TINJAUAN PUSTAKA Kolagenase Kolagenase merupakan endopeptidase yang dapat memecah domain triple helix dari kolagen. Berdasarkan fungsi fisiologisnya, kolagenase digolongkan menjadi dua tipe, yaitu serin kolagenase dan metallokolagenase. Serin kolagenase seperti semua serin proteinase, memiliki residu serin pada sisi katalitiknya (Daboor et al. 2010). Serin kolagenase memiliki berat molekul pada kisaran 24 - 36 kDa (Roy et al. 1996 dalam Daboor et al. 2010), enzim ini berhubungan dengan organ pencernaan (Zefirova et al. 1996) dan dapat memecah struktur triple helix kolagen tipe I, II dan III serta terlibat pada produksi hormon dan degradasi protein, pembekuan darah dan fibrinolisis (Neurath 1984). Metallokolagenase merupakan enzim yang mengandung Zn yang membutuhkan kalsium untuk kestabilan (Stricklin et al. 1977). Metallokolagenase merupakan anggota Matrix Metalloproteinase (MMP) dengan berat molekul yang bervariasi dari 30 hingga 150 kDa (Harris & Vatar 1982). Selain itu, metallokolagenase termasuk dalam enzim ekstraseluler yang terlibat dalam pembentukan kembali matriks ekstraseluler, jenis enzim ini telah banyak dipelajari dari berbagai jaringan mamalia, bakteri dan bisa ular (Park et al. 2002). Kolagenase mempunyai banyak manfaat dan diaplikasikan pada industri pangan, obat-obatan dan riset, salah satunya digunakan dalam hidrolisis protein. Semua protein akan menghasilkan asam-asam amino bila dihidrolisis, tetapi ada beberapa protein yang disamping menghasilkan asam amino juga menghasilkan peptida (Bjarnason 2001). Gesualdo & Li-Chan (1999) menyatakan bahwa hidrolisis protein untuk menghasilkan peptida dan asam amino dapat dilakukan secara parsial menggunakan asam atau basa. Hidrolisis menggunakan asam maupun basa dapat merusak beberapa gugus asam amino dan menghasilkan senyawa karsinogenik, maka fungsi asam atau basa dapat digantikan oleh enzim yang spesifik. Pencarian enzim penghidrolisis kolagen (kolagenase) perlu dilakukan dalam rangka mengganti penggunaan asam dan basa. 6 Salah satu sumber enzim kolagenase yang telah diketahui adalah dari bakteri. Penelitian ekstraksi kolagenase dari bakteri sudah banyak dipublikasikan. Beberapa bakteri yang menghasilkan kolagenase adalah Bacillus subtillis FS-2 (Nagano & To 1999), Bacillus subtilis CN2 (Tran & Nagano 2002), Bacillus sp. MO-1 (Okamoto et al. 2001), Bacillus subtilis AS1.398 (Riu et al. 2009), Bacillus pumilus CoI-J (Wu et al. 2010), Streptomyces sp. strain 3B (Petrova et al. 2006a) dan Streptomyces parvulus (Sakurai et al. 2009). Beberapa karakterisasi kolagenase dari bakteri hasil penelitian sebelumnya terdapat pada Tabel 1. Konformasi triple-helix membuat kolagen resisten terhadap sebagian besar proteinase. Pada vertebrata, enzim yang dapat memecah triple-helix kolagen adalah kolagenase (Visse & Nagase 2003) dan kathepsin K (Garnero et al. 1998). Kathepsin K memecah kolagen pada lingkungan asam, sedangkan enzim kolagenolitik bekerja pada lingkungan pH netral dan termasuk anggota dari matriks metalloproteinase (MMP) (Sternlicht & Werb 2001). Grup yang termasuk kolagenase adalah MMP-1, MMP-8, MMP-13 dan MMP-18 dan yang termasuk gelatinase A adalah MMP-2 (Aimes & Quigley 1995; Patterson et al. 2001). Chung et al. (2004) menyelidiki mekanisme kolagenase dalam mendegradasi jaringan kolagen. Pada penelitiannya secara in vitro, digunakan dua substrat, yaitu kolagen utuh tipe I (kolagen fibril dari kulit dan tulang hewan) dan gelatin. Kolagenase yang digunakan adalah prototipe MMP-1 (E200A). Pada perbedaan substrat ini kolagenase mempunyai aktifitas yang tinggi pada kolagen dibandingkan dengan gelatin, sehingga ini membuktikan bahwa kolagenase lebih efektif bekerja pada kolagen yang belum terdenaturasi. Kolagenase dapat memecah tripolipeptida walaupun pada suhu tubuh 37 oC bahkan 100C dan 40C walaupun lebih sedikit kolagen yang terpecah. Kolagenase disintesis sebagai pre-proenzim dan disekresikan sebagai proenzim yang inaktif yang mengandung propeptida, domain katalitik, bagian yang kaya akan prolin dan domain C-terminal hemopexin (Hpx). Clark & Cawston (1989) pertama kali melaporkan pemecahan triple-helix kolagen oleh MMP-1 (kolagenase 1) yang membutuhkan domain C-terminal Hpx (hemopexin). Domain katalitik dalam keadaan sendiri masih memiliki aktivitas proteolitik pada 7 peptida dan protein non kolagen tetapi tidak dapat memecah kolagen (Clark & Cawston, 1989). Tabel 1. Karakteristik kolagenase dari beberapa bakteri Sumber Berat Molekul (kDa) pH optimum Suhu Optimum (0C) Ion logam sebagai aktivator Ion logam sebagai inhibitor Literatur Asdornnithee et al. Bacillus licheniformis N22 Bacillus subtilis CN2 120 dan 29 Bacillus cereus MBL13 38 7 – 8,5 50 Bacillus subtilis FS-2 125 9 50 Bacillus sp. MO-1 210 dan 9 105 70-75 Bacillus pumilus COI-J Alicyclobacillus sendaiensis Strain NTAP-1 Pseudomonas sp Streptomyces parvulus Streptomyces sp. strain 3B Streptomyces exfoliaus CFS 1068 Thermoactinom yces sp. 21E 58,64 7,5 45 37 3,9 60 45 7,4 45 52 9 37 Streptomyces sp. A8 75 14-30 116 dan 7,5 97 14,5 7 37 50 70-75 9-9,5 Ca2+, Zn2+ dan Mg2+ Ca2+ dan Mg2+ 70 Ca2+ dan Mg 2+ Cu2+ (1994) Tran & Nagano (2004) Liu et al. (2010) Hiroko & Kim (1999) Okamoto et al. (2001) 2+ Mn dan Wu et al. Pb2+ (2010) Tsuruoka et al. (2003) Hisano et al (1989) Sakurai et al. (2009) Petrova et al . (2006a) Jain & Jain (2010) Petrova et al . (2006b) 2+ Pb , ChakraborAg2+, ty & Cu2+ dan Chandra Zn2+ (1986) 8 Menurut Chung et al. (2004) domain katalitik yang mengandung Zn pada sisi aktifnya berikatan dengan substrat kolagen. Kemudian kolagenase pada bagian domain ini akan menggerakkan substrat kolagen triple helix yang kaku. Akibatnya ikatan antar residu asam amino Gly775-Ile776 pada α1(I) dan Gly775Leu776 pada α2(I) terhidrolisa dan terputus, sehingga rantai terpecah manjadi dua fragmen, ¼ dan ¾ fragmen, dimana N terminal berada pada fragmen ¼. Ikatan yang terputus pertama kali adalah pada salah satu rantai α1(I). Gambar langkahlangkah pemecahan kolagen oleh kolagenase tersaji pada Gambar 1. Gambar 1. Langkah-langkah pemecahan kolagen oleh kolagenase. Kolagenase mengikat pada kolagen sebelum memecah triple-helix kolagen (Chung et al. 2004). Sebagai enzim proteolitik, kolagenase banyak diaplikasikan pada bidang industri. Kolagen merupakan bagian yang menyebabkan daging merah menjadi liat, enzim kolagenase digunakan untuk mengempukkan daging (Cronlund & Woychik 1987). Kolagenase banyak digunakan pada proses penyamakan kulit 9 (Kanth et al. 2008). Aplikasi kolagenase lainnya adalah pada pembuatan peptida kolagen. Peranan kolagenase sangat penting dalam bidang biomedis. Rilley & Herman (2005) meneliti kolagenase untuk proses penyembuhan luka secara in vitro dan in vivo. Secara in vitro yaitu dengan menggunakan matriks ekstraseluler yang diberi perlakuan menggunakan kolagenase Clostridial (protease nonspesifik) dan bufer sebagai kontrol. Keratinosit disebar (plated) di atas matriks tersebut dan diamati parameternya yaitu ada dan tidak adanya kolagenase, heparin binding epidermal-like growth factor, proliferasi dan migrasi sel. Keratinosit merupakan membran dasar yang menyediakan scaffod dan matriks signal makromolekul yang bertanggung jawab terhadap regulasi sel selama masa perkembangan, dewasa, dan penyembuhan luka. Secara in vivo, digunakan luka pada bagian tubuh belakang Yucatan micropigs dengan membandingkan pengaruh kolagenase tersebut dengan Regranex (PDGF-BB) dan Solosite (carboxymethyl cellulose). Hasil dari penelitian Rilley & Herman (2005) menyimpulkan bahwa pada semua parameter yang diteliti yaitu pembentukan jaringan granulasi, inflamasi, re-epitelisasi, dan lama waktu penyembuhan menunjukkan bahwa dengan adanya kolagenase, parameter yang diteliti lebih baik dibandingkan perlakuan yang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kolagenase dapat menstimulasi respon seluler keratinosit pada luka secara in vitro dan dapat merupakan pendekatan terapi untuk penyembuhan luka secara in vivo. Penggunaan kolagenase lainnya yang cukup penting dalam bidang biomedis adalah dalam perbaikan radang pada jaringan, transplantasi klinis, fungsi seluler dalam penggumpalan darah, fibrinolisis dan fertilisasi (Simpson 2000). Kolagen Kolagen adalah salah satu protein utama dalam mahluk hidup. Kolagen terdiri dari tiga rantai polipeptida yang besar dan berulang. Polipeptida tersebut adalah glisin-prolin dan hidroksiprolin. Kolagen mengandung kira-kira 35% glisin dan 11% alanin, persentase asam amino ini agak luar biasa tinggi. Kandungan asam amino lainnya yang menonjol adalah prolin dan hidroksiprolin 10 yang tinggi yaitu asam amino yang jarang ditemukan pada protein selain pada kolagen. Asam amino prolin dan hidroksiprolin mencapai kira-kira 21% dari residu asam amino pada kolagen (Lehninger 1994a). Kolagen terdiri dari dua rantai α1(I) dan rantai α2 (I) yang distabilkan oleh ikatan hidrogen. Struktur kolagen dan interaksinya dengan enzim kolagenase (MMP-1) dapat dilihat pada Gambar 2. Kolagen Kolagenase Gambar 2. Struktur