BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam beberapa dekade terakhir, perhatian dunia terhadap isu perubahan iklim global semakin meningkat. Tidak hanya menjadi kajian bagi para peneliti atau akademisi semata, perbincangan mengenai topik ini juga telah sampai pada lapisan masyarakat umum di seluruh penjuru Dunia. Hal ini tidak lain dikarenakan dampak dari perubahan iklim itu sendiri yang kini mulai dirasakan pengaruhnya bagi kehidupan manusia seperti dalam hal aspek kesehatan, lingkungan, sosial, ekonomi dan lain sebagainya. Maka tak mengherankan pula apabila isu perubahan iklim ini, kini turut menjadi agenda atau fokus utama pada beberapa forum pertemuan atau perundingan di level internasional. Salah satu perundingan akbar antar negara tersebut yaitu kaonferensi perubahan iklim PBB atau Conference of the Parties (COP) yang diselenggarakan oleh United Nations Framework Climate Change Convention (UNFCCC). Melihat semakin besarnya perhatian negara maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional terhadap penyelenggaraan forum pertemuan internasional tersebut mengindikasikan bahwa perubahan iklim yang terjadi saat ini semakin mengkhawatirkan keadaannya. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh para ahli kurang lebih sejak 150 tahun yang lalu, suhu dipermukaan bumi telah mengalami peningkatan sebesar 0,85 °C. Peningkatan temperatur udara tersebut diperkirakan akan semakin tajam karena adanya tren kenaikan sebesar 0,13 °C per dekade yang terjadi selama 15 tahun terakhir.1 Peningkatan suhu inilah yang IPCC, 2013: Climate Change 2013: The Physical Science Basis. Contribution Of Working Group I To The Fifth Assessment Report Of The Intergovernmental Panel On Climate Change [Stocker, 1 1 kemudian oleh masyarakat umum lebih familiar menyebutnya dengan istilah global warming atau pemanasan global. Meskipun perubahan iklim dapat dikategorikan sebagai fenomena yang terjadi secara alamiah atau natural, akan tetapi meningkatnya aktivitas manusia dimuka bumi tentu tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Apalagi, aktivitas yang dilakukan oleh manusia pada era globalisasi saat ini cenderung mengarah pada pengeksploitasian sumberdaya alam yang sebenarnya memiliki keterbatasan kuantitas. Padahal di sisi lain kebutuhan manusia itu sendiri tidak memiliki suatu batasan yang pasti. Jika dirunut lebih jauh asal muasal terjadinya pemanasan yang terjadi secara global, berlangsungnya revolusi industri di Inggris pada pertengahan tahun 1800an merupakan bukti konkret keterlibatan manusia pada fenomena perubahan iklim saat ini. Pada periode tahun tersebut, Inggris menjadi pionir dalam pengaplikasian teknologi sebagai basis dalam bekerjanya sistem industri yang mengubah pola pekerjaan dari penggunaan tenaga manusia dan hewan menjadi mesin. Alasan utamanya tentu karna faktor efisiensi baik waktu, biaya maupun tenaga yang diharapkan mampu mendongkrak keuntungan finansial. Tak butuh waktu lama, revolusi industri pun menyebar luas keberbagai belahan negara di Dunia. Pertumbuhan ekonomi negara pun melaju dengan sangat cepat, beriringan dengan berkembang pesatnya pula pertumbuhan industri khususnya dibidang pertanian, pertambangan dan manufaktur. T.F., D. Qin, G.-K. Plattner, M. Tignor, S.K. Allen, J. Boschung, A. Nauels, Y. Xia, V. Bex And P.M. Midgley (Eds.)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom And New York, NY, USA, Hal 5. 2 Revolusi industri memang membawa pengaruh positif terhadap kemajuan negara di Dunia. Tidak hanya secara ekonomi, namun juga sosial dan budaya. Akan tetapi, pembangunan yang dilakukan secara besar-besaran tersebut, juga membawa dampak negatif terhadap keberlanjutan (sustainibility) alam atau lingkungan. Senyawa-senyawa hasil dari polusi yang dihasilkan oleh kegiatan industri dan moda transportasi yang digunakan, berkontribusi terhadap sumbangan gas rumah kaca dalam jumlah yang signifikan. Belum lagi deforestasi atau penebangan hutan yang dilakukan untuk membuka lahan industri-industri baru. Akibatnya, timbunan dari berbagai macam kandungan di atmosfer seperti CO2, metana, chloro-fluoro-carbon (CFCs), Nitrogen (N2O) dan lain sebagainya