BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker dikenal sebagai penyakit yang mematikan karena sel kanker memiliki kemampuan proliferasi yang tinggi dan kemampuan untuk menghindari program bunuh diri sel (apoptosis). Menurut American Cancer Society (2014), kanker berada di urutan ke dua penyebab kematian terbanyak di dunia setelah penyakit jantung. Terdapat lebih dari 1,2 juta kasus kanker kolon baru pada tahun 2012, menempatkan kanker ini pada urutan ketiga jenis kanker yang paling sering terjadi di dunia (American Cancer Society, 2014). Angka insidensi kanker kolon terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk baik di negara berkembang maupun negara maju (Siegel et al., 2014). First line therapy pada kanker kolon adalah menggunakan agen kemoterapi 5-fluorourasil (5-FU). Namun penggunaan agen kemoterapi 5-FU memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti neutropenia, penurunan sistem imunitas tubuh, somatitis, diare, hand foot syndrom dan yang paling parah adalah kardiotoksisitas bahkan terjadi resistensi obat (Meyerhardt and Mayer, 2005; Thomas et al., 2004). Semakin besarnya efek samping dari penggunaan obatobatan sintesis menyebabkan masyarakat beralih ke pengobatan berbasis bahan alam. Hal ini dikarenakan bahan alam mudah diperoleh dan telah digunakan secara turun temurun serta dipercaya memiliki efek samping yang kecil. 1 2 Pendekatan yang menarik untuk dikembangkan adalah penggunaan kombinasi kemoterapi atau sering disebut sebagai ko-kemoterapi. Ko-kemoterapi merupakan strategi terapi kanker dengan mengkombinasikan suatu senyawa kemopreventif yang bersifat tidak toksik dengan agen kemoterapi. Hal ini dapat meningkatkan efikasi agen kemoterapi karena adanya kombinasi yang sinergis dan memperkecil kemungkinan efek samping karena mengurangi dosis agen kemoterapi (Alison, 2004). Aplikasi ko-kemoterapi ini diharapkan dapat menurunkan toksisitas terhadap jaringan normal. Salah satu bahan alam yang potensial dikembangkan sebagai agen kokemoterapi adalah rumput mutiara (Hedyotis corymbosa L.). Rumput mutiara awalnya digunakan untuk terapi apendisitis dan peritonitis di Cina, kemudian sekarang dikembangkan sebagai anti kanker (Dharmananda, 2004). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa rumput mutiara memiliki aktivitas sitotoksik pada beberapa sel kanker. Suparman (2008) menunjukkan bahwa ekstrak etanolik rumput mutiara (ERM) mampu menghambat proliferasi sel kanker kolon WiDr melalui pemacuan apoptosis dan cell cycle arrest. Lee et al. (2011) melaporkan ERM memiliki aktivitas penghambatan peroliferasi melalui induksi apoptosis padal sel kanker kolon COLO 205, kanker hepar Hep3B, dan kanker paru-paru H460. Rumput mutiara diketahui mengandung asam ursolat dalam jumlah cukup banyak yakni sekitar 0,4 % dari bahan simplisia (Chen et al., 2005). Asam ursolat merupakan senyawa triterpen yang telah banyak diteliti. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa asam ursolat menunjukkan efek sitotoksik pada sel MDA- 3 MB231 dengan IC50 1,49 µg/ml (Chen et al., 2005). Selain itu, asam ursolat dilaporkan memiliki sifat kemopreventif, anti mutagenik, antioksidan langsung dan tidak langsung (Martin-Aragon et al., 2001; Ramos et al., 2008). Mekanisme anti kanker asam ursolat yang lainnya adalah melalui induksi apoptosis yang ditandai dengan penurunan ekspresi protein anti apoptosis Bcl-2 (Achiwa et al., 2005; Harmand et al., 2005). Hingga saat ini belum terdapat penelitian mengenai pengaruh pemberian ERM terhadap peningkatan aktivitas sitotoksik agen kemoterapi 5-FU pada sel WiDr sebagai model kanker kolon. Beberapa hal yang penting diketahui dalam aplikasi kombinasi ini adalah pengamatan aktivitas sitotoksik kombinasi dan kemampuan dalam menginduksi apoptosis. Uji kombinasi ERM dengan 5-FU dilakukan untuk mengetahui apakah kombinasi ini dapat meningkatkan aktivitas sitotoksik 5-FU terhadap sel WiDr. Pengujian sitotoksisitas dilakukan dengan menggunakan MTT assay. Pemacuan apoptosis akibat penggunaan kombinasi ini dilihat melalui pewarnaan Annexin V-PI dengan pembacaan menggunakan flowcytometry. