itu, kegiatan mana menyimpang dan pokok-pokok ajaran agama itu. apbila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi tersebut sebagai organisasi atau aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung”. Ajaran Ahmad Moshaddeq juga telah dilarang beredar oleh Kejaksaan Negeri Jakarta untuk wilayah Jakarta sejak 29 Oktober 2007. Para pentolannya ditangkap polisi untuk diproses. Kemudian dilarang secara Nasional diseluruh wilayah Indonesia oleh pakem (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) Kejaksaan Agung, November 2007.71 Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan dan selama persidangan tidak ditemukan adanya hal-hal yang dapat menghapuskan kesalahan terdakwa, baik alasan pemaaf maupun alasan pembenar. Pada dakwaan pertama, Lia dijerat Pasal 156a KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke ssatu KUHP. Dalam pasal tersebut disebutkan barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, dipidana maksimal lima tahun penjara. Pada dakwaan kedua, Lia dijerat pasal 157 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat satu kesatu KUHP tentang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau 71 Ibid., h. 5 lukisan di muka umum yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia supaya isinya diketahui umum. Sedangkan pada dakwaan ketiga, Lia dijerat pasal 335 ayat satu kesatu KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang melakukan perbuatan tidak menyenangkan, karena membakar salah satu pengikutnya yang berumur sembilan tahun dalam suatu kegiatan penyucian komunitas Eden. JPU menyatakan hal yang memberatkan Lia adalah karena perbuatannya telah merusak akidah dan ajaran Islam serta melukai perasaan umat Islam. Selain itu, Lia juga tanpa merasa bersalah dengan semaunya sendiri mengubah makna ayat-ayat Al-Qur’an. Perbuatan terdakwa juga menyesatkan dan meresahkan masyarakat di kalangan umum Islam. Terdakwa juga telah melecehkan lembaga peradilan dengan dalih sebagai Malaikat Jibril di depan persidangan menyatakan pengadilan tidak berwenang mengadili, karena terdakwa yang berhak melakukan penghakiman," tutur JPU Arief Basuki. Sebaliknya, JPU menyatakan tidak ada hal yang meringankan bagi terdakwa. JPU menyatakan perbuatan Lia yang menyebarkan ajarannya bahwa Lia adalah Malaikat Jibril yang diutus untuk menyampaikan wahyu Tuhan, serta perbuatannya yang msenyatakan shalat dalam dua bahasa sah serta daging babi adalah halal, telah menodai ajaran Islam. Nabi palsu yang dianggap jelmaan Nabi Muhammad SAW itu semula mendapatkan vonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, setelah Lia Eden terkena sendiri hukuman dua tahun atas tingkah polanya yang terbukti menodai agama Islam, diantaranya menghalalkan daging babi, atas nama apa yang Lia klaim sebagai wahyu dari Malaikat Jibril. Setelah menikmati putusan bebas ternyata nabi palsu Abdul Rahman dikenai vonis tiga tahum penjara oleh Mahkama Agung, 9 November 2007.72 Dari sini kita bisa memahami, dalam pengalaman sebelumnya, siapapun yang diadili dengan jeratan “penodaan agama” orang itu akan sulit lepas. Karena itu, tanpa bermaksud mencampuri urusan hakim, saya menduga kuat, Lia Eden akan menjadi korban baru dari pasal ini dan dia divonis sebagai orang yang menodai agama. Lia Eden dan tim pengacaranya boleh saja membuat berbagai argumen tentang kebebasan beragama yang dijamin konstitusi dan undang-undang, namun vonisnya akan tetap menyatakan Lia Eden telah sesat dan menodai agama Islam.73 Selanjutnya hukuman yang diberikan majelis hakim terhadap pelaku tindak pidana penodaan terhadap agama yang dilakukan oleh Ahmad Musaddeq hanya 4 tahun. Hukuman ini dibawah apa yang ditetapkan pasal 156a KUHP yang ancaman hukumannya 5 tahun. Tetapi di balik itu semua hakim mempunyai interpretasi dalam menggunakan hukum sesuai dengan bukti-bukti dan keterangan para saksi di dalam persidangan, jadi walaupun di dalam KUHP disebutkan hukuman yang ditetapkan sangat 72 73 Ibid., h. 209 http://www.wahidinstitute.org/Program/Email_page?id=223/penodaan-agama-untuk-lia-eden, diakses pada tanggal 08-05-09 memberatkan akan tetapi dalam prakteknya hukuman sangat meringankan pelaku dan itu terbukti dari contoh putusan hakim dalam tindak pidana penodaan terhadap agama tersebut. Dan akibat hukuman yang ditetapkan sangat meringankan para pelaku maka tidak menimbulkan efek jera baik dalam tindak pidana penodaan terhadap agama maupun tindak pidana lainnya dan ini merupakan bentuk ketidaktegasan aparat hukum dalam memutuskan suatu perkara. Hal ini tidak terlepas dari peran kepolisian sebagai penyidik perkara