BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditas penting pertanian Indonesia. Kacang tanah dapat diolah menjadi berbagai produk, diantaranya selai kacang, kacang asin, permen kacang, minyak kacang, aneka makanan (roti kacang, cookies, cake dan brownies, donat, minuman sari kacang, yogurt, bumbu dan sayur, produk-produk snack kacang), protein kacang dan sebagainya. Namun kebutuhan kacang tanah, terutama bagi pabrik besar, tidak dapat dipenuhi dari petani Indonesia sehingga Indonesia mengimpor kacang tanah. Hal tersebut disebabkan kandungan aflatoksin kacang tanah dalam negeri yang masih melebihi batas maksimal yang dipersyaratkan, yakni kurang dari 20 ppb (Badan Pengawas Obat dan Makanan RI tahun 2004). Teknologi pascapanen yang belum maju dan iklim yang mendukung pertumbuhan jamur menjadikan Indonesia negara yang mempunyai resiko tinggi terkontaminasi jamur, termasuk kontaminasi oleh jamur penghasil aflatoksin. Menurut Carlile et al. (2001) di negara-negara yang tidak memiliki fasilitas memadai untuk memanen tanaman dengan kerusakan minimum, atau untuk penyimpanan yang baik tanaman panen tersebut, dan dimana suhu lingkungan dan kelembaban mendukung pertumbuhan jamur. Sebagai contoh, setumpuk kacang tanah, banyak dengan kulit ari rusak, disimpan dibawah kain terpal pada 35°C dan kelembaban 95%, membentuk lahan pertumbuhan ideal bagi Aspergillus flavus. 1 Jamur yang tumbuh pada kacang tanah diantaranya adalah Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus, keduanya adalah jamur yang menghasilkan aflatoksin. Menurut Wagacha et al. (2013), 73% isolat A. flavus dan A. parasiticus memproduksi paling tidak satu dari berbagai jenis aflatoksin, dan 66% memproduksi aflatoksin jenis B1. Aflatoksin merupakan metabolit sekunder penyebab mikotoksikosis yang bersifat karsinogenik terutama kanker hati apabila terkonsumsi dan terakumulasi di tubuh dalam jumlah tertentu. Aflatoksin B1 (AFB1) telah diklasifikasikan oleh International Agency for Research on Cancer sebagai human carcinogen (group 1A) (IARC, 1993). Untuk pencegahan mikotoksikosis pada manusia, kontaminasi makanan oleh strain jamur toksigenik (maupun semua jamur) harus dikurangi. Hal tersebut relatif sulit diperoleh, tetapi pengemasan yang baik dapat digunakan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kontaminasi. Perlakuan panas, dimana memungkinkan, dapat juga mengurangi kontaminasi dengan membunuh jamur dan sporanya. Pencegahan pertumbuhan pada bahan pangan harus menjadi pertimbangan utama dalam pengurangan kejadian mikotoksikosis pada manusia. Hal ini dapat diperoleh dengan menggunakan pengemasan anaerob, pengurangan aw dimana memungkinkan sampai 0,6, pembekuan dan dengan menggunakan pengawet spesifik melawan pertumbuhan jamur (Ray, 1996). Akibat proses pengemasan yang kurang tepat serta permeabilitas bahan terhadap uap air yang tinggi serta sangat minimnya pengontrolan terhadap kondisi penyimpanan, maka kacang tanah yang disimpan akan tetap rentan terhadap 2 kontaminasi aflatoksin. Hal ini utamanya terjadi akibat meningkatnya kembali kadar air kacang tanah selama proses penyimpanan hingga mencapai kadar air yang sesuai bagi pertumbuhan A. flavus (Kasno, 2004). Plastik adalah bahan yang mudah didapatkan, fleksibel dan mempunyai permeabilitas rendah sehingga diharapkan dapat melindungi kacang tanah dari kontaminan dan difusi oksigen dan uap air. Plastik dapat digunakan untuk pengemasan kacang tanah, baik yang belum dikupas maupun yang sudah dikupas. Adapun dengan penyimpanan kacang tanah kupas, dapat dilakukan pemisahan/sortasi secara visual biji cacat ukuran atau bentuk. Selain itu kacang tanah yang sudah dikupas mempermudah dalam penggunaan untuk pembuatan produk lebih lanjut. 