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif pengobatan yang lebih efektif, spesifik, dan tertarget dalam menghambat pertumbuhan sel kanker kolon. B. Perumusan Masalah 1. Apakah kombinasi ERM dan 5-FU memiliki efek sinergis dalam menghambat proliferasi sel kanker kolon WiDr? 4 2. Apakah kombinasi ERM dan 5-FU mampu menginduksi apoptosis pada sel kanker kolon WiDr? C. Tujuan 1. Tujuan Umum Mengeksplorasi bahan alam khususnya yang berpotensi sebagai agen kokemoterapi kanker kolon dalam meningkatkan efektivitas obat anti kanker. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui efek sitotoksik kombinasi ERM dan 5-FU pada proliferasi kanker kolon WiDr b. Mengetahui pengaruh pemberian kombinasi ERM dan 5-FU terhadap induksi apoptosis pada sel kanker kolon WiDr. D. Urgensi Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi bahan alam yang berpotensi dalam usaha penanganan kanker, terutama terkait dengan permasalahan resistensi dan efek samping agen kemoterapi lini pertama pada penanganan kanker kolon yakni 5-FU. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan rumput mutiara sebagai agen pendamping dalam meningkatkan efek sitotoksik agen kemoterapi 5FU terhadap sel kanker kolon WiDr dan melacak mekanisme molekuler yang memperantarai efek tersebut. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat untuk menambah data ilmiah yang valid mengenai aktivitas sitotoksik rumput nutiara pada aplikasi kombinasi dengan 5-FU terhadap sel kanker kolon sehingga dapat 5 dipublikasikan menjadi sebuah artikel dalam jurnal ilmiah serta menjadi sumber data yang bermanfaat bagi pengembangan penelitian selanjutnya. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi informasi tambahan bagi masyarakat mengenai tanaman yang memiliki aktivitas. E. Tinjauan Pustaka 1. Kanker Kolon Kanker adalah pertumbuhan sel yang tidak normal yang disebabkan oleh perubahan ekspresi gen sehingga keseimbangan proliferasi dan apoptosis sel terganggu (Hanahan and Weinberg, 2011; Ruddon, 2007). Kanker terjadi karena adanya mutasi pada gen regulator proliferasi sel, baik regulator positif (oncogene) maupun regulator negatif (tumor supressor gene). Gen regulator positif diantaranya cyclin dan ras dapat termutasi dan mengalami peningkatan ekspresi, protein fungsionalnya menjadi memiliki kestabilan tinggi, atau aktivitasnya meningkat sehingga dapat memacu proliferasi sel. Di sisi lain, gen regulator negatif seperti p53 dapat mengalami mutasi yang mengakibatkan penurunan level ekspresi, protein fungsional menjadi inaktif, atau kestabilannya rendah yang kesemuanya dapat menyebabkan sel kehilangan kontrol untuk menghentikan aktivitas proliferasi sel yang abnormal. Aktivitas proliferasi sel yang berlebih pada sel yang telah termutasi akan meningkatkan laju kerusakan gen sehingga tingkat mutasi akan terus bertambah dan sel akan bertansformasi menjadi sel kanker seiring dengan berjalannya waktu (King, 2000). 6 Kanker kolon merupakan kanker yang terjadi pada usus besar. Kanker ini dimulai dari sel yang berbentuk kelenjar pada bagian dalam usus besar yang kemudian menyebar ke bagian dinding kolon (Heriady, 2002). Kanker kolon terjadi seperti karsinogenesis pada umumnya. Gen yang terlibat dalam karsinogenesis kanker kolon dapat digolongkan menjadi 2 tipe. Tipe pertama mencakup gen penyandi APC, DCC, dan K-ras yang berperan dalam transduksi sinyal saat replikasi sel. Gen tipe kedua mencakup p53, hMSH2, hMLH1, hPMS1, dan hPMS2 yang merupakan tumor supressor gene, berperan dalam perbaikan DNA saat terjadi kesalahan dalam replikasi (Calvert and Frucht, 2002). Pada saat sintesis DNA, hMSH2, hMLH1, hPMS1, dan hPMS2 memiliki peran penting dalam mekanisme proof reading sehingga akan menekan proses terjadinya mutasi. Protein p53 berfungsi dalam menghentikan siklus sel ketika terjadi kerusakan DNA sehingga mekanisme repair DNA dapat berjalan optimal. Selain itu, jika perbaikan tidak berhasil diatasi, p53 akan memacu apoptosis (Zekri et al., 2005). 