II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Otonomi Daerah Di Indonesia, secara historis kebijakan otonomi daerah telah mengalami banyak perubahan yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan sosial ekonomi dan politik beberapa kali. Perubahan otonomi daerah tersebut ditandai dengan perubahan perundangan sejak periode kemerdekaan. Hal ini diwujudkan dengan diundangkannya peraturan perundangan yang pertama kali memuat tentang pemerintahan daerah yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1945. Dalam UndangUndang ini daerah otonom dibagi menjadi tiga, yaitu daerah karesidenan, kabupaten, dan kota. Pada peraturan perundangan ini daerah otonom hanya mempunyai kewenangan yang sangat terbatas (Yustika, 2007). Setelah mengalami beberapa kali perubahan, terakhir undang-undang tentang otonomi daerah ini disusun pada tahun 1999, yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kedua undang-undang ini direvisi dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kedua undang-undang ini secara prinsip mengubah pola penyelenggaraan pemerintah daerah. Pelaksanaan kedua undang-undang tersebut menandai dimulainya Era Otonomi Daerah di Indonesia Pada era otonomi daerah terjadi perubahan struktural dari pengelolaan keuangan daerah yang bersifat sentralistik yang terjadi pada era orde baru menjadi 16 pengelolaan keuangan daerah yang desentralistik pada era otonomi daerah. Pada era otonomi daerah tujuan utama dari perubahan adalah untuk membentuk dan membangun sistem publik yang dapat menyediakan barang dan jasa publik secara lokal yang sedemikian efektif dan efisien dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi. Hal ini dapat dilihat dari adanya pelimpahan kewenangan kepada pemerintahan untuk mengelola belanja daerah, memungut pajak dan mengelola bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 mengatur secara terperinci tentang pemerintahan daerah. Undang-Undang ini memberi kewenangan yang sangat signifikan terhadap pemerintahan daerah. Kewenangan pemerintah pusat yang tidak dilimpahkan ke pemerintah daerah adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, dan agama (Pasal 10 ayat 3). Kebijakan otonomi daerah ini dimaksudkan agar dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun dalam hal ini banyak penelitian yang memfokuskan pada otonomi daerah dengan hasil yang sangat bervariasi. Menurut Simanjuntak (2010) kebijakan otonomi daerah mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat tetapi tidak semua daerah memperoleh tingkat perbaikan kesejahteraan. Ini artinya pada daerah tertentu kebijakan fiskal tidak mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya dikemukakan juga bahwa hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan tidak mempunyai pola yang jelas. Aktivitas perekonomian sebelum dan sesudah kebijakan fiskal pada era otonomi daerah tidak bepengaruh terhadap sektor-sektor perekonomian daerah. Kebijakan desentralisasi fiskal juga tidak mempengaruhi tingkat kemiskinan daerah. Ditambahkan oleh Hidayat (2010) 17 bahwa kebijakan otonomi daerah telah mendegradasi hubungan negara dan masyarakatnya atau telah terjadi bias antar elite. Untuk itu diperlukan realisasi hak partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Selain itu diperlukan juga pengaturan tegas tentang fungsi DPRD, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di setiap provinsi, dan pelaksanaan audit independen pengelolaan APBD serta penegakan prinsip transparansi, akuntabilitas dan sanksi. Ini menunjukan bahwa kebijakan otonomi daerah masih perlu diperbaiki. 2.2. Desentralisasi Fiskal Desentraliasasi fiskal di Indonesia masih sering diperdebatkan terutama dilihat dari sisi efektivitas dan efisiensinya jika dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya. Kaitan dengan hal tersebut Martinez dan Mcnab (2001) mengemukakan bahwa beberapa alasan mendasar yang dilakukan oleh pemerintah di negara berkembang untuk memilih desentralisasi fiskalnya adalah: (1) dengan adanya desentralisasi fiskal maka diharapkan pengeluaran pemerintah akan lebih efisien, (2) dengan sentralisasi fiskal diakui telah mengalami kegagalan, dan (3) peran pemerintah daerah akan lebih besar dan tidak didikte oleh pemerintah pusat. Di Indonesia, desentralisasi fiskal didasarkan pada Undang undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Undang-undang ini mendeskripsikan desentralisasi sebagai penyerahan wewenang kepemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini maka urusan fiskal daerah diserahkan kepada daerah otonom atau pemerintah daerah. 18 Desentralisasi fiskal di Indonesia mempunyai tujuan : (1) memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi, (2) membantu daerah dalam mendanai kewenangannya dan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah, (3) melaksanakan fungsi pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah, dan (4) membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah (Penjelasan Undang-Undang No. 33 tahun 2004). Jadi desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam kaitannya dengan kebijakan desentralisasi fiskal agar sukses adalah bahwa kebijakan harus diikuti dengan kewenangan yang jelas dan efektif antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakannya harus adil dan transparan terutama dalam hal transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (Rodriguez-Pose dan Kroijer , 2009). Kebijakan seperti ini belum sepenuhnya dilaksanakan di Indonesia. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya kewenangan pemerintah pusat yang belum diserahkan kepada daerah sehingga menganggu pelaksanaan suatu kebijakan (Rowa, 2003). 19 Kebijakan fiskal dapat berhasil dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya jika pemerintah daerah komitmen yang direpresentasikan dengan kebijakan yang tepat, kualitas birokrat yang memadai, dan kesadaran masyarakat terhadap pemerintahan yang konsisten. Penelitian Tiebout (1956) dalam Rodriguez-Pose dan Kroijer (2009) menemukan bahwa salah satu keuntungan dari desentralisasi fiskal adalah bahwa desentralisasi akan meningkatkan efisiensi ekonomi pemerintah lokal karena pemerintahnya akan lebih mampu memberikan layanan yang lebih baik kepada masyarakatnya. Tetapi beberapa studi tentang desentralisasi fiskal menemukan bahwa kebijakan desentralisasi banyak yang tidak berhasil terutama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya (Bardhan, 2002). Untuk itu perlu dicermati faktor apa dalam desentralisasi fiskal yang sangat dominan dalam mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Selanjutnya disebutkan pada pasal 5 UndangUndang No. 33 Tahun 2004 bahwa pendapatan daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah. Sedangkan pembiayaan bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Besarnya penerimaan daerah ini akan sangat menentukan pengeluaran pemerintah. Dengan kata lain besarnya penerimaan ini menentukan besarnya belanja per sektor. Zhang dan Zou (1996) mengadakan penelitian di Cina dan menemukan fenomena bahwa pendapatan yang diperoleh dari fiskal dan kemudian digunakan 20 untuk keperluan belanja pemerintah daerah ternyata belum berhasil untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan tidak dapatnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi berbati tidak mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain itu, mereka menemukan bahwa desentralisasi fiskal dianggap sebagai salah satu ancaman terhadap kondisi stabilitas makroekonomi nasional. Salah satu penyebabnya dari kondisi seperti ini adalah bahwa kebijakan desentralisasi fiskal sering mengedepankan kepentingan proyek-proyek lokal dibanding dengan kepentingan nasional. Untuk itu kebijakan desentralisasi fiskal memerlukan perhatian khusus agar efektivitas dalam pencapaian kesejahteraan dapat optimal. Dalam kaitanya dengan efisiensi dan efektivitas pengeluaran pemerintah pada desentralisasi fiskal, Bardhan dan Mookherjee (2005) tidak dapat menyimpulkan apakah desentralisasi fiskal mendorong terjadinya korupsi di pemerintah lokal atau tidak. Tetapi menurut mereka desentralisasi fiskal dapat memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk melakukan korupsi seperti terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan regulasi terutama dalam penggunaan dana transfer guna mengurangi korupsi. Namun jika hal ini dilakukan terkesan membatasi tingkat otonomi fiskal itu sendiri. Rodriguez-Pose dan Kroijer (2009) melakukan penelitian tentang hubungan antara tingkat dan bentuk desentralisasi fiskal dan kinerja perekonomian Eropa Timur dan Eropa Tengah dengan menggunakan model regresi. Hasilnya adalah bahwa desentralisasi fiskal berkorelasi negatif dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah daerah, dan pajak daerah. Besarnya dana transfer berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi 21 walaupun tidak signifikan Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua kebijakan desentralisasi fiskal dapat berhasil dalam meningkatkan kinerja perekonomian daerah. 