tersebut mengakibatkan terbentuknya suatu lapisan yang dapat memantulkan kembali radiasi panas dari sinar matahari kepermukaan bumi.2 Padahal, fungsi dari lapisan atmosfer tersebut sejatinya bertujuan untuk mengelola dan menstabilkan suhu yang ada di Bumi dengan menyerap serta menahannya sampai pada ambang batas kemampuannya. Dampak dari perubahan iklim yang terjadi secara ekstrem dan drastis tersebut tentu kini menyebabkan terganggunya stabilitas lingkungan. Beberapa gejala yang paling nampak dari perubahan iklim tersebut yakni naiknya permukaan air laut akibat melelehnya gunung es di kutub utara bumi. Dalam hasil laporan IPCC mencatat laju kenaikan tinggi rata-rata permukaan air laut secara global mengalami peningkatan yang pesat pada periode 1901 sampai 2010. Dimana laju kenaikan tersebut mencapai 1,7 mm/tahun pada periode antara tahun 1901-2010, 2.0 2 Aldrian, E., Karminin, M., & Budiman. 2011. Adaptasi Dan Mitigasi Perubahan Iklim Di Indonesia. Jakarta: Pustaka Perubahan Iklim BMKG. Hal, 156. 3 mm/tahun antara tahun 1971-2010, serta 3mm/tahun antara tahun 1993-2020.3 Dengan laju kenaikan tinggi permukaan air laut tersebut banjir rob, hilangnya pesisir pantai, bahkan hilangnya pulau-pulau kecil menjadi ancaman yang diprediksi hanya akan menunggu waktunya. Selain itu, kebakaran yang kian sering terjadi di beberapa daerah di Australia dan daerah lainnya juga diklaim berkorelasi dengan peningkatan suhu yang sangat ekstrem. Sehingga apabila hal tersebut secara terus-menerus berlangsung, maka yang terjadi adalah ketidakkondusifan kehidupan di bumi sebagai tempat tinggal makhluk hidup. Maka tidak mengherankan pula apabila dilihat dari segi total pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk penanggulangan bencana yang ditimbulkan oleh perubahan iklim tersebut juga terbilang sangat besar. Menurut data yang dikutip oleh Riyanti dari EM DAT (Emergency Environmental Database), secara global biaya untuk penanggulangan bencana mengalami peningkatan yang sangat signifikan sejak tahun 1980. Di mana pada tahun 2010, biaya yang harus dikeluarkan oleh Negara-negara di Dunia mencapai $100 miliar Dollar Amerika.4 Tingginya biaya yang harus dikeluarkan tersebut selain ditengarai oleh dampak perubahan iklim yang semakin luas, juga dapat disebabkan lantaran masih rendahnya kapasitas yang dimiliki oleh masyarakat maupun lingkungan untuk merespon perubahan iklim yang sangat ekstrem tersebut. Beragamnya kerentanankerentanan yang terdapat pada masyarakat dan lingkungan mengakibatkan semakin Aldrian, E., Karminin, M., & Budiman. 2011. Adaptasi Dan Mitigasi Perubahan Iklim Di Indonesia. Jakarta: Pustaka Perubahan Iklim BMKG. Hal 11. 4 Riyanti Djalante And Frank Thomalla. 2012. Disaster Risk Reduction And Climate Change Adaptation In Indonesia Institutional Challenges And Opportunities For Integration, International Journal Of Disaster Resilience In The Built Environment, Vol. 3 No. 2, Hal 167. 3 4 tingginya dampak yang harus dialami. Lalu bagaimana dengan dampak perubahan iklim bagi Indonesia. Seperti halnya Negara-negara di belahan dunia lainnya, Indonesia juga turut terkena dampak dari perubahan iklim. Temperatur udara di Indonesia tercatat mengalami peningkatan sebesar 0.5°C selama abad 20.5 Angka tersebut tentu dapat terus meningkat apabila tanpa adanya upaya untuk menahan laju perubahan iklim. Dengan adanya paparan perubahan iklim tersebut, seperti pengaruhnya terhadap variabilitas iklim, dampaknya kini telah dialami oleh berbagai sektor kehidupan masyarakat. Pada sektor pertanian misalnya, menurut catatan Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Holtikultura (BPTPH) Provinsi seluruh Indonesia, minimnya pasokan air yang dapat diperoleh para petani untuk mengairi areal persawahannya berimbas pada 35.423 hektar sawah yang mengalami gagal panen pada tahun 2014. Sedangkan pada tahun 2015 (Januari-Agustus), luas sawah yang mengalami puso terdapat pada 79.562 hektar areal pertanian.6 Pada sektor kelautan dan perikanan, berdasarkan catatan Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kerusakan parah terumbu karang di Indonesia akibat munculnya el nino sebagai salah satu dampak dari perubahan