tersebut, sehingga Jaksa Penuntut Umum hanya menuntut 4 tahun bagi Ahmad Moshaddeq, yang pada akhirnya majelis hakim pun tidak akan jauh memutus perkara tersebut sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Apalagi hakim di Indonesia hanya bertugas menjalankan undang-undang untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku, karena sistem hukum di Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental yaitu masih kebanyakan menggunakan hukum Belanda. Oleh sebab itu hukum yang berlaku di Indonesia untuk kasus penodaan agama, dalam hal ini tidaklah sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh Islam, yang benar-benar asli hukum yang diciptakan Allah dan disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. Bahwasanya seseorang yang telah mengaku atau merasa sebagai dirinya Nabi atau Malaikat itu dapat dikategorikan sebagai orang yang tidak percaya atau mengingkari adanya Rukun iman, dan barang siapa yang mengingkari rukun iman berarti dia telah keluar dari Islam, dan barang siapa yang keluar dari Islam berarti hukuman yang pantas adalah hukuman mati atau dibunuh. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah penulis mengamati dengan cermat atas data-data yang telah didapatkan maka penulis menyimpulkan: 1. Sanksi pidana yang diberikan terhadap pelaku penistaan agama menurut hukum Islam adalah sanksi yang diberlakukan terhadap orang yang murtad. Murtad dalam pandangan hukum Islam berarti keluar dari Islam atau tidak mengakui kebenaran Islam, baik dengan berpindah agama lain (konversi agama) atau tidak mempunyai agama sama sekali (atheis). Hukuman bagi orang yang murtad dalam hukum Islam adalah hukuman mati. 2. Sedangkan sanksi pidana yang diberikan terhadap pelaku penistaan agama menurut hukum positif yaitu sesuai yang tercantum dalam KUHP yaitu pasal 156a dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun dalam kasus yang ada pada skripsi ini pelaku penistaan agama yaitu Ahmad Moshaddeq diberi hukuman empat tahun penjara dan Lia Aminuddin dua tahun penjara. Putusan itu semua karena pertimbangan hakim yang memutuskan. 3. Yurisprudensi perkara yang bermuatan agama yang ada di Indonesia belum relevan dengan hukum Islam. Karena menurut pandangan hukum pidana Islam, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak sesuai dan tidaklah memberikan keadilan yang sesungguhnya. Menurut hukum pidana Islam, apabila seseorang mengaku sebagai nabi atau mengaku sebagai malaikat Jibril dan tidak mempercayai Nabi Muhammad Saw sebagai nabi terakhir serta menyebarkan ajarannya yang dianggap sesat kepada orang lain, maka ia sudah tergolong kepada tindak pidana jarîmah murtad dan hukumannya adalah hukuman mati atau dibunuh. Tetapi sebelum dieksekusi pelaku diberi kesempatan untuk bertaubat. Sedangkan menurut hukum pidana positif, pelaku seharusnya dikenakan hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun, tetapi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya menjatuhkan hukuman selama 2 tahun. Disinilah kekurang efektifnya hukum yang berlaku di Indonesia sehingga dalam kasus penodaan agama pelaku hanya dikenakan sanksi yang begitu ringan, sehingga akan menimbulkan aliran-aliran sesat baru yang meresahkan di tengah masyarakat Indonesia yang memang mayoritas beragama Islam. B. Saran Agar tidak muncul lagi aliran atau paham sesat yang lainnya dan membuat kasus penistaan agama di Indonesia semakin meluas, saran saya: 1. Kepada pemerintah agar memberi hukuman yang setimpal sesuai aturan yang ada agar para pelaku penistaan agama tidak mengulanginya lagi dan tidak ada lagi aliran-aliran sesat seperti yang sudah ada sekarang. Juga harus diperhatikan pemahaman ajaran agama yang benar, maksudnya pemahaman ajaran agama Islam secara benar adalah pemahaman ajaran sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah SAW. Sejalan dengan tata cara pemahaman nash yang telah Rasulullah SAW sampaikan kepada para sahabat, dan kemudian diformulasikan oleh para imam Mazhab dalam bentuk metodologi dalam pengambilan hukum Islam. 2. Untuk masyarakat umum khususnya umat Islam harus mengikuti apa-apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW dan memahaminya sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat. Mengikuti apa-apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW artinya adalah berpegang teguh kepada Al Quran dan Sunnah. Kemudian peningkatan iman dan ketakwaan di dalam masyarakat untuk berpeganglah pada tali agama dan hukum yang berlaku di Indonesia, serta kenali berbagai fenomena yang sekarang begitu merebak di seluruh media informasi baik cetak, visual ataupun audio visual. Terkadang tak sedikit hikmah yang dapat diambil dan harus ada suatu wadah atau forum kebebasan menyatakan pendapat, dan membiarkan masyarakat mendengarkan semuanya lalu menyimpulkan mana yang benar dan mana yang tidak, serta diperlukan ketegasan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menyikapi adanya berbagai macam pendapat tentang paham atau aliran yang berkembang di masyarakat. 