BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Heteroseksual Remaja 2.1.1 Pengertian Heteroseksual Seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan. Sedangkan perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Perilaku seksual dapat juga terjadi karena dorongan oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis, objek seksual biasanya berupa orang lain, orang dalam hayalan atau diri sendiri (Mutadin, 2002). Perilaku seksual adalah gejala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya (heteroseksual) maupun dengan sesama jenis (homoseksual). Bentuk dari tingkah laku ini bermacam-macam mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri (Sarwono, 2010). Menurut Suhenus (2012), heteroseksual adalah seorang individu yang secara seksual atau emosional tertarik pada anggota dari jenis kelamin berlawanan dari dirinya sendiri. Heteroseksualitas umumnya mengacu pada interaksi seksual diantara para anggota dari jenis kelamin yang berlawanan. 9 2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual Menurut Suryoputro (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja adalah: a) Faktor internal yang meliputi pengetahuan, aspek-aspek kesehatan reproduksi, sikap terhada layanan kesehatan seksual dan reproduksi, perilaku, kerentanan yang dirasakan terhadap resiko, kesehatan reproduksi, gaya hidup, pengendalian diri, aktifitas sosial, rasa percaya diri, usia, agama, dan status perkawinan. b) Faktor eksternal yang meliputi kontak dengan sumber-sumber informasi, keluarga, sosial budaya, nilai dan norma sebagai pendukung sosial untuk perilaku tertentu. Soetjiningsih (2006) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pranikah remaja yaitu: 1) Faktor idividual (self-esteem dan religiusitas). 2) Faktor keluarga (hubunga orang tua remaja-remaja). 3) Faktor di luar keluarga (tekanan negatif teman sebaya, eksposur media pornografi). Sedangkan menurut Sarwono (2010) beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja yaitu: 1) Faktor internal Yaitu faktor yang yang berasal dari dalam diri remaja. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja. Penigkatan hasrat seksual inimemutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu. 10 2) Faktor eksternal Faktor yang berasal dari luar di antarnya adalah: a. Penundaan usia perkawinan. b. Norma-norma dalam masyarakat. c. Kurangnya informasi tentang seks. d. Serta pergaulan yang semakin bebas. Faktor-faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap perilaku reproduksi diantaranya adalah faktor keluarga. Remaja yang melakkan hubunga seksual sebelum menukah banyak di antranya berasal dari kelurga yag bercerai atau pernah cerai, keluarga dengan banyak konflik dan perpecahan (Kinnaird, 2003). 2.1.3 Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Perilaku seksual adalah aktivitas yang adapat merangsang sensasi pada sekitar organ-oragan reproduksi dan daerah-daerah eogen. Yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Menurut Hurlock (1999) bentuk-bentuk perilaku seksual yaitu: a) Eksplorasi Eksplorasi merupakan salah satu bentuk perilaku seksual yang pertamatama muncul dalam diri individu, yang didahului oleh keingin tahuan individu terhadap masalah seksual dan dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Ada yang berbentuk murni intelektual, yang mengiring remaja bertanya atau membaca buku bila ada pertanyaan-pertanyaan yang atkut diutarakan. Atau juga dapat 11 berbentuk manipultif, di mana remaja menjelajahi organ-organ seksualnya sendiri atau orang lain. b) Masturbasi Masturbasi adalah bentuk perilaku seksual dengan melakukan perangsangan organ kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual. Perilaku ini biasanya memuncak pada saat remaja memasuki usia puberitas dan remaja, dimana terjadi perubahan pada tubuh individu. c) Homoseksual Homo seksual merupakan bentuk perilaku seksual yang dilakukan individu dengan orang lain yang berjenis kelamin sama dengannya. d) Heteroseksual Dimana betuk perilaku seksual ini meningkat pada saat anak perempuan dan laki-laki telah mencapai kematangan seksual, yaitu dorongan seksual yang muncul pada individu serta mulai diarahkan pada lawan jenisnya. Menurut Masland (2004) dan Mu’tadin (2002) perilaku seksual remaja meliputi: 1) Kissing Ciuman yang dilakukan untuk enimbulkan rangsangan seksual. Seperti dibibir disertai dengan rabaan pada bagian-bagian yang sensitif yang bisamenimbulkan rangsngan seksual. 