IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT (Studi Kasus Wilayah Laut Marunda Jakarta Utara) SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik Program Studi Ilmu Administrasi Negara Oleh SEPTI ROSMALIA NIM 6661110907 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA SERANG, Juni 2015 ABSTRAK SEPTI ROSMALIA. NIM 6661110907. 2015. Skripsi. Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Studi kasus: wilayah laut Marunda Jakarta Utara). Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Pembimbing I : Leo Agustino Ph.D. dan Pembimbing II : Deden M.Haris M.Si Kata Kunci: Kebijakan, Implementasi, Pengendalian Pencemaran Laut Laut mempunyai arti penting bagi kehidupan makhluk hidup seperti manusia, juga ikan, tumbuh-tumbuhan dan biota laut lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor kelautan mempunyai potensi yang sangat besar untuk dapat ikut mendorong pembangunan di masa kini maupun masa depan. Oleh karena itu, wilayah laut yang merupakan salah satu potensi sumber daya alam yang sangat perlu untuk dilindungi dari berbagai pencemaran/perusakan.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Studi Kasus:wilayah laut Marunda Jakarta Utara). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Untuk keperluan analisis data peneliti menggunakan analisis data interaktif Prasetya Irawan (2006:19) dengan uji validitas triangulasi data. Hasil penelitian bahwa Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Laut (Studi kasus: wilayah Laut Marunda Jakarta Utara) belum optimal. Hal tersebut dikarenakan tingkat kepatuhan pada kebijakan masih rendah dan rendahnya partisipasi masyarakat serta fungsi koordinasi, pengawasan dan upaya rehabilitasi yang belum optimal. Untuk meningkatkan optimalisasi, perlu kepatuhan pada prosedur secara terpadu semua sektor dan penguatan kelembagaan dengan menambah SDM untuk melakukan pengawasan serta peran aktif dari masyarakat melalui pengawasan sosial seperti pengaduan,pemberian informasi atau laporan. ABSTRACT SEPTI ROSMALIA. NIM 6661110907. 2015. Thesis. Implementation of Government Regulation No. 19 of 1999 on pollution control and / or destruction of the Sea (Case study: the area of North Jakarta Marunda sea). Department of Public Administration. Faculty of Social Science and Political Science. Sultan Agung University Tirtayasa. Preceptor I: Leo Agustino Ph.D. and Preceptor II : Deden M.Haris M.Si Keywords:Policy, Implementation, Marine Pollution Control Sea is of significant importance for the survival of living beings such as humans, as well as fish, plants and other marine biota. This shows that the marine sector has a huge potential to help drive development in the present and the future. Therefore, the sea area is one of the natural resources that are essential to protection from various pollution / perusakan.Penelitian aims to determine the implementation of the Indonesian Government Regulation Number 19 of 1999 concerning Pollution Control and / or destruction of the Sea (Case Study : Marunda area of North Jakarta sea). This study uses qualitative data collection techniques used were interviews, observation and documentation study. For the purposes of data analysis the researchers use interactive data analysis Prasetya Irawan (2006: 19) to test the validity of data triangulation. Results of the study that the implementation of the Indonesian Government Regulation Number 19 of 1999 on Marine Pollution Control (Case Study: Sea region Marunda North Jakarta) has not been optimal. That is because the level of compliance with the policy is still low and low community participation as well as the functions of coordination, supervision and rehabilitation efforts are not optimal. To improve the optimization, it is necessary adherence to the procedures in an integrated manner all sectors and institutional strengthening by adding human resources to conduct surveillance and active participation of the community through social control such as a complaint, information or statements. ‘’Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: 'Lakukanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)" (Ar-Rum 41-42)’’ Skripsi ini ku persembahkan untuk Bapak dan Mama ku tercinta dan keluarga ku..Mbak Ifath, Mas Okto dan Yudi KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkah dan inayah-Nya, Alhamdulilah penulis dapat menyelesaikan skripsi tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau perusakan laut (Studi kasus wilayah Laut Marunda Jakarta Utara). Puji syukur yang tak terhingga ini belum sebanding dengan nikmat yang telah kita terima sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk ciptaan-Nya. Ucapan Terimakasih penulis sampaikan kepada pihak yang telah memberikan pengajaran, bantuan, serta dorongan dalam upaya menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis sampaikan rasa Terima kasih kepada : 1. Bapak Prof.DR.H.Sholeh Hidayat, M.pd Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 2. Bapak Dr.Agus Sjafari S.Sos M.Si Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 3. Bapak Kandung Sapto Nugroho S.Sos M.si wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 4. Ibu Mia Dwianna S.Sos M.Ikom wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 5. Bapak Ismanto.S.Sos MM. Selaku wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 6. Ibu Rahmawati S.Sos M.Si Ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 7. Bapak Leo Agustino Ph.D Dosen Pembimbing 1 skripsi. Terima kasih dengan sangat atas bimbingan dan motivasi selama proses penyusunan skripsi. 8. Bapak Deden M. Haris M.Si. Dosen Pembimbing II skripsi. Terima kasih dengan sangat atas bimbingan dan motivasi selama proses penyusunan skripsi. 9. Semua dosen dan staff Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 10.Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara, terutama Ibu MG Evy Subid.Pengawasan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Terima kasih telah membantu penulis dalam memberikan data penyusunan skripsi ini. 11.Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara, terumata Seksi.Perikanan dan Kelautan. Terima kasih telah membantu penulis dalam memberikan data penyusunan skripsi ini. 12.Kesbangpol Jakarta Utara, terutama Ibu Nadia. Terima Kasih sudah membantu penulis dalam izin rekomendasi penelitian. 13.WALHI, KIARA dan LSM Lingkungan Hidup yang lain yang turut membantu penulis dalam memberikan data penyusunan skripsi ini. 14. Para nelayan, Industri dan masyarakat pesisir laut Marunda, Terima kasih selama ini yang turut membantu dan memberikan pengetahuan selama penulis menyusun skripsi ini. 15. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta. Terima kasih telah membantu penulis dalam memberikan data penyusunan skripsi ini. 16. Terima kasih kepada kedua orang tua ku tercinta dan kakak adik ku yang senantiasa memberikan doa dan semangatnya yang tak pernah putus selama ini. 17. Terima kasih kepada Ahmad Ibrahim Hardianto, Ryan Chandra Ardyanto, atas bantuan dan semangatnya. Anak-anak kosan Bu Nining Blok A2 No.13 serta sahabat dan teman-teman Administrasi Negara 2011 khususnya Reguler kelas A atas dukungan dan motivasinya. Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan-kekurangan sehingga penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Serang, 2015 Penulis DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN ORISIONALITAS LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR........................................................................... DAFTAR ISI.......................................................................................... DAFTAR TABEL.................................................................................. DAFTAR GAMBAR............................................................................. DAFTAR LAMPIRAN......................................................................... BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah................................................................ 1 1.2 Identifikasi Masalah...................................................................... 17 1.3 Batasan Masalah........................................................................... 17 1.4 Rumusan Masalah......................................................................... 18 1.5 Tujuan Penelitian........................................................................... 18 1.6 Manfaat Penelitian......................................................................... 18 1.7 Sistematika Penulisan.................................................................... 21 BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN 2.1 Landasan Teori..................................................................... 22 2.1.1 Definisi Kebijakan........................................................ 24 2.1.2 Definisi Publik.............................................................. 26 2.1.3 Kebijakan Publik............................................................ 27 2.1.4 Implementasi Kebijakan Publik..................................... 29 2.1.5 Pendekatan Implementasi Kebijakan............................. 31 2.1.6 Model Implementasi Kebijakan...................................... 32 2.1.7 Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Laut.............. 41 2.1.8 Deskripsi Kebijakan........................................................ 45 2.2 Penelitian Terdahulu............................................................... 46 2.3 Kerangka Pemikiran............................................................... 51 2.4 Asumsi Dasar.......................................................................... 52 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian.................................................. 53 3.2 Ruang Lingkup/Fokus Penelitian..................................................... 54 3.3 Lokasi Penelitian.............................................................................. 55 3.4 Variabel Penelitian........................................................................... 56 3.5 Instrumen Penelitian......................................................................... 59 3.6 Informan Penelitian.......................................................................... 68 3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data............................................... 70 3.8 Jadwal Penelitian................................................................................ 75 BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian................................................................ 76 4.1.1 Profil Wilayah Kota Administrasi Jakarta Utara.............. ......... 76 4.1.1.2 Potensi Kota Administrasi Jakarta Utara................................. 78 4.1.1.3 Profil Wilayah Kecamatan Cilincing...................................... 80 4.2 Deskripsi Data dan Analisis Data Hasil Penelitian......................... ....... 4.2.1 Implementasi Peraturan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. 84 (Studi kasus: wilayah laut Marunda Jakarta Utara)...................................................................................... .......... 88 4.2.1.2 Tingkat Kepatuhan (Complience)........................................ ........... 89 4.2.1.3 Lancarnya Pelaksanaan Aktivitas Fungsi............................ ........... 101 4.2.1.4 Kinerja dan Dampak yang dikehendaki.......................................... 114 4.3 Pembahasan Hasil Penelitian................................................................ 119 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan........................................................................................... 127 5.2 Saran..................................................................................................... 129 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP DAFTAR TABEL 1.1 Waktu dan lokasi peristiwa kematian masal ikan di Teluk Jakarta..... 4 1.2 Tingkat Pencemaran Teluk Jakarta...................................................... 10 3.4 Pedoman Wawancara Penelitian......................................................... 60 3.6 Deskripsi Informan Penelitian............................................................ 64 3.7 Analisis Data Miles dan Huberman................................................... 66 3.8 Jadwal Penelitian.............................................................................. 75 4.1 Jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin tahun 2013................................................................. 78 4.2 Kepadatan penduduk dan sex ratio menurut kecamatan tahun 2013........ 82 4.3 Jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin tahun 2013..... 83 4.4 Deskripsi Informan Penelitian Setelah Observasi................................ 93 4.5 Rekapan Data Produksi Ikan Tangkap Suku Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan Jakarta Utara................................................................................................... 102 4.6 Hasil Penelitian dan Hambatan............................................................. 129 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Penelitian.................................................... 51 Gambar 3.7 Proses Analisis data Prasetya Irawan...................................... 71 Gambar 4.1 Peta Administrasi Kota Jakarta Utara..................................... 77 Gambar 4.2 Jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin tahun 2013.......................................................................................... 78 Gambar 4.3 Peta wilayah Cilincing Jakarta Utara....................................... 81 Gambar 4.4 Struktur Organisasi Suku Dinas Peternakan,Perikanan dan kelautan JakartaUtara................................................................................ 91 DAFTAR GRAFIK Grafik 4.1......................................................................................................... 77 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Surat Izin Penelitian Lampiran 2 : Dokumentasi Penelitian Lampiran 3 : Pedoman Wawancara Lampiran 4 : Transkrip Data Lampiran 5 : Koding Data Lampiran 6 : Kategorisasi Data Lampiran 7 : Lembar Catatan Bimbingan Skripsi Lampiran 8 : Data-data Dokumen Penelitian Lampiran 9 : Daftar Riwayat Hidup Peneliti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan hidup merupakan komponen penting dalam kehidupan manusia. Salah satu bagian dari lingkungan hidup adalah laut. Laut memiliki peran besar dalam penyediaan sumber daya alam yang tidak terbatas bagi manusia. Pengelolaan sumber daya di laut memberikan manfaat yang besar bagi manusia, namun dalam pengelolaan lingkungan laut tersebut, tentunya memiliki dampak terhadap laut itu sendiri. Memberikan perhatian dalam perlindungan dan pelestarian wilayah lingkungan laut adalah salah satu cara untuk tetap mempertahankan dan melestarikan sumber daya tersebut. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa laut, sumber daya alam dan segala fungsinya dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, perlu diingat bahwa laut dan potensi kekayaan yang ada, jika dikelola dan dimanfaatkan secara tidak bertanggungjawab dan tanpa memperhatikan batas kemampuan alam, maka akan menimbulkan kerusakan pada lingkungan laut. Kehidupan manusia di bumi ini sangat bergantung pada lautan, manusia harus menjaga kebersihan dan kelangsungan kehidupan organisme yang hidup didalamnya. Dengan demikian laut seakan-akan merupakan sabuk pengaman kehidupan manusia di muka bumi ini. Di lain pihak, lautan merupakan tempat pembuangan benda-benda asing dan pengendapan barang sisa yang di produksi oleh manusia. Lautan juga menerima bahan-bahan yang terbawa oleh air dari 1 2 daerah pertanian dan limbah rumah tangga, dari atmosfer, sampah dan bahan buangan dari kapal, tumpahan minyak dari kapal tanker dan pengeboran minyak lepas pantai, dan masih banyak lagi bahan yang terbuang ke lautan. Lautan juga melarutkan dan menyebarkan bahan-bahan tersebut sehingga konsentrasinya menjadi menurun, terutama di daerah laut dalam. Kehidupan laut dalam juga terbukti lebih sedikit terpengaruh daripada laut dangkal. Daerah pantai, terutama daerah muara sungai, sering mengalami pencemaran berat, yang disebabkan karena proses pencemaran yang berjalan sangat lambat. (Darmono 2010:47) Pencemaran adalah salah satu masalah terbesar dalam pelestarian lingkungan laut. Pencemaran laut (perairan pesisir) di definisikan sebagai ‘’dampak negatif’’ (pengaruh yang membahayakan) terhadap kehidupan biota, sumber daya, dan kenyamanan (amenities) ekosistem laut serta kesehatan manusia dan nilai guna lainnya dari ekosistem laut yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh pembuangan bahan-bahan atau limbah (termasuk energi) ke dalam laut yang berasal dari kegiatan manusia (Rokhmin Danuri 2008:109). Pencemaran lingkungan laut semakin banyak mendapat perhatian dari mata dunia internasional maupun nasional. Hal tersebut disebabkan karena dampak yang diakibatkan oleh aktifitas suatu negara dalam melakukan pengelolaan laut mulai mengganggu ketersediaan sumber daya alam tersebut baik bagi negara pantai itu sendiri maupun bagi negara-negara lain dalam hal ini adalah negara tetangga yang bersinggungan garis pantainya. 3 Awalnya pencemaran yang sedikit mungkin tidak akan terlalu menjadi masalah bagi negara maupun negara lain, hal ini dikarenakan laut masih memiliki kemampuan untuk membersihkan dirinya sendiri, dengan tetap mempertahankan fungsi dari laut itu sendiri. Dewasa ini seiring dengan meningkatnya teknologi dan industri membuat pemakaian laut semakin tinggi dan berakibat masuknya zat-zat baru ke dalam laut, ditambah zat-zat yang sebelumnya telah ada mengakibatkan penumpukan yang membuat laut menjadi kotor dan berkurang kualitasnya sehingga berpengaruh kepada daya guna serta fungsi dari laut itu sendiri. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 (0,3 juta km2 perairan teritorial dan 2,8 juta km2 perairan nusantara) atau 62% dari luas teritorialnya. Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati laut terbesar didunia, karena memiliki ekosistem pasir seperti hutan bakau, terumbu karang, padang lamun yang sangat luas dan beragam (Rokhmin Dahuri 2008:1).Kekayaan alam dan keanekaragaman hayati laut tersebut terancam oleh pencemaran laut yang terus meningkat di Indonesia. Pencemaran air merupakan masalah global utama yang membutuhkan evaluasi dan revisi kebijakan sumber daya air pada semua tingkat (dari tingkat internasional hingga sumber air pribadi dan sumur). Beberapa contoh pencemaran laut yang terjadi di Indonesia seperti penangkapan ikan dengan cara pengeboman dan trawl, peluruhan potasium yang dilakukan nelayan asal dalam maupun luar negeri yang selalu meninggalkan kerusakan dan pencemaran di lautan Indonesia. Belum lagi pencemaran minyak dan pembuangan limbah berbahaya jenis lainnya. 4 Komponen-komponen yang menyebabkan pencemaran laut seperti partikel kimia, limbah industri, limbah pertambangan, limbah pertanian dan perumahan, atau penyebaran organisme invasif (asing) di dalam laut yang berpotensi memberi efek berbahaya. Pencemaran laut ini terjadi hampir di seluruh pesisir lautan di Indonesia. Teluk Jakarta salah satu kawasan dengan pencemaran laut yang cukup parah. Warna air laut di teluk ini semakin menghitam dan sampah yang rapat mengambang di permukaan air. Kepala Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara menyebutkan pada wawancara awal dengan peneliti 7 November 2014 pencemaran terjadi dari hulu sampai hilir, hal itu berasal dari limbah domestik dan industri yang dibawa 13 sungai bermuara di sana. Beberapa kejadian kematian masal dari ikan-ikan di Teluk Jakarta belum diketahui penyebab pasti tetapi tidak dipungkiri bahwa kematian masal ikan-ikan berkaitan dengan tidak mencukupinya kadar oksigen terlarut untuk mendukung kehidupan biota perairan lainnya didalam perairan atau keracunan bahan tercemar lainnya. Tabel dibawah ini data, waktu, kondisi, dan lokasi kematian masal ikan di Teluk Jakarta. 5 Tabel 1.1 Waktu dan lokasi peristiwa kematian masal ikan di Teluk Jakarta Tanggal 07 April 2004 Kondisi Air laut berwarna kemerahan 30 November 2004 Air laut tenang (Pasang duduk) dan malamnya terjadi hujan,air berwarna kecoklatan (tingkat kekeruhan cukup tinggi) Air laut keruh 13 April 2005 15 Juni 2005 05 Agustus 2005 Air laut keruh dan pada saat itu terjadi hujan lebat Air laut berwarna coklat kemerahan, dimana sample air laut di pinggir pantai berwarna coklat, di tengah laut berwarna merah 16 Oktober 2005 Air laut keruh, pada sore (15/10) terjadi hujan deras Sumber : BPLHD DKI Mei 2005 Hal 2 Lokasi Pantai Ancol meluas ke P.Nirwana, P.Bidadari, P.Domar, P.Onrus Muara Marina sampai Hotel Horison Hotel Horison, Pantai Festival, Pulau H.Mecure, Pulau Bandar Jakarta, Pantai Karnaval Pantai Marina, Pantai Festival, H.Mecure, Pulau Bandar Jakarta, Pantai Karnaval Pulau Zukung Sekati, P.Panggang, P.Pramuka, P.Karya Pantai Ancol sampai Marunda 24 7 Masalah pencemaran laut kembali terulang dalam perairan wilayah Indonesia. Kasus kebocoran ladang minyak dan gas lepas pantai yang terjadi di Laut Timor pada tanggal 21 Agustus 2009 oleh operator kilang minyak PTT Exploration and Production (PTTEP) Australia merupakan contoh pencemaran lingkungan laut lintas batas yang melibatkan 3 negara, yaitu Indonesia, Timor Leste dan Australia. Kebocoran ladang minyak tersebut mencemari 16.420 kilometer persegi wilayah Indonesia dan mempunyai implikasi pada banyak hal antara lain pencemaran lingkungan laut dan biota laut, kematian terhadap organisme laut dan makhluk hidup lainnya, serta implikasi langsung pada kondisi ekonomi nelayan Indonesia yang mengandalkan penghidupan pada sektor perikanan di daerah tersebut. PTTEP merupakan operator kilang minyak Thailand yang berlokasi di Ladang Montara (The Montara Well Head Paltform) Laut Timor atau 200 km Pantai Kimbrley, Australia. Dari sudut kepentingan Indonesia, tumpahan minyak dengan volume 500.000 liter per hari menimbulkan efek pencemaran yang besar di wilayah perairan Indonesia, terutama di wilayah Kabupaten Rode Ndao dan Kabupaten Sabu Raijua. Perlu diadakan penelitian guna mengetahui pengaruh serta kerugian yang ditimbulkan bencana ini sehingga 8 pemerintah Indonesia dapat mengajukan klaim ganti rugi kepada PTTEP tersebut dengan tetap menjaga komunikasi diplomatik dengan Pemerintah Australia dan Thailand.(Ahdiat 2012:3) Status pencemaran laut di Indonesia, terutama di daerah padat penduduk, kegiatan industri, pertanian intensif dan lalu lintas pelayaran seperti di Teluk Jakarta, Selat Malaka, Semarang, Surabaya, Lhoksumawe dan Balikpapan sudah memprihatinkan. Konsentrasi logam berat Hg di di perairan Teluk Jakarta pada tahun 1977-1978 berkisar antara 0.002-0,35 ppm (BATAN,1979:32). Kemudian pada tahun 1982 tercatat antara 0,005-0,029 ppm (LONLIPI,1983:12). Sementara itu baku mutu lingkungan dalam KEPMEN KLH No.02/1988 adalah sebesar 0,003 ppm1. Dengan demikian kondisi perairan Teluk Jakarta tercemar logam berat. Hal ini terjadi juga parameter BOD (Biological Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), dan kandungan minyak di tiga stasiun pengamatan sekitar perairan Pelabuhan Tanjung Priok, Teluk Jakarta pada bulan Oktober 1992, juga menunjukan status tercemar (PPLH-IPB,1992). Nilai BOD berkisar antara 39-312 ppm dengan baku mutu lebih kecil dari 45 ppm. Nilai COD berkisar antara 419-416 ppm, dengan baku mutu lebih kecil daripada 80 ppm. Sedangkan kandungan minyak dipermukaan perairan berkisar antara 41,5-87,5 ppm, dengan baku mutu lebih kecil dari 5 ppm.(Rokhmin Dahuri,2008:10) Dampak dari pencemaran laut dan limbah telah mengakibatkan penurunan hasil tangkapan nelayan di sejumlah kawasan di Indonesia. Pencemaran perairan mempengaruhi kegiatan perikanan, karena secara tidak langsung mengurangi jumlah populasi, kerusakan habitat dan lingkungan perairan sebagai media hidupnya. Kondisi yang berpengaruh terhadap kegiatan perikanan di antaranya menurunnya kandungan oksigen dalam perairan (anoxic) yang akan menyebabkan pembatasan habitat ikan, khususnya ikan dasar dekat pantai. Eutrofikasi perairan yang menyebabkan pertumbuhan alga yang tidak terkendali (blooming alga), contohnya pada peristiwa red tides yang menimbulkan keracunan pada ikan, dan terakumulasinya limbah logam berat beracun (Hg) akan menimbulkan kematian PPM atau “Part per Million” jika dibahasa Indonesiakan akan menjadi “Bagian per Sejuta Bagian” adalah satuan konsentrasi yang sering dipergunakan dalam di cabang Kimia Analisa. Satuan ini sering digunakan untuk menunjukkan kandungan suatu senyawa dalam suatu larutan misalnya kandungan garam dalam air laut, kandungan polutan dalam sungai, atau biasanya kandungan yodium dalam garam juga dinyatakan dalam ppm. 9 pada ikan. Bila kondisi ini tidak dikendalikan, akan dapat mengurangi potensi sumber daya perikanan. Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi dilapangan bahwa Bpk.Kubil selaku ketua nelayan Marunda menyebutkan dalam wawancaranya pada 13 Desember 2014 bahwa dampak yang kita rasakan hanya menurunnya hasil tangkapan ikan, rajungan dan sebagainya, padahal kalau saja tidak tercemar kita dapat 10-20kg tetapi jika laut dirasa sedang tercemar paling banyak dapat 1kg. Pencemaran limbah ke dalam perairan dapat mempengaruhi keamanan dalam mengkonsumsi ikan dan kerang-kerangan. Masalah ini terjadi, akibat terkontaminasinya limbah rumah tangga yang bersifat patogen dan berbahaya (contohnya tipoid, logam beracun dan pestisida) dengan biota perairan seperti ikan dan kerang. Sektor pariwisata pesisir dan laut Indonesia juga menerima dampak dari pencemaran laut ini. Melihat pencemaran laut di Indonesia yang masih sangat tinggi terutama terjadi di kawasan laut sekitar dekat muara sungai dan kota-kota besar. Maka dibutuhkan suatu alat yang dapat mengontrol pihak yang melakukan pengelolaan lingkungan laut. Antara lain adalah dengan diadakannya suatu perangkat hukum yang isinya mengatur dan membantu pelestarian lingkungan laut tersebut Tingkat pencemaran laut ini telah menjadi ancaman serius bagi laut Indonesia dengan segala potensinya. Pencemaran laut menurut PP No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut dalam pasal 1 adalah masuknya atau 10 dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya. Maka jika telah terjadi pencemaran terhadap laut kebijakan tersebut telah mengatur dari mulai pencegahan, penanggulangan, pengawasan hingga ke pembiayaan. Seperti dalam pasal 16 ayat 1 setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dari /atau perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan atau perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya. Pedoman mengenai penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut yang sebagaimana dimaksudkan ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab. Peraturan tersebut juga menyebutkan setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan laut wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut serta biaya pemulihannya. Jika dilihat dari pasal 25 dijelaskan bahwa tata cara perhitungan biaya atas ganti rugi pencemaran ditetapkan oleh Menteri yang berwenang dalam hal ini kita mengacu pada UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam konteks penegakan hukum harus ditekankan pada pengawasan dan penerapan atau dengan ancaman, penggunaan instrumen administratif, kepidanaan atau keperdataan dicapailah penaatan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku umum dan individual. Tentu hal ini sejalan dengan prinsip undang-undang lingkungan yang mengandung tiga sanksi, yakni administrasi, perdata dan pidana. Permasalahan 11 kemudian sering tindak pidana lingkungan, khususnya yang berhubungan dengan masalah standar baku lingkungan yang sangat minim dalam penegakan hukum selama ini. Pasal 1 butir 13 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) disebutkan bahwa baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Pasal 1 butir 15 juga disebutkan bahwa kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya. Pencemaran laut ini terjadi hampir di seluruh pesisir lautan di Indonesia. Teluk Jakarta salah satu kawasan dengan pencemaran laut yang cukup parah. Warna air laut di teluk ini semakin menghitam dan sampah yang rapat mengambang di permukaan air. Salah satu contoh kasus pencemaran yang cukup memprihatinkan adalah di Utara ibukota Indonesia, yaitu Pantai Utara Jakarta. Wilayah perairan Teluk Jakarta berbentuk semi tertutup, namun kondisi teluk Jakarta saat ini telah menerima beban berat bahan pencemar baik berupa limbah domestik, organik, industri, logam berat maupun tumpahan minyak dari waktu ke waktu membuat khawatir karena limbah yang terdapat di teluk Jakarta telah melewati batas daya dukung Teluk Jakarta. 12 Perairan Teluk Jakarta terletak pada 1060 21'-107o03' BT dan 5 o10'- 6o10' LS dibatasi oleh Tanjung Pasir di sisi barat dan Tanjung Karawang di sisi timur. Teluk ini memiliki luas kawasan laut 514 Km2 dengan panjang garis pantai 76 km, serta ke dalaman rata-rata 18 m. Terdapat 13 sungai (Sungai Angke, Bekasi, Cakung, Cidurian, Ciliwung, Cikarang, Cimancuri, Ciranjang, Cisadane, Citarum, Karawang Krukut dan Sunter) yang bermuara ke Teluk Jakarta dan membawa lebih kurang 1400 m3 /hari limbah padat, di mana 1100 m3 /limbah padat langsung masuk ke teluk ini (Suhendar I.S dan Heru D.W 2007: 3). Tabel 1.2 Tingkat Pencemaran Teluk Jakarta Derajat Pencemaran Tercemar Sangat Ringan Tercemar Ringan Tercemar Sedang Tercemar Berat PERSENTASE INDEKS KEBERAGAMAN (H) 2008 2009 2010 2011 2012 2013 17% 4% 17,4% 37,7% 23% 0% 2014 4% 48% 13% 34,8% 26,1% 27% 4% 22% 39% 29.0% 13,0% 32% 13% 43% 18,8% 23,2% 18% 11,0 % 42,0 % 47% 48% 39% Sumber: BPLHD Provinsi DKI Jakarta (2014) Pada tabel 1.2 tingkat pencemaran di Teluk Jakarta meningkat dari tahun ke tahun pada tahun 2014 wilayah tercemar sebesar 39% sudah tercemar berat. Pada tahun 2013 justru hampir setengah perairan laut tercemar sedang yaitu pada 13 tingkat presentasi 42% dan tidak ada yang tidak tercemar. Kondisi pencemaran Teluk Jakarta ini memberikan dampak negatif untuk lingkungan sekitarnya. Dari segi lingkungan, dampak penurunan kualitas perairan Teluk Jakarta ini telah dirasakan hingga ke perairan Kepulauan Seribu yang berjarak lebih dari 50 km dari Teluk Jakarta. BPLHD Provinsi DKI Jakarta menyebutkan kualitas perairan Teluk Jakarta dirasa sangat buruk terutama pada perairan yang dekat dengan pantai (5 km dari pantai). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti pada 28 September 2014 bahwa mayoritas masyarakat di sekitar Marunda Cilincing adalah nelayan, dengan adanya pencemaran di wilayah laut marunda jumlah tangkapan ikan nelayan semakin berkurang. Akibatnya, menurut salah seorang nelayan bernama Bapak Suparjo para nelayan di sekitar laut marunda jarang melaut karena pencemaran yang tinggi dan sulitnya menangkap ikan, hal ini berdampak pada pemasukan nelayan dan pemenuhan ekonomi nelayan dalam memenuhi kebutuhan hidup yang semakin menurun. Hal ini berpengaruh pada tingkat kemiskinan dan kesejahteraan yang semakin rendah dari tahun ke tahun pada nelayan di sepanjang Teluk Jakarta. Selain itu, dari segi pemenuhan kebutuhan dasar juga sulit dirasak an oleh nelayan. Berdasarkan data yang peneliti dapat dari situs (beritajakarta.com) pada tanggal 14 Juni 2014 bahwa ada lima sentra nelayan yang pada wilayah laut Jakarta sudah tercemar termasuk Marunda, Cilincing, Muarabaru, Angke, dan Kapal muara. Dan ada beberapa kategori pantai yang tak layak dikunjungi sesuai berita yang dilansir (yahoo.com) pada tanggal 26 Mei 14 2014 dari 10 pantai diberbagai negara pantai Marunda masuk dalam kategori pantai yang tak layak kunjung karena kontaminasi sampah dan limbah. Badan Pengelola lingkungan Hidup Jakarta yang dilansir dalam Kompas pada tanggal 11 Mei 2014 menyebutkan kandungan amoniak, merkuri, dan fenol di perairan pantai utara dan sekitarnya telah melebihi ambang batas baku mutu yang ditetapkan Menteri Lingkungan Hidup. Pencemaran air di area teluk Jakarta juga semakin meluas, hal ini dilihat dari kandungan amoniak tertinggi mencapai 1,06 mg sedangkan normalnya untuk biota laut hanya 0,03 mg/1 dan untuk kawasan bahari 0. Kandungan merkuri tertinggi mencapai 0,056 mg dari batas normal baku mutu 0.02/1 untuk wisata bahari dan 0,001 untuk biota laut, kandungan fenol mencapai 0,010 mg/1 padahal batas normalnya untuk biota laut hanya sebesar 0,002 mg ) berdasarkan hasil uji laboratorium BPLHD penyebab kematian ikan-ikan yang merugikan para nelayan ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu fenomena alam pasang merah dan pencemaran limbah industri yang ditandai dengan adanya kandungan amoniak dan fenol yang tinggi. Pengamatan yang dilakukan oleh peneliti di wilayah laut Marunda pada tanggal 28 september 2014 kondisi tanah di Marunda Pulo pada umumnya adalah tanah berwarna hitam yang didominasi oleh pasir laut. Saat ini kondisi tanah mengalami pencemaran yang cukup parah baik yang berada di daratan maupun di perairannya.Hal ini menjadi salah satu sebab rusaknya ekosistem di wilayah ini, misalnya pohon bakau yang tinggal beberapa batang, daratan yang terus-menerus mengalami penurunan permukaannya dan punahnya binatang-binatang yang tinggal di sekitar wilayah ini. 15 Peneliti juga melihat kondisi airnya tidak lebih baik dari daratannya, banyaknya sampah yang mengotori perairan ditambah dengan limbah industri yang berada di wilayah ini mengakibatkan air yang berada di permukaan dan air tanahnya sudah tidak layak untuk kehidupan biota laut. Permasalahan yang terjadi terkait pencemaran diwilayah tersebut sejumlah nelayan di sekitar Cilincing Jakarta Utara, mengeluhkan penurunan hasil tangkapan ikan yang diduga akibat pencemaran. Salah seorang nelayan bermana Bpk.Jumani menyebutkan dalam wawancaranya pada 27 Desember 2014 akibat pencemaran limbah tersebut, ikan, kepiting, udang, dan bahkan kerang hijau yang sengaja dibudidayakan nelayan tidak sedikit yang di temukan mati mengambang. Air laut ketika sedang tercemar berwarna coklat pekat dan pinggiran pantai Marunda Pulo banyak sampah plastik, kayu, dan kertas yang mengapung di laut. Kadar oksigen terlarut (DO) dan (BOD) mengalami penurunan pada saat pasang sedangkan pada waktu surut kadar BOD cenderung meningkat terutama di muara Cilincing, Marunda dan Bekasi. Sementara DO hampir tidak ada perubahan kecuali di beberapa tempat seperti seperti Muara Karang, Angke dan Cengkareng. Secara umum kondisi DO dan BOD di muara sungai sepanjang pantai Teluk Jakarta berada di bawah baku mutu dan tidak layak untuk mendukung kehidupan ikan dan biota laut didalamnya, maka tidak mengherankan dikawasan pantai dalam radius kurang dari 5km sering terjadi kematian ikan massal. Berbagai kasus-kasus pencemaran selama ini tak pernah diselesaikan dengan tuntas, apalagi sampai menyeret pencemarnya secara serius ke pengadilan. Padahal di dalam aturannya Pemerintah Indonesia mengeluarkan suatu aturan 16 dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur pencemaran secara khusus yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. Peraturan tersebut menyatakan bahwa setiap orang, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan pencemaran/kerusakan laut. Selain itu, PP Nomor 19 Tahun 1999 juga mengisyaratkan bahwa setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak hanya wajib melakukan pencegahan terjadinya pencemaran lingkungan, namun wajib pula melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya, melakukan pemulihan mutu laut tersebut. Ketentuan pidana pada UU PPLH merupakan tidak pidana kejahatan, salah satunya tindak pidana baku mutu lingkungan diatur dalam pasal 98 yakni: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). (3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 17 Pasal diatas memberi makna bahwa lingkungan hidup yang ada ini harus dilakukan upaya perlindungan dan pengelolan, dengan memperhatikan batas atau kadar baku mutu lingkungan yang ada, supaya daya dukung lingkungan dan daya tampung lingkungan seimbang, sehingga pada akhirnya tercipta pembangunan berkelanjutan lingkungan hidup dalam menjaga keberlangsungan kehidupan manusia serta makhluk lain. Hal ini dikarenakan berbagai pihak tersebut tidak lepas dari ketidakmampuan dalam mengkoordinasikan pengelolaan terpadu lintas batas (transboundary management). Dengan berbagai persoalan yang terjadi dalam pembahasan sebelumnya yaitu : Pertama terkait dengan kurang optimalnya perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pengendalian laut untuk mempertahankan mutu laut sehingga kerusakan pesisir dan laut semakin meluas akibat rusaknya hutan mangrove, penumpukan sampah limbah rumah tangga dilaut, warna air laut yang berubah karena tercemar. Kerusakan semakin luas, disebabkan laut dan pesisir juga tercemar berbagai limbah seperti limbah organik, limbah anorganik, surfaktan, pestisida, zat kimia beracun, dan sedimentasi. Jumlah dan jenis pencemaran cenderung bertambah. Kawasan pesisir dan laut yang tinggi tingkat kerusakan dan pencemarannya adalah kawasan industri, pelabuhan, dan wisata. Kemudian kedua kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang sehingga memunculkan celah-celah pelanggaran terhadap pencemaran lingkungan hidup. 18 Ketiga lemahnya penegakan hukum dari pihak yang berwenang sehingga dengan tidak tegasnya pemerintah dalam menindak pelaku pengerusakan sumber daya alam menyebabkan pencegahan terhadap kerusakan sumber daya alam sulit dilakukan. Keempat kurangnya sosialisasi kebijakan pengendalian pencemaran yang dilakukan kepada masyarakat. Seperti pelaksanaan edukasi, pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pada hakikatnya sumber daya alam harus dijamin kelestariannya antara lain dengan tetap mempertahankan lingkungan laut, kondisi yang menghubungkan bagi hakikat laut, juga sistem pengelolaan dalam mengupayakan sumber daya alam yang ada. Maka dengan hal itu dengan masalah yang telah diungkapkan dalam latarbelakang diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana ‘’Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut yang terjadi di wilayah laut Marunda Jakarta Utara.’’ 19 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan hasil observasi di lapangan, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Kurang optimalnya perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pengendalian laut untuk mempertahankan mutu laut. Sehingga terjadi penurunan kualitas air laut dari ringan, sedang hingga berat. 2. Kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang dalam mencegah pencemaran dan/atau perusakan laut 3. Lemahnya penegakan hukum atas pelanggaran yang menyebabkan pencemaran laut terus berulang. 4. Kurangnya sosialisasi kebijakan pengendalian pencemaran yang dilakukan kepada masyarakat. Seperti pelaksanaan edukasi, pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. 1.3 Batasan Masalah Penelitian ini hanya dibatasi mengenai implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut di lokasi penelitian kawasan pesisir laut Marunda Jakarta Utara 20 1.4 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan pendahuluan di atas dan dengan memperhatikan fokus penelitian pada batasan masalah, maka hal yang menjadi kajian peneliti yaitu ‘’Bagaimanakah Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut di lokasi penelitian kawasan pesisir laut Marunda Jakarta Utara.’’ 1.5 Tujuan Penelitian Penelitian harus ditentukan tujuan yang ingin dicapai sebab tanpa adanya tujuan yang jelas dan tegas maka seorang peneliti akan mengalami kesulitan. Sesuai dengan latar belakang rumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian yang ada yaitu ‘’Mengetahui Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut di lokasi penelitian kawasan pesisir laut Marunda Jakarta Utara. 1.6 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Secara Teoritis a. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan keilmuan dan pengetahuan, karena akan menambah khasanah keilmuan dan pengetahuan yang terutama berkaitan dengan Implementasi kebijakan publik. 21 b. Selain itu karena penelitian ini tentang Implementasi kebijakan publik maka dapat bermanfaat juga untuk pengembangan ilmu yang berkaitan dengan kebijakan publik khususnya dalam studi penanggulangan pencemaran laut. 2. Secara Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara dan Suku Dinas Peternakan,Pertanian dan Kelautan Jakarta Utara dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi DKI Jakarta dalam memecahkan permasalahan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut. b. Selain itu karya ilmiah ini diharapkan dapat berguna untuk pengembangan kemampuan dan penguasaan ilmu-ilmu yang pernah diperoleh peneliti selama mengikuti program pendidikan di Program Studi Administrasi Negara Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dan juga, karya peneliti ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi tambahan bagi pembaca atau peneliti selanjutnya. 1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan merupakan garis besar penyusunan penelitian ini yang berujuan untuk memudahkan dalam memahami secara keseluruhan isi dari penyusunan penelitian ini. Adapun sistematika penulisan penelitian mengenai “Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. 22 (Studi kasus wilayah Laut Marunda Jakarta Utara)”, tersusun atas sistematika sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1.2. Identifikasi Masalah 1.3. Batasan Masalah 1.4. Rumusan Masalah 1.5. Tujuan Penelitian 1.6. Manfaat Penelitian 1.7.Sistematika Penulisan BAB II DESKRIPSI TEORI 2.1. Deskripsi Teori 2.2. Penelitian Terdahulu 2.3. Kerangka Berpikir 2.4. Asumsi Dasar BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Pendekatan dan Metode Penelitian 3.2. Ruang Lingkup Penelitian 3.3. Lokasi Penelitian 3.4. Instrumen Penelitian 3.5. Informan Penelitian 3.6. Teknik Analisis dan Uji Keabsahan Data 3.7. Jadwal Penelitian 23 BAB IV Hasil Penelitian 4.1 Deskripsi Objek Penelitian 4.2 Deskrpsi Data 4.3 Pembahasan Hasil Penelitian BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan 5.2Saran BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN 2.1 Landasan Teori Teori dalam administrasi/manajemen mempunyai peranan yang sama dengan teori yang ada dalam ilmu fisika, kimia, atau biologi yaitu berfungsi untuk menjelaskan dan panduan dalam penelitian. Seperti yang dikemukakan oleh Hoy & Miskel (dalam Sugiyono 2004:55) Theory in administration, however has the same role as theory in physics, chemistry, or biology that is providing general explanations and guiding research. Selanjutnya di definisikan bahwa teori adalah seperangkat konsep, asumsi, dan generalisasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam berbagai organisasi. Berdasarkan definsi di atas dapat dikemukakan disini bahwa, teori itu berkenaan dengan konsep, asumsi, dan generalisasi yang logis. Teori berfungsi mengungkapkan, menjelaskan dan memprediksi perilaku yang memiliki keteraturan, juga sebagai stimulan dan panduan untuk mengembangkan pengetahuan. Hipotesis itu adalah merupakan pernyataan yang dibangun dengan teori untuk memprediksi hubungan antara konsep dalam suatu sistem. (Sugiyono 2007:56) 23 25 Dalam administrasi atau manajemen, teori secara spesifik berguna untuk menentukan cara atau strategi agar kegiatan administrasi dapat di kelola secara efektif dan efisien. Dengan teori, akan dapat ditemukan cara-cara yang tepat untuk mengelola sumber daya, cara yang termudah dalam mengerjakan pekerjaan, dana yang termurah, untuk membiayai pekerjaan, waktu yang tersingkat untuk melaksanakan pekerjaan, alat yang tepat untuk memperingan beban dan memperpendek jarak dalam melaksanakan pekerjaan. Keterkaitan antara judul dengan kajian Administrasi Negara yaitu Peraturan Pemerintah merupakan suatu kebijakan publik dan administrasi Negara mengkaji salah satu mengenai masalah kebijakan publik karena mempunyai arti penting antara lain membantu para praktisi dalam memecahkan masalah-masalah publik dengan demikian para praktisi akan memiliki dasar teoritis tentang bagaimana membuat kebijakan publik yang baik dan memperkecil kegagalan dari suatu kebijakan publik sehingga akan sangat sesuai dengan kajian Administrasi Negara. Dalam penelitian ini peneliti mengklasifikasi ke dalam beberapa teori yakni Teori Kebijakan Publik, Deskripsi tentang Implementasi Kebijakan, Konsep Pengendalian Pencemaran/Kerusakan Laut dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. Adapun penjelasannya sebagai berikut: 26 2.1.1 Definisi Kebijakan Istilah Policy (Kebijakan) seringkali penggunaannya dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals) program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan, dan rancangan-rancangan besar. ‘’Menurut Perserikatan bangsa-bangsa, kebijakan itu diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman itu boleh jadi amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif atau kuantitatif publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu rencana. Sedangkan Anderson merumuskan kebijakan perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam bidang kegiatan tertentu.’’ (Wahab:2005:1) Dewasa ini istilah kebijakan lebih sering dan secara luas dipergunakan dalam kaitannya dalam tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan pemerintah serta perilaku Negara pada umumnya. Dalam kaitan inilah maka mudah dipahami jika kebijakan itu acapkali diberikan makna sebagai tindakan politik. Makna kebijakan sebagaimana kita kemukakan tadi akan makin jelas bila kita ikuti pandangan seorang ilmuwan politik, Friedrich (dalam Wahab 2005:3) yang menyatakan bahwa : ‘’Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.’’ 27 Mirip dengan definisi Friedrich diatas, Anderson merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya maslah atau persoalan tertentu yang dihadapi. Asal usul Estimologis kata policy sama dengan dua kata penting isinya policy dan politics. Inilah salah satu alasan mengapa banyak bahasa-bahasa modern, misalnya Jerman dan Rusia, hanya mempunyai satu kata (politik, politika) untuk dua pengertian policy dan politics. Ini juga merupakan salah satu faktor yang saat ini menimbulkan kebingungan seputar batas disiplin ilmu politik administrasi Negara, dan ilmu kebijakan, semuanya menaruh perhatian besar pada studi politik (politics) dan kebijakan (policy). (Dunn 2003:51) Dari berbagai pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan itu diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang , kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Kebijakan sebagai langkah tindakan yang secara disengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi. Kebijakan tindakantindakan atau kegiatan-kegiatan pemerintah serta perilaku Negara pada umumnya. 28 2.1.2 Definisi Publik Pengertian publik dalam rangkaian kata public policy memiliki tiga konotasi, yaitu pemerintah, masyarakat, dan umum (Abidin 2012:7). Hal ini dapat dilihat dalam dimensi subjek, objek, dan lingkungan dari kebijakan. Dalam dimensi subjek, kebijakan publik adalah kebijakan dari pemerintah, sehingga salah satu ciri kebijakan adalah ‘’what government do or not to do’’. Kebijakan dari pemerintahlah yang dapat dianggap sebagai kebijakan yang resmi, sehingga mempunyai kewenangan yang dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya. 2.1.3 Teori Kebijakan Publik Carl J Federick sebagaimana dikutip Agustino (2008:7) mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan -kesulitan) dan kesempatan - kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide kebijakan melibatkan perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan bagian yang penting dari definisi kebijakan, karena bagaimanapun kebijakan harus menunjukan apa yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa yang diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah. Thomas R Dye sebagaimana dikutip oleh Islamy (2009:19) Defisini lain mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan’’. Melalui definisi ini kita mendapat 29 pemahaman bahwa terdapat perbedaan antara apa yang dikerjakan pemerintah dan apa yang sesungguhnya harus dikerjakan oleh pemerintah. Lain dari itu Chandler dan Plano sebagaimana dikutip Tangkilisin (2003:1) yang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdayasumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Konsep kebijakan ini menitikberatkan pada apa yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa yang diusulkan atau dimaksud. Hal inilah yang membedakan kebijakan dari suatu keputusan yang merupakan pilihan diantara beberapa alternatif yang ada. Kebijakan publik merupakan keputusan politik yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah. Karena itu, karakteristik khusus dari kebijakan publik adalah bahwa keputusan politik tersebut dirumuskan oleh apa yang disebut David Easton sebagaimana yang dikutip oleh Muchsin dan Fadillah Putra dalam buku Hukum dan Kebijakan Publik, mendefinisikan kebijakan publik adalah sebuah proses pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh masyarakat yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang seperti pemerintah (Muchsin dan Fadillah 2002:23). Dalam kaitannya dengan definisi-definisi tersebut diatas maka dapat disimpulkan beberapa karakteristik utama dari suatu definisi kebijakan publik. Pertama, pada umumnya kebijakan publik perhatiannya ditujukan pada tindakan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu daripada perilaku yang berubah atau acak. Kedua, kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daripada keputusan yang 30 terpisah-pisah. Ketiga, kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan, ,mengontrol inflasi, atau menawarkan perumahan rakyat, bukan apa maksud yang dikerjakan atau akan yang akan dikerjakan. Keempat, kebijakan publik dapat berbentuk positif maupun negatif. Secara positif, kebijakan melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam menangani suatu permasalahan, secara negatif kebijakan publik dapat melibatkan suatu keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan suatu tindakan atau tidak mengerjakan apapun padahal dalam konteks tersebut keterlibatan pemerintah amat diperlukan. Terakhir kelima, kebijakan publik paling tidak secara positif didasarkan pada hukum dan merupakan tidnakan yang bersifat memerintah. Kebijakan publik yang bersifat memerintah kemungkinan besar mempunyai sifat yang memaksa secara sah, yang mana hal ini tidak dimiliki oleh kebijakan-kebijakan organisasi swasta. Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan tertentu guna memecahkan masalah-masalah publik atau demi kepentingan publik. Kebijakan untuk melakukan sesuatu biasanya tertuang dalam ketentuan-ketentuan atau peraturan perundang- undangan yang dibuat pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat dan memaksa. 31 2.1.4 Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan merupakan suatu proses dalam kebijakan publik yang mengarah pada pelaksanaan kebijakan. Dalam praktiknya implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politik karena adanya intervensi dari berbagai kepentingan. Untuk melukiskan kerumitan dalam proses implementasi tersebut, Eugene Bardach, Van Meter Van Horn dan Daniel Mazmanian (dalam Agustino 2008:153) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan sebagai : ‘’adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogam yang kedengaranya mengenakan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk yang memuaskan semua orang.’’ Van Meter dan Van Horn (1975:65), mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai: ‘’Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan.’’ Sedangkan Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier dalam bukunya Implementation and Public Policy (1983:61) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai berikut: ‘’Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undangundang namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusankeputusan eksekutif yang penting atau keputusan lembaga peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin 32 diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.’’ Dari tiga definisi diatas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut (minimal) tiga hal, yaitu (i) adanya tujuan atau sasaran kebijakan, (ii) adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan dan (iii) adanya hasil kegiatan. Berdasarkan uraian ini maka dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. 2.1.5 Pendekatan-pendekatan dalam Implementasi Kebijakan Beberapa pendekatan dalam implementasi kebijakan publik adalah pendekatan secara top-down, yaitu pendekatan secara satu pihak dari atas ke bawah. Dalam proses implementasi peranan pemerintah sangat besar, pada pendekatan ini asumsi yang terjadi adalah para pembuat keputusan merupakan aktor kunci dalam keberhasilan implementasi, sedangkan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses implementasi dianggap menghambat, sehingga para pembuat keputusan meremehkan inisiatif strategi yang berasal dari level birokrasi rendah maupun subsistem-subsistem kebijaksanaan yang lain. Yang kedua adalah pendekatan secara bottom-up, yaitu pendekatan yang berasal dari bawah (masyarakat). Pendekatan bottom-up didasarkan pada jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau masih melibatkan pejabat pemerintahan namun hanya ditataran rendah. 33 Asumsi yang mendasari pendekatan ini adalah bahwa implementasi berlangsung dalam lingkungan pembuat keputusan yang terdesentralisasi. Model ini menyediakan suatu mekanisme untuk bergerak dari level birokrasi paling bawah sampai pada pembuatan keputusan tertinggi di sektor publik maupun sektor privat. Dalam pelaksanaannya implementasi kebijakan publik memerlukan model implementasi yang berlainan, karena ada kebijakan publik yang perlu diimplementasikan secara top-down atau secara bottom-up. Kebijakan-kebijakan yang bersifat top-down adalah kebijakan yang bersifat secara strategis dan berhubungan antiterorisme, dengan berbeda keselamatan negara, seperti dengan kebijakan yang kebijakan lebih mengenai efektif jika diimplementasikan secara bottom-up, yang biasanya berkenaan dengan hal-hal yang tidak secara langsung berkenaan dengan national security, seperti kebijakan alat kontrasepsi, padi varietas unggul, pengembangan ekonomi nelayan dan sejenisnya. Dalam implementasi sebuah kebijakan pilihan yang paling efektif adalah jika kita bisa membuat kombinasi implementasi kebijakan publik yang partisipatif, artinya bersifat top-down dan bottom-up. Model ini biasanya lebih dapat berjalan secara efektif, berkesinambungan dan murah, bahkan dapat juga dilaksanakan untuk hal-hal yang bersifat national security. Dalam penelitian ini pendekatan yang paling sesuai adalah pendekatan secara partisipatif dimana kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah dapat direspon dengan baik oleh masyarakat. Satu hal yang paling penting adalah 34 implementasi kebijakan haruslah menampilkan keefektifan dari kebijakan itu sendiri. Nugroho (2011:673), pada dasarnya ada “lima tepat” yang perlu dipenuhi dalah hal keefektifan implementasi kebijakan, yaitu : 1. Apakah kebijakannya sendiri sudah tepat? Ketepatan kebijakan dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. 35 2. Ketepatan pelaksana. Aktor implementasi tidaklah hanya pemerintah, ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah masyarakat/swasta atau implementasi kebijakan yang diswastakan (privatization atau contracting out). 3. Ketepatan target implementasi. Ketepatan berkenaan dengan tiga hal, yaitu: a) Apakah target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada tumpang tindih dengan intervensi yang lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi kebijakan lain; b) Apakah targetnya dalam kondisi siap untuk diintervensi ataukah tidak, kesiapan bukan saja dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam konflik atau harmoni, dap apakah kondisi target ada dalam kondisi mendukung atau menolak; c) Apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui implementasi kebijakan sebelumnya. 4. Apakah lingkungan implementasi sudah tepat? Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu a) lingkungan kebijakan, merupakan interaksi diantara lembaga perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan dan lembaga lain yang terkait; b) lingkungan eksternal kebijakan yang terdiri atas public opinion, yaitu persepsi publik akan kebijakan dan imlementasi kebijakan, interpretive institutions yang berkenaan dengan interprestasi dari lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat. 5. Tepat proses. Secara umum implementasi kebijakan publik terdiri atas tiga proses, yaitu: a) policy acceptane, di sini publik memahami kebijakan seb agai sebuah aturan main yang diperlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah memahami kebijakan sebagai tugas yang harus dilaksanakan; b) policy adoption, publik menerima kebijakan sebagai sebuah aturan main yang diperlukan untuk masa depan, disisi lain pemerintah menerima kebijakan sebagai tugas yang harus dilaksanakan; c) strategic readiness, publik siap melaksanakan atau menjadi bagian dari kebijakan, di sisi lain birokrat pelaksana siap menjadi pelaksana kebijakan 36 2.1.6 Model-Model Implementasi Kebijakan Untuk lebih memahami tentang pendekatan-pendekatan dalam implementasi kebijakan akan dijelaskan sebagai berikut: a. Implementasi kebijakan Model George C. Edward III Beberapa ilmuan penganut aliran Top Down salah satunya adalah George C. Edward III. Model Implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh George C. Edward III yang menamakan model implementasi kebijakan publiknya dengan Direct and Indirect Impact On Implementation dalam Agustino (2008:149) dimana terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan yaitu : (i) Komunikasi, (ii) Sumberdaya, (iii) Disposisi, (iv) Struktur Birokrasi. 1. Komunikasi Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan menurut George C. Eward III, adalah komunikasi. Komunikasi menurutnya lebih lanjut sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat berjalan bila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan implementasi harus ditransmisikan (atau dikomunikasikan) kepada bagian personalia yang tepat. Selain itu, kebijakan yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi (atau pentransmisian informasi) 37 diperlukan agar para pembuat keputusan di dan para implementor akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat. 2. Sumberdaya Variabel atau faktor kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan adalah sumberdaya. Sumberdaya merupakan hal penting lainnya, menurut George C. Edward III dalam Agustino (2008 : 151) dalam mengimplementasikan kebijakan. Indikator sumber-sumberdaya terdiri dari beberapa elemen, yaitu: a. Staf sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebagiankan oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten dibidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak mencukupi, tetapi diperlukan pula kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan atau melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri. b. Informasi dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk, yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan disaat mereka diberi perintah untuk melakukan tindakan. Kedua informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementor harus mengetahui apakah orang lain yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum. 38 c. Wewenang pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana d alam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang itu nihil, maka kekuatan para implementor dimata publik tidak terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan. Tetapi, dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak, efektivitas kewenangan diperlukan dalam pelaksanaan implementasi kebijakan tetapi di sisi lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan kelompoknya. d. Fasilitas fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukannya, dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil. 3. Disposisi Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting ketiga dalam pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias. 4. Struktur Birokrasi 39 Variabel keempat, menurut Edward III, yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumbersumber untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau terealisasi karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi b. Implementasi Kebijakan Model Van Metter dan Van Horn Model pendekatan top-down yang dirumuskan oleh Donald Van Metter dan Van Horn sebagaimana dalam Agustino (2008:141) disebut dengan A model of the Policy Implementation. Dalam teori ini ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja suatu kebijakan, yaitu: 1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika-danhanya-jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realisits dengan sosi-kultur yang mengada pada level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan di level warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan berhasil. 2. Sumberdaya Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat terbantung dari kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia merupakan sumberdaya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tetapi di luar sumberdaya manusia, sumberdaya-sumberdaya lain yang perlu 40 diperhitungkan juga adalah sumber daya financial dan sumberdaya waktu. Ketiga sumber daya ini akan saling mendukung dalam implementasi sebuah kebijakan. 3. Karakteristik Agen Pelaksana Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting kerena kinerja implementasi akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan. 4. Sikap/Kecenderungan para Pelaksana Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan diimplementasikan adalah kebijakan “dari atas” yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan. 5. Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam 41 suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi. 6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan dalam perspektif yang ditawarkan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal. C. Model Implementasi menurut G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli Berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan suatu program, Subarsono dalam bukunya yang berjudul Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi), mengutip pendapat G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan program- program pemerintah yang bersifat desentralistis. Faktor-faktor tersebut diantaranya: 1. Kondisi lingkungan Lingkungan sangat mempengaruhi implementasi kebijakan, yang dimaksud lingkungan ini mencakup lingkungan sosio kultural serta keterlibatan penerima program. 42 2. Hubungan antar organisasi Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program. 3. Sumberdaya organisasi untuk implementasi Program Implementasi kebijakan perlu didukung sumberdaya baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non human resources). 4. Karakteristik dan kemampuan agen pelaksana Yang dimaksud karakteristik dan kemampuan agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program. Cheema dan Rondinelli (dalam Subarsono, 2005:101). Berdasarkan faktor-faktor diatas, yaitu kondisi lingkungan, hubungan antar organisasi, sumberdaya organisasi untuk implementasiprogram, karakteristik dan kemampuan agen pelaksana merupakan hal penting dalam mempengaruhi suatu implementasi program. Faktor –faktor tersebut akan menghasilkan kinerja dan dampak suatu program yaitu sejauh mana suatu program dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan, mengetahui bagaimana perubahan kemampuan administratif pada organisasi lokal, serta berbagai keluaran dan hasil yang lain. 43 d. Model Implementasi Ripley dan Franklin Di dalam bukuya yang berjudul Policy Implementation and Bureaucracy dalam Yustianus ( 2008: 19), Ripley dan Franklin menyatakan: “the nation of success in implementation has no single widely accepted definition. Different analists and different actors have very different meanings in mind when they talk about or think about successful implementation. There are three dominant ways of thingking about successful implementation” Dari pengertian di atas, dapat kita pahami bahwa tidak ada definisi yang sama yang dapat diterima secara luas tentang bagaimana melaksanakan implementasi kebijakan yang baik. Aktor pelaku kebijakan (implementor) yang berbeda dengan analisa yang berbeda memberikan arti yang berbeda pula tentang faktor yang mempengaruhi berhasilnya suatu implementasi kebijakan dilaksanakan. Menurut Ripley dan Franklin (dalam Alfatih 2010:51-52) ada tiga cara yang dominan bagi suksesnya implementasi kebijakan, yaitu: 1. Tingkat kepatuhan pada ketentuan yang berlaku (the degree of compliance on the statute), tingkat keberhasilan implementasi kebijakan dapat diukur dengan melihat tingkat kepatuhan terhadap isi kebijakan dengan mandat yang telah diatur. 2. Lancarnya pelaksanaan rutinitas fungsi, (smoothly functioning routine and the absence of problem), keberhasilan implementasi kebijakan dapat ditandai dengan lancarnya rutinitas fungsi dan tidak adanya masalah yang dihadapi. 3. Terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki (the leading of the desired performance and impact), bahwa dengan adanya kinerja dan dampak yang baik merupakan wujud keberhasilan implementasi kebijakan. 44 Ketiga perspektif tersebut digunakan untuk mengukur keberhasilan implementasi kebijakan, sehingga menjadi lebih mudah untuk diidentifikasi. Teori Ripley dan Franklin ingin menekankan tingkat kepatuhan para implementor kebijakan terhadap isi kebijakan itu sendiri. Setelah ada kepatuhan terhadap kebijakan yang ada, pada tahap selanjutnya melihat kelancaran pelaksanaan rutinitas fungsi, serta seberapa besar masalah yang dihadapi dalam implementasi. Pada akhirnya setelah semua berjalan maka akan terwujud kinerja yang baik dan tercapainya tujuan (dampak) yang diinginkan. Pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dapat dipakai untuk mengukur apakah tugas pokok organisasi implementor tersebut telah berjalan dengan lancar atau belum. Fungsi selanjutnya dapat untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada, yang dapat menghambat lancarnya implementasi sebuah kebijakan. 2.1.6 Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Laut Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan laut bahwa pada hakikatnya Pencemaran laut didefinisikan sebagai peristiwa masuknya partikel kimia, limbah industri, pertanian dan perumahan, kebisingan, atau penyebaran organisme invasif (asing) ke dalam laut, yang berpotensi memberi efek berbahaya. Sedangkan perusakan laut adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang melampaui kriteria baku kerusakan laut. Hal ini berarti bahwa perlu ditetapkan kriteria baku kerusakan laut yang berfungsi sebagai tolak ukur untuk menentukan tingkat 45 kerusakan laut. Selain itu juga sangat berguna bagi penentuan status mutu laut. Dalam sebuah kasus pencemaran, banyak bahan kimia yang berbahaya berbentuk partikel kecil yang kemudian diambil oleh plankton dan binatang dasar, yang sebagian besar adalah pengurai ataupun filter feeder (menyaring air). Dengan cara ini, racun yang terkonsentrasi dalam laut masuk ke dalam rantai makanan, semakin panjang rantai yang terkontaminasi, kemungkinan semakin besar pula kadar racun yang tersimpan. Pada banyak kasus lainnya, banyak dari partikel kimiawi ini bereaksi dengan oksigen, menyebabkan perairan menjadi anoxic. Sebagian besar sumber pencemaran laut berasal dari daratan, baik tertiup angin, terhanyut maupun melalui tumpahan. Pencemaran air tidak hanya menimbulkan dampak negatif terhadap makhluk hidup, tetapi juga mengakibatkan ‘’gangguan’’ secara estetika, seperti air yang mengandung minyak atau bahan lain yang mengapung. Bahan pencemar yang masuk ke suatu perairan biasanya merupakan limbah suatu aktivitas. (Manik, 2009:146). Menurut sumbernya, limbah sebagai bahan pencemar air dibedakan sebagai : 1. Limbah domestik (limbah rumah tangga, perkantoran, pasar dan pusat perdagangan). 2. Limbah industri, pertambangan, dan transportasi 3. Limbah laboratorium dan rumah sakit 4. Limbah pertanian dan peternakan 5. Limbah pariwisata 46 2.1.7 Upaya Pengendalian Pencemaran di Perairan Laut Secara keseluruhan, terdapat dua strategi dasar pencegahan pencemaran lingkungan laut yang berasal dari daratan ( land – based ) maupun dari lautan ( sea – based ) yaitu: 1.Analisis dampak lingkungan/AMDAL (environmental impact assessment), yang pada dasarnya merupakan proses dan prosedur untuk menprediksi dampak ekologis dan sosial dari suatu proyek pembangunan sehingga selanjutnya keputusan tentang alternatif proyek dan lokasi serta pilihan desain proyek dapat dibuat. 2.Kajian bahan kimia berbahaya (chemical hazard assessment), yang merupakan pendekatan yang digunakan dalam studi manufaktur dan pengembangan bahan kimia beracun dan berbahaya ( seperti peptisida, dan bahan kimia industri). Strategi pengendalian pencemaran yaitu: 1. Pengendalian Kualitas Lingkungan Laut (marine environmental quality controls) Standar kualitas lingkungan laut (marine environmental quality standards) disusun berdasarkan batasan kualitas air, biodata dan sedimen yang harus dijaga untuk suatu tingkat pemanfaatan tertentu. 2.Pengendalian emisi atau Sumber Pencemaran (Emission Suorces Controls) Penentuan standar emisi (effluent) pada suatu jenis kegiatan sebagai sumber pencemaran umumnya didasarkan pada kemampuan atau ketersediaan teknologi yang dapat digunanakan untuk mengurangi emisi atau effluent kontaminan dari kegiatan tersebut. 3. Pengelolaan limbah (waste Management ) Metode pendekatan dalam pengelolaan limbah dapat bervariasi dari satu jenis limbah dengan jenis limbah lainnya. Berbagai upaya pengelolaan berbagai jenis limbah dapat diuraikan secara singkat berikut ini: a. Limbah Padat (solid waste) Limbah padat domestik atau perkotaan umumnya dibuang ke tempat pembuangan terbuka (open dumping). Teknis penanganan yang umumnya digunakan terhadap limbah padat tersebut adalah pembakaran terbuka (open burning), meskipun teknik ini kurang direkomendasikan. Teknik penanganan yang direkomendasikan adalah teknik sanitariy landfill, inceneraor, serta pengomposan . Metoda pembuangan limbah padat yang selama ini diterapkan adalah 80% dibuang ke landfill, 5% diincenerasi, 10% dikomposkan dan 5% dengan teknis lainnya. 47 b. Limbah Cair Domestik (Sewage) Sistem pengolahan limbah cair domestik (sewage treatmen plant) adalah teknik yang direkomendasikan bagi penanganan limbah cair domestik meskipun di Indonesia teknik ini belum banyak diterapkan. c. Limbah Industri (Industrial Waste) Berbagai teknologi dan metoda penanganan limbah cair industri dapat diterapkan baik secara biologis, kimiawi maupun fisis tergantung pada jenis limbah yang ada. Kemampuan dan ketersediaan teknologi yang ada dalam penanganan limbah cair industri, merupakan dasar dalam penentuan standar baku mutu limbah cair industri yang telah ditetepkan selama ini. d. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Hazardous Waste) Pengelolalaan terhadap limbah B3 di Indonesia telah dilakukan dengan didirikannya Pusat pengolahan limbah B3 di Cileungsi, Bogor, yang dikelola oleh PT. PPLI dibawah pengawasan Bapedal. Pengolahan limbah dilakukan dengan serangkaian teknik seperti stabilisasi dan landfiling. Dalam konteks pencegahan, teknologi diarahkan untuk usaha mitigasi pencemaran laut, pemilihan bahan-bahan yang lebih ramah lingkungan dalam proses industri, perencanaan manajemen lingkungan dengan pendekatan up-todate, pengembangan baku mutu lingkungan, penataan kelembagaan pengelolaan lingkungan laut, dan pemberlakuan peraturan perundangan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Pengendalian pencemaran laut diarahkan untuk memastikan adanya usaha pengendalian limbah-limbah yang dihasilkan oleh proses produksi pada industri dan kegiatan domestik, sebelum akhirnya sisa kegiatan atau limbah tersebut dibuang ke lingkungan laut secara aman. Penanggulangan pencemaran dilakukan ketika kejadian pencemaran telah terlanjur terjadi Penanggulangan diarahkan untuk melokalisir dampak pencemaran, memindahkan bahan berbahaya ke tempat yang semestinya, dan membersihkan polutan dari lokasi pencemaran. Metode penanggulangan fisik dan kimia banyak digunakan, misalnya oil boom, oil skimmer, absorbent, dispersant, 48 dan pembakaran untuk penanggulangan tumpahan minyak di laut (Mukhtasor 2007:43). 2.1.8 Deskripsi Kebijakan Secara umum Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 mengatur tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut dimaksudkan juga untuk melaksanakan tujuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya yang ada kaitannya dengan masalah lingkungan hidup serta melaksanakan misi yang tercantum dalam konvensi internasional yang berkaitan dengan hukum laut atau pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut. Peraturan Pemerintah ini berkaitan sangat erat pula dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Air, Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun dan Peraturan Pemerintah tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pengendalian Dampak Lingkungan ke Daerah. Pengendalian Pencemaran dan/atau perusakan laut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 merupakan kegiatan yang mencakup: a. Inventarisasi kualitas laut dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai kriteria yang ada dalam pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut. b. Penetapan baku mutu air laut dan kriteria baku kerusakan laut yang digunakan sebagai tolok ukur utama pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut. c. Pemantauan kualitas air laut dan pengukuran tingkat kerusakan laut yang diikuti dengan pengumpulan hasil pemantauan yang dilakukan oleh instansi lain, evaluasi dan analisis terhadap hasil yang diperoleh serta pembuatan laporan. 49 d. Penetapan status mutu laut di suatu daerah. e. Perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pengendaliannya untuk mempertahankan mutu laut agar tetap baik atau memperbaiki mutu laut yang telah tercemar atau rusak. f. Pengawasan terhadap penaatan peraturan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut termasuk penaataan mutu limbah yang dibuang ke laut dan/atau penaataan terhadap kriteria baku kerusakan laut serta penindakan, pemulihan dan penegakan hukumnya. 2.2 Penelitian Terdahulu Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang pernah penulis baca diantaranya : Penelitian yang dilakukan oleh Ferasari Budiawan dalam jurnal dengan judul penelitian ‘’Analisis Implementasi program dan kegiatan pengelolaan kawasan pesisir teluk Kendari’’. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi isuisu kawasan pesisir Teluk Kendari saat ini, menganalisis implementasi isu-isu pokok kawasan pesisir Teluk Kendari melalui program secara komprehensif dalam dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Kota Kendari, serta menganalisis implementasi pengelolaan berdasarkan RPJMD (SKPD) dengan kondisi yang berkembang saat ini. Penelitian tersebut menggunakan Deskriptif Kualitatif dengan hasil penelitian menunjukan pendangkalan dan pencemaran, implementasi program dan kegiatan didalam dokumen Perencanaan Pembangunan telah mencakup program dan kegiatan penanganan isu-isu pokok pada kawasan pesisir Teluk Kendari. Saran yang dianjurkan peneliti adalah kegiatan pembuatan cek dam di daerah hulu harus segera 50 dilaksanakan dibarengi dengan upaya rehabilitasi daerah hilir dengan cakupan yang luas secara rutin dan berkala. Penelitian selanjutnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Meldi Yanto Abu, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman 2013. Penelitian berjudul ‘’Sinergitas Upaya penanggulangan pencemaran wilayah pesisir Berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau kecil. (Studi kasus: di kelurahan Muara Sembilag Kec.Samboja Kab.Kutai Kartanegara)’’. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui peran pemerintah daerah kabupaten Kutai Kartanegara dan masyarakat dalam upaya penanggulangan pencemaran wilayah pesisir kelurahan Muara Sembilang Kecamatan Samboja Kabupatem Kutai Kartanegara. Penelitian ini menggunakan metode Empiris yang mengacu pendekatan perundang-undangan dan observasi. Hasil dari penelitian ini adalah masih banyaknya masyarakat yang belum memiliki kesadaran dalam pengelolaan wilayah pesisir karena minimnya tingkat pendidikan masyarakat sekitar yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir dan belum adanya peraturan yang tegas dari Pemerintah Daerah. Saran yang dianjurkan peneliti adalah sebagai pengatur kebijakan pemerintah daerah kabupaten kutai kartanegara harus segera menyusun dan menerbitkan peraturan pemerintah tentang pengelolaan wilayah pesisir. Berdasarkan kedua penelitian terdahulu yang dijadikan acuan peneliti dalam penelitian mengenai “Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. (Studi 51 kasus : Laut Marunda Jakarta Utara)”, maka dapat digambarkan persamaan serta perbedaan dalam penelitian yang akan peneliti lakukan. Persamaan penelitian dalam hal ini adalah peneliti meneliti obyek yang sama dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu implementasi pengendalian pencemaran di laut. Dalam hal ini tujuan penelitian yang akan dilakukan peneliti juga hampir sama dengan penelitian terdahulu yang dijadikan acuan dalam penelitian ini, yaitu mengetahui bagaimana implementasi Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut yang terjadi di sekitar pesisir pantai dengan mengacu suatu peraturan pemerintah atau perundang-undangan. Perbedaan yang akan dimunculkan peneliti dalam penelitian ini yaitu dalam kedua penelitian terdahulu belum ditampilkan secara jelas peraturan yang digunakan terhadap kondisi pencemaran serta pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah dan beberapa hal melakukan penelitian bagaimana tingkat kepatuhan pada ketentuan yang berlaku, lancarnya pelaksanaan rutinitas, sehingga terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki. Untuk itu dengan melakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pemecahan masalah terutama untuk Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah, Kantor Lingkungan Hidup, Suku dinas kelautan dan masyarakat untuk menjadi tinjauan lebih lanjut tentang Pengendalian pencemaran mulai dari pencegahan, penanggulangan serta pemulihan laut. Adanya persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam penelitian ini dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya tentu akan membawa konsekuensi pada hasil penelitian yang diperoleh. Untuk itu penelitian ini diharapkan untuk 52 menghasilkan gambaran tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian pencemaran dan/atau Perusakan laut di Laut Marunda Jakarta Utara. 2.3 Kerangka Berpikir Penelitian Kerangka berpikir penelitian adalah kerangka teori dan konsep yang relevan dengan masalah yang diteliti, sehingga mencerminkan alur pemikiran keseluruhan dari penelitian tersebut. Kerangka berpikir menggambarkan konsep penelitian mengenai “Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran laut dan/atau Perusakan Laut di Laut Marunda Jakarta Utara”, yang ditujukan untuk menjawab rumusan masalah penelitian dan mencapai tujuan dari penelitian yang akan dilakukan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori Implementasi Menurut Ripley dan Franklin ada tiga cara yang dominan bagi suksesnya implementasi kebijakan, yaitu: 1. Tingkat kepatuhan pada ketentuan yang berlaku (the degree of compliance on the statute), tingkat keberhasilan implementasi kebijakan dapat diukur dengan melihat tingkat kepatuhan terhadap isi kebijakan dengan mandat yang telah diatur. 2. Lancarnya pelaksanaan rutinitas fungsi, (smoothly functioning routine and the absence of problem), keberhasilan implementasi kebijakan dapat ditandai dengan lancarnya rutinitas fungsi dan tidak adanya masalah yang dihadapi. 3. Terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki (the leading of the desired performance and impact), bahwa dengan adanya kinerja dan dampak yang baik merupakan wujud keberhasilan implementasi kebijakan. 53 Teori itulah yang nantinya dijadikan acuan peneliti dalam mengumpulkan data, sehingga data-data yang didapat akan mampu menjawab rumusan masalah dan mencapai tujuan penelitian ini. Berikut adalah alur kerangka pemikiran terkait penelitian mengenai “Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut di Marunda Jakarta Utara”, sebagai berikut: 54 Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Penelitian Identifikasi Masalah 1. kurang optimalnya perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pengendalian laut untuk mempertahankan mutu laut. 2. kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang 3. Lemahnya penegakan hukum atas pelanggaran yang menyebabkan pencemaran laut terus berulang. 4. Kurangnya sosialisasi kebijakan pengendalian pencemaran yang dilakukan kepada masyarakat. Bagaimanakah Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut di lokasi penelitian kawasan pesisir laut Marunda Jakarta Utara. Menurut Ripley dan Franklin ada tiga cara yang dominan bagi suksesnya implementasi kebijakan, yaitu: 1. Tingkat kepatuhan pada ketentuan yang berlaku (the degree of compliance on the statute), tingkat keberhasilan implementasi kebijakan dapat diukur dengan melihat tingkat kepatuhan terhadap isi kebijakan dengan mandat yang telah diatur. 2. Lancarnya pelaksanaan rutinitas fungsi, (smoothly functioning routine and the absence of problem), keberhasilan implementasi kebijakan dapat ditandai dengan lancarnya rutinitas fungsi dan tidak adanya masalah yang dihadapi. 3. Terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki (the leading of the desired performance and impact), bahwa dengan adanya kinerja dan dampak yang baik merupakan wujud keberhasilan implementasi kebijakan. Untuk Mengetahui Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut di lokasi penelitian kawasan pesisir laut Marunda Jakarta Peneliti, 2014 Utara. Sumber : Peneliti, 2015 55 2.4. Asumsi Dasar Asumsi dasar dalam penelitian kualitatif adalah kesimpulan sementara yang diambil berdasarkan atas pada saat observasi awal dengan kajian teoritis dan sifat dari asumsi dasar ini adalah tidak untuk diuji kebenarannya. Maka peneliti berasumsi “Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian pencemarn dan/atau perusakan laut di lokasi Laut Marunda Jakarta Utara” dapat dikatakan belum optimal. Asumsi peneliti terkait belum maksimalnya implementasi penerapan program-program penanggulangan pencemaran laut serta pengawasan yang dilakukan.Permasalahan yang muncul kemudian dikaji dengan cara membandingkan dengan teori yang digunakan guna mengetahui apakah masalah yang muncul benar-benar sebagai masalah yang sesuai dengan teori yang ada. Hal inilah yang nantinya dijadikan sebagai bahan pengkajian untuk menemukan solusi yang bersifat praktis sehingga dapat memberikan jalan yang terbaik bagi Kantor Lingkungan Hidup kota Jakarta Utara dan Suku Dinas Peternakan,Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara dalam menerapkan dari mulai pencegahan sampai penanggulangan pencemaran laut. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian Metode penelitian menurut Soehartono (2004:9) adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan data yang diperlukan. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Suryabrata (2008:11) bahwa metode penelitian adalah suatu proses yaitu suatu rangkaian langkah-langkah yang dilakukan secara terencana dan sistematis guna mendapatkan pemeceahan masalah atau mendapatkan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tertentu. Dalam penelitian mengenai ‘’Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut di Laut Marunda Jakarta Utara. Menurut Moleong (2007:6) Metode Penelitian Kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dll, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Sedangkan menurut Lincoln dan Denzim (2009:2) menyebutkan bahwa penelitian kualitatif mencakup penggunaan subjek yang dikaji dan kumpulan berbagai data empiris, studi kasus, pengalaman pribadi, intropeksi, perjalanan hidup, wawancara, teks-teks hasil pengamatan, historis, interaksional dan visual yang menggambarkan saat-saat dan makna keseharian dan problematis dalam kehidupan seseorang. 56 57 Dalam penelitian kualitatif data yang dikumpulkan adalah berupa katakata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam tentang bagaimana kenyataan sosial yang terjadi dalam penelitian ‘’Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut di Laut Marunda Jakarta Utara.’’ Dengan demikian, laporan penelitian kan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan penelitian. 3.2 Ruang Lingkup atau Fokus Penelitian Ruang lingkup penelitian dibuat untuk membatasi penelitian yang sangat luas ruang lingkupnya dilihat dari segi cakupan wilayah, rentang waktu, atau aspek dan sektornya yang tidak mungkin diteliti secara keseluruhan karena beberapa pertimbangan. Ruang lingkup dan batasan penelitian akan berpengaruh pada penarikan kesimpulan. Ruang lingkup atau keterbatasan penelitian ini mengungkapkan keterbatasan penelitian baik dari segi cakupan maupun dari segi metodologis. Dengan itu maka diharapkan dapat memudahkan peneliti untuk lebih fokus pada penelitian yang akan dilakukan yaitu mengenai “Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut di Laut Marunda Jakarta Utara”. Pembatasan ruang lingkup penelitian sendiri didasarkan pada penjabaran yang terdapat pada latar belakang masalah yang mana dipaparkan secara ringkas dalam identifikasi masalah. Adapun, ruang lingkup dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan fenomena terkait Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 58 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut di Laut Marunda Jakarta Utara secara mendalam pada sasaran penelitian. 3.3 Lokasi Penelitian Pemilihan lokasi harus didasarkan pada pertimbangan pertimbangan kemenarikan, keunikan, dan kesesuaian dengan fokus penelitian yang dipilih. Pemilihan lokasi ini, diharapkan menemukan hal-hal yang bermakna dan baru atau sesuai dengan fenomena sosial atau peristiwa dalam penelitian. Jadi mengemukakan lokasi penelitian adalah menyebutkan tempat penelitian misalnya desa, komunitas atau lembaga tertentu dan menjelaskan alasan dipilihnya lokasi tersebut. Pesisir Laut Marunda dipilih sebagai lokasi penelitian didasarkan pada permasalahan-permasalahan yang muncul sebagaimana yang telah dipaparkan pada latar belakang masalah penelitian. Sebagai suatu pantai publik jika terjadi pencemaran maka akan berakibat ke beberapa sektor, misalnya sektor keaneragaman hayati, sektor perekonomian, sektor pariwisata dan lainnya. Semua elemen dan stakeholder di tuntut untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Alasan lain yaitu masih banyak terdapat permasalahan-permasalahan mengenai aspek pengendalian terhadap pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup yang meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan yang tidak segera diselesaikan. Berdasarkan data yang peneliti dapat dari situs (Beritajakarta.com) bahwa ada lima sentra nelayan yang pada wilayah laut jakarta sudah tercemar termasuk Marunda, Cilincing, Muarabaru, Angke, dan Kapal muara. Dan ada beberapa kategori pantai yang tak layak dikunjungi sesuai berita 59 yang dilansir (yahoo.com) dari 10 pantai diberbagai negara pantai Marunda masuk dalam kategori pantai yang tak layak kunjung karena kontaminasi sampah dan limbah. Hal tersebut yang membuat peneliti memilih lokasi penelitian di laut Marunda sehingga dapat mengetahui bagaimana Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut di wilayah sentra nelayan tersebut karena jika terus dibiarkan akan memberikan dampak yang signifikan kepada kehidupan para nelayan dan untuk kelestraian lingkungan. 3.4 Variabel Penelitian/Fenomena yang diamati Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. (Sugiyono,2007:63) 3.4.1 Definisi Konsep Definisi konseptual merupakan pemberian penjelasan tentang konsep dari variabel yang akan diteliti menurut pendapat peneliti berdasarkan kerangka pemikiran teori yang digunakan. Adapun definisi konsep dari judul ‘’Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Studi kasus wilayah laut Marunda Jakarta Utara)’’ yaitu : 1. Peraturan Pemerintah (disingkat PP) adalah Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang 60 sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang. Di dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa Peraturan Pemerintah sebagai aturan organik daripada Undang-Undang menurut hirarkinya tidak boleh tumpang tindih atau bertolak belakang. Peraturan Pemerintah ditandatangani oleh Presiden. 2. Pengendalian Pencemaran. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lainnya kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tersebut tidak dapat berfungsi sebagimana peruntukkannya (PP no.27 th 1997 UU lingkungan hidup). Dalam Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 1990 tentang pengendalian pencemaran air disebutkan bahwa ”Pengendalian adalah upaya pencegahan dan atau penanggulangan dan atau pemulihan pada kondisi semula (pasal 1 ayat 3). Purwono, (2002 :32) dalam bukunya mendefinisikan pengendalian lingkungan adalah Setiap hal yang dilakukan atas kegiatan manusia baik secara perseorangan maupun secara kelompok dalam kegiatan usaha memperoleh tatanan hidup menjadi lebih baik perlu dilakukan pengendalian agar mampu menyeimbangkan dengan lingkungan sekitarnya, baik pengendalian financial atau keuangan maupun pengendalian secara struktural. 3. Laut kumpulan air asin dalam jumlah yang banyak dan luas yang menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau. Jadi laut adalah merupakan air yang 61 menutupi permukaan tanah yang sangat luas dan umumnya mengandung garam dan berasa asin. Biasanya air mengalir yang ada di darat akan bermuara ke laut. 3.4.2 Definisi Operasional Definisi operasional merupakan penjabaran konsep atau variabel penelitian dalam rincian yang terukur (indikator penelitian). Variabel penelitian dilengkapi dengan tabel matriks variabel, indikator, sub indikator dan nomor pertanyaan sebagai lampiran. Namun dalam penelitian kualitatif tidak perlu dijabarkan menjadi indikator maupun sub indikator tetapi cukup menjabarkan fenomena yang akan diamati. Adapun definisi operasional dari judul ‘’Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. (Studi kasus Wilayah Laut Marunda Jakarta Utara)’’ yaitu: Keberhasilan dari Implementasi kebijakan dapat diukur melalui variabel-variabel. Menurut Ripley dan Franklin (dalam Alfatih 2010:51-52) ada tiga cara yang dominan bagi suksesnya implementasi kebijakan, yaitu: 1. Tingkat kepatuhan pada ketentuan yang berlaku (the degree of compliance on the statute), tingkat keberhasilan implementasi kebijakan dapat diukur dengan melihat tingkat kepatuhan terhadap isi kebijakan dengan mandat yang telah diatur. 2. Lancarnya pelaksanaan rutinitas fungsi, (smoothly functioning routine and the absence of problem), keberhasilan implementasi kebijakan dapat ditandai dengan lancarnya rutinitas fungsi dan tidak adanya masalah yang dihadapi. 62 3. Terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki (the leading of the desired performance and impact), bahwa dengan adanya kinerja dan dampak yang baik merupakan wujud keberhasilan implementasi kebijakan. 3.5 Instrumen Penelitian Dalam penelitian mengenai Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut di Laut Marunda Jakarta Utara yang menjadi instrumen utama penelitian adalah peneliti sendiri. Menurut Moleong (2006:168) menyebutkan bahwa yang dilakukan peneliti dalam penelitian kualitatif merupakan perencana, pelaksanaan, pengumpulan data, dan pada akhirnya ia menjadi pelapor hasil penelitiannya. Peneliti sebagai key instrument juga harus “divalidasi” seberapa jauh peneliti siap melakukan penelitian yang selanjutnya turun ke lapangan. Validasi terhadap peneliti sebagai instrumen meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki objek penelitian, baik secara akademik maupun logistiknya. Yang melakukan validasi adalah peneliti sendiri, melalui evaluasi diri seberapa jauh pemahaman terhadap metode kualitatif, penguasaan teori dan wawasan terhadap bidang yang diteliti, serta kesiapan dan bekal memasuki lapangan. Peneliti kualitatif sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, analisis data, menafsirkan data, dan membuat kesimpulan atas temuannya (Sugiyono 2011: 22). 63 Sebelum melakukan penelitian, peneliti harus mengetahui apa yang harus di teliti dan data-data apa saja yang dibutuhkan dalam menyusun laporan penelitian. Dalam penelitian ini peneliti melakukan penelitian di Kawasan Pesisir Laut Marunda Cilincing Jakarta Utara dan kemudian untuk melengkapi data peneliti mengambil data dari berbagai stakeholder yang berwenang. Menurut Bugin (2003:129) teknik pengumpulan data adalah bagian instrumen pengumpulan data yang menentukan keberhasilan suatu penelitian. Peneliti melakukan pengumpulan data dengan teknik observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. 1. Observasi Secara luas observasi atau pengamatan berarti setiap kegiatan untuk melakukan pengukuran. Akan tetapi, observasi atau pengamatan disini diartikan lebih sempit, yaitu pengamatan dengan menggunakan indera penglihatan yang berarti tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan (Soehartono 2004:69). Pengamatan dapat diklasifikasikan atas pengamatan melalui cara berperan serta dan tidak berperan serta. Pada pengamatan tanpa berperanserta pengamat hanya melakukan satu fungsi, yaitu mengadakan pengamatan. Pengamatan dapat pula dibagi atas pengamatan terbuka dan pengamatan tertutup. Yang terbuka atau tertutup disini adalah pengamat dan latar penelitian. Pengamat secara terbuka diketahui oleh subjek,sedangkan sebaliknya para subjek dengan sukarela memberikan kesempatan kepada pengamat untuk mengamati peristiwa yang terjadi dan mereka menyadari bahwa ada orang yang mengamati hal yang dilakukan oleh mereka (Moleong 2007:176). Dalam penelitian ini, teknik observasi/pengamatan yang digunakan adalah observasi berperanserta 64 (observation participant). Pengamatan berperan serta dianggap cocok untuk meneliti bagaimana manusia berperilaku dan memandang realita kehidupan meraka dalam lingkungan mereka yang biasa, rutin, dan alamiah. 2. Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (inteviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. (Moleong 2007:186). Maksud mengadakan wawancara seperti yang dimaksudkan oleh Lincoln dan Guba dalam Moleong adalah mengkontruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain kebulatan; merekontruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami masa lalu, memproyeksi kebulatan-kebulatan sebagai yang diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang, memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain, baik manusia maupun bukan manusia (triangulasi), dan memverifikasi, mengubah dan memperluas kontruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota. Metode yang dilakukan dalam wawancara penelitian tentang ‘’Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut di Laut Marunda Jakarta Utara’’ adalah dengan teknik wawancara terstruktur yaitu wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Pada wawancara ini digunakan sebagai teknik pengumpulan data, bila peneliti atau pengumpul data 65 telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Dalam prakteknya selain membawa instrumen sebagai pedoman wawancara, maka pengumpul data juga dapat menggunakan alat bantu seperti tape recorder, gambar, brosur, dan material lain yang dapat membantu dalam wawancara. (Sugiyono, 2007:138) Penelitian tentang ‘’Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut: studi kasus di Laut Marunda Jakarta Utara’’ menggunakan teori untuk mengukur keberhasilan Implementasi menurut Ripley dan Franklin ada tiga indikator serta sub-sub indikator yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: 66 Tabel 3.4 Pedoman Wawancara Penelitian No 1. Indikator Sub Pertanyaan Indikator Tingkat Perilaku 1.Apakah Implementor Kepatuhan Implementor sudah mematuhi prosedur (Complience) dan mekanisme pencegahan hingga pemulihan mutu laut? 2. Bagaimana bentuk dukungan masyarakat/LSM/pihak industri dalam pencegahan hingga pemulihan pencemaran? 3.Bagaimana selama ini perizinan dokumen izin lingkungan dilakukan? Pemahaman 1. Bagaimana kejelasan dan Implementor konsistensi para pelaksana terhadap pada sasaran program? kebijakan 2. Bagaimana pembinaan pegawai di lingkungan birokrasi? Peran dari pihak yang berwenang 1.Bagaimana peran dari pihak yang berwenang dalam hal pengendalian pencemaran laut? 2.Sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat/LSM/Industri dalam mematuhi kebijakan tersebut? 3.Bagaimana pelaporan dan Informan Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Suku dinas Peternakan,Perikana n dan Kelautan Jakarta Utara LSM (WALHI,KIARA) Masyarakat nelayan Industri Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Suku dinas Peternakan,Perikana n dan Kelautan Jakarta Utara LSM Masyarakat nelayan Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Suku dinas Peternakan,Perikana n dan Kelautan Jakarta Utara LSM Masyarakat nelayan 67 pertanggung jawaban pelaksanaan tugas dan fungsi? Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Suku dinas Peternakan,Perikana n dan Kelautan Jakarta Utara 68 Lancarnya pelaksanaan rutinitas fungsi Fungsi koordinasi dalam penyusunan program 1.Apakah koordinasi dan sinkronisasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian di bidang lingkungan kelautan sudah berjalan efektif? 2.Bagaimana koordinasi antar lembaga pemerintah dengan pihak non pemerintahan? (LSM/Masyarakat/Industri) Fungsi Pelayanan informasi 1.Apakah fungsi pengaduan mengenai pencemaran lingkungan sudah berjalan secara efektif? 2.Bagaimana upaya sosialisasi programkepada masyarakat dalam hal untuk meningkatkan partisipasi masyarakat? Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Suku dinas Peternakan,Perikana n dan Kelautan Jakarta Utara Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Suku dinas Peternakan,Perikana n dan Kelautan Jakarta Utara LSM (WALHI,KIARA) Masyarakat nelayan Industri Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Suku dinas Peternakan,Perikana n dan Kelautan Jakarta Utara LSM (WALHI,KIARA) Masyarakat nelayan Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Suku dinas Peternakan,Perikana n dan Kelautan Jakarta Utara LSM (WALHI,KIARA) Masyarakat nelayan Fungsi Regulasi 1.Apakah selama ini kewenangan daerah dalam rangka membuat regulasi kebijakan terjadi disharmoni atau terdapat tumpang tindih kebijakan? 2.apa sajakah program strategis yang dilakukan dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan?(air laut) Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Suku dinas Peternakan,Perikana n dan Kelautan Jakarta Utara LSM (WALHI,KIARA) Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Suku dinas Peternakan,Perikana n dan Kelautan Jakarta Utara Fungsi Penegakan Hukum 1.Bagaimana pelaksanaan kebijakan penegakan hukum lingkungan dalam hal ini fasilitasi penyelesaian sengketa lingkungan dan Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara Badan Pengelola Lingkungan Hidup berbagai tindakan pencemaran? 3 Terwujudnya kinerja dampak yang dikehendaki Implementasi 1.Bagaimana proses program implementasi pengendalian pencemaran laut dan/atau perusakan laut dilakukan? 2.apa saja yang berhasil dicapai dalam target program? 3.Apakah visi-visi Lingkungan Jakarta yang berkelanjutan sudah tercapai? 4.Apakah sejauh ini masyarakat pesisir laut marunda sudah merasakan dampak kebijakan yang menjadi tujuan yang dikehendaki? Provinsi DKI Jakarta Suku dinas Peternakan,Perikana n dan Kelautan Jakarta Utara LSM (WALHI,KIARA) Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Suku dinas Peternakan,Perikana n dan Kelautan Jakarta Utara LSM (WALHI,KIARA) Masyarakat nelayan Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Masyarakat Nelayan Marunda Faktor penentu keberhasilan 1.Apakah SDM menjadi faktor keberhasilan kebijakan tersebut? 2.Bagaimana alokasi anggaran pengelolaan lingkungan? Hambatanhambatan 3.Apakah infrastruktur sudah memadai dalam mendukung kebijakan? 1.Apakah terdapat kendala yang paling utama dalam implementasi kebijakan? 2.Apakah selama ini sasaran program atau SDM menentang kebijakan? 3.Apakah upaya Rehabilitas lingkungan berjalan secara Optimal? Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Suku dinas Peternakan,Perikana n dan Kelautan Jakarta Utara Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Suku Dinas Peternakan,Perikana n dan Kelautan Jakarta Utara LSM (WALHI,KIARA) Sumber : Peneliti,2015 3. Studi Dokumentasi Penggunaan dokumen ini berkaitan dengan apa yang disebut analisa isi. Cara menganalisa isi dokumen ialah dengan memeriksa dokumen secara sistematik bentuk-bentuk komunikasi yang dituangkan secara tertulis dalam bentuk dokumen secara obyektif. Kajian isi atau content analysis document ini didefinisikan oleh Berelson yang dikutip Guba dan Lincoln, sebagai teknik penelitian untuk keperluan mendeskripsikan secara objektif, sistematis dan kuantitatif tentang manifestasi komunikasi. Sedangkan Weber menyatakan bahwa kajian isi adalah metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen. 72 Definisi lain dikemukakan Holsti, bahwa kajian isi adalah teknik apapun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara objektif, dan sistematis (Moleong 2007:220). Data dalam penelitian ini adalah berupa dokumen peraturan-peraturan, struktur organisasi, tupoksi dan data-data lain yang menunjang dalam penelitian tentang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut. 3.6 Informan Penelitian Informan adalah objek penting dalam sebuah penelitian. Informan adalah orang-orang dalam latar penelitian yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Oleh sebab itu kita sangat membutuhkan Informan,tanpa seorang Informan kita tidak mungkin mendapatkan hasil atau inti dari sebuah penelitian. Informan juga harus berbentuk adjective, itu dikarenakan akan mempengaruhi valid atau tidaknya data yang kita teliti, dan hal itu pun mempengaruhi ke absahan data yang kita teliti. Informan dipilih secara purposive (dengan memiliki kriteria inklusi) dan key person. Key person ini digunakan apabila peneliti sudah memahami informasi awal tentang objek penelitian maupun informan penelitian, sehingga membutuhkan key person untuk melakukan wawancara mendalam. 