1.2. Rumusan Masalah Kacang tanah merupakan komoditas pertanian yang mudah mengalami kerusakan di daerah tropis dengan kelembaban tinggi akibat ditumbuhi jamur, diantaranya Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang dapat menghasilkan aflatoksin. Aflatoksin merupakan mikotoksin yang bersifat karsinogenik. Pengemasan dan penyimpanan merupakan salah satu tahap yang menentukan kualitas kacang tanah. Pengemasan dan penyimpanan yang kurang tepat akan menyebabkan kualitas kacang tanah tidak baik. 3 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengaplikasikan inovasi teknologi pengemasan dan penyimpanan yang tepat guna mendapatkan kacang tanah yang berkualitas, rendah atau bebas cemaran aflatoksin, sehingga memenuhi regulasi pasar dan aman dikonsumsi oleh masyarakat. Sedangkan tujuan khususnya adalah menguji pengemasan yang tepat yang dapat menjaga kualitas kacang tanah kupas selama penyimpanan dari pertumbuhan jamur dan kontaminasi aflatoksin. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengemasan dan penyimpanan kacang tanah kupas yang baik sehingga kacang tanah kupas dapat disimpan dengan kualitas yang terjaga, khususnya dari cemaran jamur penghasil aflatoksin. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kacang Tanah Kacang tanah adalah hasil tanaman kacang tanah (Arachis hypogaea L.) berupa polong (gelondongan) dan/atau biji (wose) yang telah dikupas dan dibersihkan dari kulit polongnya (BSN, 2010). Kandungan gizi kacang tanah dalam 100 gram bahan dari bagian yang dapat dimakan (b.d.d.nya). Tabel 2.1. Kandungan Gizi Kacang Tanah Komponen Gizi Kandungan Kalori (kal) 452 Protein (g) 25,3 Lemak (g) 42,8 Karbohidrat (g) 21,1 Kalsium (mg) 58 Fosfor (mg) 335 Zat besi (mg) 1,3 Vitamin B1 (mg) 0,30 Vitamin C (mg) 3 Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1981. Kacang tanah sebagai bahan pangan dapat menjadi substrat yang baik bagi jamur toksigenik yang menghasilkan aflatoksin. Adanya SNI 01-3921-1995 (Tabel 2.2. dan Tabel 2.3.), untuk menjaga agar kacang tanah yang diproduksi di Indonesia tetap sehat dan aman dikonsumsi. Namun praktek di lapangan menunjukkan kacang tanah yang diperdagangkan di masyarakat kualitasnya tidak baik. 5 Tabel 2.2. Standar Nasional Indonesia 01-3921-1995 tentang standar mutu fisik kacang tanah dalam bentuk polong No. Jenis Uji Satuan 1 Kadar air (maksimum) 2 Kotoran (maksimum) 3 Polong kering (maksimum) 4 Polong rusak (maksimum) 5 Polong berbiji satu (maksimum) 6 Rendemen (minimum) Sumber: Badan Sandardisasi Nasional, 2010 % % % % % % Persyaratan Mutu 1 2 3 8 9 9 1 2 3 2 3 4 0,5 1 2 3 4 5 65 62,5 60 Tabel 2.3. Standar Nasional Indonesia 01-3921-1995 tentang standar mutu fisik kacang tanah dalam bentuk wose No. Jenis Uji Satuan 1 Kadar air (maksimum) % 2 Butir rusak (maksimum) % 3 Butir belah (maksimum) % 4 Butir warna lain (maksimum) % 5 Kotoran (maksimum) % 6 Diameter (minimum) mm Sumber: Badan Sandardisasi Nasional, 2010 2.2. Persyaratan Mutu 1 2 3 6 7 8 0 1 2 1 5 10 0 2 3 0 0,5 3 8 7 6 Penanganan Pasca Panen Kacang Tanah Perlakuan pasca panen berkaitan dengan pertumbuhan jamur dan kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah. Pengeringan, pengemasan yang baik sebelum penyimpanan dan penyimpanan pada kondisi atmosfer terkendali dapat menurunkan kontaminasi jamur yang menghasilkan aflatoksin. Tingkat aflatoksin total berkisar antara 1,1 sampai 200,4 ng/g terdapat dalam kacang tanah yang dikondisikan pada nilai aw lebih tinggi (aw 0,94-0,84) (Passone et al., 2010). 