Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013

advertisement
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
HUBUNGAN KEBERADAAN WAKŌ
DAN KEGIATAN PERDAGANGAN DI SEMENANJUNG KOREA
DAN WILAYAH SELATAN PESISIR PANTAI CINA
ERA MUROMACHI
Kim Myland, M.Mossadeq Bahri
Program Studi Jepang Fakultas Ilmu Budaya
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Para bajak laut Jepang atau yang dikenal sebagai Wakō, mulai aktif sejak abad ke-13 hingga abad ke-16 di sepanjang
semenanjung Korea dan pantai selatan Cina. Aktifitas mereka menimbulkan keresahan dan kekacauan dalam bidang
ekonomi, baik di Korea maupun di Cina. Kondisi ini menyebabkan Korea dan Cina beberapa kali mengirim utusan
ke Jepang untuk mengatasi keberadaan Wakō, namun baru mendapat perhatian serius setelah Istana Utara dan Istana
Selatan di Jepang berhasil disatukan, khususnya setelah Ashikaga Yoshimitsu memutuskan untuk berdagang secara
resmi dengan pemerintah Ming di Cina pada tahun 1401. Tindakan kriminal para bajak laut ini dipicu oleh masalah
ekonomi. Musim panas pada tahun 1222 menyebabkan kekeringan melanda daerah asal mereka di Tsushima, Iki,
Goto dan Matsura. Di saat yang sama, kondisi politik Korea dan Cina pun sedang mengalami kekacauan akibat
serangan bangsa Mongol di utara Korea dan usaha pemberontakan rakyat Cina untuk menjatuhkan dinasti Yuan,
pemerintahan bangsa Mongol di Cina. Akibatnya, para bajak laut ini memanfaatkan situasi politik Korea dan Cina
untuk menjarah wilayah selatan mereka yang lemah.
Kata Kunci: Wakō; Kan’gō Bōeki; Ashikaga Yoshimitsu; Dinasti Ming; Goryeo; Hongwu
THE RELATION OF WAKŌ EXISTENCES
AND TRADING ACTIVITIES IN KOREAN PENINSULA
AND SOUTHERN CHINA COAST
MUROMACHI PERIOD
ABSTRACT
The Japanese pirates, known as Wakō, active since the 13th century until the 16th century along the Korean
peninsula and the southern China coast. Their activities cause unrest and chaos in the economic field, both in Korea
and in China. This condition led to Korea and China several times to send their envoys to Japan to overcome Wako
existence, but they got serious attention after the North Castle and South Castle in Japan managed to put together,
especially after Ashikaga Yoshimitsu officially decided to trade with the Ming government in China in 1401 .
Criminal action of these pirates was triggered by economic problems. The summer in 1222 caused drought. This led
to their home areas in Tsushima, Iki, Goto and Matsura. At the same time, political conditions of Korea and China
are also mess due to Mongol attacks in northern Korea and China business a popular uprising to overthrow the Yuan
1
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
Dynasty, the Mongol rule in China. As a result, these pirates take advantage of the political situation of Korea and
China to plunder the weak southern region.
Keywords: Wakō; Kan’gō Bōeki; Ashikaga Yoshimitsu; Ming Dynasti; Goryeo; Hongwu
PENDAHULUAN
Wakō atau bajak laut Jepang mulai diketahui beraktifitas pada abad ke-13 hingga abad ke-16
(Gakushu , 2002). Aktifitas para bajak laut ini sangat meresahkan dan mengganggu aktifitas
perdagangan yang berada di sepanjang semenanjung Korea dan pesisir Cina, karena saat beraksi,
selain mencuri, menjarah dan membakar desa, mereka juga seringkali menjadikan penduduk
daerah jarahannya sebagai tawanan, bahkan menjual mereka ke Ryūkyū (Perfektur Okinawa).
Sejak kemunculan para Wakō yang meresahkan tersebut, pemerintah Goryeo (Korea) beberapa
kali mengirim utusan ke Jepang agar pemerintah Jepang segera mengambil tindakan demi
menekan aksi para perompak tersebut, namun karena kekaisaran Jepang pecah menjadi Istana
Utara dan Istana Selatan, shogun ke-2, Ashikaga Yoshiakira yang saat itu memerintah tidak bisa
memenuhi permintaan para utusan tersebut (Michiko, 2006). Tahun 1392, keshogunan Jepang
yang dikuasai oleh shogun ke-3, Ashikaga Yoshimitsu, berhasil menyatukan Jepang yang sempat
pecah. Pada tahun 1401, Yoshimitsu memutuskan untuk menjalin hubungan dagang dengan Cina
yang saat itu baru mendirikan dinasti Ming.1 Hubungan perdagangan ini membuka kembali pintu
antara Jepang dan Cina yang sempat tertutup sejak tahun 894. Sebagai syarat hubungan
perdagangan ini, Ming menuntut Jepang agar menekan aktifitas para Wakō demi kelancaran
aktifitas berdagang.
Makalah ini membahas dan melihat hubungan keberadaan Wakō dan kegiatan perdagangan di
semenanjung Korea dan wilayah selatan pesisir pantai Cina pada era Muromachi. Metode
penelitian dalam makalah ini adalah metode kualitatif dengan melakukan studi kepustakaan.
1
Setelah pemberontakan yang dilakukan kelompok Sorban Merah berhasil menjatuhkan dinasti yang didirikan oleh
bangsa Mongol, dinasti Yuan, Zhu Yuanzhang yang menjadi pemimpin kelompok Sorban Merah kemudian naik
tahta menjadi kaisar dan menamakan dinasti barunya “Ming” pada tahun 1638 (Shouyi, 2002).
2
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
Buku dan bahan acuan yang penulis pakai antara lain buku-buku dari perpustakaan Pusat Studi
Jepang Universitas Indonesia, perpustakaan pusat Universitas Indonesia dan jurnal online.
PEMBAHASAN
1.
Asal-usul dan Latar Belakang Munculnya Wakō
Pada musim panas tahun 1222, Jepang, khususnya wilayah selatan seperti Kyūshū dan pulaupulau di sekitarnya, mengalami kekeringan akibat hujan yang tidak kunjung datang. Selama lebih
dari tiga puluh hari, hujan hanya turun sekali, yaitu pada tanggal 25 Juni. Curah hujan yang turun
pun sangat rendah (Hazard, 1967, hal. 260). Kyūshū dan wilayah-wilayah lepas pantai di
sekitarnya seperti Tsushima, Matsūra, Iki dan Goto, merupakan daerah pertanian pinggiran yang
gersang dan tidak subur. Komoditas bercocok tanam di wilayah-wilayah ini pun sangat terbatas,
sehingga penduduknya seringkali mengalami krisis pangan (Hawley, 2005, hal. 60-61).