kolagen dan interaksinya dengan kolagenase (MMP-1). (A) Peptida triple-helix yang dijelaskan oleh Kramer et al. (2001) dan sisi aktif dari domain katalitik yang dijelaskan oleh Li et al. (1995). (B) Model peptida triple-helix dan MMP-1 yang diputar 900 ke arah kiri. Lokasi katalitik Zn ditunjukkan dengan panah. Kolagen secara luas digunakan pada pangan, farmasi, kosmetik, bahan biomedis dan industri kulit. Sumber utama industri kolagen berasal dari kulit dan tulang sapi dan babi. Tetapi sejak merebaknya penyakit sapi gila menimbulkan kebimbangan para pengguna kolagen sapi, disamping kolagen dari kulit dan tulang babi tidak dapat digunakan di beberapa daerah karena alasan agama. Limbah dari ikan seperti tulang dan sisik seperti halnya kulit banyak mengandung kolagen (Gomez-Guillen et al. 2002). Penelitian memanfaatkan organisme perairan sebagai sumber kolagen sudah banyak dilakukan (Nagai et al. 2001, 2002a, 2002b; Nagai dan Suzuki, 2000, 2002). Kolagen yang terdapat pada kulit ikan mas (Cyprinus carpio) memiliki kandungan yang tinggi yaitu 41,30% 11 sedangkan pada sisik ikan sebesar 1,35% dan pada tulang ikan sebesar 1,06% (Duan et al. 2006) Kolagen merupakan kelompok molekul yang terdiri lebih dari 20 jenis. Kolagen digolongkan menjadi dua, yaitu fibril dan non fibril. Kolagen tipe I, II, III dan V merupakan jenis kolagen fibril, sedangkan yang lain merupakan jenis nonfibril. Kolagen tipe I terdapat pada kulit, urat daging, pembuluh darah, organ tubuh dan tulang (komponen utama tulang), kolagen tipe III merupakan komponen utama serat reticular, kolagen tipe IV terdapat pada basement membran sel. Kolagen tipe V tersebar pada jaringan konektif. Kolagen tipe II dan XI merupakan kolagen spesifik tulang rawan. Sedangkan kolagen yang lain terdapat pada permukaan kolagen fibril dan antara kolagen fibril dan basement membran (Barrow & Shahidi 2008). Bakteri Bacillus licheniformis F11 Penghasil Protease Bakteri yang berpotensi sebagai sumber kolagenase dan merupakan koleksi Laboratorium Biondustri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) adalah B. licheniformis F11.1 dan B. licheniformis F11.4 yang merupakan hasil mutasi dari B.licheniformis F11. Bakteri B. licheniformis F11 dipilah dari Palembang Sumatera Selatan yang ditemukan memiliki aktivitas protease yang tinggi tetapi tanpa aktivitas kitinase (Waldeck et al. 2006) B. licheniformis F11 ditemukan berpotensi untuk proses deproteinasi (penghilangan protein) limbah udang untuk menjadi kitin dengan viskositas dan berat molekul yang tinggi karena tidak adanya aktivitas kitinase. Karakterisasi morfologi menunjukkan B. licheniformis F11 memiliki morfologi koloni rough (permukaan kasar). Karakteristik biokimia dan fisiologi menggunakan sistem API 50 CHB, oksidase, katalase dan tes Voges Proskauer mengidentifikasikan isolat yang ditemukan sebagai B. licheniformis. Analisis sekuen gen 16S rRNA mengindikasikan 100% sama dengan B. licheniformis DSM13/ATCC 14580. Analisis genetik yang meliputi sejumlah loci penyandi enzim degradatif extraselular, operon degS degU pada pengaturan sejumlah enzim, seperti locus pga yang menyandikan 12 sintesis asam poliglutamat juga dilakukan. Pencarian menggunakan Blastp menunjukkan hasil 99 sampai dengan 100% sama dengan locus B. licheniformis dengan satu kekecualian yaitu chiA (Waldek et al. 2006). Gambar 3. Prediksi sekuen kitinase A strain F5 dan F11 dengan prediksi sekuen kitinase B.licheniformis DSM13 dan MD1. (A) N-terminal yang diduga signal peptida dengan huruf tebal italics. Kitinase dari B.licheniformis DSM13 dan MD1 memiliki 693 asam amino sedangkan kitinase F5 dan F11 hanya memiliki 160 asam amino (B) mutasi frameshift dengan penghilangan A (Waldeck et al. 2006). Pada bakteri B. licheniformis F11 dilakukan mutasi dengan menghilangkan operon pembentukan poliglutamat (pga) yang merupakan gen pembentukan dinding sel bakteri (kapsul) menghasilkan B. licheniformis F11.1 (chiA, pga). B.licheniformis F11.1 menghasilkan aktivitas protease yang lebih tinggi dibandingkan dengan B. licheniformis F11 hal ini disebabkan pada B. licheniformis F11.1 sudah tidak memiliki kapsul sebagai penghalang difusi yang mempengaruhi persediaan oksigen dan sekresi enzim ektraselular (Hoffmann et al. 2010). B. licheniformis umumnya memiliki dua gen kitinase 13 yaitu chiA dan chiB yang menghasilkan enzim kitinase. Adanya enzim kitinase pada proses deproteinasi kitin akan menghasilkan kitin yang memiliki berat molekul rendah sehingga gen penyandi chiA dan chiB