PERBEDAAN SELF REGULATION LEARNING ANTARA MAHASISWA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA DAN YANG TIDAK TINGGAL DENGAN ORANG TUA (KOST) OLEH MONIQUE GRACE KATOUCE SEPANG 802010083 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2014 PERBEDAAN SELF REGULATION LEARNING ANTARA MAHASISWA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA DAN MAHASISWA YANG TIDAK TINGGAL DENGAN ORANG TUA (KOST) Monique Sepang Berta E Ari Prasetya Heru Astikasari S Murti Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2014 Abstract The purpose of this research is to examine the differences in Self-Regulation Learning between Satya Wacana Christian University Students who live with parents and do not live with parents (boarding house). There are 429 subjects in this quantitative research. A self-regulation learning variable is measured with a Motivational Strategies for Learning Questionnare (MSLQ) scale adapted from Pintrich & Groot (1990) based on three components of self-regulation learning, which are metacognition, motivation, and behavior (Zimmerman, 1989). The differences in selfregulation learning between students who live with parents and do not live with parents (boarding house) are examined using an independent sample test. The results reveal that the ttest value is 3.084 with a significance of 0.002 or p < 0.05, so that it can be concluded that there are differences in Self-Regulation Learning between Satya Wacana Christian University Students who live with parents and do not live with parents (boarding house). Keywords: Self-Regulation Learning, parents, student, boarding house Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan Self-Regulation Learning antara mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost) di Universitas Kristen Satya Wacana. Subjek dalam penelitian kuantitatif ini sebanyak 429 subjek. Variabel Self Regulation Learning diukur dengan skala Motivational Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ) yang diadaptasi dari Pintrich & Groot (1990) yang disusun berdasarkan komponen-komponen self-regulation learning, yaitu metakognisi, motivasi, dan perilaku (dalam Zimmerman, 1989). Perbedaan Self-Regulation Learning antara mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost) diuji menggunakan Independent Sample Test dan diperoleh hasil bahwa nilai t-Test sebesar 3.084 dengan signifikansi 0,002 atau p < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan SelfRegulation Learning antara mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan yang tidak tinggal dengan orang tua di Universitas Kristen Satya Wacana. Kata Kunci : Self Regulation Learning, orang tua, mahasiswa, kost 1 PENDAHULUAN Masa remaja merupakan tahap perkembangan dalam mencari jati diri (identitas). Remaja akan dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang sangat banyak dan memutuskan segala sesuatu tentang kehidupan mereka (Erikson dalam Santrock, 2007). Byrnes; Galotti & Kozberg (dalam Santrock, 2007) menambahkan masa remaja adalah waktu meningkatnya pengambilan keputusan tentang masa depan, seperti teman-teman yang harus dipilih, melanjutkan keperguruan tinggi atau tidak, orang yang akan diajak berkencan, melakukan hubungan seksual atau tidak, dll. Menurut Santrock (2007) masa remaja adalah usia 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Pada rentang usia ini, terutama usia remaja akhir, remaja telah menyelesaikan studi di sekolah menengah atas. Selanjutnya remaja akan menghadapi berbagai pilihan, salah satunya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau tidak (Erikson, dalam Santrock, 2007) Remaja yang memutuskan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi akan menghadapi iklim yang berbeda dengan sekolah. Masa transisi dari dunia sekolah menuju dunia perguruan tinggi menuntutnya untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan yang baru, seperti teman yang lebih beragam latar belakang geografis dan etnisnya, struktur sekolah yang lebih besar, kegiatan belajar-mengajar yang berbeda, serta bertambahnya takanan mencapai prestasi, dan nilai-nilai ujian yang baik (dalam Santrock, 2003). Mereka yang memilih melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi juga akan dihadapkan oleh pilihan, yaitu melanjutkan ke perguruan tinggi di daerah asal atau melanjutkan perguruan tinggi di luar daerah. Kenny (1987) berpendapat bahwa pengalaman meninggalkan rumah untuk memasuki perguruan tinggi pada masa remaja akhir dapat dikonseptualisasikan sebagai bentuk natural dari “Strange Situation” yang 2 menggambarkan remaja harus dapat menggali dan menguasai sebuah lingkungan baru. Mereka tidak akan tinggal dengan orang tua lagi, mereka akan berteman dengan temanteman yang memiliki latar belakang yang berbeda, dan mereka akan mengikuti gaya belajar yang berbeda yang lebih mandiri. Setiap individu yang memasuki dunia perguruan tinggi, dituntut agar melakukan cara belajar yang lebih mandiri (Deasyanti & Anna, 2007). Situasi perkuliahan menuntut mahasiswa untuk dapat mandiri dan memikul tanggung jawab pribadi dalam menyelesaikan tugas-tugasnya Soldwedel (dalam Natakusuma, 2003). Amelia (2011) juga mengatakan mahasiswa yang pada umumnya berumur 18-22 tahun merupakan peserta didik di perguruan tinggi yang dituntut untuk lebih mandiri dan bertanggung jawab dalam belajarnya. Soldwedel (dalam Natakusuma, 2003) juga menambahkan keberhasilan pada tingkat kuliah di tentukan oleh kemandirian seorang mahasiswa dalam mengatur dirinya. Proses mengatur diri dalam belajar ini dikenal dengan istilah self-regulation learning. Pintrich dan Groot (1990) mendefinisikan self-regulation learning, sebagai suatu kegiatan belajar yang diatur oleh diri sendiri, yang didalamnya individu mengaktifkan pikiran, motivasi dan tingkah lakunya untuk mencapai tujuan belajarnya. Winne (dalam Santrock, 2007) mengatakan self-regulated learning adalah kemampuan untuk memunculkan dan memonitor sendiri pikiran, perasaan, dan perilaku untuk mencapai suatu tujuan. Santrock (2009) juga mengatakan pembelajaran dengan pengaturan diri (self-regulatory learning) terdiri atas pembangkitan diri dan pemantauan diri atas pikiran, perasaan, dan perilaku dengan tujuan untuk mencapai suatu sasaran. Sasaransasaran ini dapat berupa sasaran akademik dan sasaran sosioemosional (Santrock, 2009). 