Kekeringan pada tahun 1222 ini menyebabkan krisis pangan yang membuat para penduduk yang
tinggal di wilayah-wilayah tersebut semakin menderita. Menurut berita yang dibawa oleh para
utusan Korea yang datang, kehidupan penduduk di wilayah-wilayah tersebut benar-benar
memprihatinkan. Tanahnya yang gersang dan tidak subur tidak bisa menghasilkan kebutuhan
pangan yang cukup, sehingga penduduknya pun tidak bisa lari dari bencana kelaparan yang
menimpa mereka. Akibatnya, penduduknya tumbuh dengan karakter yang bengis dan kejam
(Hawley, 2005, hal. 60-61).
Para penduduk yang sehari-hari mencari nafkah dengan bertani ini pun akhirnya banyak yang
merangkap jadi petani sekaligus nelayan. Mereka sangat mengandalkan laut untuk memenuhi
kebutuhan pangan keluarga mereka. Orang-orang yang tinggal di kepulauan ini pun hidup tanpa
dikontrol oleh siapapun dan menjadi masyarakat laut (Michiko, 2006, hal. 132). Ikan hasil
tangkapan mereka, selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, juga dijual hingga ke
Goryeo (Korea). Kegiatan dagang yang dilakukan mereka hingga ke pelabuhan wilayah selatan
Goryeo ini mulai dilakukan sejak abad ke-11 (Hazard, 1967, hal. 260). Meski tujuan awal mereka
datang ke Korea adalah untuk berdagang, ada kalanya perdagangan tidak berjalan dengan mulus.
Jika sudah seperti ini, mereka akan berubah menjadi bandit yang melakukan kekacauan.
3
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
Tidak hanya bahan makanan, mereka juga mencuri dan merampas berbagai macam benda lainnya.
Mereka bahkan seringkali menculik penduduk lokal untuk dijadikan tawanan. Mereka
menggunakan kapal yang sangat besar dan mendarat di Korea dan Cina, menyerang dan
membakar kota dan desa, yang menyebabkan kerugian yang sangat besar. Dari barang rampasan,
mereka mengambil beras dan bahan makanan untuk diri mereka sendiri, sementara barang-barang
lain seperti kerajinan tanah liat, dibawa dan dijual ke Hakata. Para tawanan yang diculik banyak
yang dibawa ke Ryūkyū (Okinawa) dan dijadikan tenaga kerja atau budak yang menghasilkan
kerajinan dari tanah liat (Michiko, 2006, hal. 132-135). Seiring berjalannya waktu, para petani
sekaligus nelayan ini mulai menguasai serta mendominasi lautan di antara Jepang dan Korea.
Orang-orang inilah yang disebut Wakō2 oleh orang Korea dan Cina. Wakō berarti “Bajak Laut
Jepang” (Sachita, 1984), atau “Bandit Kerdil”3 (Hazard, 1967, hal. 260).
Sementara itu, pemerintahan pusat Jepang sedang mengalami berbagai masalah yang serius.
Memasuki abad ke-13, masyarakat Jepang mulai mengalami perubahan/transformasi karakter.
Kekacauan di bidang politik serta meningkatnya aksi kriminal di beberapa wilayah Jepang yang
terjadi pada akhir jaman Heian menyebabkan para bangsawan yang merasa terancam
mempersenjatai baik anggota keluarganya maupun para petani yang menggarap tanah mereka
demi menyelamatkan tanah dan harta mereka.4 Tidak hanya senjata, mereka juga diberi latihan
fisik dan kemampuan bela diri. Kondisi ini kemudian melahirkan kelompok militer di Jepang
(Surajaya, 1996). Kemudian, Perang Saudara yang terjadi pada abad ke-12 telah memuaikan
moral lama dan nilai-nilai sosial, digantikan dengan harmoni yang sesuai dengan kaum militer
baru yang memerintah. Hal ini mengakibatkan perubahan tabiat masyarakat Jepang menjadi lebih
agresif dan kurang bisa menahan diri (Hazard, 1967).
Pada jaman Kamakura (1185-1333), bakufu menjadi lebih kuat dibandingkan pemerintahan yang
dijalankan Istana. Meskipun demikian, bakufu belum berkuasa secara absolut. 5 Kondisi ini
2
倭寇 Wakō dilafalkan Waegu dalam bahasa Korea (Hawley, 2005, hal. 60) dan dilafalkan Wo-k’ou dalam bahasa
Cina (Hazard, 1967, hal. 260).
3
“The Dwarf Bandits” dalam bahasa Inggris.
4
Usaha Fujiwara untuk menyingkirkan musuh-musuhnya telah menyebabkan kekacauan di bidang politik, sehingga
muncul kaum-kaum oposisi. Sementara itu kesenjangan sosial yang terjadi antara bangsawan pemilik tanah dan para
petani penggarap tanah yang begitu tinggi menyebabkan tindak kriminal di daerah-daerah meningkat tajam
(Surajaya, 1996).
5
Benjamin H. Hazard, The Formative Years of Wakō, 1223-36, hal.261
4
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
menyebabkan Kaisar Gotoba (1183-1239) yang memerintah pada tahun 1198 hingga tahun 1210
berusaha memulihkan kekuatan pemerintahan dari kekuasaan shogun, namun usahanya ini justru
memberatkan dan sempat mengganggu perekonomian Jepang. 6 Tahun 1221, Kaisar Godaigo
menyusun rencana untuk menjatuhkan pemerintahan bakufu (Michiko, 2006, hal. 19). Peristiwa
yang menyebabkan peperangan jangka pendek antara pihak Istana dan bakufu ini kemudian
disebut Shōkyū no ran. 7 Para pendukung Istana yang kalah kemudian banyak yang menarik diri
ke daerah Kyūshū, sebab walaupun Kyūshū dipenuhi oleh para bandit, pembunuh serta kriminal
lain yang diasingkan oleh pemerintah bakufu, otoritas bakufu tidak begitu kuat di daerah ini.8
Dua tahun setelah peristiwa Shōkyū no ran dan beberapa bulan setelah masalah kekeringan yang
dialami penduduk Kyūshū dan sekitarnya, tepatnya pada akhir musim semi tahun 1223 9 ,
sekelompok kecil orang Jepang melakukan ekspedisi penjarahan (raid expedition) menuju Korea.
