BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Turnover 1. Pengertian Intensi Turnover Fishbein dan Ajzen (1975) mengajukan teori pembentukan tingkah laku berdasarkan hubungan timbal balik antara keyakinan (belief), sikap (attitude), dan intensi (intention) individu. Keyakian dikategorikan sebagai aspek kognitif yang yang melibatkan pengetahuan, pendapat dan pandangan individu terhadap objek. Sikap dikategorikan sebagai aspek afektif yang mengarah pada perasaan individu terhadap suatu objek serta evaluasi yang dilakukannya. Intensi dikategorikan sebagai aspek konatif yang menunjukkan intensi individu dalam bertingkah laku (behavioural intention) dan bertindak langsung ketika berhadapan langsung dengan objek. Ancok (1985) mendefinisikan intensi sebagai niat seseorang untuk melakukan perilaku tertentu. Niat untuk melakukan perilaku itu berkaitan erat dengan pengetahuan (belief) tentang suatu hal, sikap (attitude) terhadap hal tersebut, dan perilaku itu sendiri sebagai wujud nyata dari niatnya. Fishbein dan Ajzen (dalam Nisa,dkk) mengemukakan bahwa intensi merupakan subjektifitas individu yang melibatkan hubungan antara dirinya dan suatu perilaku. Intensi merupakan suatu predictor tunggal terbaik bagi perilaku yang akan dilakukan seseorang, maka intensi turnover merupakan predictor terbaik terhadap gejala atau perilaku turnover (Michaels dan Spector, 1982;Motowildo,1983;Steel dan Ovalle,1984) Robbins (2006) menyatakan turnover adalah berhentinya individu sebagai anggota sebuah organisasi yang disertai pemberian imbalan keuangan oleh organisasi yang bersangkutan. Handoko (1998, h. 119) mengatakan bahwa perputaran (turnover) adalah keluarnya karyawan dari perusahaan untuk bekerja di perusahaan lain. Moekijat (1995, h.80) mengartikan perpindahan sebagai kemauan karyawan untuk meninggalkan suatu perusahaan untuk perusahaan lain. Turnover karyawan dapat mengacaukan rencana dan strategi organisasi untuk mencapai tujuannya (Abasi & Hollman, 2008), hal tersebut terkait dengan berkurangnya sumber daya manusia dan hilangnya staf dengan talenta yaang dibutuhkan oleh organisasi. Taylor (2002) mengatakan bahwa tingkat turnover yang tinggi akan berimplikasi negatif pada perusahaan dan menjadi permasalahan yang harus dipecahkan oleh perusahaan. Hal tersebut didukung oleh Ali dan Baloch (2010) yang mengatakan bahwa turnover yang tinggi mengakibatkan tingginya biaya pelatihan, rendahnya antusiasme terhadap pekerjaan, tekanan pada karyawan, dan hilangnya sumber daya manusia. Spector (2012) mengatakan bahwa permasalahan turnover menjadi krusial apabila karyawan yang memiliki performa bagus selama bekerja memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Jackofsky dan Peter (1983) memberi batasan turnover sebagai perpindahan karyawan dari pekerjaannya yang sekarang. Scott (1977) mendefinisikan gejala turnover sebagai perpindahan tenaga kerja dari dan ke sebuah perusahaan. Beach (1980) menggunakan kata termination, turnover dijelaskan sebagai berpisah atau berhentinya karyawan dari perusahaan yang mengupahnya dengan berbagai alasan. Suwandi dan Indriantoro (1999) yang menyatakan intensi turnover sebagai keinginan individu untuk meninggalkan perusahaan dan mencari alternatif pekerjaan lain. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Ajzen (dalam Gbadamosi & Chinaka, 2011), yang menyebutkan bahwa intensi turnover berakibat buruk karena merupakan prediktor kuat turnover nyata. Seorang karyawan yang memiliki intensi turnover akan memiliki peluang besar untuk melakukan turnover nyata. Senada dengan hal tersebut Mobley, dkk (1978) menyimpulkan bahwa intensi turnover merupakan tanda awal terjadinya turnover, karena terdapat hubungan yang signifikan antara intensi turnover dan turnover yang terjadi. Tett dan Meyer (dalam Nisa dkk, 2015) mengemukakan intensi turnover sebagai hasrat keinginan yang secara sadar dan terencana untuk meninggalkan organisasi, yang sering diukur dengan mengacu interval tertentu (misalnya dalam waktu 6 bulan), dan telah digambarkan sebagai yang terakhir dalam urutan kognisi penarikan atau penarikan kesimpulan. Hal ini melibatkan niat untuk mencari pekerjaan alternatif dan niat untuk meninggalkan organisasi (Mobley et al., 1979). Niat ini mungkin diterjemahkan ke dalam perilaku dalam waktu dan kesempatan yang tepat. keinginan berpindah diyakini prediktor terbaik dari turnover yang sebenarnya (Cho & Lewis, 2012; Griffeth et al, 2000;. Podsakoff, Lepine, & Lepine, 2007). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa intensi turnover sebagai hasrat keinginan yang secara sadar dan terencana untuk meninggalkan organisasi, yang sering diukur dengan mengacu pada interval waktu tertentu, melalui proses penarikan kesimpulan dan didasarkan pada suatu alasan baik secara sukarela atau berasal dari dalam diri sendiri, maupun secara tidak sukarela seperti lingkungan kerja yang tidak nyaman, pekerjaan tersebut tidak cocok dengan tujuan karirnya, pemutusan hubungan kerja dari perusahaan atau adanya gaji yang lebih tinggi pada organisasi yang lain. 2. Aspek–aspek Intensi Turnover Tett dan Meyer (dalam Nisa dkk, 2015) mengemukakan niat turnover sebagai hasrat keinginan yang secara sadar dan terencana untuk meninggalkan organisasi, yang sering diukur dengan mengacu interval tertentu (misalnya dalam waktu 6 bulan), dan telah digambarkan sebagai yang terakhir dalam urutan kognisi penarikan atau penarikan kesimpulan. Ajzen (2006) dalam teori perilaku terencana (TPB) menjelaskan bahwa attitude toward the behavior (sikap), subjective norm (norma subjektif), dan perceived behavioral control (persepsi diri) merupakan dasar dari terbentuknya suatu intensi. Attitude toward the behavior disebut juga sebagai sikap. Ajzen (2005) mengemukakan bahwa sikap terhadap perilaku ditentukan oleh keyakinan mengenai konsekuensi dari suatu perilaku atau secara singkat disebut keyakinankeyakinan perilaku (behavioral beliefs). Ramadhani (2011) keyakinan berkaitan dengan penilaian subjektif individu terhadap dunia sekitarnya, pemahaman individu mengenai diri dan lingkungannya , dilakukan dengan menggabungkan antara perilaku tertentu dengan berbagai manfaat atau kerugian yang mungkin diperoleh apabila individu melakukan atau tidak melakukannya. Keyakinan dapat memperkuat sikap terhadap perilaku apabila didasarkan pada evaluasi yang dilakukan oleh individu. Subjective norm, atau yang disebut norma subjektif merupakan persepsi individu terhadap harapan dari orang-orang yang berpengaruh dalam kehidupannya (significant others) mengenai dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perilaku. Norma subjektif adalah fungsi dari keyakinan individu yang diperoleh atas pandangan orang-orang lain terhadap objek sikap yang berhubungan dengan individu (normative belief). Hubungan yang terjadi dalam kehidupan individu dikategorikan ke dalam hubungan yang bersifat vertical dan horizontal (Ramadhani, 2011). Hubungan vertikal adalah hubungan antara atasanbawahan; guru-murid; proofesor-mahasiswa atau orang tua-anak. Pada hubungan yang bersifat vertikal, harapan dipersepsi sebagai tuntutan (injuctive). Hubungan horizontal terjadi antara individu dengan teman-teman atau orang lain yang bersifat setara. Pada hubungan yang bersifat horizontal harapan terbentuk secara deskriptif, dengan demikian konsekuensi yang terjadi adalah keinginan untuk meniru