II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Otonomi Daerah Di

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebijakan Otonomi Daerah
Di Indonesia, secara historis kebijakan otonomi daerah telah mengalami
banyak perubahan yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan sosial ekonomi
dan politik beberapa kali. Perubahan otonomi daerah tersebut ditandai dengan
perubahan perundangan sejak periode kemerdekaan. Hal ini diwujudkan dengan
diundangkannya peraturan perundangan yang pertama kali memuat tentang
pemerintahan daerah yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1945. Dalam UndangUndang ini daerah otonom dibagi menjadi tiga, yaitu daerah karesidenan,
kabupaten, dan kota. Pada peraturan perundangan ini daerah otonom hanya
mempunyai kewenangan yang sangat terbatas (Yustika, 2007).
Setelah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir undang-undang
tentang otonomi daerah ini disusun pada tahun 1999, yaitu Undang-Undang No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah. Kedua undang-undang ini direvisi dengan Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Kedua undang-undang ini secara prinsip mengubah pola penyelenggaraan
pemerintah daerah.
Pelaksanaan kedua undang-undang tersebut menandai
dimulainya Era Otonomi Daerah di Indonesia
Pada era otonomi daerah terjadi perubahan struktural dari pengelolaan
keuangan daerah yang bersifat sentralistik yang terjadi pada era orde baru menjadi
16
pengelolaan keuangan daerah yang desentralistik pada era otonomi daerah. Pada
era otonomi daerah tujuan utama dari perubahan adalah untuk membentuk dan
membangun sistem publik yang dapat menyediakan barang dan jasa publik secara
lokal yang sedemikian efektif dan efisien dengan tetap menjaga stabilitas
makroekonomi. Hal ini dapat dilihat dari adanya pelimpahan kewenangan kepada
pemerintahan untuk mengelola belanja daerah, memungut pajak dan mengelola
bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 mengatur secara terperinci tentang
pemerintahan daerah. Undang-Undang ini memberi kewenangan yang sangat
signifikan terhadap pemerintahan daerah. Kewenangan pemerintah pusat yang
tidak dilimpahkan ke pemerintah daerah adalah politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, dan agama (Pasal 10 ayat 3).
Kebijakan otonomi daerah ini dimaksudkan agar dapat mempercepat
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun dalam hal ini banyak penelitian
yang memfokuskan pada otonomi daerah dengan hasil yang sangat bervariasi.
Menurut Simanjuntak (2010) kebijakan otonomi daerah mempengaruhi tingkat
kesejahteraan masyarakat tetapi tidak semua daerah memperoleh tingkat
perbaikan kesejahteraan. Ini artinya pada daerah tertentu kebijakan fiskal tidak
mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya dikemukakan juga bahwa
hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi dan tingkat
kemiskinan tidak mempunyai pola yang jelas. Aktivitas perekonomian sebelum
dan sesudah kebijakan fiskal pada era otonomi daerah tidak bepengaruh terhadap
sektor-sektor perekonomian daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal juga tidak
mempengaruhi tingkat kemiskinan daerah. Ditambahkan oleh Hidayat (2010)
17
bahwa kebijakan otonomi daerah telah mendegradasi hubungan negara dan
masyarakatnya atau telah terjadi bias antar elite. Untuk itu diperlukan realisasi hak
partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Selain itu diperlukan juga
pengaturan tegas tentang fungsi DPRD, pembentukan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) di setiap provinsi, dan pelaksanaan audit independen pengelolaan
APBD serta penegakan prinsip transparansi, akuntabilitas dan sanksi. Ini
menunjukan bahwa kebijakan otonomi daerah masih perlu diperbaiki.
2.2. Desentralisasi Fiskal
Desentraliasasi fiskal di Indonesia masih sering diperdebatkan terutama
dilihat dari sisi efektivitas dan efisiensinya jika dibandingkan dengan kebijakan
sebelumnya. Kaitan dengan hal tersebut Martinez dan Mcnab (2001)
mengemukakan bahwa beberapa alasan mendasar yang dilakukan oleh pemerintah
di negara berkembang untuk memilih desentralisasi fiskalnya adalah: (1) dengan
adanya desentralisasi fiskal maka diharapkan pengeluaran pemerintah akan lebih
efisien, (2) dengan sentralisasi fiskal diakui telah mengalami kegagalan, dan (3)
peran pemerintah daerah akan lebih besar dan tidak didikte oleh pemerintah pusat.
Di Indonesia, desentralisasi fiskal didasarkan pada Undang undang No. 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Undang-undang ini mendeskripsikan desentralisasi sebagai penyerahan wewenang
kepemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dalam hal ini maka urusan fiskal daerah diserahkan kepada daerah
otonom atau pemerintah daerah.
18
Desentralisasi fiskal di Indonesia mempunyai tujuan : (1) memberikan
keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan
otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi, (2) membantu daerah
dalam mendanai kewenangannya dan untuk mengurangi ketimpangan sumber
pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi
kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah, (3) melaksanakan fungsi
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk
mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan
formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah, dan (4)
membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang
merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk
membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang
belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan
daerah (Penjelasan Undang-Undang No. 33 tahun 2004). Jadi desentralisasi fiskal
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, hal
yang perlu mendapat perhatian khusus dalam kaitannya dengan kebijakan
desentralisasi fiskal agar sukses adalah bahwa kebijakan harus diikuti dengan
kewenangan yang jelas dan efektif antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah. Kebijakannya harus adil dan transparan terutama dalam hal transfer dana
dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (Rodriguez-Pose dan Kroijer , 2009).
Kebijakan seperti ini belum sepenuhnya dilaksanakan di Indonesia. Hal ini
ditandai dengan masih banyaknya kewenangan pemerintah pusat yang belum
diserahkan kepada daerah sehingga menganggu pelaksanaan suatu kebijakan
(Rowa, 2003).
19
Kebijakan fiskal dapat berhasil dan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya jika pemerintah daerah komitmen yang direpresentasikan dengan
kebijakan yang tepat, kualitas birokrat yang memadai, dan kesadaran masyarakat
terhadap pemerintahan yang konsisten. Penelitian Tiebout (1956) dalam
Rodriguez-Pose dan Kroijer (2009) menemukan bahwa salah satu keuntungan
dari desentralisasi fiskal adalah bahwa desentralisasi akan meningkatkan efisiensi
ekonomi pemerintah lokal karena pemerintahnya akan lebih mampu memberikan
layanan yang lebih baik kepada masyarakatnya. Tetapi beberapa studi tentang
desentralisasi fiskal menemukan bahwa kebijakan desentralisasi banyak yang
tidak berhasil terutama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya
(Bardhan, 2002). Untuk itu perlu dicermati faktor apa dalam desentralisasi fiskal
yang sangat dominan dalam mempengaruhi kesejahteraan masyarakat.
Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, berdasarkan Undang-Undang No.
33 Tahun 2004, penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas
pendapatan daerah dan pembiayaan. Selanjutnya disebutkan pada pasal 5 UndangUndang No. 33 Tahun 2004 bahwa
pendapatan daerah
bersumber dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan
Daerah yang sah. Sedangkan pembiayaan bersumber dari sisa lebih perhitungan
anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah dana cadangan daerah, dan hasil
penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Besarnya penerimaan daerah ini
akan sangat menentukan pengeluaran pemerintah. Dengan kata lain besarnya
penerimaan ini menentukan besarnya belanja per sektor.
Zhang dan Zou (1996) mengadakan penelitian di Cina dan menemukan
fenomena bahwa pendapatan yang diperoleh dari fiskal dan kemudian digunakan
20
untuk keperluan belanja pemerintah daerah ternyata belum berhasil untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan tidak dapatnya meningkatkan
pertumbuhan ekonomi berbati tidak mempengaruhi tingkat kesejahteraan
masyarakat. Selain itu, mereka menemukan bahwa desentralisasi fiskal dianggap
sebagai salah satu ancaman terhadap kondisi stabilitas makroekonomi nasional.
Salah satu penyebabnya dari kondisi seperti ini adalah bahwa kebijakan
desentralisasi fiskal sering mengedepankan kepentingan proyek-proyek lokal
dibanding dengan kepentingan nasional. Untuk itu kebijakan desentralisasi fiskal
memerlukan perhatian khusus agar efektivitas dalam pencapaian kesejahteraan
dapat optimal.
Dalam kaitanya dengan efisiensi dan efektivitas pengeluaran pemerintah
pada desentralisasi fiskal, Bardhan dan Mookherjee (2005) tidak dapat
menyimpulkan apakah desentralisasi fiskal mendorong terjadinya korupsi di
pemerintah lokal atau tidak. Tetapi menurut mereka desentralisasi fiskal dapat
memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk melakukan korupsi seperti
terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan regulasi terutama dalam
penggunaan dana transfer guna mengurangi korupsi. Namun jika hal ini dilakukan
terkesan membatasi tingkat otonomi fiskal itu sendiri.