Mereka menjadikan pelabuhan wilayah selatan Korea sebagai target penjarahan, karena pusat
perdagangan ini, selain dekat, para penduduk Tsushima dan sekitarnya yang telah berdagang
sejak abad ke-11 dengan Korea mengetahui dengan jelas mengenai situasi wilayah selatan Korea
yang sangat lemah pada saat itu. Tahun 1218 hingga tahun 1260, wilayah utara Korea diserang
oleh bangsa Mongol. Peristiwa ini mengakibatkan pemerintah Korea memusatkan perhatian dan
mengerahkan kekuatan untuk menghadapi serangan tersebut dan mengakibatkan pertahanan
wilayah selatan Korea menjadi lemah.
Menurut informasi yang ada, diperkirakan aksi penjarahan yang baru dilakukan pertama kalinya
ini hanya melibatkan dua buah kapal (Hazard, 1967, hal. 261). Dua tahun berikutnya, aksi
penjarahan serupa terjadi di perfektur-perfektur wilayah pesisir dan sub-perfektur provinsi
Kyōngsang, Korea. Pasukan yang dikirim pemerintah dari provinsi Kyōngsang berhasil
menangkap seluruh anggota perompak Jepang yang datang pada serangan kali ini. Hal ini
menunjukkan bahwa pada masa awal jumlah anggota perompak atau Wakō ini masih relatif
sedikit, sehingga meskipun Goryeo menghadapi situasi genting akibat serangan bangsa Mongol,
6
Ibid., hal.261
承久の乱
8
Ibid., hal.261
9
Tahun ini bertepatan dengan 10 tahun masa pemerintahan Raja Kojong di Koryō (Korea).
7
5
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
kekuatan pasukan militer dari provinsi Kyōngsang masih cukup memadai untuk menghadapi
serangan kecil ini.10
Namun, seiring berjalannya waktu, aktifitas penjarahan yang dilakukan oleh orang-orang tersebut
semakin meningkat dan meresahkan penduduk yang diserang. Fujiwara Teika (1162-1241) dalam
catatan hariannya menuliskan aktifitas para penjarah tersebut berdasarkan berita yang dibawa
oleh Hōgen.
11
Berita pada tanggal 27 November 1226 tersebut menyatakan rumor mengenai
pertarungan Tsushima melawan Goryeo. Pada hari berikutnya, seorang Hōgen kembali
memberikan informasi mengenai pertarungan antara kelompok penjahat Chinzei (Kyūshū) yang
disebut geng Matsūra dengan kira-kira 10 buah kapal perang datang ke pulau-pulau yang sepi di
Goryeo. Kelompok ini menyerang dan menghancurkan para penduduk, rumah-rumah dan
merampas barang-barang berharga. Berita tersebut juga menyebutkan, setengah dari antara
penyerangnya terbunuh atau terluka, dan sisa-sisa rampasan dikembalikan. 12 Di musim panas
tahun 1226, sebuah surat dari pejabat Korea dikirim ke dazaifu.13 Surat itu berisi berita mengenai
sekelompok orang dari Tsushima dan daerah lainnya yang mendatangi tempat tinggal khusus
pengunjung Jepang di Kūmju. Dalam kegelapan malam mereka memasuki kota melalui sebuah
lubang yang terdapat di dinding, merampasi gedung-gedung utama kota, kemudian menjarah
beberapa desa di sepanjang pantai. Menurut catatan Mengetsuki milik Fujiwara yang ditulis pada
bulan November 1226, yang diperkirakan membicarakan peristiwa serangan bandit Tsushima
pada musim panas 1226 tersebut, kelompok Tsushima yang dipimpin oleh geng Matsūra telah
mengadakan persekongkolan dengan sekelompok prajurit Jepang. Dari catatan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa para prajurit yang menarik diri ke kepulauan Kyūshū setelah era Shōkyū ikut
bergabung dalam aktifitas penyerangan dan penjarahan bersama para bandit Tsushima (Hazard,
1967, hal. 263).
Bicara mengenai bencana kelaparan, sebelumnya hal ini juga pernah terjadi pada jaman Heian,
namun orang-orang Jepang yang melihat Korea sebagai sasaran penjarahan seperti yang terjadi
pada tahun 1223 belum muncul. Hal ini nampaknya diakibatkan belum cukupnya pengetahuan
10
Ibid.,, hal.261
11
法眼 pangkat pendeta Budha ke-2 tertinggi dari 3 pangkat yang ada setelah tahun 894.
12
Ibid., hal.262
大宰府 Kantor pemerintah dibawah sistem Ritsuryo yang berwenang menerapkan hukum di Kyūshū, Iki dan
Tsushima.
13
6
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
Jepang mengenai Korea serta belum siapnya kapal-kapal Jepang untuk berlayar, sebab sejak
tahun 894 (jaman Heian), Jepang menarik diri dari dunia pelayaran akibat ketegangan yang
terjadi antara Jepang dan dinasti Tang. 14 Akibat ketegangan yang terjadi antara Jepang dan
dinasti Tang, pemerintah Tang melarang Jepang untuk mengirim utusan ke Tang, dan sistem
kentoushi15 dihentikan. Jepang baru memiliki kepercayaan diri kembali untuk menghadapi lautan
setelah belajar dari para saudagar Cina mengenai cara pembuatan kapal dan sistem navigasi.16
Aktifitas wakō berlangsung selama beberapa tahun hingga invasi yang dilakukan bangsa Mongol
ke Jepang pada tahun 1274 dan 1281. Wakō kembali aktif setelah kegagalan invasi Mongol
tersebut, namun pada gelombang ke-2 ini, wakō tidak hanya aktif di Korea melainkan juga di
sepanjang pantai dataran Cina serta melibatkan orang-orang Cina maupun Korea. Bergabungnya
orang-orang ini dalam aktifitas wakō merupakan akibat dari mulai merosotnya pemerintahan
dinasti Yuan dan dinasti Goryeo pada akhir abad ke-14. 17 Di bawah pemerintahan Ashikaga
Yoshimitsu, Jepang bekerjasama dengan Ming dalam hubungan perdagangan pada tahun 1401
dengan syarat, Jepang harus mau menjadi negara vasal bagi dinasti Ming dan Jepang harus
menghentikan aktifitas para wakō yang selama ini mengganggu perdagangan baik di Cina
maupun di Korea. Hubungan ini terus berlanjut hingga tahun 1547. Setelah hubungan dagang
Jepang dan Cina berakhir, wakō kembali aktif menjarah dan membuat kekacauan.