iklim pernah terjadi pada tahun 1982-1983. Sebanyak 90% terumbu karang di Kepulauan Seribu, Karimun Jawa dan beberapa lokasi disekitarnya dinyatakan mengalami kerusakan. Kemudian, fenomena el nino kembali tercatat pada tahun 1997-1998 dan 2010 di perairan Natuna dan Aceh. Sedangkan secara lingkup nasional, menurut BAPPENAS, 2010. Dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR), Hal 14. Dampak Kekeringan Hingga Hama, 100.000 Hektar Sawah Gagal Panen. Diperoleh Dari Http://Finance.Detik.Com/Read/2015/09/11/120427/3016289/4/Dampak-Kekeringan-HinggaHama-100000-Hektar-Sawah-Gagal-Panen Diakses Pada 13 September 2015 08.00 WIB. 5 6 5 hasil catatan penelitian oseanografi LIPI pada tahun 2013 di 1.135 stasiun, kerusakan terumbu karang di Indonesia mencapai 30,4%.7 Selain itu, dengan meningkatnya tinggi permukaan air laut pada kota-kota besar yang berada di pesisir juga akan semakin tenggelam. Di mana dari kajian yang dilakukan oleh Marfai dan King, penurunan tanah di Kota semarang diperkirakan akan mengalami peningkatan dari 362 hektar pada tahun 2010, menjadi 1377,5 hektar pada tahun 2015 serta 2227 hektar pada tahun 2020.8 Sebagai salah satu Negara berkembang, Indonesia dinilai akan lebih rentan dalam menghadapi dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Dimana menurut Mertz dkk, dampak dari perubahan iklim akan semakin besar pengaruhnya bagi negara-negara berkembang dikarenakan hal-hal sebagai berikut:9 (1) dampak fisik yang relatif luas di Negara berkembang, (2) banyak dari negara berkembang di mana pendapatan nasional dari negara tersebut yang bertumpu pada sektor pertanian, (3) masih tingginya angka kemiskinan di negara-negara berkembang, sehingga masyarakatnya menjadi lebih rentan dan (4) daya dukung baik dari segi teknologi maupun ekonomi yang pada umumnya masih terbatas. Dari argumentasi yang dipaparkan oleh Mertz tersebut, Indonesia memang berada pada situasi atau kondisi yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap dampak perubahan iklim. Dari segi sektor pendapatan Negara misalnya, Indonesia El Nino Ancam Terumbu Karang Indonesia. Diperoleh Dari Http://Www.Beritasatu.Com/Kesra/178570-El-Nino-Ancam-Terumbu-Karang-Indonesia.Html Diakses Pada 14 April 2015 Pukul 11.00 WIB. 8 Buckle, Phillip Et. Al. 2010. Disaster Risk Reduction And Climate Change Adaptation Case Studies From South And Southeast Asia. Challenges In Disaster Risk Reduction And Climate Change Adaptation In South And Southeast Asia. UNU-EHS, Hal 20. 9 Mertz, O., K. Halsnaes, J.E. Olsen, And K. Rasmussen. 2009. Adaptation To Climate Change In Developing Countries. Environmental Management, 43 (5), 743-752. Hal 743 7 6 yang masih mengandalkan pada sumberdaya alamnya seperti pertanian, kelautan, pariwisata dan lain sebagainya sebagai sektor strategis penggerak roda perekonomian negara tentu sadar betul, bahwa perubahan iklim membawa ancaman yang luar biasa bagi stabilitas perekonomian. Hal ini dikarenakan sektor-sektor tersebut memang memiliki kerentanan-kerentanan yang lebih kompleks baik dari segi lingkungan maupun masyarakatnya dalam merespon perubahan iklim global. Sedangkan dari segi jumlah penduduk miskin di Indonesia sendiri masih berada pada kisaran 27,72 juta jiwa atau 10,96 persen dari total keseluruhan penduduknya pada tahun 2014.10 Hal ini lah yang kemudian dapat menjadi salah satu penghambat bagi masyarakat untuk memiliki kemampuan dalam melakukan upaya penyesuaian terhadap perubahan iklim. Begitu pula dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menanggulangi dampak perubahan iklim serta dalam pengaplikasian teknologi, tentu pemerintah tidak hanya dapat mengandalkan dari alokasi APBN semata. Maka dengan adanya paparan dari perubahan iklim tersebut, berbagai sektor perekonomian dan kehidupan di Indonesia tentu mengalami pelbagai dampak potensial maupun resiko. Sektor-sektor tersebut diantaranya seperti pertanian dan ketahanan pangan, kelautan dan wilayah pesisir, kesehatan serta sumber air bersih. Selain menjadi salah satu Negara yang memiliki dampak luas terhadap perubahan iklim, Indonesia juga turut tercatat sebagai salah satu negara pengemisi terbesar di Dunia. Berdasarkan