RUTE PENERBANGAN DI ATAS ALUR LAUT KEPULAUAN; PERSPEKTIF INDONESIA Harry Purwanto Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Abstract: According to the Government Regulation Number 37 of 2002, Indonesian Government has decided its archipelagic sea lane and it has been approved by the International Maritime Organization (IMO). However, it has not been approved by the International Civil Aviation Organization (ICAO) since the Indonesian Government has not submitted it. This research draws several legal problems: first, whether the air sea lane passage would be promulgated since the sea lane passage was decided in relation to the Indonesian obligation under the UNCLOS 1982, and secondly, what efforts will be taken by the Indonesian government to safe guard the safety of the air transport above its archipelagic sea lane? In order to reveal those problems, this research utilizes secondary data in forms of primary, secondary and tertiary legal resources relevant to them. Data were analysed by qualitative legal thinking. It reveals that although the Indonesian government has decided its archipelagic sea lane approved by the IMO, factually there is no air passage above the Indonesian sea lanes passage. Congestion of civil aviation, precision of the air interjunction in line with the Indonesian sea lanes passage, safety of air navigation and national security have to be considered before the Indonesian government promulgate its air passage. To maintain its air safety, the Indonesian government also has to strenghten its bilateral cooperation with neighboring countries such as with Singapore and Malaysia. Keywords: flight route, safety flight and achepelagic sealanes Abstrak: Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002, Pemerintah Indonesia telah menentukan alur laut kepulauan dan telah disetujui oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO). Namun, belum disetujui oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) sejak Pemerintah Indonesia belum menyerahkannya. Penelitian ini mengkaji beberapa masalah: pertama, apakah bagian jalur laut udara akan diumumkan sejak bagian jalur laut diputuskan dalam kaitannya dengan kewajiban Indonesia di bawah UNCLOS 1982, dan kedua, upaya apa yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk menjaga aman keselamatan transportasi udara di atas alur laut kepulauan? Untuk itu, penelitian ini menggunakan data sekunder dalam bentuk sumber daya primer, sekunder dan tersier hukum yang relevan bagi masalah itu. Data dianalisis dengan pemikiran hukum kualitatif. Ini menunjukkan bahwa meskipun pemerintah Indonesia telah memutuskan alur laut kepulauan yang disetujui oleh IMO, secara faktual tidak ada lintas udara di atas bagian alur laut kepulauan Indonesia. Kongesti penerbangan sipil, ketepatan persimpangan alur udara sejalan dengan berlalunya alur laut kepulauan Indonesia, keselamatan navigasi udara dan keamanan nasional harus dipertimbangkan sebelum pemerintah Indonesia menyebarluaskan lintas udaranya. Untuk menjaga keselamatan udara, pemerintah Indonesia juga harus memperkuat kerjasama bilateral dengan negara-negara tetangga seperti dengan Singapura dan Malaysia. Kata kunci: rute penerbangan, keselamatan penerbangan dan alur laut kepulauan 1 Harry Purwanto, Rute Penerbangan Di Atas Alur Laut Kepulauan ………. Pendahuluan Adanya hak lintas penerbangan bagi pesawat udara asing melalui wilayah ruang udara negara kepulauan1 serta hak lintas transit bagi pesawat udara asing melalui ruang udara di atas selat internasional2 turut diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea – 1982 atau Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (KHL-1982)3. Adanya pengaturan internasional yang demikian, khususnya bagi penerbangan merupakan perkembangan baru dalam hukum udara yang pengaturannya disatukan dengan hukum laut. Ketentuan dalam hukum udara yang ada tidak mengakui adanya hak lintas damai (the right of innocent passage) melalui wilayah ruang udara suatu negara. Michael Milde menegaskan bahwa no such right of innocent passage through the airspace above the territorial waters is grandted for aircraft. Demikian juga di atas perairan kepulauan dikatakan bahwa ships (but not aircraft) of all States enjoy the right innocent passage trough archipelagic waters. Indonesia telah meratifikasi KHL-1982 dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985. 1 Article 53 (2) UNCLOS-1982: All ships and aircraft enjoy the right of archipelagic sea lanes passage in such sea lanes and air routes. Dalam pasal 53 disebutkan, bahwa lintas penerbangan di atas alur laut kepulauan adalah pelaksanaan hak penerbangan bagi semua pesawat udara. 2 Article 38 (1), (2) UNCLOS-1982: In straits which are used for international navigation, all ships and aircraft enjoy the right of transit passage…….transit passage means the exercise in accordance with this Part of the freedom of navigation and overflight… 3 KHL-1982 telah mempunyai kekuatan mengikat (entry into force). Pemerintah Guyana adalah negara ke – 60 yang telah mendepositkan piagam ratifikasi atas KHL-1982, yaitu pada tanggal 16 November 1993. Dengan demikian, sesuai pasal 308, konvensi akan berlaku 12 bulan setelah pendepositan piagam ratifikasi ke-60, yaitu tanggal 15 November 1994. Sebagai konsekuensinya, Indonesia terikat untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam KHL-1982. Salah satu kewajiban yang tercantum dalam KHL-1982 yang harus dilaksanakan oleh negara Indonesia adalah menetapkan alur laut kepulauan dan rute penerbangan di atas alur alut kepulauan, yang cocok digunakan untuk pelayaran dan lintas pesawat udara asing.4 All ships and air craft enjoy the right of archipelagic sea lanes passage in such sea lanes and air rutes.5 Melalui Pasal 53 ayat (1) KHL tersebut Indonesia mempunyai dua kewajiban, yaitu menetapkan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan rute penerbangan di atas alur laut kepulauan. Semua pesawat udara menikmati lintas penerbangan melalui rute penerbangan di atas alur laut kepulauan. Sebagai implementasi dari Pasal 53 KHL-1982, melalui Pasal 18 dan 19 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia jo. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 diatur dan ditetapkanlah alur laut kepulauan Indonesia, yang dapat digunakan untuk lintas pelayaran kapal asing dan lintas penerbangan bagi pesawat udara asing melalui wilayah perairan dan ruang udara Indonesia. Jadi Pemerintah Indonesia telah menetapkan salah satu kewajiban yang diamantkan oleh Pasal 53 KHL1982, yaitu menetapkan alur laut kepulauan dan telah mendapatkan persetujuan dari IMO. Sedangkan untuk kewajiban penetapan rute penerbangan di atas alur laut kepulauan, Pemerintah Indonesia belum menetapkan. Saat ini rute-rute penerbangan yang melintas wilayah Indonesia adalah rute bagi penerbangan 4 5 Lihat Pasal 53 ayat 1 KHL-1982. Pasal 53 (2) KHL 1982. 