PENDAHULUAN Latar Belakang Kulit atau integumen merupakan salah satu organ yang paling luas pada hewan dan secara fungsional melindungi organ dibawahnya terhadap berbagai kerusakan, menghasilkan keringat (sebum), bekerja sebagai organ sensori, mengatur suhu tubuh, merefleksikan kondisi tubuh, dan fungsi utamanya, perlindungan (Dellmann dan Brown, 1992). Rambut adalah bagian dari kulit, berada pada epidermis dan dermis, yang merupakan struktur tipis bertanduk yang berasal dari invaginasi epitel dermis (Janquera, 1992). Kondisi kulit dan rambut anjing dapat menjadi indikator penting dari status kesehatan umum. Infeksi mikosis superfisial atau sistemik dapat berpengaruh secara langsung ataupun tidak langsung terhadap aktivitas fungsional dari kulit dan rambut. Dermatomikosis adalah penyakit yang menyerang permukaan tubuh baik pada hewan mamalia yang sudah didomestikasi maupun mamalia liar, unggas dan manusia; disebabkan oleh cendawan atau fungi (Pramono, 1988) dan salah satu yang hampir selalu ditemui oleh pemilik hewan kesayangan adalah dermatofitosis. Dermatofitosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kapang dermatofita genus Trichophyton, Microsporum dan Epidermophyton yang menginfeksi jaringan superfisial seperti kulit, rambut, bulu dan kuku yang dapat menyerang manusia maupun hewan (Siregar, 2004; Djuanda, et al., 2007). Penyakit ini bersifat zoonosis. Kapang tersebut menginfeksi kulit karena sumber 1 2 energinya adalah keratin (Gholib, 2008). Berdasarkan kausanya dermatofitosis disebut trichophyti, microscopi atau tinea. Nama tinea biasa dipakai untuk dermatofitosis pada orang. Berdasarkan gejalanya dikenal ringworm yang ditandai oleh kebotakan berbentuk bulat-bulat disebabkan rambut-rambut di tempat tersebut rontok (Pramono, 1988). Microsporum canis merupakan zoophylic dermatofita yang ditemukan pada anjing ataupun kucing. Fungi ini menyebabkan kerontokan dan peradangan pada kulit. Dalam sebuah survei yang dilakukan di Inggris, Italia dan Brazil, Microsporum canis merupakan penyebab dermatofitosis yang sangat umum pada anjing (Bond, 2010). Banyak metode pengobatan yang dapat dilakukan untuk pengobatan dermatofitosis, yaitu dengan pemberian Griseofulvin secara oral dan Ketoconazole secara topikal. Menurut Moriello (2004), kedua obat ini efektif untuk pengobatan dermatofitosis. Namun penelitian mengenai perbandingan efektivitas dari kedua obat ini terhadap perkembangan lesi kulit akibat dermatofita belum begitu jelas, untuk itulah penelitian ini diadakan. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perbandingan efektivitas antara Griseofulvin dan Ketoconzole terhadap perkembangan lesi pada anjing yang diinfeksi Microsporum canis. 3 Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang perbandingan efektivitas Griseofulvin dan Ketoconazole terhadap perkembangan lesi pada anjing yang diinfeksi Microsporum canis.