data World Resources Institute (WRI) di Washington Laporan Hasil Sensus Pertanian. Diperoleh Dari Http://St2013.Bps.Go.Id/St2013esya/Booklet/At0000.Pdf Diakses Pada 18 Maret 2015 Pukul 14:30 WIB. 10 7 DC seperti yang dilansir oleh Daily Mail, posisi Indonesia saat ini lebih tepatnya menduduki peringkat keenam sebagai negara pengemisi terbesar di Dunia. Data yang dirilis oleh WRI tersebut berasal dari lembaga penelitian, pemerintah dan badan internasional, untuk mengukur rekam emisi gas rumah kaca dari tahun 1990 sampai 2011. Adapun total kandungan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh Indonesia mencapai 2,053 GtCO2 (Giga ton karbondioksida).11 Posisi Indonesia berada di bawah negara-negara besar lainnya seperti China, Amerika Serikat, Uni Eropa, India serta Rusia yang menduduki posisi lima besar sebagai negara dengan penyumbang emisi terbesar di Dunia. Tabel 1.1 Negara Pengemisi Gas Rumah Kaca No. Negara Emisi Karbon (satuan Giga ton Karbondioksida) 1 China 10,26 GtCO2 2 Amerika Serikat 6,135 GtCO2 3 Uni Eropa 4,263 GtCO2 4 India 2,358 GtCO2 5 Rusia 2,217 GtCO2 6 Indonesia 2,053 GtCO2 Sumber: World Resources Institute, 2015 Bila diamati dari tabel di atas, masuknya Indonesia kedalam jajaran negaranegara teratas sebagai penyuplai emisi gas rumah kaca, salah satunya disebabkan oleh jumlah populasi penduduk yang dimiliki. Di mana nama-nama seperti China, India, Amerika Serikat, termasuk Indonesia yang merupakan empat besar negara dengan jumlah populasi penduduk terbesar di Dunia, secara kompak masuk dalam jajaran negara pengemisi terbesar di Dunia. Korelasi antara keduanya dapat dipahami terjadi lantaran dengan besarnya populasi penduduk suatu negara, maka Interactive Map Reveals Which Countries Emit The Most CO2 Over Last 160 Years. Diperoleh Dari Http://Www.Dailymai.Co.Uk/Sciencetech/Article-2779286/Now-S-GLOBAL-WarmingInteractive-Map-Reveals-Countries-Emit-Carbon-Dioxide-160-Years.Html Diakses Pada Tanggal 3 Mei 2015 16:00 WIB. 11 8 dapat memicu pula penggunaan yang besar terhadap konsumsi sumberdaya alam khususnya energi yang berasal dari bahan bakar fosil sebagai pembangkit listrik, transportasi, aktivitas industri dan lain sebagainya yang menghasilkan gas polutan dalam jumlah besar. Terlebih lagi, masyarakat Indonesia kini berada dalam perkonomian yang relatif stabil dan meningkat. Dengan dampak perubahan iklim iklim yang saat ini telah terjadi serta diproyeksikan akan semakin meluas pada tahun-tahun yang akan datang, maka pemerintah memiliki peran dan tanggungjawab yang vital dalam mengurangi tingkat kerentanan serta besaran resiko yang dihadapi oleh masyarakat maupun lingkungan. Selain itu, kenyataan bahwa Indonesia juga menjadi salah satu Negara pengemisi terbesar di Dunia, juga mengharuskan peranan pemerintah untuk terlibat dalam kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca ditingkat global. Tidak hanya pemerintah, masyarakat pun memiliki peran penting dalam merespon dampak perubahan iklim. Di mana menurut pendapat O’Leary dalam Fathoni, masyarakat di tingkat lokal diharapkan dapat menjadi “diri mereka sendiri” untuk 72 jam pertama setelah adanya dampak bencana.12 Apalagi jika pemerintah memiliki kendala atau keterbatasan dalam melakukan tanggap darurat bagi masyarakatnya tersebut. Maka, dengan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat dalam merespon dampak perubahan iklim, masyarakat dapat mengurangi kerentanan maupun resiko yang dihadapinya. Begitu pula dengan peranan masyarakat dalam menahan laju pemanasan global, karena munculnya emisi gas M.A. Fathoni. 2013. Studi Kapasitas Pemerintah Daerah Dalam Pengurangan Risiko Bencana Akibat Perubahan Iklim Di Pulau-Pulau Kecil (Kasus Di Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur). 12 9 rumah kaca yang juga bersifat anthropogenic atau disebabkan oleh aktivitas manusia.13 Oleh karena itu, selain dari sisi peranan pemerintah, penting pula untuk dikaji bagaimana strategi adaptasi dan mitigasi yang diterapkan oleh masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim di Indonesia. 