2 Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 1-17 sipil. Sementara itu, rute penerbangan di atas alur laut kepulauan utamanya diperuntukkan bagi penerbangan pesawat udara negara. Beradaskan uraian dalam latar belakang tersebut, pembahasan difokuskan pada bagaimana hukum internasional pengatur rute penerbangan dalam kaitannya dengan keselamatan penerbangan; perspektif Indonesia ? Hasil Penelitian dan Pembahasan Ruang Lingkup Rute Udara Sebagai salah satu fasilitas yang harus tersedia dalam kaitannya dengan navigasi udara adalah tersedianya rute udara “air route”6. Pengertian rute udara tidak dijelaskan dalam Konvensi Chicago 1944, namun definisi ”rute” terdapat dalam Annex 2 Rules of The Air dan Annex 11 tentang Air Traffic Services yaitu definisi dari Air Traffic Services Route (ATS Route), yaitu: “a Specified route designed for channeling the follow of traffic as necessary for the provision of air traffic services”. Jadi, tujuan dari diadakannya rute dalam hal ini guna memudahkan pelaksanaan lalu lintas udara. Selanjutnya dalam annex 11 tersebut dijelaskan bahwa istilah ATS Route dapat berupa airway7, advisory route8, controlled or uncontrolled route, 6 Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 68 Konvensi Chicago 1944 bahwa: Each contracting state may, subject to the provisions of this Convention, designate the route to be followed within its territory by any international air service and the airports which any such service may use”. 7 Airway adalah sebuah kawasan atau bagian tertentu darinya yang diperuntukan sebagai lorong yang diperlengkapi dengan alat Bantu navigasi radio. Annex 2 Chapter 1 Definisions. 8 Advisory route, adalah rute yang dirancang yang memungkinkan diberikannya saran bagi pelaksanaan lalu lintas udara (Annex 11 Chapter 1 Definitions). arrival or departure route dan lain sebagainya. ATS Route itu sendiri ditandai dengan arah ke atau dari titik tertentu atau waypoints (dalam enrute chart ditandai bentuk segitiga), jarak antara titik-titik tersebut, tempat atau titik dimana harus lapor posisi dan ketinggian terendah yang diperbolehkan pada arah tersebut. Secara khusus bagaimana menetapkan ATS Route dijelaskan dalam Appendix 1 dari Annex 11 ini yaitu Principles Governing The identification of NRP (Required Navigation Performance) Type and The Indentification of STS Route Other Than Standard Depature and Arrival Routes. Adapun tujuannya adalah agar pilot dan petugas lalu lintas udara memungkinkan melakukan otomatisasi dalam pengoperasian pesawat udara yang berhubungan dengan pengaturan lalu lintas. Utuk itu, sebagai salah satu persyaratan sebelum penerbangan, penerbang harus mencantumkan rute yang dipilih sebagaimana terdapat di dalam en-rute. Dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan jo Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara juga dijelaskan pengertian Rute sebagai berikut: “rute penerbangan adalah lintasan pesawat udara dari Bandar udara asal kebandar udara tujuan melalui jalur penerbangan yang telah ditetapkan”.9 Pengertian tentang rute sebagaimana disebutkan di atas juga diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 9 Pasal 1 butir (19) UU N0.1 Th. 2009 ttg Penerbangan jo Pasal 1 butir (5), Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1995 tentang Angkutan Udara. 3 Harry Purwanto, Rute Penerbangan Di Atas Alur Laut Kepulauan ………. KM 11 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara.10 Dalam Keputusan Menteri tersebut dijelaskan bahwa kumpulan rute penerbangan yang merupakan satu kesatuan jaringan pelayanan angkutan udara ada dua yaitu jaringan penerbangan dalam negeri dan jaringan penerbangan luar negeri. Jaringan penerbangan dalam negeri terdiri dari struktur rute utama, rute pengumpan, dan rute perintis.11 Dengan demikian, rute yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah rute yang berhubungan dengan penerbangan suatu pesawat udara dari suatu bandara asal ke bandar udara tujuan. Bukan rute yang berhubungan dengan pengaturan lalu lintas udara. Rute Penerbangan di Atas Alur Laut Kepulauan 1. Latar Belakang Pengaturan Penetapan rute udara di atas Alur laut Kepulauan merupakan salah satu konsekuensi dari implikasi berlakunya United Nations on The Law Of The Sea (UNCLOS) 1982, dimana kelahiran konvensi ini merupakan buah kompromi antara kepentingan negara maritim besar dengan negara kepulauan. Salah satu hal yang sangat erat kaitanya dengan alur laut kepulauan ini adalah rute penerbangan di atas alur laut kepulauan. Negara-negara archipelago sejak semula sangat enggan membicarakan soal “overflight” ini, baik karena soal ini pada umumnya menyangkut soal Hukum Udara yang penyelesaiannya perlu disalurkan melalui Internasional Civil Aviation Organisation 10 Lihat Pasal 1 butir (7) Keputusan Perhubungan No.KM 11 Tahun 2001 Penyelenggaraan Angkutan Udara. 11 Lihat Pasal 2 dan 3 Keputusan Perhubungan No.KM 11 Tahun 2001 Penyelenggaraan Angkutan Udara. Menteri tentang Menteri tentang (ICAO), maupun karena mereka tidak dapat menerima prinsip kebebasan overflight melalui sealanes sebagaimana yang diinginkan oleh negara-negara maritim besar, khususnya yang mempunyai kepentingan militer secara global. Namun, dengan kompromi itu makin menjadi jelas bahwa wawasan nusantara praktis tidak akan dapat diterima oleh masyarakat internasional kalau dengan wawasan tersebut penerbangan internasional, baik sipil maupun militer, akan sama sekali tunduk kepada wewenang negara-negara nusantara. Karena itu usaha-usaha mulai ditujukan untuk mencari suatu rezim penerbangan lintas melalui perairan nusantara yang dapat diterima oleh Indonesia. Usaha-usaha tersebut antara lain telah berhasil dengan diperkenankannya penerbangan internasional hanya di atas sealanes, dan bahwa penerbangan tersebut harus dilakukan dengan mengikuti aturan-aturan keselamatan penerbangan yang biasa, misalnya dengan memonitor radio frequency dari ATC, dan lain-lain.12 2. Rute Penerbangan dalam UNCLOS 1982 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 Berdasarkan kompromi sebagaimana dijelaskan di atas, akhirnya masalah lintas melalui wilayah negara kepulauan mendapatkan pengaturan dalam Pasal 53 UNCLOS, yang terdiri atas 12 ayat. Khusus dalam kaitannya dengan rute penerbangan di atur dalam ayat a sampai d yaitu: a. An archipelagic state may designate sea lanes and air rute there above, suitable for the continuous and expe12 Hasyim Djalal, Perjuang Indonesia di Bidang Hukum Laut, Binacipta, Bandung, 1979, hlm. 93-94 4 Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 1-17 ditious passage of foreign ships and aircraft through