2.
Perdagangan antara Jepang dan Cina
A. Perdagangan Jepang-Cina Era Pemerintahan Takauji
Tahun 1341 Takauji berencana untuk mengirim kapal karabune ke Cina untuk membawa
bahan konstruksi Kuil Tenryū, kuil yang dibangun untuk menghormati Kaisar Godaigo,
dengan bantuan Musō Soseki. 18 Soseki mengetahui beberapa pedagang, kemudian ia
14
Benjamin H. Hazard, The Formative Years of The Wakō, 1223-63, hal.260
Dari jaman Nara hingga awal jaman Heian, Jepang mengirim utusan untuk mempelajari sistem politik dan
pengetahuan ke Cina (Michiko, 2006, hal. 124)
16
Mori Katsumi, International Relations Between the 10th and 16th Centuries and the Development of the Japanese
International Consciousness, Acta Asiatica, 1961, No. 2, hal. 85-86.
17
Samuel Hawley, The Imjin War Japan’s Sixteenth Century Invasion of Korea and Attempt to Conquer China,
hal.61
18
Pendeta Budha-Zen yang dipercayai oleh Kaisar Godaigo dan Ashikaga Takauji. Bakufu memerintahkannya untuk
menjaga Gozan, yaitu lima kuil paling penting di Jepang, antara lain; Tanryūji, Shōkokuji, Ken’ninji, Tōfukuji dan
Manjuji (Michiko, 2006, hal. 5)
15
7
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
menyiapkan kapal dan barang-barang dagang. Pedagang yang dimaksud adalah pedagang
yang apabila bisnisnya tidak berjalan lancar, akan berubah menjadi wakō dan membuat
keributan (Michiko, 2006, hal. 132). Hal ini menunjukkan bahwa sejak dinasti Tang,
Jepang masih belum memulai perdagangan secara resmi dengan pemerintah Cina, sebab
Jepang masih menggunakan jasa para pedagang bebas yang tinggal di kepulauan sekitar
Kyūshū tersebut.
Pada masa ini, Jepang menggunakan uang koin perak dari Cina sebagai alat tukar. Karena
itu, Jepang mengedarkan koin Cina sebagai alat tukar ke seluruh wilayah negara Jepang.
Jepang melakukan perdagangan dengan Cina dan mengimpor koin perunggu Cina ke
Jepang dalam jumlah besar, sehingga Jepang bisa menggenggam seluruh bidang
perekonomian negara (Michiko, 2006, hal. 128-131).
Kapal yang mengangkut bahan-bahan konstruksi Tenryūji berangkat dari Hakata, Kyūshū,
menuju Cina. Barang-barang yang diperdagangkan oleh Jepang adalah kuda, ougi (kipas
kertas), sulfur, katana, tombak, baju zirah, sekat berlapis emas, dan sebagainya. Lima
buah kapal dikirim untuk mengangkut koin perunggu dari Cina (Michiko, 2006, hal. 129).
Kapal itu mengangkut lebih dari 5000 kan19, dan sisanya diberikan kepada awak kapal
sebagai upah mereka. Pemimpin pelayaran kapal pada saat itu adalah seorang pedagang
Hakata bernama Shihon. Sebelumnya, perdagangan ini selalu dijaga oleh Matsuratou20,
namun pada perdagangan selanjutnya, tentara bakufu menjaga perdagangan ini.
Perubahan ini disebabkan, kekuatan dinasti/istana selatan sangat kuat di Kyūshū. Di
Kyōto, tidak ada yang bisa melawan kekuatan Takauji. Kapal diberangkatkan dan tiba di
pelabuhan Ningpo, Cina.
Melalui Shihon, bakufu kemudian mengeluarkan perintah untuk menyiapkan koin
perunggu yang telah datang sebanyak 10.000 kan. Setibanya di pelabihan Ningpo, Shihon
menyampaikan perintah Takauji pada pedagang Cina untuk menyiapkan 10.000 kan,
namun, Cina sedang mengalami masalah ekonomi akibat usaha dan pemberontakan untuk
19
貫 kan satuan berat jaman dahulu. 1 kan sama dengan 8 1/3 pon (Nelson, 2008, hal. 526)
20
kelompok Bushi yang sudah lama beraktifitas di pusat laut Matsura. Matsura adalah sebutan lama untuk daratan
yang ada di wilayah selatan perfektur Saga dan wilayah utara perfektur Nagasaki
8
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
menjatuhkan dinasti Yuan. Namun, Shihon
21
menggunakan kekerasan, sehingga
permintaan itu dipenuhi. Dengan demikian, 5000 kan diserahkan pada Takauji, sementara
sisanya diberikan sebagai upah awak kapal.
B. Perdagangan Kan’gō Bōeki antara Jepang dan Dinasti Ming Tahun 1401-1550
Menjelang akhir dinasti Yuan22 di Cina, terutama pada masa pemerintahan kaisar Shun Di
(1333-1368), terjadi kemunduran akibat pemerintahannya yang, baik politik, ekonomi
maupun militernya sangat korup. Rakyat Cina, terutama dari kaum petani, merasa tidak
puas, sehingga timbul berbagai macam pemberontakan di berbagai tempat (Shouyi, 2002,
hal. 273). Dalam situasi seperti ini, muncul berbagai macam sekte agama yang menjadi
tumpuan harapan rakyat Cina pada masa itu. Salah satu sekte yang sangat terkenal dan
sangat berpengaruh adalah sekte Teratai Putih.23 Sekte ini kemudian berkembang menjadi
gerakan pemberontakan, dipimpin oleh Han Shantong dan Liu Futong.24 Para anggotanya
memakai sorban merah sebagai ciri khas, sehingga mereka dikenal sebagai kelompok
Sorban Merah (Michiko, 2006, hal. 92). Pemberontakan yang mereka lakukan berskala
besar dan menyebar ke seluruh wilayah kekaisaran Cina, serta memiliki struktur
pemerintahan sendiri. Hampir setiap provinsi di Cina memiliki cabang dan setiap cabang
memiliki pemimpin masing-masing.
