Kolagenase Bacillus licheniformis F11 Asal

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Kolagenase
Kolagenase merupakan endopeptidase yang dapat memecah domain triple
helix dari kolagen. Berdasarkan fungsi fisiologisnya, kolagenase digolongkan
menjadi dua tipe, yaitu serin kolagenase dan metallokolagenase. Serin kolagenase
seperti semua serin proteinase, memiliki residu serin pada sisi katalitiknya
(Daboor et al. 2010). Serin kolagenase memiliki berat molekul pada kisaran
24 - 36 kDa (Roy et al. 1996 dalam Daboor et al. 2010), enzim ini berhubungan
dengan organ pencernaan (Zefirova et al. 1996) dan dapat memecah struktur triple
helix kolagen tipe I, II dan III serta terlibat pada produksi hormon dan degradasi
protein, pembekuan darah dan fibrinolisis (Neurath 1984). Metallokolagenase
merupakan enzim yang mengandung Zn yang membutuhkan kalsium untuk
kestabilan (Stricklin et al. 1977). Metallokolagenase merupakan anggota Matrix
Metalloproteinase (MMP) dengan berat molekul yang bervariasi dari 30 hingga
150 kDa (Harris & Vatar 1982). Selain itu, metallokolagenase termasuk dalam
enzim ekstraseluler yang terlibat dalam pembentukan kembali matriks
ekstraseluler, jenis enzim ini telah banyak dipelajari dari berbagai jaringan
mamalia, bakteri dan bisa ular (Park et al. 2002).
Kolagenase mempunyai banyak manfaat dan diaplikasikan pada industri
pangan, obat-obatan dan riset, salah satunya digunakan dalam hidrolisis protein.
Semua protein akan menghasilkan asam-asam amino bila dihidrolisis, tetapi ada
beberapa protein yang disamping menghasilkan asam amino juga menghasilkan
peptida (Bjarnason 2001). Gesualdo & Li-Chan (1999) menyatakan bahwa
hidrolisis protein untuk menghasilkan peptida dan asam amino dapat dilakukan
secara parsial menggunakan asam atau basa.
Hidrolisis menggunakan asam
maupun basa dapat merusak beberapa gugus asam amino dan menghasilkan
senyawa karsinogenik, maka fungsi asam atau basa dapat digantikan oleh enzim
yang spesifik.
Pencarian enzim penghidrolisis kolagen (kolagenase) perlu
dilakukan dalam rangka mengganti penggunaan asam dan basa.
6
Salah satu sumber enzim kolagenase yang telah diketahui adalah dari
bakteri. Penelitian ekstraksi kolagenase dari bakteri sudah banyak dipublikasikan.
Beberapa bakteri yang menghasilkan kolagenase adalah Bacillus subtillis FS-2
(Nagano & To 1999), Bacillus subtilis CN2 (Tran & Nagano 2002), Bacillus sp.
MO-1 (Okamoto et al. 2001), Bacillus subtilis AS1.398 (Riu et al. 2009), Bacillus
pumilus CoI-J (Wu et al. 2010), Streptomyces sp. strain 3B (Petrova et al. 2006a)
dan Streptomyces parvulus (Sakurai et al. 2009). Beberapa karakterisasi
kolagenase dari bakteri hasil penelitian sebelumnya terdapat pada Tabel 1.
Konformasi triple-helix membuat kolagen resisten terhadap sebagian besar
proteinase. Pada vertebrata, enzim yang dapat memecah triple-helix kolagen
adalah kolagenase (Visse & Nagase 2003) dan kathepsin K (Garnero et al. 1998).
Kathepsin K memecah
kolagen pada lingkungan asam, sedangkan enzim
kolagenolitik bekerja pada lingkungan pH netral dan termasuk anggota dari
matriks metalloproteinase (MMP) (Sternlicht & Werb 2001). Grup yang termasuk
kolagenase adalah MMP-1, MMP-8, MMP-13 dan MMP-18 dan yang termasuk
gelatinase A adalah MMP-2 (Aimes & Quigley 1995; Patterson et al. 2001).
Chung et al. (2004) menyelidiki mekanisme kolagenase dalam
mendegradasi jaringan kolagen. Pada penelitiannya secara in vitro, digunakan
dua substrat, yaitu kolagen utuh tipe I (kolagen fibril dari kulit dan tulang hewan)
dan gelatin. Kolagenase yang digunakan adalah prototipe MMP-1 (E200A). Pada
perbedaan substrat ini kolagenase mempunyai aktifitas yang tinggi pada kolagen
dibandingkan dengan gelatin, sehingga ini membuktikan bahwa kolagenase lebih
efektif bekerja pada kolagen yang belum terdenaturasi. Kolagenase dapat
memecah tripolipeptida walaupun pada suhu tubuh 37 oC bahkan 100C dan 40C
walaupun lebih sedikit kolagen yang terpecah.
Kolagenase disintesis sebagai pre-proenzim dan disekresikan sebagai
proenzim yang inaktif yang mengandung propeptida, domain katalitik, bagian
yang kaya akan prolin dan domain C-terminal hemopexin (Hpx).
Clark &
Cawston (1989) pertama kali melaporkan pemecahan triple-helix kolagen oleh
MMP-1 (kolagenase 1) yang membutuhkan domain C-terminal Hpx (hemopexin).
Domain katalitik dalam keadaan sendiri masih memiliki aktivitas proteolitik pada
7
peptida dan protein non kolagen tetapi tidak dapat memecah kolagen (Clark &
Cawston, 1989).
Tabel 1. Karakteristik kolagenase dari beberapa bakteri
Sumber
Berat
Molekul
(kDa)
pH
optimum
Suhu
Optimum
(0C)
Ion
logam
sebagai
aktivator
Ion
logam
sebagai
inhibitor
Literatur
Asdornnithee et al.
