Perbedaan Self Regulation Learning Antara Mahasiswa yang

advertisement
PERBEDAAN SELF REGULATION LEARNING ANTARA MAHASISWA
YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA DAN YANG TIDAK
TINGGAL DENGAN ORANG TUA (KOST)
OLEH
MONIQUE GRACE KATOUCE SEPANG
802010083
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014
PERBEDAAN SELF REGULATION LEARNING ANTARA MAHASISWA
YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA DAN MAHASISWA YANG TIDAK
TINGGAL DENGAN ORANG TUA (KOST)
Monique Sepang
Berta E Ari Prasetya
Heru Astikasari S Murti
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014
Abstract
The purpose of this research is to examine the differences in Self-Regulation Learning between
Satya Wacana Christian University Students who live with parents and do not live with parents
(boarding house). There are 429 subjects in this quantitative research. A self-regulation learning
variable is measured with a Motivational Strategies for Learning Questionnare (MSLQ) scale
adapted from Pintrich & Groot (1990) based on three components of self-regulation learning,
which are metacognition, motivation, and behavior (Zimmerman, 1989). The differences in selfregulation learning between students who live with parents and do not live with parents
(boarding house) are examined using an independent sample test. The results reveal that the ttest value is 3.084 with a significance of 0.002 or p < 0.05, so that it can be concluded that there
are differences in Self-Regulation Learning between Satya Wacana Christian University Students
who live with parents and do not live with parents (boarding house).
Keywords: Self-Regulation Learning, parents, student, boarding house
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan Self-Regulation Learning antara mahasiswa
yang tinggal dengan orang tua dan mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost) di
Universitas Kristen Satya Wacana. Subjek dalam penelitian kuantitatif ini sebanyak 429 subjek.
Variabel Self Regulation Learning diukur dengan skala Motivational Strategies for Learning
Questionnaire (MSLQ) yang diadaptasi dari Pintrich & Groot (1990) yang disusun berdasarkan
komponen-komponen self-regulation learning, yaitu metakognisi, motivasi, dan perilaku (dalam
Zimmerman, 1989). Perbedaan Self-Regulation Learning antara mahasiswa yang tinggal dengan
orang tua dan mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost) diuji menggunakan
Independent Sample Test dan diperoleh hasil bahwa nilai t-Test sebesar 3.084 dengan
signifikansi 0,002 atau p < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan SelfRegulation Learning antara mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan yang tidak tinggal
dengan orang tua di Universitas Kristen Satya Wacana.
Kata Kunci : Self Regulation Learning, orang tua, mahasiswa, kost
1
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan tahap perkembangan dalam mencari jati diri (identitas).
Remaja akan dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang sangat banyak dan memutuskan
segala sesuatu tentang kehidupan mereka (Erikson dalam Santrock, 2007). Byrnes;
Galotti & Kozberg (dalam Santrock, 2007) menambahkan masa remaja adalah waktu
meningkatnya pengambilan keputusan tentang masa depan, seperti teman-teman yang
harus dipilih, melanjutkan keperguruan tinggi atau tidak, orang yang akan diajak
berkencan, melakukan hubungan seksual atau tidak, dll. Menurut Santrock (2007) masa
remaja adalah usia 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Pada
rentang usia ini, terutama usia remaja akhir, remaja telah menyelesaikan studi di sekolah
menengah atas. Selanjutnya remaja akan menghadapi berbagai pilihan, salah satunya
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau tidak (Erikson, dalam Santrock, 2007)
Remaja yang memutuskan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi akan
menghadapi iklim yang berbeda dengan sekolah. Masa transisi dari dunia sekolah
menuju dunia perguruan tinggi menuntutnya untuk melakukan penyesuaian dengan
lingkungan yang baru, seperti teman yang lebih beragam latar belakang geografis dan
etnisnya, struktur sekolah yang lebih besar, kegiatan belajar-mengajar yang berbeda,
serta bertambahnya takanan mencapai prestasi, dan nilai-nilai ujian yang baik (dalam
Santrock, 2003).
Mereka yang memilih melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi juga akan
dihadapkan oleh pilihan, yaitu melanjutkan ke perguruan tinggi di daerah asal atau
melanjutkan perguruan tinggi di luar daerah. Kenny (1987) berpendapat bahwa
pengalaman meninggalkan rumah untuk memasuki perguruan tinggi pada masa remaja
akhir dapat dikonseptualisasikan sebagai bentuk natural dari “Strange Situation” yang
2
menggambarkan remaja harus dapat menggali dan menguasai sebuah lingkungan baru.
Mereka tidak akan tinggal dengan orang tua lagi, mereka akan berteman dengan temanteman yang memiliki latar belakang yang berbeda, dan mereka akan mengikuti gaya
belajar yang berbeda yang lebih mandiri.
Setiap individu yang memasuki dunia perguruan tinggi, dituntut agar melakukan
cara belajar yang lebih mandiri (Deasyanti & Anna, 2007). Situasi perkuliahan
menuntut mahasiswa untuk dapat mandiri dan memikul tanggung jawab pribadi dalam
menyelesaikan tugas-tugasnya Soldwedel (dalam Natakusuma, 2003). Amelia (2011)
juga mengatakan mahasiswa yang pada umumnya berumur 18-22 tahun merupakan
peserta didik di perguruan tinggi yang dituntut untuk lebih mandiri dan bertanggung
jawab dalam belajarnya. Soldwedel (dalam Natakusuma, 2003) juga menambahkan
keberhasilan pada tingkat kuliah di tentukan oleh kemandirian seorang mahasiswa
dalam mengatur dirinya. Proses mengatur diri dalam belajar ini dikenal dengan istilah
self-regulation learning.
Pintrich dan Groot (1990) mendefinisikan self-regulation learning, sebagai suatu
kegiatan belajar yang diatur oleh diri sendiri, yang didalamnya individu mengaktifkan
pikiran, motivasi dan tingkah lakunya untuk mencapai tujuan belajarnya. Winne (dalam
Santrock, 2007) mengatakan self-regulated learning adalah kemampuan untuk
memunculkan dan memonitor sendiri pikiran, perasaan, dan perilaku untuk mencapai
suatu tujuan. Santrock (2009) juga mengatakan pembelajaran dengan pengaturan diri
(self-regulatory learning) terdiri atas pembangkitan diri dan pemantauan diri atas
pikiran, perasaan, dan perilaku dengan tujuan untuk mencapai suatu sasaran. Sasaransasaran ini dapat berupa sasaran akademik dan sasaran sosioemosional (Santrock,
2009).
3
Proses mengatur diri ini dilakukan agar mahasiswa dapat mencapai tujuan yang
diharapkannya (Ajikusumo, 1996). Papalia dan Olds (1995) yang mengatakan bahwa
tujuan dari mahasiswa kuliah adalah sukses dalam perkuliahan dimana ditentukan
dengan pencapaian akademik dan mengembangkan kemampuan sosial. Santrock (2007)
mengatakan bahwa pelajar yang memiliki self-regulated learning menunjukkan
kemampuan untuk mengatur tujuan belajar, mengendalikan emosi sehingga tidak
mengganggu kegiatan pembelajarannya, memantau secara periodik kemajuan target
belajar, mengevaluasi dan membuat adaptasi yang diperlukan sehingga menunjang
dalam prestasi.