harus dihilangkan. B.licheniformis F11.1 secara alamiah telah terjadi mutasi sehingga tidak memiliki chiA ternyata dapat digunakan dalam hidrolisis protein limbah udang, tetapi tidak efisien pada produksi kitin secara besar-besaran, hal ini disebabkan masih ada gen kitinase (chiB) yang berpengaruh negatif pada produksi kitin. B.licheniformis F11.1 dilakukan mutasi lagi dengan menghilangkan gen chiB menghasilkan B.licheniformis F11.4 yaitu bakteri yang operon pembentukan poliglutamat (pga) dan chiBA sudah tidak ada (Hoffmann et al. 2010). Peptida sebagai Antioksidan Antioksidan didefinisikan sebagai substansi yang secara signifikan menghambat proses oksidasi pada konsentrasi rendah. Antioksidan dapat bekerja pada level yang berbeda dalam urutan oksidasi (Jun et al. 2004). Menurut Priyadarsini (2005) antioksidan adalah substansi kimia dalam jumlah rendah dapat mencegah oksidasi seluler organel dengan meminimalkan kerusakan sel akibat adanya ROS/RNS atau stress oksidasi. Oksidasi lemak merupakan masalah besar bagi industri pangan dan konsumen, karena terbentuknya off-flavor yang tidak diinginkan dan berpotensi menjadi produk yang bereaksi secara toksik (Park et al. 2001). Antioksidan digunakan untuk mengawetkan produk pangan dengan menghambat diskolorasi dan pembusukan sebagai akibat dari oksidasi. Oleh sebab itu, antioksidan penggunaannya meningkat untuk meningkatkan daya simpan dan meningkatkan stabilitas lemak dan pangan yang mengandung lemak. Menurut Charpentier & Cateora (1996), mekanisme kerja antioksidan adalah 1) menghambat terbentuknya radikal bebas, 2) menjadi perantara dalam netralisasi radikal bebas yang telah terbentuk (scavenger), 3) menurunkan kemampuan radikal bebas dalam reaksi oksidasi dan 4) menghambat enzim oksidatif, misalnya sitokrom P-450. Reaksi yang umum terjadi dalam mekanisme 14 antioksidan menurut Huang et al. (2005) digolongkan menjadi 2 yaitu hidrogen elektron transfer (HAT) dan elektron transfer (ET). Reaksi HAT umumnya terjadi akibat peroksidasi lemak yaitu antara radikal (X*) dengan antioksidan (AH) (reaksi 1) sedangkan ET akibat reaksi redok (reduksi oksidasi) dan adanya perubahan warna yang memudar yaitu reaksi radikal (X*) dengan antioksidan (AH) menghasilkan ion radikal dan antioksidan radikal (AH*+), kemudian menghasilkan produk yang stabil (XH) dan H2O yang mempengaruhi warna, yang dapat dilihat pada reaksi 2,3 dan 4. X* + AH X* + AH AH* + XH + A* (1) X* + AH* + (2) + (3) A* + H3O X* + H3O+ XH + H2O (4) Reaksi-reaksi di atas mendasari metode-metode penentuan kapasitas atau aktivitas antioksidan seperti DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhidrazil), ABTS (2,2 azinobis 3-ethylbenzothiazoline-6-sulfonic acid), FRAP (Ferric reducing antioxidant power), TEAC (total equivalent antioxidant capacity), ORAC (oxigen radical absorbance capacity), TRAP (total radical trapping antioxidant parameter), TAC (total antioxidant capacity), TOSC (total oxigen scavenging capacity), FCR (follin calcateau raegent) dan cupprac. Metode-metode analisis antioksidan yang didasari atas reaksi HAT adalah ORAC, TRAF, TAC, FCR dan TOSC sedangkan yang termasuk ET adalah DPPH, ABTS, FRAP, TEAC dan Cupprac (Prior et al. 2005). Contoh mekanisme scavenging radikal DPPH oleh antioksidan dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan sumbernya antioksidan ada dua yaitu antioksidan alami dan antioksidan sintetik. Antioksidan sintetik seperti butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), tertiary butylhydroquinone (TBHQ) dan propyl gallate ditambahkan pada produk pangan untuk memperlambat oksidasi lemak (Wanita & Lorenz 1996). Akan tetapi, penggunaan antioksidan sintetik pada bahan pangan harus mentaati regulasi yang ketat, karena berpotensi berbahaya terhadap kesehatan (Park et al. 2001). Kadar maksimum BHT dalam 15 bahan pangan adalah 200 ppm (Ketaren 1986). BHT dapat menyebabkan perubahan tiroid tikus, stimulasi sintesis DNA dan induksi enzim (Farago et al. 1989). Gambar 4. Mekanisme scavenging radikal DPPH oleh antioksidan (Ebada et al. 2008) Oleh sebab itu pencarian antioksidan alami sebagai alternatif antioksidan sintetik mendapat perhatian yang besar di kalangan peneliti. Beberapa penelitian aktivitas antioksidan dari protein sudah dilakukan seperti protein kedelai (Pratt 1972), bovine serum albumin (Yukami 1972), protein biji-bijian (Rhee et al. 1979), kasein susu (Yamaguchi et al. 1980), protein kuning telur (Park et al. 2001), hidrolisat gelatin kulit Allaska Pollack (Kim et al. 