Bacillus
licheniformis
N22
Bacillus subtilis
CN2
120 dan
29
Bacillus cereus
MBL13
38
7 – 8,5
50
Bacillus subtilis
FS-2
125
9
50
Bacillus sp.
MO-1
210 dan 9
105
70-75
Bacillus
pumilus COI-J
Alicyclobacillus
sendaiensis
Strain NTAP-1
Pseudomonas
sp
Streptomyces
parvulus
Streptomyces
sp. strain 3B
Streptomyces
exfoliaus CFS
1068
Thermoactinom
yces sp. 21E
58,64
7,5
45
37
3,9
60
45
7,4
45
52
9
37
Streptomyces
sp. A8
75
14-30
116 dan 7,5
97
14,5
7
37
50
70-75
9-9,5
Ca2+,
Zn2+ dan
Mg2+
Ca2+ dan
Mg2+
70
Ca2+ dan
Mg 2+
Cu2+
(1994)
Tran &
Nagano
(2004)
Liu et al.
(2010)
Hiroko &
Kim
(1999)
Okamoto
et al.
(2001)
2+
Mn dan Wu et al.
Pb2+
(2010)
Tsuruoka
et al.
(2003)
Hisano et
al (1989)
Sakurai et
al. (2009)
Petrova et
al . (2006a)
Jain &
Jain
(2010)
Petrova et
al .
(2006b)
2+
Pb ,
ChakraborAg2+,
ty &
Cu2+ dan Chandra
Zn2+
(1986)
8
Menurut Chung et al. (2004) domain katalitik yang mengandung Zn pada
sisi aktifnya berikatan dengan substrat kolagen.
Kemudian kolagenase pada
bagian domain ini akan menggerakkan substrat kolagen triple helix yang kaku.
Akibatnya ikatan antar residu asam amino Gly775-Ile776 pada α1(I) dan Gly775Leu776 pada α2(I) terhidrolisa dan terputus, sehingga rantai terpecah manjadi dua
fragmen, ¼ dan ¾ fragmen, dimana N terminal berada pada fragmen ¼. Ikatan
yang terputus pertama kali adalah pada salah satu rantai α1(I). Gambar langkahlangkah pemecahan kolagen oleh kolagenase tersaji pada Gambar 1.
Gambar 1. Langkah-langkah pemecahan kolagen oleh kolagenase. Kolagenase
mengikat pada kolagen sebelum memecah triple-helix kolagen
(Chung et al. 2004).
Sebagai enzim proteolitik, kolagenase banyak diaplikasikan pada bidang
industri. Kolagen merupakan bagian yang menyebabkan daging merah menjadi
liat, enzim kolagenase digunakan untuk mengempukkan daging (Cronlund &
Woychik 1987). Kolagenase banyak digunakan pada proses penyamakan kulit
9
(Kanth et al. 2008). Aplikasi kolagenase lainnya adalah pada pembuatan peptida
kolagen.
Peranan kolagenase sangat penting dalam bidang biomedis. Rilley &
Herman (2005) meneliti kolagenase untuk proses penyembuhan luka secara in
vitro dan in vivo. Secara in vitro yaitu dengan menggunakan matriks ekstraseluler
yang diberi perlakuan menggunakan kolagenase Clostridial (protease nonspesifik)
dan bufer sebagai kontrol. Keratinosit disebar (plated) di atas matriks tersebut
dan diamati parameternya yaitu ada dan tidak adanya kolagenase, heparin binding
epidermal-like growth factor, proliferasi dan migrasi sel. Keratinosit merupakan
membran dasar yang menyediakan scaffod dan matriks signal makromolekul yang
bertanggung jawab terhadap regulasi sel selama masa perkembangan, dewasa, dan
penyembuhan luka. Secara in vivo, digunakan luka pada bagian tubuh belakang
Yucatan micropigs dengan membandingkan pengaruh kolagenase tersebut dengan
Regranex (PDGF-BB) dan Solosite (carboxymethyl cellulose).
Hasil dari
penelitian Rilley & Herman (2005) menyimpulkan bahwa pada semua parameter
yang diteliti yaitu pembentukan jaringan granulasi, inflamasi, re-epitelisasi, dan
lama waktu penyembuhan menunjukkan bahwa dengan adanya kolagenase,
parameter yang diteliti lebih baik dibandingkan perlakuan yang lain. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa kolagenase dapat menstimulasi respon seluler
keratinosit pada luka secara in vitro dan dapat merupakan pendekatan terapi untuk
penyembuhan luka secara in vivo. Penggunaan kolagenase lainnya yang cukup
penting dalam bidang biomedis adalah dalam perbaikan radang pada jaringan,
transplantasi klinis, fungsi seluler dalam penggumpalan darah, fibrinolisis dan
fertilisasi (Simpson 2000).
Kolagen
Kolagen adalah salah satu protein utama dalam mahluk hidup. Kolagen
terdiri dari tiga rantai polipeptida yang besar dan berulang. Polipeptida tersebut
adalah glisin-prolin dan hidroksiprolin.
Kolagen mengandung kira-kira 35%
glisin dan 11% alanin, persentase asam amino ini agak luar biasa tinggi.
Kandungan asam amino lainnya yang menonjol adalah prolin dan hidroksiprolin
10
yang tinggi yaitu asam amino yang jarang ditemukan pada protein selain pada
kolagen. Asam amino prolin dan hidroksiprolin mencapai kira-kira 21% dari
residu asam amino pada kolagen (Lehninger 1994a). Kolagen terdiri dari dua
rantai α1(I) dan rantai α2 (I) yang distabilkan oleh ikatan hidrogen. Struktur
kolagen dan interaksinya dengan enzim kolagenase (MMP-1) dapat dilihat pada
Gambar 2.
