monetary transmission of persistent shock to the risk premium

advertisement
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia
455
MONETARY TRANSMISSION
OF PERSISTENT SHOCK TO THE RISK PREMIUM:
THE CASE OF INDONESIA
Akhis R. Hutabarat 1
Abstract
This paper investigates the relative importance of monetary transmission channel to inflation of
passing persistent shock to the risk premium. The findings show that nominal exchange rate depreciation,
triggered by a more persistent shock to interest risk premium, worsens the state of the economy in the
short- and long-run. Such distinctive shocks effect is transmitted through the economy that typifies lack
of response of consumer price disinflation to interest rate tightening caused by high real rigidity, strong
cost channel of interest rate, strong cost channel of exchange rate pass-through and weak demand-side
channel of exchange rate pass-through. This study suggests a proper monetary policy response, which is
the smallest interest rate increases within the feasible set of monetary policy responses that the model
recommends, to minimize the adverse effects of the shocks.
JEL Classification: F41; E52; D58
Keywords: Exchange rate, Balance of Payment, Monetary transmission and policy, Dynamic General
Equilibrium.
1 Ekonom senior, Bank Indonesia, email [email protected]. Makalah ini berdasarkan hasil penelitian di Departemen Ekonomi, University
of Leicester antara 2006 dan 2008. Pendapat yang muncul di makalah ini merupakan opini penulis dan tidak merepresentasikan
pandangan Bank Indonesia
456 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011
I. PENDAHULUAN
Guncangan yang berpengaruh negatif pada nilai tukar kerap melanda Indonesia.
Guncangan seperti ini dapat terjadi dalam sekali waktu atau dapat pula bertahan dalam jangka
waktu yang lebih lama. Krisis mata uang yang menimpa Indonesia pada tahun 1997-1998
dapat dianggap sebagai guncangan parah terhadap premi resiko yang mendevaluasi nilai tukar
dan mengubah keseimbangan dinamis perekonomian nasional. Kita harus terus belajar untuk
mencapai pengelolaan moneter yang lebih baik dalam mengantisipasi kemungkinan terulangnya
krisis tersebut. Karenanya, pemahaman yang lebih baik mengenai mekanisme transmisi moneter
dan konsekuensinya terhadap keterbatasan kebijakan moneter menjadi suatu kebutuhan yang
akan bermanfaat.
Jalur biaya transmisi kebijakan moneter telah banyak dieksplorasi dalam kasus-kasus
perekonomian negara-negara maju. Barth dan Ramey (2001) memberikan bukti empiris untuk
jalur biaya kebijakan moneter berdasarkan data pada level industri. Ravenna dan Walsh (2006)
menunjukkan bahwa jika penyesuaian tingkat suku bunga nominal secara langsung
mempengaruhi biaya marjinal riil, maka kebijakan tingkat suku bunga secara langsung akan
mempengaruhi inflasi. Mereka juga menunjukkan bahwa setiap guncangan ekonomi yang
disertai kehadiran saluran tersebut akan menghasilkan trade-off antara stabilisasi inflasi dan
stabilisasi kesenjangan output. Chowdhury, et al. (2006) menerapkan pendekatan struktural
untuk menemukan bahwa efek perkiraan biaya langsung dari tingkat suku bunga nominal
jangka pendek secara signifikan akan memberikan kontribusi pada dinamika inflasi di sebagian
besar negara-negara G7. Agénor dan Montiel (2008) mencatat bahwa saluran biaya suku bunga
telah diusulkan sebagai penjelasan atas fenomena ≈price puzzle ≈, istilah yang diberikan oleh
Eichenbaum (1992), mengacu pada adanya korelasi positif antara peningkatan suku bunga
dalam jangka pendek dengan tingkat harga di hasil temuan anomali empiris dari Sims «(1992).
Studi empiris mengenai transmisi moneter di Indonesia yang disusun oleh Warjiyo dan
Juda Agung (2002), tidak menyertakan saluran biaya suku bunga. Namun, penelitian ini, yang
memakai metode VAR, menemukan ≈price puzzleΔ dalam kaitannya dengan pengetatan
kebijakan moneter. Fenomena ini biasanya dihubungkan dengan kesalahan spesifikasi pada
VAR atau adanya kemungkinan jalur biaya kebijakan moneter yang kuat. Sebagai kekuatan
ekonomi yang muncul dengan produktivitas tenaga kerja relatif rendah, ada kemungkinan
dimana akumulasi modal telah menjadi sumber utama pertumbuhan output di Indonesia. Hossain
(2006) menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dan menemukan bahwa akumulasi modal
merupakan 60 persen sumber pertumbuhan di Indonesia selama empat puluh tahun terakhir.
Dalam tulisannya, Young (1995) menyatakan bahwa pertumbuhan di negara-negara Asia Timur
terutama didorong oleh tingginya tingkat pembentukan modal. Dikombinasikan dengan suku
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia
457
bunga pinjaman yang lebih tinggi, produktivitas modal yang lebih rendah, dan upah lebih
rendah dibandingkan dengan negara maju, kita dapat berargumen bahwa pangsa modal
(pendapatan pemilik modal sebagai fraksi dari PDB) lebih besar daripada pangsa tenaga kerja.
Argumen ini mendorong pentingnya menyelidiki saluran biaya transmisi kebijakan moneter.
Penelitian ini menggunakan model keseimbangan umum dinamis New Keynesian pada
perekonomian kecil yang terbuka yang melibatkan empat pelaku ekonomi domestik, yaitu
rumah tangga, perusahaan-produsen, pemerintah, dan bank sentral, yang berinteraksi dengan
ekonomi asing. Model ini mencirikan uang yang dimasukkan kedalam fungsi kepuasan rumah
tangga (money in utility function) dan elastisitas substitusi yang konstant dalam proses produksi
perusahaan yang menggunakan tenaga kerja, barang modal, dan bahan baku domestik dan
impor. Kebijakan tingkat suku bunga diterjemahkan ke inflasi jenis kurva New Keynesian Phillips
melalui saluran permintaan agregat, pass-through nilai tukar, dan biaya modal. Penulis berasumsi
bahwa saluran ekspektasi atas kebijakan moneter sepenuhnya kredibel. Hal ini terkait dengan
harapan rasional agen terhadap harga dan otoritas moneter yang sangat kredibel, yang
menerapkan aturan kebijakan suku bunga yang sederhana pada saat guncangan terjadi.
Guncangan terhadap premi resiko suku bunga diberlakukan melalui penetapan nilai tukar sesuai
paritas terlindung suku bunga (covered interest rate parity). Model ini diadaptasi dan
dikembangkan dari model optimasi dengan kondisi staggered price dan staggered wage, yang
telah banyak digunakan dalam literatur mengenai inflasi dan kebijakan moneter2.
Model ini digunakan untuk melihat pengaruh shock yang pesisten dalam jangka pendek
terhadap premi resiko dari performa perekonomian, yang dimaksudkan agar lebih dekat dengan
struktur dan perilaku ekonomi Indonesia. Fokus penelitian ini pertama adalah urutan pentingnya
jalur-jalur transmisi moneter yang menyalurkan guncangan dan respon suku bunga terhadap
inflasi dan kedua, bagaimana kebijakan moneter merespon secara optimal terhadap jenis dan
keadaan guncangan tertentu, dan dengan kondisi jalur transmisi moneter yang berbeda-beda.
Paper ini menunjukkan bahwa depresiasi nilai tukar nominal yang dipicu oleh guncangan
persisten pada premium resiko bunga, akan memperburuk kondisi perekonomian dalam jangka
pendek dan jangka panjang. Guncangan ini mempengaruhi perekonomian yang ditandai dengan
kurangnya respon disinflasi harga konsumen terhadap kontraksi kebijakan moneter. Hal ini
disebabkan oleh kekakuan riil yang tinggi, saluran biaya suku bunga yang kuat, saluran biaya
dari pass-through nilai tukar yang kuat, lemahnya saluran sisi permintaan atas pass-through
nilai tukar, dan lemahnya saluran penawaran agregat dari suku bunga.
2 Lihat,£ sebagai contoh,£ Ravenna dan Walsh (2006), Christiano et al. (2005), Smets dan Wouters (2003), Erceg dan Levin ( 2003),
Woodford ( 2003), dan Murchison ( 2004). Dua saluran biaya bunga pertama yang disertakan pada kebijakan moneter.
458 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011
Studi ini menunjukkan respon kebijakan moneter yang tepat adalah dalam bentuk
peningkatan suku bunga sekecil mungkin diantara set pilihan respon kebijakan moneter yang
layak yang direkomendasikan oleh model untuk meminimalisasi dampak guncangan. Kebijakan
ekonomi lainnya mungkin diperlukan untuk melengkapi ruang yang terbatas dari kebijakan
moneter, yang pada gilirannya dapat membantu memperkuat saluran permintaan agregat dari
suku bunga. Yang paling penting adalah kebijakan yang dapat membantu mengurangi pangsa
modal dari output perekonomian dan secara berurut dapat melemahkan saluran biaya dari
suku bunga.
Susunan makalah ini adalah sebagai berikut: Bagian kedua menyajikan model
keseimbangan dinamis dalam kondisi harga dan upah yang kaku. Bagian ketiga menyajikan
skenario simulasi, kalibrasi parameter dan solusi model. Bagian keempat menganalisis hasil
simulasi, sementara bagian kelima menyimpulkan hasil penelitian dan menyimpulkan beberapa
rekomendasi kebijakan.
II. TEORI
Tulisan ini meneliti pentingnya saluran transmisi moneter untuk inflasi dalam meneruskan
guncangan yang persisten kepada premi resiko. Ada banyak literatur mengenai topik ini dan
salah satu pendekatan yang berkembang cepat adalah kerangka keseimbangan umum dinamis.
Penelitian ini memperluas model ekuilibrium umum dinamis yang digunakan dan dijelaskan
rinci oleh Hutabarat (2007) dan makalah ini memperbesar jangkauan model dengan
memasukkan premi suku bunga resiko atas aset mata uang asing sebagai fungsi dari rasio
utang luar negeri bersih terhadap PDB. Kemudian, neraca blok pembayaran dikembangkan
yang menghasilkan persamaan neraca berjalan, neraca modal, neraca perdagangan dan jasa,
dan aset asing bersih. Selain itu, penulis berasumsi bahwa pemerintah juga mengumpulkan
pajak penghasilan atas barang pemilik modal dan dividen pemilik perusahaan selain pajak
pendapatan upah dalam model sebelumnya. Penulis juga mengubah teknologi produksi CobbDouglas dengan teknologi Constant Elasticity Substitution (CES) untuk memungkinkan elastisitas
permintaan input yang lebih rendah terhadap harga. Pengembangan model ini diuraikan dalam
bagian lebih lanjut.
2.1 Rumah Tangga
Kendala dinamis anggaran dinyatakan dalam mata uang domestik nominal dan riil sebagai
berikut.