Rodriguez-Pose dan Kroijer (2009) melakukan penelitian tentang
hubungan antara tingkat dan bentuk desentralisasi fiskal dan kinerja
perekonomian Eropa Timur dan Eropa Tengah dengan menggunakan model
regresi. Hasilnya adalah bahwa desentralisasi fiskal berkorelasi negatif dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah daerah, dan pajak daerah.
Besarnya dana transfer berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi
21
walaupun tidak signifikan Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua kebijakan
desentralisasi fiskal dapat berhasil dalam meningkatkan kinerja perekonomian
daerah.
2.2.1. Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan asli daerah terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain lain pendapatan daerah
yang sah. Secara perundangan pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang
diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Adapaun tujuan dari adanya PAD itu adalah
memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan
otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi.
PAD itu sendiri terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain lain pendapatan asli daerah yang sah.
Secara definisi, pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan orang
pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan yang seimbang yang dapat
dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku yang digunakan
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan
daerah. Beberapa pajak daerah antara lain adalah pajak restoran, pajak hotel, pajak
kendaraan bermotor dan pajak balik nama kendaraan bermotor.
Secara mekanistis, kebijakan fiskal melalui peningkatan tarif pajak akan
berdampak pada dunia usaha, yang selanjutnya berpengaruh pada penyerapan
tenaga kerja atau pengangguran. Tenaga kerja yang kurang mobile, yang biasanya
merupakan tenaga kerja kasar, akan sangat terpengaruh oleh kenaikan tarif pajak.
Tenaga kerja ini memiliki peluang yang relatif tinggi menjadi penganggur atau
22
setengah penganggur. Tenaga kerja terampil atau berpendidikan relatif tinggi
memiliki mobilitas relatif tinggi sehingga memiliki kerentanan yang relatif lebih
kecil untuk menjadi pengangguran atau setengah penganggur dan kelompok ini
dapat mengikuti kenaikan tarif pajak (Siebert, 1996)
Retribusi didefinisikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh pemerintah
sebagai akibat adanya kontra prestasi yang diberikan oleh pemerintah daerah atau
pembayaran tersebut didasarkan atas prestasi atau pelayanan yang diberikan oleh
pemerintah daerah yang langsung dinikmati secara perorangan oleh warga
masyarakat dan pelaksanaannya didasarkan atas peraturan perundangan yang
berlaku (Devas et al, 1989). Selanjutnya, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan merupakan hasil keuntungan perusahaan yang dimiliki oleh
pemerintah daerah. Sedangkan, yang dimaksud dengan lain lain pendatapan asli
daerah yang sah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan
antara lain pendapatan dari jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai
tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi, potongan, ataupun bentuk lain
sebagai akibat dari penjualan dan/atau hasil penjualan kekayaan daerah yang
tidak dipisahkan, pendapatan denda pajak, dan pendapatan denda retribusi
(Undang-Undang No. 33 Tahun 2004).
2.2.2. Dana Perimbangan
Dana perimbangan merupakan komponen dari penerimaan daerah yang
cukup besar. Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum,
dan dana alokasi khusus. Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, Dana
Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan
pemerintah daerah. Dana perimbangan ini terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana
23
Alokasi Umum, dan
Dana Alokasi Khusus. Adapun besarnya jumlah dana
perimbangan setiap tahun anggaran ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan
Belanja Negara .
Dana bagi hasil terdiri dari Dana Bagi hasil Pajak, Dana Bagi hasil bukan
pajak, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana bagi hasil ini terdiri dari
dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumberdaya alam. Selanjutnya untuk
dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam
Negeri dan PPh Pasal 21. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumberdaya alam
terdiri dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak
bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.
Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai pengertian sebagai dana yang
bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang
dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional.
Besarnya
DAU secara keseluruhan yang diberikan pemerintah pusat kepada
daerah minimal 26 persen dari penerimaan dalam negeri netto. Selanjutnya
pembagian ke daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) ditentukan dengan
menggunakan pendekatan konsep celah fiskal dan alokasi dasar.
Celah fiskal itu sendiri dihitung berdasarkan kebutuhan fiskal (fiskal
needs) dikurangi kapasitas fiskal daerah (fiskal capacity). Sedangkan DAU itu
sendiri digunakan untuk menutup celah yang terjadi akibat adanya kebutuhan
daerah yang melebihi potensi penerimaan daerah bersangkutan. Berdasarkan
24
konsep celah fiskal tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki
kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya, daerah-daerah yang
mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang
relatif besar. Selanjutnya, alokasi dasar DAU dihitung berdasarkan jumlah gaji
pegawai negeri sipil daerah (Undang-Undang No. 33 Tahun 2004).
Undang-undang ini menjelaskan bahwa kebutuhan daerah dalam
penyelenggaran pemerintahan daerah paling sedikit dicerminkan dari variabel
jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan
masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Sementara
potensi ekonomi daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan daerah seperti
potensi industri, potensi sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia, dan
PDRB.
Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Dana Alokasi Khusus
(DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus
yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam
APBN. Sedangkan yang dimaksud dengan lain-lain Pendapatan yang sah adalah
hibah dan dana darurat. Pendapatan hibah merupakan bantuan yang tidak
mengikat. Hibah digunakan sesuai dengan naskah perjanjian. Dana darurat pada
intinya adalah dana APBN yang dimaksudkan untuk keperluan mendesak yang
diakibatkan oleh bencana nasional dan atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat
ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan sumber APBD. Dari hasil
25
penelitian Rowa (2003) penerimaan daerah pada daerah otonom 70 persen masih
didominasi oleh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
2.3. Peran dan Struktur
Pembangunan
Pengeluaran
Pemerintah
Daerah
dalam
Pengeluaran pemerintah daerah tidak terlepas dari penerimaan daerah,
karena secara teoritis pengeluaran merupakan fungsi dari penerimaan daerah.
Semakin tinggi penerimaan daerah semakin tinggi tingkat pengeluaran daerah.
Untuk itu daerah berusaha untuk meningkat penerimaan daerah dengan
kewewenangannya daerah berusaha untuk meningkatkan Pendapatan asli daerah
dan dana perimbangan. Hal inilah yang mendorong pemerintah daerah berusaha
meningkatkan potensi pendapatan melalui peningkatan PAD nya agar bisa
digunakan untuk belanja daerah dalam kerangka pembangunan daerah.
Secara proses pengeluaran pemerintah merupakan kebijakan pemerintah
untuk membiayai pembangunan daerah termasuk dalam hal ini biaya
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan kata lain pengeluaran pemerintah
daerah merupakan pengeluaran yang digunakan untuk membiayai pembangunan
di berbagai bidang termasuk dalam hal ini adalah bidang sosial, ekonomi,
pemerintahan, budaya, ketertiban, ketentraman, dan sebagainya yang merupakan
tugas pemerintahan secara umum. Dalam pelaksanaanya pengeluaran pemerintah
direpresentasikan dengan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) yang disusun setiap tahun dan berperiode 1 Januari sampai dengan 31
Desember.
Tahapan dalam pembangunan daerah sangat berhubungan dengan tahapan
pembangunan
ekonomi.
Setiap tahapan pembangunan ekonomi mempunyai
26
fokus pengeluaran pemerintah yang berbeda tetapi tetap harus memperhatikan
keberlanjutan. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rostow
dan Musgrave dalam Mangkusoebroto (1998) bahwa pada tahap awal
perkembangan ekonomi pengeluaran pemerintah harus menyediakan prasarana
seperti pendidikan, kesehatan, prasarana trasnportasi, dan sebagainya.
Pada tahap menengah pembangunan ekonomi ditandai dengan pengeluaran
pemerintah yang difokuskan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi agar dapat
tinggal landas. Dalam hal ini investasi swasta sudah semakin besar dengan
demikian peran dan kontribusi swasta dalam pembangunan relatif lebih besar
dibanding dengan fase pertama.
Pada tingkatan selanjutnya kegiatan pemerintah beralih dari penyediaan
prasarana ke pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program untuk lanjut usia,
program untuk layanan kesehatan. Pendapat ini memberikan pemahaman bahwa
pengeluaran pembangunan harus menjadi perhatian terutama oleh pemerintah itu
sendiri agar alokasi anggaran dapat lebih tepat sasaran sesuai dengan perencanaan
yang telah ditetapkan sehingga target yang telah ditetapkan bisa terwujud. Pada
akhirnya kesejahteraan masyarakat dapat segera tercapai sesuai dengan yang
diharapkan. Namun berdasarkan hasil penelitian Ramey (2011) ternyata tidak ada
pengeluaran pemerintah yang memiliki multiplier efek yang mengikuti efek
langsung itu sendiri.