Seorang pemuda dari kalangan petani miskin bernama Zhu Yuanzhang bergabung dan
mengikuti
gerakan
pemberontakan
Sorban
Merah, dan
berkat
kharisma
dan
kemampuannya, ia kemudian dipercaya menjadi pemimpin seluruh cabang kelompok
Sorban Merah. Di bawah kepemimpinannya, kelompok Sorban Merah berhasil
menggulingkan pemerintahan dinasti Yuan dan mendirikan dinasti baru pada tahun 1368,
dinasti Ming. 25 Zhu Yuanzhang menjadi kaisar dinasti Ming dengan gelar Hongwu. 26
21
menurut rumor, ada yang mengatakan dia adalah org Cina, ada pula yang mendengar bahwa ia adalah org Korea
Dinasti yang didirikan oleh bangsa Mongol di bawah kepemimpinan Kublai-Khan pada tahun 1279. Berdirinya
dinasti Yuan menjadi sebuah sejarah yang menyakitkan bagi bangsa Han, sebab untuk pertama kalinya bangsa asing
menguasai dan memerintah di Cina.
23
Bai Shouyi, The Ouline History of China, hal.263
24
Ibid., hal.263
25
Ibid., hal.128-129
26
Dalam bahasa Inggris berarti “Vast Military” (Shouyi, 2002, hal. 128)
22
9
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
Pemerintahan Ming dibawah kekuasaan Zhu Yuanzhang yang awalnya menjadi harapan
Cina berubah menjadi bencana akibat sifat dan karakternya. Walaupun latar belakangnya
adalah anak seorang petani miskin, ia adalah orang yang pandai dan cerdik. Ia juga sangat
pandai menilai kemampuan seseorang, disiplin dan tegas, namun ia tidak bisa percaya
pada kaum intelektual. Ia dikenal sebagai kaisar yang dipenuhi dengan rasa paranoid dan
curiga terhadap orang lain. Ia selalu takut akan muncul konspirasi dalam pemerintahan
yang melawan dirinya.27 Sifat inilah yang kemudian akan menjadikannya sebagai seorang
kaisar, pemimpin, sekaligus ayah yang otoriter dan kejam. 28
Sifat ini pula yang membuat ia menutup Cina untuk berhubungan dengan dunia luar.
Disamping melakukan banyak reformasi29 dalam sistem pemerintahan, Kaisar Hongwu
juga memusatkan perhatiannya untuk menjamin kontrol lalu-lintas laut di pesisir Cina. Ia
takut bangsa Mongol berhubungan dengan para wakō yang berada di wilayah-wilayah
pesisir Cina dan kembali menyerang Cina. Walaupun bangsa Mongol telah dipaksa keluar
dari Cina, berkali-kali ia mengirimkan pasukannya untuk menyerang ke wilayah
musuhnya tersebut (Li, 1920, hal. 281). Tahun 1371 Kaisar Hongwu melarang penduduk
Cina untuk meninggalkan negara Cina untuk mengisolasi populasi Cina pantai dari para
pelayar. 30 Dia juga memperkuat keamanan di pesisir-pesisir Cina. Setelah membuka
“Perdagangan Maritim Resmi” di Ningbo, Kanton dan Quanzhou pada tahun 1371, ia
kemudian menghapus Perdagangan Maritim ini pada tahun 1374. Hal ini menjadi tanda
berakhirnya perdagangan bebas Cina dengan bangsa asing yang telah berlangsung selama
berabad-abad. (Verschuer, 2007, hal. 264). Sebagai ganti penghapusan perdagangan bebas
27
Ibid., hal.128-129
Salah satu kasus yang terkenal pada masa pemerintahan Zhu Yuanzhang (Hongwu) adalah “Kasus Dokumen Prapengesahan”. Suatu hari terjadi ketidak-sesuaian dalam pencatatan pajak. Hongwu yang mengetahui hal ini sangat
marah dan menghukum mati si pencatat pajak beserta orang-orang yang ada saat pencatatan pajak itu. Hongwu
bahkan menghukum mati orang-orang yang tidak ada hubungan langsung dengan kasus ini seperti keluarga mereka
dan kerabat dekat mereka. Perdana menterinya (pejabat tinggi dari sekretariat pusat), Hu Weiyong, menentang
kebijakan ini. Akibatnya, ia dan orang-orang disekitarnya juga dihukum mati. Lebih dari 30.000 orang yang menjadi
korban peristiwa ini. Setelah peristiwa ini, Sekretariat Pusat dan Kabinet, Badan Sensor dihapus dan diganti menjadi
beberapa badan dengan otoritas setara (Shouyi, 2002, hal. 128-130).
29
“Hukum Negara” yang selama ini berlaku baik bagi rakyat Cina maupun keluarga Istana diubah. Kaisar Hongwu
membentuk hukum baru yang disebut “Hukum Keluarga” (Zu Xun) pada tahun1369. Ia juga melakukan reformasi
pada struktur pemerintahan. Ia menjadikan 6 kementrian sebagai institusi sendiri. Institusi ini menjadi perpanjangan
tangannya dalam menjalankan roda pemerintahan Ming (Shouyi, 2002).
30
Seaferars
28
10
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
tersebut, Kaisar Hongwu memperkenalkan sistem perdagangan yang baru. Sistem inilah
yang disebut dengan tally-trade system 31 atau kan’gō bōeki oleh para ahli sejarah
(Verschuer, 2007). Sistem yang digunakan untuk mengontrol perdagangan asing dan
sistem tributer32 ini mulai diberlakukan tahun 1383.33
Ide mengenai sistem kan’gō bōeki ini merupakan ide yang brilian di jamannya. Penulis
artikel Museum Kyoto dari Departemen Seni Rupa (Departmen of Fine Arts), Shimosaka,
mengatakan bahwa sistem seperti ini bahkan masih digunakan di Asia hingga hari ini.
Untuk menjamin bahwa setiap orang asing yang datang ke Cina bukan penyusup,
Hongwu menerapkan sistem lisensi yang diresmikan oleh pemerintah Ming. Lisensi ini
hanya bisa dimiliki oleh utusan-utusan resmi dari negara-negara yang bersangkutan.
Apabila utusan asing yang datang tidak memiliki lisensi ini, ia tidak akan diijinkan untuk
masuk ke Cina.
Gambar 1.0
Sketsa Lisensi Perdagangan Ming
(dari 1468 Record of Entrance into
Ming China)
(Kuil Myochi-in, Kyoto)
Lisensi diberi cap untuk menandakan masing-masing negara yang bersangkutan.
Misalnya, pada lisensi Jepang, diberi cap “Nihon”34, sehingga petugas dari Ming bisa
memastikan bahwa utusan yang datang berasal dari Jepang. Untuk mendapat lisensi ini,
para utusan asing harus datang kepada pejabat Ming yang menanganinya secara khusus.