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia
H*
Pt ct + ( M td − M td−1 ) + ( BtHG − BtHG
− st −1 BtH−1* ) + Pt (k t − (1 − δ )k t −1 )
−1 ) + ( st Bt
~*
H*
m
≤ it −1 BtHG
−1 + it −1 st Bt −1 + Pt imt + (1 − τ t )(Wt lt + z t −1 Pt k t −1 + Pt Π t )
H*
ct + (mtd − mtd−1 ) + (btHG − btHG
− qt −1btH−1* ) + (kt − (1 − δ )kt −1 ) ≤
−1 ) + ( qt bt
−
459
(1)
(2)
πt
H*
m
~*
mtd−1 + rt −1btHG
−1 + rt −1qt −1bt −1 + pt imt + (1 − τ t )( wt lt + zt −1kt −1 + Π t )
1+ πt
Sumber pendapatan rumah tangga adalah pendapatan dari penyediaan jasa tenaga kerja
(upah), penjualan barang impor, penyewaan barang modal ke perusahaan, kepemilikan
perusahaan (dividen) dan penjualan barang modal yang susut pada periode sebelumnya, serta
pendapatan bunga atas obligasi pemerintah dan aset asing.
Penulis berasumsi bahwa aset asing bersih dari rumah tangga berada dalam posisi negatif,
(Bt
H*
< 0) yang berarti rumah tangga merupakan debitur bersih dari aset asing. Penulis lebih
lanjut berasumsi bahwa investor asing memerlukan premi resiko, κt , untuk tingkat suku bunga,
it * , dari pinjaman dalam mata uang asing yang disalurkan ke rumah tangga domestik, sehingga
(1+ it * ) = (1+ it * ) (1+ κt). Dengan demikian, maka pendapatan pokok dan bunga dari aset
H*
asing sebesar (1+ i*t-1 ) = (1+ κt-1 )stBt-1
< 0.
Penulis mengikuti Al-EYD dan Hall (2006), Murchison, et. al (2004), dan Schmitt-Grohe
dan Uribe (2003) dalam menentukan premi resiko negara tertentu, κt , yang bergantung pada
rasio utang bersih asing terhadap PDB. Premi resiko juga terpengaruh oleh guncangan, εκt ,
mewakili perubahan yang tidak dapat diperkirakan dalam preferensi investor asing terhadap
aset domestik.
⎛ − st Bt* ⎞
⎜ Py
⎟ κ
κ t = ς ⎜ e t t − 1⎟ + ε t
⎜
⎟
⎝
⎠
(3)
dimana ς merupakan scaling parameter. Persamaan diatas menjelaskan bahwa premi resiko
suku bunga dari aset asing tergantung pada utang luar negeri bersih, nilai tukar, output, dan
guncangan eksogen pada premi resiko: Sebuah peningkatan pada utang luar negeri bersih
(atau penurunan aset luar negeri bersih) secara negatif mempengaruhi kemampuan masyarakat
untuk membayar utang.; Penyusutan nilai tukar akan meningkatkan jumlah mata uang domestik
yang dibutuhkan untuk membayar utang luar negeri dan, pada gilirannya, memperburuk
kemampuan masyarakat untuk membayar utang luar negeri mereka,; Penurunan pendapatan
riil turut memperburuk kemampuan perekonomian dalam membayar utang luar negeri.
460 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011
Premi resiko pada utang luar negeri tidak muncul saat aset luar negeri seimbang dengan
utang luar negeri dan bernilai negatif jika aset luar negeri bersih bernilai positif. Kondisi ini
berarti bahwa rumah tangga domestik dapat menikmati tarif yang lebih rendah dari bunga
dunia untuk utang luar negeri mereka.
Dari maksimisasi fungsi utilitas rumah tangga yang berkenaan dengan penawaran tenaga
kerja dan konsumsi, kita dapat menurunkan biaya kerja marjinal riil dalam bentuk sebagai
berikut:
⎛A
w
mct = ⎜ t
⎜
⎝
λ (ν −1)
σ
λ
1
νλ
⎞ +1
ct (α L yt ) ⎟
⎟
1−τt
⎠
(4)
Rumah tangga menyewakan barang modal kepada perusahaan dengan tingkat sewa modal
riil, Zt, yang diperoleh dengan menggabungkan kondisi turunan pertama dari maksimisasi utilitas
terhadap stok modal riil dan obligasi domestik nominal sebagai berikut:
zt =
rt + δ
1 − Etτ t +1
(5)
Harga sewa riil dari modal yang dikenakan oleh pemilik modal rumah tangga kepada perusahaan
harus mencakup tingkat bunga riil, tingkat depresiasi modal dan tarif pajak yang diharapkan
kedepannya.
Biaya marjinal riil dari impor setara dengan persamaan harga impor riil ketika harga
sepenuhnya fleksibel, yang sama dengan nilai tukar riil.
mctm = qt
(6)
Nilai tukar nominal diperoleh dengan menggabungkan kondisi turunan pertama dari maksimisasi
utilitas rumah tangga, terhadap obligasi nominal dalam dan luar negeri. Kondisi ini
mencerminkan paritas suku bunga terlindung (covered interest rate parity),
⎛ 1 + it* ⎞
⎟(1 + κ t )
st = Et st +1 ⎜
⎜ 1 + it ⎟
⎝
⎠
(7)
Dalam rangka mendapatkan aset keuangan dan neraca keuangan rumah tangga, kita
bisa menguraikan persamaan kendala anggaran nominal (persamaan 2) dengan mengganti
keuntungan riil perusahaan, (Πt = yt - wtlt - ptmimt - zt-1kt-1), persamaan akumulasi modal, [ kt = (1
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia
461
- δ)kt-1 + ivt ], dan dekomposisi dari investasi riil menjadi barang modal dalam negeri dan impor
(ivt = ivtd + imtkg) . Selanjutnya kita dapat menggantikan dekomposisi barang impor sebagai
barang jadi, barang setengah jadi dan barang modal (imt = imtrm + imtcg + imtkg ), termasuk
mendekomposisi output domestik, yt, menjadi bagian yang dipasok kepada rumah tangga
domestik sebagai barang konsumsi (cdt), kepada perusahaan sebagai barang modal tambahan
(ivtd), kepada pemerintah sebagai barang konsumsi dan investasi (gt), dan kepada importir luar
negeri sebagai barang ekspor (xt). Substitusi ini menghasilkan batasan anggaran riil dinamis
dari rumah tangga yang dapat disusun kembali untuk mendapatkan aset keuangan riil dari
rumah tangga dalam bentuk:
⎛ d md
H
HG
*
H*
bt = ( xt − qt imt ) + g t + [(1 + rt −1 )bt −1 + (1 + rt −1 )(1 + κ t −1 )qt bt −1 ] − τ t yt − ⎜ mt − t −1
⎜
1+ πt
⎝
⎞
⎟
⎟
⎠
(8)
dimana btH adalah investasi keuangan riil dari rumah tangga dalam bentuk obligasi pemerintah
dan obligasi luar negeri pada periode t. Hal ini sama dengan pendapatan bersih riil mereka
sebagai eksportir dan importir dan sebagai pemasok barang kepada pemerintah, ditambah
dengan pendapatan pokok dan pendapatan bunga riil dari investasi keuangan pada periode
sebelumnya, dikurangi pengeluaran pajak penghasilan riil dan perubahan dalam kepemilikan
uang riil.
2.2 Perusahaan-Produsen
Perusahaan menghasilkan output dengan menggunakan teknologi produksi Constant
Elasticity of Substitution (CES) yang menggunakan tenaga kerja, modal, dan barang setengah
jadi baik yang diproduksi di dalam negeri dan dari luar negeri sebagai input produksi. Output
riil agregat dari perekonomian mengikuti Murchison et al. (2004) untuk mendapatkan bentuk:
ν
ν −1
ν −1
ν −1 ν −1
1
1
⎛ 1
⎞
yt = ⎜⎜ α L ν ( At ltd ) ν + α K ν (ut k t −1 ) ν + α M ν (imtrm ) ν ⎟⎟
⎝
⎠
(9)
di αL, αK, αM mana merupakan pangsa tenaga kerja, modal dan impor, yang masing-masing
diasumsikan konstan dan membentuk teknologi produksi Constan Return to Scale (CRS), dan
v merupakan elastisitas subtitusi antara input. Tujuan perusahaan adalah untuk memilih tingkat
input yang memaksimalkan present value dari keuntungan riil seumur hidup, yang merupakan
selisih dari pendapatan riil total terhadap total biaya riil.
462 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011
ν
ν −1
ν −1
ν −1 ⎞ν −1
⎛ 1
1
1
d ν
rm ν ⎟
d
m
rm
ν
⎜
− wt lt − pt imt − zt −1kt −1
Π t = α Lν ( At lt ) + α K ν (ut kt −1 ) + α M ν (imt )
⎜
⎟
⎝
⎠
(10)
Persamaan permintaan tenaga kerja diperoleh dari turunan pertama terhadap tenaga kerja:
d
lt =
α L Atν −1 yt
(11)
wtν
Dari kondisi turunan pertama dari maksimisasi keuntungan perusahaan, kita bisa mendapatkan
permintaan untuk barang setengah jadi impor dalam bentuk
rm
imt =
α M yt
(12)
mν
pt
Stok barang modal perusahaan yang dibutuhkan untuk produksi diperoleh dari turunan pertama
dari maksimisasi keuntungan perusahaan terhadap modal:
kt =
βα K Et ut +1ν −1Et yt +1
(13)
ztν
Biaya marjinal riil dari produksi barang diturunkan dari proses minimisasi biaya riil dimana
perusahaan memilih tingkat input yang meminimalkan total biaya riil, tct = wtlt + ptmimtrm +zt-1kt-1,
dengan kendala fungsi produksi CES (persamaan 9). Biaya marjinal riil agregat dari perusahaan,
mctd, dinyatakan sebagai fungsi dari upah riil, harga sewa riil dari modal, harga impor riil dan
tingkat teknologi dalam bentuk:
d
mct =
⎛
1 ⎛ wt
⎜
⎜
1+
1 ⎜
α L ⎜⎝ At
⎜
Atα Lν −1 ⎝
wt
ν −1 ⎛
⎞
⎟⎟
⎠
ν −1
⎜ ⎛⎜ ut ⎞⎟
⎜⎜ α K ⎜ z ⎟
⎝ t −1 ⎠
⎝
1
−
ν −1 ⎞ ⎞ ν −1
⎛ 1 ⎞
+ αM ⎜ m ⎟
⎜p ⎟
⎝ t ⎠
⎟⎟
⎟⎟ ⎟⎟
⎠⎠
(14)
Deviasi Kurva Phillips Keynesian yang baru dari kondisi steady state, mengikuti mekanisme
staggered price dari Calvo (Calvo, 1983).