12 2) Necking Berciuman biasanya termasuk mencium wajah dan leher. Necking adalah istilah yang umumnya untuk mnggmbarkan ciuman dan pelukan yang lebih mendalam dari kissing. 3) Petting Perilaku yang menggesek-gesekan bagian tubuh yang sensitif pada payudara atau organ kelamin. Merupakan langkah yang lebih dalam daripada necking. 4) Intercourse Bersatunya dua orang secara seksual yang dilakukan oleh pasangan pria dan wanita yang ditandai denga penis pria yang ereksi masuk ke dalam vagina untuk mendapatkan kepuasan seksual. 2.1.4 Tahap-tahap dalam perilaku seksual Tahapan-tahapan perilaku seksual menurut Sarwono (2006) antara lain: a) Berkencan. b) Berpegangan tangan. c) Mencium pipi. d) Berpelukan. e) Menium bibir. f) Memegang buah dada diatas baju. g) Memegang buah dada dibalik baju. h) Memegang alat kelamin di atas baju. 13 i) Memgang alat kelamin di balik baju. j) Melakukan senggama. Sedangkan menurut diagram group dalam buku sex: A user’s manual yang dimodifikasi oleh Soetjiningsih (2008), tahapan perilaku seksual sebagai berikut: a) Berpegangan tangan. b) Memeluk/dipeluk bahu. c) Memeluk/dipeluk pinggang. d) Ciuaman bibir. e) Ciuman bibir sambil berpelukan. f) Meraba/diraba daerah erogen dalam keadaan berpakaian. g) Mencium/dicium daerah erogen dalam keadaan berpakaian. h) Meraba/diraba daerah erogen dalam keadaan tanpa berpakaian. i) Mencium/dicium daerah erogen dalam keadaan tanpa berpakaian. j) Saling menepelkan alat kelamin dalam keadaan berpakaian. k) Saling menepelkan alat kelamin dalam keadaan tanpa berpakaian. l) Hubungan sksual. Tahapan-tahapan perikau seksual yang dikemukakan oleh sarwono (2006) dan Soetjningsih (2008) secara keseluruhan tidak terdapat banyak perbedaan. 2.1.5 Remaja 1) Pengertian remaja Menurut Dariyo(2004) remaja adalah masa perahlihan darimasa anakanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, 14 psikis dan psikososial. Secara kronologis yang tergolong remaja berkisarantara usia 12 -13 sampai 21 tahun. Sedangkan menurut Menurut Monks dan Knoers (2002), suatu analisis yang cermat mengenai semua aspek perkembangan dalam masa remaja, yang secara global berlangsung antara umur 12- 21 tahun, dengan pembagian 12 -15 tahun masaremaja awal, 15 -18 tahun untuk masa remaja pertengahan dan 18 -21 tahun untuk remaja akhir. Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Remaja (adolescence) adalah masa transisi atau perahlihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa yang ditandai adanya aspek fisik, psikis, dan psikososial secara kronologis usia remaja bekisar antara usia 12 sampai 21 tahun. 2) Perkembangan seksual remaja Gunarsa (dalam Ribeca 2010) mengemukakan bahwa masa remaja sebagai masa peralihan dri masa anak kemasa dewasa,meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Pada masa remaja, petumbuhan fisik berlangsung sangat peasat. Dalam perkembangan seksualitasremaja, ditandai dengan dua ciri yaitu cir-ciri seks primer dan ciri-ciri seks sekunder. Berikut ini adalah urain lebih lanjut mengenai ciri perkembngan seksual: a. Ciri-ciri seks primer Dalam modul kesehatan reproduksi remaja (Depkes, 2002) disebutkan bahwa ciri-ciri seks primer pada remaja adalah: 15 1) Remaja laki-laki Remaja laki-laki sudah bisa melakukan fungsi reproduksi bila telah mengalami mimpi basah. Mimpi basah biasnya terjadi pada remaja lakilaki pada usia 10-15 tahun. 2) Remaja perempuan Bila remaja perempuan sudah mengalami menarche (menstruasi), menstruasi adalah peristiwa keluarnya cairan darah dari alat kelamin perempuan berupa luruhnya lapisan dinding dalam rahim yang banyak mengandung darah. b. Ciri-ciri seks sekunder Menurut Sarwono (2003), ciri-ciri seks sekunder pada masa remaja adalah: 1) Remaja laki-laki a. Bahu melebar, pinggang menyempit b. Pertumbuhan rambut disekitar alat kelamin, ketiak, dada, tangan dan kaki c. Kulit lebih menjadi kasar dan tebal d. Produksi keringat lebih banyak 2) Remaja perempuan a. Pinggang lebar, bulat dan membesar, puting susu membesar dan menonjol, serta berkembangnya kelenjar susu, payudara menjadi lebih besar dan bulat. 