1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penanganan trauma psikologis saat ini difokuskan pada memori pasien terhadap suatu kejadian traumatik dan arti dari trauma tersebut secara pribadi. Trauma psikologis masa kanak-kanak cenderung menunjukkan dampak yang paling kuat dan lama serta dapat bertindak sebagai pemicu utama menuju ke arah disfungsi atau bahkan keadaan psikopatologis (Bolton et al., 2004). Secara khusus, trauma psikologis masa kanakkanak berhubungan dengan timbulnya gangguan depresi, penyalahgunaan alkohol dan zat terlarang, gangguan cemas menyeluruh, dan posttraumatic stress disorder (PTSD) pada kehidupan dewasa (Shea et al., 2005). PTSD sebagai diagnosis pertama kali dimasukkan ke pedoman diagnosis dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) tahun 1980 (Association, 2000). PTSD sendiri merupakan suatu gangguan yang serius, kompleks dan sering diikuti oleh gangguan jiwa yang kronis jika terpapar oleh stres kehidupan yang berat. Keadaan ini timbul sebagai respon yang berkepanjangan terhadap kejadian atau situasi yang menimbulkan stres (baik singkat maupun berkepanjangan) dari yang bersifat katastrofik dan menakutkan hingga yang cenderung menimbulkan distres pada hampir setiap orang. Kejadian tersebut seperti misalnya musibah yang alamiah maupun yang dibuat manusia sendiri, peperangan, kecelakaan berat, menyaksikan kematian yang mengerikan, menjadi korban penyiksaan, terorisme, perkosaan dan kejahatankejahatan lain (Organization, 1992). Gejala khas mencakup tiga gejala utama yaitu episode-episode di mana bayangan-bayangan kejadian traumatik tersebut terulang 2 kembali (reexperience) atau dalam mimpi (flashback), cenderung menghindari tempattempat, orang, atau hal lain yang mengingatkan mereka tentang peristiwa traumatik (avoidance), dan mudah peka terhadap pengalaman kehidupan normal (hyperarousal) sebagai suatu kewaspadaan yang meningkat (Association, 2000). Trauma psikologis ini dapat dialami segera setelah menyaksikan atau menjadi korban dari suatu kejadian traumatik. Namun banyak orang mengalami reaksi yang terlambat terhadap kejadian tersebut, dan keterlambatan ini dapat berlangsung beberapa minggu hingga beberapa bulan (Nemeroff et al., 2006). Suatu sekuele yang kronis dan bersifat ireversibel dapat terjadi apabila terlambat melakukan penanganan yang dapat berakibat kepada perubahan kepribadian berupa sikap bermusuhan dan tidak percaya terhadap dunia; penarikan diri dari masyarakat; perasaan kosong dan putus asa; perasaan terpojok yang kronis; serta keterasingan (Sadock et al., 2009). Bentuk kronis dapat terjadi pada 16,5 persen para veteran yang terdiagnosis dengan PTSD, di mana setelah 20 tahun pasca peperangan masih tetap menunjukkan gejala klinis yang signifikan (Horesh et al., 2010). Trauma psikologis ini memiliki hubungan yang stabil dan kuat terhadap tingkat perubahan yang terjadi pada aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) (kortisol) dan sistem imun (sitokin), di mana sistem ini secara kimiawi merupakan modulator biologis yang kuat dari neuron perilaku yang berhubungan dengan stres (Carpenter et al., 2009). Perubahan dalam kadar plasma kortisol dan proinflammatory sitokin dalam hal ini interleukin-6 (IL-6) tidak hanya ditemukan pada masa awal seseorang mengalami trauma dan saat ini dengan PTSD atau gangguan depresi, tetapi belakangan ini juga terjadi pada mereka dengan trauma di awal masa hidupnya yang saat ini tidak dengan gangguan psikologis apapun (Elzinga et al., 2008). Untuk itu, petanda ini 3 menunjukkan bukti yang kuat dalam menghubungkan trauma psikologis masa kanakkanak, dan pada saat yang sama merupakan petanda yang ideal dalam menilai efek biologis dari penanganan psikologis ataupun psikiatri. Dalam sepuluh tahun terakhir, beberapa intervensi psikologis dan psikiatri (misalnya, cognitive behavior therapy, eye movement desensitization and reprocessing, hipnoterapi) telah dikembangkan, diteliti dan dievaluasi efikasinya terhadap penanganan trauma psikologis masa kanak-kanak (Alladin, 2008, Bryant et al., 2006a). Sebagian besar dari penanganan tersebut cenderung memerlukan waktu cukup panjang, mereka juga lebih banyak digunakan dalam kombinasi dengan obatobat psikiatri dan untuk itu memerlukan biaya cukup tinggi baik yang bersifat individu maupun dengan