73 Tabel 3.6 Deskripsi Informan Penelitian Kode Informan I1 Informan Status Informan Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara Key Informan I2 Suku dinas Peternakan, Secondary Informan Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara WALHI (Wahana Lingkungan Key Informan I3 I4 Hidup) Kemangteers Jakarta (Kesemat Mangrove Valounteer) Key Informan I5 KIARA (Koalisi Rakyat Peduli Perikanan) Key Informan I6-10 Nelayan Key Informan I11 PT.Asianagro Agungjaya Secondary informan I12 PT. Orson Indonesia Secondary informan I13 PT. Dua Kuda Indonesia Secondary informan 3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data 3.7.1. Teknik Pengolahan Data Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Biklen dalam Moleong (2007:248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada 74 orang lain. Di pihak lain, Analisis Data Kualitatif menurut Seidel dalam Moleong (2007:248) prosesnya berjalan sebagai berikut: 1. Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri. 2. Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat ikhtisar, dan membuat indeksnya. 3. Berpikir dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan hubungan-hubungan dan membuat temuan-temuan umum. Sedangkan Irawan mendefinisikan teknik analisis data kualitatif sebagai kegiatan analisis yang dilakukan terhadap data-data non angka seperti wawancara, catatan laporan, buku-buku, artikel, juga termasuk non tulisan seperti foto, gambar, atau film (2006:19). Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak seorang peneliti memasuki lapangan, selama dilapangan dan setelah selesai dilapangan berbagai macam analisis data kualitatif, salah satunya yang akan peneliti gambarkan dalam penelitian ini yakni analisis data kualitatif yang dikemukakan oleh Prasetya Irawan. Seperti yang digambarkan berikut ini : Gambar 3.7 Proses Analisis Data Pengumpulan data mentah Transkrip data Penyimpulan akhir Pembuatan koding Triangulasi (Sumber: Irawan,2006:42) Kategorisasi data Penyimpulan sementara 75 Adapun Penjelasan dari proses analisis data di atas adalah sebagai berikut : 1. Pengumpulan data mentah Tahap pertama yang dilakukan oleh peneliti adalah mengumpulkan data mentah. Hal ini diperoleh melalui wawancara, observasi ke lapangan, kajian pustaka. 2. Transkrip data Pada tahap ini peneliti mulai merubah data yang diperoleh (baik dari hasil rekaman saat wawancara, hasil observasi maupun catatan lapangan yang sebelumnya tersusun rapih) ke dalam bentuk tertulis. 3. Pembuatan koding Pada tahap ketiga, peneliti membaca secara teliti transkrip data yang telah dibuat sebelumnya, kemudian memahami secara seksama sehingga menemukan kata kunci yang akan diberi kode. Hal ini dilakukan untuk mempermudah peneliti pada saat akan mengkategorisasikan data. 4. Kategorisasi data Pada tahap keempat peneliti mulai menyederhanakan data dengan membuat kategori-kategori tertentu. 5. Penyimpulan sementara Pada tahap ini peneliti mengambil kesimpulan sementara dari data yang telah dikategorikan sebelumnya. 6. Triangulasi Triangulasi adalah proses check and recheck antara satu sumber dengan sumber data lainnya. 76 7. Penyimpulan akhir Pada tahap terakhir, peneliti melakukan penyimpulan akhir atas hasil penelitian. Dimana pada tahap ini peneliti dapat mengembangkan teori baru, maupun mengembangkan teori yang sudah ada. 3.7.2 Uji Keabsahan Data Uji keabsahan data melalui Triangulasi dan membercheck. Triangulasi yaitu teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Secara sederhana triangulasi merupakan proses membandingkan data-data yang telah didapat melalui metode pengupulan data. Bahkan dapat pula membandingkan data yang ditemukan oleh peneliti dengan data yang ditemukan oleh peneliti lain yang meneliti tema yang sama. Tujuan trianulasi untuk menguji validitas data serta meningkatkan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah ditemukan. (Sugiyono,2007:32) Penelitian mengenai “Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan laut”, menggunakan dua teknik triangulasi pendekatan untuk menguji keabsahan data yang peneliti dapatkan dari hasil penelitian lapangan. Berikut adalah teknik triangulasi pendekatan yang digunakan peneliti, yang diantaranya: a. Triangulasi sumber, dapat dilakukan dengan mengecek data yang sudah diperoleh dari berbagai sumber. Data dari berbagai sumber tersebut kemudian dipilah dan dipilih dan disajikan dalam bentuk tabel matriks. 77 Data dari sumber yang berbeda dideskripsikan, dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, berbeda dan mana yang lebih spesifik. b. Triangulasi teknik, dapat dilakukan dengan melakukan cek data dari berbagai macam menggunakan teknik teknik pengumpulan wawancara data. mendalam, Misalnya dengan observasi, dan dokumentasi. Data dari ketiga teknik tersebut dibandingkan, adakah konsistensi. Jika berbeda, maka dapat dijadikan catatan dan dilakukan pengecekkan selanjutnya mengapa data bisa berbeda (Fuad dan Nugroho, 2014: 19-20). Berdasarkan pemaparan diatas, dalam menguji keabsahan data, peneliti menggunakan dua teknik triangulasi pendekatan. Dengan menggunakan teknik triangulasi sumber, peneliti memperoleh data dari kategori yang berbeda, yaitu dari sudut pandang pemerintah, LSM dan masyarakat. Sedangkan, teknik triangulasi teknik, peneliti melakukan cek data dari berbagai sumber, yaitu wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Hal ini dijadikan dasar oleh peneliti, untuk mengetahui apakah data yang didapatkan terdapat perbedaan atau tidak. Dan jika terdapat perbedaan, maka selanjutnya peneliti dapat melakukan pengecekkan ulang di lapangan, mengapa data yang diterima berbeda, dan digunakan sebagai catatan penelitian. 3.8 Jadwal Penelitian Jadwal penelitian terhitung persiapan, pelaksanaan dan pelaporan hasil penelitian. Waktu penelitian diuraikan dalam waktu bulan dan disajikan dalam bentuk tabel. Berikut adalah rincian jadwal peneliti 78 Tabel 3.8 Jadwal Penelitian No. Waktu Uraian Kegiatan Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar April Mei 2014 2014 2014 2014 2015 2015 2015 2015 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Pengajuan judul Pre LinearResearch Bab I Pendahuluan Bab II Deskripsi Teori Bab III Metode Penelitian Sidang Proposal Penelitian Pengumpulan data Pengolahan dan analis data Bab IV Pembahasan Bab V Hasil Penelitian Sidang hasil penelitian Sumber : Peneliti, 2015 Juni Sept 2015 2015 2015 BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian 4.1.1 Profil Wilayah Kota Administrasi Jakarta Utara Wilayah daratan Jakarta Utara saat ini mencapai luas 154,11 km2. Jakarta Utara membentang dari barat ke timur sepanjang kurang lebih 35 km, menjorok ke darat antara 4-10 km. Ketinggian dari permukaan laut antara 0-2 m, di tempat tertentu ada yang berada dibawah permukaan laut yang sebagian besar terdiri dari rawa-rawa/ empang air payau. Wilayah kotamadya Jakarta Utara merupakan pantai beriklim panas, dengan suhu rata-rata 28,60 C pada tahun 2012, curah hujan setiap tahun rata-rata 127,3 mm3. Kondisi wilayah merupakan daerah pantai dan tempat bermuaranya 13 sungai. (BPS Kota Administrasi Jakarta Utara 2014) Sesuai dengan pembagian Kotamadya, maka Wilayah Jakarta Utara mempunyai batas pemisah dengan Kotamadya lainya, sebagai berikut: Wilayah Kotamadya Jakarta Utara dibatasi dengan batas sebagai berikut : Sebelah Utara : Laut Jawa Koordinat 1060 29-00 BT 150 10-00 LS 1060 07-00 BT 050 10-00 LS Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kotamadya Jakarta Pusat dan Kotamadya Jakarta Timur. Sebelah Barat : Berbatasan dengan. Berbatasan dengan wilayah Kotamadya Jakarta Barat dan Kabupaten Tangerang Provinsi Banten.Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kotamadya Jakarta Timur dan Kabupaten Administratif Bekasi Provinsi Jawa Barat. (Buku Saku Profil Kota Administrasi Jakarta Utara 79 Gambar 4.1 Peta Administrasi Kota Jakarta Utara Sumber : BPS kota Administrasi Jakarta Utara (2014) Grafik 4.1 Sumber : BPS Jakarta Utara 81 Pada grafik 4.1 jumlah penduduk Jakarta Utara pada tahun 2010 1.653.178 jiwa kemudian pada tahun 2011 mengalami kenaikan yaitu pada angka 1.672.882 jiwa dan pada tahun 2012 jumlah penduduk naik menjadi 1.692.338 jiwa disusul pada tahun 2013 yang juga mengalami kenaikan pada angka 1.711.036 jiwa dan terakhir pada tahun 2014 terus mengalami peningkatan jumlah penduduk menjadi 1.729.444 jiwa. Jumlah penduduk yang terus meningkat ini perlu dicermati karena dapat menimbulkan berbagai bidang. Masalah yang berkaitan erat dengan jumlah penduduk yang tinggi antara lain pemukiman, kesehatan, dan lingkungan. 4.1.2 Potensi Kota Administrasi Jakarta Utara Jakarta Utara sebagai bagian dari wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta mempunyai potensi bidang peternakan perikanan dan kelautan. Sebagai informasi jumlah nelayan Jakarta Utara tahun 2013 adalah sebanyak 24.028 orang tersebar di wilayah pesisir kelurahan Kamal Muara, Kelurahan Pluit, Kelurahan Pademangan, Kelurahan Tanjung Priok, Kelurahan Lagoa, Kelurahan Kalibaru, Kelurahan Cilincing dan Kelurahan Marunda. Selain nelayan tersebut, juga terdapat pengolah, pedagang ikan, pembudidaya ikan hias, konsumsi maupun pelaku ekonomi di sektor perikanan banyak terdapat di Kotamadya Jakarta Utara.(Buku Saku Suku Dinas Peternakan,Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara 2013:2) Sektor peternakan banyak pembudidaya ternak seperti pembudidaya itik, ayam buras, burung puyuh, perkutut, serta olahan hasil ternak banyak tersebar di Jakarta Utara disamping sektor perikanan dan peternakan juga banyak kelompok masyarakat yang tinggal di Jakarta Utara belum mengetahui potensi peternakan perikanan dan kelautan seperti para pelajar para santri maupun masyarakat lainnya. Untuk memudahkan dalam pembinaan maupun operasional bagi para petani nelayan maupun peternak perlu adanya organisasi atau kelompok sejenis yang bisa menjembatani antara pelaku ekonomi tersebut dengan pihakpihak yang terkait maupun organisasi/kelompok maka perlu dilakukan pembinaan yang berkelanjutan. Visi dan Misi Kota Jakarta Utara VISI : “Mewujudkan Kota Jakarta Utara Menjadi Kota yg Bersaing di Era Pasar Bebas” MISI : Pembenahan dan Penataan Infrastruktur Peningkatan Daya Saing Usaha Kecil Menengah Pembangunan Kota menuju kota Smart City Pengembangan Kawasan PelabuhanVisi dan Misi Kota Administrasi Jakarta Utara. 83 4.1.3 Profil Wilayah Kecamatan Cilincing Wilayah Kecamatan Cilincing Kota Administrasi Jakarta Utara sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1974 Tentang Perubahan wilayah, bahwa Desa Pusaka Rakyat masuk ke Kelurahan Sukapura Kecamatan Cilincing Jakarta Utara wilayah Pemerintahan daerah DKI Jakarta dan sesuai dengan SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta nomor 1251 tahun 1986 tanggal 19 Juli 1986 tentang Pemecahan, Penyatuan batas, Perubahan Nama yang sama/kembar dan Penerapan luas wilayah DKI Jakarta, maka Kecamatan Cilincing yang semula terdiri dari 5 kelurahan berubah menjadi 7 kelurahan setelah ada 2 kelurahan yang dimekarkan yaitu Kelurahan Semper dipecah/dimekarkan menjadi Kelurahan Semper Barat dan Semper Timur, serta Kelurahan Sukapura dan Kelurahan Rorotan, sehingga Kecamatan Cilincing mempunyai 7 Kelurahan. Adapun luas wilayah Kecamatan Cilincing Jakarta Utara setelah pemekaran wilayah menjadi 3.969.960 Ha. Kecamatan Cilincing terdiri dari 87 RW dan 1017 RT dengan paling padat berada di wilayah kelurahan Semper Barat. (Kecamatan Cilincing,2011) Kecamatan Cilincing merupakan salah satu Kecamatan yang berada di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Utara, dengan batas - batas sebagai berikut Sebelah Timur berbatasan dengan Wilayah Kecamatan TarumaJaya Kabupaten Bekasi Jawa Barat Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa 60.6 LS dan 116.2 BT Sebelah Barat berbatasan dengan Wilayah Kecamatan Koja Sebelah Selatan berbatasan dengan Wilayah Kecamatan Cakung Kota Administrasi Jakarta Timur. (BPS Kota Administrasi Jakarta Utara) Gambar 4.3 Peta wilayah Cilincing Jakarta Utara Sumber: Google Maps.Cilincing Jakarta Utara.com Masyarakat Kecamatan Cilincing cukup heterogen, terdiri dari berbagai Suku Bangsa antara lain Betawi, Sulawesi, Jawa Barat, Madura dan sebagainya terlebih di Daerah Industri KBN banyak datangi tenaga kerja dari luar Jakarta bahkan dari luar Pulau Jawa. Interaksi masyarakat cukup berjalan harmonis walupun dengan latar belakang budaya yang berbeda. Kecamatan Cilincing menjadi Tujuan Wisata dan daerah Industri seperti Rumah Si Pitung dan Masjid Al-A’lam bersejarah dipinggiran pantai Marunda Pulo, yang merupakan bagian rencana pembangunan Pantai Publik dan Gedung Pusat Kesenian Betawi juga merupakan salah satu jalur wisata pesisir, kemudian Rumah Abu Wan Lin Chie merupakan seni budaya Budha dan juga dapat ditampilkan seni Barongsai dalam setiap pentas seni Tionghoa. Gedung Penampungan mayat agama Hindu (krematorium) dengan lahan yang masih sangat luas untuk memperkaya kebudayaan dan wisata, Gereja Tugu yang merupakan salah satu jalur destinasi 87 wisata pesisir, pesta laut (Nadran) yang diadakan tiap tahun sebagai objek wisata tahunan, Rencana Pantai Publik yang dikunjungi oleh wisatawan lokal dan luar sebagai wisata pantai dan wisata kuliner pesisir dan menjadi pusat industri yaitu di Kawasan Berikat Nusantara kemudian terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Kalibaru dan Cilincing yang menyokong kebutuhan ikan baik lokal maupun internasional. (Kecamatan Cilincing, 2011) Tabel 4.2 Kepadatan penduduk dan sex ratio menurut kecamatan tahun 2013 Luas (Km2) % Penjaringan 45,4057 30,96 Pademangan 11,9187 8,13 Tanjung Priok 22,5174 15,35 Koja 12,2544 8,36 Kelapa Gading 14,8670 10,14 Cilincing 39,6996 27,07 Kecamatan Jakarta Utara 146,6628 100,00 Sumber : BPS Kota Administrasi Jakarta Utara (2013) Berdasarkan pada Tabel 4.4 diatas Kecamatan Penjaringan termasuk salah satu kecamatan terpadat di Jakarta Utara. Tingkat kepadatan penduduk sekitar 30,96 persen . Dari luas wilayah 45,4057 Km2, 90 hektar di antaranya untuk industri dan sisanya untuk permukiman bagi 46.328 jiwa. (BPS Kota Administrasi Jakarta Utara 2013 89 Tabel 4.3 Jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin tahun 2013 Kecamatan Laki-laki Perempuan Jumlah Penjaringan 152.089 143.973 296.062 Pademangan 82.032 77.169 159.201 Tanjung Priok 200.493 191.388 391.881 Koja 162.995 154.382 317.377 63.387 64.426 127.813 197.503 190.742 388.245 Jakarta Utara 2012 858.499 869.518 822.080 818.961 1.680.579 1.688.479 2011 888.004 829.505 1.717.509 Kelapa Gading Cilincing 2010 777.771 645.840 1.423.611 Sumber : BPS Kota Administrasi Jakarta Utara, 2013 Pada tabel 4.3 diatas menurut data jumlah penduduk tingkat kecamatan tertinggi terletak di kecamatan Tanjung Priok yaitu sejumlah 391.881 jiwa disusul oleh kecamatan Cilincing pada angka 388.245 jiwa kemudian pada kecamatan Penjaringan sejumlah 296.062 jiwa dan Kelapa Gading terendah yaitu 127.813 jiwa. Jumlah penduduk mengalami penurunan pada tahun 2013 yaitu dari 1.688.479 menjadi 1680.579. Jumlah penduduk yang tinggi di kecamatan Cilincing memberi peluang terhadap berbagai permasalahan di sekitar lingkungan yang memang berada di dekat laut Marunda Cilincing Jakarta Utara. 87 4.2 Deskripsi Data 4.2.1 Deskripsi Data dan Analisis Data Hasil Penelitian Data yang akan disajikan dibawah ini merupakan data yang sudah melalui proses reduksi. Deskripsi data menjelaskan hasil penelitian yang diolah dari data mentah dengan menggunakan analisis yang relevan. Dalam penelitian ini menggunakan teori model Implementasi Ripley dan Franklin (1986:11) yang menyebutkan bahwa keberhasilan implementasi ditentukan dengan adanya kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku, pelaksanaan rutinitas fungsi dan dampak yang ingin dikehendaki. Mengingat bahwa jenis dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka dapat yang diperoleh bersifat deskriptif yang berbentuk kata dan kalimat dari hasil wawancara, observasi lapangan serta data atau hasil dokumentasi lainnya. Berikut adalah daftar informan setelah observasi. Tabel 4.4 Deskripsi Informan Penelitian Setelah Observasi Kode Informan I1 I2 Keterangan Informan Kategori Informan Kantor Lingkungan Hidup Key Informan Jakarta Utara (Sub.Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan) dengan Ibu MG Evy Sulistyowati Suku dinas Peternakan, Key Informan Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara. (Seksi Perikanan dan Kelautan) dengan Bpk.A.Choliq S.P Msi I10 WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) DKI JAKARTA Deputi WALHI dengan Bpk.Zainal Muttaqin KIARA (Koalisi Rakyat Peduli Perikanan) Koordinator Monitoring dan Evaluasi KIARA dengan Ibu Susan Herawati Romica Nelayan 1. Bpk.Kubil (I6) sebagai ketua nelayan Marunda 2. Bpk.Jumani (I7) sebagai ketua nelayan Kalibaru barat 3. Bpk.Suhajan (I8) sebagai anggota nelayan 4. Bpk.Suparjo (I9) sebagai anggota nelayan PT.Asianagro Agungjaya I11 PT. Orson Indonesia 112 PT. Dua Kuda Indonesia I13 Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Bidang Penegakan Hukum Lingkungan. Bpk.Arifudin Nur I3 I4 I6-9 Key Informan Key Informan Key Informan Secondary informan (Tidak bersedia di wawancara karena suatu hal) Secondary informan (Bersedia diwawancara) Secondary Informan (Tidak bersedia diwawancara karena suatu hal) Secondary informan Berdasarkan teknik analisis data kualitatif mengikuti konsep model Interaktif oleh Prasetya Irawan (2006:149), data-data tersebut dianalisis selama penelitian berlangsung. Selama penelitian dilakukan dengan menggunakan tujuh tahap penting, diantaranya pengumpulan data mentah, analisis data dimulai dengan melakukan pengumpulan data mentah, misalnya dengan wawancara, observasi lapangan, kajian pustaka. Pada tahap ini dibutuhkan alat-alat pendukung 89 seperti tape recorder, kamera dan lain-lain. Data yang dicatat adalah data apa adanya (verbatim), tidak diperkenankan untuk mencampuradukan pikiran, pendapat, maupun sikap dari peneliti itu sendiri. Transkrip data, pada tahap ini catatan hasil wawancara dirubah kebentuk tertulis seperti apa adanya (verbatim) bukan hasil pemikiran atau pendapat pribadi peneliti. Untuk mempermudah dalam melakukan transkrip data maka peneliti menggunakan kode pada aspek tertentu : 1. Kode Q1.2.3 dan seterusnya menandakan daftar urutan pertanyaan 2. Kode I1.2.3 dan seterusnya menandakan daftar urutan informan. Kemudian Pembuatan koding, pada tahap ini membaca ulang seluruh data yang sudah ditranskrip dengan mengambil kata kuncinya, data kata kunci ini kemudian diberi kode. Kategorisasi data, pada tahap ini peneliti mulai ‘’menyederhanakan’’ data dengan cara mengikat konsep-konsep (kata-kata) kunci dala satu besaran yang dinamakan ‘kategori’. Penyimpulan sementara, membuat penyimpulan sementara berdasarkan data yang ada tanpa memberi penafsiran dari pikiran peneliti sendiri. Kesimpulan ini 100% harus berdasarkan data. Kemudian triangulasi, temuan yang dihasilkan dicek ulang derajat keabsahannya dengan menggunakan teknik triangulasi sumber dan teknik. Teknik pengumpulan data dengan triangulasi data yaitu dengan menggabungkan teknik pengumpulan data interview (wawancara), teknik pengumpulan data melalui dokumentasi serta dilengkapi dengan catatan lapangan yang kemudian diberi kode. Keabsahan yang digunakan yaitu membercheck dan 90 triangulasi. Triangulasi yang digunakan oleh peneliti yaitu triangulasi sumber dan teknik. Pembahasan dan analisis dalam penelitian ini merupakan suatu data dan fakta yang peneliti dapatkan langsung dari lapangan serta disesuaikan dengan teori yang peneliti gunakan yaitu teori implementasi model Ripley dan Franklin. Menurut Ripley dan Franklin (dalam Alfatih 2010:51-52) ada tiga cara yang dominan bagi suksesnya implementasi kebijakan, yaitu: 1. Tingkat kepatuhan pada ketentuan yang berlaku (the degree of compliance on the statute), tingkat keberhasilan implementasi kebijakan dapat diukur dengan melihat tingkat kepatuhan terhadap isi kebijakan dengan mandat yang telah diatur. 2. Lancarnya pelaksanaan rutinitas fungsi, (smoothly functioning routine and the absence of problem), keberhasilan implementasi kebijakan dapat ditandai dengan lancarnya rutinitas fungsi dan tidak adanya masalah yang dihadapi. 3. Terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki (the leading of the desired performance and impact), bahwa dengan adanya kinerja dan dampak yang baik merupakan wujud keberhasilan implementasi kebijakan. 91 4.2.1 Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Dan/atau Perusakan Laut (Studi kasus Wilayah Laut Marunda Jakarta Utara) Sebagian besar wilayah Republik Indonesia berupa perairan laut yang letaknya sangat strategis. Perairan laut Indonesia selain dimanfaatkan sebagai sarana perhubungan laut lokal maupun internasional, juga memiliki sumber daya laut yang sangat kaya dan penting, antara lain sumber daya perikanan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan pada daerah pesisir dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata yang menarik. Laut juga mempunyai arti penting bagi kehidupan makhluk hidup seperti manusia, juga ikan, tumbuh-tumbuhan dan biota laut lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor kelautan mempunyai potensi yang sangat besar untuk dapat ikut mendorong pembangunan di masa kini maupun masa depan. Oleh karena itu, wilayah laut Marunda Jakarta Utara yang merupakan salah satu potensi sumber daya alam, sangat perlu untuk dilindungi. Hal ini berarti pemanfaatannya harus dilakukan dengan bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Agar laut dapat bermanfaat secara berkelanjutan dengan tingkat mutu yang diinginkan, maka kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut menjadi sangat penting. Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan ini merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga menyebutkan hak setiap anggota masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang diikuti dengan kewajiban untuk memelihara dan 92 melestarikan fungsi lingkungan hidup, sehingga setiap orang mempunyai peran yang jelas tentang hak dan kewajiban-nya didalam upaya pengenda1ian pencemaran dan/atau perusakan laut. Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan juga untuk melaksanakan tujuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya yang ada kaitannya dengan masalah lingkungan hidup serta melaksanakan misi yang tercantum dalam konvensi internasional yang berkaitan dengan hukum laut atau pengenda1ian pencemaran dan/atau perusakan laut. Peraturan Pemerintah ini berkaitan sangat erat pula dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Air , Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun dan Peraturan Pemerintah tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pengendalian Dampak Lingkungan ke Daerah. 