Dalam pengelolaan keuangan daerah, tata kelola administrasinya sering
mengalami perubahan yang sangat siginifikan setiap periode. Hal ini disesuaikan
dengan perubahan lingkungan dan sistem pemerintahan. Pada tahun anggaran
2006 belanja daerah dilaksanakan dengan pedoman pada Peraturan Menteri
27
Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 (Permendagri No.13/2006). Dalam peraturan
ini, belanja diartikan sebagai belanja yang dipergunakan untuk penyelenggaraan
dan diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan
masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam
bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, dan
fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.
Menurut Permendagri No. 13/2006, klasifikasi belanja menurut urusan
pemerintahan terdiri dari belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan. Belanja
urusan wajib antara lain pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan
rakyat, sedangkan belanja menurut urusan pilihan antara lain
pertanian
kehutanan, energi, dan sumberdaya mineral perindustrian.
Sedangkan klasifikasi belanja lain adalah klasifikasi belanja menurut
kelompok belanja. Klasifikasi ini terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja
langsung. Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan
tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.
Sedangkan kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan
terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.
Kelompok belanja tidak langsung menurut jenis belanja yang terdiri dari:
belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah bantuan sosial, belanja bagi basil,
bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga. Sedangkan belanja langsung tediri
dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal.
Dalam perkembanganya pengelolaan keuangan daerah terjadi banyak
perubahan. Sebelum Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13
28
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, pengelolaan belanja
daerah diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (PP No.105/2000) dan
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman
Pengurusan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan dan Belanja Daerah
Pelaksanaan Tatausaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Angaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (Kepmendagri No.29/2002).
Pada Kepmendagri No.29/2002 disebutkan bahwa struktur APBD
diklasifikasikan berdasarkan bidang pemerintahan daerah. Format susunan bidang
pemerintahan dan perangkat daerah provinsi, kabupaten dan kota dalam APBD
terdiri dari 21 bidang pemerintahan dan unit organisasi perangkat daerah provinsi,
kabupaten dan kota dalam APBD, yaitu antara lain bidang administrasi umum
pemerintahan, bidang pertanian, bidang perindustrian, perdagangan, bidang
kesehatan, bidang permukiman, dan bidang pekerjaan umum. Selanjutnya
disebutkan dalam keputusan ini bahwa belanja daerah terdiri dari bagian belanja
aparatur daerah dan bagian belanja pelayanan publik. Selanjutnya masing-masing
bagian belanja tersebut dirinci menurut kelompok belanja yang meliputi belanja
administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal. Pada
setiap kelompok belanja dirinci menurut jenis belanja. Setiap jenis belanja dirinci
menurut obyek belanja. Setiap obyek belanja dirinci menurut rincian obyek
belanja. Dengan demikian secara akuntansi keuangan daerah tedapat perbedaan
yang signifikan tantang pengelolalan keuangan daerah antara periode sebelum
tahun 2006 dan setelah tahun tersebut.
29
2.4. Investasi dalam Pembangunan Daerah
Investasi merupakan istilah yang berkaitan dengan keuangan dan ekonomi.
Investasi diartikan sebagai akumulasi bentuk aktiva dengan suatu harapan
mendapatkan manfaat di masa depan. Dengan demikian, maka secara ekonomi
investasi berarti pembelian kapital atau modal barang-barang yang tidak
dikonsumsi tetapi digunakan untuk produksi untuk keperluan yang akan datang.
Investasi dalam perekonomian mempunyai peran yang sangat penting
terutama dalam menggerakan perekonomian. Investasi akan menimbulkan
multiplier effect bagi perekonomian. Peningkatan investasi tidak hanya akan
meningkatkan permintaan agregat tetapi juga akan meningkatkan penawaran
agregat melalui meningkatnya stok kapital dan kapasitas produksi. Adanya
peningkatan dari sisi stok kapital dan kapasitas produksi dapat mendorong
kegiatan produksi dan pada gilirannya akan menyerap tenaga kerja.
Menurut Boediono (1992) investasi adalah pengeluaran oleh sektor
produsen (swasta) untuk pembelian barang dan jasa untuk menambah stok yang
digunakan atau untuk perluasan pabrik. Sedangkan Todaro dan Smith (2006)
mengatakan bahwa investasi merupakan bagian dari pendapatan nasional atau
pengeluaran nasional yang dimaksudkan untuk produksi atau barang pada periode
waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa investasi merupakan faktor yang
penting dalam perekonomian suatu daerah. Artinya pemerintah daerah perlu
berusaha untuk menarik investasi baik dari luar daerah maupun luar negeri.
Namun menurut Hasan dan Purwanto ( 2005) Indonesia termasuk negara di Asia
yang iklim investasinya tidak sehat dan tidak kompetitif. Penyebabnya adalah
30
kualitas sumberdaya manusianya yang rendah, daya saing perekonomiannya
rendah, dan tingkat pengangguran yang tinggi.
Secara konsep dampak yang ditimbulkan dalam peningkatan investasi
adalah meningkatnya pemanfaatan sumberdaya secara optimal dalam kegiatan
produksi. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kegiatan perdagangan antar
daerah, dan terciptanya nilai tambah yang lebih besar. Selain itu, investasi juga
mendorong percepatan perkembangan teknologi informasi, telekomunikasi dan
transportasi. Percepatan ini akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi
mobilitas sumberdaya, bahan mentah, barang modal dan tenaga kerja secara lebih
murah dan lebih mudah. Percepatan ini juga bermanfaat bagi peningkatan kualitas
hidup masyarakat di daerah.
Bagi tenaga kerja, dorongan investasi dapat mengurangi pengangguran dan
memperbaiki upah yang mereka terima, kenaikan upah diharapkan tidak hanya
cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tetapi juga meningkatkan
kemampuan menabung dan atau berinvestasi. Bagi pemerintah investasi akan
meningkatkan aktivitas perdagangan,industri, upah, dan daya beli masyarakat.
Upaya peningkatan investasi memerlukan berbagai dukungan berupa
pencipataan iklim usaha yang kondusif, kapasitas infrastruktur yang memadai,
intemediasi lembaga keuangan, tata pemerintahan yang baik serta keamanan dan
ketertiban. Selain itu daya tarik invetasi juga ditentukan oleh kualitas sumberdaya
manusia yang dimiliki oleh daerah. Hal ini sejalan dengan pendapat Gottheil
(1996), Sodik dan Nuryadin (2008) mengatakan bahwa investasi swasta sangat
dipengaruhai oleh PDRB, kondisi infrastruktur, keterbukaan ekonomi, tingkat
perkembangan teknologi, tingkat suku bunga, ekspektasi pertumbuhan ekonomi di
31
masa yang akan datang, dan tingkat kapasitas produksi. Sebagai contoh adalah
faktor teknologi. Perkembangan teknologi akan meningkatkan efisiensi produksi.
Hal ini akan mempengaruhai investor untuk melakukan usaha di daerah tersebut.
Demikian juga pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada suatu daerah akan menarik
investor untuk berusaha di daerah tersebut. Tingkat suku bunga dengan investasi
berkorelasi negatif artinya semakin tinggi interest rate akan semakin rendah
investasi. Sedangkan kapasitas produksi akan menjadi pertimbangan bagi investor
untuk menanamkan modalnya jika kapasitas produksi yang ada tidak memenuhi
permintaan pasar sementara permintaan cenderung terus meningkat.
Pada era otonomi daerah peran peningkatan investasi sebagian besar
dimiliki oleh pemerintah daerah sejalan dengan kebijakan pemerintah tentang
pemerintahan daerah yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.
Pada Undang-Undang No. 32 tersebut diamanatkan bahwa urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintah daerah Provinsi juga meliputi pelayanan
administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota. Pemerintah
daerah perlu menindaklanjuti hal ini secara proporsional mengingat fungsi dan
peran investasi sangat penting.
Fungsi investasi yang lain dalam pembangunan daerah adalah dalam
mendanai kebutuhan infrastruktur. Alasannya adalah bahwa pembangunan
infrastruktur merupakan syarat pembangunan daerah. Dengan infrastruktur
tersebut aktivitas masyarakat dalam perekonomian akan lebih dinamis. Pada
giliarannya hal ini akan meningkatkan produktivitas ekonomi daerah. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa pembangunan infrastruktur merupakan syarat
utama untuk menggerakan perekonomian suatu wilayah. Namun untuk
32
pembangunan infrastruktur diperlukan investasi yang besar sehingga pemerintah
sering terlambat dalam penyediaan infrastruktur. Kondisi seperti ini pernah terjadi
juga di Amerika. Untuk mengatasi hal ini Gramblich (1994) menyarankan
pemerintah federa menyusun kebijakan yang intinya mengikutsertakan pemerintah
negara bagian dan lokal untuk menggunakan sumberdaya dan kewenangannya
guna penyediaan infrastruktur yang memadai.