⎛ (1 − θ )(1 − βθ ) ⎞ ˆ d
πˆtd = βEtπˆ td+1 + ⎜
⎟mct
θ
⎝
⎠
(15)
dimana, πtd = ln Ptd - ln Pdt-1, πtd = Pdt - Pdt-1 dan θ merupakan derajat kekakuan harga barang
yang diproduksi di dalam negeri.
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia
463
Mengganti biaya marjinal riil dengan perbedaan output aktual dengan output alami
(kesenjangan output) dianggap tidak tepat dalam model kesetimbangan dinamis umum karena
kesenjangan output (yt / ytn) pada model tersebut bukanlah suatu ukuran dari siklus bisnis
yang bisa dikaitkan dengan pergerakan biaya marjinal riil. Output alami akan unggul jika
kekakuan nominal tidak hadir. Sebagai contoh, Clarida, et al. (1999, hal 1665) mendefinisikan
≈tingkat outputalamiahΔ sebagai ≈tingkat output yang akan timbul jika upah dan harga sangat
fleksibelΔ. Kita dapat menafsirkan output alami sebagai output yang sesuai dengan kondisi
dimana semua perusahaan menjadi kompetitif dengan cara menetapkan harga mereka pada
biaya marjinal nominal, yang menyiratkan mark-up yang konstan. Output alami ( ytn ) dalam
model ekuilibrium umum dinamis tidak merepresentasikan tingkat kecenderungan dari output
aktual di pasar kompetitif yang monopolistik dengan kekakuan nominal.
2.3 Otoritas Fiskal
Pengeluaran pemerintah dibiayai melalui pajak penghasilan yang ditarik dari importir,
pemilik barang modal, dividen pemilik perusahaan atau dari penerbitan obligasi dalam mata
uang domestik dan asing. Batasan anggaran dinamis nominal dari pemerintah dinyatakan
sebagai berikut:
GH
Bt
G*
s
s
*
GH
G*
+ st Bt + τ t Pt yt + M t − M t −1 = (1 + it −1 ) Bt −1 + (1 + it −1 )(1 + κ t −1 ) st Bt −1 + Pt g t
(16)
dimana BtG = BtGH + stBtG* adalah penerimaan pemerintah dari penerbitan obligasi domestik
(BtGH ) dan obligasi asing (BtG* ), τtPtyt merupakan pendapatan pajak, ( Mts- Mts-1 ) merupakan
pendapatan hak pemilik tanah, gt adalah belanja riil pemerintah, dan st merupakan nilai tukar
nominal. Utang riil pemerintah, yang meliputi utangnya kepada rumah tangga dan perekonomian
asing, btG = btGH + qtbtG* , dapat diformulasikan sebagai berikut
G
bt
= gt +
(
GH
(1 + rt −1 )bt −1
*
G*
+ (1 + rt −1 )(1 + κ t −1 )bt −1qt
)
⎛ s mts−1
− τ t yt − ⎜ mt −
⎜
1+ πt
⎝
⎞
⎟
⎟
⎠
(17)
Aturan kebijakan fiskal mengambil bentuk berupa fungsi reaksi laju pajak yang menjamin
keberlanjutan keseimbangan fiskal. Tujuan pemerintah adalah untuk mencapai dan
mempertahankan rasio tetap dari defisit fiskal primer terhadap PDB.
⎛ g − τ t yt
⎞
τ t = τ t −1 + Θ⎜⎜ t
− ψ ⎟⎟
yt
⎝
⎠
(18)
464 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011
dimana τt adalah respon atas kebijakan tarif pajak, gt adalah konsumsi riil pemerintah, yt adalah
output riil, Θ adalah parameter respon kebijakan fiskal, dan ψ adalah parameter konstan yang
mewakili target dari rasio defisit fiskal primer riil terhadap PDB.
2.4 Utang Riil Bersih Luar Negeri dan Neraca Keuangan
Utang riil bersih luar negeri, dt* , diperoleh dari batasan anggaran riil dari rumah tangga
dan pemerintah. Hal ini digunakan untuk membiayai defisit perdagangan dan membayar utang
luar negeri dari periode sebelumnya.
*
*
*
d t = (imt − xt / qt ) + (1 + rt −1 )(1 + κ t −1 )d t −1
(19)
Neraca keuangan (aliran utang luar negeri), , adalah total perubahan pada utang luar
negeri bersih pemerintah dan perubahan dalam utang luar negeri bersih dari sektor swasta.
Kita bisa mendapatkan aliran utang nasional dari rumah tangga dan batasan anggaran nominal
pemerintah dengan mengasumsikan bahwa utang dalam negeri pemerintah sama dengan
kepemilikan rumah tangga pada obligasi pemerintah ( BtGH = BtHG ), dan bahwa warga asing
tidak memiliki obligasi pemerintah dalam mata uang dalam negeri, serta terciptanya
keseimbangan pasar uang.
FAt = ( Pt*imt − Pt xt / st ) − [(1 + it*−1 )(1 + κ t −1 ) − 1]Bt*−1
(20)
2.5 Kesetimbangan Pasar Barang
Kesetimbangan pasar barang didefinisikan oleh batasan sumber daya yang
menyeimbangkan permintaan agregat dengan penawaran agregat dari output (persamaan 9)
dalam bentuk berikut
ct + g t + ivt +
ν −1
⎛ 1
d ν
⎜
xt − imt = α Lν ( At lt )
⎜
⎝
1
ν −1
ν
+ α K ν (ut kt −1 )
ν
ν −1 ⎞ν −1
1
rm
+ α M ν (imt ) ν ⎟
⎟
⎠
(21)
2.6 Kebijakan Moneter
Bank sentral secara implisit merupakan bagian dari pemerintah yang mengedarkan uang
ke rumah tangga melalui konsumsi pemerintah. Karenanya, saluran peminjaman bank tidak
ada dalam model ini.
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia
465
Bank sentral mempengaruhi inflasi melalui permintaan agregat, penawaran agregat, nilai
tukar, dan saluran biaya atas kebijakan tingkat suku bunga. Bank Sentral menggunakan aturan
kebijakan tingkat bunga tipe Taylor yang bersifat forward looking, sebagaimana didefinisikan
oleh Clarida, et al. (1999). Ini adalah respon tingkat bunga nominal jangka pendek terhadap
perkiraan kesenjangan inflasi periode berikutnya, yang merupakan deviasi dari proyeksi inflasi
ke depan dari target inflasi, yang juga mempertimbangkan kelancaran pergerakan tingkat
bunga.
it = χit −1 + (1 − χ )[r + π + απ (π t +1 − π tT+1 )]
(22)
dimana r adalah tingkat kondisi steady state dari suku bunga riil dan πtT merupakan jalur target
inflasi pada periode t, χ adalah smoothing parameter untuk tingkat suku bunga, dan απ
merupakan parameter respon kebijakan moneter.
Kebijakan moneter tidak merespon perbedaan antara output aktual dan output alami
(kesenjangan output). Jika kebijakan moneter merespon suatu ukuran kesenjangan output,
tujuannya adalah untuk mencapai tingkat harga output yang fleksibel dalam pasar persaingan
sempurna, yang lebih tinggi dari tren output aktual dalam kondisi pasar persaingan monopolistic
dengan harga yang tidak fleksibel (ytn > yt). Jika otoritas moneter mencapai target output alami,
akan ada kecenderungan untuk melakukan kebijakan yang bias-inflasi karena akan bisa terus
menerus menghasilkan inflasi ( πt > Etπt ) , dengan besaran rata-rata guncangan suplai bernilai
nol (Sorensen et al, 2005.). Dengan menggunakan aturan kebijakan yang hanya tanggap
terhadap kesenjangan inflasi, maka diasumsikan bahwa kebijakan moneter tidak hanya bertujuan
untuk mencapai target inflasi secara langsung, tetapi juga menargetkan output secara tidak
langsung. Namun, target output untuk kebijakan stabilisasi yang dihasilkan dari New Keynesian
Phillip Curve, merupakan tren dari output aktual ( yt ).
Kebijakan tingkat suku bunga diteruskan ke permintaan agregat melalui tiga saluran
transmisi. Pertama, suku bunga riil yang mempengaruhi konsumsi melalui efek substitusi dan
pendapatan. Kedua, suku bunga riil yang menentukan biaya pengadaan barang modal, yang
mempengaruhi permintaan untuk investasi. Ketiga, kebijakan suku bunga yang memiliki efek
pada nilai tukar nominal dan kemudian ditransmisikan ke nilai tukar riil sebagai penentu
permintaan luar negeri untuk barang-barang domestik. Yang terakhir ini juga disebut sebagai
transmisi moneter melalui efek pass-through tidak langsung dari nilai tukar.
Kebijakan moneter ditransmisikan ke inflasi konsumen melalui tiga saluran. Pertama,
saluran permintaan agregat atas kebijakan tingkat suku bunga yang diteruskan ke inflasi
domestik melalui perubahan upah dan marjin profit. Saluran kedua adalah biaya bunga dari
466 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011
saluran produksi, secara khusus yaitu biaya tingkat bunga dari pengadaan barang modal, baik
yang dibiayai oleh modal atau pinjaman3. Ketiga, kebijakan moneter yang mempengaruhi inflasi
konsumen melalui dua saluran nilai tukar. Yang pertama adalah melalui biaya impor barang
setengah jadi dengan harga dalam negeri dan satu lainnya adalah melalui inflasi dari barangbarang konsumsi impor. Keduanya disebut sebagai, secara berturut-turut, intermediate direct
pass-through effect dan immediate direct pass-through effect dari nilai tukar terhadap harga
konsumen.
III. METODOLOGI
3.1. Metode Solusi Model
Penelitian ini memberikan solusi kondisi steady state statis dan model dinamik linear
dalam penyimpangan dari kondisi steady state dengan menggunakan solver CONOPT dibawah
sistem GAMS. Solver ini menggunakan metode solusi Generalized Reduced Gradient untuk
masalah pemrograman nonlinier (Rosenthal, 2006 dan Drud, 2006), dan didefinisikan sebagai:
min or max
f(z)=J=0 (performance index)
(23)
dengan kendala vektor fungsi log-linear implisit:
⎡ g1,t (y t −1 , y t , y t +1 , x t ; θ, y , x) ⎤
⎥
⎢
M
g (z ) = gt (y t −1 , y t , y t +1 , xt ; θ, y, x) = ⎢
⎥= 0
⎢⎣ g m,t (y t −1 , y t , y t +1 , x t ; θ, y , x)⎥⎦
(24)
l<z<u
(25)
dimana z adalah vektor variabel optimasi, l dan u merupakan vektor batas bawah dan batas
atas, yang beberapa di antaranya mungkin minus atau positif tak terhingga, dan f dan g adalah
fungsi nonlinear terdiferensialkan yang membentuk model. Kendala (6.2) adalah kendala umum
dan (6.3) adalah batasan variabel.