16 b. Kulit menjadi lebih kasar, lebih tebal, agak pucat, lubang pori-pori bertambah besar, kelenjar lemak dan kelenjar keringat lebih aktif. c. Otot semakin besar dan semakin kuat, terutama pada pertengahan dan menjelang akhir masa puber, sehingga memberika bentuk pada bahu, lengan, dan tungkai d. Suara mejadi lebih penuh dan semakin merdu. Perubahan dan perkembangan yang terjadi pada masa remaja, dipengaruhi oleh berfungsinya hormon – hormon seksual (testosteron untuk laki – laki) dan progesteron & estrogen untuk wanita). Hormon – hormon inilah yang berpengaruh terhadap dorongan seksual remaja (Imran, 2000). Hal ini didukung oleh pendapat monks (1999), dimana pertumbuhan kelenjar seks seseorang telah sampai pada taraf matang saat akhir masa remaja, sehingga fokus utama pada fase ini biasanya lebih diarahkan pada prilaku seksual dibandingkan pertumbuhan kelenjar seks itu sendiri. Pada kehidupan sosial remaja, perkembangan organ reproduksi mempunyai pengaruh dalam minat remaja terhadap lawan jenis. Kematangan organ reproduksi tersebut mendorong individu melakukan hubungan sosial, baik dengan sesama jenis maupun dengan lawan jenis. Mereka berupaya mengembangkan diri melalui pergaulan dengan membentuk teman sebayanya (peer-group). Pergaulan bebas yang tak terkendali secara normatif dan etika-moral antar remaja yang berlainan jenis akan berakibat adanya hubungan seksual diluar nikah (sex pre-marital) (Dariyo, 2004). 17 2.1.6 Tugas perkembangan remaja Tugas perkembangan remaja menurut Havinghurts (dalam Agustiani, 2006) adalah: 1) Mencapai relasi baru dan lebih matang bergauldengan teman seusia dari kedua jenis kelamin. 2) Mencapai maskulinitas dan feminitasdari peran social. 3) Menerima perubahan fisik dan menggunakannya secara efektif 4) Mencapai ketidak tergantungan emosuonal dari orang tua dan orang dewasa lainnya 5) Menyiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga 6) Menyiapkan diri untuk karir ekonomi 7) Menemukan set dari nilai-nilai dan sistem etika sebagai penunjuk dalam perilaku mengembangkan ideology 8) Mencapai dan diharapkan untuk memiliki tingkah laku social secara bertanggung jawab. 2.2 Harga Diri 2.2.1 Pengertian harga diri Coopersmith (1978) menyatakan bahwa harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu menganai hal-hal yang berkaitan dengan dirinnya yang diekspresikan melalui suatu bentuk penilaian setuju dan menunjukan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga. Harga diri seseorang dapat menentukan bagaimana cara seseorang 18 berperilaku dalam lingkungannya. Peran harga diri dalam menentukan perilaku ini dapat dilihat melalui proses berpikirnya, emosi, nilai, cita-cita serta tujuan yang hendak dicapai seseorang. Maka seseorang memiliki harga diri yang tinggi, maka perilakunya juga akan positif, sedangkan bila harga dirinya rendah, akan tercemin pada perilaku yang negatif. 2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri Faktor-faktor yang mempengaruhi Harga Diri menurut Coopersmith (1978) yaitu : 1. Faktor pengalaman Pengalaman dalam bentuk emosi, perasaan, tindakan dan kejadian yang pernah dialami individu yang dirasakan bermakna dan meninggalkan kesan dalam hidup individu.Pengalaman berhasil individu menyesuaikan diri dengan lingkungan serta mengatasi kekurangan diri menyebabkan timbulnya kepercayaan diri dan harga diri individu.. 