2. Sel WiDr Sel WiDr (Gambar 1) merupakan continuous cell line yang diisolasi dari kanker kolon seorang wanita berusia 78 tahun. Sel WiDr merupakan turunan sel kanker kolon yang lain yakni sel HT-29 (Chen et al., 1987). Sel WiDr memproduksi antigen karsinoembrionik dan memerlukan rentang waktu sekitar 15 jam untuk dapat menyelesaikan 1 siklus sel. Salah satu karakteristik dari sel WiDr ini adalah ekspresi siklooksigenase-2 (COX-2) yang tinggi yang 7 memacu proliferasi sel WiDr (Palozza et al., 2005). Pada sel WiDr, terjadi mutasi p53 pada posisi 273 sehingga terjadi perubahan residu arginin menjadi histidin (Noguchi et al., 1979). Dengan adanya mutasi pada p53 akan mengakibatkan terhambatnya mekanisme apoptosis yang diregulasi oleh protein tersebut. Akan tetapi, p21 pada sel WiDr yang masih normal memungkinkan untuk terjadinya penghentian daur sel (Liu et al., 2006). Gambar 1. Sel WiDr sehari setelah thawing (A) dan setelah mencapai konfluen (B) (ATCC, 2014). Sel WiDr merupakan salah satu sel yang memiliki sensitivitas yang rendah terhadap perlakuan dengan 5-FU. Tansfeksi p53 normal terhadap WiDr tidak menyebabkan peningkatan sensitivitasnya terhadap 5-FU (Giovannetti et al., 2007). Resistensi sel WiDr terhadap 5-FU salah satunya diperantarai dengan terjadinya peningkatan ekspresi enzim TS yang merupakan target penghambatan utama dari 5-FU (Sigmond et al., 2003). P-glikoprotein (Pgp) pada sel WiDr tidak diekspresikan tinggi sehingga kemungkinan terdapat mekanisme lain yang memperantarai resistensi WiDr terhadap 5-FU yang masih perlu ditelusuri lebih lanjut (Jansen, 1999). Secara keseluruhan, sel WiDr merupakan sel yang sesuai untuk digunakan sebagai model dalam skrining senyawa baru sebagai agen kokemoterapi dengan 5-FU. Karakteristik sel WiDr yang mengalami mutasi p53 8 menyebabkan sel ini cocok sebagai pemodelan penelitian apoptosis melalui jalur p53-independent. 3. Agen Sitotoksik 5-Fluorourasil Senyawa 5-Fluorourasil (5-FU) (Gambar 2) merupakan agen kemoterapi utama yang digunakan untuk terapi kanker kolon (Meyerhardt and Mayer, 2005). Senyawa 5-FU adalah analog pirimidin yang bekerja secara antagonis dengan deoxyuridine monophosphate (dUMP) terhadap aktivitas enzim timidilat sintetase (TS). Gambar 2. Struktur kimia 5-fluorourasil (King and Perry, 2001) Metabolisme 5-FU (Gambar 3) dimulai setelah memasuki sel. Agen kemoterapi 5-FU akan dikonversi menjadi 5-fluoro-uridin (5-FudR) oleh timidin fosforilase yang selanjutnya akan difosforilasi menjadi 5-fluoro-deoksiuridin monofosfat (5-FdUMP) oleh timidin kinase. Senyawa 5-FdUMP yang menyerupai dUMP akan menghambat aktivitas TS (Shah and Schwartz, 2001). Hal ini akan mengakibatkan induksi apoptosis karena penghambatan sintesis DNA yang disebabkan kekurangan deoksitimidin trifosfat (dTTP). Peningkatan ekspresi TS pada sel kanker merupakan respon sel yang dapat mengakibatkan resistensi terhadap 5-FU (Giovanetti et al., 2007). 9 Mekanisme kerja 5-FU pada kanker kolon melalui penggabungan beberapa bentuk metabolit aktifnya ke dalam rantai materi genetik (RNA atau DNA) (Longley et al., 2007). Penghambatan sintesis RNA diakibatkan adanya penyisipan fluorouridine triphosphat (FUTP) sehingga menyebabkan kegagalan penggabungan untai RNA. Adanya kegagalan ini mengakibatkan terhambatnya pendewasaan rRNA (Kanamaru et al., 1986; Goshal et al., 1994), proses splicing pre-mRNA (Doong et al., 1988; Patton et al., 1983), serta mengganggu proses modifikasi pada post-translasi tRNAs (Santi et al., 1987; Randerath et al., 1983). Penghambatan sintesis DNA sendiri dapat melalui dua mekanisme. Pertama, melalui penghambatan TS oleh metabolit aktif FdUMP yang dapat menghambat reaksi perubahan dUMP menjadi deoxythymidine monophosphate (dTMP) yang menjadi komponen pada replikasi dan perbaikan DNA. Kedua, melalui penggabungan fluorodeoxyuridine triphosphate (FdUTP) sehingga terjadi kegagalan pembentukan untai DNA yang diinginkan (Longley et al., 2003). 