2001), protein daging babi (Carlsen et al. 2003), dan protein ikan yellowfin (Jun et al. 2004). Penelitian purifikasi dan karakterisasi peptida antioksidan sudah dilakukan. Jun et al. (2004) melakukan purifikasi dan karakterisasi peptida antioksidan dari hidrolisat enzimatik protein ikan yellowfin (Limanda aspera), peptida antioksidan ini bekerja secara sinergis dengan α-tokoferol. Purifikasi terhadap hidrolisat yang memiliki aktivitas tertinggi didapatkan memiliki berat molekul 13 kDa. Penelitian yang dilakukan oleh Je et al. (2007) yang melakukan purifikasi dan karakterisasi peptida antioksidan dari hidrolisis enzimatis tulang belakang tuna didapatkan peptida antioksidan dengan urutan sekuen 16 VKAGFAWTANQQLS (1.519 Da) yang memiliki aktivitas menghambat peroksidasi lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan α-tokoferol setelah 7 hari. Raghvan & Kristinsson (2008) melakukan penelitian tingkat kemanjuran antioksidan hidrolisat protein ikan nila, yang menunjukkan semakin tinggi derajat hidrolisis maka semakin tinggi aktivitas scavenging terhadap radikal DPPH. Analisis dengan menggunakan SDS-PAGE terhadap hidrolisat ikan nila menunjukkan semakin tinggi derajat hidrolisis maka berat molekulnya semakin rendah, sehingga semakin banyak peptida yang memiliki berat molekul rendah akan memiliki aktivitas scavenging yang lebih tinggi terhadap radikal DPPH. Khantaphant & Benjakul (2008) melakukan studi komparatif protease yang digunakan pada produksi hidrolisat gelatin yang menunjukkan hidrolisis hampir dipastikan meningkatkan aktivitas antioksidan. Beberapa peptida dari hasil hidrolisis yang bersifat antioksidan terdapat pada Tabel 2. Tabel 2. Beberapa peptida antioksidan Sumber peptida Daging ikan Yellowfin Nama peptida YFPH-I YFPH-II YFPH-III YFPH-VI YFPH-V Daging Ikan Bigeye Tuna Tulang belakang tuna Daging ikan Alaska Pollack APTDM Kasein k-kasein Berat Sekuen asam amino Molekul 10-23 kDa 6-13 kDa 5 kDa 0,9-5 kDa Kurang 1 kDa 10 N-terminal: Arg-ProAsp-Phe-Asp-Leu-GluPro-Pro-Tyr 1.222 Da H-Leu-Asn-Leu-Pro-ThrAla-Val-Tyr-Met-Val-ThrOH 1.519 Da VKAGFAWTANQQLS (Val-Lys- Ala-Gly-Phe-Ala-Trp-ThrAla-Asn-Gln-Gln-Lys-Ser) APH-I APH-II APH-III APH-IV APH-V 10-30 kDa 5-10 kDa 3-5 kDa 1-3 kDa Kurang 1 kDa Leu-Pro-His-Ser-Gly-Tyr (672 Da) Ala-Arg-His-Pro-His-IleSer-Phe-Met Sumber Jun et al. (2004) Je et al. (2008) Je at al. (2007) Je et al. (2005) Kudoh et al. (2001) 17 Pengaruh antioksidan pada scavenging radikal DPPH dikarenakan kemampuan mendonorkan hidrogen (Binsan et al. 2008). Suetsuna et al. (2000) menyatakan grup hidroksil fenolik pada asam amino aromatik (fenilalanin, triptopan, tirosin) berpotensi mendonorkan elektron. Asam amino histidin (polar +), prolin, alanin dan leusin (non polar) berkontribusi pada scavenging radikal (Kim et al. 2001). Hernandez-Ledesman et al. (2005) menyatakan triptopan dan tirosin (grup indolik dan fenolik) merupakan donor hidrogen. Secara umum semua hidrolisat yang mengandung peptida atau protein dapat mendonorkan hidrogen dan dapat bereaksi dengan radikal untuk mengubah menjadi produk yang lebih stabil, dengan demikian menghentikan reaksi rantai radikal. Peptida sebagai Inhibitor ACE (Angiotensin I-Converting Enzyme) Hipertensi dapat digolongkan dalam dua katagori yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer artinya hipertensi yang belum diketahui penyebabnya secara jelas. Berbagai faktor diduga turut berperan sebagai penyebab hipertensi seperti bertambahnya umur, stres psikologis dan hereditas (keturunan). Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya telah pasti, misalnya ginjal yang tidak berfungsi, pemakaian alat kontrasepsi dan terganggunya keseimbangan hormon yang merupakan faktor pengatur tekanan darah (Purwati et al. 1997). Peningkatan tekanan darah dapat disebabkan oleh renin (protease asam). Renin disekresi oleh sel juxtaglomerulus yang terdapat pada dinding arteriol aferan dan glomerulus. Renin masuk ke dalam darah bila perfusi ginjal menurun akibat turunnya tekanan darah atau adanya stenosis pada arteri ginjal, bila terjadi deplesi natrium akibat penurunan kadar natrium dalam tubuli ginjal serta bila terdapat stimulasi adrenergik melalui reseptor β1(Ganiswarna 1995). Renin merupakan enzim proteolitik yang memecahkan angiotensinogen menjadi angiotensin I yang tidak aktif, selanjutnya diubah menjadi angiotensin II yang aktif oleh ACE (Angiotensin I-Converting Enzyme). Angiotensin II bekerja pada reseptor di otot polos vaskuler, kortex adrenal, jantung dan