RESPON HIJAU TERHADAP PERUBAHAN IKILM Oleh : redaksi butaru Perubahan iklim sebagai akibat pemanasan global (yang antara lain dipicu oleh tingginya angka urbanisasi dan tingginya emisi karbon atau gas rumah kaca), bukan lagi sebuah wacana, namun secara nyata telah terjadi dan kita alami. Dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun, yaitu dari 1970 hingga tahun 2010, telah terjadi peningkatan jumlah kota otonom dua kali lipat yaitu dari 45 kota menjadi 98 kota, yang rata-rata penduduknya berjumlah 533 jiwa/kota. Peningkatan jumlah kota ini lalu diikuti oleh jumlah penduduk yaitu dari 21 juta jiwa menjadi 123 Juta jiwa, atau sekitar enam kali lipat lebih besar. Fenomena Urbanisasi memicu berbagai persoalan perkotaan, khususnya di saat ini dimana 52,03 % penduduk Indonesia tinggal di kawasan perkotaan. Kontribusi Kawasan Perkotaan terhadap Perubahan iklim antara lain adalah urbanisasi, manfaatan SDA dan Emisi Karbon (GRK). Akibat dari halhal tersebut adalah penurunan lahan hijau produktif dan penurunan kualitas ruang yang terindikasi dari terjadinya banjir, kemacetan, polusi, krisis infrastruktur, dan bencana. Lebih lanjut lagi, perubahan iklim di Indonesia berdampak pada terjadinya kekeringan, peningkatan jumlah hari panas, badai tropis, tingginya frekuensi curah hujan, dan kenaikan muka air laut. Salah satu contoh nyata adalah amblasnya Jalan R.E. Martadinata, Jakarta Utara, akibat intrusi air laut dan ROB. Tantangan pembangunan perkotaan yang semakin berat dengan hadirnya parameter perubahan iklim, menuntut kita untuk berpikir lebih seksama juga mengembangkan gagasan yang dituangkan ke dalam kebijakan dan program yang lebih komprehensif dan realistis, sekaligus melakukan aksi konkrit sebagai solusi perubahan iklim. Kota hijau dapat dipahami sebagai kota yang ramah lingkungan berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip keberlanjutan. Kota hijau sendiri dapat diidentifikasi dari delapan atribut meliputi: perencanaan dan perancangan kota ramah lingkungan, ruang terbuka hijau, konsumsi energi yang efisien, pengelolaan air, pengelolaan limbah dengan prinsip 3R, bangunan hemat energi, penerapan sistem transportasi yang berkelanjutan, dan peningkatan peran masyarakat sebagai komunitas hijau. Berkaitan dengan salah satu atribut kota hijau, Undang- Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR)telah mensyaratkan setiap kota untuk menyediakan RTH minimal sebesar 30% dari luas wilayah kota, dengan rincian RTH Publik 20% dan RTH Privat 10%. Ketentuan preskriptif mengenai RTH tersebut harus secara eksplisit termuat dalam setiap Perda RTRW. Selain diamanatkan dalam UUPR, perwujudan kota hijau melalui penyediaan RTH didasarkan pula pada 10 Prakarsa Bali yang dicanangkan oleh Sustainable Urban Development Forum Indonesia (SUD-FI) pada peringatan puncak Hari Tata Ruang pada tahun 2010 di Sanur, Bali. Tidak dapat dipungkiri, keberadaan RTH sangat penting untuk menjamin keberlangsungan dan keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi, mikroklimat maupun ekologis lainnya. Bila pembangunan terus berkembang secara masif dengan mengorbankan luasan RTH, maka ekosistem kota dapat menjadi terganggu. Inilah yang mengakibatkan banjir, kekeringan dan kelangkaan air, pencemaran udara serta peningkatan iklim mikro. Dalam rangka green cities, indeks rata-rata RTH untuk negaranegara Asia sudah melampaui 15 m2/orang. Hal ini sudah diterapkan di Kota Hongkong, Nanjing, Beijing, Singapura, Taipei, Kuala Lumpur, Seoul, Delhi, Karachi, dan Shanghai. Selanjutnya, indeks RTH dunia dalam rangka liveable cities, Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) yang diiniasi Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, bertujuan untuk meningkatkan kualitas ruang kota yang responsif terhadap perubahan iklim. Direktur Jenderal Penataan Ruang, Ir. Imam S. Ernawi, MSc., MCM, menyatakan inisiatif ini dapat diletakkan dalam konteks implementasi RTRW Kota/Kabupaten serta peningkatan peran aktif para pemangku kepentingan pada aras lokal. Pada tahap inisiasi P2KH tahun 2011 ini, akan ada tiga atribut yang difokuskan, yaitu: perencanaan dan perancangan ramah lingkungan; perwujudan ruang terbuka hijau 30%; dan peningkatan peran masyarakat melalui komunitas hijau. Namun pada tahap berikutnya P2KH diharapkan lebih luas cakupan wilayahnya (kota/ kabupaten) dan memiliki program yang lebih komprehensif dan inklusif. Berita baiknya adalah saat ini sudah ada 32 kota dan 48 kabupaten yang menyampaikan minatnya untuk mengikuti prakarsa P2KH yang dimulai dengan bersama-sama menyusun Rencana Aksi Kota Hijau (RAKH). Penanganan dampak perubahan iklim ini memerlukan upaya bersama dan peran serta stakeholder secara sinergis dan konsisten. Menteri Pekerjaan Umum, Ir. Joko Kirmanto, dalam arahannya mengharapkan Pogram P2KH ini menjadi media belajar yang positif bagi semua pihak, memberikan wawasan yang utuh mengenai kota hijau sebagai solusi perubahan iklim, serta melahirkan rencana aksi daerah yang terukur dan implementatif untuk diwujudkan mulai tahun 2012. Selain itu, perlu pula ditumbuhkan kesadaran dan perubahan gaya hidup masyarakat yang lebih ramah lingkungan, dimana pendidikan lingkungan mesti dilaksanakan sejak usia dini. (mem) Referensi: 1. Paparan Menteri PU pada acara Lokakarya “Perubahan Iklim Dan Kota Hijau : Dari KonsepMenuju Rencana Aksi”, 26 September 2011. 2. “Perubahan Iklim dalam Pembangunan Nasional dan Perkotaan”, Prof.(Hon.) Ir. RachmatWitoelar, September 2011. berkisar pada 11-134 m2/orang, sedangkan indeks RTH kota seperti Jakarta, pada saat ini masih berkisar 6 m2/orang. Maka jelaslah bahwa tantangan ke depan untuk meningkatkankualitas, kuantitas, dan aksesibilitas terhadap RTH tidakringan.