Sejalan dengan hal ini, maka alokasi anggaran yang dilakukan oleh
pemerintah daerah untuk pembangunan infrastruktur seharusnya menduduki posisi
paling besar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Secara ekonomi makro,
ketersediaan pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of
private capital, sedangkan dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa
pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi.
Pembangunan infrstruktur yang dapat dilakukan di daerah diantaranya adalah
infrastruktur perhubungan, telekomunikasi, pendidikan, dan kesehatan (Purwanto,
2009).
Selain itu, infrastruktur juga berpengaruh penting bagi peningkatan kualitas
hidup dan kesejahteraan manusia, antara lain dalam peningkatan nilai konsumsi,
peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja, serta
peningkatan kemakmuran nyata dan terwujudnya stabilisasi makroekonomi, yaitu
keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar kredit dan berpengaruhnya terhadap
pasar tenaga kerja. Namun hasil penelitian Costa-i-Font dan Rodriguez-Oreggia
(2005) di Meksiko menunjukkan bahwa investasi sosial memberikan dampak
lebih besar terhadap pengurangan ketimpangan pendapatan antar kawasan
33
daripada investasi infrastruktur. Artinya investasi sosial memberikan dampak
yang lebih berkualitas daripada investasi infrastruktur.
Dengan
argumen
bahwa
pembangunan
infrastruktur
di
dalam
perekonomian sangat penting maka para penyusun kebijakan pembangunan selalu
memikirkan efisiensi dan optimalisasi alokasi anggaran untuk mensukseskan
pembangunan infrastruktur ini. Akan tetapi permasalahan mendasar dalam
pembangunan infrastruktur adalah keterbatasan pemerintah dalam penyediaan
dana pembangunan (Purwanto, 2009). Untuk itulah diperlukan strategi dalam
menentukan alokasi belanja yang terbatas dalam pembangunan infrasturktur.
2.5. Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Wilayah
2.5.1. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan
ekonomi
pada
umumnya
mempunyai
pengertian
meningkatnya output barang dan jasa pada wilayah tertentu dan biasanya diukur
dengan pertumbuhan nilai Gross Domestic Product (GDP). Dalam hal ini ada tiga
faktor atau komponen utama yang penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu
negara atau wilayah (Todaro dan Smith, 2006). Pertama adalah berapa besar
tingkat akumulasi modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru
yang dialokasikan dalam perekonomian. Kedua adalah berapa besar laju
pertumbuhan penduduk yang akan menambah jumlah angkatan kerja dan yang
ketiga adalah tingkat kemajuan teknologi yang akan mempengaruhi secara
langsung proses produksi dan akhirnya akan meningkatkan kuantitas produksi.
Hampir sama dengan Todaro dan Smith (2006), Romer (2001)
mengemukakan bahwa teori pertumbuhan model Solow memfokuskan pada
34
empat variabel, yaitu : output (Y), capital (K), labor (L) dan Knowledge atau the
effectiveness tenaga kerja (A), formulasi model pertumbuhannya adalah sebagai
berikut.
Yt = F (Kt, At, Lt ) ..........t merupakan waktu.
Formula ini menunjukkan bahwa faktor kapital sangat dominan dalam
meningkatkan pertumbuhan perekonomian. Di samping faktor tersebut, faktor
tenaga kerja dan ilmu pengetahuan yang dimiliki tenaga kerja tersebut juga
menjadi faktor penentu pertumbuhan ekonomi.
Suatu wilayah dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi, apabila
Produk Domestik Bruto (PDB) riil mengalami
peningkatan dari tahun
sebelumnya. Berlaku sebaliknya, apabila PDB suatu wilayah turun dari tahun
sebelumnya, maka wilayah tersebut dikatakan mengalami penurunan. Dalam
perekonomian, pertumbuhan menjadi penting karena dapat memacu pembangunan
daerah. Dalam konteks Indonesia pada era otonomi, pertumbuhan ekonomi
merupakan cara paling efektif untuk memperkuat kelompok pembaharu karena hal
ini akan mendorong pembentukan kelompok kelas menengah baru. Kelompok ini
merupakan penggerak pembangunan daerah (Boediono, 2009). Dikatakan juga
bahwa syarat lain berkaitan dengan hal ini adalah bahwa pertumbuhan ekonomi
harus tersebar dan harus tumbuh dari sumber enterpreunerial dalam kompetisi
yang sehat.
Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari sisi permintaan dan sisi
penawaran. Dalam konteks ini, dari sisi permintaan agregat, peningkatan output
domestik dapat diidentifikasi dengan empat komponen perekonomian, yaitu : (1)
pengeluaran konsumsi oleh rumahtangga (C), (2) pengeluaran investasi oleh dunia
35
bisnis dan rumahtangga (I), (3) belanja pemerintah untuk barang dan jasa (G), dan
(4) nett eksport (X-M) (Dornbusch et al, 2004).
McCann (2006) memformulasikan komponen perekonomian daerah
tersebut yang dikenal dengan permintaan agregat standar dari Keynesian untuk
kawasan regional yang dapat dirumuskan sebagai berikut.
Yr = Cr + Ir + Gr + Xr – Mr
Keterangan:
Yr
= Pendapatan regional
Ir
= Investasi regional
Cr
= Konsumsi regional
Gr
= Pengeluaran pemerintah daerah
Xr
= Eskpor daerah
Mr
= Impor daerah.
Formula di atas mengandung arti bahwa pertumbuhan ekonomi di daerah
sangat tergantung dari empat komponen. Dalam hal ini yang dimaksud dengan
konsumsi (C) adalah konsumsi dari barang dan jasa yang dilakukan rumahtangga.
Tingkat konsumsi rumahtangga dipengaruhi oleh pendapatan disposibel
(Disposible Income) atau pendapatan yang dapat dibelanjakan. Jika diasumsikan
belanja pemerintah tetap, maka semakin tinggi konsumsi menyebabkan
menurunnya investasi atau memperbesar defisit perdagangan.
Selanjutnya, yang disebut dengan investasi (I) adalah pembelian barang
dan jasa oleh dunia usaha. Investasi disebut juga dengan barang modal yang dibeli
untuk penggunaan masa depan. Yang termasuk dalam investasi ini, adalah
pembiayaan untuk konstruksi infrastruktur.
36
Salah satu sumber investasi adalah dengan privatisasi badan usaha milik
pemerintah. Namun menurut Adams (2006) kebijakan privatisasi di Subsaharan
Afrika ternyata tidak mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi dapat menurunkan
tingkat ketimpangan pendapatan. Hal yang penting dari hasil penelitiannya adalah
bahwa infrastuktur di Subsaharan Afrika yang dibangun dan disediakan
pemerintah sangat membantu dalam pertumbuhan ekonomi.
Infrastruktur menjadi penting dalam pertumbuhan ekonomi. Oleh karena
itu, pemerintah harus selektif dalam menyusun prioritas pembangunan. Dengan
kata lain pemerintah harus selektif, komprehensif, dan profesional dalam
penyusunan rancangan APBN dan rancangan APBD. Untuk itu, berdasarkan
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, penyusunan APBN dan APBD didasarkan
dengan pendekatan pada prestasi kerja yang akan dicapai. Dengan demikian
maka anggaran yang dialokasikan pada kegiatan pada APBN dan APBD dapat
menghasilkan kinerja yang dapat di ukur. Dalam hal ini Irawati dan Mansur
(2006) berpendapat bahwa elemen penting yang harus diperhatikan dalam
penerapan menajemen pengeluaran publik berbasis kinerja adalah: (1) pergeseran
pengambil keputusan tentang penentuan kebutuhan publik dari pemerintah , yaitu
dari birokrat profesional dan kelompok elite ke masyarakat. Hal ini dimaksudkan
agar anggaran publik dapat menjawab kebutuhan masyarakat, dan (2) manajemen
kinerja dengan perencanaan kinerjanya merupakan kesatuan yang utuh dengan
anggaranya. Oleh karena itu, alokasi anggaran harus berdasarkan pada kinerjanya.
Kondisi seperti ini menuntut akuntabilitas yang tinggi dan transparansi dari semua
para pemangku kepentingan.