or over its archipelagic waters and the adjacent territorial sea. b. All ships aircraft enjoy the right or achipelagic sea lanes passage in such sea lanes and air routes. c. Achipelagic sea lanes passage means the exersice in accordance with this Convention of the rights of navigation and over flight in the normal mode solely for the purpose of continuous, expeditious and unobstructed transit between one part of the seas or an exlcusive economic zone and other part of the high seas or an axclusive economic zone. d. Such sea lanes and air routes shall traversea the archipelagic waters and the adjacent territorial sea and shall include all normal passage rutes used as routes for international navigation or over flight through or over archipelagic waters and, within such routes, so far as ships are concerned, all normal navigations channels, provided that duplication of routes of similar convenience between the same entry and exit points cell not be necessary. Pada waktu melakukan lintas penerbangan melalui rute di atas alur laut kepulauan, pesawat udara wajib: a. mentaati peraturan udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization) sepanjang berlaku bagi pesawat udara sipil, pesawat udara pemerintah biasanya memenuhi tindakan keselamatan demikian dan setiap waktu beroperasi dengan mengindahkan keselamatan penerbangan sebagaimana mestinya; b. setiap waktu memonitor frekuensi radio yang ditunjuk oleh otorita pengawas lalu lintas udara yang berwenang yang ditetapkan secara internasional atau oleg frekwensi radio darurat internasional yang tepat.13 Sebagai negara yang mempunyai kepentingan dan telah meratifikasi UNCLOS 1982, maka melalui Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melakunan Hak Lintas Alur Laut Kepuluan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan, pemerintah telah menetapkan 3 (tiga) Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) utama, dengan variasi pada cabang-cabang, sebagaimana nampak dalam lampiran PP tersebut. Secara garis besar PP tersebut mengatur hal-hal sebagai berikut: a. Pesawat udara asing dapat melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan untuk penerbangan dari satu bagian laut bebas atau zona ekonomi eksklusif ke bagian lain laut bebas atau zona ekonomi eksklusif melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia (Pasal 2); b. Pesawat udara asing yang melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan harus melintasi secepatnya melalui atau terbang di atas alur laut kepulauan dengan cara normal, semata-mata untuk melakukan transit yang terus menerus langsung, cepat dan tidak terhalang (Pasal 4 ayat (1); c. Pesawat udara asing yang melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan, 13 Pasal 54 UNCLOS 1982. Pasal ini menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 39 (3) UNCLOS 1982 berlaku mutate mutandis bagi pesawat udara yang akam melakukan lintas penerbangan melalui rute di atas alur laut kepulauan. 5 Harry Purwanto, Rute Penerbangan Di Atas Alur Laut Kepulauan ………. d. e. f. g. h. selama melintas tidak boleh menyimpang lebih dari 25 mil laut kedua sisi dari garis sumbu alur laut kepulauan, dengan ketentuan bahwa pesawat udara tersebut tidak boleh terbang dekat ke pantai kurang dari 10% jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut kepulauan tersebut (Pasal 4 ayat (2); Pesawat udara asing sewaktu melaksanakan hak lintas tidak boleh melakukan ancaman atau menggunakan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik RI, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas-asas hukum internasional yang terdapat dalam Piagam PBB (Pasal 4 ayat (3); Pesawat udara militer asing, sewaktu melaksanakan hak lintas tidak boleh melakukan latihan perang-perangan atau latihan mengunakan senjata macam apapun dengan mempergunakan amunis (Pasal 4 ayat (4); Kecuali dalam keadaan force majeure atau dalam hal musibah, pesawat udara yang melaksanakan hak lintas tidak boleh melakunan pendaratan di wilayah Indonesia (Pasal 4 ayat (5)); Pesawat udara asing yang melaksanakan hak lintas tidak boleh melakukan siaran gelap atau melakukan gangguan terhadap sistem telekomunikasi dan tidak boleh melakukan komunikasi langsung dengan orang atau kelompok orang yang tidak berwenang dalam wilayah Indonesia (Pasal 4 ayat (7); Baik pesawat udara sipil asing sewaktu melaksanakan hak lintas harus; a). Mentaati peraturan udara yang ditetapkan oleh ICAO mengenai keselamatan penerbangan; b). Setiap waktu memonitor frekuensi radio yang ditunjuk oleh otorita pengawas lalu lintas udara yang berwenang yang ditetapkan secara internasional atau frekuensi radio darurat internasional yang sesuai (Pasal 8 ayat (1)); i. Baik pesawat udara negara asing sewaktu melaksanakan hak lintas harus; 1). Menghormati peraturan udara mengenai keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) huruf a; j. Memenuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam ayat (1) huruf b. (Pasal 8 ayat (2)). Pengaturan Rute Udara dalam Kaitanya dengan Keselamatan Penerbangan Rute udara merupakan salah satu fasilitas yang harus tersedian dalam navigasi udara. Penetapan rute udara terkait juga dengan masalah keselamatan penerbangan. Sebelum penerbang menerbangkan pesawat yang menjadi tanggungjawabnya harus menentukan rute yang harus dilalui dan memberitahukan kepada Air Traffic Control setempat. Beberapa aturan baik di tingkat internasional maupun di tingkat nasional berkaitan dengan penetapan rute penerbangan dalam rangka menjaga keselamatan penerbangan antara lain: 1. Konvensi Chicago 1944 a. Pasal 11, berkaitan dengan pemberlakuan peraturan perundangan nasional yang menyangkut navigasi di udara tidak boleh adanya diskriminasi. Demikian juga setiap navigasi udara harus mentaati rute udara yang telah ditetapkan oleh negara yang bersangkutan. b. Pasal 12, pada dasarnya menjelaskan tentang jaminan akan 6 Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 1-17 dipatuhinya peraturan dan ketentuan yang berkaitan dengan penerbangan, dan negara harus mempertahankannya dari waktu ke waktu, demi keselamatan penerbangan. Serta negara mempynyai kewenangan untuk menjalankan yurisdiksinya terhadap pelanggaran yang terjadi. c. Pasal 37, dalam pasal ini dijelaskan bahwa setiap negara dapat mengadakan kerjasama guna pengaturan prosedur dan standar-standar internasional dalam pelayanan navigasi penerbangan demi menjaga dan meningkatkan keselamatan penerbangan. Serta dapat melakukan perubahan-perubahan yang sesuai atas rute udara atau segala hal yang bisa meningkatkan pelayanan navigasi udara, termasuk di dalamnya rules of the air and air traffic control practices. d. Pasal 44, pasal ini berkaitan dengan peran International Civil Aviation Organization, dalam rangka membangun prinsipprinsip dan pelaksanaan navigasi udara internasional, sepert 1). Mendorong pengembangan ruterute, bandara dan fasilitas-fasilitas navigasi udara untuk penerbangan sipil internasional; 2). Menghindarkan diskriminasi antar negara; 3). Mempromosikan keselamatan penerbangan dalam pelaksanaan navigasi udara internasional. 