10 Gambar 3. Metabolisme agen kemoterapi 5-fluorourasil (5-FU). Agen kemoterapi 5-FU dikonversi menjadi 3 metabolit fluorodeoxyuridine monophosphate (FdUMP), fluorodeoxyuridine triphosphate (FdUTP), fluorouridine triphosphate (FUTP). Jalur aktivasi utama 5-FU adalah konversi menjadi fluorouridine monophosphate (FUMP) secara langsung oleh orotate phosphoribosyltransferase (OPRT) dengan phosphoribosyl pyrophosphate (PRPP) sebagai kofaktor, atau secara tidak langsung menjadi fluorouridine (FUR) oleh uridine phosphorylase (UP) dan uridine kinase (UK). FUMP kemudian difosforilasi menjadi fluorouridine diphosphate (FUDP) yang kemudian difosforilasi menjadi metabolit aktif fluorouridine triphosphate (FUTP), atau diubah menjadi fluorodeoxyuridine diphosphate (FdUDP) oleh ribonucleotide reductase (RR). Sebaliknya, FdUDP dapat mengalami fosforilasi atau defosforilasi untuk menghasilkan metabolit aktif FdUTP dan FdUMP. Jalur aktivasi alternatif lainnya melibatkan thymidine phosphorylase yang mengkatalisis perubahan 5-FU menjadi fluorodeoxyuridine (FUDR) yang kemudian difosforilasi oleh thymidine kinase (TK) menjadi FdUMP. Dyhydropyrimidine dehydrogenase (DPD) mengubah 5-FU menjadi dyhydrofluorouracil (DHFU) yang merupakan rate limiting step dari katabolisme 5-FU di dalam sel normal dan sel kanker. Sekitar 80% pemberian 5-FU dipecah oleh DPD di dalam hati (Longley et al., 2007). Mekanisme resistensi sel kanker terhadap 5-FU melibatkan modulasi pada ekspresi gen regulator yang terlibat dalam jalur transduksi sinyal NF-κB, siklus sel, maupun metabolisme pirimidin (Wang et al., 2004). Pada kaitannya dengan siklus sel, 5-FU tidak dapat bekerja pada sel yang berada di luar siklus sel 11 (G0). Agen kemoterapi 5-FU hanya bekerja pada sel yang aktif menjalankan siklus sel yang memerlukan aktivitas TS untuk sintesis basa penyusun DNA. Enzim TS diekspresikan tinggi pada fase G1 melalui perantara aktivitas transkripsi E2F (Peters et al., 2002). Senyawa 5-FU dapat menginduksi terjadinya penghentian siklus sel dan pemacuan apoptosis tanpa melibatkan peran p53, tetapi melibatkan peningkatan ekspresi p21 dan pRB (Vousden and Lu, 2002). Kedua protein tersebut memiliki peran penting dalam sistem checkpoint pada fase G1. Ekspresi pRB yang tinggi akan menghambat aktivitas E2F sehingga menyebabkan penghambatan sel untuk melalui R (Lomazzi et al., 2002). Ekspresi p21 dapat menghambat aktivitas cyclin E/CDK2 dan cyclin A/CDK 2 sehingga dapat menyebabkan penghambatan siklus sel pada fase G1 dan S. Efek samping penggunaan 5-FU yang ditemui pada pasien antara lain neutropenia, stomatitis, diare, dan hand-foot syndrom. Masing-masing efek ini terkait dengan metode pemberian yang diterapkan pada pasien (Meyerhardt and Mayer, 2005). Pada kasus efek samping 5-FU yang paling parah adalah kardiotoksisitas meskipun hal ini jarang ditemui (Thomas et al., 2004). Dibandingkan dengan agen kemoterapi lainnya, 5-FU memiliki selektivitas yang tinggi pada aktivitas TS dan efek samping yang ditimbulkan relatif lebih ringan. Namun, efektivitas 5-FU sebagai agen kemoterapi baru mencapai 15% sehingga diperlukan pengembangan agen ko-kemoterapi untuk meningkatkan efektivitas terapi dengan 5-FU (Meyerhardt and Mayer, 2005). 12 4. Apoptosis dan Deteksinya dengan Flow cytometry Annexin V Kematian sel merupakan suatu proses normal yang mempunyai dua fungsi yaitu perbaikan jaringan dan pelepasan sel rusak yang mungkin membahayakan tubuh (DeVita et al., 2011). Proses kematian sel terdiri dari dua macam yaitu nekrosis dan apoptosis (Gambar 4). Apoptosis merupakan proses bunuh diri suatu sel yang terprogram yang penting dalam pengaturan homeostasis sehingga terjadi keseimbangan jumlah sel melalui eliminasi sel yang rusak (DeVita et al., 2011). Dalam kematian yang terprogram ini diperlukan transduksi sinyal yang mengaktivasi jalur apoptosis serta energi (ATP) yang cukup dari sel. Ketika sel tidak memiliki cukup energi untuk melakukan eksekusi dirinya maka sel akan kehilangan kontrol dan terjadi kematian sel melalui proses nekrosis (Jaeschke and Bajt, 2006). Apoptosis diperlukan jika sel sudah tidak memungkinkan untuk berkembang karena adanya kerusakan yang tidak dapat diperbaiki atau adanya regenerasi sel muda (Alberts, 2008). Induksi apoptosis dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kerusakan DNA, kekurangan faktor pertumbuhan (FGF, EGF, PDGF) dan penggunaan obat kemoterapi (King, 2000). 