Kolagen
Kolagenase
Gambar 2. Struktur kolagen dan interaksinya dengan kolagenase (MMP-1). (A)
Peptida triple-helix yang dijelaskan oleh Kramer et al. (2001) dan sisi
aktif dari domain katalitik yang dijelaskan oleh Li et al. (1995). (B)
Model peptida triple-helix dan MMP-1 yang diputar 900 ke arah kiri.
Lokasi katalitik Zn ditunjukkan dengan panah.
Kolagen secara luas digunakan pada pangan, farmasi, kosmetik, bahan
biomedis dan industri kulit. Sumber utama industri kolagen berasal dari kulit dan
tulang sapi dan babi. Tetapi sejak merebaknya penyakit sapi gila menimbulkan
kebimbangan para pengguna kolagen sapi, disamping kolagen dari kulit dan
tulang babi tidak dapat digunakan di beberapa daerah karena alasan agama.
Limbah dari ikan seperti tulang dan sisik seperti halnya kulit banyak mengandung
kolagen (Gomez-Guillen et al. 2002).
Penelitian memanfaatkan organisme
perairan sebagai sumber kolagen sudah banyak dilakukan (Nagai et al. 2001,
2002a, 2002b; Nagai dan Suzuki, 2000, 2002). Kolagen yang terdapat pada kulit
ikan mas (Cyprinus carpio) memiliki kandungan yang tinggi yaitu 41,30%
11
sedangkan pada sisik ikan sebesar 1,35% dan pada tulang ikan sebesar 1,06%
(Duan et al. 2006)
Kolagen merupakan kelompok molekul yang terdiri lebih dari 20 jenis.
Kolagen digolongkan menjadi dua, yaitu fibril dan non fibril. Kolagen tipe I, II,
III dan V merupakan jenis kolagen fibril, sedangkan yang lain merupakan jenis
nonfibril. Kolagen tipe I terdapat pada kulit, urat daging, pembuluh darah, organ
tubuh dan tulang (komponen utama tulang), kolagen tipe III merupakan
komponen utama serat reticular, kolagen tipe IV terdapat pada basement membran
sel. Kolagen tipe V tersebar pada jaringan konektif. Kolagen tipe II dan XI
merupakan kolagen spesifik tulang rawan. Sedangkan kolagen yang lain terdapat
pada permukaan kolagen fibril dan antara kolagen fibril dan basement membran
(Barrow & Shahidi 2008).
Bakteri Bacillus licheniformis F11 Penghasil Protease
Bakteri yang berpotensi sebagai sumber kolagenase dan merupakan
koleksi Laboratorium Biondustri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT) adalah B. licheniformis F11.1 dan B. licheniformis F11.4 yang merupakan
hasil mutasi dari B.licheniformis F11. Bakteri B. licheniformis F11 dipilah dari
Palembang Sumatera Selatan yang ditemukan memiliki aktivitas protease yang
tinggi tetapi tanpa aktivitas kitinase (Waldeck et al. 2006) B. licheniformis F11
ditemukan berpotensi untuk proses deproteinasi (penghilangan protein) limbah
udang untuk menjadi kitin dengan viskositas dan berat molekul yang tinggi karena
tidak
adanya
aktivitas
kitinase.
Karakterisasi
morfologi
menunjukkan
B. licheniformis F11 memiliki morfologi koloni rough (permukaan kasar).
Karakteristik biokimia dan fisiologi menggunakan sistem API 50 CHB, oksidase,
katalase dan tes Voges Proskauer mengidentifikasikan isolat yang ditemukan
sebagai B. licheniformis. Analisis sekuen gen 16S rRNA mengindikasikan 100%
sama dengan
B. licheniformis DSM13/ATCC 14580. Analisis genetik yang
meliputi sejumlah loci penyandi enzim degradatif extraselular, operon degS degU pada pengaturan sejumlah enzim, seperti locus pga yang menyandikan
12
sintesis asam poliglutamat juga dilakukan.
Pencarian menggunakan Blastp
menunjukkan hasil 99 sampai dengan 100% sama dengan locus B. licheniformis
dengan satu kekecualian yaitu chiA (Waldek et al. 2006).
Gambar 3. Prediksi sekuen kitinase A strain F5 dan F11 dengan prediksi sekuen
kitinase B.licheniformis DSM13 dan MD1. (A) N-terminal yang
diduga signal peptida dengan huruf tebal italics. Kitinase dari
B.licheniformis DSM13 dan MD1 memiliki 693 asam amino
sedangkan kitinase F5 dan F11 hanya memiliki 160 asam amino (B)
mutasi frameshift dengan penghilangan A (Waldeck et al. 2006).
Pada
bakteri
B.
licheniformis
F11
dilakukan
mutasi
dengan
menghilangkan operon pembentukan poliglutamat (pga) yang merupakan gen
pembentukan dinding sel bakteri (kapsul) menghasilkan B. licheniformis F11.1
(chiA, pga). B.licheniformis F11.1 menghasilkan aktivitas protease yang lebih
tinggi dibandingkan dengan B. licheniformis F11 hal ini disebabkan pada
B. licheniformis F11.1 sudah tidak memiliki kapsul sebagai penghalang difusi
yang mempengaruhi persediaan oksigen dan sekresi enzim ektraselular
(Hoffmann et al. 2010). B. licheniformis umumnya memiliki dua gen kitinase
13
yaitu chiA dan chiB yang menghasilkan enzim kitinase. Adanya enzim kitinase
pada proses deproteinasi kitin akan menghasilkan kitin yang memiliki berat
molekul rendah sehingga gen penyandi chiA dan chiB harus dihilangkan.