2. Annex 2 Rules of the Air Annex (lampiran) ini berisikan rekomendasi dan standar yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan bagaimana pelaksanaan penerbangan di udara seperti di amanatkan oleh Pasal 37 Konvensi Chicago 1944 tersebut. Dalam ketentuan ini di atur beberapa hal, khususnya berkaitan dengan adanya Flight Plan14 sebelum penerbangan dan tambahan atau “Attachment A” tentang Intersepsi Pesawat Sipil15. 14 Persyaratan adanya Flight Plan di atur dalam Bab 3 bagian 3.3.1.2.2 Jo bagian 3.3.1.2.3, Annex 2 Rule of The Air., bahwa sebelum melakukan penerbangan, penerbang menyampaikan maksud penerbangannya kepada Air Traffic Services Units atau unit pelayanan lalu lintas udara dalam bentuk sebuah Flight Plan, yang berisikan antara lain identifikasi pesawat, jenis penerbangan yang dipilih dapat berupa terbang instrument atau visual (terbang dengan menggunakan tanda-tanda darat sebagai petunjuk) dan tipe dari penerbangan (sipil atau militer) nomor dan tipe pesawat, rute yang dipilih, tujuan pendaratan dan lain sebagainya. Flight Plan harus disampaikan 1 (satu) jam sebelum penerbangan atau bisa disampaikan pada saat terbang dengan menggunakan radio komunikasi paling tidak 10 (sepuluh) menit sebelum memasuki titik dimana ada area pengaturan atau titik dimana melewati rute udara atau rute-rute yang telah ditetapkan. Ada 5 (lima) bentuk penerbangan yang mengharuskan menyerahkan Flight Plan, yaitu: 1). Setiap penerbangan yang diberikan pelayanan pengaturan lalu lintas udara; 2). Setiap penerbangan dengan Instrumen Flight Rules (terbang dengan menggunakan instrument sebagai pedoman) di dalam suatu wilayah udara yang telah ditetapkan seperti menggunakan ruterute yang telah ada; 3). Setiap penerbangan di dalam atau menuju wilayah yang telah ditetapkan, atau sepenjang rute yang telah ditetapkan. Hal ini diperlukan otoritas Air Traffic Services (ATS) yang berwenang untuk memudahkan pelayanan informasi penerbangan, kewaspadaan dan layanan pencarian dan pertolongan; 4). Setiap penerbangan di dalam atau menuju wilayah yang telah ditetapkan, atau sepanjang rute yang telah ditetapkan, hal ini diperlukan otoritas ATS yang berwenang untuk memudahkan koordinasi dengan unit Angkatan Udara yang berwenang atau unit pelayanan lalu lintas udara Negara tetangga dalam rangka menghindari kemungkinan intersepsi untuk tujuan identifikasi; 5). Setiap penerbangan yang melewati perbatasan internasional. 15 Persoalan yang berkaitan dengan intersepsi pesawat sipil oleh pesawat udara militer diatur 7 Harry Purwanto, Rute Penerbangan Di Atas Alur Laut Kepulauan ………. 3. Annex 11 Air Traffics Services Dalam annex 11 dijelaskan bahwa setiap negara harus mempunyai unit pelayanan lalu lintas udara, yang tujuannya antara lain guna mencegah terjadinya tubrukan antar pesawat, dan memberikan saran dan informasi yang berguna bagi keselamatan dan efisiensi pelaksanaan penerbangan.16 Apabila wilayah itu berada di atas laut bebas maka penentuannya harus bekerja sama dengan lingkup regional dalam bentuk suatu perjanjian.17 dalam bagian 3.8, bahwa ketentuan yang dibuat oleh suatu Negara berkaitan dengan intersepsi harus sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 (d) Convention on International Civil Aviation. Menurut pasal tersebut, tindakan intersepsi dari pesawat udara Negara haris memperhatikan keselamatan navigasi pesawat sipil. Setiap Pilot in-command atau kapten penrbang (pilot yang bertanggung jawab pada penerbangan saat itu) dari pesawat sipil yang diintersepsi harus mengikuti apa-apa yang ditentukan di dalam Appendix 2 tentang Interception of Civil Aircraft dan Appendix 1 tentang Signals. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh pesawat udara Negara ketika melakukan intersepsi, antara lain: 1). Intersepsi pesawat sipil merupakan langkah terakhir; 2). Jika dilakukan, terbatas untuk mengetahui identitas pesawat tersebut, jika tidak diperlukan untuk menyuruh pesawat tersebut kembali ke rute atau jalan yang telah dipilih, mengarahkannya kembali kewilayah batas dari wilayah udara nasionalnya, mengarahkannya menjauh dari sebuah area terbatas, terlarang, dan berbahaya atau diperintahkan untuk mendarat pada sebuah aerodrome atau landasan yang telah dipilih. 3). Dilarang melakukan praktek atau latihan intersepsi pada pesawat sipil; 4). Diberikan pelayanan navigasi dan informasi yang berhubungan pada pesawat yang diintersepsi dengan radio apabila radio komunikasi dapat dipergunakan; 5). Apabila pesawat yang diintersepsi diperintahkan mendarat di wilayah territorial dimana pesawat tersebut terbang, aerodrome atau landasan yang dipilih harus sesuai dengan batasan-batasan dari pesawat tersebut dan memungkinkan landing dengan aman. 16 Annex 11, Air Traffic Services, Thirteenth Edition July 2001, Bagian 2.2., hal.2-1-2-2. 17 Ibid., Bagian 2.1.2. Dalam kaitannya dengan penggunaan rute, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam Annex 11 tersebut, antara lain: a. Berkaitan dengan adanya ketepatan dan penetapan, konsekuensi yang muncul adalah: 1) Sebuah rute atau bagian dari sebuah rute, terdapat di dalam wilayah udara di bawah kedaulatan suatu negara yang menetapkan dan memberikan pelayanan lalu lintas udaranya sendiri; 2) Sebuah rute atau baguan dari sebuah rute terdapat di dalam wilayah udara di bawah kedaulatan sebuah negara dimana telah mendelegasikan tanggung jawab terhadap ketetapan dan penetapan dari pelayanan lalu lintas udara berdasarkan pada perjanjian kerja sama; 3) Bagian dari sebuah rute terdapat di atas wilayah udara laut bebas atau wilayah yang tidak berkedaulatan di mana sebuah negara menerima tanggung jawab untuk penentuan dan penetapan dari pelayanan lalu lintas udara. b. Apabila hal-hal tersebut telah ditetapkan maka setiap negara segera mungkin untuk mempublikasikannya; c. Unit pelayanan lalu lintas udara dalam pelaksanann tugasnya juga melaksanakan koordinasi dengan unit militer yang berwenang untuk aktivitas pesawat-pesawat militer yang mungkin beakibat pada penerbangan sipil; d. Tangung jawab pengaturan pada suatu waktu tertentu hanya dilakukan 8 Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 1-17 oleh satu unit pengaturan lalu lintas udara.18 4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Undang-undang ini merupakan pengganti Undang-undang penerbangan sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992. Dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 2009 diatur tentang pokok-pokok bagaimana melaksanakan penerbangan di Indonesia seperti prinsip-prinsip kedaulatan yang dianut, dan dengan tetap memperhatikan masalah keselamatan dan keamanan dalam penerbangan. Prinsip kedaulatan ditegaskan dalam Pasal 5 bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia. Ketentuan ini sejalan dengan prinsip kedaulatan negara di wilayah udara sebagaimana diatur dalam Konvensi Chicago 1944. Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan tersebut, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, social budaya, serta lingkungan udara.19 Ketentuan ini menjadi dasar bagi pengaturan masalah ruterute udara oleh pemerintah Indonesia, sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi Chicago 1944 melalui Annex 11 tersebut. Prinsip-prinsip lain yang berkaitan dengan penggunaan rute udara dan pesawat udara antara lain: a. Bahwa penggunaan pesawat udara niaga asing untuk maksud navigasi dari dan ke atau melalui wilayah RI melalui rute yang telah ditetapkan hanya dapat dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral, multilateral, atau ijin khusus pemerintah. Demikian juga bagi pesawat udara negara asing untuk kegiatan angutan udara melalui wilayah RI hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin Pemerintah.20 b. Larangan menerbangkan atau mengoperasikan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan atau penduduk atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain. Suatu kegiatan yang membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut antara lain terbang di luar jalur yang ditentukan, terbang tidak membawa peralatan keselamatan, dan terbang di atas kawasan udara terlarang.21 Bila dikaitkan dengan Annex 2, maka suatu kegiatan penerbangan yang membahayakan keselamatan atau membahayan pesawat lain seperti penerbangan tanpa flight plan dan penerbangan tanpa melakukan komunikasi dengan ATS yang berwenang. c. Guna terselenggaranya lalu lintas angkutan udara di wilayah udara RI, Menteri Perhubungan menetapkan jaringan dan rute penerbangan dalam negeri. Sedangkan untuk jaringan dan rute penerbangan luar negeri ditetapkan oleh Menteri Perhubungan berdasarkan perjanjian angkutan udara antar negara. Penetapan jaringan dan rute penerbangan dalam negeri didasarkan pada beberapa pertimbangan, seperti: 18 Ibid., Bagian 2.16 jo. Bagian 3.5.1. Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 6 19 20 21 Ibid., Pasal 69, 86, 89, 93 (2), dan 95. Ibid., Pasal 53 jo penjelasan Pasal 53. 9 Harry Purwanto, Rute Penerbangan Di Atas Alur Laut Kepulauan ………. 1) Permintaan jasa angkutan udara; 2) Terpenuhinya persyaratan teknis operasi penerbangan; 3) Fasilitas Bandar udara yang sesuai dengan ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan; 4) Terlayaninya semua daerah yang memiliki Bandar udara; 5) Pusat kegiatan operasi penerbangan masing-masing badan usaha angkutan udara niaga berjadual; dan 6) Keterpaduan rute dalam negeri dan luar negeri. Sedangkan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam penetapan jaringan dan rute penerbangan luar negeri antara lain: 1) Kepentingan nasional; 2) Permintaan jasa angkutan udara; 3) Pengembangan pariwisata; 4) Potensi industri dan perdagangan; 5) Potensi ekonomi daerah; 6) Keterpaduan intra dan antarmode. Pengendalian Ruang Udara dalam kaitannya dengan keselamatan penerbangan 1. Pengaturan Flight Information Region Wilayah Indonesia Dalam dunia penerbangan dikenal adanya Flight information Region (FIR) dan juga Upper Flight Information Region (UIR)22. FIR dan UIR merupakan wilayah yang penetapannya tidak berda- sarkan wilayah territorial, tetapi ditetapkan untuk kepentingan dan pertimbangan keselamatan penerbangan (safety consideration). FIR dan UIR merupakan wilayah untuk keperluan operasi penerbangan dan merupakan media ruang gerak yang didasarkan pertimbangan keselamatan penerbangan.23 Maksud diadakannya pembagian FIR dan UIR ialah untuk memberikan pelayanan bagi lalu lintas penerbangan di udara agar dapat menjamin keselamatan penerbangan itu sendiri seperti yang dimaksud dengan air traffic control service. Sedangkan pembagian wilayah nasional dengan batasnya yang jelas memang mempunyai pertimbangan tersendiri yakni sebagai salah satu unsur konstitusi untuk adanya negara, dan juga untuk kepentingan keamanan negara itu sendiri yang memang sudah menjadi haknya.24 Dasar pertimbangan yang berbeda dalam penetapan FIR dan UIR dengan penetapan batas wilayah udara suatu negara menyebabkan batas FIR dan UIR tidak selalu sama dengan batas wilayah negara. Perbedaan batas tersebut seringkali menimbulkan masalah, karena satu sisi mendasarkan keselamatan penerbangan (safety consideration) dan di pihak lain mendasarkan kepada pertahanan dan keamanan negara (security consideration). Dalam penetapan FIR ada beberapa yang harus dipertimbangkan, antara lain:25 22 FIR dimaksudkan untuk memberrikan pelayanan bagi penerbangan yang terjadi sampai jarak ketinggian 20.000 kaki. Sedangkan, UIR dimaksudkan untuk memberikan pelayanan bagi penerbangan yang terajdi sampai jarak ketinggian di atas 20.000 kaki. Tujuan dari adanya pembagian yang demikian tidak lain demi menjamin keselamatan penerbangan, baik terhadap penerbangan pesawat udara sipil maupun pesawat udara militer. 23 IGN. Maryanto, “Konsepsi Penataan Ruang Udara FIR Indonesia Dalam Rangka mendukung Tugas TNI AU pada masa Mendatang”, Kertas karya Perorangan Sastra Jaya, Sekolah Staf dan Komando TNI AU, 2003, 17. 24 Frans Likadja, Loc. Cit., hal.32 25 Maryanto, Op. Cit., hal.17-21. 10 Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 1-17 a. Organisasi ruang udara. Untuk memudahkan pelayanan navigasi udara di seluruh wilayah FIR Indonesia yang sangat luas, ditinjau dari sifatnya ruang udara dibagi menjadi dua bagian yaitu wilayah udara terkontrol (controlled airspaces)26, dan wilayah udara tak terkontrol (uncontrolled airspace)27. b. Jalur Penerbangan (air ways)28. Ditujukan untuk menampung arus lalu lintas udara agar aman, lancer, teratur dan efisien. Di samping itu jalur penerbangan juga digunakan untuk memisahkan penerbangan domestik dan internasional dan biasanya tidak melewati obyek vital nasional. Bagi Pemerintah Indonesia, dalam melaksanakan penataan ruang udara perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:29 1. manajemen lalu lintas udara, meliputi aspek kewilayahan, kepadatan lalu lintas udara, kompleksitas lalu lintas udara, dan effisiensi; 2. klasifikasi ruang udara. Sesuai dengan Annex 11, pelayanan pemanduan lalu lintas udara harus sesuai dengan klasifikasi ruang udara yang terbagi dalam beberapa kelas30; 3. pembagian ruang udara. Secara teknis ruang udara dibagi menjadi bagian atas dan bagian bawah31. Pertimbangan penataan wilayah udara suatu negara harus sesuai dengan ketentuan Hukum Internasional, dalam hal ini Annex 11. Penetapan tersebut harus diplubikasikan keseluruh dunia agar dimengerti oleh penerbangan yang akan melintas suatu negara baik penerbangan domestik maupun penerbangan internasional. 