2.2.1. Pendapatan Asli Daerah Pendapatan asli daerah terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain lain pendapatan daerah yang sah. Secara perundangan pendapatan asli daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapaun tujuan dari adanya PAD itu adalah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. PAD itu sendiri terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain lain pendapatan asli daerah yang sah. Secara definisi, pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Beberapa pajak daerah antara lain adalah pajak restoran, pajak hotel, pajak kendaraan bermotor dan pajak balik nama kendaraan bermotor. Secara mekanistis, kebijakan fiskal melalui peningkatan tarif pajak akan berdampak pada dunia usaha, yang selanjutnya berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja atau pengangguran. Tenaga kerja yang kurang mobile, yang biasanya merupakan tenaga kerja kasar, akan sangat terpengaruh oleh kenaikan tarif pajak. Tenaga kerja ini memiliki peluang yang relatif tinggi menjadi penganggur atau 22 setengah penganggur. Tenaga kerja terampil atau berpendidikan relatif tinggi memiliki mobilitas relatif tinggi sehingga memiliki kerentanan yang relatif lebih kecil untuk menjadi pengangguran atau setengah penganggur dan kelompok ini dapat mengikuti kenaikan tarif pajak (Siebert, 1996) Retribusi didefinisikan sebagai pungutan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai akibat adanya kontra prestasi yang diberikan oleh pemerintah daerah atau pembayaran tersebut didasarkan atas prestasi atau pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah yang langsung dinikmati secara perorangan oleh warga masyarakat dan pelaksanaannya didasarkan atas peraturan perundangan yang berlaku (Devas et al, 1989). Selanjutnya, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan merupakan hasil keuntungan perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Sedangkan, yang dimaksud dengan lain lain pendatapan asli daerah yang sah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan antara lain pendapatan dari jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, pendapatan denda pajak, dan pendapatan denda retribusi (Undang-Undang No. 33 Tahun 2004). 2.2.2. Dana Perimbangan Dana perimbangan merupakan komponen dari penerimaan daerah yang cukup besar. Dana perimbangan terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan pemerintah daerah. Dana perimbangan ini terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana 23 Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Adapun besarnya jumlah dana perimbangan setiap tahun anggaran ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara . Dana bagi hasil terdiri dari Dana Bagi hasil Pajak, Dana Bagi hasil bukan pajak, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Dana bagi hasil ini terdiri dari dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumberdaya alam. Selanjutnya untuk dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumberdaya alam terdiri dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi. Dana Alokasi Umum (DAU) mempunyai pengertian sebagai dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional. Besarnya DAU secara keseluruhan yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah minimal 26 persen dari penerimaan dalam negeri netto. Selanjutnya pembagian ke daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal itu sendiri dihitung berdasarkan kebutuhan fiskal (fiskal needs) dikurangi kapasitas fiskal daerah (fiskal capacity). Sedangkan DAU itu sendiri digunakan untuk menutup celah yang terjadi akibat adanya kebutuhan daerah yang melebihi potensi penerimaan daerah bersangkutan. Berdasarkan 24 konsep celah fiskal tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya, daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Selanjutnya, alokasi dasar DAU dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah (Undang-Undang No. 33 Tahun 2004). Undang-undang ini menjelaskan bahwa kebutuhan daerah dalam penyelenggaran pemerintahan daerah paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan daerah seperti potensi industri, potensi sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia, dan PDRB. Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Sedangkan yang dimaksud dengan lain-lain Pendapatan yang sah adalah hibah dan dana darurat. Pendapatan hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat. Hibah digunakan sesuai dengan naskah perjanjian. Dana darurat pada intinya adalah dana APBN yang dimaksudkan untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan sumber APBD. Dari hasil 25 penelitian Rowa (2003) penerimaan daerah pada daerah otonom 70 persen masih didominasi oleh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). 2.3. Peran dan Struktur Pembangunan Pengeluaran Pemerintah Daerah dalam Pengeluaran pemerintah daerah tidak terlepas dari penerimaan daerah, karena secara teoritis pengeluaran merupakan fungsi dari penerimaan daerah. Semakin tinggi penerimaan daerah semakin tinggi tingkat pengeluaran daerah. Untuk itu daerah berusaha untuk meningkat penerimaan daerah dengan kewewenangannya daerah berusaha untuk meningkatkan Pendapatan asli daerah dan dana perimbangan. Hal inilah yang mendorong pemerintah daerah berusaha meningkatkan potensi pendapatan melalui peningkatan PAD nya agar bisa digunakan untuk belanja daerah dalam kerangka pembangunan daerah. Secara proses pengeluaran pemerintah merupakan kebijakan pemerintah untuk membiayai pembangunan daerah termasuk dalam hal ini biaya penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan kata lain pengeluaran pemerintah daerah merupakan pengeluaran yang digunakan untuk membiayai pembangunan di berbagai bidang termasuk dalam hal ini adalah bidang sosial, ekonomi, pemerintahan, budaya, ketertiban, ketentraman, dan sebagainya yang merupakan tugas pemerintahan secara umum. Dalam pelaksanaanya pengeluaran pemerintah direpresentasikan dengan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang disusun setiap tahun dan berperiode 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Tahapan dalam pembangunan daerah sangat berhubungan dengan tahapan pembangunan ekonomi. Setiap tahapan pembangunan ekonomi mempunyai 26 fokus pengeluaran pemerintah yang berbeda tetapi tetap harus memperhatikan keberlanjutan. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rostow dan Musgrave dalam Mangkusoebroto (1998) bahwa pada tahap awal perkembangan ekonomi pengeluaran pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana trasnportasi, dan sebagainya. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi ditandai dengan pengeluaran pemerintah yang difokuskan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas. Dalam hal ini investasi swasta sudah semakin besar dengan demikian peran dan kontribusi swasta dalam pembangunan relatif lebih besar dibanding dengan fase pertama. Pada tingkatan selanjutnya kegiatan pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program untuk lanjut usia, program untuk layanan kesehatan. Pendapat ini memberikan pemahaman bahwa pengeluaran pembangunan harus menjadi perhatian terutama oleh pemerintah itu sendiri agar alokasi anggaran dapat lebih tepat sasaran sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan sehingga target yang telah ditetapkan bisa terwujud. Pada akhirnya kesejahteraan masyarakat dapat segera tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Namun berdasarkan hasil penelitian Ramey (2011) ternyata tidak ada pengeluaran pemerintah yang memiliki multiplier efek yang mengikuti efek langsung itu sendiri. Dalam pengelolaan keuangan daerah, tata kelola administrasinya sering mengalami perubahan yang sangat siginifikan setiap periode. Hal ini disesuaikan dengan perubahan lingkungan dan sistem pemerintahan. Pada tahun anggaran 2006 belanja daerah dilaksanakan dengan pedoman pada Peraturan Menteri 27 Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 (Permendagri No.13/2006). Dalam peraturan ini, belanja diartikan sebagai belanja yang dipergunakan untuk penyelenggaraan dan diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial. Menurut Permendagri No. 13/2006, klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan terdiri dari belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan. Belanja urusan wajib antara lain pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, sedangkan belanja menurut urusan pilihan antara lain pertanian kehutanan, energi, dan sumberdaya mineral perindustrian. Sedangkan klasifikasi belanja lain adalah klasifikasi belanja menurut kelompok belanja. Klasifikasi ini terdiri dari belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Sedangkan kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung menurut jenis belanja yang terdiri dari: belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah bantuan sosial, belanja bagi basil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga. Sedangkan belanja langsung tediri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal. Dalam perkembanganya pengelolaan keuangan daerah terjadi banyak perubahan. Sebelum Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 28 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, pengelolaan belanja daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (PP No.105/2000) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan dan Belanja Daerah Pelaksanaan Tatausaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Kepmendagri No.29/2002). Pada Kepmendagri No.29/2002 disebutkan bahwa struktur APBD diklasifikasikan berdasarkan bidang pemerintahan daerah. Format susunan bidang pemerintahan dan perangkat daerah provinsi, kabupaten dan kota dalam APBD terdiri dari 21 bidang pemerintahan dan unit organisasi perangkat daerah provinsi, kabupaten dan kota dalam APBD, yaitu antara lain bidang administrasi umum pemerintahan, bidang pertanian, bidang perindustrian, perdagangan, bidang kesehatan, bidang permukiman, dan bidang pekerjaan umum. Selanjutnya disebutkan dalam keputusan ini bahwa belanja daerah terdiri dari bagian belanja aparatur daerah dan bagian belanja pelayanan publik. Selanjutnya masing-masing bagian belanja tersebut dirinci menurut kelompok belanja yang meliputi belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal. Pada setiap kelompok belanja dirinci menurut jenis belanja. Setiap jenis belanja dirinci menurut obyek belanja. Setiap obyek belanja dirinci menurut rincian obyek belanja. Dengan demikian secara akuntansi keuangan daerah tedapat perbedaan yang signifikan tantang pengelolalan keuangan daerah antara periode sebelum tahun 2006 dan setelah tahun tersebut. 29 2.4. Investasi dalam Pembangunan Daerah Investasi merupakan istilah yang berkaitan dengan keuangan dan ekonomi. Investasi diartikan sebagai akumulasi bentuk aktiva dengan suatu harapan mendapatkan manfaat di masa depan. Dengan demikian, maka secara ekonomi investasi berarti pembelian kapital atau modal barang-barang yang tidak dikonsumsi tetapi digunakan untuk produksi untuk keperluan yang akan datang. Investasi dalam perekonomian mempunyai peran yang sangat penting terutama dalam menggerakan perekonomian. Investasi akan menimbulkan multiplier effect bagi perekonomian. Peningkatan investasi tidak hanya akan meningkatkan permintaan agregat tetapi juga akan meningkatkan penawaran agregat melalui meningkatnya stok kapital dan kapasitas produksi. Adanya peningkatan dari sisi stok kapital dan kapasitas produksi dapat mendorong kegiatan produksi dan pada gilirannya akan menyerap tenaga kerja. Menurut Boediono (1992) investasi adalah pengeluaran oleh sektor produsen (swasta) untuk pembelian barang dan jasa untuk menambah stok yang digunakan atau untuk perluasan pabrik. Sedangkan Todaro dan Smith (2006) mengatakan bahwa investasi merupakan bagian dari pendapatan nasional atau pengeluaran nasional yang dimaksudkan untuk produksi atau barang pada periode waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa investasi merupakan faktor yang penting dalam perekonomian suatu daerah. Artinya pemerintah daerah perlu berusaha untuk menarik investasi baik dari luar daerah maupun luar negeri. Namun menurut Hasan dan Purwanto ( 2005) Indonesia termasuk negara di Asia yang iklim investasinya tidak sehat dan tidak kompetitif. Penyebabnya adalah 30 kualitas sumberdaya manusianya yang rendah, daya saing perekonomiannya rendah, dan tingkat pengangguran yang tinggi. Secara konsep dampak yang ditimbulkan dalam peningkatan investasi adalah meningkatnya pemanfaatan sumberdaya secara optimal dalam kegiatan produksi. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kegiatan perdagangan antar daerah, dan terciptanya nilai tambah yang lebih besar. Selain itu, investasi juga mendorong percepatan perkembangan teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi. Percepatan ini akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi mobilitas sumberdaya, bahan mentah, barang modal dan tenaga kerja secara lebih murah dan lebih mudah. Percepatan ini juga bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat di daerah. Bagi tenaga kerja, dorongan investasi dapat mengurangi pengangguran dan memperbaiki upah yang mereka terima, kenaikan upah diharapkan tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tetapi juga meningkatkan kemampuan menabung dan atau berinvestasi. Bagi pemerintah investasi akan meningkatkan aktivitas perdagangan,industri, upah, dan daya beli masyarakat. Upaya peningkatan investasi memerlukan berbagai dukungan berupa pencipataan iklim usaha yang kondusif, kapasitas infrastruktur yang memadai, intemediasi lembaga keuangan, tata pemerintahan yang baik serta keamanan dan ketertiban. Selain itu daya tarik invetasi juga ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia yang dimiliki oleh daerah. Hal ini sejalan dengan pendapat Gottheil (1996), Sodik dan Nuryadin (2008) mengatakan bahwa investasi swasta sangat dipengaruhai oleh PDRB, kondisi infrastruktur, keterbukaan ekonomi, tingkat perkembangan teknologi, tingkat suku bunga, ekspektasi pertumbuhan ekonomi di 31 masa yang akan datang, dan tingkat kapasitas produksi. Sebagai contoh adalah faktor teknologi. Perkembangan teknologi akan meningkatkan efisiensi produksi. Hal ini akan mempengaruhai investor untuk melakukan usaha di daerah tersebut. Demikian juga pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada suatu daerah akan menarik investor untuk berusaha di daerah tersebut. Tingkat suku bunga dengan investasi berkorelasi negatif artinya semakin tinggi interest rate akan semakin rendah investasi. Sedangkan kapasitas produksi akan menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya jika kapasitas produksi yang ada tidak memenuhi permintaan pasar sementara permintaan cenderung terus meningkat. Pada era otonomi daerah peran peningkatan investasi sebagian besar dimiliki oleh pemerintah daerah sejalan dengan kebijakan pemerintah tentang pemerintahan daerah yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Pada Undang-Undang No. 32 tersebut diamanatkan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah Provinsi juga meliputi pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota. Pemerintah daerah perlu menindaklanjuti hal