13 Gambar 4. Perbedaan apoptosis dan nekrosis. Apoptosis dipengaruhi oleh kontrol dan dipengaruhi oleh signal seluler. Nekrosis bukan merupakan program kematian sel dan tidak terkontrol. Sel yang mengalami nekrosis akan pecah dan mengeluarkan komponen selulernya ke area ekstraseluler (Van Cruchten et al., 2002). Terdapat perbedaan morfologi antara apoptosis dan nekrosis (Tabel 1). Perbedaan yang mendasar adalah terlihat dari morfologi plasma sel antara apoptosis dan nekrosis. Pada nekrosis, sel kehilangan integritas membran plasma sehingga mengakibatkan sel membengkak. Pada apoptosis, integritas membran sel masih terjaga hingga proses berlangsung sampai akhir (Hotchkiss et al., 2009). Sel yang mengalami nekrosis akan mengeluarkan seluruh isi sel termasuk mediator-mediator inflamasi sehingga menyebabkan reaksi inflamasi. Inflamasi yang berlebih akan menyebabkan respon nyeri dan dalam jangka panjang dapat menimbulkan terjadinya autoimun sehingga kematian sel secara apoptosis dalam terapi pengobatan kanker lebih diharapkan. 14 Tabel 1. Perbedaan Morfologi Sel Apoptosis dan Nekrosis (Hotchkiss et al., 2009) Perubahan Morfologi Apoptosis Nekrosis Kesatuan membran masih ada Mengalami kerusakan Membran sel Kondensasi kromatin, DNA laddering, Degradasi DNA secara acak Nukleus fragmentasi inti Membran berkondensasi, fragmentasi Terjadi pembengkakan Sitoplasma sel, depolimerisasi sitoskeleton organ sel Protein yang berperan dalam regulasi apoptosis diantaranya p53, keluarga protein Bcl-2, Apaf, Caspase, inhibitor protein pro apoptosis (inhibitor of apoptosis protein, IAP) serta reseptor yang merespon sinyal kematian (death receptor) (Shah and Schwartz, 2001). Apoptosis terjadi melalui dua jalur utama, yaitu ekstrinsik dan intrinsik (Gambar 5). Jalur intrinsik menjadi target blokade tumorigenesis (Hanahan and Weinberg, 2011). Jalur ini disebut juga jalur mitokondria dan aktivasinya bergantung pada keseimbangan aktivitas protein pro dan anti apoptosis dari famili Bcl-2 (Vogler et al., 2009). Pada aktivasi jalur intrinsik, protein p53 berperan sebagai detektor terjadinya cellular stress. Peran ini dikontrol oleh MDM2 dan Arf. Pada saat tidak terdapat sinyal apoptosis, p53 terikat pada MDM2 sehingga terinaktivasi dengan ubiquitinasi dan dihantarkan menuju proteasom yang mengakibatkan proteolytic cleavage. Adanya sinyal apoptosis menyebabkan induksi Arf yang kemudian akan mengikat MDM2 sehingga p53 terlepas. Protein p53 menjadi bebas dan aktif. Aktivasi protein p53 mampu menginisiasi apoptosis dengan aktivasi protein pro apoptosis dari family Bcl-2 Puma dan Noxa (Kiaris, 2006). Saat ada sinyal apoptosis (Gambar 5), Bax dan Bak yang ada di sitoplasma akan diaktivasi oleh BH3-only protein seperti tBid menuju ke mitokondria (Tait and Green, 2010). Family Bcl-2 meregulasi permeabilitas membran mitokondria dan menentukan protein yang akan dilepaskan ke dalam sel (Mayer and Oberbauer, 2003). 15 Bax yang teraktivasi akan membentuk oligomer pada membran mitokondria sehingga melepaskan sitokrom C yang segera membentuk kompleks dengan Apaf-1 sehingga terbentuk trimer Apaf-1/sitokrom C/pro caspase 9 yang disebut apoptosom. Apoptosom ini menginduksi aktivasi pro caspase 9 menjadi caspase 9 yang disebut juga sebagai initiator caspase. Cysteine Aspartyl Specific Protease-9 (Caspase 9) selanjutnya mengaktivasi caspase yang lain seperti caspase 3 dan 7. Caspase 3 (effector caspase) kemudian akan menginisiasi apoptosis melalui aktivasi caspase-activated DNAse (CAD, DNA fragmentation factor) dengan jalan melepaskannya dari inhibitor CAD sehingga akan terjadi fragmentasi DNA. Berbagai protein seluler seperti PARP, laminin, dan β-lactin juga didegradasi oleh caspase (Jaeschke and Bajt, 2006). Gambar 5. Jalur ekstrinsik dan intrinsik mekanisme apoptosis. Jalur intrinsik diinisiasi dengan adanya cellular stress, kerusakan DNA, radiasi, atau signal lain yang dideteksi oleh protein Bcl-2-homology 3 only (BH3-only) menyebabkan perubahan potensial dan permeabilitas membran luar mitokondria. Jalur ekstrinsik diinisiasi melalui aktivasi reseptor kematian TNFR superfamily oleh ligand-nya (Almagro and Vucic, 2012). 