6 Uraguchi dan Yamazaki (1978) dalam Makfoeld (1993) menyebutkan terdapat beberapa faktor pokok yang akan mempengaruhi perkembangan fungi pada bahan pangan yang disimpan, antara lain: 1) Kandungan air bijian yang disimpan, 2) suhu ruang penyimpanan, 3) periode penyimpanan, 4) derajat awal serangan oleh fungi sebelum sampai tempat penyimpanan, 5) banyaknya bendabenda asing (bukan bahan sejenisnya) dan 6) terdapatnya aktivitas serangga dan kutu dalam ruang simpan. Penanganan pasca panen kacang tanah harus mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan perkembangan fungi diatas. 2.3. Pengeringan Pengeringan merupakan tahap yang sangat penting dalam penanganan pasca panen kacang tanah. Pengeringan adalah usaha mengurangi kadar air dari bahan, dimana kadar air sangat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme, dalam hal ini jamur penghasil aflatoksin. Menurut Woodroof (1966) dalam Harsono et al. (1998), kacang tanah yang baru dipanen mempunyai kadar air biji antara 35-50% bb. Tingginya kadar air biji kacang tanah merangsang tumbuhnya jamur pada biji sehingga dapat menurunkan kualitas. Untuk mencegah tumbuhnya jamur, kadar air biji hendaknya dapat diturunkan sampai kadar air 8% agar dapat disimpan lama. 7 2.4. Kadar Air dan Kelembaban Relatif Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikrobia yang dinyatakan dengan aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Berbagai mikroorganisme mempunyai aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik (Winarno, 2002). Keadaan kelembaban relatif (RH) ruang tempat penyimpanan mempengaruhi kandungan air kacang tanah yang disimpan. Menurut Winarno (2002), hubungan antara aw dengan kandungan air per gram suatu bahan makanan terlihat pada Gambar 2.1, dan grafik ini disebut isotherm sorpsi air. Pada bahan pangan isotherm sorpsi air dapat menggambarkan kandungan air yang dimiliki bahan tersebut sebagai keadaan kelembaban relatif ruang tempat penyimpanan. Gambar 2.1. Kandungan air dan aw suatu bahan makanan pada suhu 20°C Sumber: Fennema (1976) dalam Winarno (2002) 8 Tingkat kelembaban pada lingkungan biji-bijian adalah satu dari faktorfaktor paling penting mempengaruhi umur simpannya. Kelembaban tinggi dan suhu hangat menaikkan pertumbuhan jamur, pertumbuhan serangga dan meningkatkan kecepatan respirasi produk. Faktor tersebut cenderung mengurangi kualitas biji baik melalui kerusakan langsung terhadap produk maupun oleh penurunan kelangsungan hidup biji (Hall, 1971). 2.5. Pengemasan dan Penyimpanan Kacang Tanah Jenis plastik yang dinilai tepat digunakan sebagai pelapis karung plastik dan atau mengganti secara keseluruhan karung plastik bekas yang digunakan pada pengemasan kacang tanah adalah plastik polietilen (PE) ataupun plastik polipropilen (PP). Selain memiliki kemampuan isolasi, khususnya terhadap uap air, yang cukup baik, kedua jenis plastik ini juga dapat dengan mudah dijumpai di pasaran dengan harga yang relatif terjangkau (Hakim, 2009). PP adalah sebuah adisi polimer propilen dibentuk dibawah panas dan tekanan menggunakan katalis tipe Zieger-Natta untuk menghasilkan polimer linear dengan kelompok metil (CH2) yang menonjol. Polimer yang dihasilkan lebih keras dan resin lebih berat dibandingkan PE dan lebih transparan dalam bentuk alaminya. Penggunaan PP dikembangkan dari sejak 1950-an. PP mempunyai densitas paling rendah dan titik lebur paling tinggi dari semua