bantuan pemerintah. Dalam banyak kasus mereka tidak menghasilkan suatu yang dapat diandalkan atau secara umum tidak memberikan hasil yang sepenuhnya efektif. Selama sepuluh tahun terakhir pula, metode Spiritual-Hypnosis Assisted Therapy (SHAT) telah dikembangkan di Bali, Indonesia (Lesmana et al., 2010). Aplikasi SHAT telah digunakan secara luas dalam praktek klinik untuk penanganan berbagai gangguan jiwa, tekanan emosional (utamanya kehilangan dan berkabung), masalah seksual dan hubungannya, dan PTSD (Stephen & Suryani, 2000, Suryani & Wrycza, 2003, Lesmana et al., 2009, Lesmana et al., 2010). Konsepnya terpusat pada memori dan alam bawah sadar, dan secara khusus memperhatikan efek pengalaman trauma (masa kanak-kanak) dalam perkembangan disfungsi psikologis dari diri seseorang. Hal ini menggabungkan dan secara budaya mengadaptasi spiritual, psikodinamika (khususnya dalam hipnosis), Cognitive-Behavioural Therapy (CBT), serta elemen terapi humanistik. Aplikasi SHAT mendapatkan perhatian dari komunitas 4 psikoterapi internasional ketika artikel mengenai efektivitas dari metode ini berhasil dalam penanganan klinis trauma psikologis pada anak-anak yang terpapar trauma bom Bali tahun 2002 akibat serangan teroris (Lesmana et al., 2009). Penanganan trauma berupa farmakoterapi (fluoxetine) yang digunakan saat ini memerlukan waktu 12 minggu (Martenyi & Soldatenkova, 2006), psikoterapi (CBT) memerlukan waktu 6 bulan (Iverson et al., 2011), dan kombinasi farmakoterapi dan psikoterapi (CBT dengan fluoxetine) memerlukan waktu 12 minggu (Lewis et al., 2010). Aplikasi SHAT cenderung memerlukan waktu penanganan lebih pendek dan paling efektif dari segi biaya, serta bebas penggunaan obat (Lesmana et al., 2009, Lesmana et al., 2010). Seperti halnya penanganan psikologis dan psikiatri lainnya secara normatif, keberhasilan aplikasi SHAT telah diukur melalui petanda perilaku yang biasanya digunakan dalam praktek klinik, yang berdasar pada gambaran dan definisi manifestasi gejala dalam Diagnostic & Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV) atau International Classification of Diseases (ICD-10). Dalam rangka membuat metode ini mendapatkan status yang lebih luas dan mendunia sebagai hal yang viabel, efektif, dan secara lintas budaya dapat diterapkan sebagai bentuk intervensi pada trauma, maka efek dalam petanda biologis yang secara langsung mengarah kepada trauma tersebut perlu ditentukan. Penelitian ini akan mencoba menilai efektivitas aplikasi SHAT secara biologis (melalui kadar IL-6 dan kortisol) dan perilaku (gejala klinis PTSD), serta sebagai penanganan alternatif bebas obat pada orang dewasa yang mengalami PTSD dengan trauma psikologis masa kanak-kanak. 5 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Apakah aplikasi SHAT menurunkan gejala klinis penderita PTSD dengan trauma psikologis masa kanak-kanak? 1.2.2 Apakah aplikasi SHAT menurunkan kadar IL-6 pada penderita PTSD dengan trauma psikologis masa kanak-kanak? 1.2.3 Apakah aplikasi SHAT meningkatkan kadar kortisol pada penderita PTSD dengan trauma psikologis masa kanak-kanak? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas secara biologis (melalui kadar IL-6 dan kortisol) dan perilaku (melalui gejala klinis PTSD) dari aplikasi SHAT 1.3.2 Tujuan Khusus 1.3.2.1 Untuk mengetahui aplikasi SHAT memperbaiki gejala klinis pada penderita PTSD dengan trauma psikologis masa kanak-kanak 1.3.2.2 Untuk mengetahui aplikasi SHAT menurunkan kadar IL-6 pada penderita PTSD dengan trauma psikologis masa kanak-kanak 1.3.2.3 Untuk mengetahui aplikasi SHAT memperbaiki kadar kortisol pada penderita PTSD dengan trauma psikologis masa kanak-kanak 6 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Mendapatkan pemahaman tentang mekanisme aplikasi SHAT pada penderita PTSD dengan trauma psikologis masa kanak-kanak pada otak melalui petanda biologis (IL-6 dan kortisol) dan perilaku (gejala klinis PTSD). 1.4.2 Manfaat Praktis Mendapatkan gambaran tentang hasil aplikasi SHAT pada penderita PTSD dengan trauma psikologis masa kanak-kanak. Selain itu data yang didapatkan pada penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan di dalam menangani PTSD yang dialami oleh masyarakat sehingga dapat memperbaiki gejala klinis PTSD yang dialami dan mencegah terjadinya gangguan jiwa yang lebih berat.