roh yang menggerakkannya. Kepercayaan animisme dan dinamisme ini agaknya berlaku bagi setiap bangsa primitif di mana saja. Kemudian kepercayaan meningkat adanya suatu kesadaran genealogis, yaitu yang disebut totemisme atau percaya pada baik hewan maupun tumbuh-tumbuhan sebagai sesuatu yang dianggap gene awal mereka. Kemudian unsur totemisme ini menjadi dasar bagi bangsa-bangsa primitif untuk lebih pindah berfokus percaya pada nenek moyang mereka sebagai senior dan pelindung sehingga harus dipuja atau disebut ancestorworship. Dengan perjalanan dari animisme, dinamisme, totemisme, dan ancestorworship tampaknya dari berbagai artefak di Nusantara banyak ditemukan sehingga dapat representatif sebagai kajian senirupa primitif di Nusantara. Persebaran tradisi megalithik di Nusantara ini memang telah meluas. Menurut Heine Geldern (1931:276) bahwa tradisi ini dibawa oleh pemakai bahasa Austronesia yang datang melalui daratan Asia. Diduga bahwa di Nusantara dalam menerima tradisi megalithik terjadi dua gelombang besar. Gelombang pertama disebut tradisi megalithik tua dengasn ciri penggunaan batu-batu berukuran besar untuk mendirikan berbagai sarana pemujaan roh nenek moyang dan upacara kesuburan. Berkaitan dengan ornamen hias dalam hal ukiran tidak terlalau menampilkan diri dan kebanyakan mempunyai arti perlambangan. Hasil ornamen ini disebut bergaya plastischer monumental symbolhafter yang menghasilkan di antaranya dolmen, menhir, dan tahta batu yang lain yang sampai di Nusantara bersamaan dengan masa bercocoktanam sekitar tahun 2500 – 1500 SM. Peninggalan-peninggalan ini dapat kita temukan dan masih berlanjut di Asam, Nias, Flores, dan Sumba. Menhir adalah sebuah batu tegak seperti tugu biasanya didirikan dengan maksud untuk tanda pengantar bagi orang penting yang telah meninggal. Kemudian dolmen adalah semacam meja batu yang di atasnya sering dipakai untuk menempatkan sesaji buat nenek moyang bentuknya merupakan sebuah batu yang lebar dan pipih di tempatkan mendatar di atas batu- batu lain sebagai penyangga atas kakinya. Di kolong meja ini adakalanya untuk menempatkan mayat, sehingga dapat dikatakan bahwa dolmen sering berfungsi sebagai tempat penguburan. Kemudian gelombang kedua atau tradisi megalithik muda dengan ciri khas adalah subur dan ramainya ornamen hias yang diukirkan pada permukaan bangunan batu yang berukuran biasa atau tidak terlalu besar dan bisa pada jenis bahan perunggu dalam hal ukiran disebut zeichnerisch, ornamental-fantastischtdi antaranya adalah menghasilkan sarkofagus, kubur batu, patung nenek moyang, dan punden berundak. Peninggalan-peninggalan ini diduga sejak tahun 400 sampai 300 SM dan sampai sekarang masih berlanjut di berbagai daerah Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau lain di bagian timur Nusantara. Sarkofagus adalah peti mayat dari batu yang sesungguhnya yang biasanya terbuat dari batu monolith. Kemudian punden berundak adalah hamparan luas batu yang semakin kebelakang semakin meninggi, biasanya seperti berbentuk piramid jenjang yang semakin meninggi di atas punden berundak ini biasanya ditempatkan menhir atau patung nenekmoyang. Dilihat dari sebaran peninggalan senirupa dalam kurun tradisi megalithik ternyata dapat dikategorikan antara yang tidak berlanjut dan berlanjut. Kemudian jika 7