Berbagai hasil penelitian menggambarkan pentingnya keterampilan regulasi diri
dalam belajar dimiliki oleh mahasiswa karena berkorelasi dengan usaha belajar yang
efektif dan efisien (Deasyanti dan Anna, 2007). Anak-anak yang berprestasi tinggi
sering kali merupakan pelajar yang mengatur diri sendiri (Zimmerman & Schunk dalam
Santrock, 2007). Dalam prestasi akademik, Alexander; Boekaerts; Schunk &
Zimmerman; Wigfield, Byrnes dan Ercles (dalam Santrock 2009) menemukan bahwa
anak yang berprestasi tinggi merupakan pembelajar dengan pengaturan diri atau regulasi
diri. Psikolog-psikolog pendidikan juga semakin mendukung pentingnya pembelajaran
dengan pengaturan diri (Alexander; Boekaerts & Corno; Cooper, Horn & Strahan;
Schunk & Zimmerman; dan Wigfield, Byrnes & Ercles, dalam Santrock, 2009).
Menurut Gunarsa (1991), anak membutuhkan rasa aman dan terlindungi yang
tentunya pertama kali didapatkan di dalam lingkungan keluarga yang mendukung ia
dalam mengatur dirinya. Jadi lingkungan rumah bersama orang tuanya sangat
mendukung anak dalam melaksanakan pengaturan diri. Boekaerts, Schunk, dan
Zimmerman (dalam Santrock, 2009) mengatakan orang tua dapat membantu anak
4
menjadi pelajar dengan pengaturan diri. Self-regulated learning juga telah dikaji
berdasarkan keterlibatan orang tua terhadap prestasi akademik. Hasilnya menunjukkan
bahwa keterlibatan orang tua dapat meningkatkan self-regulated learning anaknya
sehingga prestasi akademiknya meningkat (Martinez - Pons, 2009).
Penelitian lain juga mengatakan orang tua berpengaruh terhadap self-regulated
learning anak melalui dukungan sosial yang diberikan orang tua kepada anak ( r = 0,418
p = 0,002). Adicondro dan Purnamasari (2010) mengungkapkan dukungan sosial ini
dapat dilihat dari banyaknya kontak sosial yang terjadi atau yang dilakukan individu
dalam menjalin hubungan dengan keluarga. Dukungan ini berupa dukungan emosional,
yaitu individu akan merasa mendapat dorongan tinggi, seperti motivasi dari keluarga,
dukungan instrumental yaitu fasilitas yang memadai dari keluarga, seperti uang jajan
dan makan, kemudian dukungan informatif berupa perhatian, nasihat, pengetahuan dari
orang tua, dan dukungan penghargaan, seperti memberikan hadiah kepada anak saat
anak mendapat prestasi guna meningkatkan kepercayaan diri, dukungan-dukungan
orang tua yang seperti ini meningkatkan self-regulation learning anak (Adicondro dan
Purnamasari, 2010). Dukungan yang diberikan orang tua berupa motivasi kepada anak,
merupakan salah satu aspek dari self-regulated learning (dalam Pintrich dan Groot,
1990)
Selain itu, penelitian lain yang telah dilakukan oleh Asizah dan Hendrati (2013)
pada remaja yang tidak tinggal dengan orang tua, yaitu pada pelajar yang tinggal di
pesantren mengenai hubungan pengaturan diri pelajar pesantren dengan orang tua yang
dikaji berdasarkan intensitas komunikasi orang tua-anak, hasil yang didapatkan adanya
hubungan yang positif antara intensitas komunikasi orang tua-anak dengan pengaturan
diri pelajar yang tinggal di pesantren. Asizah dan Hendrati (2013) mengatakan peran
5
orang tua sangat penting dalam
melakukan pengawasan dan pengarahan terhadap
perilaku dan pengelolaan diri remaja dengan sering berkunjung ke pesantren, karena
dengan adanya intensitas pertemuan intensif antara remaja dengan orang tua, maka akan
terjadi komunikasi antara orang tua dan remaja.
Gunarsa (2004) juga menambahkan bahwa intensitas komunikasi dapat
mempererat hubungan anak-orang tua, sehingga dapat membantu perkembangan
motivasi belajar yang merupakan aspek dari self-regulation learning. Pada mahasiswa
yang tidak tinggal dengan orang tua (kost), mereka memiliki intensitas pertemuan yang
rendah dengan orang tua, sehingga komunikasi antara anak dan orang tua pun menjadi
kurang efektif karena mereka tidak berkomunikasi tatap muka seperti yang dilakukan
oleh mahasiswa yang tinggal dengan orang tua.
Berdasarkan uraian diatas, nampak pada penulis bahwa self-regulated learning
dapat dikaitkan dengan orang tua, yang merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi
anak dalam melakukan pengaturan diri. Namun dalam melanjutkan kuliah, mahasiswa
sendiri tidak selalu tinggal dengan orang tua, mereka yang memilih kuliah di luar daerah
tidak akan tinggal dengan orang tua lagi, dan akan memasuki lingkungan baru (dalam
Kenny, 1987) bersama teman-teman yang memiliki latar belakang berbeda (dalam
Santrock, 2003), sehingga penulis tertarik untuk meneliti apakah ada perbedaan selfregulated learning pada mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan mahasiswa yang
tidak tinggal dengan orang tua (kost).
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah, “Apakah ada perbedaan yang signifikan Self Regulation Learning antara
6
mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan yang tidak tinggal dengan orang tua
(kost)?”
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui adanya perbedaan yang
signifikan self-regulation learning antara mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan
yang tidak tinggal dengan orang tua (kost).
TINJAUAN PUSTAKA
Self-regulation learning
Pintrich dan Groot (1990) memberikan istilah self-regulation dalam belajar
dengan istilah self-regulation learning, yaitu suatu kegiatan belajar yang diatur oleh diri
sendiri, yang didalamnya individu mengaktifkan pikiran, motivasi dan tingkah lakunya
untuk mencapai tujuan belajarnya. Menurut Zimmerman (2002), self-regulation dalam
proses belajar merupakan pengelolaan proses belajar individu sendiri melalui
pengaturan dan pencapaian tujuan dengan mengacu pada metakognisi dan tindakan
yang aktif dalam belajar mandiri. Pembelajaran dengan pengaturan diri terdiri atas
metakognisi, motivasi, dan tindakan terencana yang secara siklus diadaptasikan untuk
mencapai tujuan pribadi (Zimmerman & Pons, 1990). Berdasarkan definisi dari
beberapa ahli, dapat disimpulkan self-regulation learning merupakan pengaturan diri
dalam belajar yang mengacu pada tiga aspek, yaitu:
a. Metakognisi
Kemampuan metakognitif untuk membuat perencanaan, monitoring, dan
memodifikasi cara berpikir (Brown, Bransford, Campione, & Ferrara; Corno;
Zimmerman & Pons, dalam Pintrich & Groot, 1990). Zimmerman (2004) juga
mengatakan bahwa secara metakognitif, individu yang meregulasi diri
7
merencanakan, mengorganisasi, mengintruksi diri, memonitor dan mengevaluasi
dirinya dalam proses belajar.