2. Faktor pola asuh orang tua Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anaknya yang meiliputi cara orang tua memberikan aturan-aturan, hadiah maupunhukuman, cara orang tua menujukkan orientasinya dan cara orang tua memberikan perhatiannya serta tanggapan terhadap anaknya. Orang tua permisif atau mengijinkan, sampai akhirnya orang tua menghukum anak dengan perlakukan kasar dan menghina serta tanpa menujukkan kasih sayang.Sebaliknya orang tua anak yang memiliki harga diri tinggi sangat memperhatikan tuntutan, ketentuan yang orang tua ciptakan untuk anak-anak dan kepastian yang orang tua 19 tuntut pada anak-anak.Dengan demikian orang tua memberikan kepada anak sesuatu struktur moral yang jelas sehingga anak-anak dapat menggunakannya dan mengendalikan perilakukanya. Pola asuh orang tua menurut Coopersmith (1978) dapat meningkatkan harga diri anak yang cenderung memiliki karakteristik sebagai berikut : a) Anak menerima kasih sayang dan terlibat. Dimana orang tua secara terbuka dan sering menampilkan kasih sayang kepada anak-anak mereka, menaruh minat dalam kegiatan anak-anak meraka dan berkenalan dengan teman-teman anak-anak mereka. b) Orang tua yang ketat, yang tegas dan aturan ditegakkan secara konsisten dalam keluarga. Menegakakan disiplin dalam keluarga sangat penting agar anak terbiasa menaati peraturan yang ada, namun jangan sampai anak tertekan dengan aturan-aturan itu. Oleh karena itu orang tua harus berhatihati dalam membuat peraturan dan konsisten. c) Anak akan menyukai orang tua yang menggunakan sedikit hukuman fisik atau ancaman untuk menarik cinta. Orang tua dari anak-anak dengan harga diri sedang akan lebih cenderung menggunakan hukuman badan atau penarikan cinta. Kecenderungan ini bahkan lebih banyak dilakukan oleh orang tua yang memiliki anak-anak dengan harga diri rendah. d) Anak lebih menyukai suasana keluarga yang lebih demokratis.walaupun orang tua yang ketat dan tegas, tetapi terbukti bahwa anak dengan harga diri tinggi tidak menyukai orang tua dogmatis atau diktator. 20 3. Faktor lingkungan sosial Lingkungan memberikan dampak kepada remaja melalui hubungan yang baik antara remaja dengan orang tua, teman sebaya dan lingkungan sekitasrnya sehingga menumbuhkan rasa aman dan nyaman dalam penerimaan sosial serta harga dirinya. Kehilangan kasih sayang, penghinaan dan dijauhi teman sebaya akan menurunkan harga diri, sebaliknya keberhasilan bersahabat dan bermasyarakat akan meningkatkan harga diri. 4. Faktor sosial ekonomi Sosial ekonomi merupakan dasar perbuatan seseorang yang menimbulkan dorongan untuk memenuhi kebutuhan individu dalam hubungannya dengan lingkungan sosial yang memerlukan dukungan finansial dan berpengaruh pada kebutuhan hidup sehari-hari. Individu yang tingkat sosial ekonominya tinggi akan mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sehingga memperkuat kepercayaan pada diri individu dan harga dirinya. 2.2.4 Aspek-aspek dalam harga diri Coopersmith (1978), membagi harga diri dalam empat aspek, yaitu: 1) Penerimaan diri Penerimaan diri merupakan kunci yang direfleksikan individu dalam dirinya meliputi sikap, perhatian, dan ekspresi perasaan mereka terhadap diri individu.Ekspresi tersebut dikatakan sebagai penerimaan atau popularitas, kebalikannya disebut sebagai penolakan atau isolasi.Penerimaan ini dibentuk oleh kehangantan, tanggapan, perhatian serta menerima individu sebagaimana adanya. 21 2) Penerimaan sosial Proses indentifikasi anak dengan orang tua dalam pembentukan harga diri seseorang. Keluarga adalah lingkungan pertama yang ditemui oleh individu dan menjadi tempat penting dalam perkembangan hidup seseorang. Didalam keluarga seseorang dapat merasakan dirinya dicintai, diinginkan, diterima dan dihargai, pada akhirnya membantu individu untuk lebih dapat menghargai dirinya.Suka cita karena dihargai, dapat di pelihara dengan ucapan pujian yang tulus dan diberikan dengan konsisten. 3) Interaksi sosial Interaksi sosial sebagai cara pandang dan evaluasi diri sendiri, harga diri merupakan cermin dan kriteria penialaian orang-orang penting dalam dunia sosial individu, individu menyesuaikan dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan menginternalisasikan ide dan sikap yang diekspresikan oleh figure kunci dalam kehidupannya. Individu cendrung memberi respons terhadap sikap diri yang sesuai dengan apa yang diekspresikan orang-orang penting dalam kehidupannya. 