3 Proses mengatur diri ini dilakukan agar mahasiswa dapat mencapai tujuan yang diharapkannya (Ajikusumo, 1996). Papalia dan Olds (1995) yang mengatakan bahwa tujuan dari mahasiswa kuliah adalah sukses dalam perkuliahan dimana ditentukan dengan pencapaian akademik dan mengembangkan kemampuan sosial. Santrock (2007) mengatakan bahwa pelajar yang memiliki self-regulated learning menunjukkan kemampuan untuk mengatur tujuan belajar, mengendalikan emosi sehingga tidak mengganggu kegiatan pembelajarannya, memantau secara periodik kemajuan target belajar, mengevaluasi dan membuat adaptasi yang diperlukan sehingga menunjang dalam prestasi. Berbagai hasil penelitian menggambarkan pentingnya keterampilan regulasi diri dalam belajar dimiliki oleh mahasiswa karena berkorelasi dengan usaha belajar yang efektif dan efisien (Deasyanti dan Anna, 2007). Anak-anak yang berprestasi tinggi sering kali merupakan pelajar yang mengatur diri sendiri (Zimmerman & Schunk dalam Santrock, 2007). Dalam prestasi akademik, Alexander; Boekaerts; Schunk & Zimmerman; Wigfield, Byrnes dan Ercles (dalam Santrock 2009) menemukan bahwa anak yang berprestasi tinggi merupakan pembelajar dengan pengaturan diri atau regulasi diri. Psikolog-psikolog pendidikan juga semakin mendukung pentingnya pembelajaran dengan pengaturan diri (Alexander; Boekaerts & Corno; Cooper, Horn & Strahan; Schunk & Zimmerman; dan Wigfield, Byrnes & Ercles, dalam Santrock, 2009). Menurut Gunarsa (1991), anak membutuhkan rasa aman dan terlindungi yang tentunya pertama kali didapatkan di dalam lingkungan keluarga yang mendukung ia dalam mengatur dirinya. Jadi lingkungan rumah bersama orang tuanya sangat mendukung anak dalam melaksanakan pengaturan diri. Boekaerts, Schunk, dan Zimmerman (dalam Santrock, 2009) mengatakan orang tua dapat membantu anak 4 menjadi pelajar dengan pengaturan diri. Self-regulated learning juga telah dikaji berdasarkan keterlibatan orang tua terhadap prestasi akademik. Hasilnya menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua dapat meningkatkan self-regulated learning anaknya sehingga prestasi akademiknya meningkat (Martinez - Pons, 2009). Penelitian lain juga mengatakan orang tua berpengaruh terhadap self-regulated learning anak melalui dukungan sosial yang diberikan orang tua kepada anak ( r = 0,418 p = 0,002). Adicondro dan Purnamasari (2010) mengungkapkan dukungan sosial ini dapat dilihat dari banyaknya kontak sosial yang terjadi atau yang dilakukan individu dalam menjalin hubungan dengan keluarga. Dukungan ini berupa dukungan emosional, yaitu individu akan merasa mendapat dorongan tinggi, seperti motivasi dari keluarga, dukungan instrumental yaitu fasilitas yang memadai dari keluarga, seperti uang jajan dan makan, kemudian dukungan informatif berupa perhatian, nasihat, pengetahuan dari orang tua, dan dukungan penghargaan, seperti memberikan hadiah kepada anak saat anak mendapat prestasi guna meningkatkan kepercayaan diri, dukungan-dukungan orang tua yang seperti ini meningkatkan self-regulation learning anak (Adicondro dan Purnamasari, 2010). Dukungan yang diberikan orang tua berupa motivasi kepada anak, merupakan salah satu aspek dari self-regulated learning (dalam Pintrich dan Groot, 1990) Selain itu, penelitian lain yang telah dilakukan oleh Asizah dan Hendrati (2013) pada remaja yang tidak tinggal dengan orang tua, yaitu pada pelajar yang tinggal di pesantren mengenai hubungan pengaturan diri pelajar pesantren dengan orang tua yang dikaji berdasarkan intensitas komunikasi orang tua-anak, hasil yang didapatkan adanya hubungan yang positif antara intensitas komunikasi orang tua-anak dengan pengaturan diri pelajar yang tinggal di pesantren. Asizah dan Hendrati (2013) mengatakan peran 5 orang tua sangat penting dalam melakukan pengawasan dan pengarahan terhadap perilaku dan pengelolaan diri remaja dengan sering berkunjung ke pesantren, karena dengan adanya intensitas pertemuan intensif antara remaja dengan orang tua, maka akan terjadi komunikasi antara orang tua dan remaja. Gunarsa (2004) juga menambahkan bahwa intensitas komunikasi dapat mempererat hubungan anak-orang tua, sehingga dapat membantu perkembangan motivasi belajar yang merupakan aspek dari self-regulation learning. Pada mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost), mereka memiliki intensitas pertemuan yang rendah dengan orang tua, sehingga komunikasi antara anak dan orang tua pun menjadi kurang efektif karena mereka tidak berkomunikasi tatap muka seperti yang dilakukan oleh mahasiswa yang tinggal dengan orang tua. Berdasarkan uraian diatas, nampak pada penulis bahwa self-regulated learning dapat dikaitkan dengan orang tua, yang merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi anak dalam melakukan pengaturan diri. Namun dalam melanjutkan kuliah, mahasiswa sendiri tidak selalu tinggal dengan orang tua, mereka yang memilih kuliah di luar daerah tidak akan tinggal dengan orang tua lagi, dan akan memasuki lingkungan baru (dalam Kenny, 1987) bersama teman-teman yang memiliki latar belakang berbeda (dalam Santrock, 2003), sehingga penulis tertarik untuk meneliti apakah ada perbedaan selfregulated learning pada mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost). Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, “Apakah ada perbedaan yang signifikan Self Regulation Learning antara 6 mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan yang tidak tinggal dengan orang tua (kost)?” Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui adanya perbedaan yang signifikan self-regulation learning antara mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan yang tidak tinggal dengan orang tua (kost). TINJAUAN PUSTAKA Self-regulation learning Pintrich dan Groot (1990) memberikan istilah self-regulation dalam belajar dengan istilah self-regulation learning, yaitu suatu kegiatan belajar yang diatur oleh diri sendiri, yang didalamnya individu mengaktifkan pikiran, motivasi dan tingkah lakunya untuk mencapai tujuan belajarnya. Menurut Zimmerman (2002), self-regulation dalam proses belajar merupakan pengelolaan proses belajar individu sendiri melalui pengaturan dan pencapaian tujuan dengan mengacu pada metakognisi dan tindakan yang aktif dalam belajar mandiri. Pembelajaran dengan pengaturan diri terdiri atas metakognisi, motivasi, dan tindakan terencana yang secara siklus diadaptasikan untuk mencapai tujuan pribadi (Zimmerman & Pons, 1990). Berdasarkan definisi dari beberapa ahli, dapat disimpulkan self-regulation learning merupakan pengaturan diri dalam belajar yang mengacu pada tiga aspek, yaitu: a. Metakognisi Kemampuan metakognitif untuk membuat perencanaan, monitoring, dan memodifikasi cara berpikir (Brown, Bransford, Campione, & Ferrara; Corno; Zimmerman & Pons, dalam Pintrich & Groot, 1990). Zimmerman (2004) juga mengatakan bahwa secara metakognitif, individu yang meregulasi diri 7 merencanakan, mengorganisasi, mengintruksi diri, memonitor dan mengevaluasi dirinya dalam proses belajar. b. Motivasi Motivasi merupakan keyakinan individu terhadap kapasitasnya untuk belajar. Tiga komponen motivasi merujuk pada komponen harapan, komponen nilai, dan komponen afektif. Komponen harapan merupakan keyakinan pelajar terhadap kemampuan mereka dalam menyelesaikan tugas, meliputi self-efficacy dan kendali kepercayaan mereka terhadap proses belajar mereka. Komponen nilai merujuk pada sasaran pelajar (goal) dan keyakinan (beliefs) pelajar atas pentingnya dan menariknya sebuah tugas, meliputi orientasi intrinsik dan ektrinsik. Sedangkan komponen afektif adalah reaksi emosi pelajar terhadap sebuah tugas, seperti kecemasan saat tes (test anxiety) (Pintrich dan Groot, 1990). Motivasi merupakan salah satu aspek penting dalam proses self-regulated learning. Self-regulated learning tidak akan berjalan tanpa disertai motivasi diri untuk melakukan suatu tindakan (Zimmerman, 2000). c. Tindakan terencana Secara behavioral, individu yang belajar menyeleksi, menyusun, dan menata lingkungan agar lebih optimal dalam belajar (Zimmerman, 2004). Jadi aspek ini merupakan strategi regulasi behavioral yang berkaitan dengan upaya/usaha individu untuk mengatur diri, menyeleksi, dan memanfaatkan maupun menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitas belajar. Strategi ini meliputi pengaturan usaha (effort regulation), mengatur waktu dan lingkungan belajar (regulating time and study environment) serta mencari bantuan (help seeking) (Pintrich, 2004). 8 Faktor yang mempengaruhi Self-regulation learning Menurut Bandura (1997) perilaku terjadi karena ada tiga determinan yang saling berkaitan yakni diri (self), perilaku (behavior), dan lingkungan (environment). Teori sosial kognitif yang dikemukakan Bandura menyatakan bahwa faktor lingkungan, personal, dan faktor perilaku, memegang peranan penting dalam proses pembelajaran individu. Zimmerman (1990) juga mengatakan dalam teori sosial kognitif terdapat tiga hal mempengaruhi seseorang sehingga melakukan self-regulated learning, yaitu: a. Faktor Personal (Individu) Self-regulated learning terjadi dimana pelajar dapat menggunakan proses personal (kognitif) untuk mengatur perilaku dan lingkungan belajar di sekitarnya secara strategis. Faktor personal melibatkan self-efficacy yang mengacu kepada penilaian individu terhadap kemampuannya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, atau mengatasi hambatan dalam belajar. Persepsi self-efficacy pelajar tergantung kepada empat tipe yang mempengaruhi pribadi seseorang yaitu pengetahuan pelajar, proses metakognitif, tujuan dan afeksi. Pengetahuan self-regulated learning harus memiliki kualitas pengetahuan prosedural dan pengetahuan bersyarat. Pengetahuan prosedural mengacu kepada pengetahuan bagaimana menggunakan strategi, sedangkan pengetahuan bersyarat mengarah kepada pengetahuan kapan dan mengapa strategi tersebut berjalan efektif. Pengetahuan self-regulated learning tidak hanya bergantung kepada pengetahuan pelajar tetapi juga proses metakognitif pada pengambilan keputusan dan perfoma yang dihasilkan dengan melibatkan perencanaan atau analisis tugas yang berfungsi mengarahkan usaha dalam mengontrol belajar. 9 Pengambilan keputusan metakognitif tergantung juga kepada tujuan jangka panjang pelajar dalam belajar. Tujuan merupakan kriteria yang digunakan pelajar untuk memonitor mereka dalam belajar. Tujuan dan pemakaian proses metakognitif dipengaruhi oleh persepsi terhadap self-efficacy dan afeksi. Afeksi mengacu kepada kemampuan mengatasi emosi yang timbul dalam diri meliputi kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola pikir dalam mencapai tujuan. Faktor personal melibatkan penggunaan strategi mengatur materi pelajaran (organizing & transforming), membuat rencana dan tujuan yang ingin dicapai (goal setting and planning), mencatat hal-hal penting (keeping record and monitoring), serta mengulang dan mengingat materi pelajaran (rehearsing and memorizing). b. Faktor Perilaku Mengacu kepada kemampuan pelajar dalam menggunakan strategi selfevaluation sehingga mendapatkan informasi tentang keakuratan dan mengecek kelanjutan dari hasil umpan balik. Perilaku pelajar dalam berperilaku yang berhubungan dengan self-regulated learning yaitu observasi diri (self observation), penilaian diri (self-judgment), dan reaksi diri (self-reaction). Bandura (1997) menyebutkan dalam perilaku ini, ada 3 tahap yang berkaitan dengan self-regulation learning, yaitu self- observation, self-judgment, dan selfreaction. Menurut Zimmerman (1986), observasi diri mengacu pada respon peserta didik yang berkaitan dengan pemantauan perilakunya secara sistematis. Penilaian diri (self-judgement) mengacu pada respon peserta didik yang 10 berkaitan dengan pembandingan secara sistematis terhadap kinerja mereka dengan standar tujuan. Peserta didik yang bereaksi positif (self-reaction) terhadap kinerjanya maka akan dapat meningkatkan kinerjanya (Zimmerman, 1986). Komponen tersebut terdiri dari perilaku yang dapat diamati, dilatih dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, ketiga komponen tersebut dikategorikan sebagai faktor perilaku yang mempengaruhi self-regulated learning. Faktor perilaku ini melibatkan penggunaan strategi evaluasi terhadap diri (self-evaluation) dan konsekuensi terhadap diri (self-consequences). c. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan berinteraksi secara timbal balik dengan faktor personal dan perilaku. Mengacu kepada sikap proaktif pelajar untuk menggunakan strategi pengubahan lingkungan belajar seperti penataan lingkungan belajar, mengurangi kebisingan, dan pencarian sumber belajar yang relevan. Lingkungan menurut Bandura (dikutip Zimmerman, 1989:335) memiliki peran terhadap pengelolaan diri dalam belajar, yaitu sebagai tempat individu melakukan aktivitas belajar dan memberikan fasilitas kepada aktivitas belajar yang dilakukan, apakah fasilitas tersebut cenderung mendukung atau menghambat aktivitas belajar khususnya self-regulation learning. Faktor lingkungan ini dapat berupa lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Status tempat tinggal merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi self-regulated learning mahasiswa, yaitu lingkungan tempat tinggal mahasiswa bersama orang tua atau tidak tinggal bersama orang tua (kost). 11 Status tempat tinggal Sebuah tempat tinggal biasanya berwujud bangunan rumah, tempat berteduh, atau struktur lainnya yang digunakan sebagai tempat manusia tinggal berteduh (http://id.wikipedia.org/wiki/Tempat_tinggal). Pada penelitian ini, tempat tinggal yang akan menjadi variabel yang diteliti dibedakan menjadi dua macam, yaitu tempat tinggal bersama dengan orang tua dan tempat tinggal tidak bersama dengan orang tua (kost). a. Tinggal dengan orang tua Orang tua artinya ayah dan ibu (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Menurut Thamrin (http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_tua), orang tua merupakan setiap orang yang bertanggung jawab dalam suatu keluarga atau tugas rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari disebut sebagai bapak dan ibu. Menurut Hurlock, orang tua merupakan orang dewasa yang membawa anak ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas orang tua melengkapi dan mempersiapkan anak menuju ke kedewasaan dengan memberikan bimbingan dan pengarahan yang dapat membantu anak dalam menjalani kehidupan. Artinya tempat tinggal dengan orang tua adalah tinggal serumah, seatap, dan satu bangunan bersama orang tua. b. Tidak tinggal dengan orang tua (Kost) Kost merupakan tempat tumpangan (yang menerima orang untuk menumpang tinggal dan makan dengan membayar) (dalam Kamus Bahasa Indonesia). Kost berarti tinggal (menumpang) di tempat orang dan makan di situ; memondok (Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer). Kata indekostt mempunyai arti numpang makan pada (“Kamus Umum Belanda-Indonesia”, 1978). Dalam bahasa Inggris, kata kost diterjemahkan sebagai boarding house, 12 yaitu “a private house where people can pay for accomodation and meals” (dalam Oxford Advanced Learnerss Dictionary, 2000). Artinya adalah sebuah rumah pribadi dimana orang lain dapat membayar untuk akomodasi dan makanan. Jadi, mahasiswa yang bertempat tinggal dikost adalah mahasiswa yang tinggal atau menumpang di tempat orang lain dengan membayar akomodasi. Mahasiswa Menurut Sarwono (1978), mahasiswa adalah kelompok pelajar yang sudah menyelesaikan pendidikannya di sekolah menengah (umum/kejuruan) kemudian mendaftar dan diterima di universitas. Pada usia sekitar 18 tahun, seseorang mulai memasuki dunia mahasiswa. Mahasiswa adalah individu yang berusia 18 tahun atau lebih yang menempuh pendidikan didalam lingkungan universitas atau perguruan tinggi (dalam Papalia & Olds, 2008). Menurut Santrock (2007) masa remaja adalah periode peralihan perkembangan dari kanak-kanak ke masa dewasa awal, memasuki masa ini sekitar usia 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun, sehingga mahasiswa masuk dalam tahap perkembangan remaja akhir. Perbedaan SRL Antara Anak Yang Tinggal Dengan Orang Tua dan Yang Kost Menurut Gunarsa (1991), anak membutuhkan rasa aman dan terlindungi yang tentunya pertama kali didapatkan di dalam lingkungan keluarga yang mendukung ia dalam mengatur dirinya. Woolfolk (2008) juga mengatakan anak-anak mulai belajar regulasi diri di rumah. Orang tua dapat mengajarkan dan mendukung self-regulating learning anak melalui modeling, memberi dorongan, memfasilitasi, me-reward goalsetting, penggunaan strategi yang baik, dan proses-proses lain (Martinez-Pons dalam Woolfolk, 2008). Boekaerts; Schunk & Zimmerman (dalam Santrock, 2009) juga 13 mengatakan orang tua dapat membantu anak menjadi pelajar dengan pengaturan diri. Jadi orang tua memiliki peran dalam membantu anak menjadi pelajar dengan pengaturan diri, sedangkan pada mahasiswa yang memilih melanjutkan pendidikan di luar, mereka tidak tinggal dengan orang tua (kost), sehingga mereka memiliki intensitas pertemuan yang rendah dengan orang tua, komunikasi antara anak dan orang tua pun menjadi kurang efektif karena mereka tidak berkomunikasi tatap muka seperti yang dilakukan oleh mahasiswa yang tinggal dengan orang tua, sehingga nampak pada penulis bahwa self-regulated learning dapat dikaitkan dengan orang tua, yang merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi anak dalam melakukan pengaturan diri. Selain itu, mereka juga akan memasuki lingkungan baru (dalam Kenny, 1987) bersama teman-teman yang memiliki latar belakang berbeda (dalam Santrock, 2003) dan mereka akan dituntut lebih mandiri (Deasyanti & Anna, 2007) dan memikul tanggung jawab pribadi dalam menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai mahasiswa (Soldwedel dalam Natakusuma, 2003). Sedangkan pada uraian di atas menjelaskan bahwa orang tua memiliki pengaruh terhadap pengaturan diri belajar anak, sehingga nampak pada peneliti self-regulated learning dapat dikaitkan dengan keberadaan orang tua, yang merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi anak dalam melakukan pengaturan diri. Peneliti tertarik untuk meneliti apakah ada perbedaan self-regulated learning pada mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost). Hipotesis Berdasarkan uraian diatas, hipotesis yang diajukan adalah ada perbedaan yang signifikan self-regulated learning antara mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost). 14 METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian komparasi atau uji perbedaan untuk membandingkan hasil penelitian antara dua kelompok penelitian atau lebih. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana dengan kriteria subjek, yaitu usia 18 hingga 22 tahun, pada angkatan tahun 2011 hingga angkatan tahun 2013. Mahasiswa ada yang tinggal bersama orang tua, dan ada yang tidak tinggal dengan orang tua dan memilih tinggal di kost. Penentuan sampel yang representative pada penelitian ini menggunakan rumus Yamane (Supramono dan Haryanto, 2005): n= Keterangan: n = jumlah sampel N = ukuran populasi d = presisi yang ditetapkan atau prosentase kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditoleransi atau diinginkan (1%, 5%, atau 10% Didasarkan atas pertimbangan/kebebasan peneliti) n = = 379,328 = 379 Perhitungan di atas menghasilkan jumlah sampel yang perlu diambil adalah sebesar 379 sampel. Menurut Kumar (dalam Wardhani, 2009) dalam penelitian kuantitatif, jumlah sampel yang lebih banyak dianggap akan menghasilkan perhitungan 15 statistik yang lebih akurat daripada sampel dalam jumlah yang sedikit, sehingga sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini sebanyak 450 subjek. Namun setelah ditinjau kembali, sebanyak 21 subjek yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena subjek tidak memenuhi kriteria menjadi sampel serta kurang berpartisipasi dengan baik dalam penelitian ini. Subjek hanya mengisi beberapa item pernyataan dalam angket dan tidak mengisi data yang lengkap pada identitas diri, seperti usia, angkatan, dan keterangan tinggal bersama orang tua atau tidak (kost), sehingga diperoleh subjek yang menjadi sampel dalam penelitian ini sebanyak 429 subjek. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode Non-probability Sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Dalam menentukan sampel, peneliti menggunakan teknik Snowball. Snowball sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian membesar. Awalnya dipilih satu atau dua orang, tetapi karena dua orang ini belum merasa lengkap terhadap data yang diberikan, maka peneliti mencari orang lain yang dipandang lebih tahu dan dapat melengkapi data yang diberikan oleh dua orang sebelumnya (Sugiono, 2010). Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner yang akan diisi oleh mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana yang tinggal dengan orang tua dan yang tidak tinggal dengan orang tua (kost). Kuesioner yang akan diberikan merupakan modifikasi dari skala Motivational Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ) yang diadaptasi dari Pintrich & Groot (1990) yang disusun berdasarkan komponen-komponen self-regulation learning ( dalam Zimmerman, 1989). Self-regulated learning dalam penelitian ini diukur dengan 16 menggunakan instrument penelitian yang telah dikembangkan oleh Zimmerman (dalam Pintrich & Groot, 1990). Jenis kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini ialah kuesioner tertutup, tujuannya adalah agar responden lebih fokus terhadap penelitian karena jawaban sudah tersedia. Skala self-regulation learning dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk angket. Item-item dalam skala ini dikelompokkan dalam pernyataan favorable dan unfavorable dengan respon yang digunakan pada angket ini menggunakan angka 1 hingga 7. Skor yang diberikan pada setiap variasi jawaban berbeda dan bergantung pada jenis item. Pada respon-respon positif terhadap item favorable akan diberi bobot yang lebih tinggi daripada respon negatif sedangkan untuk item unfavorable, respon positif akan diberi skor yang bobotnya lebih rendah daripada respon negatif (Azwar, 2012). Sebelum pengambilan sampel dilakukan, peneliti melakukan uji coba bahasa kepada 6 responden yaitu 3 responden mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan 3 responden mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost). Responden ini memiliki kriteria yang sama dengan subjek penelitian ini. Setelah dilakukan uji coba bahasa, peneliti memperbaiki beberapa kalimat pada item pernyataan skala psikologi yang akan digunakan sesuai dengan saran dari responden dan pembimbing. Pengujian validitas alat ukur dilakukan sebanyak tiga putaran, didapatkan hasil akhir koefisien seleksi item yaitu yang bergerak antara 0,273 sampai dengan 0,659. Dalam penelitian ini ada 12 item yang tidak valid, sehingga tersisa 40 item valid. Pengujian reliabilitas alat ukur setelah 12 item yang gugur dihilangkan, diperoleh hasil koefisien α = 0,925. Dalam pengujian reliabilitas apabila koefisien α yang dihasilkan adalah α > 0,90, maka reliabilitas sempurna, sehingga reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini adalah sempurna. Semakin mendekati angka 1,00 berarti pengukuran 17 semakin reliabel, begitupun sebaliknya (Azwar, 2012). Dalam pengukuran psikologi, tidak pernah dapat dijumpai koefisien reliabilitas yang mencapai angka (Azwar, 2010). Sehingga dapat disimpulkan bahwa skala self-regulation learning yang digunakan dalam penelitian ini reliabel. HASIL PENELITIAN Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel self-regulation learning digunakan 5 kategori, yaitu dengan mengurangi jumlah skor tertinggi dengan jumlah skor terendah dan membaginya dengan jumlah kategori (Hadi, 2000). Berdasarkan perhitungan data penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil analisis deskriptif self-regulation learning dengan nilai minimum sebesar 40 dan nilai maksimum 280. Mean atau rata-rata yang diperoleh adalah 203,90 dan standar deviasi sebesar 32,53 seperti yang terlihat dalam Tabel 1. TABEL 1 Kategori Skor Self Regulation Learning Standar No. Interval Kategori Frekuensi % Mean Deviasi 1. 232 ≤ x ≤ 280 Sangat Tinggi 84 19,58 2. 184 ≤ x < 232 Tinggi 254 59,21 3. 136 ≤ x < 184 Sedang 75 17,48 4. 88 ≤ x < 136 Rendah 16 3,73 0 0 203.90 Sangat 5. 40 ≤ x < 88 Rendah 32,53 18 Perbedaan kategori skor self-regulation learning antara mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost) menunjukkan data pada Tabel 2 sebagai berikut: TABEL 2 Kategori Skor Self Regulation Learning antara mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost) No. Interval 1. 232 ≤ x ≤ 280 Kategori Kost % Orang Tua % 53 22,65 31 15,90 Sangat Tinggi 2. 184 ≤ x < 232 Tinggi 141 60,26 113 57,95 3. 136 ≤ x < 184 Sedang 37 15,81 38 19,49 4. 88 ≤ x < 136 Rendah 3 1,28 13 6,67 0 0 0 0 Sangat 5. 40 ≤ x < 88 Rendah Mean 208.27 198.64 Standar Deviasi 29.77 34.93 Tahap selanjutnya adalah melakukan uji asumsi, yaitu uji normalitas yang bertujuan untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi data penelitian pada masing-masing variabel. Data dari variabel penelitian diuji normalitasnya menggunakan metode Kolmogorov-Smirnov Test. Data dapat dikatakan berdistribusi normal apabila nilai p > 0,05. 