b. Motivasi
Motivasi merupakan keyakinan individu terhadap kapasitasnya untuk
belajar. Tiga komponen motivasi merujuk pada komponen harapan, komponen
nilai, dan komponen afektif. Komponen harapan merupakan keyakinan pelajar
terhadap kemampuan mereka dalam menyelesaikan tugas, meliputi self-efficacy
dan kendali kepercayaan mereka terhadap proses belajar mereka. Komponen
nilai merujuk pada sasaran pelajar (goal) dan keyakinan (beliefs) pelajar atas
pentingnya dan menariknya sebuah tugas, meliputi orientasi intrinsik dan
ektrinsik. Sedangkan komponen afektif adalah reaksi emosi pelajar terhadap
sebuah tugas, seperti kecemasan saat tes (test anxiety) (Pintrich dan Groot,
1990). Motivasi merupakan salah satu aspek penting dalam proses self-regulated
learning. Self-regulated learning tidak akan berjalan tanpa disertai motivasi diri
untuk melakukan suatu tindakan (Zimmerman, 2000).
c. Tindakan terencana
Secara behavioral, individu yang belajar menyeleksi, menyusun, dan menata
lingkungan agar lebih optimal dalam belajar (Zimmerman, 2004). Jadi aspek ini
merupakan strategi regulasi behavioral yang berkaitan dengan upaya/usaha
individu untuk mengatur diri, menyeleksi, dan memanfaatkan maupun
menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitas belajar. Strategi ini meliputi
pengaturan usaha (effort regulation), mengatur waktu dan lingkungan belajar
(regulating time and study environment) serta mencari bantuan (help seeking)
(Pintrich, 2004).
8
Faktor yang mempengaruhi Self-regulation learning
Menurut Bandura (1997) perilaku terjadi karena ada tiga determinan yang saling
berkaitan yakni diri (self), perilaku (behavior), dan lingkungan (environment). Teori
sosial kognitif yang dikemukakan Bandura menyatakan bahwa faktor lingkungan,
personal, dan faktor perilaku, memegang peranan penting dalam proses pembelajaran
individu. Zimmerman (1990) juga mengatakan dalam teori sosial kognitif terdapat tiga
hal mempengaruhi seseorang sehingga melakukan self-regulated learning, yaitu:
a. Faktor Personal (Individu)
Self-regulated learning terjadi dimana pelajar dapat menggunakan proses
personal (kognitif) untuk mengatur perilaku dan lingkungan belajar di sekitarnya
secara strategis. Faktor personal melibatkan self-efficacy yang mengacu kepada
penilaian individu terhadap kemampuannya untuk melakukan suatu tugas,
mencapai tujuan, atau mengatasi hambatan dalam belajar.
Persepsi self-efficacy pelajar tergantung kepada empat tipe yang
mempengaruhi
pribadi
seseorang
yaitu
pengetahuan
pelajar,
proses
metakognitif, tujuan dan afeksi. Pengetahuan self-regulated learning harus
memiliki
kualitas pengetahuan prosedural
dan pengetahuan
bersyarat.
Pengetahuan prosedural mengacu kepada pengetahuan bagaimana menggunakan
strategi, sedangkan pengetahuan bersyarat mengarah kepada pengetahuan kapan
dan mengapa strategi tersebut berjalan efektif.
Pengetahuan self-regulated learning tidak hanya bergantung kepada
pengetahuan pelajar tetapi juga proses metakognitif pada pengambilan
keputusan dan perfoma yang dihasilkan dengan melibatkan perencanaan atau
analisis tugas yang berfungsi mengarahkan usaha dalam mengontrol belajar.
9
Pengambilan keputusan metakognitif tergantung juga kepada tujuan jangka
panjang pelajar dalam belajar. Tujuan merupakan kriteria yang digunakan
pelajar untuk memonitor mereka dalam belajar. Tujuan dan pemakaian proses
metakognitif dipengaruhi oleh persepsi terhadap self-efficacy dan afeksi. Afeksi
mengacu kepada kemampuan mengatasi emosi yang timbul dalam diri meliputi
kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola pikir dalam mencapai
tujuan.
Faktor personal melibatkan penggunaan strategi mengatur materi
pelajaran (organizing & transforming), membuat rencana dan tujuan yang ingin
dicapai (goal setting and planning), mencatat hal-hal penting (keeping record
and monitoring), serta mengulang dan mengingat materi pelajaran (rehearsing
and memorizing).
b. Faktor Perilaku
Mengacu kepada kemampuan pelajar dalam menggunakan strategi selfevaluation sehingga mendapatkan informasi tentang keakuratan dan mengecek
kelanjutan dari hasil umpan balik. Perilaku pelajar dalam berperilaku yang
berhubungan dengan self-regulated learning yaitu observasi diri (self
observation), penilaian diri (self-judgment), dan reaksi diri (self-reaction).
Bandura (1997) menyebutkan dalam perilaku ini, ada 3 tahap yang berkaitan
dengan self-regulation learning, yaitu self- observation, self-judgment, dan selfreaction.
Menurut Zimmerman (1986), observasi diri mengacu pada respon
peserta didik yang berkaitan dengan pemantauan perilakunya secara sistematis.
Penilaian diri (self-judgement) mengacu pada respon peserta didik yang
10
berkaitan dengan pembandingan secara sistematis terhadap kinerja mereka
dengan standar tujuan. Peserta didik yang bereaksi positif (self-reaction)
terhadap kinerjanya maka akan dapat meningkatkan kinerjanya (Zimmerman,
1986). Komponen tersebut terdiri dari perilaku yang dapat diamati, dilatih dan
saling mempengaruhi.
Oleh karena itu, ketiga komponen tersebut dikategorikan sebagai faktor
perilaku yang mempengaruhi self-regulated learning. Faktor perilaku ini
melibatkan penggunaan strategi evaluasi terhadap diri (self-evaluation) dan
konsekuensi terhadap diri (self-consequences).
c. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan berinteraksi secara timbal balik dengan faktor
personal dan perilaku. Mengacu kepada sikap proaktif pelajar untuk
menggunakan strategi pengubahan lingkungan belajar seperti penataan
lingkungan belajar, mengurangi kebisingan, dan pencarian sumber belajar yang
relevan. Lingkungan menurut Bandura (dikutip Zimmerman, 1989:335)
memiliki peran terhadap pengelolaan diri dalam belajar, yaitu sebagai tempat
individu melakukan aktivitas belajar dan memberikan fasilitas kepada aktivitas
belajar yang dilakukan, apakah fasilitas tersebut cenderung mendukung atau
menghambat aktivitas belajar khususnya self-regulation learning. Faktor
lingkungan ini dapat berupa lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Status
tempat tinggal merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi self-regulated
learning mahasiswa, yaitu lingkungan tempat tinggal mahasiswa bersama orang
tua atau tidak tinggal bersama orang tua (kost).