atau mengikuti (identifiksi) perilaku orang lain disekitarnya. Perceived behavioral control atau disebut persepsi kontrol perilaku. Persepsi kontrol perilaku atau disebut control perilaku (adalah persepsi individu mengenai mudah atau sulitnya mewujudkan suatu perilaku tertentu (Ajzen,2005). Persepsi kontrol perilaku dapat berubah tergantung situasi dan jenis perilaku yang akan dilakukan. Keyakinan ini berkaitan dengan pencapaian spesifik, misalnya keyakinan dapat menemukan pekerjaan lain dengan beban kerja yang lebih ringan. Aspek dari intensi turnover menurut Triaryati (2003) antara lain sebagai berikut : a) Keinginan untuk mencari pekerjaan lain dengan gaji/upah yang lebih tinggi; b) Keinginan untuk mencari peluang karir yang tidak didapatkan di perusahaan; c) Keinginan untuk mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan pendidikan; d) Keinginan untuk mencari pekerjaan lain karena ingin suasana lingkungan dan hubungan kerja yang lebih baik; e) Keinginan untuk mencari pekerjaan yang dapat menjamin kelangsungan hidup. Pendapat lain dari Harnoto (2002) aspek – aspek karyawan yang memiliki intensi turnover, diantaranya : a. Absensi yang meningkat Pada fase ini, ketidakhadiran karyawan dalam bekerja akan meningkat. Tanggung jawab karyawan juga akan sangat berkurang dibandingkan dengan sebelumnya. b. Mulai malas bekerja Karyawan akan mulai malas bekerja karena ia merasa bahwa bekerja di tempat lain dapat memenuhi keinginan karyawan tersebut. c. Peningkatan pelanggaran terhadap tata tertib kerja Karyawan dapat melakukan pelanggaran di tempat kerja misalnya dengan meninggalkan tempat kerja ketika jam-jam kerja berlangsung maupun berbagai bentuk pelanggaran lainnya. d. Meningkatnya protes terhadap atasan Karyawan mulai melakukan protes terhadap kebijakan – kebijakan perusahaan pada atasan, baik mengenai balas jasa yang diberikan ataupun peraturan dari perusahaan yang tidak sesuai dengan keinginan karyawan e. Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya Pada tanda ini, perilaku yang muncul biasanya karyawan akan memiliki tanggung jawab yang lebih tinggi terhadap tugas yang diberikan padanya. Tanggung jawab yang ditunjukan meningkat jauh dan sangat berbeda dari biasanya. Hal ini sebagai tanda karyawan akan melakukan turnover. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut teori perilaku berencana (TPB) menjelaskan bahwa sikap, norma subjektif, dan control diri merupakan dasar dari terbentuknya suatu intensi. Aspek lain intensi turnover adalah keinginan untuk mencari pekerjaan lain dengan gaji/upah yang lebih tinggi; Keinginan untuk mencari peluang karir yang tidak didapatkan di perushaan; keinginan untuk mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan pendidikan; keinginan untuk mencari pekerjaan lain karena ingin suasana lingkungan dan hubungan kerja yang lebih baik; keinginan untuk mencari pekerjaan yang dapat menjamin kelangsungan hidup. Pendapat lain mengatakan aspek intensi turnover pada karyawan meliputi: absensi yang meningkat, mulai malas bekerja, peningkatan pelanggaran terhadap tata tertib kerja, meningktnya protes terhadap atasan, perilaku positif yang sangatberbeda dari biasanya. Dalam penelitian ini pengukuran intensi turnover pada karyawan menggunakan skala perilaku terencana atau theory planned behavior (TPB) dari Ajzen (2006). Setiap komponen dibangun menggunakan aspek theory planned behavior (TPB) dari Ajzen (2006) yaitu : sikap (behavioral belief), norma subjektif (normative beliefs), kontrol perilaku (perceived behavior control). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intensi Turnover Menurut Schultz dan Schultz (2010) faktor-faktor dari terjadinya suatu intensi turnover pada karyawa adalah sebagai berikut : a. Kepuasan Kerja Schultz (1970) kepuasan kerja sebagai sikap atau sekumpulan sikap individu terhadap pekerjaannya. Orang yang mempunyai sikap dan perasaan positif terhadap pekerjaannya akan mempunyai perasaan yang postif terhadap kehidupan pribadi dan keluarga (Schultz & Schultz, 1994). Selain itu, orang yang mengalami kepuasan kerja akan produktif, rendah turnover dan jarang absen. b. Stres Kerja Stres adalah suatu respons fisiologis dan psikologis terhadap stimulus yang berlebihan, tidak menyenangkan dan kejadian yang mengancam (Schultz & Schultz, 2010). Stres di lingkungan kerja dapat merugikan perusahaan. Stres dapat menyebabkan produktivitas yang rendah, menurunkan motivasi dan meningkatkan kecelakaan kerja. Selain itu, stres yang tinggi berhubungan dengan intensi turnover. Menurut Schultz dan Schultz (1994) dan Robbins (2004), aspek-aspek stres kerja meliputi, pertama deviasi fisiologis, hal ini dapat dilihat pada orang yang terkena stres antara lain adalah sakit kepala, pusing, pening, tidak tidur teratur dan lain-lain. Kedua adalah deviasi psikologis yang di antaranya: sedih, depresi, mudah menangis, hati merana, mudah marah, dan panas, gelisah. Serta yang ketiga adalah deviasi perilaku seperti : kehilangan kepercayaan kepada orang lain, mudah mempersalahkan orang lain, meningkatnya frekuensi absensi, meningkatnya agresivitas dan kriminalitas. c. Komitmen Organisasi Komitmen organisasi adalah derajat keterikatan seseorang dengan perusahaan tempat dirinya bekerja. Komitmen organisasi adalah derajat keterikatan seseorang dengan perusahaan tempat dirinya bekerja. Seseorang yang memiliki komitmen organisasi memiliki ciri-ciri: penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan perusahaan, melakukan usaha demi organisasi atau perusahaan dan memiliki dorongan yang kuat untuk terus bekerjasama dengan perusahaan (Schultz & Schultz, 2010). Menurut Meyer, Allen, & Smith (1993) komitmen organisasi merupakan kelekatan emosi, identifikasi, dan keterlibatan karyawan dalam perusahaan, serta keinginan untuk tetap menjadi anggota perusahaan. d. Kepemimpinan Kepemimpinan dapat berpengaruh langsung terhadap terjadinya turnover (Branham, 2005). Karyawan memutuskan untuk keluar karena atasan di perusahaan tidak memiliki kepemimpinan. Selain itu kepemimpinan juga dapat berpengaruh secara tidak langsung pada turnover. Faktor-faktor intensi turnover menurut Kraemer (2000) dalam Ridlo (2012, h. 16-23), yaitu : a. Komitmen organisasi Mengacu pada sejauh mana karyawan dari sebuah organisasi melihat karyawan sebagai milik organisasi (atau bagian dari itu) dan merasa lekat padanya (Meyer, Kam, Goldenberg & Bremner, 2013; van Dick, 2004).Merupakan tingkat dimana seseorang karyawan memihak sebuah organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. b. Promosi Promosi adalah perpindahan dari satu jabatan ke jabatan lain yang mempunyai status dan tanggungjawab yang lebih tinggi. Karyawan akan bertahan bila peluang pendidikan dan karir diberikan oleh perusahaan. c. Kepuasan kerja Merupakan generalisasi sikap-sikap terhadap pekerjaan yang didasarkan atas aspek-aspek pekerjaan yang bermacam-macam. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan individu, maka akan semakin tinggi ketidakpuasan kerja seseorang. Seorang karyawan yang mempunyai kepuasan kerja tinggi tidak akan meninggalkan perusahaan, begitu juga sebaliknya. d. Stres kerja Hal ini juga dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku. e. Keadilan Merupakan suatu fundamental dari sistem kompensasi (Newman & Milkovich, 2004). Perlakuan secara adil bagi seluruh karyawan akan meneguhkan karyawan semakin loyal terhadap perusahaan dan akan tetap bertahan. Faktor dari terbentuknya suatu intensi turnover diantaranya : kepuasan kerja, stress kerja, komitmen organisasi dan kepemimpinan Schultz & Schultz (2010). Sedangkan menurut Kraemer (2000) dalam Ridlo (2012), yaitu komitmen organiasi, promosi, kepuasan kerja, stress kerja dan keadilan. Berdasarkan hal tersebut, peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian terkait hubungan komitmen organisasi terhadap intensi turnover karyawan. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sianipar & Haryanti (2014), adapun hasil penelitian tersebut diperoleh hasil sebagai berikut Rx1x2y = 0,820 dengan nilai uji F = 51,217 dan nilai p < 0,01, yang membuktikan ada hubungan yang sangat signifikan antara komitmen organisasi dan kepuasan kerja terhadap intensi turnover. Maka peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian di perusahaan yang berbeda dengan Variabel bebas yang sama. Intensi turnover diyakini sebagai prediktor terbaik dari turnover yang sebenarnya (Cho & Lewis, 2012; Griffeth et al, 2000;. Podsakoff, Lepine,& Lepine, 2007). Perusahaan dengan tingkat kepuasan kerja dan tingkat komitmen organisasi yang tinggi mampu menekan laju intensi turnover pada karyawannya (Sianipar,dkk;2014). B. Komitmen Organisasi 1. Pengertian Komitmen Organisasi Komitmen organisasi adalah derajat keterikatan seseorang dengan perusahaan tempat dirinya bekerja. Seseorang yang memiliki komitmen organisasi memiliki ciri-ciri: penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan perusahaan, melakukan usaha demi organisasi atau perusahaan dan memiliki dorongan yang kuat untuk terus bekerjasama dengan perusahaan (Schultz & Schultz, 2010). Menurut Meyer dan Allen (1991), komitmen organisasi adalah perasaan dan / atau keyakinan tentang hubungan karyawan dengan organisasi. Meyer dan Allen mengusulkan bahwa komitmen organisasi memiliki beberapa komponen, yang disebut sebagai model tiga komponen. Komitmen afektif mencerminkan keterikatan emosional dengan identifikasi dan keterlibatan dalam organisasi. Komitmen normative mencerminkan perasaan kewajiban untuk melanjutkan pekerjaan. Komitmen continuance adalah kesadaran biaya yang terkait dengan meninggalkan organisasi. Komitmen organisasi mencerminkan hubungan karyawan dengan organisasi dan memiliki implikasi bagi keputusan untuk melanjutkan keanggotaan dalam organisasi. Seseorang yang berkomitmen untuk organisasi, lebih mungkin untuk tinggal dalam organisasi dan tidak memiliki niat untuk meninggalkan (Steers & Porter, 1983; Meyer & Allen, 1991). Menurut Meyer, Allen, dan Smith (1993) komitmen organisasi merupakan kelekatan emosi, identifikasi, dan keterlibatan karyawan dalam perusahaan, serta keinginan untuk tetap menjadi anggota perusahaan. Steers dan Porter (1983) memaparkan beberapa definisi komitmen organisasi yang dikemukakan oleh para ahli antara lain, Sheldon mendefinisikan komitmen sebagai suatu orientasi terhadap organisasi yang menghubungkan atau melekatkan individu pada organisasi tersebut. Definisi komitmen organisasi menurut Hrebiniak dan Alutto (1972) yaitu sebagai suatu gejala struktural yang terjadi sebagai akibat dari suatu transaksi antara individu dan organisasi dalam investasi selama beberapa waktu. Porter, et. al (dalam Malik, dkk, 2010) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai kepercayaan dan penerimaan terhadap nilai dan tujuan organisasi, kemauan untuk berusaha keras demi pencapaian tujuan organisasi, dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. Ahli yang lain yaitu Salancik (1977) menyatakan bahwa komitmen organisasi adalah suatu tahap pada saat individu