B.licheniformis F11.1 secara alamiah telah terjadi mutasi sehingga tidak memiliki
chiA ternyata dapat digunakan dalam hidrolisis protein limbah udang, tetapi
tidak efisien pada produksi kitin secara besar-besaran, hal ini disebabkan masih
ada gen kitinase
(chiB) yang berpengaruh negatif pada produksi kitin.
B.licheniformis F11.1 dilakukan mutasi lagi dengan menghilangkan gen chiB
menghasilkan B.licheniformis F11.4 yaitu bakteri yang operon pembentukan
poliglutamat (pga) dan chiBA sudah tidak ada (Hoffmann et al. 2010).
Peptida sebagai Antioksidan
Antioksidan didefinisikan sebagai substansi yang secara signifikan
menghambat proses oksidasi pada konsentrasi rendah. Antioksidan dapat bekerja
pada level yang berbeda dalam urutan oksidasi (Jun et al. 2004). Menurut
Priyadarsini (2005) antioksidan adalah substansi kimia dalam jumlah rendah dapat
mencegah oksidasi seluler organel dengan meminimalkan kerusakan sel akibat
adanya ROS/RNS atau stress oksidasi.
Oksidasi lemak merupakan masalah besar bagi industri pangan dan
konsumen, karena terbentuknya off-flavor yang tidak diinginkan dan berpotensi
menjadi produk yang bereaksi secara toksik (Park et al. 2001). Antioksidan
digunakan untuk mengawetkan produk pangan dengan menghambat diskolorasi
dan pembusukan sebagai akibat dari oksidasi. Oleh sebab itu, antioksidan
penggunaannya meningkat untuk meningkatkan daya simpan dan meningkatkan
stabilitas lemak dan pangan yang mengandung lemak.
Menurut Charpentier & Cateora (1996), mekanisme kerja antioksidan
adalah 1) menghambat terbentuknya radikal bebas, 2) menjadi perantara dalam
netralisasi radikal bebas yang telah terbentuk (scavenger), 3) menurunkan
kemampuan radikal bebas dalam reaksi oksidasi dan 4) menghambat enzim
oksidatif, misalnya sitokrom P-450. Reaksi yang umum terjadi dalam mekanisme
14
antioksidan menurut Huang et al. (2005) digolongkan menjadi 2 yaitu hidrogen
elektron transfer (HAT) dan elektron transfer (ET). Reaksi HAT umumnya
terjadi akibat peroksidasi lemak yaitu antara radikal (X*) dengan antioksidan
(AH) (reaksi 1) sedangkan ET akibat reaksi redok (reduksi oksidasi) dan adanya
perubahan warna yang memudar yaitu reaksi radikal (X*) dengan antioksidan
(AH) menghasilkan ion radikal dan antioksidan radikal (AH*+), kemudian
menghasilkan produk yang stabil (XH) dan H2O yang mempengaruhi warna, yang
dapat dilihat pada reaksi 2,3 dan 4.
X* + AH
X* + AH
AH*
+
 XH + A*
(1)
 X* + AH*
+
(2)

+
(3)
A* + H3O
X* + H3O+  XH + H2O
(4)
Reaksi-reaksi di atas mendasari metode-metode penentuan kapasitas atau
aktivitas antioksidan seperti DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhidrazil), ABTS (2,2
azinobis
3-ethylbenzothiazoline-6-sulfonic
acid),
FRAP
(Ferric
reducing
antioxidant power), TEAC (total equivalent antioxidant capacity), ORAC (oxigen
radical absorbance capacity), TRAP (total radical trapping antioxidant
parameter), TAC (total antioxidant capacity), TOSC (total oxigen scavenging
capacity), FCR (follin calcateau raegent) dan cupprac. Metode-metode analisis
antioksidan yang didasari atas reaksi HAT adalah ORAC, TRAF, TAC, FCR dan
TOSC sedangkan yang termasuk ET adalah DPPH, ABTS, FRAP, TEAC dan
Cupprac (Prior et al. 2005). Contoh mekanisme scavenging radikal DPPH oleh
antioksidan dapat dilihat pada Gambar 4.
Berdasarkan sumbernya antioksidan ada dua yaitu antioksidan alami dan
antioksidan sintetik.
Antioksidan sintetik seperti butylated hydroxyanisole
(BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), tertiary butylhydroquinone (TBHQ) dan
propyl gallate ditambahkan pada produk pangan untuk memperlambat oksidasi
lemak (Wanita & Lorenz 1996). Akan tetapi, penggunaan antioksidan sintetik
pada bahan pangan harus mentaati regulasi yang ketat, karena berpotensi
berbahaya terhadap kesehatan (Park et al. 2001). Kadar maksimum BHT dalam
15
bahan pangan adalah 200 ppm (Ketaren 1986). BHT dapat menyebabkan
perubahan tiroid tikus, stimulasi sintesis DNA dan induksi enzim (Farago et al.
1989).
Gambar 4. Mekanisme scavenging radikal DPPH oleh antioksidan (Ebada et al.
2008)
Oleh sebab itu pencarian antioksidan alami sebagai alternatif antioksidan
sintetik mendapat perhatian yang besar di kalangan peneliti. Beberapa penelitian
aktivitas antioksidan dari protein sudah dilakukan seperti protein kedelai (Pratt
1972), bovine serum albumin (Yukami 1972), protein biji-bijian (Rhee et al.
1979), kasein susu (Yamaguchi et al. 1980), protein kuning telur (Park et al.
2001), hidrolisat gelatin kulit Allaska Pollack (Kim et al. 2001), protein daging
babi (Carlsen et al. 2003), dan protein ikan yellowfin (Jun et al. 2004).