37
Sejalan dengan hal ini, untuk pertimbangan efektivitas dan efisiensi
penganggaran publik menjadi hal yang sangat penting. Penetapan indikator
kinerja harus jelas dan harus berkaitan dengan tujuan dan sasaran yang telah
disusun berdasarkan kesepakatan masyarakat. Hal ini mengandung arti bahwa
reformasi manajeman pengeluaran publik bukan lah merupakan agenda reformasi
yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari paket reformasi manajemen
penyelenggaraan pemerintahan. Untuk mendapatkan hasil yang baik dan dalam
penerapan manajemen kinerja diperlukan juga anggaran berbasis kinerja yang
salah satu intinya adalah alokasi anggaran publik yang berdasakan kinerja.
Untuk mendukung penerapan manajemen pengeluaran publik berbasis
kinerja dibutuhkan juga perubahan dalam mekanisme perumusan tujuan dan
sasaran dari pengeluaran publik, pembenahan saluran komunikasi untuk
menjaring aspirasi masyarakat, serta penentuan indikator yang tepat sebagai
kontrak formal antara pemerintah dan masyarakat. Kontrak formal inilah yang
harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah kepada masyarakat. Jika hal ini
dilakukan maka tidak akan ditemukan salah alokasi anggaran dengan demikian
terjadi optimalisasi penggunaan anggaran pemerintah. Dengan demikian
pertumbuhan ekonomi regional yang dibutuhkan masyarakat dapat terwujud
sesuai rencana (Sodik, 2007).
2.5.2. Pertumbuhan Wilayah
Secara teoritis, wilayah diartikan sebagai subsistem dari sistem yang lebih
kompleks dan lebih besar, yaitu lingkup nasional. Oleh karena itu, wilayah
mempunyai pusat kegiatan yang fungsinya mendukung kegiatan nasional. Dalam
38
konteks ini, maka daerah merupakan subsistem dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Wilayah yang memiliki tingkat pembangunan yang relatif tinggi dan
tingkat aktivitas yang relatif padat, menunjukkan wilayah tersebut mempunyai
heterogenitas sosial yang semakin kompleks. Hal ini mengakibatkan pada wilayah
tersebut muncul berbagai aneka pekerjaan yang dilakukan oleh para penduduknya,
yang berlatar belakang berbeda-beda (Adisasmita, 2008).
Heterogenitas sosial dalam kota, merupakan prasyarat terjadinya dinamika
positif dalam perekonomian. Hal ini seperti dinyatakan oleh Lampard dan
Friedmann dalam Adisasmita (2008) bahwa dinamika tersebut merupakan syarat
agar terwujud inovasi baru dalam produksi. Jadi intinya, inovasi merupakan faktor
yang penting dalam pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan inovasi merupakan
bagian dari perubahan teknologi, maka ada kecenderungan bahwa pembangunan
ekonomi lebih mudah terjadi di kota-kota besar atau daerah yang sudah maju dari
pada di daerah-daerah pedesaan atau daerah yang kurang maju. Selain itu, inovasi
berkecenderungan menimbulkan perubahan dalam struktur ekonomi, struktur
sosial dan politik. Oleh karena itu, setiap daerah mempunyai respon yang berbedabeda terhadap perubahan yang datang dari luar termasuk perubahan dalam
investasi dan pengeluaran pemerintah daerah untuk pembangunan.
Dalam hal ini, Perroux (2007) dalam Adisasmita (2008) mengatakan
bahwa suatu tempat dikatakan sebagai kutub pertumbuhan apabila di tempat
tersebut terdapat industri kunci (key industry). Industri kunci ini memainkan
peranan sebagai pendorong yang dinamik, karena industri tersebut mempunyai
kemampuan untuk melakukan inovasi. Jika wilayah mempunyai industri kunci
39
yang tumbuh dengan baik maka industri tersebut merupakan kutub pertumbuhan.
Selanjutnya kutub pertumbuhan tersebut jika berkumpul, maka akan dapat
merupakan suatu kompleks industri, yang berkelompok di sekitar industri kunci.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa industri kunci dalam suatu wilayah,
juga sangat menentukan aktivitas perekonomian. Dengan demikian, disimpulkan
oleh dia bahwa ada tiga ciri penting dalam konsep titik pertumbuhan, yaitu : (1)
terdapat keterkaitan internal antara berbagai industri secara teknik dan ekonomi,
(2) terdapat pengaruh multiplier, dan (3) terdapat konsentrasi geografis.
Sedangkan dalam Capello (2007) Perroux mengatakan bahwa teori kutub
pertumbuhan merupakan teori yang membahas secara detail tentang pertumbuhan
suatu wilayah. Basis dari teori ini menyatakan bahwa pembangunan tidak tumbuh
di setiap tempat pada waktu yang sama. Pertumbuhan terkonsentrasi pada wilayah
tertentu dan tumbuh dengan intensitas yang bervariasi.
2.6. Investasi, Pengeluaran Pemerintah Daerah dan Kemiskinan
Kemiskinan mempunyai pengertian yang sangat beragam, tergantung dari
pendekatan yang digunakan. Pendekatan yang berbeda akan menghasilkan
pengertian yang berbeda pula. Sen (1982) menggunakan pendekatan sosial dan
ekonomi mendefinisikan kemiskinan sebagai keadaan sosial dan ekonomi yang
tidak mampu memenuhi yang ada dalam lingkungan sosialnya.
Berbeda dengan Sen (1982), Kumorotomo (2001) menguraikan bahwa
tidak cukup mendefinisikan kemiskinan hanya melihat dari sisi pendapatan saja,
tetapi untuk mendefinisikan kemisikinan harus mengikutsertakan bahasan
kesehatan, pendidikan, dan kegiatan sosial lainnya. Ini menunjukkan bahwa,
kemiskinan merupakan fenomena multidimensi yang tidak bisa didekati dengan
40
satu pendekatan saja. Kategori pendekatan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan absolut suatu kondisi
dimana seseorang tidak bisa memenuhi kebutuhan minimal akan nutrisi dan
barang kebutuhan lainnya (Sen dan Foster 1997). Sementara kemiskinan relatif
adalah kemiskinan yang didasarkan pada perbandingan antara satu segmen dengan
segmen lainnya (Hashim, 1998). Jadi kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang
selalu eksis sampai kapanpun sementara kemiskinan absolut merupakan
kemiskinan yang bisa diatasi dengan kebijakan pemerintah yang tepat.
Melihat kondisi di atas, maka hal yang penting untuk merespon fenomena
kemiskinan adalah dengan cara mengenali penyebab dari kemiskinan itu sendiri.
Menurut Kelso (1994) kemiskinan disebabkan oleh tidak berimbangnya antara
supply dan demand tenaga kerja dalam perekonomian. Supply tenaga kerja
disebabkan oleh ketidakcukupan pendidikan yang dimiliki oleh orang miskin
sedangkan dari sisi permintaaan akan tenaga kerja disebabkan karena kondisi
ekonomi yang tidak berubah. Perekonomian tidak mengalami pertumbuhan yang
memadai sehingga lapangan kerja tidak bertambah. Oleh karena itu, untuk
mengatasi permasalahan kemiskinan faktor ekonomi menjadi sangat stategis.
Secara ekonomi untuk membuka lapangan kerja diperlukan investasi dan
pengelauran pemerintah yang mencukupi. Alasanya adalah bahwa dengan
meningkatnya investasi dan pengeluaran pemerintah akan membuka lapangan
kerja. Jika lapangan kerja terbuka maka tahap selanjutnya adalah pengangguran
akan berkurang atau dengan kata lain para pekerja yang masih menganggur bisa
memperoleh pekerjaan. Dengan para pekerja bekerja berarti mereka memperolah
pendapatan. Dengan diperolehnya pendapatan pada akhirnya kelompok miskin
41
bisa lepas dari kemiskinan. Jadi investasi dan pengeluaran pemerintah dapat
mengurangi kemiskinan yang terdapat pada masyarakat. Namun dalam kaitannya
dengan hal ini, ternyata penelitian Sodik (2007) tidak sependapat dengan hasil
penelitian di atas karena hasil penelitian ini menyatakan bahwa ternyata investasi
swasta tidak bepengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional yang berarti
bahwa investasi tidak dapat menambah penyerapan tenaga kerja.
Kriteria kemiskinan secara teoritis sangat beragam. Setiap definisi,
mempunyai kriteria dan karakteristik tersendiri. Karakter kemiskinan menurut
Badan Pusat Statistik (BPS, 2009) dapat dilihat dan dikelompokkan menjadi 8
(delapan), yaitu :
1. Luas lantai perkapita,
2. Jenis lantai,
3. Air minum/ketersediaan air bersih,
4. Jenis jamban/WC,
5. Kepemilikan asset,
6. Pendapatan (total pendapatan per bulan),
7. Pengeluaran (persentase pengeluaran untuk makanan), dan
8. Konsumsi lauk pauk (daging, ikan, telur, dan ayam) .
Masing-masing indikator tersebut mempunyai ukuran tersendiri. Dengan
dasar kriteria ini, rumahtangga dapat dikelompokkan dalam kelompok miskin dan
tidak miskin. Jika rumahtangga mempunyai minimal lima ciri miskin maka
rumahtangga tersebut dikelompokkan dalam rumahtangga miskin.