sistem saraf 18 pusat. Angiotensin II berperan juga dalam menimbulkan kontriksi arteriol dan venula, menstimulasi sintesis dan sekresi aldosterol serta menstimulasi jantung dan sistem simpatis. Efeknya pada sistem syaraf pusat menstimulasi konsumsi air dan meningkatkan sekresi ADH (Anti diuretic hormone) atau hormon anti diuretik sehingga terjadi peningkatan resistensi periferal, reabsorbsi natrium dan air. Tekanan darah yang meningkat akan mengaktifkan mekanisme umpan balik sehingga mengurangi sekresi renin. Angiotensin II disebut juga hipertensin atau angiotonin yang menyebabkan arteriolar constriction dan peningkatan tekanan darah sistolik dan distolik. Angiotensin II merupakan salah satu vasocontrictor paling penting yang telah diketahui aktivitasnya yang mencapai 4 sampai 8 kali aktivitas nonepinefrin pada individu normal. Angiotensin II berpengaruh langsung terhadap cortex adrenal dalam peningkatan sekresi aldosteron. Aldosteron adalah hormon yang dapat meningkatkan reabsorbsi natrium dan klorida di tubulus distal. Sistem renin-angiotensin merupakan regulator utama dari sekresi aldosteron (Ganong 1983). Mekanisme ACE dalam meningkatkan hipertensi dapat dilihat pada Gambar 5. α2 globulin substrat Angiotensin α2 globulin substrat Angiotensin Renin Kallikrein Angiotensin I Bradikinin Angiotensin I-Converting Enzyme (ACE) Angiotensin II Inaktivasi Bradikinin Gambar 5. Mekanisme ACE dalam meningkatkan hipertensi (Beevers & Greegor 1987). 19 Hipertensi dihubungkan dengan insiden penyakit jantung koroner dan pencegahan hipertensi ini efektif untuk mengurangi resiko penyakit jantung koroner ini (MacMahon et al. 1990). Angiotensin I-converting enzyme (EC 3.4.15.1; ACE) memainkan peranan yang penting secara fisiologis dalam pengaturan tekanan darah (Skeggs et al. 1956). ACE dapat meningkatkan tekanan darah dengan mengubah dekapeptida angiotensin-I yang inaktif menjadi vasocontrictor angiotensin-II yang kuat (oktapeptida). ACE adalah enzim multifungsional yang dapat mengkatalisis degradasi bradikinin (Erdos 1975). Dengan demikian penghambatan aktivitas ACE dipertimbangkan digunakan pada pendekatan terapi pada pencegahan tekanan darah tinggi, karena dapat mengurangi aktivitas angiotensin-II dan meningkatkan kadar bradikinin. Disamping itu, beberapa inhibitor ACE juga memiliki efek yang bermanfaat pada metabolisme glukosa dan lemak (Pollare et al. 1999). Beberapa inhibitor ACE yang efektif sudah dikembangkan yaitu Captropil, Enalapril dan Lasinopril yang semuanya ini digunakan sebagai obat antihipertensi secara klinis (Kuster & Marshal 2005). Walaupun inihibitor ACE sintetik ini efektif sebagai obat antihipertensi, inhibitor ini memberikan efek yang kurang baik seperti batuk, reaksi alergi, gangguan rasa dan ruam kulit. Oleh karena itu, penelitian dan pengembangan untuk menemukan inhibitor ACE yang aman, inovatif dan ekonomis merupakan kebutuhan dalam pencegahan dan pengobatan hipertensi. Sejak ditemukannya inhibitor ACE dari bisa (racun) ular (Ferreira 1970), beberapa publikasi laporan penelitian tentang aktivitas penghambatan ACE sudah dilakukan seperti dari sake dan limbah sake (Saito et al. 1994), daging babi (Arahira et al. 2001), rapeseed (Marczak et al. 2003), protein ikan (Fahmi et al. 2004; Ichimura et al. 2003), protein whey (Vermeirssen 2004), kasein (Silva & Malcata 2005), kedelai (Kuba et al. 2005), dan hidrolisat protein dari ikan sardin (Bougatef et al. 2008). Peptida inhibitor ACE terdapat pada Tabel 3. 20 Tabel 3. Peptida inhibitor ACE Sumber peptida Kulit Alaska Pollack Daging tuna Daging bonito Perlakuan yang digunakan Alkalase + Pronase + Kolagenase Asam Berat Molekul - Sekuen asam amino referensi GPL GPM - PTHIKWGD Thermolisin - IKPLNY Kasein EMC (enzyme modified cheese) + N8 (Lb. casei) 791 Da YPFPGPI Byun & Kim (2001) Kohama et al. (1999) Yokohama et al. (1992) Haileselassie et al. (1998) EMC + ND96 (Lb.casei) 791 Da 2.211 Da 2.343 Da 2.263 Da 2.275 Da Kolagen sayap ayam Susu Skim Limbah ikan sardine EMC + NL72 (Lb.casei) 480 Da 2.073 Da Lb. helveticus, Saccaromyces cerevisiae - Lb.helveticus CP90 proteinase - LTLTDVE YPQRDMPIQAFLLYQEPV EMPFPKYPVEPFTESQSLTL Haileselassie et al. (1998) SLVYPFPGPIPNSLPQNIPPLT LVYPFPGPIPNSLPQNIPPLT PGPIP PKHKEMPFPPKYPVEPFT Haileselassie et al. (1998) VPP IPP Nakamura et al. (1995) LVLPVP(E) Maeno et al. (1999) Lb.rhamnosus + pepsin & Corolase DKIHPF Harnandez -Ledesma et al. (2004) Protease FP Gly-Ala-Hyp-Gly-Leu-HypGly-Pro Shimizu et al. (2010) VPP IPP FALMHY Pan et al (2004) Bougatef et al. (2008) - Lb. helveticus ICM 1004 Alkalin protease - 21 Hasil penelitian Li et al. (2004) menunjukkan peptida yang berpotensi tinggi sebagai inhibitor ACE adalah yang memiliki asam amino triptopan, fenilalanin, tirosin atau prolin pada C-terminal, dan asam amino alifatik bercabang (alanin, valin, isoleusin dan leusin) pada N-terminal. Penelitian lain menunjukkan bahwa prolin pada posisi ketiga dari yang terakhir pada sekuen peptida dapat meningkatkan pengikatan terhadap enzim ACE (Contreras et al. 2009). Sebagian besar peptida inhibitor ACE dari alam mengandung prolin pada C-terminal termasuk kolagen yang memiliki banyak residu asam amino prolin. Inhibitor komersial (Captropil dan Enalapril) juga mengandung residu prolin pada strukturnya (Aleman et al. 2011). Perkiraan model sisi pengikatan Captropil dan peptida pada sisi aktif enzim ACE dapat dilihat pada Gambar 6. A B Gambar 6. Perkiraan model sisi pengikatan Captropil dan peptida pada sisi aktif enzim ACE. (A) sisi pengikatan Captropil (Illingworth 2002), (B) sisi pengikatan peptida (Byun & Kim 2002) Peptida Sebagai Anti Kanker Kanker merupakan penyakit yang berawal dari kerusakan materi genetik atau DNA. Satu sel yang mengalami kerusakan genetika sudah cukup untuk menghasilkan jaringan kanker atau neoplasma. Menurut Levi (2000), sel normal menjadi jaringan kanker terjadi melalui beberapa rangkaian tahapan 22 (karsinogenesis) yaitu inisiasi, promosi dan progresi, yang dilanjutkan oleh adanya tahap metastasis tumor. Mekanisme kerja senyawa aktif dalam penghambatan proliferasi sel kanker dapat melalui berbagai cara, antara lain apoptosis (kematian terprogram), nekrosis, penghambatan siklus sel dan kegagalan ribosom untuk mensintesis protein. Beberapa mekanisme anti kanker peptida telah dilaporkan oleh banyak peneliti. Peptida dari kecap ikan anchovy meningkatkan apoptosis pada sel lymphoma manusia dengan cara meningkatkan caspase 3 dan caspase 8 (Lee et al. 2003). Lunasin, peptida kemopreventif dari kacang kedelai ditemukan sebagai anti kanker (Galvez et al. 2001). Peptida lunasin berkompetisi dengan histon asetil transferase (HAT) untuk berikatan dengan inti histon deasetilasi (HADC). Peptida berikatan dengan inti histon deasetilasi sehingga terjadi apoptosis. Apabila HAT berikatan dan inti histon akan berasetilasi, memberikan sinyal kepada promotor E2F untuk terjadinya transkripsi sehingga tidak terjadi apoptosis (de Lumen 2005). Peptida hidrofobik dari hidrolisat protein kedelai tanpa lemak dengan enzim thermoase menunjukkan terjadinya sitotoksik in vitro pada sel makrofag monosit tikus dan sekuennya adalah X-Met-Leu-Pro-Ser-Tyr-Ser-ProTyr (1157 Da) (Kim et al. 2000). Valorphin, peptida dari hemoglobin menunjukkan aktivitas antiproliferasi yang dihubungkan dengan adanya peptida spesifik yang bersifat toksik terhadap sel kanker (Blishchenko et al. 2005 dalam Picot et al. 2006). Peptida lactoferricin dari susu sapi dapat menghambat metastasis paru-paru dan angiogenesis pada tikus yang ditransplantasi murine melanoma, lymphoma dan karsinoma kolon (Yoo et al. 1997 dalam Hsu et al. 2011). Apoptosis merupakan mekanisme kematian sel tunggal atau sekelompok sel yang tersebar di antara sel-sel sehat atau sel-sel kanker, kematian sel terjadi karena perubahan metabolisme di dalam sel akibat sel mengalami gangguan sehingga mengalami kondensasi sitoplasma dan inti. Proses ini diikuti dengan pecahnya sel menjadi apoptotik sehingga ditelan oleh sel-sel di sekelilingnya dan diikuti penghancuran total (Govan et al. 1995) Pengamatan terhadap proliferasi sel dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan metode alamar blue atau metode 3-(4,5-dimethyl-2-thiazol)- 23 2,5 diphenyl-tetrazolium bromide (MTT), dan diamati secara spektrofotometrik. MTT merupakan metode oksidasi reduksi, dengan cara ini sel hidup dapat dihitung dengan mudah, cepat dan akurat. Prinsip dari metode ini adalah perubahan dari garam tetrazolium yang berwarna kuning menjadi kristal formazan yang berwarna biru/ungu akibat adanya akivitas enzim suksinat dehidrogenase pada bagian mitokondria (Doyle dan Griffith 2000). Metode lainnya adalah pewarnaan biru trifan, pada metode ini sel dihitung dengan haemositometer dan diamati di bawah mikroskop. Pada pewarnaan biru trifan sel hidup terlihat bening tidak berwarna, sedangkan sel mati akan menyerap warna dan pada pengamatan terilhat berwarna biru (Wilson 1992). Bioavailibilitas Peptida Bukti yang mengkonfirmasikan aktivitas antioksidan peptida