26 30 Suatu wilayah udara di mana pesawat yang beroperasi di dalamnyya mendapatkan air traffic control service yang meliputi, Control Area, Terminal Control Area (TMA), Control Zone (CTZ), dan Aerodrome Traffic Zone (ATZ). 27 Suatu wilayah udara di mana pesawat udara yang beroperasi di dalamnya hanya mendapatkan information service dan alerting service saja, meliputi; a). Flight Information Region (FIR), baik yang nasional maupun internasional. FIR merupakan daerah-daerah tertentu, dalam ketinggian sampai 20.000 kaki di atas permukaan bumi yang di dalamnya diselenggarakan pelayanan informasi penerbangan dan kesiapsiagaan. FIR ditentukan oleh ICAO demi keselamatan dan keamanan penerbangan sipil.; b). Upper Flight Infirmation Region (UIR), adalah suatu ruang udara dengan batas-batas tertentu (di atas 20.000 kaki dari permukaan bumi) yang terletak di atas ruang udara FIR dengan batas bawah berhimpitan dengan batas atas ruang udara FIR. UIR terdapat yang bersifat nasional dan internasional, sebab UIR dibentuk semata-mata untuk menampung pesawat udara yang terbang dengan ketinggian tertentu. 28 Air Ways ini dapat bersifat One way track, Two ways track, atau Special way (seperti route RVSM (reduced vertical separation minima). flax track atau flexibility track). 29 Ibid., hal. 27-29. Kelas A. diperuntukkan bagi penerbangan yang berstatus IFR; Kelas B diperuntukkan baik untuk penerbangan IFR dan VFR; Kelas C diizinkan untuk penerbangan IFR dan FVR yang mengandung pengertian positive control dan information; Kelas D. Diizinkan untuk penerbangan IFR dan VFR yang mengandung pengertian positive control, information dan sudjestcent dari keduanya; Kelas E. Diperuntukkan untuk penerbangan IFR dan VFR yang mengandung pengertian positive control untuk IFR dan waspada terhadap VFR; Kelas F. Diperuntukkan bagi penerbangan IFR dan VFR dan hanya mendapatkan informasi saja Kelas G. diperuntukkan bagi penerbangan IFR dan VFR dan hanya mendapatkan informasi saja. 31 Ruang udara bawah, dimulai dari batas tanah atau air sampai ketinggian FL 245 yang terdiri atas: lower airspace. Terdiri dari empat FIR yaitu Jakarta FIR, Bali FIR, Makasar FIR dan Biak FIR; dan airspace sector. Ruang udara atas, dimulai dari ketinggian FL 245 sampai tidak terhingga. Terdiri pertama upper airspace yang dipakai menjadi dua UIR yaitu Jakarta dan Makassar. Kedua upper control airspace (ketinggian FL245-FL460) terdapat 4 yaitu Medan UTA, Jakarta UTA, Bali UTA dan Makasar UTA. 11 Harry Purwanto, Rute Penerbangan Di Atas Alur Laut Kepulauan ………. Pada awalnya pembagian wilayah udara Indonesia menjadi 4 FIR yaitu Jakarata, Bali, Ujung Pandang, Biak dan telah direvisi menjadi 2 FIR yaitu FIR Jakarta dan FIR Ujung Pandang. Maksud perubahan pembagian FIR untuk meningkatkan efisiensi dan lebih menjamin keselamatan penerbangan. Dengan pembagian FIR yang lebih terpusat akan mempermudah koordinasi dan mengurangi dampak kerawanan pelayanan lalu lintas udara. Dalam mempersiapkan perubahan tersebut telah dilaksanakan studi oleh Sofrey Avia dari Perancis pada tahun 1995 yang dituangkan dalam Air Traffic Master Plan.32 Perubahan wilayah FIR tersebut memerlukan biaya yang sangat besar, serta proses yang cukup panjang. 2. Pendelegasian Pengelolaan Flight Information Region kepada Singapura a. Sejarah singkat pendelegasian. Pendelegasian wilayah udara Indonesia kepada negara lain, pada awalnya dimulai sewaktu dilaksanakan Regional Aviation Meeting I yang diselenggarakan di Honolulu pada tahun 1973. Dalam pertemuan tersebut diputuskan bahwa ruang udara di atas kepulauan Natuna dan Riau termasuk dalam FIR Singapura dan untuk pengelolaannya di atas ketinggian 20.000 kaki dikendalikan oleh Malaysia. Setelah disahkannya UNCLOS 1982, Indonesia diakui sebagai negara kepulauan, sehingga Natuna dan Riau 32 Kerawanan yang dimaksud adalah dengan semakin banyaknya pembagian wilayah FIR maka menyebabkan terjadinya kekosongan pelayanan lalu lintas udara terutama sewaktu-waktu melaksanakan penerbangan di wilayah peralihan dari satu FIR ke FIR lainnya, Hal ini banyak menimbulkan protes oleh maskapai penerbangan khususnya maskapai penerbangan dari luar negeri. Keadaan ini akan mempengaruhi citra pelayanan lalu lintas udara Indonesia menjadi tidak baik termasuk wilayah territorial Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara pantai, khususnya Indonesia mempunyai kedaulatan atas wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial. Kedaulatan itu meliputi ruang udara di atasnya33. b. Perjanjian Flight Information Region antara Indonesia dengan Singapura. Sebagaimana disinggung sebelum ini bahwa dalam rangka keselamatan penerbangan negara dapat melakukan kerjasama dengan negara lain dalam pengaturan lalu lintas penerbangan. Pada Bab 2 Annex 11 Konvensi Chicago 1944 ditentukan bahwa pendelegasian ruang udara kepada negara lain tidak menyebabkan terganggunya kedaulatan negara yang mendelegasikan. Di dalam pendelegasian tersebut dibutuhkan suatu nota kesepakan (perjanjian internasional) antara kedua belah pihak yang berisi persyaratan-persyaratan tentang pelayanan yang mencakup fasilitas dan tingkat pelayanan yang akan diberikan. Pada pertemuan Regional Air Navigation (RAN) kedua di Singapura tahun 1983, Indonesia berupaya mengubah hasil kesepakatan yang telah diputuskan pada RAN pertama, akan tetapi tidak berhasil karena keberatan Indonesia tidak diterima oleh Negara lain. Pada RAN III di Bangkok, Indonesia membuat suatu proposal tentang pengembangan pelayanan navigasi penerbangan di atas kepulauan Natuna dan membuat Working Paper (WP) Nomor 55 tentang kegiatan yang akan direncanakan untuk dilaksanakan di atas kepulauan Natuna dan akan meninjau ulang batas FIR. Pertemuan tersebut menyepakati bahwa WP Nomor 55 dapat diterima, namun dengan adanya 33 Pasal 2 ayat 1 – 3 UNCLOS. 12 Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 1-17 counter paper oleh Singapura, maka ICAO menyarankan agar dibicarakan secara bilateral antara Singapura dan Indonesia.34 Indonesia dan Singapura telah sepakat menandatangani Agreement Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the republic of Singapore on the Realignment of the Boundary between the Singapore Flight Information Region and the Jakarta Flight Information Region. Penandatanganan dilakukan oleh Menteri Perhubungan RI dan Menteri Perhubungan Singapura pada tangggal 21 September 1995 di Singapura35. Hal-hal pokok yang dicakup dalam perjanjian antara Indonesia dan Singapura adalah:36 a. dasar penetapan batas yang diperjanjikan sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982; b. ruang udara di atas kepulauan Natuna diberi sebutan sektor A, sektor B dan sektor C; c. Indonesia mendelegasikan tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi penerbangan di wilayah sektor A kepada Singapura dari permukaan 34 Dewan Penerbangan dan Antariksa Republik Indonesia, Flight Information Region, Makalah Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua, Jakarta, 22-23 Desember, 2003, hal. 5. 