Data tersebut menginformasikan bahwa kemiskinan merupakan konsep
multiaspek, oleh karena itu, konsep pendekatan pengukurannya dilakukan dengan
42
berbagai metode. Dengan alat pengukuran yang berbeda akan menghasilkan
kesimpulan yang berbeda juga. Seperti yang dikemukakan oleh Ravallion dan
Bidani (1994) bahwa metode pengukuran kemiskinan dengan metode Cost of
Basic Need (CBN) dan dengan metode Food- Energy-Intake (FEI) memberikan
hasil yang berbeda. Metode CBN menemukan insiden kemiskinan lebih besar,
kedalaman lebih dalam dan keparahan lebih tinggi di daerah pedesaan. Tetapi
dengan metode FEI memperoleh hasil yang sebaliknya. Oleh karena itu, dalam
pengukuran kemiskinan perlu kecermatan dan ketelitian agar kesimpulan yang
diperoleh sesuai dengan kondisi di lapangan.
Menurut Salmen (1997) dalam Saputro (2007) mengatakan bahwa
penyebab utama kemiskinan yang diutarakan oleh kelompok masyarakat pertanian
yang miskin di Sumatera Barat ada empat, yaitu : (1) faktor kepemilikan modal.
Modal yang sangat sedikit mempengaruhi masyarakat dalam mengembangkan
kegiatan usaha yang produktif. Padahal usaha akan bisa berkembang dan
berkelanjutan apabila mobilisasi kapital dapat dilakukan, terlebih lagi pada sektor
pertanian dan perkebunan yang membutuhan modal relative besar, (2) rendahnya
kepemilikan lahan. Karena kepemilikan lahan yang sempit sehingga masyarakat
pertanian menjadi buruh tani dan buruh kebun. Dengan demikian upah mereka
sangat rendah. Pendapatan yang rendah dan jumlah tanggungan keluarga yang
besar maka jebakan kemiskinan akan terjadi lagi, (3) rendahnya tingkat
pendidikan
masyarakat
petani.
Tingkat
pendidikan
ini
mempengaruhi
produktivitas pertanian, dan (4) kebijakan pemerintah yang tidak pro poor kepada
masyarakat petani. Pada umumnya dalam negara berkembang regulasi pemerintah
kurang peka terhadap perekonomian masyarakat. Dengan demikian untuk
43
mengurangi jumlah penduduk miskin harus dilakukan dengan berbagai
pendekatan seperti pemberian modal kerja, peningkatan pendidikan, dan
kebijakan pemerintah yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat.
Pendekatan lain dalam menyusun kebijakan ekonomi untuk mengurangai
kemiskinan adalah melalui perdaganga. Dalam kaitannya dengan hal ini, menurut
Dollar dan Kraay (2004) globalisasi ekonomi yang berarti keterbukaan dari sisi
ekonomi ternyata juga dapat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat.
Globalisasi ekonomi berdampak pada penurunan kemiskinan dan percepatan
pertumbuhan ekonomi. Ini mengandung arti bahwa semakin daerah itu terbuka
semakin tinggi juga tingkat kesejahteraannya.
2.7. Tenaga Kerja dalam Perekonomian
Dalam perekonomian faktor tenaga kerja merupakan faktor produksi yang
mempunyai peran sangat sentral dan unik karena faktor ini mempunyai dua
dimensi penting yaitu dimensi kuantitatif dan kualitatif. Dari sisi kuantitatif
Todaro dan Smith (2006) mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan angkatan kerja secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor
positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar
berarti akan menambah tingkat produksi, sedangkan pertumbuhan penduduk yang
lebih besar berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar.
Pengaruh tenaga kaerja terhadap perekonomian ini bisa positif atau
negatif.
Dampak
positif
terjadi
apabila
pertumbuhan
penduduk
dapat
dimanfaatkan oleh kemampuan sistem perekonomian daerah dalam arti
perekonomian dapat menyerap dan secara produktif dan memanfaatkan
pertambahan tenaga kerja secara optimal. Kemampuan tersebut dipengaruhi oleh
44
tingkat dan jenis akumulasi modal dan tersedianya input dan faktor penunjang
seperti kecakapan manajerial dan administrasi atau dengan kata lain faktor tenaga
kerja kualitatif perlu mendapat perhatian khusus. Dalam hal ini menurut Mankiw
(2003) modal manusia yang penting dalam perekonomian adalah modal
pengetahuan dan kemampuan yang diperoleh oleh para pekerja melalui
pendidikan mulai dari program untuk anak-anak sampai dengan pelatihan dalam
pekerjaan (on the job training) untuk para pekerja dewasa. Seperti halnya dengan
modal fisik, modal manusia meningkatkan kemampuan untuk memproduksi
barang dan jasa. Untuk meningkatkan level modal manusia dibutuhkan investasi
dalam bentuk guru, perpustakaan, dan waktu belajar.
Dalam model sederhana tentang pertumbuhan ekonomi, pada umumnya
pengertian tenaga kerja diartikan sebagai angkatan kerja yang bersifat homogen.
Angkatan kerja yang homogen dan tidak terampil dianggap bisa bergerak dan
beralih dari sektor tradisional ke sektor modern secara lancar dan dalam jumlah
terbatas. Dalam keadaan demikian penawaran tenaga kerja mengandung elastisitas
yang tinggi. Meningkatnya permintaan atas tenaga kerja bersumber pada ekspansi
kegiatan sektor modern. Dengan demikian salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi adalah kulaitas dan kuantitas tenaga kerja.
Faktor penting lain yang perlu mendapat perhatian dalam kaitannya
dengan faktor produksi tenaga kerja adalah bahwa dampak dari adanya
pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah tuntutan tingginya tingkat upah. Tingkat
upah ini yang diterima oleh pekerja tidak bisa dipisahkan dari situasi di pasar
kerja, karena besarnya upah tergantung pada jumlah tenaga kerja dan penduduk
usia kerja yang ada di pasar kerja. Sehingga, persebaran tenaga kerja menjadi hal
45
yang menarik untuk dibahas, karena berpengaruh pada besarnya upah yang akan
diterima pekerja serta kemampuan pasar kerja untuk menyerap tenaga kerja yang
tersedia di daerah yang bersangkutan.
Dari sisi struktur ketenagakerjaan, hal yang menjadi permasalahan bagi
suatu negara atau daerah adalah jumlah pengangguran. Dari segi definisi,
pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama
sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau
seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak.
Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau
para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang
mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam
perekonomian
karena
dengan
adanya
pengangguran,
produktivitas,
dan
pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya
kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.
Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah
pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen.
Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran
konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan
kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek
psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat
pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik
keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi.
46
Menurut McCann (2006) pasar tenaga kerja secara sederhana dapat
didiagramkan seperti pada Gambar 1. Simbol W* adalah suatu titik dimana pada
wage tersebut diterima oleh semua pekerja. Simbol L* dalam neoclassical adalah
full employment dan pada situasi ini tidak ada yang involuntary unemployment.
Gambar 1. Model Sederhana Pasar Tenaga Kerja
Struktur pasar tenaga kerja sangat dipengaruhi juga oleh tingkat
keterbukaan perekonomian. Hal ini sejalan dengan Julie dan Robin (2004) yang
mengemukakan bahwa keterbukaan perekonomian suatu daerah berpengaruh
terhadap struktur jenis pekerjaan yang ada di daerah tersebut. Pada perekonomian
yang terbuka struktur pekerja lebih dominan pada pekerjaan yang membutuhkan
tingkat keterampilan tinggi (white collar workers), pekerjaan jasa, seperti
programmer, dan akunting. Dalam konteks desentralisasi fiskal, daerah yang
perekonomiannya lebih terbuka akibat kebijakan desentralisasi fiskal menjadikan
perekonomiannya lebih dinamis dan struktur pasar tenaga kerjanya akan berbeda
47
dengan daerah yang perekonomiannya relatif tertutup karena sulitnya investasi
masuk ke daerahnya.
2.8. Pembangunan Daerah dan Indeks Pembangunan Manusia
Pembangunan
daerah
secara
umum
adalah
suatu
proses
guna
meningkatkan kualitas hidup masyarakat, kesejahteraan masyarakat, dan
partisipasi masyarakat. Dalam kaitan dengan hal ini, pembangunan manusia
merupakan titik sentral dalam proses pembangunan karena pembangunan manusia
yang berhasil akan membentuk manusia yuang berkualitas dan akan menjadi
pelaku utama pembangunan di segala aspek.