11
Status tempat tinggal
Sebuah tempat tinggal biasanya berwujud bangunan rumah, tempat berteduh,
atau struktur lainnya yang digunakan sebagai tempat manusia tinggal berteduh
(http://id.wikipedia.org/wiki/Tempat_tinggal). Pada penelitian ini, tempat tinggal yang
akan menjadi variabel yang diteliti dibedakan menjadi dua macam, yaitu tempat tinggal
bersama dengan orang tua dan tempat tinggal tidak bersama dengan orang tua (kost).
a. Tinggal dengan orang tua
Orang tua artinya ayah dan ibu (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Menurut
Thamrin
(http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_tua),
orang
tua
merupakan setiap orang yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau
tugas rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai bapak dan
ibu. Menurut Hurlock, orang tua merupakan orang dewasa yang membawa anak
ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas orang tua melengkapi
dan mempersiapkan anak menuju ke kedewasaan dengan memberikan
bimbingan dan pengarahan yang dapat membantu anak dalam menjalani
kehidupan. Artinya tempat tinggal dengan orang tua adalah tinggal serumah,
seatap, dan satu bangunan bersama orang tua.
b. Tidak tinggal dengan orang tua (Kost)
Kost merupakan tempat tumpangan (yang menerima orang untuk
menumpang tinggal dan makan dengan membayar) (dalam Kamus Bahasa
Indonesia). Kost berarti tinggal (menumpang) di tempat orang dan makan di
situ; memondok (Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer). Kata indekostt
mempunyai arti numpang makan pada (“Kamus Umum Belanda-Indonesia”,
1978). Dalam bahasa Inggris, kata kost diterjemahkan sebagai boarding house,
12
yaitu “a private house where people can pay for accomodation and meals”
(dalam Oxford Advanced Learnerss Dictionary, 2000). Artinya adalah sebuah
rumah pribadi dimana orang lain dapat membayar untuk akomodasi dan
makanan. Jadi, mahasiswa yang bertempat tinggal dikost adalah mahasiswa
yang tinggal atau menumpang di tempat orang lain dengan membayar
akomodasi.
Mahasiswa
Menurut Sarwono (1978), mahasiswa adalah kelompok pelajar yang sudah
menyelesaikan pendidikannya di sekolah menengah (umum/kejuruan) kemudian
mendaftar dan diterima di universitas. Pada usia sekitar 18 tahun, seseorang mulai
memasuki dunia mahasiswa. Mahasiswa adalah individu yang berusia 18 tahun atau
lebih yang menempuh pendidikan didalam lingkungan universitas atau perguruan tinggi
(dalam Papalia & Olds, 2008). Menurut Santrock (2007) masa remaja adalah periode
peralihan perkembangan dari kanak-kanak ke masa dewasa awal, memasuki masa ini
sekitar usia 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun, sehingga
mahasiswa masuk dalam tahap perkembangan remaja akhir.
Perbedaan SRL Antara Anak Yang Tinggal Dengan Orang Tua dan Yang Kost
Menurut Gunarsa (1991), anak membutuhkan rasa aman dan terlindungi yang
tentunya pertama kali didapatkan di dalam lingkungan keluarga yang mendukung ia
dalam mengatur dirinya. Woolfolk (2008) juga mengatakan anak-anak mulai belajar
regulasi diri di rumah. Orang tua dapat mengajarkan dan mendukung self-regulating
learning anak melalui modeling, memberi dorongan, memfasilitasi, me-reward goalsetting, penggunaan strategi yang baik, dan proses-proses lain (Martinez-Pons dalam
Woolfolk, 2008). Boekaerts; Schunk & Zimmerman (dalam Santrock, 2009) juga
13
mengatakan orang tua dapat membantu anak menjadi pelajar dengan pengaturan diri.
Jadi orang tua memiliki peran dalam membantu anak menjadi pelajar dengan
pengaturan diri, sedangkan pada mahasiswa yang memilih melanjutkan pendidikan di
luar, mereka tidak tinggal dengan orang tua (kost), sehingga mereka memiliki intensitas
pertemuan yang rendah dengan orang tua, komunikasi antara anak dan orang tua pun
menjadi kurang efektif karena mereka tidak berkomunikasi tatap muka seperti yang
dilakukan oleh mahasiswa yang tinggal dengan orang tua, sehingga nampak pada
penulis bahwa self-regulated learning dapat dikaitkan dengan orang tua, yang
merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi anak dalam melakukan pengaturan diri.
Selain itu, mereka juga akan memasuki lingkungan baru (dalam Kenny, 1987)
bersama teman-teman yang memiliki latar belakang berbeda (dalam Santrock, 2003)
dan mereka akan dituntut lebih mandiri (Deasyanti & Anna, 2007) dan memikul
tanggung jawab pribadi dalam menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai mahasiswa
(Soldwedel dalam Natakusuma, 2003). Sedangkan pada uraian di atas menjelaskan
bahwa orang tua memiliki pengaruh terhadap pengaturan diri belajar anak, sehingga
nampak pada peneliti self-regulated learning dapat dikaitkan dengan keberadaan orang
tua, yang merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi anak dalam melakukan
pengaturan diri. Peneliti tertarik untuk meneliti apakah ada perbedaan self-regulated
learning pada mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan mahasiswa yang tidak
tinggal dengan orang tua (kost).
Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas, hipotesis yang diajukan adalah ada perbedaan yang
signifikan self-regulated learning antara mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan
mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost).
14
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian komparasi atau uji perbedaan
untuk membandingkan hasil penelitian antara dua kelompok penelitian atau lebih.
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana.
Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Kristen Satya
Wacana dengan kriteria subjek, yaitu usia 18 hingga 22 tahun, pada angkatan tahun
2011 hingga angkatan tahun 2013. Mahasiswa ada yang tinggal bersama orang tua, dan
ada yang tidak tinggal dengan orang tua dan memilih tinggal di kost. Penentuan sampel
yang representative pada penelitian ini menggunakan rumus Yamane (Supramono dan
Haryanto, 2005):
n=
Keterangan:
n
= jumlah sampel
N
= ukuran populasi
d
= presisi yang ditetapkan atau prosentase kelonggaran ketidaktelitian karena
kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditoleransi atau diinginkan
(1%, 5%, atau 10% Didasarkan atas pertimbangan/kebebasan peneliti)
n
=
= 379,328
= 379
Perhitungan di atas menghasilkan jumlah sampel yang perlu diambil adalah
sebesar 379 sampel. Menurut Kumar (dalam Wardhani, 2009)
dalam penelitian
kuantitatif, jumlah sampel yang lebih banyak dianggap akan menghasilkan perhitungan
15
statistik yang lebih akurat daripada sampel dalam jumlah yang sedikit, sehingga sampel
yang akan digunakan dalam penelitian ini sebanyak 450 subjek. Namun setelah ditinjau
kembali, sebanyak 21 subjek yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena subjek
tidak memenuhi kriteria menjadi sampel serta kurang berpartisipasi dengan baik dalam
penelitian ini. Subjek hanya mengisi beberapa item pernyataan dalam angket dan tidak
mengisi data yang lengkap pada identitas diri, seperti usia, angkatan, dan keterangan
tinggal bersama orang tua atau tidak (kost), sehingga diperoleh subjek yang menjadi
sampel dalam penelitian ini sebanyak 429 subjek.