ini secara proporsional mengingat fungsi dan peran investasi sangat penting. Fungsi investasi yang lain dalam pembangunan daerah adalah dalam mendanai kebutuhan infrastruktur. Alasannya adalah bahwa pembangunan infrastruktur merupakan syarat pembangunan daerah. Dengan infrastruktur tersebut aktivitas masyarakat dalam perekonomian akan lebih dinamis. Pada giliarannya hal ini akan meningkatkan produktivitas ekonomi daerah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembangunan infrastruktur merupakan syarat utama untuk menggerakan perekonomian suatu wilayah. Namun untuk 32 pembangunan infrastruktur diperlukan investasi yang besar sehingga pemerintah sering terlambat dalam penyediaan infrastruktur. Kondisi seperti ini pernah terjadi juga di Amerika. Untuk mengatasi hal ini Gramblich (1994) menyarankan pemerintah federa menyusun kebijakan yang intinya mengikutsertakan pemerintah negara bagian dan lokal untuk menggunakan sumberdaya dan kewenangannya guna penyediaan infrastruktur yang memadai. Sejalan dengan hal ini, maka alokasi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk pembangunan infrastruktur seharusnya menduduki posisi paling besar dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Secara ekonomi makro, ketersediaan pelayanan infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital, sedangkan dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi. Pembangunan infrstruktur yang dapat dilakukan di daerah diantaranya adalah infrastruktur perhubungan, telekomunikasi, pendidikan, dan kesehatan (Purwanto, 2009). Selain itu, infrastruktur juga berpengaruh penting bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia, antara lain dalam peningkatan nilai konsumsi, peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja, serta peningkatan kemakmuran nyata dan terwujudnya stabilisasi makroekonomi, yaitu keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar kredit dan berpengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja. Namun hasil penelitian Costa-i-Font dan Rodriguez-Oreggia (2005) di Meksiko menunjukkan bahwa investasi sosial memberikan dampak lebih besar terhadap pengurangan ketimpangan pendapatan antar kawasan 33 daripada investasi infrastruktur. Artinya investasi sosial memberikan dampak yang lebih berkualitas daripada investasi infrastruktur. Dengan argumen bahwa pembangunan infrastruktur di dalam perekonomian sangat penting maka para penyusun kebijakan pembangunan selalu memikirkan efisiensi dan optimalisasi alokasi anggaran untuk mensukseskan pembangunan infrastruktur ini. Akan tetapi permasalahan mendasar dalam pembangunan infrastruktur adalah keterbatasan pemerintah dalam penyediaan dana pembangunan (Purwanto, 2009). Untuk itulah diperlukan strategi dalam menentukan alokasi belanja yang terbatas dalam pembangunan infrasturktur. 2.5. Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Wilayah 2.5.1. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi pada umumnya mempunyai pengertian meningkatnya output barang dan jasa pada wilayah tertentu dan biasanya diukur dengan pertumbuhan nilai Gross Domestic Product (GDP). Dalam hal ini ada tiga faktor atau komponen utama yang penting dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah (Todaro dan Smith, 2006). Pertama adalah berapa besar tingkat akumulasi modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang dialokasikan dalam perekonomian. Kedua adalah berapa besar laju pertumbuhan penduduk yang akan menambah jumlah angkatan kerja dan yang ketiga adalah tingkat kemajuan teknologi yang akan mempengaruhi secara langsung proses produksi dan akhirnya akan meningkatkan kuantitas produksi. Hampir sama dengan Todaro dan Smith (2006), Romer (2001) mengemukakan bahwa teori pertumbuhan model Solow memfokuskan pada 34 empat variabel, yaitu : output (Y), capital (K), labor (L) dan Knowledge atau the effectiveness tenaga kerja (A), formulasi model pertumbuhannya adalah sebagai berikut. Yt = F (Kt, At, Lt ) ..........t merupakan waktu. Formula ini menunjukkan bahwa faktor kapital sangat dominan dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian. Di samping faktor tersebut, faktor tenaga kerja dan ilmu pengetahuan yang dimiliki tenaga kerja tersebut juga menjadi faktor penentu pertumbuhan ekonomi. Suatu wilayah dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi, apabila Produk Domestik Bruto (PDB) riil mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Berlaku sebaliknya, apabila PDB suatu wilayah turun dari tahun sebelumnya, maka wilayah tersebut dikatakan mengalami penurunan. Dalam perekonomian, pertumbuhan menjadi penting karena dapat memacu pembangunan daerah. Dalam konteks Indonesia pada era otonomi, pertumbuhan ekonomi merupakan cara paling efektif untuk memperkuat kelompok pembaharu karena hal ini akan mendorong pembentukan kelompok kelas menengah baru. Kelompok ini merupakan penggerak pembangunan daerah (Boediono, 2009). Dikatakan juga bahwa syarat lain berkaitan dengan hal ini adalah bahwa pertumbuhan ekonomi harus tersebar dan harus tumbuh dari sumber enterpreunerial dalam kompetisi yang sehat. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Dalam konteks ini, dari sisi permintaan agregat, peningkatan output domestik dapat diidentifikasi dengan empat komponen perekonomian, yaitu : (1) pengeluaran konsumsi oleh rumahtangga (C), (2) pengeluaran investasi oleh dunia 35 bisnis dan rumahtangga (I), (3) belanja pemerintah untuk barang dan jasa (G), dan (4) nett eksport (X-M) (Dornbusch et al, 2004). McCann (2006) memformulasikan komponen perekonomian daerah tersebut yang dikenal dengan permintaan agregat standar dari Keynesian untuk kawasan regional yang dapat dirumuskan sebagai berikut. Yr = Cr + Ir + Gr + Xr – Mr Keterangan: Yr = Pendapatan regional Ir = Investasi regional Cr = Konsumsi regional Gr = Pengeluaran pemerintah daerah Xr = Eskpor daerah Mr = Impor daerah. Formula di atas mengandung arti bahwa pertumbuhan ekonomi di daerah sangat tergantung dari empat komponen. Dalam hal ini yang dimaksud dengan konsumsi (C) adalah konsumsi dari barang dan jasa yang dilakukan rumahtangga. Tingkat konsumsi rumahtangga dipengaruhi oleh pendapatan disposibel (Disposible Income) atau pendapatan yang dapat dibelanjakan. Jika diasumsikan belanja pemerintah tetap, maka semakin tinggi konsumsi menyebabkan menurunnya investasi atau memperbesar defisit perdagangan. Selanjutnya, yang disebut dengan investasi (I) adalah pembelian barang dan jasa oleh dunia usaha. Investasi disebut juga dengan barang modal yang dibeli untuk penggunaan masa depan. Yang termasuk dalam investasi ini, adalah pembiayaan untuk konstruksi infrastruktur. 36 Salah satu sumber investasi adalah dengan privatisasi badan usaha milik pemerintah. Namun menurut Adams (2006) kebijakan privatisasi di Subsaharan Afrika ternyata tidak mendorong pertumbuhan ekonomi tetapi dapat menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan. Hal yang penting dari hasil penelitiannya adalah bahwa infrastuktur di Subsaharan Afrika yang dibangun dan disediakan pemerintah sangat membantu dalam pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur menjadi penting dalam pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah harus selektif dalam menyusun prioritas pembangunan. Dengan kata lain pemerintah harus selektif, komprehensif, dan profesional dalam penyusunan rancangan APBN dan rancangan APBD. Untuk itu, berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003, penyusunan APBN dan APBD didasarkan dengan pendekatan pada prestasi kerja yang akan dicapai. Dengan demikian maka anggaran yang dialokasikan pada kegiatan pada APBN dan APBD dapat menghasilkan kinerja yang dapat di ukur. Dalam hal ini Irawati dan Mansur (2006) berpendapat bahwa elemen penting yang harus diperhatikan dalam penerapan menajemen pengeluaran publik berbasis kinerja adalah: (1) pergeseran pengambil keputusan tentang penentuan kebutuhan publik dari pemerintah , yaitu dari birokrat profesional dan kelompok elite ke masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar anggaran publik dapat menjawab kebutuhan masyarakat, dan (2) manajemen kinerja dengan perencanaan kinerjanya merupakan kesatuan yang utuh dengan anggaranya. Oleh karena itu, alokasi anggaran harus berdasarkan pada kinerjanya. Kondisi seperti ini menuntut akuntabilitas yang tinggi dan transparansi dari semua para pemangku kepentingan. 