4) penghargaan Individu yang menilai dirinya kurang menyenangkan dan mengagap dirinya kurang cakap dalam menghadapi lingkungan akan merasa dirinya kurang. Perasaan kurang atau rendah diri akan mempengaruhi usahanya untuk memperoleh status sosial yang sesuai dengan keinginannya. Dari keempat aspek tersebut menjadi dasar bagi penulis dalam penyusunan skala harga diri. Dalam penelitian ini, skala harga diri yang akan digunakan 22 adalah dari coopersmith yang telah dimodifikasi oleh Ribeca (2011) yang berjumlah 25 butir. 2.3 Hasil-hasil Penelitian yang Berhubungan Masa remaja adalah masa yang penuh gejolak. Masa remaja dimana kebanyakan orang mulai tertarik oleh lawan jenis, menghabiskan waktu bersamasama teman, mencoba hal yang baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya dan peristiwa-peristiwa “ bersejarah” dalam hidupnya. Remaja adalah masa yang menarik karena terjadi banyak perubahan yang dramatis selama rentang waktu kehidupan seseorang. Dalam masa remaja terjadi perubahan-perubahan yang besar dalam kehidupan seseorang khususnya dalam pembentukan indentitas diri, salah satunya yang dihadapi adalah harga diri (Self-Esteem) seseorang remaja (Steinberg, 1999). Seperti yang diketahui bahwa pengertian harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu menganai hal-hal yang berkaitan dengan dirinnya yang diekspresikan melalui suatu bentuk penilaian setuju dan menunjukan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga. Harga diri seseorang dapat menentukan bagaimana cara seseorang berperilaku dalam lingkungannya. Peran harga diri dalam menentukan perilaku ini dapat dilihat melalui proses berpikirnya, emosi, nilai, cita-cita serta tujuan yang hendak dicapai seseorang. Maka seseorang memiliki harga diri yang tinggi, maka perilakunya juga akan positif, sedangkan bila harga dirinya rendah, akan tercemin pada perilaku yang negatif, Coopersmith (1978). Sedangkan Menurut Tambunan 23 (2001) harga diri mengandung arti suatu hasil penilaian individu terhadap dirinya yang diungkapkan dalam sikap-sikap yang dapat bersifat positif atau negatif. Fathiyah (2009), mengatakan bahwa remaja dengan self-esteem tinggi cenderung dapat memfilter dirinya dari pengaruh negatif yang datang dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya, begitu sebaliknya. Munculnya harga diri membuat remaja tidak mudah ceroboh melakukan tindakan yang dapat merendahkan harga dirinya dan bisa mengontrol dorongan perilaku seksualnya, Azwar (dalam Khafri, 2013) Beberapa penelitian menggunakan variabel harga diri untuk mengukur ada atau tidaknya hubungan harga diri terhadap perilaku seksual. Dalam penelitian Ribeca (2011) tentang Hubungan Self-esteem dengan perilaku seksual remaja di SMA N 3 Salatiga, dengan hasil sig = 0,334(p>0,05), yang berarti tdak ada hubungan antara Self-esteem dengan perilaku seksual. Namun ada perbedaan hasil antara penelitian diatas dengan penelitian yang dilakukan oleh Soetjiningsih, dimana didapatkan hasil sumbangan faktor-faktor secara bersama sebesar 79 persen dari 398 siswa SMA di kota Yogyakarta. Artinya 79 persen dari variasi perilaku seksual pranikah remaja dapat dijelaskan melalui variable-variable hubungan orangtua-remaja, self-esteem, tekanan sebaya, religiusitas dan eksposur media pornografi. Berarti terdapat hubungan antara selfsteem dengan perilaku seksual pada remaja. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ummu (2010), dengan hasil analisis menunjukkan ada hubungan antara tingkat harga diri dengan tingkat perilaku seksual remaja. Hasil perhitungan juga menunjukkan r = -0,589, p = 0.000, p <0,05. Taraf signifikan p lebih kecil dari 24 0.05 maka hipotesis kerja diterima. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi negatif yang signifikan antara tingkat harga diri dengan tingkat perilaku seksual remaja. Hal tersebut berarti semakin tinggi tingkat harga diri maka akan semakin rendah kecenderungan tingkat perilaku seksual remaja. 2.4 Hipotesis Hipotesis yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif yang signifikan antara harga diri dengan perilaku heteroseksual siswa kelas X dan XI Tata Boga SMK N 1 Salatiga. 25