Kemudian, mereka harus menulis pada buku registrasi yang pinggirnya menutupi bagian
31
Sistem ini disebut 勘合貿易 Kanhe Maoyi dalam bahasa Cina atau Kan’gō Bōeki dalam pelafalan Jepang.
Sejak jaman dulu, Cina menganggap bahwa Kaisar adalah utusan dewa atau “Putera Langit”, dan negara mereka
adalah pusat dunia. Bangsa lain diluar Tembok Cina mereka sebut sebagai bangsa barbar yang tidak memiliki etika
dan budaya yang tinggi selayaknya bangsa Han. Dengan pemikiran seperti ini, bangsa Cina percaya bahwa seluruh
penduduk dunia harus berada dibawah pengaruh “Putera Langit”, sehingga Hongwu mengirimkan utusan-utusannya
ke negara lain dan menuntut pengakuan negara-negara tersebut untuk tunduk kepada Cina. Sebagai tanda legitimasi
akan pengakuan tersebut, negara-negara ini harus menjadi negara vasal Cina dan mengirim upeti secara teratur.
Sistem inilah yang disebut dengan “Sistem Tributer” (Li, 1920, hal. 282)
33
Mamoru Shimosaka, About Licenses for Trade between Japan and Ming China, hal.1
34
日本
32
11
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
muka lisensi yang akan diberikan. Saat lisensi disobek, maka setengah dari masingmasing karakter tulisan akan tersisa di buku. Para pejabat Ming bisa dengan mudah
memastikan keotentikan sebuah lisensi dengan mencocokkan lisensi dengan buku
registrasi. Dengan begitu, lisensi resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Ming tidak
akan bisa dipalsukan (Shimosaka, hal. 1), dan dengan cara ini, Hongwu mencoba untuk
mencegah kelompok-kelompok yang tidak diakui Cina untuk memiliki akses ke Cina
meskipun mereka datang melalui lautan, seperti negara-negara Asia Timur dan Tenggara,
atau melalui daratan seperti negara-negara Asia Barat dan Asia Tengah.35
Ashikaga Yoshimitsu sebelumnya telah mencoba untuk melakukan hubungan dagang
dengan mengirim beberapa utusan pada tahun 1374 dan 1380 ke Ming, namun selalu
ditolak dengan kasar.
36
Mengikuti kejatuhan Istana Selatan pada tahun 1392 37 ,
Yoshimitsu mengirim misi baru pada 1401 dan menerima respon yang positif. Kapal
perdagangan yang pertama diberangkatkan dari Jepang pada tahun 1404. Menurut data
yang diperoleh Verschuer, keberangkatan kapal yang terakhir terjadi pada tahun 1550.38
Ashikaga Yoshimitsu mengirim kapal yang disponsori oleh bakufu menuju dinasti Ming
hampir setiap tahun.39
Perdagangan ini berjalan dengan mulus hanya pada beberapa tahun pertama, sebelum
kematian Yoshimitsu pada tahun 1408. Anak sekaligus penerusnya, Ashikaga
Yoshimochi, tidak meneruskan hubungan-hubungan yang formal antara Ming dan Jepang.
Ia bahkan merespon secara negatif terhadap Cina yang meminta agar Jepang melanjutkan
misi perdagangan ini. 40 Kaisar Yongle mengirim beberapa utusan kepada Yoshimochi
pada tahun 1417 dan 1419 untuk memulihkan hubungan mereka, namun ditolak dengan
kasar. Menurut Verschuer, sikap Yoshimuchi ini mungkin timbul akibat rasa tidak
sukanya terhadap posisi Jepang yang harus tunduk pada Cina dan sejajar dengan Korea
35
Charlotte von Verschuer, Ashikaga Yoshimitsu’s Foreign Policy1398 to 1408, hal.264
The Samurai Archives SamuraiWiki, Kango Boeki
37
Tahun 1392 Ashikaga Yoshimitsu berhasil mengakhiri perseteruan antara Istana Utara dan Istana Selatan. Ia
berhasil memperkuat otoritas Istana Selatan dan memberikan kekuasaan pemerintahan kepada Kaisar Istana Selatan
(Verschuer, 2007).
38
Ibid., hal.264
39
Ibid., hal.264
40
Ibid., hal.265
36
12
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
yang sama-sama negara vasal Cina. 41 Tahun 1428, Yoshimochi meninggal. Adikya,
Ashikaga Yoshinori, melanjutkan kembali hubungan dagang ini. Misi pertamanya
dilakukan pada tahun 1408 dan pengiriman dilakukan pada tahun 1432 (Kango Boeki,
2013).
Sebelumnya, misi ini dibiayai oleh Keshogunan, namun misi perdagangan tahun 1432
mulai dibiayai oleh kuil-kuil dan para daimyo yang terkemuka. Setelah misi 1432 ini, dan
keberangkatan lain pada tahun 1434, perdagangan ke Cina terhenti selama lebih dari 15
tahun. Pada tahun 1451, Jepang mengirim 9 kapal besar ke Cina. Hal ini memicu
pemerintah Ming untuk melarang negara-negara vasalnya memperbesar frekuensi misi.
Kedatangan kapal-kapal Jepang pun secara resmi dibatasi menjadi hanya 1 kali dalam 10
tahun. Setiap waktu kedatangan, kapal yang datang tidak boleh lebih dari 3 kapal dan
setiap kapal tidak boleh memiliki lebih dari 300 orang awak kapal. Dalam prakteknya,
150-200 awak kapal dari awak kapal adalah saudagar, dan sisanya adalah anggota biasa
(Kango Boeki, 2013).
3.
Usaha untuk Menekan Aktifitas Wakō
Wakō pada masa awal, yaitu pada masa kemunculannya yang pertamakali hingga awal jaman
Muromachi, disebut sebagai zenki wakō dan disebut sebagai kōuki wakō setelah jaman
Muromachi.
42
Mereka menjarah dan mengganggu aktifitas perdagangan di sepanjang
semenanjung Korea dan wilayah selatan pesisir Cina, sehingga muncul banyak keluhan dan
menimbulkan keresahan. Sejak tahun 1220-an, bajak laut dari Tsushima, Iki dan Matsura
melakukan aksinya di sepanjang pemukiman pantai di Korea, dan kekerasan yang mereka
lakukan semakin meningkat sejak tahun 1350-an. Beberapa serangan di pantai Korea bahkan
pernah mencakup lebih dari tiga ratus buah kapal dan menjarah daerah pedalaman yang jauh
(Verschuer, 2007, hal. 262). Dalam serangan-serangan tersebut, mereka mencuri padi-padian,
menjarah dan membakar rumah-rumah, serta menjadikan penduduk lokal yang mereka culik
sebagai budak.