16 Jalur ekstrinsik terjadi karena adanya ikatan antara ligan penginduksi kematian sel dengan reseptor kematian seperti TNF-R1, Fas, dan TRAIL (TNF receptor apoptosis-inducing ligand). Aktivasi reseptor ini mengakibatkan domain sitoplasmik dari reseptor kematian mengikat protein adaptor Fas-associated death domain (FADD) (Almagro and Vucic, 2012). Ikatan antara death receptor dengan ligannya mengakibatkan terbentuknya ikatan dengan protein adaptor yaitu ligan-reseptor-protein adaptor yang dikenal dengan death-inducing signaling complex (DISC). Kompleks DISC lalu menginisiasi pengaktifan pro caspase 8 yang mengaktifkan caspase 8 (initiator caspase). Cysteine Aspartyl Specific Protease-8 (Caspase 8) selanjutnya mengaktivasi Bid dan berinteraksi dengan jalur intrinsik. Aktivasi jalur intrinsik mitokondria terjadi karena cellular stress sehingga memicu pelepasan sitokrom C dari mitokondria yang selanjutnya bergabung dengan Apaf-1 dan caspase 9 untuk membentuk apoptosom dan mengaktivasi caspase 3, 6, dan 7 sebagai efektor apoptosis (Almagro and Vucic, 2012; Reuter et al., 2008). Flow cytometry merupakan teknologi yang secara simultan mampu menghitung dan mengkarakterisasi berbagai macam sifat fisika dari partikel tunggal (biasanya sel). Prinsip kerja flow cytometry adalah mengalirkan setiap sel ke sistem fluida lalu ditembak dengan sinar laser yang kemudian disebarkan oleh setiap sel. Selain itu, sinar laser tersebut juga dapat mengaktivasi senyawa fluoresen yang terdapat di dalam sel. Setiap sinyal sinar yang disebarkan maupun yang difluoresensikan akan diubah menjadi impuls elektrik sehingga dapat terdeteksi dan tersimpan sebagai data di dalam komputer. Flow cytometry dapat 17 digunakan untuk deteksi adanya perubahan morfologi sel yang mengalami apoptosis menggunakan nuclear staining dan mampu menghitung jumlah sel yang mengalami apoptosis menggunakan flow cytometry Annexin V (Koopman et al., 1994). Apoptosis merupakan mekanisme kematian sel yang terprogram dan terjadi secara alami pada sel yang abnormal atau mengalami pembelahan yang berlebihan (Cohen, 1991). Pada tahap awal apoptosis (Gambar 6) terjadi perubahan pada permukaan sel yaitu adanya translokasi phosphatidylserine (PS) dari bagian dalam membran plasma menjadi berada dibagian luar membran plasma sehingga melingkupi seluruh bagian permukaan sel (Vermes et al., 1995). Gambar 6. Deteksi apoptosis dengan pewarnaan annexin V dan PI. Sel normal (a) memiliki phospatidilserin yang terletak di memban bagian dalam sehingga tidak berikatan dengan annexin V maupun PI. Ketika terjadi induksi apoptosis (b), phosphatidilserin akan berpindah ke bagian luar membran sel sehingga dapat dideteksi oleh annexin V. Sedangkan ketika apoptosis lebih lanjut terjadi (c), selain phosphatidilserin berpindah ke bagian luar, membran sel mulai mengalami rupture sehingga PI dapat masuk ke dalam sel dan berinterkalasi dengan DNA sedangkan annexin akan berikatan dengan PS (Vermes et al., 1995). Annexin V adalah Ca2+-dependent phospolipid-binding protein dengan ukuran 35-36 kDa yang mempunyai afinitas tinggi terhadap PS. Annexin V akan berikatan dengan PS yang telah mengalami translokasi sehingga berada pada permukaan sel yang mengalami apoptosis (Gambar 6) (Casciola-Rosen et al., 1996; van Engeland et al., 1996; Vermes et al., 1995). Annexin V dapat 18 dikonjugasikan dengan fluorochromes dan berfungsi sebagai probe yang sensitif untuk analisis sel yang mengalami apoptosis menggunakan flow cytometry. Pewarnaan dengan Annexin V biasanya digunakan bersamaan dengan pewarna propidium iodida (PI) yang dapat mewarnai sel dengan cara berinterkalasi dengan