37 Sejalan dengan hal ini, untuk pertimbangan efektivitas dan efisiensi penganggaran publik menjadi hal yang sangat penting. Penetapan indikator kinerja harus jelas dan harus berkaitan dengan tujuan dan sasaran yang telah disusun berdasarkan kesepakatan masyarakat. Hal ini mengandung arti bahwa reformasi manajeman pengeluaran publik bukan lah merupakan agenda reformasi yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari paket reformasi manajemen penyelenggaraan pemerintahan. Untuk mendapatkan hasil yang baik dan dalam penerapan manajemen kinerja diperlukan juga anggaran berbasis kinerja yang salah satu intinya adalah alokasi anggaran publik yang berdasakan kinerja. Untuk mendukung penerapan manajemen pengeluaran publik berbasis kinerja dibutuhkan juga perubahan dalam mekanisme perumusan tujuan dan sasaran dari pengeluaran publik, pembenahan saluran komunikasi untuk menjaring aspirasi masyarakat, serta penentuan indikator yang tepat sebagai kontrak formal antara pemerintah dan masyarakat. Kontrak formal inilah yang harus dipertanggungjawabkan oleh pemerintah kepada masyarakat. Jika hal ini dilakukan maka tidak akan ditemukan salah alokasi anggaran dengan demikian terjadi optimalisasi penggunaan anggaran pemerintah. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi regional yang dibutuhkan masyarakat dapat terwujud sesuai rencana (Sodik, 2007). 2.5.2. Pertumbuhan Wilayah Secara teoritis, wilayah diartikan sebagai subsistem dari sistem yang lebih kompleks dan lebih besar, yaitu lingkup nasional. Oleh karena itu, wilayah mempunyai pusat kegiatan yang fungsinya mendukung kegiatan nasional. Dalam 38 konteks ini, maka daerah merupakan subsistem dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah yang memiliki tingkat pembangunan yang relatif tinggi dan tingkat aktivitas yang relatif padat, menunjukkan wilayah tersebut mempunyai heterogenitas sosial yang semakin kompleks. Hal ini mengakibatkan pada wilayah tersebut muncul berbagai aneka pekerjaan yang dilakukan oleh para penduduknya, yang berlatar belakang berbeda-beda (Adisasmita, 2008). Heterogenitas sosial dalam kota, merupakan prasyarat terjadinya dinamika positif dalam perekonomian. Hal ini seperti dinyatakan oleh Lampard dan Friedmann dalam Adisasmita (2008) bahwa dinamika tersebut merupakan syarat agar terwujud inovasi baru dalam produksi. Jadi intinya, inovasi merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan ekonomi. Sejalan dengan inovasi merupakan bagian dari perubahan teknologi, maka ada kecenderungan bahwa pembangunan ekonomi lebih mudah terjadi di kota-kota besar atau daerah yang sudah maju dari pada di daerah-daerah pedesaan atau daerah yang kurang maju. Selain itu, inovasi berkecenderungan menimbulkan perubahan dalam struktur ekonomi, struktur sosial dan politik. Oleh karena itu, setiap daerah mempunyai respon yang berbedabeda terhadap perubahan yang datang dari luar termasuk perubahan dalam investasi dan pengeluaran pemerintah daerah untuk pembangunan. Dalam hal ini, Perroux (2007) dalam Adisasmita (2008) mengatakan bahwa suatu tempat dikatakan sebagai kutub pertumbuhan apabila di tempat tersebut terdapat industri kunci (key industry). Industri kunci ini memainkan peranan sebagai pendorong yang dinamik, karena industri tersebut mempunyai kemampuan untuk melakukan inovasi. Jika wilayah mempunyai industri kunci 39 yang tumbuh dengan baik maka industri tersebut merupakan kutub pertumbuhan. Selanjutnya kutub pertumbuhan tersebut jika berkumpul, maka akan dapat merupakan suatu kompleks industri, yang berkelompok di sekitar industri kunci. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa industri kunci dalam suatu wilayah, juga sangat menentukan aktivitas perekonomian. Dengan demikian, disimpulkan oleh dia bahwa ada tiga ciri penting dalam konsep titik pertumbuhan, yaitu : (1) terdapat keterkaitan internal antara berbagai industri secara teknik dan ekonomi, (2) terdapat pengaruh multiplier, dan (3) terdapat konsentrasi geografis. Sedangkan dalam Capello (2007) Perroux mengatakan bahwa teori kutub pertumbuhan merupakan teori yang membahas secara detail tentang pertumbuhan suatu wilayah. Basis dari teori ini menyatakan bahwa pembangunan tidak tumbuh di setiap tempat pada waktu yang sama. Pertumbuhan terkonsentrasi pada wilayah tertentu dan tumbuh dengan intensitas yang bervariasi. 2.6. Investasi, Pengeluaran Pemerintah Daerah dan Kemiskinan Kemiskinan mempunyai pengertian yang sangat beragam, tergantung dari pendekatan yang digunakan. Pendekatan yang berbeda akan menghasilkan pengertian yang berbeda pula. Sen (1982) menggunakan pendekatan sosial dan ekonomi mendefinisikan kemiskinan sebagai keadaan sosial dan ekonomi yang tidak mampu memenuhi yang ada dalam lingkungan sosialnya. Berbeda dengan Sen (1982), Kumorotomo (2001) menguraikan bahwa tidak cukup mendefinisikan kemiskinan hanya melihat dari sisi pendapatan saja, tetapi untuk mendefinisikan kemisikinan harus mengikutsertakan bahasan kesehatan, pendidikan, dan kegiatan sosial lainnya. Ini menunjukkan bahwa, kemiskinan merupakan fenomena multidimensi yang tidak bisa didekati dengan 40 satu pendekatan saja. Kategori pendekatan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan absolut suatu kondisi dimana seseorang tidak bisa memenuhi kebutuhan minimal akan nutrisi dan barang kebutuhan lainnya (Sen dan Foster 1997). Sementara kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang didasarkan pada perbandingan antara satu segmen dengan segmen lainnya (Hashim, 1998). Jadi kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang selalu eksis sampai kapanpun sementara kemiskinan absolut merupakan kemiskinan yang bisa diatasi dengan kebijakan pemerintah yang tepat. Melihat kondisi di atas, maka hal yang penting untuk merespon fenomena kemiskinan adalah dengan cara mengenali penyebab dari kemiskinan itu sendiri. Menurut Kelso (1994) kemiskinan disebabkan oleh tidak berimbangnya antara supply dan demand tenaga kerja dalam perekonomian. Supply tenaga kerja disebabkan oleh ketidakcukupan pendidikan yang dimiliki oleh orang miskin sedangkan dari sisi permintaaan akan tenaga kerja disebabkan karena kondisi ekonomi yang tidak berubah. Perekonomian tidak mengalami pertumbuhan yang memadai sehingga lapangan kerja tidak bertambah. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan kemiskinan faktor ekonomi menjadi sangat stategis. Secara ekonomi untuk membuka lapangan kerja diperlukan investasi dan pengelauran pemerintah yang mencukupi. Alasanya adalah bahwa dengan meningkatnya investasi dan pengeluaran pemerintah akan membuka lapangan kerja. Jika lapangan kerja terbuka maka tahap selanjutnya adalah pengangguran akan berkurang atau dengan kata lain para pekerja yang masih menganggur bisa memperoleh pekerjaan. Dengan para pekerja bekerja berarti mereka memperolah pendapatan. Dengan diperolehnya pendapatan pada akhirnya kelompok miskin 41 bisa lepas dari kemiskinan. Jadi investasi dan pengeluaran pemerintah dapat mengurangi kemiskinan yang terdapat pada masyarakat. Namun dalam kaitannya dengan hal ini, ternyata penelitian Sodik (2007) tidak sependapat dengan hasil penelitian di atas karena hasil penelitian ini menyatakan bahwa ternyata investasi swasta tidak bepengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional yang berarti bahwa investasi tidak dapat menambah penyerapan tenaga kerja. Kriteria kemiskinan secara teoritis sangat beragam. Setiap definisi, mempunyai kriteria dan karakteristik tersendiri. Karakter kemiskinan menurut Badan Pusat Statistik (BPS, 2009) dapat dilihat dan dikelompokkan menjadi 8 (delapan), yaitu : 1. Luas lantai perkapita, 2. Jenis lantai, 3. Air minum/ketersediaan air bersih, 4. Jenis jamban/WC, 5. Kepemilikan asset, 6. Pendapatan (total pendapatan per bulan), 7. Pengeluaran (persentase pengeluaran untuk makanan), dan 8. Konsumsi lauk pauk (daging, ikan, telur, dan ayam) . Masing-masing indikator tersebut mempunyai ukuran tersendiri. Dengan dasar kriteria ini, rumahtangga dapat dikelompokkan dalam kelompok miskin dan tidak miskin. Jika rumahtangga mempunyai minimal lima ciri miskin maka rumahtangga tersebut dikelompokkan dalam rumahtangga miskin. Data tersebut menginformasikan bahwa kemiskinan merupakan konsep multiaspek, oleh karena itu, konsep pendekatan pengukurannya dilakukan dengan 42 berbagai metode. Dengan alat pengukuran yang berbeda akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda juga. Seperti yang dikemukakan oleh Ravallion dan Bidani (1994) bahwa metode pengukuran kemiskinan dengan metode Cost of Basic Need (CBN) dan dengan metode Food- Energy-Intake (FEI) memberikan hasil yang berbeda. Metode CBN menemukan insiden kemiskinan lebih besar, kedalaman lebih dalam dan keparahan lebih tinggi di daerah pedesaan. Tetapi dengan metode FEI memperoleh hasil yang sebaliknya. Oleh karena itu, dalam pengukuran kemiskinan perlu kecermatan dan ketelitian agar kesimpulan yang diperoleh sesuai dengan kondisi di lapangan. Menurut Salmen (1997) dalam Saputro (2007) mengatakan bahwa penyebab utama kemiskinan yang diutarakan oleh kelompok masyarakat pertanian yang miskin di Sumatera Barat ada empat, yaitu : (1) faktor kepemilikan modal. Modal yang sangat sedikit mempengaruhi masyarakat dalam mengembangkan kegiatan usaha yang produktif. Padahal usaha akan bisa berkembang dan berkelanjutan apabila mobilisasi kapital dapat dilakukan, terlebih lagi pada sektor pertanian dan perkebunan yang membutuhan modal relative besar, (2) rendahnya kepemilikan lahan. Karena kepemilikan lahan yang sempit sehingga masyarakat pertanian menjadi buruh tani dan buruh kebun. Dengan demikian upah mereka sangat rendah. Pendapatan yang rendah dan jumlah tanggungan keluarga yang besar maka jebakan kemiskinan akan terjadi lagi, (3) rendahnya tingkat pendidikan masyarakat petani. Tingkat pendidikan ini mempengaruhi produktivitas pertanian, dan (4) kebijakan pemerintah yang tidak pro poor kepada masyarakat petani. Pada umumnya dalam negara berkembang regulasi pemerintah kurang peka terhadap perekonomian masyarakat. Dengan demikian untuk 43 mengurangi jumlah penduduk miskin harus dilakukan dengan berbagai pendekatan seperti pemberian modal kerja, peningkatan pendidikan, dan kebijakan pemerintah yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Pendekatan lain dalam menyusun kebijakan ekonomi untuk mengurangai kemiskinan adalah melalui perdaganga. Dalam kaitannya dengan hal ini, menurut Dollar dan Kraay (2004) globalisasi ekonomi yang berarti keterbukaan dari sisi ekonomi ternyata juga dapat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Globalisasi ekonomi berdampak pada penurunan kemiskinan dan percepatan pertumbuhan ekonomi. Ini mengandung arti bahwa semakin daerah itu terbuka semakin tinggi juga tingkat kesejahteraannya. 2.7. Tenaga Kerja dalam Perekonomian Dalam perekonomian faktor tenaga kerja merupakan faktor produksi yang mempunyai peran sangat sentral dan unik karena faktor ini mempunyai dua dimensi penting yaitu dimensi kuantitatif dan kualitatif. Dari sisi kuantitatif Todaro dan Smith (2006) mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja secara tradisional dianggap sebagai salah satu faktor positif yang memacu pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan menambah tingkat produksi, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar. Pengaruh tenaga kaerja terhadap perekonomian ini bisa positif atau negatif. Dampak positif terjadi apabila pertumbuhan penduduk dapat dimanfaatkan oleh kemampuan sistem perekonomian daerah dalam arti perekonomian dapat menyerap dan secara produktif dan memanfaatkan pertambahan tenaga kerja secara optimal. Kemampuan tersebut dipengaruhi oleh 44 tingkat dan jenis akumulasi modal dan tersedianya input dan faktor penunjang seperti kecakapan manajerial dan administrasi atau dengan kata lain faktor tenaga kerja kualitatif perlu mendapat perhatian khusus. Dalam hal ini menurut Mankiw (2003) modal manusia yang penting dalam perekonomian adalah modal pengetahuan dan kemampuan yang diperoleh oleh para pekerja melalui pendidikan mulai dari program untuk anak-anak sampai dengan pelatihan dalam pekerjaan (on the job training) untuk para pekerja dewasa. Seperti halnya dengan modal fisik, modal manusia meningkatkan kemampuan untuk memproduksi barang dan jasa. Untuk meningkatkan level modal manusia dibutuhkan investasi dalam bentuk guru, perpustakaan, dan waktu belajar. Dalam model sederhana tentang pertumbuhan ekonomi, pada umumnya pengertian tenaga kerja diartikan sebagai angkatan kerja yang bersifat homogen. Angkatan kerja yang homogen dan tidak terampil dianggap bisa bergerak dan beralih dari sektor tradisional ke sektor modern secara lancar dan dalam jumlah terbatas. Dalam keadaan demikian penawaran tenaga kerja mengandung elastisitas yang tinggi. Meningkatnya permintaan atas tenaga kerja bersumber pada ekspansi kegiatan sektor modern. Dengan demikian salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi adalah kulaitas dan kuantitas tenaga kerja. Faktor penting lain yang perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan faktor produksi tenaga kerja adalah bahwa dampak dari adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah tuntutan tingginya tingkat upah. Tingkat upah ini yang diterima oleh pekerja tidak bisa dipisahkan dari situasi di pasar kerja, karena besarnya upah tergantung pada jumlah tenaga kerja dan penduduk usia kerja yang ada di pasar kerja. Sehingga, persebaran tenaga kerja menjadi hal 45 yang menarik untuk dibahas, karena berpengaruh pada besarnya upah yang akan diterima pekerja serta kemampuan pasar kerja untuk menyerap tenaga kerja yang tersedia di daerah yang bersangkutan. Dari sisi struktur ketenagakerjaan, hal yang menjadi permasalahan bagi suatu negara atau daerah adalah jumlah pengangguran. Dari segi definisi, pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas, dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. 46 Menurut McCann (2006) pasar tenaga kerja secara sederhana dapat didiagramkan seperti pada Gambar 1. Simbol W* adalah suatu titik dimana pada wage tersebut diterima oleh semua pekerja. Simbol L* dalam neoclassical adalah full employment dan pada situasi ini tidak ada yang involuntary unemployment. Gambar 1. Model Sederhana Pasar Tenaga Kerja Struktur pasar tenaga kerja sangat dipengaruhi juga oleh tingkat keterbukaan perekonomian. Hal ini sejalan dengan Julie dan Robin (2004) yang mengemukakan bahwa keterbukaan perekonomian suatu daerah berpengaruh terhadap struktur jenis pekerjaan yang ada di daerah tersebut. Pada perekonomian yang terbuka struktur pekerja lebih dominan pada pekerjaan yang membutuhkan tingkat keterampilan tinggi (white collar workers), pekerjaan jasa, seperti programmer, dan akunting. Dalam konteks desentralisasi fiskal, daerah yang perekonomiannya lebih terbuka akibat kebijakan desentralisasi fiskal menjadikan perekonomiannya lebih dinamis dan struktur pasar tenaga kerjanya akan berbeda 47 dengan daerah yang perekonomiannya relatif tertutup karena sulitnya investasi masuk ke daerahnya. 2.8. Pembangunan Daerah dan Indeks Pembangunan Manusia Pembangunan daerah secara umum adalah suatu proses guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat, kesejahteraan masyarakat, dan partisipasi masyarakat. Dalam kaitan dengan hal ini, pembangunan manusia merupakan titik sentral dalam proses pembangunan karena pembangunan manusia yang berhasil akan membentuk manusia yuang berkualitas dan akan menjadi pelaku utama pembangunan di segala aspek. Pembangunan manusia sangat erat hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sumberdaya manusia bersifat timbal balik. Di satu sisi pertumbuhan ekonomi menyediakan sumber-sumber berkelanjutan yang dalam memungkinkan pembangunan terjadinya manusia. perkembangan Sementara dari sisi secara lain pengembangan secara berkelanjutan dalam kualitas modal manusia merupakan kontributor penting bagi pertumbuhan ekonomi. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia berlangsung melalui penciptaan lapangan kerja. Aspek ini sangat penting karena sesungguhnya penciptaan lapangan kerja merupakan media yang mengaitkan antara pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Sasaran akhir pembangunan daerah adalah pembangunan manusia seutuhnya. Pembangunan manusia dapat berhasil jika kesejahteraan masyarakat telah tercapai dengan segala aspeknya. Hal ini dapat terwujud jika masyarakat secara umum dapat menguasai atas sumberdaya pendapatan untuk mencapai hidup 48 layak. Selain itu masyarakat juga dapat meningkatkan derajat kesehatan dengan usia hidup panjang dalam kondisi sehat. Untuk mencapai tujuan tersebut maka setiap negara dalam hal ini pemerintah perlu melakukan upaya meningkatkan kualitas penduduk sebagai sumberdaya yang meliputi aspek fisik, aspek intelektualitas, aspek kesejahteraan ekonomi dan aspek moralitas sehingga partisipasi rakyat dalam pembangunan akan dengan sendirinya meningkat. Menurut UNDP (1995) dalam BPS (2006), paradigma pembangunan manusia terdiri dari empat komponen utama, yaitu : (1) produktifitas, (2) ekuitas (3) kesinambungan, dan (4) pemberdayaan. Produktifitas yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa masyarakat harus dapat meningkatkan produktifitas mereka dan berpartisipasi secara penuh dalam proses memperoleh penghasilan dan pekerjaan berupah. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu bagian dari jenis pembangunan manusia. Ekuitas yang dimaksud dalam hal ini adalah pemerataan hasil pembangunan. Pembangunan memerlukan infrastruktur yang memadai agar masyarakat bisa memperoleh akses yang mencukupi. Masyarakat harus punya akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapus agar masyarakat dapat berpartisipasi di dalam dan memperoleh manfaat dari kesempatan ini. Kesinambungan, kesinambungan dalam hal ini dimaksudkan bahwa dalam pembangunan harus bersinambung dan tidak putus pada generasi tertentu. Artinya bahwa pembangunan harus dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi juga generasi yang akan datang. 49 Pemberdayaan dalam hal ini mempunyai pengertian bahwa peran masyarakat sangat strategis dalam pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian, pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat dan bukan hanya untuk mereka saja. Masyarakat harus berpartisipasi penuh dalam mengambil keputusan dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka. Sejumlah premis penting dalam pembangunan manusia diantaranya adalah pembangunan harus mengutamakan penduduk sebagai pusat perhatian, pembangunan dimaksudkan untuk memperbesar pilihan-pilihan bagi penduduk, tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan mereka. Oleh karena itu, konsep pembangunan manusia harus terpusat pada penduduk secara keseluruhan, dan bukan hanya pada aspek ekonomi saja. Salah satu ukuran dalam pembangunan manusia adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada dasarnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bukan hanya berupa angka semata, tetapi IPM suatu indeks yang memiliki makna yang sangat luas dalam kehidupan manusia yang mencerminkan status kemampuan dari manusia itu sendiri. Dalam hal penyusunan IPM, indikator yang digunakan dikelompokkan menjadi empat (Sumodiningrat, 2009). Keempat kelompok indikator tersebut adalah angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan kemampuan daya beli (purchasing power parity). Angka harapan hidup merepresentasikan dimensi umur panjang dan kesehatan. Angka melek huruf merepresentasikan dan rata-rata lama sekolah mencerminkan output dari dimensi pengetahuan. Sedangkan untuk mengukur kemampuan daya beli digunakan untuk mengukur dimensi hidup layak. Indikator-indikator tersebut dipengaruhi oleh 50 beberapa faktor seperti ketersediaan infrastruktur, ketersediaan teknologi yang tepat lingkungan, kemampuan sumberdaya manusia, kuantitas sumberdaya manusia, ketersediaan pasar, dan ketersediaan sumberdaya alam. Hal ini mengandung arti bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator yang tidak berdimensi tunggal dan implikasi logisnya adalah bahwa jika ingin meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) harus juga memperhatikan faktor-faktor lain yang merupakan penyusun IPM itu sendiri. 2.9. Tinjauan Literatur dan Hasil Penelitian Terdahulu 2.9.1. Studi yang Berkaitan dengan Peran Pengeluaran Pemerintah dalam Perekonomian Daerah Penelitian yang berkaitan dengan desentralisasi fiskal dan aspek fiskal banyak menggunakan model ekonometrika dengan persamaan simultan. Pada tahun 2006. Nanga (2006) melakukan penelitian dengan tujuan untuk menganalisis dampak transfer fiskal terhadap kinerja perekonomian terutama terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan Indonesia. Dalam hal ini sampel yang digunakan 25 provinsi di Indonesia dan periode waktunya dari tahun 1999 sampai tahun 2002. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika yang terdiri dari enam blok yaitu : fiskal daerah, output, tenaga kerja, pengeluaran rumahtangga, distribusi pendapatan, dan blok kemiskinan. Antar blok saling terkait menjadi satu sistem persamaan simultan yang terdiri dari 20 persamaan struktural dan 8 persamaan identitas. Indikator distribusi pendapatan digunakan alat ukur Indeks gini, sedangkan untuk mengetahui tingkat kemiskinan di pedesaan dan kota menggunakan indek kemiskinan. 51 Model ekonometrika dengan persamaan simultan juga digunakan oleh Usman (2006). Model ekonometrika yang digunakan dengan empat blok yaitu: blok penerimaan daerah, blok pengeluaran daerah, blok permintaan agregat, blok distribusi pendapatan, dan kemiskinan. Keempat blok tersebut membentuk sistem persamaan (simultan) dengan 17 persamaan struktural dan 8 persamaan identitas. Tujuan dari penelitian Usman adalah mengevaluasi dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal dan ekonomi daerah yang lebih ditekankan pada distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan di Indonesia. Sampel yang digunakan 308 Kabupaten dan kota yang di kelompokkan ke dalam 26 provinsi. Data yang diambil mulai dari tahun 1994 sampai tahun 2003 yang terdiri dari data yang digunakan untuk mengevaluasi dan membandingkan pertumbuhan masyarakat ekonomi bawah dan atas, data cross section rumahtangga tahun 1992 dan 2002 untuk mengetahui faktor penentu kemiskinan, dan data panel tahun 1995 sampai tahun 2003 untuk menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap perubahan distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Selain itu, peneliti Azwardi (2007) dengan menggunakan Social Accounting Matriks (SAM) menganalisis dampak kebijakan pengeluaran pemerintah terhadap pembangunan daerah. Hasil dari penelitiannya, adalah bahwa pengeluaran pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah cenderung memberikan income multiplier terhadap rumahtangga yang lebih besar dibandingkan pengeluaran rutin. Ini menunjukkan, peran pemerintah untuk menggerakan perekonomian sangat strategis, terutama untuk pengeluaran 52 pembangunan. Atau dengan kata lain, pemerintah seyogyanya mengalokasikan anggaran untuk belanja modal lebih besar daripada belanja non-modal. Menurut Purwanto (2009) besarnya belanja modal berpengaruh nyata terhadap peningkatan pendapatan riil perkapita. Berkaitan dengan hal ini variabel angka melek huruf yang pada dasarnya mencerminkan tingkat pendidikan ternyata tidak mempengaruhi perubahan pertumbuhan pendapatan riil perkapita. Penelititan ini juga menyimpulkan bahwa belanja modal pemerintah daerah dengan segala komposisi pengalokasiannya merupakan ”complementary factor” untuk potensi perumbuhan ekonomi regional. Hal ini didasarkan karena untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah tidak hanya tergantung dari proporsi belanja saja tetapi tergantung juga dari modal fisik dan modal non fisik yang digunakan untuk investasi dan inovasi guna pertumbuhann ekonomi. Hal ini sependapat dengan Panjaitan (2006) bahwa kinerja perekonomian daerah sangat tergantung dari belanja modal fisik dan non-fisik yang direpresentasikan oleh kondisi infrastruktur, investasi, dan tingkat kepastian berusaha. Riyanto dan Siregar (2005) melakukan penelitian tentang desentralisasi fiskal terhadap keuangan daerah. Penelitian ini menggunakan model ekonometrika dengan persamaan simultan. Hasil penelitian tersebut adalah bahwa dana perimbangan berpengaruh nyata terhadap peningkatan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Belanja rutin dan belanja pembangunan berpengaruh terhadap perekonomian daerah. Namun pengaruh tersebut tidak berbeda nyata antara sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. artinya perubahan aliran dana belum diikuti oleh peningkatan kinerja perekonomian daerah yang signifikan. dengan demikian pemerataan pembangunan wilayah belum tercapai. 