41
Ibid., hal.266
Wakō dibedakan menjadi Zenki Wakō dan Kōki Wakō berdasarkan anggotanya. Pada masa awal, kelompok bajak
laut ini masih murni terdiri dari perompak yang berasal dari Jepang, sedangkan setelah jaman Muromachi, ada
banyak perompak Cina maupun Korea yang ikut bergabung dengan Wakō (Sachita, 1984).
42
13
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
Menghadapi masalah ini, Korea dan Cina berkali-kali mengirim utusan ke Jepang agar
pemerintah Jepang mengambil tindakan. Tahun 1227 Korea mengirim utusannya yang bernama
Pak In. Menerima pesan Pak In, jepang segera mencari dan mengeksekusi orang Jepang yang
melakukan penyerbuan ke Korea. Semenjak peristiwa ini, penyerangan oleh para perompak
Jepang mulai mereda. Lima bulan kemudian, Jepang pun mengirim surat permintaan maaf
kepada pemerintah Korea. Surat tersebut juga menyatakan bahwa Jepang meminta agar Korea
mau menjalin hubungan perdagangan dengan pemerintah Jepang. 43
Meski sempat mereda, badai topan yang melanda Tsushima pada tahun 1229 serta kekeringan
yang kembali terjadi di Jepang menyebabkan krisis yang benar-benar parah. Bencana kelaparan
terjadi di seluruh negeri dan banyak orang yang meninggal.44 Bencana terus terjadi hingga tahun
1259. Kelaparan bahkan menimbulkan kanibalisme di Jepang.45 Bencana dan kelaparan yang
terjadi ini memicu aktifitas wakō kembali merajalela.
Pada masa pemerintahan Ashikaga Yoshiakira, shogun ke-2 pada jaman Muromachi, utusan dari
Korea kembali datang untuk meminta shogun menangani masalah wakō. Di Korea saat itu sedang
mengalami peperangan dengan bangsa Mongol di bagian utara Korea, sehingga aktifitas wakō
benar-benar sulit dikendalikan oleh pemerintah Korea sendiri. Sayangnya, Jepang sendiri sedang
mengalami masalah dalam bidang politik. Saat itu, Kekaisaran Jepang terbagi menjadi dua, yaitu
Istana Selatan dan Istana Utara. Kondisi ini menyebabkan Ashikaga Yoshiakira tidak bisa
memenuhi permintaan pemerintah Korea (Michiko, 2006, hal. 135).
Tahun 1392 di Korea, Raja Taejo mendirikan dinasti baru di Korea. Kondisi politik dan ekonomi
Korea memaksa Raja Taejo untuk mengadakan perjanjian dengan para wakō sebab Korea belum
mampu untuk membangun kembali angkatan laut mereka. Sebelumnya, para wakō menguasai
laut antara Korea dan Jepang secara bebas. Mereka bahkan mampu mereka menyita seluruh kapal
kargo yang membawa pajak berupa beras dari provinsi agrikultur di wilayah selatan Korea ke
ibukota Kaesong di utara. Saat orang Korea mulai mengangkut biji-bijian ke luar pulau, para
wakō bergerak untuk merampok lumbung-lumbung penduduk. Perampokan-perampokan yang
dilakukan oleh mereka menyebabkan dinasti Goeryo jatuh (Hawley, 2005, hal. 61).
43
Benjamin H. Hazard, The Formative Years of Wakō, 1223-36, hal.265
Ibid., hal.269
45
Ibid., hal.273
44
14
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
Untuk menekan dan mengontrol aktifitas Wakō, Raja Taejo bekerjasama dengan penguasapenguasa di Tsushima. Usaha-usaha yang ia lakukan antara lain melakukan conciliatory
diplomacy (diplomasi perantara). Diplomasi perantara ini maksudnya adalah mengirimkan
permohonan kepada Jepang, kemudian permohonan ini akan diteruskan kepada pemerintah
Jepang melalui misi resmi. Cara ini terus berlangsung hingga tahun 1399. Raja Taejo juga
mencoba untuk mengubah para perompak menjadi pedagang dengan mengontrol akses orang
asing di Chosŏn (hanya pedagang yang boleh mendarat disini). Selain melakukan hubungan
diplomasi perantara dan mengubah para perompak menjadi pedagang dan petani, ia
memperkenalkan program naturalisasi. Ia menawarkan tanah di provinsi-provinsi selatan Korea,
istri serta jabatan Istana, sehingga para bajak laut ini bisa memperoleh pendapatan sebagai petani.
Hanya ini satu-satunya pilihan yang ada baginya. Korea sendiri menyadari bahwa mereka tidak
mampu lagi melawan dengan kekuatan militer mereka. Para wakō ditawarkan untuk menjadi
petani di provinsi-provinsi selatan Korea yang subur, dan seiring dengan berjalannya waktu
mereka telah diserap dan menyatu dalam masyarakat Korea. Para pemimpin wakō yang memiliki
pengaruh diberikan jaminan jabatan istana, tanah, pendapatan dan janji akan kestabilan,
kehidupan yang nyaman, dengan syarat, mereka harus memimpin para pengikut mereka untuk
pergi dan berhenti menjarah serta hidup dalam kedamaian (Hawley, 2005, hal. 61). Mereka juga
mendapat kesempatan untuk menjalankan perdagangan bebas. Hal ini benar-benar menurunkan
aktifitas wakō. Hampir 2000 imigran Jepang tinggal di provinsi selatan Kyongsang-do. Aktifitas
bajak laut pun menurun drastis, dan tahun 1401 pesisir Korea bebas dari penjarahan (Verschuer,
2007, hal. 263).
Di Cina, Kaisar Hongwu dari dinasti Ming juga berusaha melawan aksi bajak laut. Sama seperti
Korea, ia berkali-kali mengirim utusan ke Jepang sejak tahun 1368. Untuk merespon permintaan
Hongwu mengenai masalah wakō, beberapa kali Jepang berhasil mengembalikan penduduk
Korea dan Cina yang telah diculik oleh para wakō. Respon Jepang ini tidak dikirim kepada
Shogun melainkan kepada Pangeran Kaneyoshi, dan nantinya kepada para deputi di Kyūshū dan
Ōuchi Yoshihiro (Verschuer, 2007, hal. 263).