Fungsi objektif f adalah variabel yang akan diminimalisir atau dimaksimalkan, m adalah
jumlah persamaan dan n menunjukkan jumlah variabel. Vektor z terdiri dari yt-1, yt , yt+1 dan xt,
3 Biaya bunga saluran ekuitas modal juga dapat disebut ≈saluran profitabilitas perusahaan≈. Model ini mengasumsikan bahwa perubahan
suku bunga sepenuhnya secara simetris dilalui dalam jangka pendek untuk biaya modal ekuitas, yang juga menyebabkan penyesuaian
marjin laba. Dimasukkannya biaya ekuitas dalam saluran biaya bunga bergantung pada dua asumsi. Pertama, bahwa rasio utang
terhadap ekuitas dari perusahaan di unit bisnis non-keuangan di Indonesia lebih rendah dibandingkan di negara maju. Kedua,
bahwa kekuatan perusahaan dalam pasar perekonomian sebelumnya lebih kuat daripada di kemudian hari, yang menyebabkan
kemungkinan tingkat penegembalian ekuitas yang lebih besar dari pada biaya bunga ekuitas. Hal ini sejalan dengan pandangan
Chowdhury et al. (2006), yakni logika efek tingkat suku bunga pada biaya perusahaan juga berlaku bila perusahaan dibiayai
terutama oleh dana internal.
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia
467
yang secara berurut merupakan vektor dari variabel lag endogen, variabel endogen
contemporaneous, variabel lead endogen dan variabel eksogen yang telah ditentukan. θ adalah
vektor parameter, y adalah vektor nilai steady-state variabel endogen, dan x adalah vektor nilai
steady-state variabel eksogen. Untuk periode solusi T, seluruh persamaan implisit untuk semua
periode digabungkan untuk memperoleh sistem yang mengandung persamaan M = mT dan
variabel N = nT.
⎡ g1,1 (y 1,0 , y 1,1 , y 1,2 , x1,1 ) ⎤
⎢
⎥
M
⎢
⎥
⎢ g m,1 (y m,0 , y m,1 , y m,2 , x m,1 ) ⎥
⎢
⎥
⎢ g1,2 (y 1,1 , y 1,2 , y 1,3 , x1,2 ) ⎥
⎡ g1 (y 0,y 1 , y 2,x1 ; θ, y , x) ⎤ ⎢
⎥
M
⎢
⎥ ⎢
⎥
g
(y
y
,
y
x
;
θ,
y
,
x
)
2
1, 2
3, 2
⎥ = ⎢ g (y , y , y , x ) ⎥ = 0
g(z) = ⎢⎢
m,1
m,2
m,3
m,2
m,2
⎥ ⎢
M
⎥
⎢
⎥ ⎢
M
⎥
⎢⎣g T (y T -1,y T , y T +1,x T ; θ, y , x ⎥⎦ ⎢
⎥
M
⎢
⎥
⎢ g1,T (y 1,T−1 , y 1,T , y 1,T+1 , x1,T ) ⎥
⎢
⎥
M
⎢
⎥
⎢g m,T (y m,T−1 , y m,T , y m,T+1 , x m,T )⎥
⎣
⎦
(26)
Dimana y0 + yT+1 dan secara berurut merupakan vektor dari variabel lag endogen pada t = 1
dan vektor variabel lead endogen pada t = T, yang telah ditentukan sebelumnya dalam kondisi
steady state.
3.2. Skenario Simulasi dan Pengaturan Parameter
Penulis melakukan simulasi dengan memberikan satu persen guncangan eksogen positif
terhadap persamaan premi resiko selama delapan kwartal. Jenis, besar dan lamanya guncangan
dimaksudkan untuk menyerupai krisis mata uang rata-rata. Tujuan simulasi adalah untuk
mengevaluasi pengaruh guncangan tersebut terhadap kinerja ekonomi, khususnya nilai tukar,
neraca pembayaran dan respon kebijakan moneter. Dengan menerapkan satu jenis guncangan,
secara implisit diasumsikan bahwa tidak ada jenis lain dari guncangan dan perekonomian tidak
sedang menargetkan disinflasi.
Penulis menerapkan simulasi guncangan ke model versi log-terlinearisasi dalam
penyimpangan dari nilai-nilai kondisi steady state. Karena variabel-variabel lag dependen
mengambil nilai kondisi steady state mereka, itu berarti guncangan saat simulasi terjadi dalam
468 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011
kondisi steady state ekonomi, di mana tingkat variabel riil dan variabel pertumbuhan, seperti
inflasi, tidak mengalami perubahan, dan tingkat pertumbuhan variabel nominal berada pada
tingkat yang konstan bukan nol. Oleh karenanya kita perlu menginterpretasikan hasil simulasi
untuk guncangan aktual yang menghantam perekonomian sebelum kondisi steady state, di
mana tingkat variabel riil dan nominal dapat tumbuh pada tingkat bukan-nol dan tingkat
pertumbuhan variabel tidak selalu konstan.
xt
Deviation of dynamic
equilibrium of the level of
real variable x from its
steady-state equilibrium
(xt - xss)
xss
A one-time shock in
steady-state contract
the level of xt
A one-time shock before
steady-state decreases
the growth of xt (can be
contracting)
Steady-state
t
History
Projection
Grafik 1.
Ilustrasi Simulasi Guncangan terhadap Suatu Variabel Riil
Ketika kita memberikan satu kali guncangan dalam kondisi steady state, deviasi yang
dihasilkan dari variabel riil dari nilai konstan kesetimbangan steady state dapat berarti ekspansi
atau kontraksi atas nilai variabel riil tersebut. Namun, ketika guncangan terjadi pada kondisi
dinamis perekonomian, sebelum kondisi steady state, biasanya akan timbul baik tingkat
percepatan atau perlambatan dari variabel rill kecuali jika guncangan cukup besar untuk
menggerakkan variabel rill. Oleh karenanya, kita bisa menafsirkan ekspansi atau kontraksi suatu
variabel riil dalam kondisi steady state sebagai peningkatan atau penurunan pertumbuhan
variabel riil sebelum kondisi steady state. Grafik 1 mengilustrasikan interpretasi dari efek kontraksi
pada variabel riil saat diberikan satu kali simulasi guncangan saat kondisi steady state. Kita bisa
menyimpulkan interpretasi yang sama untuk sebuah variabel nominal dalam kasus satu kali
guncangan, dalam kondisi steady state (Grafik 2). Sementara itu, penafsiran efek pada variabel
pertumbuhan atas satu kali guncangan pada saat kondisi steady state adalah sama dengan
satu kali guncangan sebelum kondisi steady state.
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia
469
xt
Deviation of dynamic equilibrium
of the level of nominal variable X
from its steady-state equilibrium
(Xt - Xtss)
A one-time shock before
steady-state decreases the
growth of Xt
Xtss
A one-time shock in
steady-state decreases
the growth of Xt (in
this case, a negative
growth)
Steady-state
t
History
Projection
Grafik 2.
Ilustrasi Simulasi Guncangan terhadap Suatu Variabel Nominal
Tabel 1 menampilkan parameter kalibrasi. Keuntungan masa depan bagi perusahaan,
importir dan penentu upah didiskon dengan discount factor β = 0.99. Dari persamaan konsumsi
Euler, kita mendapatkan suku bunga riil kondisi steady state yang sama dengan tingkat preferensi
waktu dari rumah tangga. Pengaturan suku bunga riil pada angka 0,02 sesuai dengan discount
factor rumah tangga, ϑ, pada angka 0,98. Struktur output perekonomian dan permintaan
untuk output diasumsikan untuk mengikuti kisaran angka saat ini. Pangsa barang modal,
tenaga kerja dan barang setengah jadi yang diimpor dalam output agregat dari perekonomian
ditetapkan pada besaran αK = 0.5, αL = 0.35, dan αM = 0.15.
Rasio belanja pemerintah terhadap PDB ditetapkan pada level αg = 0,18 dan rasio ekspor
terhadap PDB pada. Pangsa barang konsumsi yang diimpor dalam total konsumsi, αmcg , dan
barang modal impor dalam total investasi, αmkg , keduanya sebesar 0,14. Bagian obligasi
pemerintah dalam aset rumah tangga, αHG , diasumsikan sama dengan 0,5, dan bagian utang
dalam negeri terhadap kewajiban pemerintah, αGH , adalah 0,6. Rasio utang terhadap PDB
dalam kondisi steady state adalah 20%.
Penulis mengatur elastisitas antarwaktu dari konsumsi riil dengan besaran substitusi pada
σ
−1
= 0.004. Asumsi efek substitusi yang rendah ini sejalan dengan temuan Kusmiarso et al.
(2002) yang secara tersirat menunjukkan adanya efek pendapatan yang kuat. Studi mereka di
saluran suku bunga dari transmisi moneter dengan menggunakan VAR menemukan bahwa
peningkatan suku bunga pada awalnya direspon dengan pertumbuhan negatif dari konsumsi.
470 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011
Tabel 1.
Kalibrasi Model
Parameter
Deskripsi
Nilai
ϑ
discount factor rumah tangga
β
discount factorperusahaan, importir dan penentu tingkat upah
0,99
σ −1
elastisitas konsumsi antarwaktu dari substitusi
0,004
ρ −1
elastisitas suku bunga nominal dari kepemilikan uang riil
0,008
λ
−1
0,98
elastisitas upah riil dari penawaran tenaga kerja
0,015
δ
depresiasi tingkat modal
0,01
v
elastisitas dari substitusi antara input faktor
0,3
αK
pangsa modal
0, 5
αL
pangsa tenaga kerja
0,35
αM
pangsa barang setengah jadi
0,15
α∗M
pangsa ekspor produk domestik dalam permintaan total dari seluruh dunia
αmcg
pangsa barang konsumsi impor
0,14
αmkg
pangsa investasi barang modal impor
0,14
αg
rasio pengeluaran-output pemerintah
0,08
αx
rasio ekspor-output
0,28
η
elastisitas nilai tukar riil dari ekspor
0,2
θ
derajat kekakuan harga
0,35
0,00018
θm
derajat kekakuan harga impor
0,1
θw
derajat kekakuan upah
0,75
γw
derajat indeksasi upah terjadap lag inflasi
0,9
ψ
target dari rasio defisit fiskal
2%
χ
derajat inersia suku bunga
απ
parameter respon kebijakan moneter
Θ
parameter respon kebijakan fiskal
ς
parameter pengukuran premi resiko
0,5
large
0,5
0,00000001
αHG
pangsa obligasi pemerintah pada aset rumah tangga
0,5
αGH
pangsa obligasi domestik terhadap kewajiban pemerintahan
0,6
Namun, konsumsi rumah tangga ikut menurun ketika suku bunga mulai menurun. Elastisitas
suku bunga nominal dari kepemilikan uang riil ditetapkan sebesar ρ −1 = 0.008, yang
mencerminkan tingkat yang lebih rendah dari ekonomi tanpa uang cash dibandingkan dengan
negara-negara maju. Elastisitas terhadap nilai tukar riil dari ekspor ditentukan sebesar η = 0,2
sesuai dengan koefisien yang terkait dalam model makroekonometrik BI. Penulis mengkalibrasi
elastisitas upah riil dari penawaran tenaga kerja pada angka λ−1 = 0,002. Nilai ini jauh lebih
rendah dibandingkan dengan elastisitas di negara-negara maju yang biasa digunakan dalam
penelitian serupa. Hal ini mencerminkan pasar tenaga kerja yang ditandai dengan pendapatan
upah riil rendah, kelebihan pasokan tenaga kerja dan apresiasi rendah untuk waktu luang.