DNA sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi sel yang mengalami apoptosis awal atau akhir. Sel hidup (viable cells) mempunyai membran yang utuh dan PS masih berada di dalam sel sehingga PS tidak terwarnai oleh Annexin V dan PI tidak dapat melewati membran sehingga tidak mewarnai inti sel. Sel yang mengalami apoptosis awal mengalami eksternalisasi PS sehingga akan terwarnai oleh Annexin, akan tetapi membran sel yang masih utuh menyebabkan PI tidak dapat masuk untuk berinterkalasi dengan DNA. PI dapat menembus membran dan berinterkalasi dengan DNA dan mewarnai sel pada membran-membran sel yang mati dan rusak. Sel yang mengalami apoptosis akhir, selain PS sudah mengalami eksternalisasi juga mengalami kerusakan membran sehingga dapat terwanai oleh Annexin V dan PI. Oleh karena itu, sel yang hidup bersifat Annexin V dan PI negatif, sedangkan sel yang mengalami apoptosis awal bersifat Annexin V positif dan PI negatif, dan sel yang mengalami apoptosis akhir atau yang sudah mati bersifat Annexin V dan PI positif (Hingorani et al., 2011). 6. Rumput Mutiara Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa [L.] Lamk.) merupakan anggota suku rubiaceae. Rumput mutiara (Gambar 7) tumbuh pada tanah lembab ditepi jalan, pinggir selokan, atau di tanah telantar. Terna dengan dengan tinggi 15-50 19 cm ini memiliki daun yang terletak berhadapan bersilangan, helai daun bentuk lanset dan berwarna hijau muda. Bunga majemuk 2-5, keluar dari ketiak daun, berbentuk payung warna putih. Buah bulat dengan ujung pecah-pecah. Bermanfaat untuk anti piretik, anti inflamasi, diuretik, dan melancarkan sirkulasi darah (Hariana, 2006). Gambar 7. Rumput Mutiara Klasifikasi rumput mutiara adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledonae Ordo : Rubiales Famili : Rubiaceae Genus : Hedyotis Spesies : Hedyotis corymbosa (L.) Lamk Sinonim : Oldenlandia corymbosa L. (Backer, 1965) Rumput mutiara memiliki efek penghambatan pertumbuhan Pseudomonas aerugynosa, Salmonella typhy, dan Proteus vulgaris. Herba ini juga dimanfaatkan untuk mengatasi penyakit disentri, asma, radang usus buntu, beberapa jenis kanker, tonsilitis, bronkitis, pneumonia, hepatitis, diuretik, 20 melancarkan sirkulasi darah dan detoksifikasi (Sudarsono et al., 2002; Zhou et al., 2002). Ekstrak etanol rumput mutiara dilaporkan memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel WiDr dengan nilai IC50 = 116 μg/ml, menginduksi terjadinya apoptosis dan cell cycle arrest pada fase G1. Selain itu, kombinasinya dengan agen kemoterapi doxorubicin memberikan efek yang sinergis pada sel tersebut (Suparman, 2008). Penelitian terhadap ekstrak etanolik rumput mutiara diketahui mampu menghambat proliferasi sel kanker payudara MCF-7 melalui pemacuan apoptosis yang diperantarai oleh penurunan ekspresi Bcl-2 (Haryanti, 2008). Rumput mutiara mengandung asam ursolat (Gambar 8), asam oleat, asperulosid, asam oleanolat, hentriacontane, stigmasterol, α-sitosterol, β-sitosterol, asam pkumarat, benzoilskandosidmetilester, dan glikosida flavonoid. Dalam rumput mutiara terkandung asam ursolat sebanyak kurang lebih 4-7% (Chen et al., 2005). Asam ursolat ini yang dipercaya memperantarai aktivitas antikanker dari rumput mutiara (Sivapraksam et al., 2014). Gambar 8. Struktur kimia asam ursolat (Liu et al., 2005) Asam ursolat (3β-Hydroxyl-12-ursen-28-ic acid) merupakan triterpen pentasiklik yang dapat diperoleh dari biji-bijian, dedaunan, bunga, dan buah pada tanaman obat (Shishodia et al., 2003). Asam ursolat memiliki aktivitas menekan pertumbuhan tumor, menginhibisi promosi tumor, menekan angiogenesis, (Shishodia et al., 2003) dan menginhibisi proliferasi sel (Kuo et al., 2005). 