Penelitian purifikasi dan karakterisasi peptida antioksidan sudah
dilakukan. Jun et al. (2004) melakukan purifikasi dan karakterisasi peptida
antioksidan dari hidrolisat enzimatik protein ikan yellowfin (Limanda aspera),
peptida antioksidan ini bekerja secara sinergis dengan α-tokoferol. Purifikasi
terhadap hidrolisat yang memiliki aktivitas tertinggi didapatkan memiliki berat
molekul 13 kDa. Penelitian yang dilakukan oleh Je et al. (2007) yang melakukan
purifikasi dan karakterisasi peptida antioksidan dari hidrolisis enzimatis tulang
belakang
tuna
didapatkan
peptida
antioksidan
dengan
urutan
sekuen
16
VKAGFAWTANQQLS (1.519 Da) yang memiliki aktivitas menghambat
peroksidasi lemak yang lebih tinggi dibandingkan dengan α-tokoferol setelah 7
hari. Raghvan & Kristinsson (2008) melakukan penelitian tingkat kemanjuran
antioksidan hidrolisat protein ikan nila, yang menunjukkan semakin tinggi derajat
hidrolisis maka semakin tinggi aktivitas scavenging terhadap radikal DPPH.
Analisis dengan menggunakan SDS-PAGE terhadap hidrolisat ikan nila
menunjukkan semakin tinggi derajat hidrolisis maka berat molekulnya semakin
rendah, sehingga semakin banyak peptida yang memiliki berat molekul rendah
akan memiliki aktivitas scavenging yang lebih tinggi terhadap radikal DPPH.
Khantaphant & Benjakul (2008) melakukan studi komparatif protease yang
digunakan pada produksi hidrolisat gelatin yang menunjukkan hidrolisis hampir
dipastikan meningkatkan aktivitas antioksidan. Beberapa peptida dari hasil
hidrolisis yang bersifat antioksidan terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2. Beberapa peptida antioksidan
Sumber
peptida
Daging
ikan
Yellowfin
Nama
peptida
YFPH-I
YFPH-II
YFPH-III
YFPH-VI
YFPH-V
Daging
Ikan
Bigeye
Tuna
Tulang
belakang
tuna
Daging
ikan
Alaska
Pollack
APTDM
Kasein
k-kasein
Berat
Sekuen asam amino
Molekul
10-23 kDa
6-13 kDa
5 kDa
0,9-5 kDa
Kurang 1 kDa 10 N-terminal: Arg-ProAsp-Phe-Asp-Leu-GluPro-Pro-Tyr
1.222 Da
H-Leu-Asn-Leu-Pro-ThrAla-Val-Tyr-Met-Val-ThrOH
1.519 Da
VKAGFAWTANQQLS (Val-Lys-
Ala-Gly-Phe-Ala-Trp-ThrAla-Asn-Gln-Gln-Lys-Ser)
APH-I
APH-II
APH-III
APH-IV
APH-V
10-30 kDa
5-10 kDa
3-5 kDa
1-3 kDa
Kurang 1 kDa Leu-Pro-His-Ser-Gly-Tyr
(672 Da)
Ala-Arg-His-Pro-His-IleSer-Phe-Met
Sumber
Jun et al.
(2004)
Je et al.
(2008)
Je at al.
(2007)
Je et al.
(2005)
Kudoh et
al. (2001)
17
Pengaruh antioksidan pada scavenging radikal DPPH dikarenakan
kemampuan mendonorkan hidrogen (Binsan et al. 2008). Suetsuna et al. (2000)
menyatakan grup hidroksil fenolik pada asam amino aromatik (fenilalanin,
triptopan, tirosin) berpotensi mendonorkan elektron. Asam amino histidin (polar
+), prolin, alanin dan leusin (non polar) berkontribusi pada scavenging radikal
(Kim et al. 2001). Hernandez-Ledesman et al. (2005) menyatakan triptopan dan
tirosin (grup indolik dan fenolik) merupakan donor hidrogen. Secara umum semua
hidrolisat yang mengandung peptida atau protein dapat mendonorkan hidrogen
dan dapat bereaksi dengan radikal untuk mengubah menjadi produk yang lebih
stabil, dengan demikian menghentikan reaksi rantai radikal.
Peptida sebagai Inhibitor ACE (Angiotensin I-Converting Enzyme)
Hipertensi dapat digolongkan dalam dua katagori yaitu hipertensi primer
dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer artinya hipertensi yang belum
diketahui penyebabnya secara
jelas.
Berbagai faktor diduga turut berperan
sebagai penyebab hipertensi seperti bertambahnya umur, stres psikologis dan
hereditas (keturunan). Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya
telah pasti, misalnya ginjal yang tidak berfungsi, pemakaian alat kontrasepsi dan
terganggunya keseimbangan hormon yang merupakan faktor pengatur tekanan
darah (Purwati et al. 1997).
Peningkatan tekanan darah dapat disebabkan oleh renin (protease asam).
Renin disekresi oleh sel juxtaglomerulus yang terdapat pada dinding arteriol
aferan dan glomerulus. Renin masuk ke dalam darah bila perfusi ginjal menurun
akibat turunnya tekanan darah atau adanya stenosis pada arteri ginjal, bila terjadi
deplesi natrium akibat penurunan kadar natrium dalam tubuli ginjal serta bila
terdapat stimulasi adrenergik melalui reseptor β1(Ganiswarna 1995).