Elastisitas konstan dari substitusi antara input faktor ditetapkan sebesar v = 0,3.
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia
471
Tingkat kekakuan harga barang produksi dalam negeri, θ , dibuat sebesar 0,35 yang
berarti bahwa waktu rata-rata antara penyesuaian harga domestik adalah sekitar satu setengah
triwulan. Harga domestik dari barang impor dianggap lebih tidak kaku dibandingkan barang
produksi dalam negeri ( θ m = 0,1), yang menunjukkan bahwa durasi rata-rata dari suatu harga
impor adalah sekitar 3,3 bulan. Dalam menetapkan parameter kekakuan, penulis merujuk pada
survei penetapan harga usaha bagi perekonomian Indonesia oleh Darsono et al. (2002), yang
menemukan bahwa harga barang-barang manufaktur bertahan selama rata-rata 4,6 bulan
dan perubahan nilai tukar diteruskan kepada harga impor di triwulan yang sama. Kekakuan
upah diasumsikan sebesar θ w = 0,75, sesuai dengan perubahan upah nominal tahunan. Namun,
acuan untuk perubahan upah sangat bergantung pada inflasi upah sebelumnya, bukan pada
penetapan harga optimal yang bergerak maju. Fenomena ini tercermin dalam parameter γ
w
pada kisaran nilai 0,9.
Parameter umpan balik inflasi dalam aturan suku bunga sederhana, ditetapkan pada
nilai yang meminimalkan nilai sekarang dari kerugian kesejahteraan dinamis terdiskon, setelah
lebih dari 100 triwulan pasca guncangan. Fungsi kerugian bersifat simetris dalam bentuk,
∞
(
L = Et ∑ β L (π t + s − π ) 2 + ( yt + s − y ) 2
s =0
s
)
di mana para pembuat kebijakan moneter memiliki
preferensi yang sama terhadap inflasi dan stabilisasi output. Koefisien umpan balik inflasi
bergantung pada besar dan luasnya guncangan terhadap premi resiko. Penulis mencari koefisien
umpan balik kebijakan yang optimal dengan menetapkan smoothing coefficient suku bunga
sebesar χ = 0,5, yang mencerminkan perilaku backward-looking dan forward-looking yang
sama dari otoritas moneter dalam merumuskan kebijakan tingkat suku bunga.
Loss
4
3
2
1
Infeasible
Solution
0
-1
-2
-3
-1 4 9 14 19 24 29 34 39 44 49 54 59 64 69 74 79 84 89 94 99
Response Parameter
Total PDV of welfare loss
Interest rate gap at period 1
Sonsumer inflation gap at period 1
Output gap at period 1
Grafik 3. Jangkauan Parameter Respon
yang Dapat Digunakan
472 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011
Grafik 3 menunjukkan berbagai parameter umpan balik inflasi yang dapat digunakan
saat suku bunga menanggapi kesenjangan inflasi di waktu masa depan. Angka-angka diatas
menunjukkan bahwa himpunan dari respon otoritas moneter yang tepat terhadap kejutan
premi resiko adalah tingkat suku bunga yang menaik. Namun, respon yang optimal, yang
menghasilkan efek inflasi terendah dan kontraksi output terkecil dalam jangka pendek, adalah
kenaikan suku bunga terkecil diantara himpunan yang layak. Kenaikan suku bunga tertinggi
dalam himpunan tersebut berkesesuaian dengan respon yang paling tidak optimal. Jika
memungkinkan, respon yang optimal digambarkan oleh garis putus-putus pada grafik.
IV. HASIL DAN ANALISIS
4.1 Nilai Tukar dan Neraca Pembayaran
Grafik 4-5 dan Grafik 7-14 menunjukkan tanggapan variabel ekonomi terhadap satu
persen guncangan untuk premi resiko selama delapan triwulan. Nilai tukar nominal tertekan
diawal sebagai respon terhadap guncangan premi resiko, tetapi pengaruhnya diperkecil oleh
respon suku bunga yang cepat. Nilai tukar nominal pada akhirnya mencapai kondisi steady
state yang baru yang lebih lemah ketika suku bunga nominal kembali stabil pada tingkat awal,
dan meninggalkan jalur ekspektasi bekerja sendirian. Kesetimbangan jangka panjang nilai tukar
nominal menjadi lebih lemah untuk mengimbangi harga yang relatif lebih rendah dari barang
dalam negeri dan asing sehingga nilai tukar riil tidak berubah dalam jangka panjang.
Ekspor rill mengikuti pergerakan nilai tukar riil bila tidak ada perubahan permintaan
asing. Dengan elastisitas ekspor riil terhadap nilai tukar riil yang rendah, maka ekspor rill hanya
bergerak naik sekitar 0,027%, yang kemudian turun dibawah kondisi steady state awal saat
Percent
0.25
Percent
Nominal Exchange Rate
0.2
0.15
Real Exchange Rate
0.1
0.15
0.05
0.1
0.05
0
0
-0.05
-0.1
-0.05
Optimal Response
Non Optimal Response
-0.15
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101106
-0.1
Optimal Response
Non Optimal Response
-0.15
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95100
Grafik 4. Respon Nilai Tukar terhadap Satu Persen Guncangan Premi Resiko
Selama Delapan Triwulan
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia
Percent
Percent
Real Exports
0.03
473
Real Imports
1.5
1
0.02
0.5
0.01
0
-0.5
0
-1
-0.01
Optimal Response
-0.02
Non Optimal Response
-0.03
-1.5
Optimal Response
-2
Non Optimal Response
-2.5
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101106
Percent
Percent
Real Import Price
1
Real Imported Intermediate Goods
1.5
1
0.5
0.5
0
0
-0.5
-0.5
-1
-1
-1.5
-1.5
-2
-2
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
Grafik 5.
Respon Ekspor dan Impor
nilai tukar riil menguat beberapa triwulan setelah guncangan. Dalam Jangka Panjang, ekspor
kembali ke level kondisi steady state awal .
Menyusul peningkatan dari harga impor riil, impor riil turun sebesar 1,6%, jauh lebih
besar daripada pertumbuhan ekspor riil pada periode awal saat terjadinya guncangan. Nilai
harga asing dari impor juga menurun tajam sejak inflasi triwulan dari harga asing tidak mengalami
perubahan. Di sisi lain, nilai harga asing dari barang ekspor turut menurun seiring depresiasi
nilai tukar nominal yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan pada ekspor riil dan
harga konsumen. Efek bersihnya adalah sebuah lompatan besar dalam surplus perdagangan,
yang menunjukkan fenomena kurva J-terbalik. Surplus perdagangan Indonesia serta ekspor
dan impor riil pada periode krisis mata uang, telah membuktikan hasil simulasi, pada sisi tertentu,
yakni dalam hal arah dari variabel yang terkait. Gambar 6 menunjukkan bahwa pada masa
setelah krisis moneter tahun 1998, ketika nilai tukar nominal tertekan 123%, ekspor riil
meningkat 11,2% dan impor riil menyusut 2,9%, mengakibatkan kenaikan surplus perdagangan
sebesar 83%.
474 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011
log of billion Rp
10,5
6,6
6,4
10,0
6,2
9,5
6
9,0
5,8
5,6
8,5
2006
2005
2004
2003
2002
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
7,5
1990
8,0
2001
Trade Surplus (US$)
Real Exports
Real Imports
Exchange Rate (Rp/US$)
5,4
5,2
5
Grafik 6. Ekspor Riil, Impor Riil dan Surplus
Perdagangan Indonesia
Hasil ini sejalan dengan studi empiris pada efek kurva J. Dengan menggunakan model
VECM pada data triwulan Indonesia dan mitra-mitra dagang terkait, Husman (2005)
menyimpulkan bahwa fenomena kurva J tidak ditemukan dalam data tingkat agregat. Hal ini
hanya ditemukan dalam neraca perdagangan bilateral dengan Jepang, Korea Selatan dan Jerman.
Pergerakan output, harga impor riil dan inflasi konsumen mempengaruhi pola siklus
neraca perdagangan berikut ini. Impor riil mengalami rebound seiring dengan pulihnya
permintaan dan output agregat, serta turunnya harga impor riil, yang berakibat nilai impor
dalam mata uang asing yang lebih tinggi. Sebaliknya, permintaan eksternal untuk barangbarang domestik menurun karena apresiasi nilai tukar riil yang menyebabkan nilai ekspor dalam
mata uang asing lebih rendah. Surplus perdagangan lebih rendah dibandingkan nilai awal
dalam jangka menengah dan akhirnya stabil dalam jangka-panjang pada tingkat yang sedikit
lebih rendah dari nilai kondisi steady state awal.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi dinamika surplus perdagangan. Depresiasi nilai
tukar lebih mempengaruhi volume impor dibandingkan ekspor karena harga impor lebih tidak
kaku dibandingkan harga barang domestik yang diekspor. Selain itu, impor jatuh secara lebih
signifikan dibandingkan peningkatan ekspor dalam jangka pendek karena komposisi impor
yang cukup tinggi dalam struktur produksi. Selain itu, elastisitas impor riil terhadap harga,
lebih tinggi dari elastisitas ekspor terhadap nilai tukar riil sehingga jumlah nilai elastisitas kurang
dari satu. Faktor terakhir ini menjelaskan mengapa kondisi Marshall-Lerner tidak bertahan.
Oleh karenanya guncangan premi resiko bisa memperburuk neraca perdagangan dalam jangka
panjang. Tidak seperti hasil simulasi model ini, Husman (2005) justru berpendapat bahwa kondisi
Marshall-Lerner terpenuhi dalam sampel secara keseluruhan, yang menunjukkan bahwa
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia
Percent
Percent
Trade Account Surplus
12000
475
Trade Account Surplus
20
10000
0
8000
-20
6000
-40
4000
-60
2000
-80
0
-2000
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
-100
Percent
Percent
Trade Account Surplus
25
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
Service Account Deficit
12
10
20
8
15
6
10
4
5
2
0
0
-2
-5
-10
-4
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
-6
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
Percent
Percent
Current Account Deficit
2000
Financial Account Surplus
1600
1400
0
1200
-2000
1000
-4000
800
-6000
600
400
-8000
200
-1000
-12000
0
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
-200
Percent
1600
Percent
Financial Account Surplus
14
1400
12
1200
10
Real Net Foreign Debt
8
1000
6
800
4
600
2
400
0
200
-2
0
-4
-200
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
Optimal Response
Non Optimal Response
-6
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Grafik 7.