21 Penelitian Chen et al. (2005) menunjukkan bahwa asam ursolat memiliki aktivitas sitotoksik yang sangat baik pada sel A549, MDA-MB-231, dan MCF-7 dengan IC50 berturut-turut 19,8 µg/ml, 1,49 µg/ml, dan 4,7 µg/ml. Selain itu, kombinasi asam ursolat dengan doxorubicin memiliki efek yang sinergis pada sel kanker payudara MCF-7 serta memperlihatkan pemhambatan siklus sel pada fase G1 yang mengindikasikan terjadinya apoptosis (Arifin, 2013). Hsu (1998) melaporkan bahwa senyawa aktif yang terdapat dalam rumput mutiara adalah asam ursolat dan asam oleanolat yang dapat menghambat pertumbuhan sel Hep2B. Dong-Kyoo et al. pada tahun 2000 melaporkan bahwa asam ursolat mampu menginduksi cell cycle arrest yang dimungkinkan melalui penghambatan replikasi DNA dan peningkatan ekspresi p21. Adanya peningkatan ekspresi p21 menyebabkan pelepasan sitokrom C dan aktivasi caspase-3 yang berujung pada terjadinya apoptosis. Induksi apoptosis oleh asam ursolat juga diketahui melalui jalur intrinsik yang ditandai dengan menurunnya potensial transmembran akibat peningkatan ekspresi Bax dan penurunan ekspresi Bcl-2 yang mengakibatkan aktivasi caspase-3 (Harmand el al., 2005). Terjadinya induksi apoptosis oleh asam ursolat juga dimediasi oleh p53 (Manu and Kuttan, 2008). Selain itu, pemberian asam ursolat pada sel 293 (human embryonic kidney), KBM-5 (human myelogenous leukemia), H1299 (human non-small cell lung carcinoma) dan U937 (human histiocytic lymphoma) diketahui mampu menghambat NF-κB yang diaktivasi oleh berbagai karsinogen seperti TNF, phorbol ester, H2O2 dan asap rokok (Shishodia et al., 2003). 22 Aktivitas apoptosis diperantarai oleh penghambatan aktivasi NF-κB. Kompleks NF-κB merupakan protein regulator ekspresi sejumlah gen yang berperan dalam proses pembentukan kanker, termasuk protein anti apoptosis, gen pengatur adhesi molekul, dan gen pengatur siklus sel. Inaktivasi NF-κB oleh asam ursolat diperantarai melalui penghambatan ikatan DNA dengan NF-κB yang terdiri dari p50 dan p65 (Checker et al., 2012). Asam ursolat juga menghambat degradasi, fosforilasi dan aktivasi kinase Ik-Bα, menghambat fosforilasi dan translokasi p65 ke inti sel sehingga aktivasi NF-κB terhambat. Hal ini berkorelasi dengan penghambatan ekspresi protein cyclin D, COX-2 dan MMP 9 (Shishodia et al, 2003). Namun, interaksi yang terjadi dalam proses penghambatan aktivitas IKK oleh asam ursolat belum diketahui secara pasti. Senyawa yang dapat menghambat aktivasi NF-κB memiliki potensi terapetik sebagai senyawa anti kanker (Li et al., 2010). G. Landasan Teori Agen kemoterapi 5-fluorourasil (5-FU) merupakan first line therapy kanker kolon. Namun, 5-FU memiliki banyak efek samping seperti imunosupresi, kerontokan rambut, dan diare. Ekspresi COX-2 berlebih pada sel WiDr mengakibatkan sel kanker kolon tersebut menjadi kurang sensitif terhadap agen kemoterapi termasuk 5-FU. Oleh karena itu, pengembangan pengobatan kanker dengan efek samping yang rendah terus dikembangkan. Salah satu cara untuk mengurangi resistensi dan menurunkan efek samping obat adalah dengan pemakaian kombinasi bahan alam. Ekstrak etanol rumput mutiara (ERM) terbukti 23 memiliki aktivitas anti proliferatif terhadap sel kanker kolon WiDr, sedangkan kombinasinya dengan doxorubicin memberikan efek anti proliferatif yang sinergis serta meningkatkan efektivitas doxorubicin pada sel tersebut. Dengan demikian dimungkinkan kombinasi ERM dengan agen kemoterapi 5-FU memiliki efek yang sinergis. Potensi sitotoksik ERM diketahui melalui induksi apoptosis. ERM mampu menginduksi apoptosis pada beberapa jenis sel kanker seperti MCF-7, COLO 205, Hep3B, HepG2, dan WiDr. Sedangkan 5-FU diketahui menginduksi cell cycle arrest melalui penghambatan sintesis DNA karena dapat berikatan dengan untai DNA sebagai nukleotida palsu. Kombinasi antara rumput mutiara dengan agen kemoterapi doxorubicin dan cisplatin mampu meningkatkan induksi apoptosis dibandingkan dengan pemberian agen kemoterapi tunggal. Kombinasi antara ERM dan 5-FU diprediksikan mampu meningkatkan induksi apoptosis karena ERM mampu meningkatkan induksi apoptosis pada pemberian agen kemoterapi yang lain. H. Hipothesis 1. Kombinasi ERM dengan 5-FU memiliki efek anti proliferatif yang sinergis pada sel kanker kolon WiDr. 2. Kombinasi ERM dengan 5-FU mampu menurunkan viabilitas sel melalui peningkatan kematian sel melalui apoptosis dan nekrosis pada sel kanker kolon WiDr.