3. Selayaknya ada pihak-pihak yang tetap berjuang dan berusaha dengan segala daya dan kekuatan agar aliran-aliran menistakan suatu agama tersebut bisa dilarang oleh pemerintah Indonesia demi memurnikan ajaran Islam yang benar, berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadis sesuai dengan pemahaman salafush shalih, bukan pemahaman versi oriental yang berusaha merusak Islam dari dalam. Karena, kalau Al-Qur’an dan As-Sunnah itu dipahami seperti selera orientalis, yahudi, nashrani, dan aneka anteknya yang memunculkan aliran-aliran sesat, maka akibatnya Islam tinggal namanya, dan Al-Qur’an tinggal tulisannya, sedang masjid-masjidnya ramai dan megah tetapi jauh dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Itu justru tanda-tanda akhir zaman bagi Islam. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an Al-Karim Abdullah, M. Sufyan Raji, Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya, Jakarta: Pustaka Al Riyadl 2007 Amin, Ma’ruf, “Kebijakan Majelis Ulama Indonesia Tentang Aliran Sesat”, Mimbar Ulama, no.341 Rabi’ul Awawl 1429/Maret 2008. Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996 Armansyah, Jejak Nabi “Palsu”, Bandung: PT Mizan Publika, 2007 Audah, Abdul Qadir, al-Tassyri’ al-Jinai al-Islami, Beirut: Muassah al-Risalah, 1992 Bahasni, A. Fathi, al- Uqubah fi al-fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-syuruq, 1983 Fathoni, Muslih, Faham Mahd Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1994 Hanafi, A., Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967 http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s1-2008-yulinantoh8293&PHPSESSID=a8764cbcbd82e3de543ea5dceb48224d, diakses pada tanggal 03-04-2009 http://planetaswan.blogspot.com/2008/05/beragama-dan-kebebasan-takberbatas.htmlabel: Publika, diakses pada tanggal 11-04-2009 http//imankpr.multiply.com/journal/item/13/Hukuman Mati2, diakses pada tanggal 02-05-2009 http://www.wahidinstitute.org/Program/Email_page?id=223/penodaan-agama-untuklia-eden, diakses pada tanggal 08-05-09 http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg02084.html, pada tanggal 08-05-09 diakses Jaiz, Hartono Ahmad, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2002 , Nabi-Nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2008 Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1989 Kertanegara, Satochid, Kumpulan Kuliah Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tth Manaf, Mujahid Abdul, Sejarah Agama-Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996 Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap kehormatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997 Mas’ud, Ibnu dan Abidin, Zainal, Fiqh Mazhab Syafi’I, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000 Media Hukum dan HAM, Pusat Study Hukum dan HAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Aneka Cipta, 1993 Moeljatno, Kitab undang-undang hukum pidana, Bandung : PT Bumi Aksara, 2001 Mudjib Abdul, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh: Al Qawa'idul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia, 2001 Muhammad, Ahsin Sakho, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. karisma Ilmu, 2007 Partanto, Pius A dan Al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994 Projodikoro, Wiryono, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT. Erasco, 1989 Rakernas MUI 2007, Mengapa Diperlukan Adanya Kriteria Aliran sesat.”, Mimbar Ulama, no.341 Rabi’ul Awawl 1429/Maret 2008. Simorangkir, J.C.T., Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1995 Soeprapto, Hartono Hadi, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1993 Soerodibroto, R. Soenarto, KUHP dan KUHAP, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1979 Soesilo Prajogo, Kamus Hukum Internasional Indonesia, Jakarta: WIPRES, 2007 Solehuddin, M, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003 Subekti dan Tjitrosoedibyo, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, 1990 Syamsu, Nazwar, Al-Quran tentang Alinsaan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983 Zainuddin, Fachruddin HS, Nasaruddin Thaha, Djohar Arifin, Terjemah Hadist Sahih Buchari, Jakarta : Widjaya, 1961