35 Perjanjian antara Indonesia dengan Singapura ini yang telah disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 7 tahun 1996 tanggal 2 Februari 1996. Perjanjian FIR antara Indonesia dan Singapura, berakhir setelah lima tahun sejak ditandatanganinya, sehingga perjanjian antara Indonesia dan Singapura mengenai batas FIR telah berakhir pada tanggal 21 september 2000. Perjanjian tersebut belum ditinjau kembali disebabkan adanya keberatan yang diajukan Malaysia, namun perjanjian tersebut tetap dilaksanakan oleh kedua negara. 36 Ibid, hal. 5-6. laut sampai dengan ketinggian 37.000 kaki; d. Indonesia mendelegasikan tanggung jawab pemberian pelayanan navigasi penerbangan di wilayah sektor B kepada Singapura dari permukaan laut sampai dengan ketinggian tidak terhingga (unlimited hight); e. Sektor C tidak termasuk didalam perjanjian tersebut, namun perlu dicatat bahwa penyelesaian pengaturan lalu lintas penerbangan di sektor C harus diselesaikan antar Indonesia, Singapura dan Malaysia; dan f. Atas nama Indonesia, singapura memungut jasa pelayanan navigasi penerbangan atau Routes Air Navigasi Services (RANS) Charges di wilayah yurisdiksi Indonesia. Khususnya pada sektor A yang telah didelgasikan tanggungjawab pemberian layanan navigasi penerbangan kepada Singapura, selanjutnya hasil yang terkumpul akan diserahkan kepada Pemerintah Indonesia melalui PT. (Persero) Angkasa Pura II, sedangkan Sektor B masih merupakan permasalahan yang harus dibahas antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia. Sebagai tindak lanjut terhadap perjanjian antara Indonesia dan Singapura pada tanggal 10 Mei 1996 kedua negara membuat surat bersama (joint letter) yang ditujukan kepada ICAO Regional Office di Bangkok. Surat tersebut menyampaikan perjanjian antara kedua negara dengan permohonan untuk mendapatkan pengesahan dari ICAO. Dengan telah disepakatinya perjanjian mengenai batas FIR antara Indonesia dan Singapura, Malaysia menganggap 13 Harry Purwanto, Rute Penerbangan Di Atas Alur Laut Kepulauan ………. bahwa hak akses dan komunikasi37 yang telah diberikan Pemerintah Indonesia kepada Malaysia terganggu. Sehingga Malaysia selalu mengajukan keberatan terhadap perjanjian tentang pengaturan kembali batas FIR Jakarta dan FIR Singapura yang telah disepakati oleh Indonesia dan Singapura. 3. Persoalan Kedaulatan Terkait dengan FIR Wilayah Udara Indonesia Sebagaimana dijelaskan sebelum ini, bahwa penetapan FIR dan UIR tidak berdasarkan wilayah/teritorial suatu negara, namun semata-mata guna keperluan operasi penerbangan dan merupakan media ruang gerak yang didasarkan pada pertimbangan keselamatan penerbangan. Sehingga walaupun untuk wilayah ruang udara di atas Natuna dan Kepulauan Riau masuk dalam FIR dan UIR yang dikuasai Singapura dan Malaysia, tidak berarti wilayah tersebut berada di bawah kedaulatan negara tersebut. Permasalahan pengaturan FIR yang melampaui wilayah kedaulatan suatu negara juga terjadi antara negara Yunani dan Turki. FIR Athena Yunani meliputi seluruh wilayah udara negara Yunani ditambah bagian-bagian terpencar yang termasuk wilayah udara internasional. Semua pesawat yang mempergunakan FIR yang dikelola Yunani, harus 37 Hak akses dan komunikasi tersebut didasarkan pada perjanjian antara Indonesia dan Malaysia tentang Rejim Hukum Negara Nusantara dan hakhak Malaysia di Laut Teritorial dan Perairan Nusantara dan Wilayah Republik Indonesia yang terletak di antara Malaysia Timur dan Malaysia Barat yang ditanda tangani pada tanggal 25 Februari 1982.37 Perjanjian tersebut telah diratifikasi oleh Undang-undang RI Nomor I tahun 1983. Dalam perjanjian tersebut Indonesia memberikan hak akses dan komunikasi kepada Malaysia di laut territorial, perairan Nusantara dan udara di atasnya di wilayah antara Malaysia Timur dan Malaysia Barat. mengikuti prosedur yang telah ditetapkan. Ketentuan-ketentuan ini juga diterapkan terhadap pesawat militer baik yang melaksnakan penerbangan menggunakan jalur udara melalui jalur udara internasional atau dalam misi-misi operasi seperti pengintaian, latihan manuver udara, maupun kegiatan penerbangan lainnya. Wilayah ini menjadi tanggungjawab FIR Athena yang bertugas untuk memberikan informasi penerbangan dan cuaca di wilayah tersebut. Apabila batas wilayah tersebut ditarik beberapa mil kebarat maka secara geografis daerah itu merupakan wilayah Turki. Hal ini mengakibatkan saat pesawat udara militer Yunani melaksanakan penerbangan di atas ruang udara negaranya harus tunduk pada peraturan lalu lintas udara yang diselenggarakan oleh Turki38. Praktek yang dilaksanakan oleh Angkatan Udara Amerika dalam melaksanakan penerbangan dalam suatu FIR negara lain berbeda denga praktek negara-negara lainnya. Karena FIR hanya merupakan persoalan penetapan mengenai keselamatan penerbangan, pesawat militer Amerika Serikat dalam melaksanakan penerbangan internasional dapat mengikuti prosedur-penerbangan yang telah ditentukan oleh ICAO dan menggunakan pelayanan FIR. Ketentuan ini tidak mengurangi hak kebebasan Amerika Serikat. Perkecualian terhadap ketentuan ini diberikan pesawat militer yang melaksanakan operasi militer yang penting, penerbangan yang diklasifikasikan mempunyai misi politik yang sensitif, dan penerbangan operasi pengangkutan rutin serta kegiatan latihan lainnya. Apabila pesawat militer Amerika 38 Http:/www.haf.gr/gea_uk/status1uk.htm, FIRAthens,diakses pada 4 Agustus 2010 14 Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 1-17 Serikat tidak mengikuti prosedur penerbangan yang telah ditentukan oleh ICAO, maka mereka harus melaksanakan penerbangan dengan prinsip due regard39 untuk menjamin keselamatan penerbangan sipil.40 Beberapa negara mengakui keharusan bahwa seluruh pesawat militer yang melaksanakan penerbangan di ruang udara internasional yang dikendalikan suatu FIR harus mematuhi prosedur yang telah ditentukan dalam FIR.41 Dengan adanya pengaturan suatu wilayah udara oleh negara lain, pesawat militer yang melaksanakan kegiatan penerbangan harus melaporkan ke badan pelayanan lalu lintas udara negara yang mengelolanya. Jika kondisi ini dikaitkan dengan strategi militer maka akan menjadi sangat merugikan karena seharusnya pergerakan militer itu mengandung unsur kesiapsiagaan, kerahasiaan dan pendadakan. Dalam pasal 5 perjanjian penataan FIR Jakarta dan FIR Singapura ditentukan bahwa apabila Pemerintah Indonesia bermaksud melaksanakan kegiatan misalnya operasi pertolongan dan 39 Istilah due merupakan sebuah kata sifat dan dapat diinterpretasi sebagai sebuah hak yang tidak dapat dipisahkan. Konotasi lain dari istilah due dapat ditemukan dalam istilah sinonim appropriate atau rightful yang artinya cocok atau lebih legalistic sama atau berhak atas. Secara sintaksis, maka istilah regard berarti perhatian, dengan sungguh-sungguh atau rasa perhatian. 