Teknik pengambilan sampel menggunakan metode Non-probability Sampling
yaitu teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama
bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Dalam
menentukan sampel, peneliti menggunakan teknik Snowball. Snowball sampling adalah
teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian membesar.
Awalnya dipilih satu atau dua orang, tetapi karena dua orang ini belum merasa lengkap
terhadap data yang diberikan, maka peneliti mencari orang lain yang dipandang lebih
tahu dan dapat melengkapi data yang diberikan oleh dua orang sebelumnya (Sugiono,
2010).
Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data
dengan menggunakan kuesioner yang akan diisi oleh mahasiswa Universitas Kristen
Satya Wacana yang tinggal dengan orang tua dan yang tidak tinggal dengan orang tua
(kost). Kuesioner yang akan diberikan merupakan modifikasi dari skala Motivational
Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ) yang diadaptasi dari Pintrich & Groot
(1990) yang disusun berdasarkan komponen-komponen self-regulation learning ( dalam
Zimmerman, 1989). Self-regulated learning dalam penelitian ini diukur dengan
16
menggunakan instrument penelitian yang telah dikembangkan oleh Zimmerman (dalam
Pintrich & Groot, 1990).
Jenis kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini ialah kuesioner tertutup,
tujuannya adalah agar responden lebih fokus terhadap penelitian karena jawaban sudah
tersedia. Skala self-regulation learning dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk
angket. Item-item dalam skala ini dikelompokkan dalam pernyataan favorable dan
unfavorable dengan respon yang digunakan pada angket ini menggunakan angka 1
hingga 7. Skor yang diberikan pada setiap variasi jawaban berbeda dan bergantung pada
jenis item. Pada respon-respon positif terhadap item favorable akan diberi bobot yang
lebih tinggi daripada respon negatif sedangkan untuk item unfavorable, respon positif
akan diberi skor yang bobotnya lebih rendah daripada respon negatif (Azwar, 2012).
Sebelum pengambilan sampel dilakukan, peneliti melakukan uji coba bahasa
kepada 6 responden yaitu 3 responden mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan 3
responden mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost). Responden ini
memiliki kriteria yang sama dengan subjek penelitian ini. Setelah dilakukan uji coba
bahasa, peneliti memperbaiki beberapa kalimat pada item pernyataan skala psikologi
yang akan digunakan sesuai dengan saran dari responden dan pembimbing.
Pengujian validitas alat ukur dilakukan sebanyak tiga putaran, didapatkan hasil
akhir koefisien seleksi item yaitu yang bergerak antara 0,273 sampai dengan 0,659.
Dalam penelitian ini ada 12 item yang tidak valid, sehingga tersisa 40 item valid.
Pengujian reliabilitas alat ukur setelah 12 item yang gugur dihilangkan, diperoleh hasil
koefisien α = 0,925. Dalam pengujian reliabilitas apabila koefisien α yang dihasilkan
adalah α > 0,90, maka reliabilitas sempurna, sehingga reliabilitas alat ukur dalam
penelitian ini adalah sempurna. Semakin mendekati angka 1,00 berarti pengukuran
17
semakin reliabel, begitupun sebaliknya (Azwar, 2012). Dalam pengukuran psikologi,
tidak pernah dapat dijumpai
koefisien reliabilitas yang mencapai angka
(Azwar, 2010). Sehingga dapat disimpulkan bahwa skala self-regulation learning yang
digunakan dalam penelitian ini reliabel.
HASIL PENELITIAN
Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel self-regulation
learning digunakan 5 kategori, yaitu dengan mengurangi jumlah skor tertinggi dengan
jumlah skor terendah dan membaginya dengan jumlah kategori (Hadi, 2000).
Berdasarkan perhitungan data penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil analisis
deskriptif self-regulation learning dengan nilai minimum sebesar 40 dan nilai
maksimum 280. Mean atau rata-rata yang diperoleh adalah 203,90 dan standar deviasi
sebesar 32,53 seperti yang terlihat dalam Tabel 1.
TABEL 1
Kategori Skor Self Regulation Learning
Standar
No.
Interval
Kategori
Frekuensi
%
Mean
Deviasi
1.
232 ≤ x ≤ 280
Sangat Tinggi
84
19,58
2.
184 ≤ x < 232
Tinggi
254
59,21
3.
136 ≤ x < 184
Sedang
75
17,48
4.
88 ≤ x < 136
Rendah
16
3,73
0
0
203.90
Sangat
5.
40 ≤ x < 88
Rendah
32,53
18
Perbedaan kategori skor self-regulation learning antara mahasiswa yang tinggal
dengan orang tua dan mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost)
menunjukkan data pada Tabel 2 sebagai berikut:
TABEL 2
Kategori Skor Self Regulation Learning antara mahasiswa yang tinggal dengan
orang tua dan mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost)
No.
Interval
1.
232 ≤ x ≤ 280
Kategori
Kost
%
Orang Tua
%
53
22,65
31
15,90
Sangat
Tinggi
2.
184 ≤ x < 232
Tinggi
141
60,26
113
57,95
3.
136 ≤ x < 184
Sedang
37
15,81
38
19,49
4.
88 ≤ x < 136
Rendah
3
1,28
13
6,67
0
0
0
0
Sangat
5.
40 ≤ x < 88
Rendah
Mean
208.27
198.64
Standar Deviasi
29.77
34.93
Tahap selanjutnya adalah melakukan uji asumsi, yaitu uji normalitas yang
bertujuan untuk
mengetahui normal atau tidaknya distribusi data penelitian pada
masing-masing variabel. Data dari variabel penelitian diuji normalitasnya menggunakan
metode Kolmogorov-Smirnov Test. Data dapat dikatakan berdistribusi normal apabila
nilai p > 0,05.
19
TABEL 3
Hasil Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
K
O
N
Normal Parameters
a
Most Extreme Differences
234
195
Mean
208.27
198.64
Std. Deviation
29.770
34.926
Absolute
.072
.090
Positive
.047
.052
Negative
-.072
-.090
1.103
1.261
.175
.083
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Test distribution is Normal.
Hasil uji normalitas pada Tabel 3 menunjukkan bahwa variabel self-regulation
learning pada masing-masing kelompok sampel memiliki koefisien KolmogorovSmirnov Test sebesar 1,103 dan 1,261 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar
0,175 dan 0,083 pada masing-masing kelompok sampel dengan demikian variabel selfregulation learning memiliki distribusi data yang normal karena p > 0,05.