53 Penelitian Astuti (2007) yang bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan desentralsisasi fiskal terhadap kinerja fiskal di Provinsi Bengkulu dengan menggunakan persamaan simultan menghasilkan beberapa temuan. Temuan tersebut antara lain bahwa peningkatan pengeluaran untuk infrastruktur berdampak positif terhadap kapasitas fiskal daerah, kesenjangan fiskal semakin membaik. Di samping itu studi ini juga menemukan bahwa pertumbuhan ekonomi semakin meningkat, pendapatan perkapita semakian tinggi, penyerapan tenaga kerja juga semakin baik tetapi distribusi pendapatan semakin tidak merata di semua kabupaten. Selain itu, kebijakan peningkatan pajak dan retribusi yang diimbangi dengan pengeluaran pembangunan berdampak paling besar terhadap peningkatan kapasitas fiskal daerah sehingga penerimaan transfer daerah semakin kecil. Sedangkan peningkatan saran infrastruktur akan mendorong investasi di daerah sehingga aktivitas perekonomian daerah (PDRB) meningkat. Temuan lainnya adalah peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian juga berdampak positif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum kinerja desenralisasi fiskal sangat signifikan pengaruhnya terhadap perekonomian daerah dan akan berdampak terhadap penerimaan daerah. Penerimaan daerah akan mempengaruhi pengeluaran dan pada gilirannya pengeluaran daerah ini akan berdampak positif terhadap perekonomian daerah. Salah satu sumber penerimaan daerah adalah pajak. Kebijakan fiskal melalui peningkatan tarif pajak akan berdampak pada dunia usaha, yang selanjutnya berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja atau pengangguran. Tenaga kerja yang kurang mobile, yang biasanya merupakan tenaga kerja kasar, 54 akan sangat terpengaruh oleh kenaikan tarif pajak. Tenaga kerja ini memiliki peluang yang relatif tinggi menjadi penganggur atau setengah penganggur. Tenaga kerja terampil atau berpendidikan relatif tinggi sehingga memiliki mobilitas relatif tinggi- memiliki kerentanan yang relatif lebih kecil untuk menjadi pengangguran atau setengah penganggur, mengikuti kenaikan tarif pajak (Siebert, 1996). Dengan demikian maka diperlukan kebijakan yang komprehensif dalam menyusun kebijakan pajak karena ternyata dampaknya sangat besar terhadap perekonomian termasuk dalam hal ini adalah penyerapan tenaga kerja dan jumlah investasi swasta. 2.9.2. Studi yang berkaitan dengan peran Investasi dalam Perekonomian Daerah Menurut Pakasi (2005) meningkatnya investasi baik domestik maupun asing diramalkan akan mengurangi ketergantungan fiskal daerah terhadap Dana Alokasi Umum (DAU). Berkaitan dengan hal ini, Riyanto dan Siregar (2005) dengan menggunakan analisis kondisi riil dan simulasi model ekonometrika menyimpulkan bahwa dana perimbangan belum dapat menciptakan kondisi pemerataan pembangunan wilayah walaupun secara fiskal terjadi pemerataan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah dan antara pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan bahwa dana perimbangan tersebut belum secara signifikan memperbaiki kesenjangan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Hasil simulasi setiap komponen dana perimbangan juga menunjukkan bahwa dana bagi hasil pajak dan bukan pajak membuat ketidakmeraataan semakin besar. Hal ini diduga karena ketidakmerataan potensi sumberdaya alam antar daerah. Namun ketimpangan yang ditimbulkan oleh bagi hasil pajak dan bukan pajak tersebut 55 dapat direduksi dengan adanya DAU. Dengan demikian maka DAU diharapkan dapat berperan lebih besar sebagai instrumen kebijakan dalam mendorong pemerataan pembangunan antar daerah di masa mendatang. Penelitian ini juga menemukan bahwa kesenjangan perekonomian antara daerah dan pertumbuhan ekonomi daerah bukan semata-mata ditentukan oleh besar kecilnya dana perimbangan di suatu daerah . Selanjutnya dikatakan bahwa peran infrastruktur dalam perekonomian sangat penting dan sentral, karena infrastruktur dipahami sebagai enabler berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Selain itu, pembangunan infrastruktur merupakan bagian dari social overhead capital yang mutlak diperlukan untuk menggerakan sektor-sektor ekonomi lainnya. Artinya, bahwa investasi infrastruktur merupakan titik kunci dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah. Legowo (2009), menemukan bahwa ternyata terdapat pengaruh nyata atas kebijakan investasi infrastruktur transportasi jaringan jalan raya dan tol dan rel di wilayah Jabodetabek terhadap kegiatan ekonomi di wilayah tersebut dan wilayah sekitarnya. Artinya bahwa pembangunan infrastruktur jalan dan rel memang mempunyai dampak nyata dan pengaruhnya positif. Semakin banyak jalan dibangun dan semakin banyak rel kereta ditingkatkan kapasitasnya, maka semakin tinggi pula kegiatan ekonomi yang dihasilkan. Dalam kaitannya dengan penyediaan infrastruktur, Yudhoyono (2004) juga menemukan bahwa pembangunan infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Selain itu hasil studinya juga menyimpulkan bahwa, pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur juga dapat mengurangi angka kemiskinan walaupun masih kurang efektif jika 56 dibandingkan dengan kemampuannya untuk mengurangi pengangguran. Temuan lain dari penelitian ini adalah bahwa pembangunan infrastruktur bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ini bisa menyerap tenaga kerja. Dalam hal penyerapan tenaga kerja di sektor non pertanian, lebih besar dibanding penyerapan sektor tenaga kerja di sektor pertanian. Kaitannya dengan investasi swasta, Pardede (2004) melakukan penelitian di Kabupaten Tapanuli Utara tentang dampak investasi swasta terhadap perekonomian. Salah satu kesimpulannya adalah, bahwa investasi swasta memiliki dampak yang lebih besar dalam pembentukan output pendapatan dan lapangan kerja. Hal Ini menunjukkan bahwa investasi swasta mempunyai peran yang cukup penting dalam penggerakan perekonomian daerah di era otonomi daerah. Penelitian Calderon dan Serven (2004) menemukan bahwa pembangunan infrastruktur memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Selanjutnya, kesimpulannya adalah bahwa kuantitas dan kualitas infrastruktur berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pendapatan dan efek dari infrastruktur terhadap pertumbuhan dan ketimpangan, adalah efek kausalitas bukan karena faktor kebetulan. Oleh karena itu, menurut penelitiannya pembangunan infrastruktur dapat menjadi solusi penting dalam penanggulangan kemiskinan. Untuk itu kebijakan pengeluaran pemerintah untuk sektor konstruksi menjadi penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam kaitan dengan hal ini, Vibiz (2008) melakukan penelitian tentang pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia bagian Timur. Dengan menggunakan regresi penelitian ini menemukan bahwa 57 pertumbuhan infrastruktur telepon, jalan, irigasi teknis, dan listrik berhubungan positif terhadap pertumbuhan output pertanian dan non pertanian. Selain itu, pertumbuhan infrastruktur juga secara positif meningkatkan pertumbuhan investasi. Dengan kesimpulan ini, pembangunan infrastruktur menjadi strategis bagi daerah. Konsekuensi pemerintah daerah perlu memberikan fasilitas tertentu agar investasi dalam pembangunan infrastruktur dapat kondusif dan tercapai sasarannya.