39 Prinsip due regard dapat juga diartikan menghormati. Sehingga pesawat udara Negara tidak ada kewajiban untuk mematuhi ketentuan konvensi Chicago. Makna menghormati bertujuan untuk menjamin keselamatan penerbanngan sipil, sehingga pesawat udara militer tidak wajib mengikuti peraturan pelayanan lalu lintas udara setempat yang mengatur penerbangan pesawat udara sipil. 40 Sebagaimana dikutip oleh Yuwono Agung Nugroho, dalam Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia, Bumi Intiutama Sejahtera, Jakarta, 2006, hal. 140, dari The Judge Advocate, Air Force, page 13-14 41 Ibid latihan militer yang akan mempengaruhi para pengguna ruang udara yang telah didelegasikan ke Singapura, maka Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Indonesia akan memberitahukan kepada Badan Penerbangan Sipil Singapura atas kegiatan tersebut sesuai dengan ketentuan ICAO. Selanjutnya Badan Penerbangan Sipil Singapura akan memberitahukan kepada seluruh penerbangan sipil internasional mengenai kegiatan tersebut sesuai ketentuan ICAO. Dengan demikian, atas ruang udara tersebut Pemerintah Indonesia tidak mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh. Indonesia tidak bebas menggunakan ruang udara untuk kepentingan militernya. Kedaulatan Indonesia atas ruang udaranya yang utuh dan penuh, dikaitkan dengan ruang udara yang telah didelegasikan pengendaliannya kepada Singapura telah dibatasi dengan ketentuan Pasal 5 perjanjian tersebut. Penerbangan yang dilaksanakan pesawat militer (pesawat TNI angkatan Udara) tidak selamanya mengikuti jalur udara yang telah ditetapkan, terutama di masa perang. Dalam situasi damai pesawat militer yang melaksanakan tugasnya baik didalam ruang udara terkendali maupun tidak terkendali diwajibkan untuk mengikuti pengaturan lalu lintas udara setempat. Penyusunan jalur udara berdasarkan rute yang hendak ditempuh dengan memperhatikan fasilitas komunikasi, navigasi, dan surveillance yang ada terpasang disepanjang rute yang akan dilalui. Indonesia memiliki lebih kurang 27 buah internasional airways di samping 53 buah domestic airways. Dengan banyaknya jalur udara yang ada menyebabkan hampir semua penerbangan yang dilaksanakan pesawat TNI Angkatan Udara melalui jalur udara yang telah 15 Harry Purwanto, Rute Penerbangan Di Atas Alur Laut Kepulauan ………. ditetapkan sehingga pesawat tersebut harus tunduk pada ketentuan pelayanan lalu lintas udara setempat. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut, bahwa penetapan alur laut kepulauan oleh negara kepulauan tidak serta merta negara yang bersangkutan telah menetapkan rute udara di atas alur laut kepulauan. Karena masalah penerbangan merupakan bagian dari hukum udara, sehingga dalam aktivitas penerbangan termasuk penetapan rute penerbangan harus mendapatkan persetujuan dari ICAO. Khususnya Pemerintah Indonesia walaupun telah menetapkan ALKI dan telah disetujui oleh IMO, namun belum berarti telah ada rute penerbangan di atas ALKI. Banyak faktor yang harus dipertimbangakan dalam penetapan rute penerbangan di atas ALKI, seperti telah padatnya jalur penerbangan sipil, rasio belokan bagi rute penerbangan bila disejajarkan dengan ALKI, keselamatan penerbangan, keamanan negara. Bahwa dalam rangka menjaga keselamatan penerbangan, upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah melakukan pegaturan pemanfaatan wilayah udara, melakukan pengawasan terhadap aktivitas penerbangan, dan melakukan pengendalian wilayah udara Indonesia. Dalam rangka pengendalian wilayah udara nasional, Pemerintah Indonesia melakukan kerjasama dengan Singapura dan Malaysia. Saran Hendaknya Pemerintah Indonesia apabila akan menetapkan rute udara di atas ALKI dilakukan penelitian yang cermat, jangan sampai mengganggu jaringan dan rute bagi penerbangan sipil. Hendaknya segera mempersiapkan sarana dan prasarana guna melakukan pengendalian sendiri atas ruang udara yang selama ini di bawah pengendalian Singapura dan Malaysia. Daftar Bacaan Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation, Paris, October 13, 1919 (Konvensi paris 1919). Convention on Internatioal Civil Aviation On International Civil Aviation, Sevent Edition – July 1981. United Nations Convention On The Law Of the Sea 1982, Montego Bay, Jamaica, December 10, 1982 (UNCLOS). Undang Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of the Sea 1982 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4210) 16 Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 1-17 Abdurrasyid, Priyatna, 2003, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, PT Fikahati Aneska bekerjasama dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Jakarta. --------, Meninjau Kasus Bawean dari Perspektif Hukum Udara, Makalah Seminar di TNI Aangkatan Udara, 8 Desember 2003. Agoes, Etty R, 1991, Konvensi Hukum Laut 1982, Malasah Pengaturan Hak Lintas Kapal Asing, Abardin. Dewan Penerbangan dan Antariksa Republik Indonesia, Flight Information Region, Makalah Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua, Jakarta, 22-23 Desember 2003. Hailbronner, Kay, “Freedom of the Air and the Convention on the Law of the Sea”, American Journal of International Law, Vol. 77, No. 3, July 1983. Johnson, 1965, Rights in Air Space, Manchester University Press USA. Kusumatmadja, Mochtar, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung. Martono, K., 1995, Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional, Bandung: Mandar Maju. Maryanto, IGN., 2003, “Konsepsi Penataan Ruang Udara FIR Indonesia Dalam Rangka mendukung Tugas TNI AU pada masa Mendatang”, Kertas Karya Perorangan Sastra Jaya, Sekolah Staf dan Komando TNI AU. Muhdjiddin, Atje Miscbach, 1993, Status Hukum Perairan Kepulauan Indonesia dan Hak Lintas Kapal Asing, Alumni, Bandung. Nugroho, Yuwono Agung, 2006, Kedaulatan Wilayah Udara Indonesia, Bumi Intiutama Sejahtera, Jakarta. Shawcross and Beaumont, 1988, Air law, Fourth Edition Volume I General Text, London: Butterworths. Starke, 1989, Introduction to International Law, London butterworths, London. Wassenbergh, G.A., 1957, Post-War International Civil Aviation Policy and The Law of The Air, The Hague Martinus Nijhoff. Http:/www.haf.gr/gea_uk/status1uk.htm, FIR-Athens,diakses pada 4 Agustus 2010 17