Pembangunan manusia sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan
ekonomi. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sumberdaya
manusia bersifat timbal balik. Di satu sisi pertumbuhan ekonomi menyediakan
sumber-sumber
berkelanjutan
yang
dalam
memungkinkan
pembangunan
terjadinya
manusia.
perkembangan
Sementara
dari
sisi
secara
lain
pengembangan secara berkelanjutan dalam kualitas modal manusia merupakan
kontributor penting bagi pertumbuhan ekonomi. Hubungan antara pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan manusia berlangsung melalui penciptaan lapangan
kerja. Aspek ini sangat penting karena sesungguhnya penciptaan lapangan kerja
merupakan media yang mengaitkan antara pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi.
Sasaran akhir pembangunan daerah adalah pembangunan manusia
seutuhnya. Pembangunan manusia dapat berhasil jika kesejahteraan masyarakat
telah tercapai dengan segala aspeknya. Hal ini dapat terwujud jika masyarakat
secara umum dapat menguasai atas sumberdaya pendapatan untuk mencapai hidup
48
layak. Selain itu masyarakat juga dapat meningkatkan derajat kesehatan dengan
usia hidup panjang dalam kondisi sehat. Untuk mencapai tujuan tersebut maka
setiap negara dalam hal ini pemerintah perlu melakukan upaya meningkatkan
kualitas penduduk sebagai sumberdaya yang meliputi aspek fisik, aspek
intelektualitas, aspek kesejahteraan ekonomi dan aspek moralitas sehingga
partisipasi rakyat dalam pembangunan akan dengan sendirinya meningkat.
Menurut UNDP (1995) dalam BPS (2006), paradigma pembangunan
manusia terdiri dari empat komponen utama, yaitu : (1) produktifitas, (2) ekuitas
(3) kesinambungan, dan (4) pemberdayaan. Produktifitas yang dimaksud dalam
hal ini adalah bahwa masyarakat harus dapat meningkatkan produktifitas mereka
dan berpartisipasi secara penuh dalam proses memperoleh penghasilan dan
pekerjaan berupah. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu
bagian dari jenis pembangunan manusia.
Ekuitas yang dimaksud dalam hal ini adalah pemerataan hasil
pembangunan.
Pembangunan memerlukan infrastruktur yang memadai agar
masyarakat bisa memperoleh akses yang mencukupi. Masyarakat harus punya
akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Semua hambatan terhadap
peluang ekonomi dan politik harus dihapus agar masyarakat dapat berpartisipasi
di dalam dan memperoleh manfaat dari kesempatan ini.
Kesinambungan, kesinambungan dalam hal ini dimaksudkan bahwa dalam
pembangunan harus bersinambung dan tidak putus pada generasi tertentu. Artinya
bahwa pembangunan harus dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi
juga generasi yang akan datang.
49
Pemberdayaan dalam hal ini mempunyai pengertian bahwa peran
masyarakat sangat strategis dalam pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian,
pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat dan bukan hanya untuk mereka
saja. Masyarakat harus berpartisipasi penuh dalam mengambil keputusan dan
proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka. Sejumlah premis penting
dalam
pembangunan
manusia
diantaranya
adalah
pembangunan
harus
mengutamakan penduduk sebagai pusat perhatian, pembangunan dimaksudkan
untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi penduduk, tidak hanya untuk
meningkatkan pendapatan mereka. Oleh karena itu, konsep pembangunan
manusia harus terpusat pada penduduk secara keseluruhan, dan bukan hanya pada
aspek ekonomi saja.
Salah satu ukuran dalam pembangunan manusia adalah Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). Pada dasarnya Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) bukan hanya berupa angka semata, tetapi IPM suatu indeks yang memiliki
makna yang sangat luas dalam kehidupan manusia yang mencerminkan status
kemampuan dari manusia itu sendiri.
Dalam hal penyusunan IPM, indikator yang digunakan dikelompokkan
menjadi empat (Sumodiningrat, 2009). Keempat kelompok indikator tersebut
adalah angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan
kemampuan daya beli (purchasing power parity). Angka harapan hidup
merepresentasikan dimensi umur panjang dan kesehatan. Angka melek huruf
merepresentasikan dan rata-rata lama sekolah mencerminkan output dari dimensi
pengetahuan. Sedangkan untuk mengukur kemampuan daya beli digunakan untuk
mengukur dimensi hidup layak. Indikator-indikator tersebut dipengaruhi oleh
50
beberapa faktor seperti ketersediaan infrastruktur, ketersediaan teknologi yang
tepat lingkungan, kemampuan sumberdaya manusia, kuantitas sumberdaya
manusia, ketersediaan pasar, dan ketersediaan sumberdaya alam. Hal ini
mengandung arti bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan
indikator yang tidak berdimensi tunggal dan implikasi logisnya adalah bahwa jika
ingin meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
harus juga
memperhatikan faktor-faktor lain yang merupakan penyusun IPM itu sendiri.
2.9. Tinjauan Literatur dan Hasil Penelitian Terdahulu
2.9.1. Studi yang Berkaitan dengan Peran Pengeluaran Pemerintah dalam
Perekonomian Daerah
Penelitian yang berkaitan dengan desentralisasi fiskal dan aspek fiskal
banyak menggunakan model ekonometrika dengan persamaan simultan. Pada
tahun 2006. Nanga (2006) melakukan penelitian dengan tujuan untuk
menganalisis dampak transfer fiskal terhadap kinerja perekonomian terutama
terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan Indonesia.
Dalam hal ini sampel yang digunakan 25 provinsi di Indonesia dan periode
waktunya dari tahun 1999 sampai tahun 2002.
Penelitian ini menggunakan
model ekonometrika yang terdiri dari enam blok yaitu : fiskal daerah, output,
tenaga kerja, pengeluaran rumahtangga, distribusi pendapatan, dan blok
kemiskinan. Antar blok saling terkait menjadi satu sistem persamaan simultan
yang terdiri dari 20 persamaan struktural dan 8 persamaan identitas. Indikator
distribusi pendapatan digunakan alat ukur Indeks gini, sedangkan untuk
mengetahui tingkat kemiskinan di pedesaan dan kota menggunakan indek
kemiskinan.
51
Model ekonometrika dengan persamaan simultan juga digunakan oleh
Usman (2006). Model ekonometrika yang digunakan dengan empat blok yaitu:
blok penerimaan daerah, blok pengeluaran daerah, blok permintaan agregat, blok
distribusi pendapatan, dan kemiskinan. Keempat blok tersebut membentuk sistem
persamaan (simultan) dengan 17 persamaan struktural dan 8 persamaan identitas.
Tujuan dari penelitian Usman adalah mengevaluasi dampak kebijakan
desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan ekonomi daerah yang lebih
ditekankan pada distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan di Indonesia.
Sampel yang digunakan 308 Kabupaten dan kota yang di kelompokkan ke
dalam 26 provinsi. Data yang diambil mulai dari tahun 1994 sampai tahun 2003
yang terdiri dari data yang digunakan untuk mengevaluasi dan membandingkan
pertumbuhan masyarakat ekonomi bawah dan atas, data cross section
rumahtangga tahun 1992 dan 2002 untuk mengetahui faktor penentu kemiskinan,
dan data panel tahun 1995 sampai tahun 2003 untuk menganalisis dampak
desentralisasi fiskal terhadap perubahan distribusi pendapatan dan tingkat
kemiskinan.
Selain itu, peneliti Azwardi (2007) dengan menggunakan Social
Accounting Matriks (SAM) menganalisis dampak kebijakan pengeluaran
pemerintah terhadap pembangunan daerah. Hasil dari penelitiannya, adalah bahwa
pengeluaran pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah cenderung memberikan income multiplier terhadap rumahtangga yang
lebih besar dibandingkan pengeluaran rutin. Ini menunjukkan, peran pemerintah
untuk menggerakan perekonomian sangat strategis, terutama untuk pengeluaran
52
pembangunan. Atau dengan kata lain, pemerintah seyogyanya mengalokasikan
anggaran untuk belanja modal lebih besar daripada belanja non-modal.
Menurut Purwanto (2009) besarnya belanja modal berpengaruh nyata
terhadap peningkatan pendapatan riil perkapita. Berkaitan dengan hal ini variabel
angka melek huruf yang pada dasarnya mencerminkan tingkat pendidikan ternyata
tidak mempengaruhi perubahan pertumbuhan pendapatan riil perkapita.
Penelititan ini juga menyimpulkan bahwa belanja modal pemerintah daerah
dengan segala komposisi pengalokasiannya merupakan ”complementary factor”
untuk potensi perumbuhan ekonomi regional. Hal ini didasarkan karena untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah tidak hanya tergantung dari proporsi
belanja saja tetapi tergantung juga dari modal fisik dan modal non fisik yang
digunakan untuk investasi dan inovasi guna pertumbuhann ekonomi. Hal ini
sependapat dengan Panjaitan (2006) bahwa kinerja perekonomian daerah sangat
tergantung dari belanja modal fisik dan non-fisik yang direpresentasikan oleh
kondisi infrastruktur, investasi, dan tingkat kepastian berusaha.