Renin merupakan enzim proteolitik yang memecahkan angiotensinogen
menjadi angiotensin I yang tidak aktif, selanjutnya diubah menjadi angiotensin II
yang aktif oleh ACE (Angiotensin I-Converting Enzyme). Angiotensin II bekerja
pada reseptor di otot polos vaskuler, kortex adrenal, jantung dan sistem saraf
18
pusat. Angiotensin II berperan juga dalam menimbulkan kontriksi arteriol dan
venula, menstimulasi sintesis dan sekresi aldosterol serta menstimulasi jantung
dan sistem simpatis. Efeknya pada sistem syaraf pusat menstimulasi konsumsi air
dan meningkatkan sekresi ADH (Anti diuretic hormone) atau hormon anti diuretik
sehingga terjadi peningkatan resistensi periferal, reabsorbsi natrium dan air.
Tekanan darah yang meningkat akan mengaktifkan mekanisme umpan balik
sehingga mengurangi sekresi renin. Angiotensin II disebut juga hipertensin atau
angiotonin yang menyebabkan arteriolar constriction dan peningkatan tekanan
darah sistolik dan distolik. Angiotensin II merupakan salah satu vasocontrictor
paling penting yang telah diketahui aktivitasnya yang mencapai 4 sampai 8 kali
aktivitas nonepinefrin pada individu normal. Angiotensin II berpengaruh langsung
terhadap cortex adrenal dalam peningkatan sekresi aldosteron. Aldosteron adalah
hormon yang dapat meningkatkan reabsorbsi natrium dan klorida di tubulus
distal. Sistem renin-angiotensin merupakan regulator utama dari sekresi
aldosteron (Ganong 1983).
Mekanisme ACE dalam meningkatkan hipertensi
dapat dilihat pada Gambar 5.
α2 globulin
substrat
Angiotensin
α2 globulin
substrat
Angiotensin
Renin
Kallikrein
Angiotensin I
Bradikinin
Angiotensin I-Converting
Enzyme (ACE)
Angiotensin II
Inaktivasi
Bradikinin
Gambar 5. Mekanisme ACE dalam meningkatkan hipertensi (Beevers & Greegor
1987).
19
Hipertensi dihubungkan dengan insiden penyakit jantung koroner dan
pencegahan hipertensi ini efektif untuk mengurangi resiko penyakit jantung
koroner ini (MacMahon et al. 1990).
Angiotensin I-converting enzyme (EC
3.4.15.1; ACE) memainkan peranan yang penting secara fisiologis dalam
pengaturan tekanan darah (Skeggs et al. 1956). ACE dapat meningkatkan tekanan
darah dengan mengubah dekapeptida angiotensin-I yang inaktif menjadi
vasocontrictor angiotensin-II yang kuat (oktapeptida).
ACE adalah enzim
multifungsional yang dapat mengkatalisis degradasi bradikinin (Erdos 1975).
Dengan demikian penghambatan aktivitas ACE dipertimbangkan digunakan pada
pendekatan terapi pada pencegahan tekanan darah tinggi, karena dapat
mengurangi aktivitas angiotensin-II dan meningkatkan kadar bradikinin.
Disamping itu, beberapa inhibitor ACE juga memiliki efek yang bermanfaat pada
metabolisme glukosa dan lemak (Pollare et al. 1999).
Beberapa inhibitor ACE yang efektif sudah dikembangkan yaitu Captropil,
Enalapril dan Lasinopril yang semuanya ini digunakan sebagai obat antihipertensi
secara klinis (Kuster & Marshal 2005). Walaupun inihibitor ACE sintetik ini
efektif sebagai obat antihipertensi, inhibitor ini memberikan efek yang kurang
baik seperti batuk, reaksi alergi, gangguan rasa dan ruam kulit. Oleh karena itu,
penelitian dan pengembangan untuk menemukan inhibitor ACE yang aman,
inovatif dan ekonomis merupakan kebutuhan dalam pencegahan dan pengobatan
hipertensi.
Sejak ditemukannya inhibitor ACE dari bisa (racun) ular (Ferreira 1970),
beberapa publikasi laporan penelitian tentang aktivitas penghambatan ACE sudah
dilakukan seperti dari sake dan limbah sake (Saito et al. 1994), daging babi
(Arahira et al. 2001), rapeseed (Marczak et al. 2003), protein ikan (Fahmi et al.
2004; Ichimura et al. 2003), protein whey (Vermeirssen 2004), kasein (Silva &
Malcata 2005), kedelai (Kuba et al. 2005), dan hidrolisat protein dari ikan sardin
(Bougatef et al. 2008). Peptida inhibitor ACE terdapat pada Tabel 3.
20
Tabel 3. Peptida inhibitor ACE
Sumber
peptida
Kulit
Alaska
Pollack
Daging
tuna
Daging
bonito
Perlakuan yang
digunakan
Alkalase +
Pronase +
Kolagenase
Asam
Berat
Molekul
-
Sekuen asam amino
referensi
GPL
GPM
-
PTHIKWGD
Thermolisin
-
IKPLNY
Kasein
EMC (enzyme
modified
cheese) + N8
(Lb. casei)
791 Da
YPFPGPI
Byun &
Kim
(2001)
Kohama et
al. (1999)
Yokohama
et al.
(1992)
Haileselassie et al.
(1998)
EMC + ND96
(Lb.casei)
791 Da
2.211 Da
2.343 Da
2.263 Da
2.275 Da
Kolagen
sayap
ayam
Susu
Skim
Limbah
ikan
sardine
EMC + NL72
(Lb.casei)
480 Da
2.073 Da
Lb. helveticus,
Saccaromyces
cerevisiae
-
Lb.helveticus
CP90 proteinase
-
LTLTDVE
YPQRDMPIQAFLLYQEPV
EMPFPKYPVEPFTESQSLTL
Haileselassie et al.
(1998)
SLVYPFPGPIPNSLPQNIPPLT
LVYPFPGPIPNSLPQNIPPLT
PGPIP
PKHKEMPFPPKYPVEPFT
Haileselassie et al.