menjadi terikat karena tindakanâtindakannya dan dengan tindakan tersebut tumbuh keyakinan untuk tetap mempertahankan aktivitas dan keterlibatannya. Dari berbagai definisi terkait komitmen organisasi dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi merupakan perasaan dan sikap karyawan terhadap organisasinya dan memiliki bentuk nyata berupa keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaanya dalam berorganisasi, serta dengan sepenuh hati menerima tujuan perusahaan dan memberikan kontribusi yang terbaik bagi kemajuan perusahaannya. 2. Aspek – aspek Komitmen Organisasi Allen dan Meyer (1990) mengajukan tiga bentuk komitmen organisasi yaitu: a) Affective commitment didefinisikan sebagai kelekatan emosional dengan organisasi, identifikasi terhadap organisasi, dan keterlibatan karayawan dalam organisasi (Meyer dan Allen, 1997). Karyawan dengan affective commitment yang kuat akan bertahan dalam organisasi karena karyawan memutuskan untuk bertahan. Dalam affective commitment karyawan mengidentifikasikasi organisasinya, menginternalisasi nilai dan sikapnya, dan menaati tuntutan organisasi (Schultz, 2010). b) Continuance commitment, yaitu komitmen individu yang didasarkan pada pertimbangan tentang apa yang harus dikorbankan bila akan meninggalkan organisasi. Dalam hal ini individu memutuskan menetap pada suatu organisasi karena menganggapnya sebagai suatu pemenuhan kebutuhan. Investasi yang dilakukan seorang karyawan sebelumnya dalam organisasi misalnya pengetahuan khusus yang diperoleh dan manfaat yang mungkin diperoleh melalui bonus karyawan, maupun klaim pensiun memainkan peran penting. Continuance commitment merupakan kemauan untuk bertahan dalam organisasi. Sehingga bisa dikatakan bahwa Continuance commitment merupakan hasil dari proses evaluasi kognitif, dan tidak bernuansa emosional (Meyer et al., 2002). c) Normatie commitment, mencerminkan kewajiban moralethical karyawan terhadap organisasi (Meyer et al, 2002, 2013;. Wiener, 1982; Wiener & Vardi, 1980). Merupakan keyakinan individu tentang tanggung jawab terhadap organisasi. Individu tetap tinggal pada suatu organisasi karena merasa wajib untuk loyal pada organisasi tersebut. Normative commitment terkait erat dengan kontrak psikologi antara karyawan dan organisasi. Normatie commitment muncul dikarenakan beberapa hal misalnya, fakta bahwa majikan teratur membayar upah dan dapat terlihat disaat ekonomi sulit, karyawan tidak melemahkan/menunjukkan sisi buruk perusahaan sendiri, lebih lanjut karyawan tidak pindah ke perusahaan yang lain. Steers (1985, h.53) menjelaskan 3 aspek utama komitmen organisasi, yaitu: a. Aspek identifikasi organisasi yaitu dapat melakukan dengan memasukkan kebutuhan dan keinginan karyawan dalam tujuan organisasi. Sehingga diharapkan karyawan dengan rela memberikan sumbangsih agar tujuan organisasi tercapai. Karena karyawan dapat berpikir tujuan organisasi yang ada akan membawa mereka pada pemenuhan akan kebutuhan. b. Aspek keterlibatan, Misalnya melibatkan karyawan dalam pembuatan keputusan sehingga karyawan dapat merasakan bahwa hasil akhir merupakan keputusan bersama. Karyawan akan merasa diterima sebagai bagian dari perusahaan. Hal ini dapat membuat karyawan mau bekerja dengan senang hati baik dengan pimpinan maupun rekan sekerjanya. c. Aspek loyalitas karyawan, memiliki makna kesedian seorang untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, jika dirasa perlubahkan mengorbankan kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun. Disimpulkan bahwa Allen dan Meyer (1990) mengajukan tiga bentuk komitmen organisasi :Komitmen Afektif, Komitmen Kontinuan, Komitmen Normatif. Steers (1985) berpendapat adanya 3 aspek utama komitmen organisasi : Aspek identifikasi organisasi, Aspek keterlibatan, Aspek loyalitas karyawan. Berdasarkan pemparan aspek dan bentuk dari komitmen yang di sampaikan oleh kedua teori diatas maka penelitian kali ini untuk mengukur komitmen pada karyawan menggunakan bentuk-bentuk komitmen organisasi dari Allen and Meyer (1996) dan telah diadaptasi oleh Abdullah (2011). 