Riyanto dan Siregar (2005) melakukan penelitian tentang desentralisasi
fiskal terhadap keuangan daerah. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika
dengan persamaan simultan. Hasil penelitian tersebut adalah bahwa dana
perimbangan berpengaruh nyata terhadap peningkatan anggaran pendapatan dan
belanja daerah. Belanja rutin dan belanja pembangunan berpengaruh terhadap
perekonomian daerah. Namun pengaruh tersebut tidak berbeda nyata antara
sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. artinya perubahan aliran dana belum
diikuti oleh peningkatan kinerja perekonomian daerah yang signifikan. dengan
demikian pemerataan pembangunan wilayah belum tercapai.
53
Penelitian Astuti (2007) yang bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan
desentralsisasi fiskal terhadap kinerja fiskal di Provinsi Bengkulu dengan
menggunakan persamaan simultan menghasilkan beberapa temuan. Temuan
tersebut antara lain bahwa peningkatan pengeluaran untuk infrastruktur
berdampak positif terhadap kapasitas fiskal daerah, kesenjangan fiskal semakin
membaik. Di samping itu studi ini juga menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi
semakin meningkat, pendapatan perkapita semakian tinggi, penyerapan tenaga
kerja juga semakin baik tetapi distribusi pendapatan semakin tidak merata di
semua kabupaten. Selain itu, kebijakan peningkatan pajak dan retribusi yang
diimbangi dengan pengeluaran pembangunan berdampak paling besar terhadap
peningkatan kapasitas fiskal daerah sehingga penerimaan transfer daerah semakin
kecil. Sedangkan peningkatan saran infrastruktur akan mendorong investasi di
daerah sehingga aktivitas perekonomian daerah (PDRB) meningkat. Temuan
lainnya adalah peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian juga
berdampak positif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum kinerja desenralisasi fiskal sangat
signifikan pengaruhnya terhadap perekonomian daerah dan akan berdampak
terhadap penerimaan daerah. Penerimaan daerah akan mempengaruhi pengeluaran
dan pada gilirannya pengeluaran daerah ini akan berdampak positif terhadap
perekonomian daerah.
Salah satu sumber penerimaan daerah adalah pajak. Kebijakan fiskal
melalui peningkatan tarif pajak akan berdampak pada dunia usaha, yang
selanjutnya berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja atau pengangguran.
Tenaga kerja yang kurang mobile, yang biasanya merupakan tenaga kerja kasar,
54
akan sangat terpengaruh oleh kenaikan tarif pajak. Tenaga kerja ini memiliki
peluang yang relatif tinggi menjadi penganggur atau setengah penganggur.
Tenaga kerja terampil atau berpendidikan relatif tinggi sehingga memiliki
mobilitas relatif
tinggi- memiliki kerentanan yang relatif lebih kecil untuk
menjadi pengangguran atau setengah penganggur, mengikuti kenaikan tarif pajak
(Siebert, 1996). Dengan demikian maka diperlukan kebijakan yang komprehensif
dalam menyusun kebijakan pajak karena ternyata dampaknya sangat besar
terhadap perekonomian termasuk dalam hal ini adalah penyerapan tenaga kerja
dan jumlah investasi swasta.
2.9.2. Studi yang berkaitan dengan peran Investasi dalam Perekonomian
Daerah
Menurut Pakasi (2005) meningkatnya investasi baik domestik maupun
asing diramalkan akan mengurangi ketergantungan fiskal daerah terhadap Dana
Alokasi Umum (DAU). Berkaitan dengan hal ini, Riyanto dan Siregar (2005)
dengan menggunakan analisis kondisi riil dan simulasi model ekonometrika
menyimpulkan bahwa dana perimbangan belum dapat menciptakan kondisi
pemerataan pembangunan wilayah walaupun secara fiskal terjadi pemerataan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dan antara pemerintah daerah. Hal
ini dikarenakan bahwa dana perimbangan tersebut belum secara signifikan
memperbaiki kesenjangan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Hasil
simulasi setiap komponen dana perimbangan juga menunjukkan bahwa dana bagi
hasil pajak dan bukan pajak membuat ketidakmeraataan semakin besar. Hal ini
diduga karena ketidakmerataan potensi sumberdaya alam antar daerah. Namun
ketimpangan yang ditimbulkan oleh bagi hasil pajak dan bukan pajak tersebut
55
dapat direduksi dengan adanya DAU. Dengan demikian maka DAU diharapkan
dapat berperan lebih besar sebagai instrumen kebijakan dalam mendorong
pemerataan pembangunan antar daerah di masa mendatang. Penelitian ini juga
menemukan bahwa kesenjangan perekonomian antara daerah dan pertumbuhan
ekonomi daerah bukan semata-mata ditentukan oleh besar kecilnya dana
perimbangan di suatu daerah .
Selanjutnya dikatakan bahwa peran infrastruktur dalam perekonomian
sangat penting dan sentral, karena infrastruktur dipahami sebagai enabler berbagai
kegiatan ekonomi lainnya. Selain itu, pembangunan infrastruktur merupakan
bagian dari social overhead capital yang mutlak diperlukan untuk menggerakan
sektor-sektor ekonomi lainnya. Artinya, bahwa investasi infrastruktur merupakan
titik kunci dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah.
Legowo (2009), menemukan bahwa ternyata terdapat pengaruh nyata atas
kebijakan investasi infrastruktur transportasi jaringan jalan raya dan tol dan rel di
wilayah Jabodetabek terhadap kegiatan ekonomi di wilayah tersebut dan wilayah
sekitarnya. Artinya bahwa pembangunan infrastruktur jalan dan rel memang
mempunyai dampak nyata dan pengaruhnya positif. Semakin banyak jalan
dibangun dan semakin banyak rel kereta ditingkatkan kapasitasnya, maka semakin
tinggi pula kegiatan ekonomi yang dihasilkan.
Dalam kaitannya dengan penyediaan infrastruktur, Yudhoyono (2004) juga
menemukan bahwa pembangunan infrastruktur berdampak positif terhadap
pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Selain itu hasil studinya juga
menyimpulkan bahwa, pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur
juga dapat mengurangi angka kemiskinan walaupun masih kurang efektif jika
56
dibandingkan dengan kemampuannya untuk mengurangi pengangguran. Temuan
lain dari penelitian ini adalah bahwa pembangunan infrastruktur bisa
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ini bisa menyerap tenaga
kerja. Dalam hal penyerapan tenaga kerja di sektor non pertanian, lebih besar
dibanding penyerapan sektor tenaga kerja di sektor pertanian.
Kaitannya dengan investasi swasta, Pardede (2004) melakukan penelitian
di Kabupaten Tapanuli Utara tentang dampak investasi swasta terhadap
perekonomian. Salah satu kesimpulannya adalah, bahwa investasi swasta
memiliki dampak yang lebih besar dalam pembentukan output pendapatan dan
lapangan kerja. Hal Ini menunjukkan bahwa investasi swasta mempunyai peran
yang cukup penting dalam penggerakan perekonomian daerah di era otonomi
daerah.
Penelitian Calderon dan Serven (2004) menemukan bahwa pembangunan
infrastruktur memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi jangka panjang. Selanjutnya, kesimpulannya adalah bahwa kuantitas dan
kualitas infrastruktur berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pendapatan dan
efek dari infrastruktur terhadap pertumbuhan dan ketimpangan, adalah efek
kausalitas bukan karena faktor kebetulan. Oleh karena itu, menurut penelitiannya
pembangunan infrastruktur dapat menjadi solusi penting dalam penanggulangan
kemiskinan. Untuk itu kebijakan pengeluaran pemerintah untuk sektor konstruksi
menjadi penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam kaitan dengan hal ini, Vibiz (2008) melakukan penelitian tentang
pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia
bagian Timur. Dengan menggunakan regresi penelitian ini menemukan bahwa
57
pertumbuhan infrastruktur telepon, jalan, irigasi teknis, dan listrik berhubungan
positif terhadap pertumbuhan output pertanian dan non pertanian. Selain itu,
pertumbuhan infrastruktur juga secara positif meningkatkan pertumbuhan
investasi. Dengan kesimpulan ini, pembangunan infrastruktur menjadi strategis
bagi daerah. Konsekuensi pemerintah daerah perlu memberikan fasilitas tertentu
agar investasi dalam pembangunan infrastruktur dapat kondusif dan tercapai
sasarannya.
Download