(1998)
VPP
IPP
Nakamura
et al.
(1995)
LVLPVP(E)
Maeno et
al. (1999)
Lb.rhamnosus + pepsin &
Corolase
DKIHPF
Harnandez
-Ledesma
et al.
(2004)
Protease FP
Gly-Ala-Hyp-Gly-Leu-HypGly-Pro
Shimizu et
al. (2010)
VPP
IPP
FALMHY
Pan et al
(2004)
Bougatef
et al.
(2008)
-
Lb. helveticus
ICM 1004
Alkalin protease -
21
Hasil penelitian Li et al. (2004) menunjukkan peptida yang berpotensi
tinggi sebagai inhibitor ACE adalah yang memiliki asam amino triptopan,
fenilalanin, tirosin atau prolin pada C-terminal, dan asam amino alifatik bercabang
(alanin, valin, isoleusin dan leusin) pada N-terminal. Penelitian lain menunjukkan
bahwa prolin pada posisi ketiga dari yang terakhir pada sekuen peptida dapat
meningkatkan pengikatan terhadap enzim ACE (Contreras et al. 2009). Sebagian
besar
peptida inhibitor ACE dari alam mengandung prolin pada C-terminal
termasuk kolagen yang memiliki banyak residu asam amino prolin. Inhibitor
komersial (Captropil dan Enalapril) juga mengandung residu prolin pada strukturnya
(Aleman et al. 2011). Perkiraan model sisi pengikatan Captropil dan peptida pada sisi
aktif enzim ACE dapat dilihat pada Gambar 6.
A
B
Gambar 6. Perkiraan model sisi pengikatan Captropil dan peptida pada sisi aktif
enzim ACE. (A) sisi pengikatan Captropil (Illingworth 2002), (B) sisi
pengikatan peptida (Byun & Kim 2002)
Peptida Sebagai Anti Kanker
Kanker merupakan penyakit yang berawal dari kerusakan materi genetik
atau DNA. Satu sel yang mengalami kerusakan genetika sudah cukup untuk
menghasilkan jaringan kanker atau neoplasma. Menurut Levi (2000), sel normal
menjadi
jaringan
kanker
terjadi
melalui
beberapa
rangkaian
tahapan
22
(karsinogenesis) yaitu inisiasi, promosi dan progresi, yang dilanjutkan oleh
adanya tahap metastasis tumor.
Mekanisme kerja senyawa aktif dalam penghambatan proliferasi sel
kanker dapat melalui berbagai cara, antara lain apoptosis (kematian terprogram),
nekrosis, penghambatan siklus sel dan kegagalan ribosom untuk mensintesis
protein. Beberapa mekanisme anti kanker peptida telah dilaporkan oleh banyak
peneliti. Peptida dari kecap ikan anchovy meningkatkan apoptosis pada sel
lymphoma manusia dengan cara meningkatkan caspase 3 dan caspase 8 (Lee et al.
2003). Lunasin, peptida kemopreventif dari kacang kedelai ditemukan sebagai
anti kanker (Galvez et al. 2001). Peptida lunasin berkompetisi dengan histon
asetil transferase (HAT) untuk berikatan dengan inti histon deasetilasi (HADC).
Peptida
berikatan dengan inti histon deasetilasi sehingga terjadi apoptosis.
Apabila HAT berikatan dan inti histon akan berasetilasi, memberikan sinyal
kepada promotor E2F untuk terjadinya transkripsi sehingga tidak terjadi apoptosis
(de Lumen 2005). Peptida hidrofobik dari hidrolisat protein kedelai tanpa lemak
dengan enzim thermoase menunjukkan terjadinya sitotoksik in vitro pada sel
makrofag monosit tikus dan sekuennya adalah X-Met-Leu-Pro-Ser-Tyr-Ser-ProTyr (1157 Da) (Kim et al. 2000). Valorphin,
peptida dari hemoglobin
menunjukkan aktivitas antiproliferasi yang dihubungkan dengan adanya peptida
spesifik yang bersifat toksik terhadap sel kanker (Blishchenko et al. 2005 dalam
Picot et al. 2006). Peptida lactoferricin dari susu sapi dapat menghambat
metastasis paru-paru dan angiogenesis pada tikus yang ditransplantasi murine
melanoma, lymphoma dan karsinoma kolon (Yoo et al. 1997 dalam Hsu et al.
2011).
Apoptosis merupakan mekanisme kematian sel tunggal atau sekelompok
sel yang tersebar di antara sel-sel sehat atau sel-sel kanker, kematian sel terjadi
karena perubahan metabolisme di dalam sel akibat sel mengalami gangguan
sehingga mengalami kondensasi sitoplasma dan inti. Proses ini diikuti dengan
pecahnya sel menjadi apoptotik sehingga ditelan oleh sel-sel di sekelilingnya dan
diikuti penghancuran total (Govan et al. 1995)
Pengamatan terhadap proliferasi sel dapat dilakukan dengan berbagai cara,
antara lain dengan metode alamar blue atau metode 3-(4,5-dimethyl-2-thiazol)-
23
2,5 diphenyl-tetrazolium bromide (MTT), dan diamati secara spektrofotometrik.
MTT
merupakan metode oksidasi reduksi, dengan cara ini sel hidup dapat
dihitung dengan mudah, cepat dan akurat.
Prinsip dari metode ini adalah
perubahan dari garam tetrazolium yang berwarna kuning menjadi kristal formazan
yang berwarna biru/ungu akibat adanya akivitas enzim suksinat dehidrogenase
pada bagian mitokondria (Doyle dan Griffith 2000).