penggunaan volume tinggi thermoplastik dan mempunyai harga relatif rendah. Plastik serbaguna ini dapat diproses dalam banyak cara dan mempunyai banyak 9 aplikasi pengemasan pangan baik dalam bentuk rigid maupun film fleksibel (Coles et al., 2003). Sifat yang memberi PP penggunaan luas termasuk resistansi tingginya terhadap permeasi uap kelembaban, ekonomis pada densitas rendah, dan kekerasan. PP siap diproses dengan metode umum untuk thermoplastik, walau bukan golongan konversi polistiren, dan tidak korosif untuk peralatan. Polipropilen adalah satu dari sedikit plastik yang mengkombinasikan ekonomi dengan kekerasan diperlukan untuk penyegelan lapisan dobel, toleran untuk suhu tinggi dalam retort, dan barier uap kelembaban lingkungan tinggi. High Density Polyetylene (HDPE) adalah plastik lain semacam itu, tetapi tidak banyak digunakan untuk segel lapisan dobel dalam retort (Brown, 1992). PE secara struktural adalah plastik yang paling sederhana dan dibuat dengan polimerisasi adisi gas etilen pada reaktor suhu dan tekanan tinggi. Kisaran densitas resin yang dihasilkan rendah, medium dan tinggi, tergantung pada kondisi (suhu, tekanan dan katalis) polimerisasi. Kondisi prosesing menentukan derajat percabangan pada rantai polimer, dan oleh karena itu menentukan densitas dan sifat film lain dan jenis pengemasan lain. Polietilen mudah di-heat seal. Dapat dibuat menjadi film kuat, kaku, dengan barier yang bagus terhadap kelembaban dan uap air. Barier terhadap minyak dan lemak maupun gas seperti karbondioksida dan oksigen tidak sangat tinggi dibandingkan plastik lainnya, walaupun sifat barier meningkat dengan peningkatan densitas. Ketahanan terhadap panas lebih rendah dibandingkan plastik lainnya yang digunakan dalam 10 pengemasan, dengan melting point sekitar 120°C, yang meningkat dengan peningkatan densitas (Coles et al., 2003). 2.6. Tingkat Kerusakan Minyak Kacang Tanah Kerusakan lemak atau minyak yang utama adalah karena peristiwa oksidasi dan hidrolitik, baik enzimatik maupun non-enzimatik. Di antara kerusakan minyak yang mungkin terjadi, ternyata kerusakan karena autooksidasi yang paling besar pengaruhnya terhadap cita rasa. Hasil yang diakibatkan oksidasi lemak antara lain peroksida, asam lemak, aldehid dan keton. Bau tengik atau ransid terutama disebabkan oleh aldehid dan keton (Sudarmadji et al., 2003). Minyak kacang tanah mengandung asam lemak tidak jenuh dalam presentase cukup besar. Kandungan asam lemak tidak jenuh tersebut akan menurunkan kestabilan minyak sebab asam lemak tidak jenuh mengandung ikatan rangkap yang mudah teroksidasi. Menurut Ketaren (1986), minyak kacang tanah mengandung 76-82% asam lemak tidak jenuh, yang terdiri dari 40-45% asam oleat dan 30-35% asam linoleat. Asam lemak jenuh sebagian besar terdiri dari asam palmitat, sedangkan kadar asam miristat sekitar 5%. Kandungan asam linoleat yang tinggi akan menurunkan kestabilan minyak. Lemak yang tengik mengandung aldehid dan kebanyakan sebagai malonaldehid. Uji yang paling tua dan paling sering digunakan untuk memperkirakan oksidasi lipid dalam makanan dan sistem biologis lain adalah uji 2-thiobarbituric acid (TBA). Tingkat oksidasi lipid dilaporkan sebagai nilai TBA dan dinyatakan sebagai milligram malonaldehid (MA) ekuivalen per kilogram 11 sampel atau sebagai mikromol MA ekuivalen per gram sampel. MA relatif merupakan produk minor oksidasi Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA) yang bereaksi dengan reagen TBA untuk menghasilkan kompleks pink dengan absorbsi maksimum pada 530-532 nm. Warna terbentuk oleh kondensasi dua molekul TBA dengan satu molekul MA (Akoh and Min, 2002). 