19 TABEL 3 Hasil Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test K O N Normal Parameters a Most Extreme Differences 234 195 Mean 208.27 198.64 Std. Deviation 29.770 34.926 Absolute .072 .090 Positive .047 .052 Negative -.072 -.090 1.103 1.261 .175 .083 Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. Hasil uji normalitas pada Tabel 3 menunjukkan bahwa variabel self-regulation learning pada masing-masing kelompok sampel memiliki koefisien KolmogorovSmirnov Test sebesar 1,103 dan 1,261 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,175 dan 0,083 pada masing-masing kelompok sampel dengan demikian variabel selfregulation learning memiliki distribusi data yang normal karena p > 0,05. Uji homogenitas bertujuan untuk melihat apakah sampel-sampel dalam penelitian berasal dari populasi yang sama. Data dapat dikatakan homogen apabila nilai probabilitas p > 0,05. TABEL 4 Hasil Uji Homogenitas Test of Homogeneity of Variances SRL Levene Statistic 3.120 df1 df2 1 Sig. 427 .078 20 Dari hasil uji homogenitas pada Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai koefisien Levene Test sebesar 3,120 dengan signifikansi sebesar 0,078. Oleh karena nilai signifikansi lebih dari 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut homogen. Setelah uji normalitas dan uji homogenitas dilakukan, tahap selanjutnya adalah mengetahui perbedaan Self-regulation learning antara mahasiswa yang tinggal di kost dengan mahasiswa yang tinggal dengan orang tua. Setelah dilakukan analisis data, maka diperoleh hasil sebagai berikut : TABEL 5 Hasil Uji-T Group Statistics K_O SRL N Mean Std. Deviation Std. Error Mean 1 234 208.27 29.770 1.946 2 195 198.64 34.926 2.501 TABEL 5.1 Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Sig. (2- F SRL Sig. T Df Mean Std. Error Difference tailed) Difference Difference Lower Upper Equal variances 3.120 .078 3.084 427 .002 9.632 3.124 3.493 15.772 3.040 383.103 .003 9.632 3.169 3.402 15.863 assumed Equal variances not assumed 21 Hasil perhitungan Independent Sample Test pada Tabel 5.1 menunjukkan bahwa nilai signifikansi untuk perbedaan antara mahasiswa yang tinggal di kost dan mahasiswa yang tinggal dengan orang tua memiliki nilai nilai t-test sebesar 3.084 dengan signifikansi 0.002 atau p < 0,05 yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan pada self-regulation learning antara mahasiswa yang tinggal di kost dan mahasiswa yang tinggal dengan orang tua. Selain itu hasil perhitungan juga menunjukkan mean self regulation learning pada anak yang tinggal dengan orang tua sebesar 198,64 dan mean self regulation learning pada anak yang tidak tinggal dengan orang tua (kost) sebesar 208,27. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis data menggunakan Independent Sample t-Test, diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar p = 0,002 (p<0.05), artinya Ho ditolak dan H1 diterima, sehingga hipotesis dalam penelitian ini diterima bahwa terdapat perbedaan self-regulation learning yang signifikan antara mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dengan mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost). Selanjutnya hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa mean self-regulation learning pada mahasiswa yang tinggal dengan orang tua sebesar 198,64 dan mean self-regulation learning pada mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost) sebesar 208,27, artinya mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost) memiliki tingkat self-regulation learning yang lebih tinggi dari mahasiswa yang tinggal bersama orang tua. Hasil penelitian ini berbeda dengan teori yang mengatakan bahwa selfregulation learning pada anak meningkat karena adanya keterlibatan orang tua (Martinez-Pons, 2009) dan orang tua yang membantu anak menjadi pelajar dengan pengaturan diri (Boekarts, Schunk, dan Zimmerman dalam Santrock, 2009). Hasil 22 penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan pada pelajar yang berusia remaja yang tidak tinggal dengan orang tua, yaitu tinggal di pesantren. Pelajar memiliki tingkat pengaturan diri yang rendah akibat intensitas pertemuan dengan orang tua yang tidak insentif, sehingga intensitas komunikasi orang tua-anak menjadi kurang (Asizah dan Hendrati, 2013). Selain itu, hasil penelitian lain yang tidak sesuai dengan hasil penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Adicondro dan Purnamasari (2011) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi dukungan sosial orang tua yang diberikan kepada anak, semakin tinggi juga pengaturan diri anak sebagai pelajar, hal ini dilihat dari banyaknya kontak sosial orang tua dengan anak, sehingga hasil penelitian ini tidak mendukung beberapa penelitian dan teori sebelumnya bahwa lingkungan rumah bersama orang tua sangat mendukung anak dalam melaksanakan pengaturan diri. Peneliti mencoba menjelaskan dengan teori-teori lain adanya penyebab lain mengapa mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost) memiliki kemampuan self-regulation learning lebih tinggi daripada mahasiswa yang tinggal dengan orang tua. Mahasiswa merupakan usia remaja yang ingin memenuhi tugas perkembangan sebagai seorang remaja yaitu mencapai tingkah laku yang bertanggungjawab terhadap tujuannya yaitu kuliah (Havigrust, 2014). Papalia, Olds & Feldman (2008) mengatakan di perguruan tinggi, mahasiswa dituntut untuk bertanggung jawab dalam belajarnya. Deasyanti & Anna (2007) juga menambahkan setiap individu yang memasuki dunia perguruan tinggi, dituntut agar melakukan cara belajar yang lebih mandiri, artinya, situasi perkuliahan menuntut mahasiswa untuk dapat mandiri dan memikul tanggung jawab pribadi dalam menyelesaikan tugas-tugasnya (Solwedel, dalam Natakusuma 2007), sehingga tanpa orang tua, mahasiswa harus mampu mandiri dalam berjuang 23 mencapai tujuannya, dan bertanggung jawab atas perilaku-perilakunya yang akan mendukungnya dalam proses belajar. Handy (2006) mengatakan perkembangan self-regulation dalam belajar sebenarnya sudah mulai berlangsung pada saat anak mulai memasuki lingkungan sekolah, namun diperlukan perhatian dari orang tua masing-masing untuk mulai menerapkan disiplin sejak dini untuk mendukung perkembangan pengaturan diri anak. Jadi, sejak awal orang tua sudah mempunyai peran untuk mengembangkan selfregulation anak sejak dini, sehingga kemampuan ini tetap dimiliki anak, meskipun anak sudah tidak bersama orang tuanya lagi. Jadi, ada juga faktor pola asuh orang tua yang menyebabkan anak tetap bisa mengatur perilakunya meskipun berada jauh dari orang