Respon Komponen Neraca Pembayaran
476 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011
depresiasi nilai tukar Rupiah akan meningkatkan ekspor Indonesia dalam jangka-panjang.
Husman lebih lanjut menemukan bahwa meskipun kondisi Marshall-Lerner terpenuhi, elastisitas
nilai tukar dari neraca perdagangan bilateral cukup kecil. Satu persen perubahan nilai tukar riil
hanya akan meningkatkan rasio ekspor terhadap impor sebesar 0,37%. Temuan yang berbeda
mengenai kondisi Marshall-Lerner mungkin memperlihatkan over estimasi elastisitas harga dari
impor atau elastisitas harga dari ekspor yang under-estimated.
Perbaikan jangka-pendek dari surplus neraca perdagangan memungkinkan
perekonomian untuk mengurangi utang bersih luar negeri. Setelahnya, sebagaimana surplus
neraca perdagangan memburuk dalam jangka menengah dan pada akhirnya kembali stabil
di bawah tingkat kondisi steady state-nya, perekonomian harus meningkatkan utang luar
negeri bersih secara terus menerus dalam jangka-panjang. Sejalan dengan dinamika utang
luar negeri bersih, defisit neraca jasa membaik dalam jangka-pendek dan memburuk dalam
jangka-panjang, menjadi divergen dari tingkat kondisi steady state awal. Secara keseluruhan,
neraca berjalan yang defisit berkurang dalam jangka-pendek karena surplus neraca
perdagangan yang lebih baik, yang dipicu oleh defisit neraca jasa yang lebih kecil. Pada
akhirnya, defisit neraca berjalan menjadi stabil dalam jangka-panjang pada tingkat yang lebih
buruk. Surplus neraca keuangan mengalami penurunan dalam jangka-pendek, kemudian
meningkat dalam jangka menengah dan akhirnya mencapai surplus kondisi steady state yang
lebih tinggi dalam jangka-panjang.
4.2 Permintaan dan Penawaran Input-Output
Saluran permintaan agregat dari kebijakan tingkat suku bunga bekerja melalui ekspor,
konsumsi dan investasi. Konsumsi turun diawal sebagaimana konsumsi di masa datang yang
diperkirakan lebih rendah melampaui sedikit penurunan pada suku bunga riil saat ini. Lebih
lanjut terjadi penurunan di beberapa periode lainnya dikarenakan kenaikan suku bunga riil
pada periode tersebut. Saat suku bunga menjadi stabil dalam jangka-panjang, yang lebih rendah
dibandingkan saat kondisi steady state awal, maka konsumsi menjadi stabil pada kondisi steady
state baru yang lebih tinggi.
Permintaan stok barang modal untuk digunakan pada periode berikutnya mengalami
penurunan ketika guncangan terhadap premi resiko menghantam perekonomian. Permintaan
agregat yang diperkirakan melemah pada periode berikutnya merupakan penyebab dibalik
keputusan perusahaan untuk mengurangi stok modalnya. Hal ini sering disebut sebagai saluran
neraca perusahaan dari suku bunga terhadap permintaan agregat. Permintaan eksternal yang
lebih kuat terhadap barang domestik dan permintaan domestik untuk barang setengah jadi
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia
Percent
Percent
0.002
477
Real Consumption
Real Investment
100
0.001
80
0
60
40
-0.001
20
-0.002
0
-0.003
-20
-0.004
-40
-0.005
-60
-0.006
-80
-0.007
-100
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
Percent
1
Real Output
0.5
0
-0.5
-1
-1.5
Optimal Response
Non Optimal Response
-2
-2.5
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101 106
Grafik 8.
Respon Permintaan dan Penawaran Output
dan barang jadi domestik, akan mengurangi kontraksi permintaan investasi. Efek bersihnya
adalah penurunan permintaan agregat terhadap output domestik setelah terjadinya guncangan.
Dengan demikian, depresiasi nilai tukar yang dipicu oleh guncangan sementara terhadap premi
resiko berakibat pada menyusutnya output.
Permintaan untuk input faktor lainnya juga mengalami penurunan. Karena harga impor
lebih tidak kaku, nilai tukar riil yang tertekan menyebabkan harga impor riil menjadi lebih
mahal. Dikombinasikan dengan penurunan contemporaneous permintaan agregat, maka
permintaan terhadap barang impor setengah jadi akan mengalami penurunan.
Tingkat penyerapan tenaga kerja turut jatuh karena lebih dipengaruhi oleh permintaan
agregat yang menurun, dibanding karena upah riil yang sedikit lebih murah. Hasil ini disebabkan
oleh elastisitas permintaan tenaga kerja terhadapoutput riil yang bernilai satu dan rendahnya
elastisitas penawaran tenaga kerja terhadap upah riil.
478 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011
Percent
Percent
Labour Demand
1
Labour Supply
0.003
0.5
0.002
0
-0.5
0.001
-1
0
-1.5
-2
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
-0.001
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
Percent
0.015
Percent
Unemployment
Real Capital Goods
0.5
Optimal Response
Non Optimal Response
0.01
0
0.005
-0.5
0
-1
0.005
-1.5
-0.001
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
-2
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
Percentage Point
Real Rental Rate of Capital
0.25
0.2
0.15
0.1
1.05
0
-0.05
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
Grafik 9.
Respon Permintaan dan Pasokan Input
4.3 Biaya, Harga dan Inflasi
Permintaan tenaga kerja yang menurun memberi tekanan menurun terhadap biaya kerja
marjinal riil. Di sisi lain, waktu luang juga menurun karena permintaan untuk konsumsi juga
menurun dan karenanya pasokan tenaga kerja meningkat dan menekan biaya marjinal riil
kerja. Karena upah nominal cukup rigid dan sangat terpaku pada inflasi di masa lampau, maka
upah nominal menjadi tidak responsif terhadap perubahan biaya kerja marjinal riil akibat
penyesuaian langsung pada konsumsi dan output.
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia
Percent
0.4
479
Percent
Real Wage
Nominal Wage
0.6
0.3
0.5
0.2
0.4
Optimal Response
Non Optimal Response
0.3
0.1
0.2
0
0.1
-0.1
0
-0.2
-0.1
-0.3
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
-0.2
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
Percent
0.1
Wage Inflation (qtq)
0.08
0.06
0.04
0.02
0
-0.02
-0.04
-0.06
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
Grafik 10.
Respon Upah Riil dan Nominal terhdap Satu Persen Guncangan
Upah riil mengalami penurunan karena harga output yang naik dan lebih fleksibel
dibandingkan upah. Oleh karenanya, respon langsung inflasi domestik terhadap permintaan
agregat yang lebih rendah adalah mengalami penurunan. Pada periode guncangan berikutnya,
investasi mulai meningkat dan konsumsi menguat, yang menyebabkan tekanan ke atas terhadap
biaya kerja marjinal riil dan inflasi upah. Upah riil sementara waktu masih di bawah tingkat
kondisi steady state awal disebabkan oleh harga output yang lebih fleksibel dibandingkan
upah. Oleh karena itu, sepanjang sisa periode guncangan, respon dari inflasi domestik terhadap
permintaan agregat yang lebih tinggi adalah menurun.
Kekakuan yang rendah dari upah riil akibat kekakuan upah nominal yang tinggi dan
kekakuan harga yang rendah dapat dikaitkan dengan kekakuan riil yang tinggi. Romer (2006)
mendefinisikan kekakuan riil sebagai keengganan perusahaan untuk merubah harga relatif
mereka dalam merespon perubahan dalam output riil akibat variasi permintaan agregat riil.
Kekakuan riil yang lebih besar berarti pertimbangan yang lebih besar terhadap harga pesaing
dalam perilaku penetapan harga. Ini menunjukkan bahwa saat kekakuan riil tinggi, setiap
perusahaan ingin harganya bergerak lebih dekat dengan harga lainnya. Survei pengaturan
480 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011
harga usaha oleh Bank Indonesia (Darsono et al, 2002.) mengungkapkan bahwa pendekatan
berbasis biaya adalah strategi penetapan harga yang paling banyak diadopsi oleh perusahaanperusahaan manufaktur dan perdagangan. Temuan ini dapat membenarkan keberadaan
kekakuan harga. Ini mencerminkan keengganan perusahaan untuk mengubah harga bila tidak
ada perubahan biaya yang terjadi. Survei tersebut juga menemukan bahwa strategi penentuan
harga berikutnya adalah «biaya plus marjin variabel dari profit» dan «harga pesaing» untuk
perusahaan manufaktur dan ritel, sementara «kondisi pasar» saat ini bukan faktor penting dalam
menetapkan kebijakan harga. Hasil survei ini dapat diartikan sebagai adanya kekakuan harga
yang rendah dalam menanggapi perubahan biaya dan perubahan harga pesaing. Yang terakhir
ini berarti kekakuan riil yang tinggi4.
Depresiasi niai tukar yang diakibatkan oleh premi resiko diteruskan ke inflasi barangbarang buatan dalam negeri menggunakan tiga saluran. Pertama, direct pass-through melalui
biaya barang impor setengah jadi, yang berefek pada peningkatan inflasi domestik. Kedua,
indirect pass-through melalui permintaan untuk input impor, yang memiliki efek penurunan
terhadap inflasi domestik. Ketiga, indirect pass-through melalui permintaan eksternal untuk
output domestik. Yang terakhir ini memiliki pengaruh pada penurunan inflasi domestik
dikarenakan peningkatan ekspor akan memberikan sedikit tekanan ke atas terhadap upah
yang kaku. Sehingga, dengan harga output yang tidak terlalu kaku, akan ada penurunan biaya
riil dari penyerapan tenaga kerja.
Sebuah direct cost-push pass-through dari nilai tukar terhadap inflasi domestik sangat
mendominasi demand side pass-through yang disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, konten
impor yang tinggi dalam struktur produksi. Kedua, elastisitas nilai tukar riil yang rendah dari
ekspor. Ketiga, tingkat kekakuan upah nominal yang tinggi, artinya elastisitas permintaan agregat
yang rendah terhadap inflasi upah. Keempat, elastisitas harga impor riil dari permintaan barang
impor setengah jadi. Nilai tukar yang diteruskan ke inflasi konsumen bahkan lebih tinggi karena
merupakan kombinasi dari net-cost push pass-through untuk inflasi domestik dan direct cost-
push pass-through dari barang impor konsumsi terhadap inflasi konsumen.
Besarnya biaya modal mencerminkan saluran biaya yang kuat dari kebijakan suku bunga,
yang memberikan tekanan ke atas terhadap inflasi domestik. Ini memperkuat yang perpanjangan
pass-through yang kuat dari depresiasi nilai tukar yang diakibatkan oleh premi resiko terhadap
harga dalam negeri yang lebih tinggi.