3. Ciri – ciri Komitmen Organisasi Menurut Schultz & Schultz (2010) ciri-ciri Komitmen Organisasi adalah : a. Penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan perusahaan Berkaitan dengan Komitmen afektif yang merupakan penelaahan sikap seseorang, berpikir tentang hubungannya dengan organisasi melalui penerimaan antara kesesuaian nilai dan tujuannya terhadap nilai dan tujuan organisasi. b. Melakukan usaha demi organisasi atau perusahaan Kemauan untuk berusaha keras demi pencapaian tujuan organisasi atau organisasi, dan keinginan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi. c. Memiliki dorongan yang kuat untuk terus bekerjasama dengan perusahaan Merupakan kelekatan emosi, identifikasi, dan dorongan keterlibatan karyawan dalam perusahaan, serta keinginan untuk tetap menjadi anggota dan bekerjasama dengan perusahaan. C. Hubungan Antara Komitmen Organisasi Dengan Intensi Turnover Tett dan Meyer (dalam Nisa, dkk., 2015) mengemukakan niat turnover sebagai hasrat keinginan yang secara sadar dan terencana untuk meninggalkan organisasi, yang sering diukur dengan mengacu interval tertentu (misalnya dalam waktu 6 bulan), dan telah digambarkan sebagai yang terakhir dalam urutan kognisi penarikan atau penarikan kesimpulan. Niat ini mungkin diterjemahkan ke dalam perilaku dalam waktu dan kesempatan yang tepat. keinginan berpindah diyakini prediktor terbaik dari turnover yang sebenarnya (Cho & Lewis, 2012; Griffeth et al, 2000;. Podsakoff, Lepine, & Lepine, 2007). Nisa, dkk. (2015) mengemukakan dinamika model turnover, terdiri atas tiga bagian sekuensial yang menjelaskan proses turnover. Pertama, karyawan selalu mempunyai harapan terhadap organisasi. Jika harapan tersebut terpenuhi, maka karyawan akan puas dan mempunyai sikap positif, jika tidak terpenuhi maka mereka akan merasa ketidakpuasan. Ketidakpuasan ini akan menuju sikap negative terhadap organisasi. Kedua, respon-respon afektif pada pekerjaan seperti kepuasan atau ketidakpuasan dan komitmen, akan menuju intensi perilaku. Dalam kasus turnover respon-respon afektif seperti mengurangi perasaan kepuasan dan komitmen mungkin akan menuju ke sebuah intensi untuk meninggalkan organisasi. Ketiga jika ada beberapa alternatif pekerjaan yang tersedia, intensi untuk meninggalkan organisasi akan diterjeahkan kedalam perilaku yang sebenarnya atau turnover nyata. Menurut Schultz dam Schultz (2010) salah satu faktor terjadinya turnover karyawan adalah komitmen organisasi pada karyawan tersebut. Menurut Meyer & Allen (dalam Nisa, dkk. 2015), komitmen organisasi adalah sebuah keyakinan tentang hubungan pekerja dengan sebuah organisasi. Menurut Meyer, Allen, dan Smith (1993) komitmen organisasi merupakan kelekatan emosi, identifikasi, dan keterlibatan karyawan dalam perusahaan, serta keinginan untuk tetap menjadi anggota perusahaan. Menurut Meyer dan Allen (1991), komitmen organisasi adalah perasaan dan / atau keyakinan tentang hubungan karyawan dengan organisasi. Allen dan Meyer (1990) mengajukan tiga bentuk komitmen organisasi yaitu: Affective commitment didefinisikan sebagai kelekatan emosional dengan organisasi, identifikasi terhadap organisasi, dan keterlibatan karayawan dalam organisasi (Meyer dan Allen, 1997). Karyawan dengan affective commitment yang tinggi ditunjukkan dengan