2.7. Jamur Pada Kacang Tanah Kacang tanah sebagai bahan pangan, baik mentah maupun olahannya berpotensi mengalami kontaminasi oleh jamur penghasil aflatoksin sejak masih berupa tanaman. Menurut Kasmidjo and Sardjono (1989) dalam Sudarmadji et al. (1989), proses kontaminasinya dapat terjadi di berbagai tahap produksi, sejak masih berupa tanaman yang sedang tumbuh, membesar dan proses pematangan buah; atau selama panenan, pengangkutan dan penyimpanan bahan mentah, maupun selama pengolahan, pengangkutan dan penyimpanan hasil setengah jadi maupun hasil akhir sebelum dikonsumsi. Delapan spesies fungal terdeteksi dalam sampel kacang tanah, urutan ke yang paling rendah dalam CFU/g: A. flavus S-strain (467), A. flavus L-strain (341), Penicillium spp. (326), Aspergillus niger (156), Aspergillus tamari (27), Aspergillus alliaceus (21), A. parasiticus (10) dan Aspergillus caelatus (5) (Wagacha et al., 2013). Menurut Kasmidjo and Sardjono (1989) dalam Sudarmadji et al. (1989), biasanya A. flavus memiliki afinitas yang besar terhadap kacang maupun biji 12 berlemak lainnya. Pertumbuhan A. flavus pada substrat dapat merusak dan membahayakan dengan terbentuknya toksin yang disebut dengan aflatoksin. Sifat-sifat fisiologis A. parasiticus mirip dengan sifat-sifat A. flavus. Karena ciri-cirinya yang hampir sama, perlu pengamatan yang lebih cermat untuk bisa membedakan. Spesies ini seperti halnya A. flavus, dapat menghasilkan aflatoksin (Kasmidjo and Sardjono, 1989; dalam Sudarmadji et al., 1989). 2.8. Aflatoksin Pada Kacang Tanah Kacang tanah sebagai bahan pangan yang disimpan dapat menjadi substrat bagi pertumbuhan jamur dan produksi aflatoksin. Aflatoksin adalah metabolit sekunder berupa mikotoksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Menurut Rahayu and Sudarmadji (1989) banyak laporan yang menunjukkan jamur lain (Penicillium puberulum, Aspergillus ostianus, A. ochraceus, A. niger, A. ruber, A. wentii, Penicillium citrinum, P. frequentans, P. puberulum, P. variabile) menghasilkan berbagai jenis aflatoksin namun kebenarannya masih meragukan. Aflatoksin terdiri atas sebuah kelompok kira-kira 20 metabolit fungal terkait, walaupun hanya aflatoksin B1, B2, G2 dan M1 secara normal ditemukan. Struktur kimia aflatoksin-aflatoksin yang paling penting dan turunannya diperlihatkan dalam Gambar 2.2. Aflatoksin B2 dan G2 adalah derivatif dihidro dari senyawa asal (Watson, 1998). Aflatoksin B1 (AFB1) adalah aflatoksin yang paling kuat daya racunnya diikuti berturut-turut oleh G1, B2, G2 dan sering mengkontaminasi makanan dan 13 pakan. Menimbulkan masalah kesehatan dan ekonomi, pada dosis tinggi adalah toksin akut. Dalam dosis lebih rendah, AFB1 merupakan hepatokarsinogen, mutagen, teratogen dan imunosupresor potensial. Aflatoksin B1 adalah karsinogenik untuk banyak organ. Satu dari yang paling berpotensi hepatokarsinogen pada hewan dan manusia. Hubungan yang sangat kuat ada antara asupan makanan harian AFB1 dan kejadian kanker hati utama pada manusia (Droby and Wilson, 2000). Gambar 2.2. Struktur kimia aflatoksin dan turunannya (Watson, 1998) 14 2.9. Hipotesis Kacang tanah yang telah dikeringkan dan dikemas menggunakan plastik polietilen dan plastik polipropilen akan terkontaminasi aflatoksin B1 pada tingkat rendah. Hal ini disebabkan kandungan air kacang tanah yang rendah menghambat pertumbuhan jamur. Metode pengemasan dan penyimpanan yang tepat dapat mengendalikan pertumbuhan jamur dan kontaminasi aflatoksin. 15