tuanya. Salah satu aspek dari self-regulation learning adalah motivasi. Anak membutuhkan motivasi untuk mencapai prestasi dalam lingkungan pendidikannya. Eka (2013) mengatakan dengan adanya motivasi berprestasi, anak akan terdorong untuk dapat mengatur perilaku. Faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi dibagi menjadi dua macam yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi harapan yang diinginkan, cita-cita yang mendasari, harga diri, sikap terhadap kehidupan dan lingkungan. Faktor eksternal itu sendiri meliputi, dukungan dan harapan orang tua. Jadi, selain dukungan dan harapan orang tua, mahasiswa juga mempunyai harapan, serta cita-cita yang mendasarinya untuk mengatur perilaku belajarnya, seperti ingin berprestasi dalam lingkungan pendidikannya. Selain itu adanya faktor harga diri, mahasiswa yang rela berpisah dengan orang tuanya untuk belajar disebuah perguruan tinggi, tidak ingin kembali dengan sebuah kegagalan, mereka akan merasa malu apabila mereka tidak berhasil dalam mencapai tujuannya, sehingga mereka sangat 24 mementingkan harga diri mereka. Cara mahasiswa menyikapi kehidupan dan lingkungannya juga penting. Mahasiswa yang menyikapinya dengan positif akan memperoleh hasil belajar yang positif, dan juga sebaliknya, karena saat berpisah dengan orang tua, mahasiswa akan memasuki dunia baru. Masa transisi dari dunia sekolah menuju dunia perguruan tinggi menuntutnya untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan yang baru, seperti teman yang lebih beragam latar belakang geografis dan etnisnya, struktur sekolah yang lebih besar, kegiatan belajar-mengajar yang berbeda, serta bertambahnya tekanan mencapai prestasi, dan nilai-nilai ujian yang baik (dalam Santrock, 2003). Apabila mahasiswa menyikapi kesulitan-kesulitan baru yang belum ia alami dengan positif, maka ia akan berhasil, seperti melakukan strategi-strategi belajar, berusaha menemukan kondisi lingkungan yang bisa membuatnya tenang dalam belajar, bersosialisasi dengan mereka yang bisa mendukung dan membantunya belajar, dsb. Meskipun ada perbedaan self-regulated learning antara mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua (kost), namun kedua kelompok sama-sama memiliki tingkat self-regulated learning yang tergolong pada kategori tinggi. Berdasarkan pengamatan peneliti, tingkat self-regulation learning mahasiswa UKSW yang tinggi disebabkan oleh beberapa kegiatan dan program universitas yang mempersiapkan mahasiswa-mahasiswa yang tidak hanya memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, tetapi juga mampu mandiri dan memikul tanggung jawab pribadi dalam menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai mahasiswa (http://www.uksw.edu/). Kegiatan dan program universitas antara lain Orientasi Mahasiswa Baru (OMB), Mentoring, Latihan Dasar Kepemimpan Mahasiswa (LDKM), dan Kegiatan Bakat Minat (KBM). Selain itu, masih ada kegiatan pengembangan dan 25 penalaran lain yang bertujuan memberikan kompetensi keilmuan pada mahasiswa untuk mendukungnya dalam proses belajar, seperti seminar dan diskusi. UKSW juga telah membentuk Pusat Bimbingan dan Konseling bagi mahasiswa yang mengalami persoalan akademik dan non-akademik yang bisa menjadi hambatan dalam proses belajar mahasiswa. Selama proses belajar di perkuliahan, mahasiswa juga memiliki dosen wali yang bertugas seperti orang tua yang membantu, membimbing dan mengarahkan mahasiswa dalam proses menyelesaikan study mereka di UKSW (http://www.uksw.edu/id.php/kemahasiswaan). Berdasarkan pengamatan peneliti, kegiatan dan program UKSW telah mendukung mahasiswa menjadi pelajar dengan pengaturan diri yang baik. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai perbedaan Self Regulation Learning antara mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan yang tidak tinggal dengan orang tua (kost) diperoleh kesimpulan sebagai berikut : Ada perbedaan Self Regulation Learning antara mahasiswa yang tinggal dengan orang tua dan yang tidak tinggal dengan orang tua (kost). SARAN Berdasarkan hasil dari penelitian ini, serta mengingat keterbatasan-keterbatasan yang ada selama proses penelitian, maka peneliti memberikan beberapa saran, yaitu sebagai berikut: a. Saran bagi mahasiswa Mahasiswa sebagai individu yang terlibat dalam proses belajar seharusnya sudah mampu mengatur dirinya dalam belajar, baik saat berada 26 bersama orang tua atau terpisah dengan orang tua, karena sesuai dengan tugas perkembangan mahasiswa yang berada pada tahap perkembangan remaja akhir, yaitu menginginkan kebebasan dalam bertanggung jawab atas proses belajarnya dan mandiri selama mengikuti proses belajarnya. Diharapkan mahasiswa yang tinggal dengan orang tua meningkatkan kemandirian mengatur dirinya dalam proses belajar, karena mahasiswa merupakan remaja akhir yang memiliki tugas perkembangan mandiri dan bertanggung jawab akan keputusan-keputusannya, sehingga meskipun mahasiswa tinggal serumah dengan orang tua, mahasiswa tidak perlu menunggu perintah atau disuruh terlebih dahulu oleh orang tuanya untuk belajar dan menyelesaikan tugas perkuliahan, namun dari kesadaran mahasiswa sendiri untuk mengatur dirinya dalam proses belajarnya sebagai mahasiswa Bagi mahasiswa yang tidak tinggal dengan orang tua, meskipun berada jauh dari orang tua, mahasiswa harus menjaga hubungan jarak jauh dengan orang tua, seperti selalu menjaga kelancaran komunikasi dengan orang tua, karena mahasiswa akan membutuhkan orang tuanya untuk memotivasinya dan memberikan mahasiswa dukungan dalam proses belajar mengajar, baik dukungan emosional (motivasi), dukungan informatif, dan dukungan instrumental (fasilitas) b. Saran bagi orang tua Sebagai perkembangan orang seorang yang anak, paling orang penting tua dan perlu berpengaruh memperhatikan dalam pola pengasuhannya terhadap anaknya. Bagi orang tua yang anaknya tidak tinggal bersama dengan mereka (kost) atau akan berkuliah di daerah yang jauh sehingga harus memilih untuk kost, sebaiknya sebelum anak meninggalkan 27 rumah dan berinteraksi dengan dunia diluar rumah. Orang tua perlu menanamkan nilai-nilai yang baik, serta berperan menjadi model yang positif bagi anak. Selain itu melatih anak menjadi seseorang yang mandiri dan bertanggung jawab akan setiap keputusan yang diambil anak. Komunikasi yang lancar dan dukungan dari orang tua, seperti nasihat dan sarana juga perlu untuk