dimilikinya kelekatan karyawan secara emosional terhadap perusahaan tempatnya bekerja. Karyawan yang secara emosional memiliki kelekatan dari terhadap perusahaan akan bertahan dalam organisasi karena keinginan karyawan untuk bertahan. Dalam affective commitment karyawan merasakan perusahaan sangat berarti bagi dirinya, mempunyai rasa kepemilikan yang kuat terhadap perusahaan, merasa seolah-olah masalah organisasi merupakan masalah pribadi, merasa senang untuk bercerita tentang perusahaan kepada orang-orang diluar perusahaan. Apabila secara emosional karyawan tidak merasakan adanya kelekatan terhadap perusahaan maka, karyawan dengan sendirinya akan memutuskan untuk meninggalkan perusahaan. Karyawan dengan affective commitment yang rendah merasakan bahwa masalah yang terjadi di perusahaan/organisasi bukan merupakan permasalahan bagi dirinya sedangkan karyawan dengan tingkat affective commitment yang tinggi lebih kecil kemungkinannya untuk meninggalkan dan absen dalam pekerjaan. Continuance commitment, yaitu komitmen individu yang didasarkan pada pertimbangan tentang apa yang harus dikorbankan bila akan meninggalkan organisasi. Dalam hal ini individu memutuskan menetap pada suatu organisasi karena menganggapnya sebagai suatu pemenuhan kebutuhan (Meyer et al., 2002). Karyawan dengan tingkat continuance commitment yang tinggi biasanya ditunjukkan merasa sulit/berat untuk meninggalkan perusahaan, merasa hidup akan terganggu bila meninggalkan perusahaan, berkutat dengan tugas diperusahaan merupakan suatu kebutuhan, merasa memiliki sedikit pilihan bila terpaksa harus meninggalkan perusahaan, merasa jika meninggalkan perusahaan memerlukan pengorbanan pribadi yang anggota. Karyawan dengan continuance commitment yang rendah dengan mudah untuk merasa jenuh dalam pekerjaan, mudah bosan ketika bekerja dengan demikian karyawan akan dengan mudah untuk memutuskan keluar dari perusahaan. Anggota organisasi dengan continuance commitment yang tinggi terus menjadi anggota dalam organisasi karena karyawan memiliki kebutuhan untuk menjadi anggota organisasi tersebut. Sehingga bisa dikatakan bahwa Continuance commitment merupakan hasil dari proses evaluasi kognitif, dan tidak bernuansa emosional (Meyer et al., 2002). Normatie commitment, mencerminkan kewajiban moralethical karyawan terhadap organisasi (Meyer et al, 2002, 2013;. Wiener, 1982; Wiener & Vardi, 1980). Merupakan keyakinan individu tentang tanggung jawab terhadap organisasi. Normative commitment terkait erat dengan kontrak psikologis antara karyawan dan organisasi. Indikator dari normative commitment adalah; karyawan merasa bersalah bila meninggalkan perusahaan, merasa organisasi layak mendapatkan kesetiaan dari karyawan, tidak akan merasa sebagai hal yang benar ketika meninggalkan perusahaan meskipun untuk keuntungan pribadi, merasa berhutang banyak terhadap organisasi dan tidak meninggalkan organisasi merupakan wujud tanggung jawab terhadap organisasi (Meyer et al., 2002). Karyawan dengan normative commitment yang rendah tidak merasa bersalah apabila karyawan memutuskan untuk keluar dari perusahaan, dan tidak merasa memiliki kewajiban untuk bertahan pada perusahaan. Seseorang yang berkomitmen untuk organisasi, lebih mungkin untuk tinggal dalam organisasi dan tidak memiliki niat untuk meninggalkan (Steers & Porter, 1983; Meyer & Allen, 1991). D. HIPOTESIS Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara komitmen organisasi terhadap intensi turnover pada karyawan. Semakin tinggi tingkat komitmen organisasinya maka intensi turnover pada karyawan semakin rendah, sebaliknya semakin rendah tingkat komitmen organisasi maka intensi turnover pada karyawan semakin tinggi.