4 Romer (2006) menjelaskan bahwa, dengan asumsi kurva permintaan agregat yang sudah dimodifikasi, ln y = ln M - ln P (di mana
P mencerminkan faktor-faktor yang menggeser permintaan agregat), ekspresi kekakuan riil untuk harga relative yang memaksimalkan
keuntungan atas perwakilan perusahaan itu,
ln Pi* - ln P = φ ln y, menunjukkan, ln Pi* = φ ln M + (1-φ) ln P di mana
kekakuan riil tinggi ditunjukkan dengan rendahnya φ.
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia
Percentage Point
Percentage Point
Imported Goods Inflation (qtq)
0.8
481
Domestic Inflation (qtq)
0.15
0.6
0.1
0.4
0.2
0.05
0
-0.2
0
-0.4
-0.6
-0.05
-0.8
-1
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
-0.1
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
Percent
Percent
Real Marginal Cost
0.08
Import Price
1
0.06
0.5
0.04
0.02
0
0
-0.02
-0.5
-0.04
-1
-0.06
-0.08
-1.5
-0.1
-0.12
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
-2
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
Percentage Point
Percent
Consumer Inflation (qtq)
0.1
Optimal Response
0.08
Consumer Price
0.16
0.14
Non Optimal Response
0.12
0.06
0.1
0.04
0.08
0.08
0.02
0.04
Optimal Response
0
0.02
-0.02
1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 101106
Non Optimal Response
0
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
Percent
Percent
0.35
Real Domestic Price
0.5
0.3
0.45
0.3
0.4
0.2
0.35
0.15
0.3
0.1
0.25
0.05
0.2
0
0.15
-0.05
0.1
-0.1
0.05
Domestic Price
Optimal Response
Non Optimal Response
0
-0.15
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Grafik 11.
Respon Harga, Inflasi dan Biaya Marginal
482 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011
4.4 Pajak dan Utang Pemerintah
Sebagai konsekuensi dari permintaan agregat yang lebih kecil dan tingkat suku bunga
yang lebih tinggi, pemerintah harus menghadapi basis pajak yang berkurang dan pembayaran
bunga yang lebih tinggi atas utang yang ada. Dengan demikian, otoritas fiskal perlu menaikkan
tarif pajak dan meningkatkan pembayaran utang untuk menjaga pengeluaran konsumsi agar
tetap konstan di tengah tekanan defisit primer yang meningkat. Karena aturan pajak merespon
defisit primer, pembayaran utang bunga yang lebih tinggi tidak memiliki efek penguatan pada
kenaikan pajak. Dengan demikian, utang pemerintah tetap berkelanjutan, tetapi perekonomian
memerlukan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan utang pemerintah.
Kenaikan tarif pajak memiliki efek kecil dalam meredam penawaran tenaga kerja yang
tidak elastis, dan menyebabkan sedikit tekanan ke atas terhadap biaya kerja marjinal riil. Namun,
besaran pass-through terhadap upah tetap jauh lebih kecil karena upah cukup kaku namun
terindeksasi oleh inflasi. Karena harga output lebih fleksibel dibandingkan upah, respon langsung
inflasi domestik terhadap suku bunga mengalami penurunan tetapi sangat lemah. Respon
langsung ini lebih tinggi melalui saluran penawaran tenaga kerja agregat atas kebijakan tingkat
suku bunga.
Percent
Percentage Point
0.05
Tax Rate
Fiscal Defisit
3
2.5
0.04
2
0.03
1.5
0.02
1
0.01
0.5
0
0
-0.5
-0.01
-1
-0.02
-1.5
-0.03
-0.03
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
Percent
0.2
Governmen Debt
0.18
Optimal Response
0.16
Non Optimal Response
0.14
0.12
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Grafik 12.
Respon Pajak, Utang Pemerintah dan Defisit Fiskal
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia
483
4 .5 Suku Bunga
Model ini merekomendasikan bank sentral untuk menaikkan tingkat bunga pertahun
sampai ke tingkat yang lebih tinggi yakni 1,33 persen lebih tinggi dari tingkat awal setahun
setelah guncangan awal. Angka ini harus kembali diturunkan namun tetap di atas nilai kondisi
steady state selama sembilan triwulan sebelum akhirnya stabil di kisaran tingkat awal sebesar
7%. Respon suku bunga ini menyebabkan lompatan 0,09 persen pada inflasi konsumen tahun
ke tahun. Karena suku bunga nominal meningkat dengan lebih dari satu peningkatan inflasi
konsumen, suku bunga riil ex-ante naik sementara sampai tingkat 1,27 persen lebih tinggi di
atas level kondisi steady state awal sebesar 2%.
Penting untuk menyorot dampak pelaksanaan respon kebijakan moneter yang tidak
optimal, yang dikarenakan kenaikan suku bunga tertinggi di antara parameter respons yang
dapat digunakan. Hasil respon kebijakan macam ini memperburuk keadaan ekonomi dalam
jangka pendek dalam bentuk suku bunga nominal yang lebih tinggi, inflasi konsumen yang
lebih persisten, kontraksi output yang lebih dalam, lebih banyak pengangguran, neraca uang
yang lebih tinggi dan harga serta upah yang lebih mahal. Perekonomian juga menjadi lebih
buruk dalam jangka-panjang diakibatkan nilai tukar nominal yang susut, harga dan upah yang
lebih mahal, utang luar negeri bersih yang lebih tinggi, utang pemerintah yang lebih tinggi,
neraca uang riil yang lebih besar, surplus neraca perdagangan yang lebih kecil, defisit neraca
berjalan yang lebih besar dan surplus neraca finansial yang lebih besar.
Simulasi ini mengungkapkan seberapa kuat saluran biaya dari kebijakan moneter.
Peningkatan suku bunga menghasilkan tekanan pada inflasi domestik melalui peningkatan
biaya modal. Sumber utama tekanan ke bawah terhadap inflasi domestik dan konsumen adalah
biaya riil dari impor barang yang disebabkan oleh nilai tukar yang terapresiasi dalam
Percentage Point
Percentage Point
1.6
1.4
1.2
1
Nominal Interest Rate (p.a)
Real Interest Rate (p.a)
1.4
Optimal Response :
Very Large Response Parameter
Non Optimal Response :
Smallest Feasible Response Parameter
0.8
Optimal Response
1.2
Non Optimal Response
1
0.8
0.6
0.6
0.4
0.4
0.2
0.2
0
0
-0.2
-0.2
-0.4
-0.4
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Grafik 13.
Respon Suku Bunga
484 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011
perekonomian yang memiliki harga impor yang lebih fleksibel dibandingkan harga domestik,
serta konten impor yang tinggi. Saluran biaya yang kuat dari kebijakan tingkat suku bunga,
upah yang lebih kaku dibandingkan harga output dan indeksasi upah yang tinggi terhadap
inflasi masa lalu menjadi faktor yang berpengaruh terhadap kurangnya respon disinflasi harga
konsumen terhadap kenaikan suku bunga. Hal ini sejalan dengan sifat-sifat model
makroekonometrik kecil Bank Indonesia yang memperkirakan lemahnya pengaruh dari
pengetatan suku bunga dalam menurunkan inflasi konsumen. Ini menunjukkan bahwa satu
persen kenaikan suku bunga hanya dapat mengurangi inflasi konsumen sekitar 0,06 persen.
4.6 Neraca Uang
Permintaan uang riil, menurun dalam jangka pendek dan mencapai nilai kondisi steady
state yang lebih tinggi dalam jangka panjang. Respon langsung tidak disebabkan oleh kenaikan
suku bunga melainkan hanya mengikuti pola konsumsi riil. Hal ini disebabkan oleh elastisitas
konsumsi riil yang tinggi terhadap permintaan uang riil yakni sebesar σ / ρ = 2,2.
Di sisi lain, elastisitas permintaan uang riil terhadap tingkat suku bunga nominal yang
rendah ( 1/ρ = 0,0083 ), meredam pengaruh kenaikan tingkat suku bunga yang relatif cukup
besar. Oleh karena itu, melemahnya permintaan atas barang konsumsi, akan berpengaruh
besar terhadap penurunan permintaan memegang uang.
Percent
0.008
Percent
Real Money Balance
Nominal Money Balance
0.16
0.14
0.004
0.12
0
0.1
0.08
-0.004
0.06
-0.008
-0.012
Optimal Response
Non Optimal Response
-0.016
0 1 6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96
0.04
Optimal Response
0.02
Non Optimal Response
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100
Grafik 14.
Respon Neraca Uang
Dalam jangka pendek, penurunan permintaan uang riil, lebih rendah dibandingkan
kenaikan harga konsumen. Karenanya, ketika bank sentral merespon guncangan premi resiko
dengan menaikkan suku bunga, penawaran uang nominal harus lebih tinggi untuk
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia
485
Tabel 2.
Korelasi antara Pertumbuhan Mata Uang dan Tingkat Bunga
Koefisien Korelasi
Periode
tingkat SBI 1 bulan
tingkat deposit 3 bulan
1990Q1-1997Q2
-0,33
1997Q3-1998Q4
0,84
-0,65
0,42
1999Q1-2007Q1
-0,13
-0,28
meyeimbangkan pasar uang. Dalam hal ini, arah uang dan tingkat bunga saling berkebalikan,
dalam artian bahwa kebijakan moneter ketat terhadap tingkat suku bunga, namun longgar
terhadap pasokan uang.
Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat suku bunga berkorelasi positif dengan pertumbuhan
uang selama krisis. Namun, hubungan itu sebagian besar dikarenakan peningkatan besar-besaran
dalam bantuan likuiditas dikombinasikan dengan peningkatan suku bunga yang signifikan.
Lebih lanjut, Grafik 15 memperlihatkan bahwa kenaikan (atau penurunan) pada suku bunga
kebijakan Bank Indonesia (tingkat SBI), yang secara positif sangat berhubungan dengan
perubahan tingkat deposito, tidak serta merta memperlambat (atau mempercepat) pertumbuhan
mata uang yang beredar selama periode pasca-krisis. Korelasi negatif antara suku bunga dan
pertumbuhan mata uang melemah selama periode observasi seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 2. Karena pertumbuhan dan suku bunga kebijakan bisa bergerak dalam arah yang sama,
dan pengetatan atau pelonggaran kebijakan moneter seharusnya hanya diwakili dan jelas
dikomunikasikan dalam bentuk kebijakan suku bunga.
%
3.00
2.00
1.00
(1.00)
(2.00)
Increase (decrease) in SBI rate
Acceleration (deceleration) of Currency in Circulation
2000q01
2000q02
2000q03
2000q04
2001q01
2001q02
2001q03
2001q04
2002q01
2002q02
2002q03
2002q04
2003q01
2003q02
2003q03
2003q04
2004q01
2004q02
2004q03
2004q04
2005q01
2005q02
2005q03
2005q04
2006q01
2006q02
2006q03
2006q04
2007q01
2007q02
(3.00)
Grafik 15. Arah Suku Bunga dan
Pertumbuhan Mata Uang di Indonesia
486 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011
V. KESIMPULAN
Studi ini menemukan bahwa meski dengan respon kebijakan moneter yang optimal,
depresiasi nilai tukar nominal yang dipicu oleh guncangan premi resiko suku bunga selama dua
tahun, memberikan dampak bagi perekonomian dalam bentuk inflasi yang lebih tinggi, output
yang lebih rendah, suku bunga riil dan nominal yang lebih tinggi, biaya modal yang lebih
tinggi, investasi yang lebih rendah, utang dan defisit pemerintahan yang lebih tinggi, tingkat
pajak yang lebih tinggi, dan pengangguran yang lebih tinggi.