Metode lainnya adalah pewarnaan biru trifan, pada metode ini sel dihitung
dengan haemositometer dan diamati di bawah mikroskop. Pada pewarnaan biru
trifan sel hidup terlihat bening tidak berwarna, sedangkan sel mati akan menyerap
warna dan pada pengamatan terilhat berwarna biru (Wilson 1992).
Bioavailibilitas Peptida
Bukti yang mengkonfirmasikan aktivitas antioksidan peptida bioaktif
secara in vitro sudah banyak,
yang penting adalah sulitnya menghubungkan
antara sifat antioksidan secara in vitro dengan kapasitas antioksidan secara in vivo
karena peptida akan terdegradasi dan termodifikasi di dalam usus, sistem vaskuler
dan hati.
Ini menyebabkan paptida harus mampu melewati rintangan dan
menjangkau target.
Pada kenyataannya sebagian kecil peptida bioaktif akan melewati
rintangan usus dan ini biasanya terlalu kecil untuk menunjukkan efek gizi yang
penting secara biologis pada level jaringan (Gardner 1988).
Tabel 4
memperlihatkan sejumlah mekanisme absorpsi peptida utuh yaitu rute paraselular,
difusi pasif, transpor via pengangkut (transporter), endositosis dan sistem
limphatik.
Peptida dan protein dapat lepas dari digesti enzim dan diabsorpsi dalam
bentuk utuh melalui usus ke sistem limpatik usus akan tetapi kemampuan untuk
masuk ke sistem limpatik usus dipengaruhi oleh permeabilitasnya via sirkulasi
portal capillary dan kelarutan terhadap lemak (Deak & Csaky 1984).
Ukuran molekul dan sifat struktural seperti hidrofobisitas berpengaruh
terhadap rute transpor utama peptida (Shimizu et al. 2008).
Penelitian
24
menunjukkan bahwa peptida dengan 2 - 6 asam amino lebih siap diabsorpsi
dibandingkan dengan protein dan asam amino bebas (Grimble 1994). Robert et al.
(1999) melaporkan bahwa peptida kecil (di dan tripeptida) dan peptida besar (10 51 asam amino) dapat menembus rintangan usus dan memperlihatkan fungsi
biologis pada level jaringan, akan tetapi dengan meningkatnya berat molekul akan
mengubahnya sehingga untuk menembus rintangan usus semakin menurun.
Tabel 4. Rute pada absorbsi peptida
Rute
transportasi
Rute
paracelular
Penjelasan
Kandidat Peptida
Referensi
Difusi pasif
Difusi melalui transselular Peptida hidrofobik
oleh energi bebas proses
difusi pasif
Via
transforter
Keluarnya
beberapa Peptida berukuran Gardner (1988)
peptida dari enterosit ke kecil yang resisten
pintu gerbang sirkulasi terhadap hidrolisis
melalui transporter peptida
yang
terdapat
pada
membran basolateral usus
Endositosis
Pengikatan molekul ke Peptida polar yang Gardner (1988);
dalam sel dan absorpsi ke biasanya berukuran Ziv & Bendayan
dalam
sel
melalui besar
(2000)
vesiculization
Sistem
limpatik
Absorbsi peptida dari Peptida
yang Deak & Csaky
ruang usus ke sistem berukuran
besar (1984); Rubas &
limpatik usus
yang lipofilik yang Grass (1991)
tinggi, akan diserap
ke dalam pintu
gerbang peredaran
darah
Difusi melalui junction Peptida larut air Gardner (1988)
yang ketat di antara sel yang
berukuran
oleh energi bebas proses besar
difusi pasif
Ziv & Bendayan
(2000)
Hasil penelitian yang dilaporkan menunjukkan adanya prolin dan hidroksi
prolin menyebabkan peptida resisten terhadap digesti enzim terutama tripeptida
dengan Pro-Pro pada C-terminal yang menunjukkan resisten terhadap peptidase
25
spesifik prolin. Selanjutnya pada sebuah penelitian menunjukkan sejumlah
peptida pada plasma manusia meningkat yang tergantung dosis yang diberikan,
yang menunjukkan bahwa kejenuhan dari peptida transforter dapat mempengaruhi
sejumlah peptida memasuki darah (Matsui et al. 2002)
Sehubungan dengan tidak sempurnanya bioavailibilitas peptida dalam
mengikuti proses pencernaan secara oral, suatu peptida dengan aktivitas
antioksidan in vitro mungkin menunjukkan sedikit atau tidak ada aktivitas in vivo.
Rute lain yang dapat meningkatkan perubahan absorpsi peptida diperlukan untuk
mengurangi masalah ini. Aktivitas antioksidan in vivo mungkin dapat lebih tinggi
dibandingkan aktivitas in vitro (Erdmann et al. 2008), peptida bioaktif memiliki
fungsi biologi dengan mekanisme selain dari yang diterapkan di percobaan.
Sebagai tambahan, aktivitas yang tinggi secara in vivo sehubungan dengan
peningkatan aktivitas peptida sebagai akibat pemecahan oleh protease
gastrointestinal.
Hasil-hasil penelitian kinetika mengenai pencernaan susu yang dilakukan
belakangan ini menunjukkan bahwa peptida bioaktif masih terdapat dalam usus
halus walaupun protein susu telah dicerna oleh enzim-enzim pankreatik.
Chabance et al. (1998) menemukan dua macam peptida yang berasal dari protein
susu dan yoghurt yang dikonsumsi, yaitu κ-kasein-glikopeptida dan peptida
N-terminal dari αS1-kasein dapat dideteksi dalam plasma darah. Hasil penelitian
ini memberikan bukti bahwa peptida bioaktif dari protein susu dapat diserap oleh
usus halus (tidak harus diubah terlebih dahulu menjadi asam amino), sehingga
kemudian dapat menunjukkan aktivitas fisiologis pada berbagai macam organ
tubuh.
Download