Tahun 1368, Ashikaga Yoshimitsu menjadi shogun ke-3, bertepatan dengan didirikannya dinasti
Ming oleh Zhu Yuanzhang yang berhasil menjatuhkan dinasti Yuan. Di Ming, segera keluar
perintah untuk mengirim utusan ke Jepang untuk mengumumkan dinasti baru terebut serta untuk
15
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
menyampaikan pesan agar Jepang menghentikan aktifitas Wako. Pesan ini disampaikan para
utusan Ming ke seisei shogun 46 di Kyushu, dan diterima oleh Pangeran Kaneyoshi. Pangeran
Kaneyoshi yang membaca surat dari Ming tersebut marah dan membunuh kedua utusan yang
dikirim oleh Ming, karena tidak hanya meminta Jepang untuk menghentikan aktifitas para Wakō
melainkan juga memerintahkan agar Jepang patuh pada Cina. Akan tetapi, aktifitas Wakō
semakin merajalela dan mengkhawatirkan. Mereka menjarah dari semenanjung Korea hingga
pulau Hainan (Cina). Ming kembali mengirim utusan ke Jepang dan memberi gelar “Raja Jepang”
kepada Pangeran Kaneyoshi. Pangeran Kaneyoshi, mewakili Jepang, akhirnya mau menerima
tuntutan Ming untuk mematuhi Ming (Michiko, 2006, hal. 138).
Kesimpulan
Kemunculan wakō atau bajak laut Jepang dipicu oleh masalah ekonomi dan bencana kelaparan
yang melanda Jepang. Bajak laut yang berasal dari pulau-pulau Tsushima, Matsūra, Iki dan Goto
yang gersang ini menjarah semenanjung Korea dan pesisir pantai selatan Cina sebab selain kedua
wilayah ini dekat dengan tempat tinggal mereka, kedua wilayah ini juga merupakan wilayah yang
ramai dengan aktifitas perdagangan. Aktifitas wakō diketahui muncul pada awal abad ke-13
hingga abad ke-16. Pada masa awal, kelompok bajak laut ini masih murni terdiri dari perompak
yang berasal dari Jepang, sedangkan setelah jaman Muromachi, orang Cina maupun Korea
banyak yang ikut bergabung dalam aktifitas para wakō. Dalam aksinya, mereka mencuri padipadian, menjarah dan membakar rumah-rumah, serta menjadikan penduduk lokal yang mereka
culik sebagai budak.
Saat aktifitas para bandit ini merajalela, Korea sedang mengalami peperangan dengan bangsa
Mongol di wilayah utara, sehingga pertahanan di wilayah selatan menjadi lemah. Sementara itu,
pada masa awal kemunculan para wakō, Cina yang masih berada di bawah pemerintahan bangsa
Mongol (dinasti Yuan) mengalami kemunduran. Situasi politik Cina sangat kacau dan dipenuhi
pemberontakan para petani serta sekte-sekte agama. Dengan kondisi seperti ini, orang Jepang
yang telah berdagang secara bebas di Cina dan Korea memanfaatkan kesempatan dan berubah
menjadi wakō. Tindakan para wakō ini sangat mengganggu aktifitas perdagangan di Cina dan
46
Di Kyushu, Pangeran Kaneyoshi mengklaim dirinya sebagaiseisei shogun 征西将軍府"Jendral Barat" sejak tahun
1361 hingga tahun 1372 (Verschuer, 2007, hal. 262).
16
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
Korea, sehingga Korea maupun Cina beberapa kali mengirimkan utusannya ke Jepang supaya
pemerintah Jepang segera mengambil tindakan demi menekan aktifitas para wakō tersebut.
Tahun 1401 aktifitas para wakō sempat menurun drastis karena dua hal. Pertama, Kaisar Taejong
di Korea berhasil membujuk para pemimpin wakō dengan memberikan jaminan kesejahteraan
mereka melalui jabatan Istana, pemberian lahan pertanian dan sebagainya. Sementara di Jepang,
Ashikaga Yoshimitsu mengirim pasukan untuk menghentikan aktifitas wakō demi menepati
janjinya dengan pemerintah Ming yang mau membuka perdagangan dengan Jepang.
17
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
Daftar Referensi
Books:
Hawley, S. (2005). The Imjin War Japan Sixteenth Invasion of Korea and Attempt to Conquer China. Canada: The
Institute of East Asian Studies.
Li, D. J. (1920). The Ageless Chinese Third Edition. New York: Charles Scribner's Sons.
Michiko, K. (2006). Gakushū Manga Nihon no Rekishi "Nanbokuchō no Arasoi". Tokyo: Shuueisha.
Sachita, K. (Penyunt.). (1984). Gakushū Manga Shōnen Shōjo Nihon no Rekishi "Dai Hachikan Nanchou To
Hokuchou" (Vol. 8). Tokyo: Shōgakkan.
Shouyi, B. (2002). An Outline History of China. Beijing: Foreign Language Press.
Surajaya, I. K. (1996). Pengantar Sejarah Jepang I. Jakarta.
Online Journal:
Hazard, B. H. (1967). The Formative Years of The Wakō, 1223-63. Monumenta Nipponica , 260-277.
Pearson, R. (2007). Early Medieval Trade on Japan's Southern Frontier and its Effect on Okinawan State.
International Journal of Historical Archeology , 122-151.
Verschuer, C. v. (2007). Ashikaga Yoshimitsu's Foreign Policy 1398 to1408. Monumenta Nipponica , 261-297.
Encyclopedia, Dictionary:
Nelson, A. N. (2008). Kamus Kanji Modern Jepang-Indonesia. Bekasi: Kesaint Blanc.
New Wide Hyakka Jiten 7. (2002). Gakken.
Online Forums, Discussion Lists, or Newsgroups:
Shimosaka, M. (t.thn.). About Licenses for Trade between Japan and Ming China. Dipetik Juli 1, 2013, dari Kyoto
Museum National: http://www.kyohaku.go.jp/eng/dictio/data/shoseki/nichimin.html
Kango Boeki. (2013, Mei 5). Dipetik Juni 1, 2013, dari The Samurai Archives SamuraiWiki: http://wiki.samuraiarchives.com/index.php?title=Kango_boeki
18
Hubungan keberadaan ..., Kim Myland, FIB UI, 2013
Download