Uji homogenitas bertujuan untuk melihat apakah sampel-sampel dalam
penelitian berasal dari populasi yang sama. Data dapat dikatakan homogen apabila
nilai probabilitas p > 0,05.
TABEL 4
Hasil Uji Homogenitas
Test of Homogeneity of Variances
SRL
Levene Statistic
3.120
df1
df2
1
Sig.
427
.078
20
Dari hasil uji homogenitas pada Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai koefisien
Levene Test
sebesar 3,120 dengan signifikansi sebesar 0,078. Oleh karena nilai
signifikansi lebih dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut homogen.
Setelah uji normalitas dan uji homogenitas dilakukan, tahap selanjutnya adalah
mengetahui perbedaan Self-regulation learning antara mahasiswa yang tinggal di kost
dengan mahasiswa yang tinggal dengan orang tua. Setelah dilakukan analisis data, maka
diperoleh hasil sebagai berikut :
TABEL 5
Hasil Uji-T
Group Statistics
K_O
SRL
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
1
234
208.27
29.770
1.946
2
195
198.64
34.926
2.501
TABEL 5.1
Independent Samples Test
Levene's Test
for Equality of
Variances
t-test for Equality of Means
95%
Confidence
Interval of the
Sig. (2-
F
SRL
Sig.
T
Df
Mean
Std. Error
Difference
tailed) Difference Difference Lower Upper
Equal
variances
3.120 .078 3.084
427
.002
9.632
3.124 3.493 15.772
3.040 383.103
.003
9.632
3.169 3.402 15.863
assumed
Equal
variances
not
assumed
21
Hasil perhitungan Independent Sample Test
pada Tabel 5.1 menunjukkan
bahwa nilai signifikansi untuk perbedaan antara mahasiswa yang tinggal di kost dan
mahasiswa yang tinggal dengan orang tua memiliki nilai nilai t-test sebesar 3.084
dengan signifikansi 0.002 atau p < 0,05 yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan
pada self-regulation learning antara mahasiswa yang tinggal di kost dan mahasiswa
yang tinggal dengan orang tua. Selain itu hasil perhitungan juga menunjukkan mean self
regulation learning pada anak yang tinggal dengan orang tua sebesar 198,64 dan mean
self regulation learning pada anak yang tidak tinggal dengan orang tua (kost) sebesar
208,27.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis data menggunakan Independent Sample t-Test,
diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar p = 0,002 (p<0.05), artinya Ho ditolak dan H1
diterima, sehingga hipotesis dalam penelitian ini diterima bahwa terdapat perbedaan
self-regulation learning yang signifikan antara mahasiswa yang tinggal dengan orang
tua dengan mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost). Selanjutnya hasil
penelitian ini juga menunjukkan bahwa mean self-regulation learning pada mahasiswa
yang tinggal dengan orang tua sebesar 198,64 dan mean self-regulation learning pada
mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost) sebesar 208,27, artinya
mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost) memiliki tingkat self-regulation
learning yang lebih tinggi dari mahasiswa yang tinggal bersama orang tua.
Hasil penelitian ini berbeda dengan teori yang mengatakan bahwa selfregulation learning pada anak meningkat karena adanya keterlibatan orang tua
(Martinez-Pons, 2009) dan orang tua yang membantu anak menjadi pelajar dengan
pengaturan diri (Boekarts, Schunk, dan Zimmerman dalam Santrock, 2009). Hasil
22
penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan pada
pelajar yang berusia remaja yang tidak tinggal dengan orang tua, yaitu tinggal di
pesantren. Pelajar memiliki tingkat pengaturan diri yang rendah akibat intensitas
pertemuan dengan orang tua yang tidak insentif, sehingga intensitas komunikasi orang
tua-anak menjadi kurang (Asizah dan Hendrati, 2013). Selain itu, hasil penelitian lain
yang tidak sesuai dengan hasil penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh
Adicondro dan Purnamasari (2011) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan
sosial orang tua yang diberikan kepada anak, semakin tinggi juga pengaturan diri anak
sebagai pelajar, hal ini dilihat dari banyaknya kontak sosial orang tua dengan anak,
sehingga hasil penelitian ini tidak mendukung beberapa penelitian dan teori sebelumnya
bahwa lingkungan rumah bersama orang tua sangat mendukung anak dalam
melaksanakan pengaturan diri.
Peneliti mencoba menjelaskan dengan teori-teori lain adanya penyebab lain
mengapa mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost) memiliki kemampuan
self-regulation learning lebih tinggi daripada mahasiswa yang tinggal dengan orang tua.
Mahasiswa merupakan usia remaja yang ingin memenuhi tugas perkembangan sebagai
seorang remaja yaitu mencapai tingkah laku yang bertanggungjawab terhadap tujuannya
yaitu kuliah (Havigrust, 2014). Papalia, Olds & Feldman (2008) mengatakan di
perguruan tinggi, mahasiswa dituntut untuk bertanggung jawab dalam belajarnya.
Deasyanti & Anna (2007) juga menambahkan setiap individu yang memasuki dunia
perguruan tinggi, dituntut agar melakukan cara belajar yang lebih mandiri, artinya,
situasi perkuliahan menuntut mahasiswa untuk dapat mandiri dan memikul tanggung
jawab pribadi dalam menyelesaikan tugas-tugasnya (Solwedel, dalam Natakusuma
2007), sehingga tanpa orang tua, mahasiswa harus mampu mandiri dalam berjuang
23
mencapai tujuannya, dan bertanggung jawab atas perilaku-perilakunya yang akan
mendukungnya dalam proses belajar.
Handy (2006) mengatakan perkembangan self-regulation dalam belajar
sebenarnya sudah mulai berlangsung pada saat anak mulai memasuki lingkungan
sekolah, namun diperlukan perhatian dari orang tua masing-masing untuk mulai
menerapkan disiplin sejak dini untuk mendukung perkembangan pengaturan diri anak.
Jadi, sejak awal orang tua sudah mempunyai peran untuk mengembangkan selfregulation anak sejak dini, sehingga kemampuan ini tetap dimiliki anak, meskipun anak
sudah tidak bersama orang tuanya lagi. Jadi, ada juga faktor pola asuh orang tua yang
menyebabkan anak tetap bisa mengatur perilakunya meskipun berada jauh dari orang
tuanya.
Salah satu aspek dari self-regulation learning adalah motivasi. Anak
membutuhkan motivasi untuk mencapai prestasi dalam lingkungan pendidikannya. Eka
(2013) mengatakan dengan adanya motivasi berprestasi, anak akan terdorong untuk
dapat mengatur perilaku. Faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi dibagi
menjadi dua macam yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi
harapan yang diinginkan, cita-cita yang mendasari, harga diri, sikap terhadap kehidupan
dan lingkungan. Faktor eksternal itu sendiri meliputi, dukungan dan harapan orang tua.