memotivasi anak dalam melakukan proses belajar. Bagi orang tua yang anaknya tinggal bersama mereka, sebaiknya menerapkan disiplin dalam rumah, sehingga anak lebih mandiri dan terlatih untuk melakukan segala sesuatu sendiri dan tidak bergantung pada orang tua meskipun mereka tinggal bersama orag tua mereka. Orang tua harus lebih tegas dalam mendisiplinkan anak dan jangan membiasakan anak bergantung pada orang tuanya sehingga menghambatnya untuk menjadi mandiri. Orang tua perlu memantau dan menilai kegiatankegiatan yang dilakukan anak, kemudian menyediakan waktu untuk membicarakan kekurangan anak dalam melaksanakan tugasnya sebagai remaja yang harus mandiri dalam melakukan regulasi diri dan memberi masukan halhal apa yang harusnya dilakukan oleh seorang mahasiswa yang membawanya dalam kesuksesan dalam belajar, setelah itu membantu anak melihat apa yang di peroleh dari usaha yang selama ini dilakukan apakah hasilnya memuaskan atau sebaliknya, dengan begitu melalui orang tua anak belajar melakukan selfobservation, self-judgement, dan self-reaction. c. Saran bagi peneliti selanjutnya Bagi peneliti yang akan melakukan penelitian selanjutnya dapat meneliti faktor lain yang memengaruhi Self-Regulation Learning seperti pola atau gaya asuh orang tua (parenting syle). 28 DAFTAR PUSTAKA Adicondro, N., & A, Purnamasari. (2011). Efikasi Diri, Dukungan Sosial Keluarga Dan Self Regulated Learning Pada Mahasiswa Kelas VIII. Jurnal Humanitas, 8, (1). Ajikusumo, R.P. (1996). Self-Regulation Learning In Indonesia Higher Education: A Study Carried Out At Atma Jaya Catholic University In Jakarta. Skripsi. Indonesia: Atma Jaya Research Centre. Amelia. (2011). Hubungan Self Regulation Dengan Prestasi Belajar Pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana. Skripsi. Salatiga: UKSW. Asizah., & H, Fabiola. (2013). Intensitas Komunikasi Antara Anak Dengan Orang Tua Dan Self Regulation Pada Remaja Pesantren. Jurnal Psikologi Indonesia, 2, (2), 90-98. Azwar, S, (2010). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2012). Penyusunan Skala Psikologi Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The Exercise Of Control. New York: Freeman. Deasyanti., & Armeinni, A. (2007). Self Regulation Learning Pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Jakarta. Jurnal Perspektif Ilmu Pendidikan, 16. Gunarsa, S. B. (1991). Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja. Jakarta: Gunung Mulia. Gunarsa, S. B. (2004). Psikologi Praktis Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia Hadi, S. (2000). Statistik jilid 2. Jogjakarta: Andi. Havigrust. (2014). Tugas-Tugas Perkembangan Remaja. Diperoleh dari http://Saifulq.blogspot.com/2013/04/tugas-tugas-perkembangan-remaja.html, 9 Agustus 2014. Inayah, E. R. H. (2013). Motivasi Berprestasi Dan Self Regulated Learning. Jurnal, 1. Diperoleh dari http://ejournal.umm.ac.id, 10 Juni 2014. Kenny, M. E. (1987). The Extent And Function Of Parental Attachment Among FirstYear College Students. Journal Of Youth And Adolescence, 16, 17-29. Mujidin. (2008). Perbedaan Self Regulated Learning Antara Siswa Underachievers Dan pelajar Overachievers Pada Kelas 3 Smp Negeri 6 Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan. 29 Natakusuma, A. (2003). Perbedaan Model Self-Regualtion Antara Mahasiswa Yang Kuliah Sambil Bekerja Dengan Mahasiswa Yang Kuliah Saja Dan Pengaruhnya Terhadap IPK. Skripsi. Jakarta: Universitas Atmajaya. Papalia, D. E., & Olds, S. W. (1995). Human Development 6th Edition. New York: McGraw-Hill. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, Ruth D. (2008). Human Development 11th Edition. Boston: McGraw-Hill. Pintrich, P. R., & De Groot, E. V. (1990). Motivational And Self-Regulated Learning Components Of Classroom Academic Performance. Journal of Educational Psychology, 82, (1), 33-40. Pintrich, P.R. (2004). A Conceptual Framework For Assesing Motivation And Self Regulated Learning In College Students. Educational Psychology Review,16. Diperoleh dari : http://www.springerlink.com/content/f5314035x325r60x/, 22 Agustus 2014. Pons., & Martinez (2009). Test Of A Model Of Parental Inducement Of Academic Self Regulation. The Journal Of Experimental Education, 64, (3), 213‐227. Santrock, J. W. (2007). Perkembangan Anak Jilid II. Jakarta: Erlangga. Santrock, J. W. (2009). Psikologi Pendidikan Jilid I. Jakarta: Erlangga. Santrock, J. W. (2003). Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga. Sugiyono. (2010). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Penerbit Alfabeta Bandung. Supramono., & Haryanto, J. O. (2005), Desain Proposal Penelitian Studi Pemasaran Edisi Pertama. Yogyakarta: Andi. Sarwono, Sarlito Wirawan (1978). Perbedaan Antara Pemimpin Dan Aktivis Dalam Gerakan Protes Mahasiswa. Jakarta: Bulan Bintang Susanto, H. (2006). Mengembangkan Kemampuan Self Regulation Untuk Meningkatkan Keberhasilan Akademik Siswa. Jurnal Pendidikan Penabur, 5, (7), 64-71 Wardhani, P.W. (2009). Hubungan Nilai Budaya Uncertainty Avoidance Dengan Tingkah Laku Inovatif. Diperoleh dari http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126429-155.8%20PUT, 1 uni 2014. Woolfolk. (2008). Educational Psychology 10th Edition. Boston: Allyn & Bacon. Zimmerman, B. J. (2004). A Social Cognitive View Of Self-Regulated Academic Learning. Journal Of Educational Psychology, 4, (2), 22-63. Diperoleh dari: http://www.stu.ca/-sbraat/SRL/A/Social0CognitiveViewofSelfRegulatedAcademicLearning.pdf, 16 Juni 2014. 30 Zimmerman, B.J. (2002). Achieving Self-Regulation: The Trial And Triumph Of Adolescence. In. F. Pajares & T. Urdan (Eds.), Academic Motivation Of Adolescents (Vol. 2, pp. 1-27). Greenwich, Ct: Information Age. Zimmerman, B. J. (2000). Attaining Self-Regulation. A Social Cognitive Perpective. In M. Boekaerts, P. R. Pintrich, & M. Zeidner (Eds). Handbook Of Self-Regulation. San Diego. CA: Elsavier Academic Press. Zimmerman, B. J. (1990). Self-regulated learning and academic achievement : an overview. Journal Educational Psychologist, 25, (1), 3-17. Zimmerman, B. J. (1989). A Social Cognitive View Of Self-Regulated Academic Learning. Journal of Educational Psychology, 81, 329-339. Zimmerman, B. J. (1986). Becoming a Self-Regulated Learner: Which Are the Key Subprocesses?. Contemporary Educational Psychology. 11, 307-313. http://www.wikipedia.org/ http://www.uksw.edu/