bioaktif secara in vitro sudah banyak, yang penting adalah sulitnya menghubungkan antara sifat antioksidan secara in vitro dengan kapasitas antioksidan secara in vivo karena peptida akan terdegradasi dan termodifikasi di dalam usus, sistem vaskuler dan hati. Ini menyebabkan paptida harus mampu melewati rintangan dan menjangkau target. Pada kenyataannya sebagian kecil peptida bioaktif akan melewati rintangan usus dan ini biasanya terlalu kecil untuk menunjukkan efek gizi yang penting secara biologis pada level jaringan (Gardner 1988). Tabel 4 memperlihatkan sejumlah mekanisme absorpsi peptida utuh yaitu rute paraselular, difusi pasif, transpor via pengangkut (transporter), endositosis dan sistem limphatik. Peptida dan protein dapat lepas dari digesti enzim dan diabsorpsi dalam bentuk utuh melalui usus ke sistem limpatik usus akan tetapi kemampuan untuk masuk ke sistem limpatik usus dipengaruhi oleh permeabilitasnya via sirkulasi portal capillary dan kelarutan terhadap lemak (Deak & Csaky 1984). Ukuran molekul dan sifat struktural seperti hidrofobisitas berpengaruh terhadap rute transpor utama peptida (Shimizu et al. 2008). Penelitian 24 menunjukkan bahwa peptida dengan 2 - 6 asam amino lebih siap diabsorpsi dibandingkan dengan protein dan asam amino bebas (Grimble 1994). Robert et al. (1999) melaporkan bahwa peptida kecil (di dan tripeptida) dan peptida besar (10 51 asam amino) dapat menembus rintangan usus dan memperlihatkan fungsi biologis pada level jaringan, akan tetapi dengan meningkatnya berat molekul akan mengubahnya sehingga untuk menembus rintangan usus semakin menurun. Tabel 4. Rute pada absorbsi peptida Rute transportasi Rute paracelular Penjelasan Kandidat Peptida Referensi Difusi pasif Difusi melalui transselular Peptida hidrofobik oleh energi bebas proses difusi pasif Via transforter Keluarnya beberapa Peptida berukuran Gardner (1988) peptida dari enterosit ke kecil yang resisten pintu gerbang sirkulasi terhadap hidrolisis melalui transporter peptida yang terdapat pada membran basolateral usus Endositosis Pengikatan molekul ke Peptida polar yang Gardner (1988); dalam sel dan absorpsi ke biasanya berukuran Ziv & Bendayan dalam sel melalui besar (2000) vesiculization Sistem limpatik Absorbsi peptida dari Peptida yang Deak & Csaky ruang usus ke sistem berukuran besar (1984); Rubas & limpatik usus yang lipofilik yang Grass (1991) tinggi, akan diserap ke dalam pintu gerbang peredaran darah Difusi melalui junction Peptida larut air Gardner (1988) yang ketat di antara sel yang berukuran oleh energi bebas proses besar difusi pasif Ziv & Bendayan (2000) Hasil penelitian yang dilaporkan menunjukkan adanya prolin dan hidroksi prolin menyebabkan peptida resisten terhadap digesti enzim terutama tripeptida dengan Pro-Pro pada C-terminal yang menunjukkan resisten terhadap peptidase 25 spesifik prolin. Selanjutnya pada sebuah penelitian menunjukkan sejumlah peptida pada plasma manusia meningkat yang tergantung dosis yang diberikan, yang menunjukkan bahwa kejenuhan dari peptida transforter dapat mempengaruhi sejumlah peptida memasuki darah (Matsui et al. 2002) Sehubungan dengan tidak sempurnanya bioavailibilitas peptida dalam mengikuti proses pencernaan secara oral, suatu peptida dengan aktivitas antioksidan in vitro mungkin menunjukkan sedikit atau tidak ada aktivitas in vivo. Rute lain yang dapat meningkatkan perubahan absorpsi peptida diperlukan untuk mengurangi masalah ini. Aktivitas antioksidan in vivo mungkin dapat lebih tinggi dibandingkan aktivitas in vitro (Erdmann et al. 2008), peptida bioaktif memiliki fungsi biologi dengan mekanisme selain dari yang diterapkan di percobaan. Sebagai tambahan, aktivitas yang tinggi secara in vivo sehubungan dengan peningkatan aktivitas peptida sebagai akibat pemecahan oleh protease gastrointestinal. Hasil-hasil penelitian kinetika mengenai pencernaan susu yang dilakukan belakangan ini menunjukkan bahwa peptida bioaktif masih terdapat dalam usus halus walaupun protein susu telah dicerna oleh enzim-enzim pankreatik. Chabance et al. (1998) menemukan dua macam peptida yang berasal dari protein susu dan yoghurt yang dikonsumsi, yaitu κ-kasein-glikopeptida dan peptida N-terminal dari αS1-kasein dapat dideteksi dalam plasma darah. Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa peptida bioaktif dari protein susu dapat diserap oleh usus halus (tidak harus diubah terlebih dahulu menjadi asam amino), sehingga kemudian dapat menunjukkan aktivitas fisiologis pada berbagai macam organ tubuh.