Jadi, selain dukungan dan harapan orang tua, mahasiswa juga mempunyai harapan, serta
cita-cita yang mendasarinya untuk mengatur perilaku belajarnya, seperti ingin
berprestasi dalam lingkungan pendidikannya. Selain itu adanya faktor harga diri,
mahasiswa yang rela berpisah dengan orang tuanya untuk belajar disebuah perguruan
tinggi, tidak ingin kembali dengan sebuah kegagalan, mereka akan merasa malu apabila
mereka tidak berhasil dalam mencapai tujuannya, sehingga mereka sangat
24
mementingkan harga diri mereka. Cara mahasiswa menyikapi kehidupan dan
lingkungannya juga penting. Mahasiswa yang menyikapinya dengan positif akan
memperoleh hasil belajar yang positif, dan juga sebaliknya, karena saat berpisah dengan
orang tua, mahasiswa akan memasuki dunia baru.
Masa transisi dari dunia sekolah menuju dunia perguruan tinggi menuntutnya
untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan yang baru, seperti teman yang lebih
beragam latar belakang geografis dan etnisnya, struktur sekolah yang lebih besar,
kegiatan belajar-mengajar yang berbeda, serta bertambahnya tekanan mencapai prestasi,
dan nilai-nilai ujian yang baik (dalam Santrock, 2003). Apabila mahasiswa menyikapi
kesulitan-kesulitan baru yang belum ia alami dengan positif, maka ia akan berhasil,
seperti melakukan strategi-strategi belajar, berusaha menemukan kondisi lingkungan
yang bisa membuatnya tenang dalam belajar, bersosialisasi dengan mereka yang bisa
mendukung dan membantunya belajar, dsb.
Meskipun ada perbedaan self-regulated learning antara mahasiswa yang tinggal
dengan orang tua dan mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost), namun
kedua kelompok sama-sama memiliki tingkat self-regulated learning yang tergolong
pada kategori tinggi. Berdasarkan pengamatan peneliti, tingkat self-regulation learning
mahasiswa UKSW yang tinggi disebabkan oleh beberapa kegiatan dan program
universitas yang mempersiapkan mahasiswa-mahasiswa yang tidak hanya memiliki
kemampuan intelektual yang tinggi, tetapi juga mampu mandiri dan memikul tanggung
jawab
pribadi
dalam
menyelesaikan
tugas-tugasnya
sebagai
mahasiswa
(http://www.uksw.edu/). Kegiatan dan program universitas antara lain Orientasi
Mahasiswa Baru (OMB), Mentoring, Latihan Dasar Kepemimpan Mahasiswa (LDKM),
dan Kegiatan Bakat Minat (KBM). Selain itu, masih ada kegiatan pengembangan dan
25
penalaran lain yang bertujuan memberikan kompetensi keilmuan pada mahasiswa untuk
mendukungnya dalam proses belajar, seperti seminar dan diskusi. UKSW juga telah
membentuk Pusat Bimbingan dan Konseling bagi mahasiswa yang mengalami
persoalan akademik dan non-akademik yang bisa menjadi hambatan dalam proses
belajar mahasiswa. Selama proses belajar di perkuliahan, mahasiswa juga memiliki
dosen wali yang bertugas seperti orang tua yang membantu, membimbing dan
mengarahkan mahasiswa dalam proses menyelesaikan study mereka di UKSW
(http://www.uksw.edu/id.php/kemahasiswaan).
Berdasarkan
pengamatan
peneliti,
kegiatan dan program UKSW telah mendukung mahasiswa menjadi pelajar dengan
pengaturan diri yang baik.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai perbedaan Self Regulation Learning
antara mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan yang tidak tinggal dengan orang
tua (kost) diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
Ada perbedaan Self Regulation Learning antara mahasiswa yang tinggal dengan orang
tua dan yang tidak tinggal dengan orang tua (kost).
SARAN
Berdasarkan hasil dari penelitian ini, serta mengingat keterbatasan-keterbatasan yang
ada selama proses penelitian, maka peneliti memberikan beberapa saran, yaitu sebagai
berikut:
a. Saran bagi mahasiswa
Mahasiswa sebagai individu yang terlibat dalam proses belajar
seharusnya sudah mampu mengatur dirinya dalam belajar, baik saat berada
26
bersama orang tua atau terpisah dengan orang tua, karena sesuai dengan tugas
perkembangan mahasiswa yang berada pada tahap perkembangan remaja akhir,
yaitu menginginkan kebebasan dalam bertanggung jawab atas proses belajarnya
dan mandiri selama mengikuti proses belajarnya. Diharapkan mahasiswa yang
tinggal dengan orang tua meningkatkan kemandirian mengatur dirinya dalam
proses belajar, karena mahasiswa merupakan remaja akhir yang memiliki tugas
perkembangan mandiri dan bertanggung jawab akan keputusan-keputusannya,
sehingga meskipun mahasiswa tinggal serumah dengan orang tua, mahasiswa
tidak perlu menunggu perintah atau disuruh terlebih dahulu oleh orang tuanya
untuk belajar dan menyelesaikan tugas perkuliahan, namun dari kesadaran
mahasiswa sendiri untuk mengatur dirinya dalam proses belajarnya sebagai
mahasiswa Bagi mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua, meskipun
berada jauh dari orang tua, mahasiswa harus menjaga hubungan jarak jauh
dengan orang tua, seperti selalu menjaga kelancaran komunikasi dengan orang
tua, karena mahasiswa akan membutuhkan orang tuanya untuk memotivasinya
dan memberikan mahasiswa dukungan dalam proses belajar mengajar, baik
dukungan
emosional
(motivasi),
dukungan
informatif,
dan
dukungan
instrumental (fasilitas)
b. Saran bagi orang tua
Sebagai
perkembangan
orang
seorang
yang
anak,
paling
orang
penting
tua
dan
perlu
berpengaruh
memperhatikan
dalam
pola
pengasuhannya terhadap anaknya. Bagi orang tua yang anaknya tidak tinggal
bersama dengan
mereka (kost) atau akan berkuliah di daerah yang jauh
sehingga harus memilih untuk kost, sebaiknya sebelum anak meninggalkan
27
rumah dan berinteraksi dengan dunia diluar rumah. Orang tua perlu
menanamkan nilai-nilai yang baik, serta berperan menjadi model yang positif
bagi anak. Selain itu melatih anak menjadi seseorang yang mandiri dan
bertanggung jawab akan setiap keputusan yang diambil anak. Komunikasi yang
lancar dan dukungan dari orang tua, seperti nasihat dan sarana juga perlu untuk
memotivasi anak dalam melakukan proses belajar. Bagi orang tua yang anaknya
tinggal bersama mereka, sebaiknya menerapkan disiplin dalam rumah, sehingga
anak lebih mandiri dan terlatih untuk melakukan segala sesuatu sendiri dan tidak
bergantung pada orang tua meskipun mereka tinggal bersama orag tua mereka.