1.2 Critical Review Penelitian mengenai strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia tentu bukan suatu hal yang baru, meskipun isu perubahan iklim tergolong masih sumir ditelinga masyarakat Indonesia. Untuk membandingkan serta menambah referensi penelitian, maka penting untuk menilik beberapa penelitian lain yang sudah pernah dilakukan terkait strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Pertama yakni penelitian yang dilakukan oleh Farah Mulyasari dan Krishna S Pribadi (2010) yang berjudul Importance Of Good Governance And Capacity In Planning For Climate Change Adaptation: Reflection From Indonesia. Hasil dari penelitian tersebut secara garis besar mengulas urgensi perencanaan adaptasi perubahan iklim. Di mana pendekatan good governance dan peningkatan kapasitas disebutkan seharusnya menjadi satu bagian dalam tahapan proses perencanaan kebijakan adaptasi perubahan iklim pemerintah. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Riyanti Djalante dan Frank Thomalla (2012) yang berjudul Disaster Risk Reduction and Climate Change Adaptation In Indonesia. Berdasarkan pada penelitian tersebut, menekankan pentingnya pengintegrasian kelembagaan dalam pengurangan resiko bencana dan 13 IPCC, 2014: Climate Change 2014: Synthesis Report. Contribution Of Working Groups I, II And III To The Fifth Assessment Report Of The Intergovernmental Panel On Climate Change [Core Writing Team, R.K. Pachauri And L.A. Meyer (Eds.)]. IPCC, Geneva, Switzerland, Hal 151. 10 adaptasi perubahan iklim. Di mana pada tingkat pusat, pengurangan resiko bencana berada di bawah tanggungjawab dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sedangkan untuk koordinasi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim berada dibawah tanggungjawab dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI).14 Begitu pula dengan Lembaga lain seperi Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), UNDP Indonesia dan World Bank yang memiliki peran penting dalam pengintegrasian antara pengurangan resiko bencana dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia. Dari beberapa penelitian mengenai penanganan perubahan iklim di Indonesia tersebut, para peneliti lebih berfokus pada tahap perencanaan serta bagaimana menguatkan kapasitas dan koordinasi antar Lembaga. Sedangkan dengan telah bergulirnya berbagai kebijakan pemerintah terkait adaptasi dan perubahan iklim di Indonesia saat ini, belum dikaji sampai pada tahapan implementasi maupun monitoring dan evaluasi kebijakan. Maka, untuk mengisi kesenjangan tersebut pada penelitian ini akan mengkaji bagaimana strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang memuat pemetaan tahapan-tahapan kebijakan pemerintah, termasuk aspek utama lainnya seperti pendanaan dan kelembagaan. Begitu pula dengan upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat beserta kesenjangan atau kelemahan yang ditemui baik pada pemerintah maupun masyarakat dalam menangani isu perubahan iklim di Indonesia. 14 Saat Ini DNPI Telah Dileburkan Dengan BP REDD+ Dileburkan Dalam KLHK. 11 1.3 Rumusan Masalah A. Bagaimana strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat? B. Apa kelemahan yang ditemukan pada penerapan strategi adaptasi dan mitigasi oleh Pemerintah dan masyarakat? 1.4 Tujuan Penelitian A. Untuk mengetahui strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat Indonesia. B. Untuk mengetahui kelemahan pada penerapan strategi adaptasi dan mitigasi. 1.5 Manfaat Penelitian A. Memberikan manfaat bagi pemerintah berupa pertimbangan dalam melakukan strategi pembangunan nasional dilihat dari perspektif adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Penelitian ini dapat pula digunakan untuk mengetahui gambaran kapasitas pemerintah dan masyarakat dalam mengatasi kerentanan termasuk menanggulangi bencana yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Selain itu, dapat pula menjadi refleksi atau evaluasi bagi pemerintah terkait kesenjangan antara strategi yang dirumuskan dengan pengimplementasiannya dilapangan. B. Memberikan manfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan serta pengetahuan terkait strategi dilakukan oleh pemerintah serta masyarakat dalam upayanya melakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia. 12