Guncangan yang terus-menerus juga memperburuk perekonomian dalam jangka-panjang.
Hal ini ditandai dengan kesetimbangan jangka panjang nilai tukar nominal yang lebih lemah ,
harga domestik, impor serta upah yang lebih mahal, dan neraca pembayaran yang lebih buruk
(surplus neraca perdagangan yang lebih rendah, defisit neraca berjalan yang lebih tinggi, arus
masuk modal yang lebih tinggi, utang luar negeri bersih yang lebih besar, utang pemerintah
yang lebih tinggi namun berkelanjutan). Namun, respon kebijakan moneter yang tepat, yakni
kenaikan suku bunga terkecil dalam himpunan respon suku bunga yang layak, mampu
mengurangi dampak merugikan tersebut.
Karateristik guncangan seperti ini terjadi karena kurangnya respon disinflasi terhadap
kenaikan pada kebijakan suku bunga, yang disebabkan oleh kombinasi kekakuan riil yang
tinggi dan kuatnya saluran biaya atas suku bunga dan pass-through nilai tukar. Baik saluran
permintaan agregat atas suku bunga dan saluran sisi permintaan atas pass-through dari nilai
tukar mempunyai efek yang lemah terhadap inflasi.
Beberapa implikasi kebijakan mungkin sesuai, namun karakteristik transmisi moneter
seperti ini menyulitkan respon kebijakan moneter yang optimal. Akan lebih baik bagi bank
sentral untuk mengejar inflasi yang lebih rendah yang dipengaruhi oleh permintaan, ketika
guncangan yang merusak tidak muncul atau ketika terdapat guncangan pasokan yang
menguntungkan. Ketika disinflasi berhasil, suku bunga pada gilirannya dapat diturunkan dan
akhirnya dapat membantu mengurangi biaya jalur suku bunga dan memperkuat saluran
permintaan agregat.
Karena guncangan nilai tukar dan cost-push sering kali merugikan perekonomian, maka
diperlukan kebijakan lain untuk melengkapi kebijakan moneter untuk memperkuat saluran
permintaan agregat dari kebijakan moneter. Penting untuk diketahui bahwa saluran biaya suku
bunga perlu diturunkan. Ini menyiratkan bahwa proporsi pendapatan domestik untuk pemilik
modal, investor atau pemberi pinjaman, harus dikurangi. Perombakan struktur produksi dengan
menambah produsen barang yang padat karya, bisa menjadi kebijakan industri yang tepat
untuk membantu mengurangi proporsi modal dalam output.
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia
487
Kebijakan lain yang bisa diterapkan adalah yang terkait dengan upaya pengurangan
biaya modal. Model dan hasil simulasi tidak dapat merekomendasikan kebijakan yang secara
langsung dapat mengurangi biaya modal, karena tidak adanya saluran pinjaman bank yang
menunjukkan kesetaraan suku bunga kebijakan bank sentral dan suku bunga pinjaman bank.
Namun, ketika saluran itu muncul, rekomendasi kebijakan yang mendorong pengurangan biaya
marjin perantara keuangan dan marjin profit, mungkin dapat mengurangi biaya modal. Kebijakan
lainnya adalah yang membantu mengurangi inflasi yang disebabkan alasan non-moneter, yang
dalam praktiknya, secara tidak langsung akan mengurangi biaya modal pada tingkat bunga riil
tertentu dan spread antara pinjaman dan suku bunga deposito. Dalam kerangka pemodelan
dari studi ini, keberhasilan dari kebijakan ini secara langsung akan mengurangi baik suku bunga
pinjaman maupun suku bunga kebijakan. Mengingat bahwa harga sama dengan biaya marjinal
ditambah marjin keuntungan, kebijakan seperti ini dapat memiliki bentuk (i) mengurangi biaya
marjinal yang dipicu alasan non-moneter, (ii) mengurangi marjin profit, dan (iii) meningkatkan
fleksibilitas marjin profit terhadap peningkatan biaya5.
Biaya marjinal yang dipicu alasan non-moneter, yang tidak dimodelkan dalam penelitian
ini, mungkin mengambil bentuk biaya marjinal atas «tenaga kerja eksternal»6 dan juga penentu
lain dari biaya marjinal yang tidak dimasukkan dalam persamaan biaya marjinal (2.6).
Dan pada akhirnya, penting untuk menelusuri keterbatasan model yang harus
dipertimbangkan ketika menginterpretasikan hasil simulasi untuk tujuan pengeluaran kebijakan.
Model ini masih memiliki kekurangan di saluran pinjaman banknya yang berarti menyiratkan
tidak adanya bank dan bahwa bank sentral merupakan bagian dari pemerintah. Akan menarik
untuk mengetahui bagaimana perekonomian bereaksi dengan kehadiran bank sebagai perantara
keuangan.
5 Harga barang produksi dalam negeri dapat ditetapkan sebagai biaya marjinal nominal dikalikan dengan marjin laba kotor, P = MCd
( 1 + μ),
yakni
mcd = mcdm + mcdnm ,
di mana mcdm adalah biaya marjinal riil yang dipicu alasan moneter, seperti pada (II.14),
adalah biaya marjinal riil yang dipicu alasan non-moneter dan μ adalah marjin laba bersih .
6 Biaya « tenaga kerja eksternal « adalah biaya tambahan harus dikeluarkan perusahaan terus-menerus, untuk alasan apapun, bagi
orang-orang yang bukan pegawai perusahaan atau tidak memasok tenaga kerja mereka dalam bentuk input produksi.
488 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011
DAFTAR PUSTAKA
Agénor, Pierre-Richard dan Peter J. Montiel (2008). Development Macroeconomics, Third Edition.
Princeton University Press.
Al-Eyd, Ali dan Stephen G. Hall (2006). ≈Financial Crisis, Effective Policy Rules and Bounded
Rationality in a New keynesian FrameworkΔ. NIESR Discussion Paper No. 272.
Barth, M.J., Ramey, V. (2001).Δ≈The Cost Channel of Monetary TransmissionΔ. NBER
Macroeconomic Annual,Δhal. 199√239.
Calvo, Guillermo (1983).√≈Staggered Process in A Utility Maximizing FrameworkΔ, Journal of
Monetary Economics 12 (1983), hal. 89-100.
Chowdhury, Ibrahim, Mathias Hoffmanna, dan Andreas Schabert (2006). ≈Inflation dynamics
and the cost channel of monetary transmissionΔ. European Economic Review 50, hal. 995√
1016
Christiano, Lawrence J., Martin Eichenbaum, dan Charles L. Evans (2005).√≈Nominal Rigidities
and the Effects of a Shock to Monetary Policy,ΔΔJournal of Political Economy, Vol. 113(1),
1"45.
Clarida, R., J. Gali, M. Gertler (1999). ≈The Science of Monetary Policy: A New Keynessia
PerspectiveΔ. Journal of Economic Literature, Vol.37, Issue 4, 1661-1707.
Darsono, Akhis R. Hutabarat, Diah Esti Handayani, Hery Indratno, Retno Muhardini (2002).
≈Survey of Bussiness Price Setting BehaviorΔ. Makalah dipresentasikan pada The 26th CIRET
Conference, Taipei, October 2002.
Drud, Arne (2006). ≈CONOPTΔ, GAMS √ The Solver Manuals, ARKI Consulting and Development
A/S, Bagsvaerd, Denmark.
Eichenbaum, M. (1992). ≈Comment on «Interpreting the macroeconomic time series facts: the
effects«of monetary policy» by C.A. SimsΔ.ΔEuropean Economic Review, 36, pp. 1001√1011.
Erceg, Christopher J., Andrew T. Levin (1983). ≈Imperfect credibility and inflation persistenceΔ,
Journal of Monetary Economics 50 (2003), hal. 915-955.
Hall, Simon, Mark Walsh, Anthony Yates (1997). ≈How do UK companies set prices?Δ. Bank of
England Working Paper 8905.
Hossain, A (2006). ≈Sources of Economic Growth in Indonesia, 1966-2003Δ Journal of Applied
Econometrics and International Development, Vol.6 Issue 2.
Monetary Transmission of Persistent Shock to the Risk Premium: the Case of Indonesia
489
Husman, Jardine A. (2005). ≈Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap Neraca Perdagangan Bilateral
Indonesia: Kondisi Marshall-Lerner dan Fenomena J-CurveΔ. Buletin Ekonomi Moneter dan
Perbankan Bank Indonesia (Volume 8 No.3).
Hutabarat, Akhis R. (2007). ≈Monetary policy response to transient exchange rate and cost
shocksΔ. Working Paper, University of Leicester.ΔTidak dipublikasikan.
Murchison, Stephen, Andrew Rennison, dan Zhenhua Zhu (2004). ≈A Structural Small OpenEconomy Model for CanadaΔ. Bank of Canada Working Paper 2004-4.
Ravenna, Federico, Carl E. Walsh (2006). ≈Optimal monetary policy with the cost channelΔ.
Journal of Monetary Economics Vol. 53, pp. 199-216.
Romer, D. (2006). Advanced Macroeconomics, 3rd edn. New York: McGraw-Hill.
Rosenthal, Richard E. (2006). ≈GAMS≈ƒ A User»s GuideΔ. GAMS Development Corporation,
Washington, DC, USA
Sims, Christopher A. (1992). ≈Interpreting the macroeconomic time series facts: the effects of
monetary policyΔ. European Economic Review, 36, hal. 975√1000.
Smets, Frank, dan Raf Wouters (2003). ≈An estimated stochastic dynamic general equilibrium
model of the Euro areaΔ, ECB Working Paper No.171. Sorensen, Peter Birch, Hans Jorgen
Whitta-Jacobsen (2005). ≈Introducing Advanced Macroeconomics √ Growth and Business
CyclesΔ. The McGraw-Hill Companies.
Young, Alwyn (1995).
≈The Tyranny of Numbers: Confronting the Statistical Realities of the East Asian Growth
ExperienceΔ. The Quarterly Journal of Economics, Vol. 110, No.3, hal.641-680.
Woodford, M (2003). ≈Interest and Prices. Foundations of a Theory of Monetary PolicyΔ. Princeton
University Press.
Warjiyo, Perry dan Juda Agung (2002). ≈Transmission Mechanisms of Monetary Policy in
IndonesiaΔ, Bank Indonesia: Direktorat Penelitian Ekonomi dan Kebijakan Moneter.
490 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2011
halaman ini sengaja dikosongkan
Download