Orang tua harus lebih tegas dalam mendisiplinkan anak dan jangan
membiasakan anak bergantung pada orang tuanya sehingga menghambatnya
untuk menjadi mandiri. Orang tua perlu memantau dan menilai kegiatankegiatan yang dilakukan anak,
kemudian menyediakan waktu untuk
membicarakan kekurangan anak dalam melaksanakan tugasnya sebagai remaja
yang harus mandiri dalam melakukan regulasi diri dan memberi masukan halhal apa yang harusnya dilakukan oleh seorang mahasiswa yang membawanya
dalam kesuksesan dalam belajar, setelah itu membantu anak melihat apa yang di
peroleh dari usaha yang selama ini dilakukan apakah hasilnya memuaskan atau
sebaliknya, dengan begitu melalui orang tua anak belajar melakukan selfobservation, self-judgement, dan self-reaction.
c. Saran bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti yang akan melakukan penelitian selanjutnya dapat meneliti
faktor lain yang memengaruhi Self-Regulation Learning seperti pola atau gaya
asuh orang tua (parenting syle).
28
DAFTAR PUSTAKA
Adicondro, N., & A, Purnamasari. (2011). Efikasi Diri, Dukungan Sosial Keluarga Dan
Self Regulated Learning Pada Mahasiswa Kelas VIII. Jurnal Humanitas, 8, (1).
Ajikusumo, R.P. (1996). Self-Regulation Learning In Indonesia Higher Education: A
Study Carried Out At Atma Jaya Catholic University In Jakarta. Skripsi.
Indonesia: Atma Jaya Research Centre.
Amelia. (2011). Hubungan Self Regulation Dengan Prestasi Belajar Pada Mahasiswa
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. Skripsi. Salatiga: UKSW.
Asizah., & H, Fabiola. (2013). Intensitas Komunikasi Antara Anak Dengan Orang Tua
Dan Self Regulation Pada Remaja Pesantren. Jurnal Psikologi Indonesia, 2, (2),
90-98.
Azwar, S, (2010). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The Exercise Of Control. New York: Freeman.
Deasyanti., & Armeinni, A. (2007). Self Regulation Learning Pada Mahasiswa
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Jakarta. Jurnal Perspektif Ilmu Pendidikan,
16.
Gunarsa, S. B. (1991). Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta: Gunung
Mulia.
Gunarsa, S. B. (2004). Psikologi Praktis Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: BPK
Gunung Mulia
Hadi, S. (2000). Statistik jilid 2. Jogjakarta: Andi.
Havigrust. (2014). Tugas-Tugas Perkembangan Remaja. Diperoleh dari
http://Saifulq.blogspot.com/2013/04/tugas-tugas-perkembangan-remaja.html,
9
Agustus 2014.
Inayah, E. R. H. (2013). Motivasi Berprestasi Dan Self Regulated Learning. Jurnal, 1.
Diperoleh dari http://ejournal.umm.ac.id, 10 Juni 2014.
Kenny, M. E. (1987). The Extent And Function Of Parental Attachment Among FirstYear College Students. Journal Of Youth And Adolescence, 16, 17-29.
Mujidin. (2008). Perbedaan Self Regulated Learning Antara Siswa Underachievers Dan
pelajar Overachievers Pada Kelas 3 Smp Negeri 6 Yogyakarta. Skripsi.
Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.
29
Natakusuma, A. (2003). Perbedaan Model Self-Regualtion Antara Mahasiswa Yang
Kuliah Sambil Bekerja Dengan Mahasiswa Yang Kuliah Saja Dan Pengaruhnya
Terhadap IPK. Skripsi. Jakarta: Universitas Atmajaya.
Papalia, D. E., & Olds, S. W. (1995). Human Development 6th Edition. New York:
McGraw-Hill.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D. (2008). Human Development 11th
Edition. Boston: McGraw-Hill.
Pintrich, P. R., & De Groot, E. V. (1990). Motivational And Self-Regulated Learning
Components Of Classroom Academic Performance. Journal of Educational
Psychology, 82, (1), 33-40.
Pintrich, P.R. (2004). A Conceptual Framework For Assesing Motivation And Self
Regulated Learning In College Students. Educational Psychology Review,16.
Diperoleh dari : http://www.springerlink.com/content/f5314035x325r60x/, 22
Agustus 2014.
Pons., & Martinez (2009). Test Of A Model Of Parental Inducement Of Academic Self
Regulation. The Journal Of Experimental Education, 64, (3), 213‐227.
Santrock, J. W. (2007). Perkembangan Anak Jilid II. Jakarta: Erlangga.
Santrock, J. W. (2009). Psikologi Pendidikan Jilid I. Jakarta: Erlangga.
Santrock, J. W. (2003). Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.
Sugiyono. (2010). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Penerbit Alfabeta Bandung.
Supramono., & Haryanto, J. O. (2005), Desain Proposal Penelitian Studi Pemasaran
Edisi Pertama. Yogyakarta: Andi.
Sarwono, Sarlito Wirawan (1978). Perbedaan Antara Pemimpin Dan Aktivis Dalam
Gerakan Protes Mahasiswa. Jakarta: Bulan Bintang
Susanto, H. (2006). Mengembangkan Kemampuan Self Regulation Untuk
Meningkatkan Keberhasilan Akademik Siswa. Jurnal Pendidikan Penabur, 5, (7),
64-71
Wardhani, P.W. (2009). Hubungan Nilai Budaya Uncertainty Avoidance Dengan
Tingkah Laku Inovatif. Diperoleh dari
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126429-155.8%20PUT, 1 uni 2014.
Woolfolk. (2008). Educational Psychology 10th Edition. Boston: Allyn & Bacon.
Zimmerman, B. J. (2004). A Social Cognitive View Of Self-Regulated Academic
Learning. Journal Of Educational Psychology, 4, (2), 22-63. Diperoleh dari:
http://www.stu.ca/-sbraat/SRL/A/Social0CognitiveViewofSelfRegulatedAcademicLearning.pdf, 16 Juni 2014.
30
Zimmerman, B.J. (2002). Achieving Self-Regulation: The Trial And Triumph Of
Adolescence. In. F. Pajares & T. Urdan (Eds.), Academic Motivation Of
Adolescents (Vol. 2, pp. 1-27). Greenwich, Ct: Information Age.
Zimmerman, B. J. (2000). Attaining Self-Regulation. A Social Cognitive Perpective. In
M. Boekaerts, P. R. Pintrich, & M. Zeidner (Eds). Handbook Of Self-Regulation.
San Diego. CA: Elsavier Academic Press.
Zimmerman, B. J. (1990). Self-regulated learning and academic achievement : an
overview. Journal Educational Psychologist, 25, (1), 3-17.
Zimmerman, B. J. (1989). A Social Cognitive View Of Self-Regulated Academic
Learning. Journal of Educational Psychology, 81, 329-339.
Zimmerman, B. J. (1986). Becoming a Self-Regulated Learner: Which Are the Key
Subprocesses?. Contemporary Educational Psychology. 11, 307-313.
http://www.wikipedia.org/
http://www.uksw.edu/
Download