4.2.1 Tingkat Kepatuhan pada ketentuan yang berlaku Kepatuhan menunjuk apakah implementor patuh terhadap prosedur dan standar aturan yang ditetapkan. Dalam suatu kebijakan termasuk salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Studi kasus wilayah laut Marunda Jakarta Utara) dalam implementasinya membutuhkan beberapa hal yang mendukung keberhasilan dari suatu kebijakan. Ada beberapa kriteria yang menggambarkan kondisi faktual dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Seperti sejauhmana tingkat kepatuhan semua elemen pada prosedur yang ditetapkan oleh aturan tentang lingkungan hidup, 93 seperti bagaimana pemenuhan baku mutu laut, pedoman kerusakan mangrove, serta tata cara perizinan pembuangan limbah ke laut. Kemudian untuk mengetahui bagaimana yang terjadi dilapangan kita dapat melihat apakah rutinitas fungsi berjalan lancar atau tidak serta apa kendalanya yang sesuai dengan dampak yang dikehendaki oleh suatu kebijakan. Kepatuhan implementor dalam hal pengendalian pencemaran meliputi banyak sektor yang terlibat seperti pemerintah, masyarakat, dan swasta (industri). Mekanisme pengendalian pencemaran yaitu mulai dari pencegahan meliputi KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis), Baku Mutu Lingkungan Hidup, Amdal, UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan) /UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan) dan lain sebagainya kemudian penanggulangan sampai pemulihan. Hasil wawancara dan observasi peneliti pada lokasi penelitian yaitu di kawasan laut Marunda bahwa memang mekanisme dan aturan yang ada belum sepenuhnya dipatuhi oleh seluruh yang terlibat seperti dalam wawancara ke Subid.Pengawasan dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan di Kantor lingkungan Hidup Jakarta menjelaskan bagaimana implementor belum semuanya mematuhi aturan yang berlaku. I1 menyatakan bahwa : ‘’Selama ini implementor belum sepenuhnya mematuhi, tetapi tahun ini Subid.Pengawasan dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan memfokuskan untuk melakukan pengawasan pada kawasan industri yaitu dengan cara mengeluarkan Status Ketaatan Lingkungan. Dengan itu dapat dilihat apakah industri taat atau tidak. Karena selama ini khusus di kawasan Marunda permasalahannya itu tidak semua mempunyai IPAL, padahal secara teknis harusnya yang menyediakan adalah pengelola kawasan industri tersebut (KBN) bukan dari perusahaan masing-masing karena mereka beranggapan sudah mengontrak dan pengelolaan limbah dari pengelola kawasan. Ini yang menjadi ketidakjelasan aturan yang selama ini tidak dipatuhi sehingga pencegahan juga tidak ditaati. (Rabu, 22 April 2015 pukul 11.02 wib) 94 Tingkat kepatuhan yang selama ini menjadi masalah tentang ketersediaan IPAL khususnya di KBN Marunda harus diselesaikan sehingga prosedur pencegahan pencemaran terlaksana dengan baik seperti yang diungkapkan oleh Kantor Lingkungan Hidup yaitu: ‘’kita dari pemerintah akan melakukan upaya mediasi terhadap permasalahan ini yaitu dengan mencarikan solusi antara si pengelola kawasan dengan industri yang berada disitu. Memang waktu itu sudah akan dilaksanakan mediasi tetapi gagal karena terkendala waktu tetapi secepatnya kita akan melakukan upaya agar cepat terselesaikan dengan baik. (wawancara dengan Subid.Pengawasan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Ibu MG Evy Sulistyawati S.Si pada tanggal 23 September 2015 pukul 15.32 wib) Dengan hal tersebut menunjukan bahwa sejumlah pabrik dikawasan industri tersebut juga tidak memenuhi prosedur atau persyaratan yang telah tertuang dalam peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut yang didalamnya mengatur bahwa setiap penanggung jawab usaha/kegiatan yang membuang limbah harus memenuhi baku mutu air laut, baku mutu limbah cair sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dikatakan dalam wawancara peneliti kepada pihak Kantor lingkungan Hidup menyatakan bahwa: ‘’Prosedur yang telah ditetapkan dalam mengendalikan pencemaran laut melalui pemenuhan baku mutu, tata cara perizinan pembuangan limbah, dan pengelolaan limbah’’ (wawancara dengan ibu MG Evy Sulistyawati Ssi pada tanggal 23 September 2015 pukul 15.20 wib). Dalam kondisi dilapangan yaitu pada Kawasan Industri yang terletak di sekitar laut Marunda kenyataannya tidak semua memiliki IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) sebagai sarana atau lokasi pembuangan limbah hampir 95 seluruh industri tersebut hanya memiliki dokumen lingkungan. Seperti yang dikutip dari wawancara dengan Sub.bidang Pengawasan dan Pengendalian Dampak Lingkungan bahwa perusahaan yang memiliki IPAL serta tidak memiliki kelayakan UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan) dan UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan) yang memadai, hal tersebut menunjukan bahwa sejumlah sektor industri tidak patuh. Saat peneliti mengkonfirmasi kepada beberapa industri di Kawasan berikat nusantara Marunda, PT.Orson Indonesia bagian produksi dan pengelolaan limbah menyebutkan: ‘’Perusahaan hanya memiliki limbah domestik jadi hanya mengelola limbahnya sederhana, tetapi perusahaan berusaha taat terhadap laporan yang tiap enam bulan sekali itu, kita akan bersikap kooperatif terhadap instansi yang berwenang. (Wawancara pada Rabu, 10 Juni 2015 pukul 14.30 wib). Peneliti kemudian hendak melakukan wawancara kembali terkait pengelolaan limbah industri di perusahaan pengolahan minyak nabati dan sabun dengan hal ini mengirimkan surat izin penelitian tertanggal 07 April 2015 dan pihak perusahaan mengkonfirmasikan tidak bersedia di wawancara dengan alasan ada beberapa hal yang tidak bisa disampaikan atau diinformasikan. Kemudian peneliti mengkonfirmasi mengenai beberapa hal yang ingin diketahui melalui pihak pemerintah yang memiliki data perihal tersebut. ‘’Kalau untuk PT.Asianagro sih 2tahun yang lalu laporan lingkungannya bagus karena merupakan salah satu perusahaan yang ikut proper dan memang sudah memilki IPAL memang terkadang ada beberapa masalah pada alat IPAL nya tersebut. Pembuangan limbah yang mereka lakukan melalui IPAL tersebut. Tetapi memang masih banyak perusahaan yang tidak memiliki IPAL yang baik’’ (wawancara dengan Subid.Pengawasan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Ibu MG Evy Sulistyawati S.Si pada tanggal 23 September pukul 15.52 wib) 96 Dalam hal ini ketaatan yang tidak dipenuhi oleh oleh industri juga I1 Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara Sub bidang Pengawasan dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan dalam wawancara mengungkapkan : ‘’Untuk yang tahun kemarin (2014) 24 perusahaan yang saya ambil sample di wilayah Jakarta Utara hanya 2 yang taat ketika saya cek dilapangan yang memenuhi baku mutu, yang sisa 22 ini saya kejar untuk memberikan progress masuk dalam pembinaan satu, jika nanti bulan mei (masuk dalam tahap pembinaan 2) tidak memberikan progress sudah akan saya eksekusi langsung untuk sanksi.’’ (Rabu, tanggal 22 April 2017 pukul 10.45 wib) Bentuk pengawasan yaitu melalui teguran surat yang ditujukan kepada perusahaan yang berisi beberapa poin penting perbaikan baku mutu limbahnya agar sesuai dengan aturan yang berlaku. Melalui bentuk surat tersebut perusahaan dituntut melaporkan progress terhadap perbaikan kepada instansi pemerintah yang berwenang. Pemerintah bukan hanya mengawasi perusahaan saja tetapi melakukan identifikasi terhadap pencemaran yang terjadi melalui kegiatan inventarisasi air laut. Selain permasalahan tentang IPAL, sumber pencemaran juga dapat berasal dari berbagai hal seperti limbah yang dibawa oleh sungai dan limbah masyarakat sekitar. Berikut pernyataan dari kepala seksi perikanan dan kelautan Jakarta Utara: ‘’Kalau berbicara pencemaran disitu sebenarnya karena dari 13 sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta, pencemaran terjadi dari hulu sampe hilir. Jika dilihat bagaimana implementornya kalau pencemaran dibawah koordinasi Asisten kesejahteraan masyarakat yang disitu membawahi suku-suku dinas seperti BPLHD, Perikanan dan Kelautan, Perhubungan dan yang berhubungan dengan SDM Industri itu ketenagakerjaan. Kami perikanan hanya melaporkan dampak negatif dari pencemaran yang diterima oleh nelayan, walaupun aturan-aturan tersedia seperti aturan larangan sampah, AMDAL, UKL/UPL tetapi pengawasan masih rendah jadi selama ini masih terjadi pencemaran.’’ (Rabu,22 April 2015 pukul 12.32 wib). 97 Limbah domestik yang berasal dari masyarakat juga memberikan peluang terhadap pencemaran yang terjadi di wilayah perairan laut Marunda kondisi ini menurut I1 mengungkapkan dalam wawancaranya: ‘’Jika berbicara limbah yang mencemari perairan laut Marunda selama ini jika dari masyarakat aturannya paling hanya UU No.3 Tahun 2013 tentang sampah yaitu , dan untuk pengelolaan limbah domestik yang grey water dan black water sudah ada yang dari masyarakat kan. Padahal sebenarnya spitank itu kan sudah tidak boleh digunakan lagi, tetapi apakah masyarakat sudah menaati, nyata nya belum. jadi selain kita menekan pihak industri untuk mengolah limbahnya, domestik juga harus membuatkan pengolahan limbah untuk komunal (dari masyarakat) itu yang belum ada IPAL komunal, yang dari rumah tangga pun juga harus menaati. (wawancara pada Rabu 22 April 2015 pukul 10.32 wib) Kondisi tersebut menyebabkan dampak negatif yang dirasakan akibat tidak mematuhi prosedur dalam pengendalian pencemaran laut terhadap lingkungan sekitar seperti masyarakat nelayan. I6 yang berperan sebagai Ketua nelayan Marunda mengungkapkan dalam wawancara yang dilakukan oleh peneliti yaitu: ‘’Aturan memang ada, dari mulai pencegahan pencemaran sampai pemulihan, tetapi kenyataannya laut masih saja tercemar walaupun sering ada pembinaan kelompok-kelompok nelayan tetapi outputnya belum ada yang bisa dirasakan langsung manfaatnya sama kita.’’ (Bpk.Kubil Ketua nelayan Marunda pada Minggu, 19 April 2015 pukul 16.13 wib) Dampak dari pencemaran yang selama ini terjadi di laut Marunda Cilincing membuat nelayan mengeluh dengan keadaan tersebut, karena jumlah tangkapan ikan menurun.seperti yang diungkapkan oleh I7 dalam wawancaranya bahwa : ‘’Dengan misalnya laut tercemar selama ini aturan hanya aturan, tapi dampak pencemarannya begitu kita rasakan untuk mendapatkan ikan kita harus benar-benar ke tengah tetapi ikan yang kita dapatkan sedikit, dengan ke tengah kan biaya solar nambah, makanya aturan apapun kita harap segera dilakukan tindakan tegas kepada yang berwenang’’. (Wawancara dengan Bpk.Jumani Minggu, 19 April 17.02 wib) 98 Dengan tidak dilaksanakan prosedur dan aturan yang berlaku maka akan memperparah pencemaran yang terjadi sehingga berdampak ke lingkungan sekitar, terutama para nelayan di sekitar Marunda Cilincing yang mengeluhkan penurunan hasil tangkapan ikan. Senada yang diungkapkan oleh I2 selaku Kepala Seksi Suku Dinas Peternakan,Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara yaitu untuk status pencemaran yang terjadi dikawasan laut Marunda sudah berat dan diambang batas, kita dari sisi perikanan adalah korban dari pencemaran tersebut sehingga memang terjadi penurunan tangkapan hasil ikan.’’(Rabu, 22 April 2015 pukul 12.05 wib) 99 Tabel 4.5 Rekapan Data Produksi Ikan Tangkap Suku Dinas Kelautan,Pertanian dan Ketahanan Pangan Jakarta Utara REKAPAN DATA PRODUKSI IKAN TANGKAP SUKU DINAS KELAUTAN, PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN KOTA ADMINISTRASI JAKARTA UTARA TAHUN 2014 TRIWUL AN TRI WULAN I (JanuariMaret 2014 2 TRI WULAN II (April-Juni 2014 3 TRI WULAN III (JuliSeptember 2014 4 TRI WULAN IV (OktoberDesember 2014 JUMLAH TOTAL KUB Produ ksi (Kg) Nilai 256.09 7 Jumlah Total NON KUB Produk si (Kg) Nilai Produk si (Kg) Nilai 4.012.401.5 17 248.404 1.764.808.5 00 504.501 5.777.210.0 17 259.73 1 2.852.262.5 00 515.533 3.844.060.2 00 775.264 6.696.322.7 00 380.66 8 9.882.786.0 00 1.151.8 13 14.113.721. 100 1.532.4 81 23.996.507. 100 433.65 5 7.483.430.5 00 169.468 3.650.998.0 00 603.123 11.134.428. 500 1.330.1 51 24.230.880. 517 2.085.2 18 23.373.587. 800 3.415.3 69 47.604.468. 317 ( Rp) ( Rp) ( Rp) 1 Sumber : Suku dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Jakarta Utara 2014 100 Dari tabel 4.8 tersebut dapat dilihat pada periode Triwulan III yaitu pada bulan Juli hingga September mencapai angka 1.532.481 kg, dan ketika pada hasil rekapan pada Triwulan IV yaitu sekitar bulan Oktober hingga Desember terjadi penurunan yang drastis hingga mencapai 603.103 kg. Penurunan hasil tangkapan ikan dikeluhkan oleh para nelayan. Kepatuhan menjadi hal yang paling dibutuhkan dalam keberhasilan implementasi kebijakan, sebagai organisasi yang konsen terhadap permasalahan lingkungan Deputi WALHI Jakarta yakni Bpk.Zainal Muttaqin mengungkapkan sejauhmana implementor sudah mematuhi aturan pengendalian pencemaran dari pencegahan hingga pemulihan dalam wawancaranya sebagai berikut: ‘’Kalau di lihat dari IPAL yang sudah sesuai aturan yang dibuat, aturan sudah jelas, tetapi jika melihat limbah yang masih tidak bagus kan berarti ada masalah. Misalnya dari pengawasan yang kurang ketat, kemudian IPAL yang dimainkan oleh industri sehingga faktanya limbah tidak diurus secara baik dan dampaknya terhadap lingkungan, nelayan juga.’’(Rabu, 29 April 2015 pukul 13.20 wib) Pemerintah sebagai stakeholder pemangku kebijakan berwenang untuk mengatur ataupun mengendalikan apa saja yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, dalam hal ini Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara selaku stakeholder yang mempunyai tugas pencegahan hingga penegakan hukumnya. Untuk mengimplementasikan maka pemerintah harus mewujudkan tumbuhnya komitmen untuk meningkatkan kesadaran dan ketaatan terhadap upaya-upaya pengendalian pencemaran lingkungan laut. Peran dari BPLHD dalam hal ini sebagai stakeholder tingkat provinsi yang memegang komando 101 pengelola permasalahan lingkungan hidup wilayah DKI Jakarta, maka untuk mengatasi pengendalian pencemaran laut, mempunyai tugas dalam pengawasan seperti yang dikatakan oleh I13 selaku Bidang Penegakan Hukum Lingkungan BPLHD Provinsi DKI Jakarta yaitu: ‘’Peran kita secara aktif dan pasif. Kalau aktif sudah pasti karena mereka yang melapor dan kita nilai dari dokumennya sedangkan pasif biasanya sesuai dengan prioritas misalnya yang laporannya terlalu jelek dan terlalu bagus maka akan kita cek ke lapangan’’. (Senin, 27 April 2015 pukul 12.15 wib) Maka disini peran pemerintah sangat diperlukan, seperti yang disebutkan oleh I4 yaitu sebagai berikut : ‘’Peran mereka (pemerintah) biasanya hanya setelah terjadi dampak. Kejelasan dan konsistensi juga belum ada i’tikad yang baik untuk menjelaskan duduk permasalahan karena dinas itu biasanya hanya turun secara programatis saja misalnya mereka tidak perhatian secara hal lain dalam hal ini contohkan saja menanam mangrove, tidak memikirkan maintanance nya jadi mereka hanya based programatic. (wawancara dengan Ibu Susan Herawati Romica koordinator monitoring dan evaluasi KIARA pada senin, 20 April 2015 pukul 14.02 wib) Pada kesempatan lain peneliti juga menanyakan perihal yang sama dengan pihak LSM yang selama ini konsen terhadap permasalahan lingkungan hidup di daerah DKI Jakarta, informan menyebutkan ketidakpatuhan dari suatu kebijakan juga tidak luput dari peran dari pihak yang berwenang, I3 mengungkapkan : ‘’Sejauh ini peran tidak terlihat dan cenderung tidak ada tindakan yang berarti, harusnya kan minimal jika memang terjadi pelanggaran upaya penyegelan harus dilakukan karena jika memang yang menyebabkan pencemaran salah satunya aktivitas industri maka jika IPAL nya buruk maka seharusnya aktivitas industri harus disegel sampe perusahaan mengikuti prosedur yang benar, konsistensi dari para pelaksana program tidak ada dan kita tidak pernah tahu apa yang terjadi dilapangan. (Zaenal Muttaqim, Deputi WALHI Jakarta wawancara pada Rabu, 29 April 2015 pukul 13.11 wib) 102 Dari beberapa hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti perihal ketidakpatuhan meliputi bagaimana prosedur dijalankan dengan benar atau tidak, yang terjadi dilapangan adalah ada beberapa hal seperti pihak industri yang diduga mempunyai peluang terhadap pencemaran mereka sebagian tidak mengikuti prosedur dengan benar seperti ada beberapa pihak industri yang tidak mempunyai IPAL (instalasi pengelolaan limbah) kemudian ada beberapa industri yang tidak taat tentang laporan pengelolaan limbahnya kepada instansi terkait dalam hal ini BPLHD atau Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara, kemudian kepatuhan dalam hal ini peran dari instansi yang berwenang dari beberapa wawancara yang dilakukan oleh peneliti bahwa pihak nelayan dan LSM menyatakan bahwa pemerintah yang berwenang tidak optimal dalam pelaksanaan tupoksinya, hal ini ditandai dari peran dari mereka tidak terlihat dan tidak adanya tindakan yang berarti yang mengatasi pencemaran laut selama ini. Belum maksimalnya peran dari pihak pemerintah, keberhasilan kebijakan pengendalian pencemaran laut memang perlu dukungan dari berbagai pihak seperti masyarakat, LSM, dan industri. Dukungan dari masyarakat dan LSM juga sangat berpengaruh bagaimana meminimalisir dampak dari pencemaran laut tersebut, seperti dalam penjelasan dukungan mereka I4 terhadap masyarakat pesisir Marunda : ‘’Kami sudah beberapa kali melakukan sesuatu diantaranya mengingatkan perusahaan tersebut walaupun akses masuk dibatasi, melakukan advokasi terhadap pemangku kebijakan , kami ciptakan ruang kepada nelayan untuk mediasi dengan pemerintah dan membawa kasus pencemaran ini ke nasional, dilain hal kita juga coba membangkitkan semangat nelayan untuk meningkatkan kreativitas mereka contohnya di Marunda Kepu ibu-ibu kita ajar untuk melakukan pengolahan kerang atau pembinaan ekonomi kreatif.’’ 103 (wawancara dengan Ibu Susan Herawati Romica koordinator monitoring dan evaluasi KIARA pada senin, 20 April 2015 pukul 14.02 wib) Dukungan-dukungan yang ada dari pihak non pemerintah diharapkan pengendalian pencemaran dalam hal ini dalam konteks pemulihan pencemaran dapat berjalan dengan baik sesuai dengan mekanisme yang tertuang dalam peraturan, senada dengan pernyataan dari I3 dalam wawancaranya yaitu : ‘’Secara khusus walhi memberikan dukungan dalam bentuk masih berupa kampanye, walaupun kita tidak fokus ke Marunda saja tetapi pada lingkungan Jakarta Marunda menjadi salah satu keys, karena kita sendiri kan ketika menghadapi situasi limbah di Teluk Jakarta dan sungai,kita dorong isunya dengan Revitalisasi lingkungan sesuai dengan UU PPLH tahun 2009 dengan stand posisi itu walhi juga menolak reklamasi dan pembuatan tanggul raksasa. Kita prioritaskan di kampanye kita Revitalisasi Sungai yang mana 13 sungai membawa banyak sekali berbagai macam limbah seperti rumah tangga, industri dan semacamnya diperparah dengan keberadaan pabrik sepanjang pinggir laut seperti pabrik kaca yang tinggi limbah B3nya makanya kita sekarang mengkampanyekan dengan konteks pemulihan. (Rabu,29 April 2015 pukul 13.01 wib) Dari beberapa hasil wawancara dan pernyataan diatas menunjukan bahwa Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat kebijakan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan kelembagaan, sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat hukum dan perundangan, informasi serta pendanaan. Keterkaitan dan keseluruhan aspek lingkungan telah memberi konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya tidak 104 dapat berdiri sendiri, akan tetapi berintegrasi dengan seluruh pelaksanaan seperti pemerintah, masyarakat, swasta (industri) dan LSM. Tetapi dari hasil wawancara diatas dapat disimpulkan ketidakpatuhan perilaku implementor di beberapa sektor seperti industri, beberapa industri tidak memiliki IPAL sesuai dengan prosedur peraturan yang ada, kemudian tidak konsistennya stakeholder pemangku kebijakan dalam hal pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut, masih rendahnya peran pemerintah dalam keseriusan menghadapi pencemaran yang ada. 4.2.2 Lancarnya Pelaksanaan aktvitas Fungsi Dalam perkembangannya fungsi dan tugas pokok pemerintah menghadapi tantangan dan hambatan yang semakin meningkat dan penuh dengan permasalahan yang sangat kompleks. Dalam melaksanakan kinerjanya, banyak permasalahan yang dihadapi oleh aparatur pemerintah. Masalah yang dihadapi aparatur pemerintah, baik yang berasal dari lingkungan internal maupun eksternal muaranya lebih banyak diarahkan pada kinerja aparatur pemerintah daerah dalam menjalankan tugas yang diamanatkan kepadanya. Faktor lingkungan internal birokrasi bisa berupa situasi dan kondisi, baik berupa organisasi (struktur, penempatan personel, efektifitas kegiatan) efektifitas komunikasi antar unit, sumber daya dan pemberdayaannya. Sedangkan faktor eksternal berupa situasi dan kondisi disekeliling organisasi yang berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan kinerja aparat. Sehingga dalam pelaksanaan tugas pemerintahan banyak terjadi ketidakefektivitasan dan implementasi kebijakan tidak berjalan secara optimal. 105 Dalam kebijakan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 mempunyai ruang lingkup mengatur tentang inventarisasi kualitas air laut dengan mempertimbangkan yang ada dalam pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut, serta berbagai penetapan baku mutu air limbah, melakukan pembinaan dan pengawasan serta penyediaan informasi. Kebijakan dalam mengatasi pencemaran laut ini dapat berhasil apabila semua aktivitas penunjang keberhasilan implementasi dapat berjalan dengan baik, seperti fungsi koordinasi, fungsi pengaduan dan pemberian informasi, fungsi regulasi kebijakan dan fungsi pengawasan dan penegakan hukum. Suatu kebijakan mencapai keberhasilan apabila terdapat koordinasi yang selaras antar pihak-pihak yang terkait. Dengan koordinasi yang selaras dan seimbang ini tujuan dari suatu kebijakan akan dengan mudah tercapai. Koordinasi adalah salah satu faktor penting dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 ini tentang Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut karena pelestarian lingkungan laut adalah kewajiban dari beberapa stakeholder seperti Kelautan dan Lingkungan Hidup. Dalam wawancaranya I2 yakni Kepala Seksi Perikanan menyebutkan bagaimana koordinasi yang dilaksanakan yaitu : ‘’Koordinasi biasa dilaksanakan yang dibawahi oleh Asisten Kesejahteraan disitu membawahi suku-suku dinas terkait, membahas dan mencari solusi permasalahan. Koordinasi sektor pemerintah dengan pemerintah cukup efektif karena semua stakeholder memahami maupun dengan non pemerintah berjalan cukup efektif karena kita koordinasikan dengan LSMLSM atau masyarakat.’’ (Rabu, 22 April 2015 pukul 12.05 wib) 106 Tetapi hal lain dinyatakan oleh I1 mengenai kendala yang selama ini dihadapi dalam melakukan koordinasi yaitu : ‘’Koordinasi memang kita lakukan, desember tahun kemarin dilakukan koordinasi dengan kelautan membahas edukasi ke nelayan dan masyarakat pesisir tetapi sekarang belum ada koordinasi yang lebih lanjut karena kendala rolling jabatan pada bulan januari kemarin. Tetapi terkadang kita juga ada koordinasi dengan formapel (forum masyarakat peduli lingkungan) untuk mengecek kondisi dilapangan. Itu koordinasi antar pemerintah tetapi koordinasi antara pemerintah dengan non pemerintah tidak berjalan efektif paling hanya formapel saja’’(Rabu, 22 April 2015 pukul 11.00 wib) Sehingga dengan tidak berjalannya koordinasi secara efektif baik di lingkungan pemerintahan maupun non pemerintah akan mengakibatkan kondisi disharmonis antar stakeholder yang dipastikan akan memunculkan pandangan negatif terkait kinerja pemerintah. Masyarakat nelayan dalam hal ini I9 mengatakan bahwa masyarakat menilai koordinasi yang belum cukup baik misalnya hubungan koordinasi antar yang berwenang dalam hal ini dari segi lingkungan hidup atau perikanan dan kelautan’’.(Wawancara dengan Bpk.Suparjo masyarakat nelayan Marunda pada Minggu 19 April 2015 pukul 17.23 wib) Hal yang sama juga diungkapkan oleh I3 saat wawancara mengenai koordinasi dalam mengatasi pencemaran laut Marunda: ‘’Secara mekanismenya sih saya tidak begitu paham, tapi sejauh ini pihak pemerintah tidak pernah mengajak kita (masyarakat nelayan) untuk ikut mengatasi itu. Tidak seperti dulu ketika saya sempat dilibatkan dalam pengambilan air laut sebagai sample untuk uji tes laboratorium dalam kasus dugaan pencemaran oleh pabrik kayu lapis.’’ (Wawancara dengan Bpk.Suhajan pada Minggu 19 April 2015 pukul 16.20 wib 107 Dari hasil wawancara dengan pihak masyarakat nelayan sekitar Marunda tersebut dapat disimpulkan terjadi koordinasi yang disharmoni antara pemerintah dengan pihak non pemerintah. Mereka merasa selama ini tidak dilibatkan secara aktif dalam menangani kasus pencemaran yang telah terjadi. Padahal dampak yang dirasakan adalah kepada orang-orang sekitar yang menggantungkan hidupnya pada laut sekitar. Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti setelah hasil wawancara koordinasi yang dilakukan hanya sebatas administratif keterlibatannya. Padahal kendalanya masyarakat Marunda dalam hal ini yang diungkapkan oleh Ketua Nelayan Marunda Bpk.Kubil yaitu : ‘’Kita sebagai nelayan jika diajak rapat dengan mereka di kantor walikota atau di dinas kan harus meninggalkan pekerjaan. Tetapi jika ikut-ikut rapat tidak ada ongkos mengganti kita tidak bekerja, Sehingga ini yang menjadi rendahnya partisipasi kita kepada pemerintah. Kita berharapnya pemerintah lebih aktif mengajak kita cek langsung ke lapangan apa yang terjadi.’’ (Wawancara pada Minggu 19 April 2015 pukul 17.00 wib) Perbedaan persepsi antara pemerintah dengan masyarakat ini terjadi karena fungsi koordinasi tidak berjalan secara efektif dan tidak menemukan solusi dalam mengatasi hal tersebut. II mengungkapkan dalam wawancaranya sebagai berikut : ‘’Sejauh ini tingkat partisipasi masyarakat masih rendah, harapan kita masyarakat juga ikut dalam pengawasan, seperti misalnya ketika ada pencemaran langsung menghubungi kita tapi pada saat melaporkan harus disertakan foto/sample pada saat itu, karena yang namanya di laut kan kondisi air berapa jam saja sudah berbeda.’’ (Wawancara dengan pihak Kantor Lingkungan Hidup pada Rabu, 22 April 2015 pukul 11.04 wib) Hal tersebut menunjukan koordinasi telah dilakukan antar sektor pemerintahan tetapi belum berjalan secara optimal karena peneliti melihat koordinasi tidak dilakukan secara rutin untuk menjawab permasalahan- 108 permasalahan yang terjadi. Jadi koordinasi dilakukan setelah ada dampak. Jika dilihat bagaimana koordinasi yang dilakukan pemerintah dengan masyarakat dalam hal ini LSM yang sering dianggap dilibatkan dalam prosesnya mengungkapkan I3 dalam wawancaranya : ‘’Secara teknis koordinasi antar lembaga pemerintah yang berwenang kita tidak tahu lebih dalam, hanya WALHI diajak dalam penandatanganan sidang AMDAL tetapi hanya bersifat administrasi. Artinya sejauh mengecek dilapangan atau seperti apa WALHI tidak pernah. Jadi koordinasi dengan kita hanya bersifat administratif (Rapat yang isinya mengundang seluruh elemen kemudian perusahaan melakukan presentasi disitu masyarakat berpartisipasi dan melakukan tanda tangan) kita tidak terlibat dalam kroscek dilapangan degan berbagai kemungkinan seperti manipulasi maka dari itu WALHI banyak menolak dalam sidang AMDAL. (Rabu, 29 April 2015 pukul 13.20 wib) Dapat disimpulkan dari beberapa wawancara yang dilakukan oleh peneliti terkait lancar atau tidaknya fungsi koordinasi bahwa selama ini tidak terlaksananya koordinasi yang baik antar sektor yaitu pihak pemerintah dengan masyarakat dan LSM yang mengakibatkan disharmoni dan tidak menyatukan pemahaman yang sama dalam suatu kegiatan dalam mencegah, mengendalikan dan pemulihan mutu lingkungan laut. Koordinasi dilakukan bukan hanya ketika terjadi permasalahan tetapi harus secara rutin membahas dan membangun kerjasama bagaimana mengupayakan pencegahan pengendalian pencemaran. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu koordinasi dalam pengelolaan lingkungan, berbagai indikator dapat dipergunakan, seperti tersusunnya pedoman dan aturan, terlaksananya rapat koordinasi, terlaksananya monitoring dan evaluasi, dan terutama kualitas lingkungan laut. 109 Tidak efektifnya fungsi koordinasi sehingga menghambat penanganan permasalahan lingkungan hidup, dengan permasalahan tersebut kemudian pemerintah dalam hal ini BPLHD membuat suatu pelayanan terhadap kasus-kasus lingkungan hidup yang biasa disebut layanan pengaduan. Layanan tersebut dapat melalui berbagai media seperti pengaduan langsung, website dan telepon. Dengan dibentuknya pos pengaduan lingkungan hidup agar meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan. Seperti dalam wawancara dengan Subbidang Pengawasan dan Pengendalian dampak lingkungan Jakarta Utara yaitu : ‘’Pengaduan sudah berjalan efektif selain melalui surat kita juga menyediakan pengaduan melalui web/phone ada pegawai yang memang bertugas selalu mengecek pengaduan baik melalui email/sms di handphonenya tetapi kendalanya masyarakat kurang sosialisasi.’’ (wawancara pada Rabu, 22 April 2015 pukul 11.43 wib) Mengenai hal rendahnya partisipasi masyarakat, LSM KIARA bidang Monitoring dan evaluasi dengan Ibu Susan Herawati Romica mengatakan dalam wawancaranya bahwa tingkat partisipasi masih rendah, dari industri saja sudah jelas bagaimana akan membahas limbah akses saja dipersulit nelayan juga minim pemahaman kebijakan’’. (Senin, 20 April 2015 pukul 14.02 wib) Sejalan dengan WALHI Jakarta yakni LSM yang mengkampanyekan isuisu lingkungan ketika ditanyakan hal yang sama mengenai sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat dan industri dalam memenuhi kebijakan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau perusakan laut menyebutkan bahwa: 110 ‘’jika kita bicara laju kerusakan lingkungan dengan partisipasi, tindakan perusakan lingkungan itu begitu masive, tinggi dan luas sedangkan tindakan rehabilitasi lingkungan hanya simbolik jadi kalau dikatakan partisipasi menyelesaikan masalah, sampai saat ini belum dan karena luasan dan jangkauannya tidak masive hanya titik-titik kecil saja, masyarakat hanya berpartisipasi dalam jangkauan dekat saja misalnya tentang sampah dilingkungannya, tidak menyelesaikan masalah-masalah besar tentang bagaimana IPAL/lingkungan luas, justru sekarang-sekarang ini jika masyarakat melakukan partisipasi dalam bentuk unjuk rasa hanya dianggap bertentangan dengan pemerintah, pemerintah melindungi mereka-mereka yang mempunyai modal atau perusahaan.’’ (wawancara dengan Bpk.Zaenal Muttaqin Deputi WALHI Jakarta pada Rabu, 29 April 2015 pukul 13.11 wib) Fungsi pengaduan yang telah disediakan oleh Kantor Lingkungan Hidup dalam implementasinya tidak direspon positif oleh masyarakat sekitar Marunda. Seperti dalam wawancaranya dengan Bpk Jumani yaitu : ‘’pengaduan tidak berjalan efektif, apalagi di sektor suku lingkungan hidup yang kita tahu paling pengaduan ke suku perikanan dan kelautan. Memang ditanggapi tetapi sepertinya dikoordinasikan ke beberapa yang berwenang’’. (wawancara Minggu, 19 April 2015 pukul 16.48 wib) dinas dinas tidak pada Hal yang sama juga dikatakan oleh Bpk.Suhajan selaku masyarakat nelayan Marunda yang sudah lebih dari 30 tahun menjadi nelayan disekitar Marunda beliau mengungkapkan dalam wawancara bahwa: ‘’fungsi pengaduan yang disediakan belum efektif, karena banyak masyarakat yang tidak tahu,kurang sosialisasi’’. (Minggu, 19 April 2015 pukul 17.02 wib) Dari hasil wawancara diatas dapat disimpulkan pembentukan layanan pengaduan lingkungan hidup, yang berisikan tata cara penanganan pengaduan, sanksi administratif belum efektif karena kurangnya sosialisasi dan minimnya 111 kesadaran dari masyarakat. Padahal tingkat kesadaran dan partisipasi yang rendah yang selama ini menjadikan masalah pencemaran tidak selesai hingga tuntas. pencemaran merupakan permasalahan lingkungan yang paling banyak terjadi. Karena itu, diperlukan upaya pengendalian pencemaran lingkungan laut dan kawasan pesisir melalui gerakan penyadaran dan kepedulian masyarakat. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan selalu melibatkan berbagai instansi baik pemerintah maupun swasta, karena pengelolaan lingkungan merupakan pekerjaan besar yang tidak dapat dilaksanakan sendiri. Pengelolaan lingkungan harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Permasalahan yang selalu muncul adalah terkait regulasi kebijakan dan tumpang tindihnya ruang atas kepentingan dengan kepentingan yang lain. Ada perbedaan yang tajam antara persepsi pemerintah dengan masyarakat memandang suatu kawasan dan dalam perencanaan program (termasuk pengelolaan lingkungan hidup) terjadi tumpang tindih antara satu sektor dan sektor lain. Misalnya dalam wawancara yang peneliti tujukan kepada LSM KIARA bagian Monitoring dan Evaluasi yang selama ini peduli terhadap masyarakat pesisir mengatakan : ‘’tumpang tindih kebijakan memang terjadi, jadi tidak pernah jelas ini kewenangan siapa dan kerjaan siapa, masyarakat juga tidak paham ranah kebijakan jadi permasalahan jadi blunder sendiri. kita ambil kasus UU No.27 Tahun 2007 yang isinya ada salah satu pasal yang membolehkan laut di privatisasi, KIARA pernah menggugat ke Mahkamah Konstitusi tahun 2010-2011 dan memenangkan tetapi kemudian tahun 2014 pemerintah kembali merevisi dan menggolkan aturan tersebut. Dengan aturan yang telah dibuat sedemikian rupa tetapi SDMnya tidak menjalankan secara baik maka implementasi sangat jauh apa yang diharapkan.’’ (wawancara pada Rabu, 20 April 2015 pukul 14.03 wib) 112 Dapat disimpulkan Undang-undang di Indonesia yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup bersifat terperinci dan luas. Namun tidak memiliki visi yang sama atau keterpaduan, dan sering tumpang-tindih dan bertentangan dengan kerangka kerja undang-undangnya. Deputi WALHI Jakarta menyebutkan dalam waw ancaranya: ‘’kalo di tingkat UU iya tumpang tindih contohnya di UU lingkungan mensyaratkan secara ketat proses perusakan hutan diimbangi dengan proses reboisasi menggunakan lahan pertanian harus disiapkan lahan pengganti tetapi ketika berbicara investasi, persyaratannya dibuka seluasluasnya asing untuk masuk investasi dibidang lingkungan. Hal ini kan menjadi bentrok karena ketika kemudahan diberikan sementara UU lain melakukan pengetatan ini kan yang menjadi kontradiksi sehingga selama ini bisa dibilang undang-undang lingkungan hidup disharmoni dan tumpang tindih’’. (wawancara pada Rabu, 29 April 2015 pukul 13.04 wib) Dapat disimpulkan bahwa beberapa hal diatas mencontohkan bagaimana regulasi kebijakan yang dibuat dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup terjadi disharmoni. Peneliti melihat dalam kasus pencemaran laut Jakarta aturan dalam kebijakan yang telah dibuat disharmoni terhadap lingkungan laut dan sekitarnya, dalam hal ini kasus Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang berdampak terhadap kerusakan lingkungan hidup, pencemaran laut dan kerusakan pantai. Menurut I4 dalam wawancaranya terkait reklamasi yang akan dilakukan sepanjang pantai utara Jakarta yaitu : ‘’Reklamasi Pantura akan menggusur kurang lebih 25.000 KK (125.000 jiwa) nelayan di sepanjang pesisir pantura yang sebenarnya saat ini sudah hidup dalam kemiskinan. Penggusuran ini dilakukan karena kawasan elit membutuhkan pemandangan yang juga elit di bibir pantai yang selama ini ditempati nelayan, dan kawasan indah ini juga menuntut laut di sekitarnya bersih dari bagang-bagang (perangkap ikan) nelayan.’’ (wawancara pada 19 April 2015 pukul 17.12 wib) 113 Proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta membentang 32 km dari sebelah timur perbatasan Cilincing dengan Kabupaten Bekasi, sampai sebelah barat perbatasan dengan Penjaringan dengan Kabupaten Tangerang. Proyek ini harus melalui uji prasayarat AMDAL yang ketat dan transparan. Kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mendukung reklamasi, dianggap bertentangan dengan pemerintah pusat yang merencanakan peningkatan kualitas lingkungan hidup di kawasan tersebut. Hal tersebut dapat disimpulkan Otonomi daerah yang diharapkan dapat melimbahkan sebagian kewenangan mengelola lingkungan hidup di daerah belum mampu dilaksanakan dengan baik. Ego kedaerahan masih sering nampak dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, demikian juga ego sektor. Pengelolaan lingkungan hidup sering dilaksanakan overlapping antar sektor yang satu dengan sektor yang lain. Terjadinya pencemaran laut tersebut dibutuhkan program-program strategis untuk menanggulangi dan mengurangi dampak dari pencemaran laut tersebut, seperti yang dikatakan oleh BPLHD Provinsi DKI Jakarta dalam wawancaranya kepada peneliti yaitu:‘’Program strategis dalam menanggulangi pencemaran laut ini ya minimal dari stop nyampah di kali karena kontribusi pencemaran laut ini juga berasal dari 13 sungai yang mengalir ke laut’’. (Bidang Penegakan Hukum Lingkungan BPLHD Provinsi DKI Jakarta.Senin,27 April 2015 pukul 12.00 wib) Tetapi Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara yang mempunyai wewenang dalam pengendalian pencemaran yang berada dalam wilayahnya menyebutkan program strategis yang akan dilaksanakan yaitu: 114 ‘’Kita secara acak akan mengecek kondisi dilapangan tetapi cenderung tidak mempunyai IPAL yang baik. Kita juga mempunyai program status ketaatan yang dapat melihat sejauhmana perusahaan aktif melaporkan pengelolaan limbahnya/tidak.’’ (wawancara pada Rabu,22 April 2015 pukul 11.21 wib) Tetapi dalam menjalankan fungsinya dalam hal melakukan kegiatan pengendalian dan pengawasan beberapa hal mengalami hambatan seperti kurangnya SDM (Sumber Daya Manusia) yaitu Pejabat Pengawas Lingkungan untuk menganalisis pengawasan dan pengendalian pencemaran seperti yang dikatakan oleh Subid.Pengawasan dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan yaitu: ‘’kendalanya memang klasik yaitu kurangnya SDM dalam melakukan pengawasan. Sejauh ini kita juga terus mengupayakan untuk penambahan SDM yang kosong dalam posisinya, saya saja merangkap sebagai Kasubid dan Pengawas juga. Kita mengupayakan mengajukan analisis jabatan melalui BPLHD kemudian ke Menpan juga tetapi saat ini memang belum, makanya kita berdayakan yang ada saja.’’ (wawancara pada tanggal 23 September 2015 pukul 15.31 wib) Melihat dampak akibat pencemaran tersebut, pihak Suku dinas perikanan dan kelautan juga mempunyai program strategis dalam pemulihan dampak pencemaran tersebut terhadap kondisi perairan laut seperti : ‘’akibat dari pencemaran, program kita adalah dengan kita membuatkan rumah-rumah ikan yang baru, karena sudah tercemar maka kita harus membuatkan lokasi penangkapan ikan yang baru dan memang tidak mudah harus melalui kajian-kajian terlebih dahulu. Kita juga melakukan revitalisasi alat tangkap’’ (wawancara pada Rabu, 22 April 2015 pukul 12.32 wib) Kesimpulannya adalah peneliti melihat dari beberapa sektor mempunyai program-program yang memang dianggap strategis dalam mengatasi pencemaran 115 laut tersebut. Program strategis tersebut diharapkan mampu memulihkan kondisi laut yang sudah tercemar. Ketika dalam proses mengimplementasikan program atau kegiatankegiatan yang bertujuan sebagai pencegahan serta memulihkan kondisi laut tentulah harus disertai dengan kebijakan yang tepat. Di Indonesia, perangkat hukum pada umumnya dianggap cukup memadai untuk pengelolaan lingkungan berkelanjutan, seperti dalam UU lingkungan hidup Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang sekarang diganti dengan dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan secara rinci diturunkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau perusakan laut sudah tertuang jelas sanksi dan denda jika seseorang/badan usaha menimbulkan pencemaran tetapi masih ada kelemahan serius dalam penegakan hukum tersebut. Seperti yang dikatakan oleh I13 dalam wawancaranya : ‘’Selama ini penyelesaian kasus, kalau dapat diselesaikan ditingkat kota ya tingkat kota, tetapi tingkat provinsi juga bisa. Kalau berbicara kasus yang sampai dibawa ke pengadilan jarang, dulu pernah pada kasus pengambilan air tanah, tetapi jika konteks nya melihat kasus ikan yang banyak mati kita tidak bisa menduga itu limbah siapa karena banyak perusahaan-perusahaan yang ‘’nakal’’ mereka rame-rame membuang limbah pada saat hujan dan malam hari. Kelemahan kita dalam penegakan hukum itu dibagian pengawasan hanya ada 2 orang tidak mungkin mengawasi 24 jam dengan jumlah industri yang sebegitu banyak.’’ (Bidang Penegakan Hukum Lingkungan BPLHD Provinsi DKI Jakarta.Senin,27 April 2015 pukul 12.16 wib) 116 Tetapi di lain kesempatan ketika peneliti menanyakan hal yang sama kepada I3 untuk masalah kendala dari lemahnya penegakan hukum adalah : ‘’ini bukan soal SDM tapi soal mental korupnya terlalu tinggi, jual beli perizinan dan manipulasi. Jika memang pengawasan kendala oleh kurangnya SDM pemerintah punya infrastruktur lain seperti polisi, satpol pp, tentara dan lain-lain.’’ (wawancara pada Rabu,29 April 2015 pukul 13.20 wib) Kesimpulan peneliti yang diungkapkan oleh I3 bahwa tradisi menyelesaikan pelanggaran di tempat telah memberikan reputasi pada dinas untuk terlibat dalam korupsi dan pemerasan. Ini diperparah dengan pengamatan bahwa kewenangan mengeluarkan izin dan lisensi menciptakan peluang untuk menerima hadiah sebagai balasan atas diabaikannya kewajiban lingkungan. Hal ini yang memunculkan perspektif yang beda antar masyarakat dengan pemerintah. Pencemaran yang terus terjadi menimbulkan pemahaman bahwa pencemaran sudah dianggap tradisi atau sudah menjadi hal yang tidak asing lagi bagi masyarakat nelayan sekitar. Di lain hal dalam fungsi penegakan hukumnya, I1 menyatakan ketidakpatuhan atas badan usaha/kegaiatan industri dalam wawancaranya sebagai berikut : ‘’Selama ini KLH (Kantor Lingkungan Hidup) sebagai mediator dalam penyelesaian kasus lingkungan hidup, jika kasusnya dapat diselesaikan dalam wilayah kota kita usahakan samapai tuntas, tetapi jika memang harus ke provinsi atau ke pengadilan tidak menutup kemungkinan seperti kasus pada tahun 2014 ketika melakukan pengawasan, saya prioritaskan yang laporan nya jelek-jelek saja, saya buatkan berita acara dan kasih waktu untuk melakukan perbaikan, tetapi hanya 10% yang taat.’’ (Rabu, 22 April 2015 pukul 11.48 wib) 117 Kesimpulan dari beberapa wawancara yang dilakukan oleh peneliti mengenai lancarnya aktivitas fungsi untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan pengendalian pencemaran tersebut yaitu prosedur-prosedur yang tidak dipatuhi oleh industri dan partisipasi masyarakat yang rendah terhadap kasus pencemaran laut yang selama ini terjadi, tidak adanya peran yang jelas yang dimiliki oleh dinas terkait karena inkonsistensi dalam melaksanakan program serta kurang optimalnya fungsi koordinasi yang dilakukan oleh seluruh stakeholder sehingga tidak efektifnya layanan untuk mengatasi kasus pencemaran tersebut. Hal ini juga diperparah dengan kurangnya pengawasan di Lapangan dan penegakan hukum yang lemah untuk kebijakan pengendalian pencemaran laut di kawasan laut Marunda Jakarta Utara 4.2.3 Terwujudnya Kinerja/Dampak yang dikehendaki Kebijakan dibuat dengan tujuan-tujuan dan harapan yang dikehendaki, kebijakan Pengendalian Pencemaran Laut yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 menghendaki sumber daya alam dalam hal ini laut dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sumber daya alam memiliki dua peran, yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi dan sebagai penopang sistem kehidupan. Atas dasar fungsi tersebut, sumber daya alam senantiasa harus dikelola secara seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan. Karena dalam kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 ini menyatakan bahwa meningkatnya pembangunan di darat maupun di laut yang memanfaatkan 118 laut beserta sumber daya alamnya akan mengakibatkan pencemaran yang akhirnya menurunkan fungsi laut itu sendiri. Maka dari itu untuk melaksanakan pembangunan haruslah mengedepankan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan berbasis lingkungan. Implementasi dari pelestarian lingkungan laut melalui pengendalian pencemaran mendeskripsikan tingkat ketercapaian dampak yang ingin di kehendaki. Implementasi dari suatu kegiatan menjelaskan bagaimana proses kegiatan yang dilaksanakan itu guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam implementasinya pengendalian pencemaran laut di kawasan laut Marunda, salah satu ketua kelompok nelayan 16 mengungkapkan dalam wawancara : ‘’implementasi selama ini berjalan saja tetapi ya begitu tidak ada dampak yang dirasakan ke arah yang lebih baik, padahal beberapa waktu sering d iambel sample air yang tercemar untuk diteliti tetapi hasil dan tindak lanjutnya kita tidak tahu.’’ (wawancara pada Minggu, 19 April 2015 pukul 16.14 wib) Kemudian peneliti menanyakan hal yang sama kepada 17 juga mengungkapkan dampak dari proses implementasi yang tidak berjalan secara optimal seperti berikut : ‘’ya selama ini sih aturan hanya aturan, tetapi dampak pencemarannya begitu kita rasakan untuk mendapatkan ikan kita harus benar ke tengah tetapi kendalanya kan ikan yang kita dapat sedikit tetapi justru biaya solar nambah, makanya aturan apapun kita ingin segera dilakukan yang tegas kepada yang berwenang.’’ (wawancara pada Minggu, 19 April 2015 pukul 17.02 wib) Hal yang sama diungkapkan oleh I8 yakni sebagai masyarakat nelayan dengan pertanyaan wawancara yang sama terkait bagaimana proses implementasi pengendalian pencemaran laut. Masyarakat menilai bahwa implementasi 119 pengendalian pencemaran selama ini kurang memberikan dampak apa-apa, pencemaran tidak berkurang.’’ (wawancara dengan Bpk.Suparjo pada Minggu, 19 April 2015 pukul 17.48 wib) Bahwa terkait masalah implementasi kebijakan pengendalian pencemaran laut ini, BPLHD Provinsi Jakarta mengatakan dalam wawancaranya bahwa langkah upaya implementasi dari pengendalian pencemaran laut saat ini implementasinya proses menuju baik’’ (wawancara dengan Bpk.Arifudin Nur Kepala Sub bidang Penegakan Hukum BPLHD DKI Jakarta pada Rabu, 27 April 2015 pukul 12.04 wib) Belum optimalnya implementasi kebijakan pengendalian pencemaran yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun1999 ada beberapa kendala yang dihadapi seperti yang diungkapkan Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara Sub.Bidang Pengawasan dan Pengendalian dampak lingkungan. ‘’kendalanya dari ketaatan dari pengelolaan limbah industri dan rendahnya partisipasi masyarakat sekitar, serta kurangnya SDM dari bidang pengawasan, sasaran program cenderung tidak patuh karena cari aman’’. (wawancara pada Rabu, 22 April 2015 puku; 11.32 wib) Tujuan dari implementasi kebijakan pengendalian pencemaran laut adalah menghendaki sumber daya alam dalam hal ini laut dimanfaatkan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk mencapai tujuan tersebut adalah melakukan upaya Rehabilitasi Lingkungan akibat pencemaran tersebut. Namun pada kenyataannya rehabilitasi lingkungan laut sepertinya belum berjalan secara efektif, seperti yang 120 dikatakan oleh I2 mengenai upaya rehabilitasi seperti rehabilitasi memang dilakukan, tetapi belum efektif karena masuknya limbah jadi habitat laut masih terganggu.(wawancara dengan Bpk.Abdul Cholik Kepala Seksi Perikanan dan Kelautan Jakarta Utarapada Rabu, 22 April 2015 pukul 12.05 wib) Dari sudut pandang bidang perikanan dan kelautan upaya rehabilitasi memang sedang dilakukan tetapi kenyataan dilapangan bahwa pencemaran terus terjadi sehingga upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka memenuhi target pemulihan mutu laut tidak berjalan efektif. Upaya yang dilakukan tidak sebanding dengan pencemaran yang terjadi akibat beberapa sumber. Pengelola lingkungan hidup dalam hal ini yang mempunyai wewenang dalam pengendalian dampak lingkungan mengatakan : ‘’upaya rehabilitasi lingkungan belum efektif, kita masih sulit merehabilitasi lingkungan, karena kita belum pernah penjarakan orang/ untuk kasus lingkungan, untuk kasus perusahaan yang membuang limbah diatas baku mutu, kita tutup saluran limbahnya, bayangkan berapa ratus juta untuk menyedot limbahnya jika dimisalkan 400ribu/per tangki sedangkan dalam sehari mereka bisa menghasilkan berapa banyak limbah.’’ (wawancara dengan Ibu Evy Sulistyawati Kepala Subbidang Pengawasan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Jakarta Utara pada Senin, 27 April 2015 pukul 12.00 wib) Untuk kasus pencemaran yang diduga dari limbah industri pihak pemerintah dalam hal ini pengelola lingkungan hidup melakukan tindakan preventif dan represif. Preventif dilakukan melalui pengawasan aktif dan pasif sedangkan upaya preventif dalam hal ini melakukan upaya penutupan saluran limbah yang dinilai cukup efektif untuk membantu proses rehabilitasi lingkungan. Dalam hal yang sama LSM KIARA mengungkapkan dalam penilaiannya kepada masyarakat mengenai rehabilitasi lingkungan yaitu. 121 ‘’upaya rehabilitasi lingkungan laut tidak efektif, karena mindset masyarakat kita adalah laut menjadi tempat pembuangan terakhir sampah, masyarakat juga tidak pernah diajak untuk lebih arif terhadap alam mereka beranggapan karena udah ada limbah disitu ya kemudian buang sampah disitu.’’ (wawancara pada Senin, 20 April 2015 pukul 14.21 wib) Jika berbicara mengenai tidak efektifnya upaya rehabilitasi lingkungan laut yang bertujuan untuk pemulihan mutu laut dari pencemaran, maka terdapat beberapa hal yang menjadi kendala seperti yang diungkapkan oleh I2 Kepala Seksi Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara yaitu kendala yang dihadapi yaitu pengawasan untuk industri, industri sekitar, pengawasan pencemaran dan partisipasi masyarakat yang masih rendah. (wawancara dengan Bpk.Abdul cholik pada Rabu, 22 April 2015 pukul 12.03 wib) Ketika peneliti menanyakan hal yang sama kepada I13 menyatakan beberapa hal yang menghambat implementasi pemulihan mutu laut yaitu : ‘’SDM menjadi faktor keberhasilan dari implementasi kebijakan ini karena kesadaran dari masyarakat amatlah berpengaruh. Sedangkan untuk alokasi anggaran untuk lingkungan hidup selama ini tidak begitu masalah dan dalam hal infrastruktur juga sudah memadai seperti sekarang laboratorium-laboratorium swasta sudah banyak walaupun finalnya tetap di BPLHD sehingga sebenarnya masalahnya klasik karena kurangnya SDM dalam pengawasan dari kita tetapi terkadang dibantu oleh Formapel/LSM yang melapor ke kita’’. (wawancara dengan Bpk.Zaenal Muttaqin Deputi WALHI Jakarta pada senin, 27 April 2015 pukul 11.53 wib) Dalam memenuhi target pemulihan pencemaran laut yang terjadi Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta dan Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara belum dapat menargetkan beberapa tingkat ketercapaiannya, seperti dalam wawancaranya berikut ini : 122 ‘’kita tidak bisa memprediksikan pemerintah mampu berapa % (persen) untuk mengatasi hal tersebut karena untuk taat saja perusahaan susah makanya dibuatkanlah SKL (Status Ketaatan Lingkungan) untuk melihat berapa % (persen) mereka taat. (wawancara pada Rabu, 22 April 2015 pukul 11.56 wib) Dengan demikian dapat disimpulkan dampak kinerja yang dikehendaki dari pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut masih terkendala dalam implementasi program-programnya dan upaya rehabilitasi lingkungan laut belum berjalan secara efektif , mengingat masih terdapat kendala-kendala yang dihadapi di lapangan. Upaya rehabilitasi laut perlu segera dilakukan secara berkelanjutan dalam pemulihan mutu laut. 4.3 Pembahasan Hasil Penelitian Langkah selanjutnya dalam proses analis data adalah melakukan kegiatan interprestasi hasil penelitian, yaitu menggabungkan temuan hasil penelitian di lapangan dengan dasar operasional yang telah ditetapkan sejak awal. Pembahasan merupakan isi dari hasil analisis data fakta yang peneliti dapatkan dilapangan serta disesuaikan dengan teori yang peneliti gunakan. Peneliti dalam penelitiannya ini menggunakan teori Implementasi Ripley dan Franklin ada tiga variabel yang mempengaruhi keberhasilan suatu kebijakan yaitu i.) Tingkat Kepatuhan ii.) Lancarnya aktivitas fungsi dan iii.) Terwujudnya kinerja dan dampak yang dikehendaki. Adapun pembahasan yang dapat peneliti paparkan dalam tabel adalah sebagai berikut: 123 1. Tingkat Kepatuhan Berkaitan dengan tingkat kepatuhan terhadap kebijakan ini merujuk apakah implementor patuh terhadap prosedur dan standar aturan yang telah ditetapkan. Dalam suatu kebijakan termasuk salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Studi kasus wilayah laut Marunda Jakarta Utara) dalam implementasinya membutuhkan beberapa hal yang mendukung keberhasilan dari suatu kebijakan. Ada beberapa kriteria yang menggambarkan kondisi faktual dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Seperti sejauhmana tingkat kepatuhan semua elemen pada prosedur yang ditetapkan oleh aturan tentang lingkungan hidup, seperti bagaimana pemenuhan baku mutu laut, baku mutu limbah yang dihasilkan oleh industri, pedoman kerusakan mangrove, serta tata cara perizinan pembuangan limbah ke laut. Kepatuhan implementor dalam hal pengendalian pencemaran meliputi banyak sektor yang terlibat seperti pemerintah, masyarakat, dan swasta (industri). Mekanisme pengendalian pencemaran yaitu mulai dari pencegahan meliputi KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis), Baku Mutu Lingkungan Hidup, Amdal, UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan) /UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan) dan lain sebagainya kemudian penanggulangan sampai pemulihan. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa beberapa unsur seperti industri, masyarakat belum mematuhi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Studi kasus wilayah laut Marunda Jakarta Utara) seutuhnya. Dari beberapa temuan yang peneliti dapatkan perihal ketidakpatuhan meliputi bagaimana 124 prosedur dijalankan dengan benar atau tidak, yang terjadi dilapangan adalah ada beberapa hal seperti pihak industri yang diduga mempunyai peluang terhadap pencemaran mereka sebagian tidak mengikuti prosedur dengan benar seperti ada beberapa pihak industri yang tidak mempunyai IPAL (Instalasi Pengelolaan Limbah) dan kalaupun memiliki terkadang IPAL tidak berfungsi dengan semestinya kemudian ada beberapa industri yang tidak taat tentang laporan pengelolaan limbahnya kepada instansi terkait dalam hal ini BPLHD atau Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara, kemudian kepatuhan dalam hal ini peran dari instansi yang berwenang bahwa pihak nelayan dan LSM menyatakan bahwa pemerintah yang berwenang tidak optimal dalam pelaksanaan tupoksinya yaitu dalam hal pengawasan dan pelaksanaan koordinasi pengendalian dampak lingkungan serta pembinaan terhadap kegiatan yang belum memiliki dokumen lingkungan, hal ini ditandai dari peran dari mereka tidak terlihat dan tidak adanya tindakan yang berarti yang mengatasi pencemaran laut selama ini. Belum maksimalnya peran dari pihak pemerintah, keberhasilan kebijakan pengendalian pencemaran laut memang perlu dukungan dari berbagai pihak seperti masyarakat, LSM, dan industri. 2. Lancarnya Pelaksanaan Rutinitas Fungsi Dalam kebijakan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 mempunyai ruang lingkup mengatur tentang inventarisasi kualitas air laut dengan mempertimbangkan yang ada dalam pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut, serta berbagai penetapan baku mutu air limbah, melakukan pembinaan dan pengawasan serta penyediaan informasi ataupun 125 layanan pengaduan terkait permasalahan sengketa lingkungan. Kebijakan dalam mengatasi pencemaran laut ini dapat berhasil apabila semua aktivitas penunjang keberhasilan implementasi dapat berjalan dengan baik, seperti fungsi koordinasi, fungsi pengaduan dan pemberian informasi, fungsi regulasi kebijakan dan fungsi pengawasan dan penegakan hukum. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa mengenai kelancaran aktivitas fungsi untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan pengendalian pencemaran, prosedur-prosedur yang tidak dipatuhi oleh industri dan partisipasi masyarakat yang rendah terhadap kasus pencemaran laut yang selama ini terjadi, tidak adanya peran yang nyata yang dimiliki oleh dinas terkait seperti tindak lanjut atas pencemaran yang telah terjadi, menginventarisasi mutu laut atau melakukan upaya pemulihan segera. Hal ini karena inkonsistensi dalam melaksanakan program serta kurang optimalnya fungsi koordinasi yang dilakukan oleh seluruh stakeholder sehingga dari lemahnya fungsi koordinasi tersebut menyebabkan tidak optimalnya layanan untuk mengatasi kasus pencemaran padahal peran aktif masyarakat sangat diperlukan dalam pengawasan berupa pengawasan sosial seperti pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan, penyampaian informasi dan/atau laporan. Hal ini juga diperparah dengan kurangnya pengawasan di Lapangan dan penegakan hukum yang lemah untuk kebijakan pengendalian pencemaran laut di kawasan laut Marunda Jakarta Utara. Selama ini pemerintah belum mampu menegakan aturan dengan tegas terhadap siapa yang diduga melakukan pencemaran air laut. 126 3. Terwujudnya Kinerja dan Dampak yang dikehendaki Kebijakan dibuat dengan tujuan-tujuan dan harapan yang dikehendaki, kebijakan Pengendalian Pencemaran Laut yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 menghendaki sumber daya alam dalam hal ini laut dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk mencapai tujuan tersebut adalah melakukan upaya Rehabilitasi Lingkungan akibat pencemaran tersebut. Namun pada kenyataannya dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa rehabilitasi lingkungan laut sepertinya belum berjalan secara optimal sesuai dengan yang dikehendaki. Hal ini ditandai dengan belum adanya upaya-upaya pemulihan laut. Pemulihan mutu laut yang sudah tercemar selain dari pihak pemerintah, masyarakat juga mempunyai peran penting dalam meningkatkan partisipasi dan kepedulian terhadap lingkungannya tetapi fakta dilapangan adalah sulitnya rehabilitasi lingkungan juga karena tidak adanya dukungan dari masyarakat sekitar untuk tidak membuang limbahnya ke laut serta belum ada dukungan dalam bentuk kegiatan-kegiatan memperbaiki fungsi laut yang diadakan secara mandiri maupun bermitra dengan pemerintah. 127 Tabel 4.6 Hasil penelitian No 1. Indikator Kepatuhan Hasil Temuan di Lapangan Ketidakpatuhan beberapa industri sekitar laut Marunda, yang terjadi dilapangan tidak semua industri memiliki IPAL (Instalasi Pengolahan Limbah) yang memadai, dan tidak patuh dalam memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan. Dengan hal tersebut menunjukan bahwa sejumlah pabrik dikawasan industri tersebut juga tidak memenuhi prosedur atau persyaratan yang telah tertuang dalam peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran dan/atau Perusakan Laut. Kendala Disharmoni terhadap pengelola kawasan industri tentang ketersediaan fasilitas kepemilikan IPAL. Partisipasi masyarakat yang rendah terhadap kebersihan Masyarakat tidak lingkungan laut Marunda. begitu paham terhadap kebijakan yang ada. 2. Lancarnya Tidak konsistennya stakeholder Kurangnya SDM pemangku kebijakan dalam hal dalam pengendalian pencemaran pengawasan. dan/atau perusakan laut, masih rendahnya peran pemerintah dalam keseriusan menghadapi pencemaran yang ada. Pihak masyarakat nelayan sekitar 128 aktivitas fungsi Marunda tersebut dapat disimpulkan terjadi koordinasi yang disharmoni antara pemerintah dengan pihak non pemerintah (LSM dan masyarakat). Mereka merasa selama ini tidak dilibatkan secara aktif dalam menangani kasus pencemaran yang telah terjadi. Padahal dampak yang dirasakan adalah kepada orang-orang sekitar yang menggantungkan hidupnya pada laut sekitar. Koordinasi antar sektor pemerintah tidak optimal dalam menangani Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan laut. Dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat maka Kantor Lingkungan Hidup dan BPLHD membentuk Pos Pengaduan dan Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan. Layanan ini salah satu tujuan dibentuknya adalah agar masyarakat dapat melakukan pelaporan, apabila terjadi permasalahan lingkungan hidup yang berdampak dan merugikan bagi lingkungan dan layanan tersebut merupakan wadah untuk memediasi seandainya terjadi sangketa lingkungan hidup. Pemerintah mempunyai peran sebagai mediator, serta sebagai pihak yang menyepakati perhitungan ganti rugi atau tindakan tertentu bagi pencemar dan perusak lingkungan hidup. Sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kurangnya sosialisasi kepada Masyarakat. Minimnya kesadaran dari masyarakat, selama ini mindset masyarakat pemerintah hanya akan merugikan dan merepotkan masyarakat. 129 Lemahnya pengawasan penegakan hukum. 3. dan Kurangnya SDM dalam pengawasan aktif. Belum optimalnya implementasi Kurangnya SDM Terwujudnya Partisipasi kinerja dan program-program strategis dalam dan Pencemaran dari Masyarakat dampak yang Pengendalian dan/atau Perusakan Laut. dalam mendukung dikehendaki kebijakan. SDM sangat mempengaruhi keberhasilan Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Laut. Tidak terdapat kendala dalam Anggaran dan Infrastruktur pendukung kebijakan. Upaya Rehabilitasi Lingkungan Tidak adanya Laut yang terdapat di wilayah dukungan dari Laut Marunda belum berjalan seluruh secara optimal. stakeholder (Peneliti,2015) 130 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan laut di wilayah laut Marunda Jakarta Utara belum optimal. 1. Jika melihat dengan beberapa indikator yaitu tingkat kepatuhan (complience) yang paling mempunyai pengaruh besar terhadap ketidakoptimalan sebuah kebijakan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 seperti dalam pencegahan hingga pemulihan mutu air laut. Pada implementasinya yang terjadi di lapangan adalah beberapa stakeholder sebagai instrumen pencegahan hingga pemulihan mutu laut telah melanggar prosedur yang ditetapkan dalam kebijakan seperti dalam pencegahan pencemaran yang terjadi justru beberapa industri tidak patuh terhadap aturan karena beberapa diantara industri disekitar tidak memiliki IPAL yang memadai, rendahnya partisipasi dari masyarakat dalam menjaga kebersihan laut dan belum adanya keseriusan pemerintah dalam pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut. 2. Pada indikator terhadap Lancarnya Aktivitas Fungsi yaitu pelaksanaan aktivitas fungsi-fungsi dari pemangku kebijakan masih terjadi kendalakendala seperti pengawasan yang kurang optimal dan koordinasi juga tidak berjalan dengan baik. Koordinasi antar pemerintah maupun dengan non 131 pemerintah. Kendala pengawasan yaitu kurangnya SDM yang ada dalam pengawasan aktif. 3. Untuk mencapai Kinerja dan dampak yang dikehendaki dari Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan laut yang dilakukan adalah dengan upaya Rehabilitasi tetapi pada implementasinya belum berjalan dengan baik dengan kendala karena untuk dalam upaya pencegahan pencemaran saja belum dilakukan secara efektif sehingga upaya pemulihanpun tidak optimal. Kendala yang dialami dalam upaya rehabilitasi yaitu belum adanya dukungan secara nyata terhadap pemulihan mutu lingkungan laut. Keberhasilan implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Studi kasus di wilayah laut Marunda Jakarta Utara) ini mencakup keterkaitan dan keseluruhan aspek lingkungan yang telah memberi konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi berintegrasi dengan seluruh pelaksanaan seperti pemerintah, masyarakat, swasta (industri) dan LSM. 132 5.2 Saran Berdasarkan hasil dari penelitian yang berjudul Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Studi kasus di wilayah laut Marunda Jakarta Utara) ini, maka peneliti dapat memberikan saran agar dapat melaksanakan atau mengimpelemntasikan peraturan berjalan dengan semestinya. Adapun saran-saran tersebut yaitu: 1. Pada tingkat kepatuhan perlu ditingkatkan lagi dengan cara diberikan pembinaan dan sanksi yang tegas agar segala prosedur pengendalian dampak lingkungan dilaksanakan.Ketidakpatuhan yang selama ini terjadi seyogianya dilakukan secara terpadu semua sektor, dan bukan saja tugas dari dinas terkait saja tetapi dikerjakan secara multisektoral dari sektor pemerintah saja tetapi swasta/masyarakat. 2. Dalam kelancaran aktivitas fungsi perlu ditingkatkan lagi bentuk pengawasan secara aktif yaitu target pengawasan secara langsung ditambah agar tidak hanya sebagian saja tetapi diharapkan mampu menjangkau seluruhnya sehingga tidak adanya lagi celah pelanggaran dalam dokumen pengawasan pasif yang berbentuk laporan. Pengawasan aktivitas usaha dan/atau kegiatan secara ketat baik itu industri besar, industri kecil, aktivitas budidaya, transportasi sampai kepada rumah tangga (domestik). 3. Dalam menunjang kelancaran aktivitas fungsi juga perlu dilakukan Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup, dalam hal ini tambah 133 4. jumlah SDM dalam pembinaan dan pengawasan lingkungan hidup agar upaya pengawasan dapat secara rutin dilakukan aktif ke lapangan agar tidak memiliki celah terhadap yang melanggar peraturan serta meningkatkan koordinasi seluruh stakeholder. Peran aktif masyarakat sangat diperlukan dalam pengawasan berupa pengawasan sosial, yaitu seperti pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan, penyampaian informasi dan/atau laporan karena prakteknya masyarakat cukup pasif terhadap pencemaran yang telah terjadi. 5. Dalam upaya mencapai kinerja dan dampak yang ingin dikehendaki perlu dilakukan kegiatan yang dilakukan secara mandiri dan/atau bermitra dengan Pemerintah Daerah dan/atau lembaga lainnya, serta pemerintah memberikan sosialisasi mengenai kebijakan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut khususnya dalam hal pemulihan mutu air laut. 6. Dalam mencapai upaya kinerja dan dampak yang dikehendaki yaitu melalui rehabilitasi sudah selayaknya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meninjau kembali upaya Reklamasi yang akan dilakukan dengan proses AMDAL secara transparan karena upaya Reklamasi Teluk Jakarta yang akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang salah satunya berkaitan erat dengan properti untuk bisnis dan perumahan bagi warga Jakarta hanya menambah permasalahan bukan hanya lingkungan tetapi sosial. Ini bertolak belakang dengan upaya rehabilitasi lingkungan laut yang selama ini juga belum berjalan 134 7. dengan baik, dengan begitu sudah selayaknya pemerintah melakukan Restorasi mengembalikan fungsi semula dengan cara memperbaiki hutan mangrove sekitar alam pesisir Jakarta bukan melakukan Reklamasi Teluk Jakarta. 135 DAFTAR PUSTAKA Buku Abdul Wahab, Solichin. 2005. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara (Edisi Kedua). Jakarta: Bumi Aksara Abidin, Said Zainal, 2012. Kebijakan Publik. Jakarta: Salemba Humanika. Agustino, Leo, 2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: CV.Alfabeta Alfatih, Andy, 2010. Implementasi kebijakan dan Pemberdayaan masyarakat. Bandung : Unpad Press. A.G, Subarsono, 2005. Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Bungin, Burhan, 2003. Analisis Penelitian Kualitatif. Pemahaman Filsofis dan Metodologi ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo, Persada Dahuri Rokhmin dan Ginting Sapta Putra, 2008. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta : Balaipustaka. Darmono, 2010. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Jakarta: UI-Press Denzin dan Licoln. 2009. Handbook of Qualitatif Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dunn, William N., 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Edisi Kedua). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Emzir, 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif, Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers Fuad, Anis dan Kandung Sapto N, 2014. Panduan Praktis Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu Irawan,Prasetya.2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk ilmu-ilmu sosial.Departemen Ilmu Administrasi Fisip UI. Islamy, Irfan. 2009. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Manik, K.E.S, 2009. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta : Djambatan Moleong, Lexy.J., 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Muchsin, dan Fadillah. P., 2002. Hukum dan Kebijakan Publik. Malang: Averroes Press Mukhtasor, 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Jakarta:Pradnya Paramita Nugroho, riant,2011. Public Policy. Jakarta : Elex Media Komputindo Soehartono, Irawan. 2004Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung:PT Remaja Rosdakarya. Suryabrata.Sunadi.2008.Metode Penelitian. Jakarta: PT.Raja Grafindo Sudini, Luh Putu. 2012. Pengelolaan Pencemaran Laut di Indonesia. Jakarta:Titah Surga. Sugiyono, 2007. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta 136 Sugiyono, 2004. Metode Penelitian Administrasi. Bandung:Alfabeta. _____., 2011. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta Tangkilisin, Hesel Nogi 2003. Implementasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Lukman Offset YPAPI. Yustinus, W. 2008. Policy Implementation and Bureaucracy. Yogyakarta: JNP MAP Universitas Gadjah Mada. Jurnal Akib, Header. Jurnal Administrasi Publik:volume 1 (Nomor 1) Tahun 2010 Lestari dan Edward 2004. Dampak Pencemaran Logam Berat Terhadap Kualitas Air Laut dan Sumber Daya Perikanan (Studi Kasus Kematian Massal Ikan-ikan di Teluk Jakarta).Makara Sains Vol.8 No.2 52-58. Don.Suherta. 2013. Implementasi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.Universitas Sriwijaya Suhendar I.S dan Heru D.W 2007. Kondisi Pencemaran Lingkungan Perairan di Teluk Jakarta.Vol.3 1-14. Syarli.Marisha.Implementasi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Perizinan Penyelenggaraan Hiburan di Kota Cilegon (Studi pada jenis hiburan Life Music) FISIP UNTIRTA Sumber Lain Ahdiat,2012. Pencemaran Laut dan Upaya Penegakan hukumnya di Indonesia. Universitas Hasanudin Makassar. http://vivienanjadi.blogspot.com/2012/02/pencemaran-pesisir-dan-laut.html. Di unduh pada 02-01-2015 19.12 wib. Don Suherta.2011. Implementasi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Di unduh 10-02-2015 19.20wib. Peraturan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian dan/atau Perusakan Laut 137 LAMPIRAN 138 I. Surat Ijin Penelitian 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 II. Dokumentasi Lapangan 149 Wawancara dengan Sub bidang Pengawasan dan Pengendalian Dampak Lingkungan di Kantor Lingkungan Hidup Jakarta Utara Wawancara dengan Ketua nelayan dan Masyarakat Marunda Jakarta Utara Wawancara dengan Bidang Penegakan Hukum Lingkungan BPLHD Provinsi DKI Jakarta 150 Wawancara dengan LSM KIARA (Koalisi Rakyat Untuk Peduli Perikanan) Bidang Monitoring dan Evaluasi Wawancara dengan Kepala Seksi Perikanan dan Kelautan Suku Dinas Perikanan,Kelautan dan Ketahanan Pangan Jakarta Utara Wawancara dengan LSM WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) DKI Jakarta 151 Wawancara dengan Kepala Bagian Produksi PT.Orson Indonesia Foto : Pantai Marunda Pulo Cilincing Jakarta Utara c Foto : Kondisi air di sungai bidara yang terlihat hitam berminyak yang diduga pembuangan limbah ke sungai yang kemudian dialirkan ke laut 152 Foto : Kondisi pinggir laut yang dipenuhi oleh sampah Foto : Industri yang terletak dikawasan Laut Marunda III. Data Relevan Penelitian 1. Kadar Logam Berat ( Pb, Lead, Timah Hitam) 153 2. Kadar Phospat Berdasarkan Grafik diatas kadar Phospat berkisar antara 0.060-0.270 Mg/L Menurut Kepmen LH no 51 Tahun 2004 lampiran II yaitu Wisata Bahari meliputi stasiun A1, 154 A2, A3, A4, B1, B2, B3, B4, C3, C4,D3, D4 rata rata kadar phosphate 0.17 Mg/L nilai ini masih diatas baku mutu sebesar 0.015 Mg/L. Lampiran III yaitu untuk Biota Laut meliputi A5, A6, A7, B5, B6, B7, C2, C5, C6, D6 rata rata kadar phosphate sebesar 0.116 Mg/L ini masih diatas baku mutu sebesar 0.015 Mg/L. Berdasarkan zona untuk zona A meliputi A1, A2, A3, A4, A5, A6, A7 tertinggi di A4 sebesar 0.160 Mg/L dengan rata rata kadar phosphate sebesar 0.13 Mg/L, zona B meliputi B1, B2, B3, B4, B5, B6, B7 tertinggi di B4 sebesar 0.270 rata rata kadar phosphate di zona B sebesar 0.116 Mg/L. Untuk zona C yang meliputi C2, C3, C4, C5, C6 tertinggi di C4 sebesar 0.200 dan rata rata kadar phosphate di zona C sebesar 0.164 Mg/L, Zona D yang meliputi D3,D4, D5, D6 tertinggi di D4 0.350 Mg/L dengan rata rata 0.170 Mg/L. 3. Konsentrasi Amonia di Perairan Teluk Jakarta Pada grafik diatas menunjukan bahwa konsentrasi amonia sebagian besar telah melebihi ambang batas baku mutu. Hal ini menunjukan bahwa sumber pencemar berasal 155 dari limbah domestik yang mengalir ke sungai dn bermuara ke laut. Berdasarkan grafik diatas nilai amoniak berkisar antara <0,011-0,017 tertinggi di A4 berdekatan dengan pulau Damar antara 35-81 Mg/L untuk nilai tertinggi D5 merupakan daerah pelabuhan. Berdasarkan Kepmen LH No 51 Tahun 2004 lampiran 1 yaitu pelabuhan stasiun D5 dengan nilai amoniak <0,011 baku mutu 0,30 nilai itu masih dibawah baku mutu, lampiran II wisata bahari yaitu stasiun A1,A2,A3,A4,B1,B2,B3,B4,D4 kadar amoniak sama <0.011 Mg/L untuk wisata bahari tidak ada baku mutunya. Lampiran III yaitu biota laut A5,A6,A7,B5,B6,B7,C2,C5,C6,D6 kadar amoniaknya <0,011 ini masih dibawah baku mutu. 4. Konsentrasi Fenol di Perairan Teluk Jakarta Sumber : BPLHD Provinsi DKI Jakarta Hasil Pemantauan 2013 (Hal:518) Tingginya parameter fenol2 di perairan dapat terjadi karena adanya pengaruh aktifitas manusia dan kondisi lingkungan di sekitar, seperti adanya aktifitas industri kimia, minyak, tekstil, dan plastik. Selain itu sumber pencemar Fenol berasal dari limbah domestik berupa pemutih pakaian dan limbah pewarna. Berdasarkan Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004 lampiran satu yaitu pelabuhan stasiun D5 kadar phenol sebesar 0.3 Mg/L nilai ini masih diatas baku mutu sebesar 0.002 Mg/L,lampiran II Wisata Bahari yaitu 2 Fenol atau asam karbolat atau benzenol adalah zat kristal tak berwarna yang memiliki bau khas. Senyawa fenol dapat pula ditemukan di perairan. Keberadaanya dapat menjadi sumber pencemar yang membahayakan kehidupan manusia maupun hewan air lainnya. 156 stasiun A1, A2, A3, A4, B1, B2, B3, B4, C3, C4, D3, D4 kadar phenol rata rata 0.20 Mg/L untuk wisata bahari tidak ada baku mutunya, Lampiran III yaitu untuk Biota Laut meliputi A5, A6, A7,B5, B6, B7, C2, C5, C6, D6 rata rata 0.21 Mg/L nilai ini diatas baku mutu 0.002 Mg/L. Berdasarkan zona untuk zona A meliputi AI, A2, A3, A4, A5, A6, A7 tertinggi di A7 rata rata kadar phenol di zona A sebesar 0.21 Mg/L sebesar 0.30 Mg/L, zona B meliputi B1, B2, B3, B4, B5, B6, B7 tertinggi di B1 sebesar 0.26 Mg/L rata rata kadar phenol zona B 0.197 Mg/L. Untuk zona C yang meliputi C2, C3, C4, C5, C6 tertinggi di C2dan C5 sebesar 2.40 Mg/L, Zona D yang meliputi D3,D4,D5, D6 kadar phenol tertinggi di D6 sebesar 0.30 Mg/L rata rata kadar phosphate di zona D sebesar 0.170 Mg/L. 157 DAFTAR PEGAWAI KANTOR LINGKUNGAN HIDUP KOTA ADMINISTRASI JAKARTA UTARA NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. NAMA/NIP/NRK Ir. Rusman E. Sagala, MT 196011161989031001/113133 Agus Sartono 196108251984021002/083336 Drs.Andy Setiady 196005161985031008/086472 Endah Wahyuningsih ST.MT 196804131998032003/124124 MG. Evi Sulistyowati S.Si 197203191998032003/127613 Rusliyanto, SAP 196610121987031005/110376 Broto Damaryanto, SE 196312211987031005/110376 Ria Latansih 197506212006042020/165273 Rusmiyati 195807071979032003/079233 Hadiyati 195812171983092001/079233 Eddy Marluli 196410271987031006/11047 Sumi Fathimah S.ST 198009102010012015/177630 Dwi Meirina Handayani, ST 198505022010012046/177313 Retno Budi Mahmudahani ,ST 198411142010012017/183126 Susmono 195902101985031008/087688 GOLONGAN IV/B III/D III/D III/D III/D III/D III/C III/C III/B III/B III/B III/B III/B III/B III/A 158 Tupoksi Kantor Pengelola Lingkungan Hidup Kota Administrasi Jakarta Utara 1. KPLH Kota Merupakan Unit kerja BPLHD pada Kota Administrasi 2. KPLH kota dipimpin oleh seorang Kepala Kantor yang secara teknis dan administrasi berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan serta operasional berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota Kantor Pengelola Lingkungan Hidup 1. KPLH Mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup daerah pada lingkup kota administrasi 2. Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) KPLH Kota menyelenggarakan fungsi : a. Penyusunan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran KPLH Kota b. Pelaksanaan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran KPLH Kota c. Pelaksanaan regulasi teknis penyelenggaraan urusan pengelolaan lingkungan hidup, limbah bahan berbahaya dan beracun lingkup kota administrasi d. Pelaksanaan kegiatan pengawasan dan pengendalian pemulihan pengelolaan lingkungan hidup, UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan) /UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan), limbah kegiatan/usaha pada lingkup kota administrasi e. Pelaksanaan sistem penanggulangan dan pengelolaan limbah berbahaya dan beracun lingkup Kota Administrasi f. Pelaksanaan dan pengkoordinasian kegiatan pencegahan dan penanggulangan pencemaran, kerusakan lingkungan dan pemulihan lingkungan lingkup kota Administrasi g. Pelaksanaan kegiatan pembinaan, konsultasi, dan pendampingan teknis pencegahan penanggulangan pencemaran kerusakan lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan hidup Kota Administrasi h. Pengawasan, pengendalian, dan evaluasi UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan) /UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan) dan SPPL pada kegiatan/usaha i. Penanganan pengaduan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup j. Penerapan sanksi administratif di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai lingkup tugasnya berdasarkan peraturan perundangundangan k. Pelaksanaan edukasi, pemberdayaan dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup l. Pelaksanaan koordinasi, pemberian bimbingan, konsultasi dan pendampingan teknis pelaksanaan perizinan dan pengelolaan lingkungan hidup terhadap SKPD/UPD, dan/atau instansi pemerintah/masyarakat/swasta. m. Pelaksanaan pengelolaan kepegawaian, keuangan dan barang KPLH Kota n. Penyediaan, penatausahaan, penggunaan, pemeliharaan dan perawatan sarana prasarana kerja KPLH Kota 159 o. Pengelolaan kearsipan, data dan informasi KPLH Kota p. Pelaksanaan kegiatan kerumahtanggan dan ketatausahaan KPLH Kota q. Pelaksanaan publikasi kegiatan dan pengaturan acara KPLH Kota dan r. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi KPLH Kota 3. Pelaporan dan pertanggung jawaban pelaksanaan tugas dan fungsi KPLH Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf r, untuk teknis dan administrasi disampaikan Kepala Kantor kepada Kepala BPLHD dan untuk operasional disampaikan Kepala Kantor kepada Walikota. KPLH Kota terdiri dari : a. b. c. d. e. f. g. Kepala kantor Subbagian Tata Usaha Subbagian Pelestarian dan Tata Lingkungan Subbagian Pencegahan Dampak Lingkungan Subbidang pengawasan dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan Subbidang Penataan Hukum Lingkungan dan Subkelompok Jabatan Fungsional Kepala Kantor mempunyai tugas : a. Memimpin dan mengoordinasikan pelaksanaan tugas dan fungsi KPLH Kota sebagaimana dimaksud pasal 33 b. Mengoordinasikan pelaksanan tugas Subbagian, Subbidang dan Subkelompok Jabatan Fungsional c. Melaksanakan kerja sama dan koordinasi dengan SKPD/UKPD dan/atau instansi pemerintah/swasta dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi KPLH Kota dan d. Melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan fungsi KPLH Kota Sub bagian Tata Usaha 1. Subbagian Tata Usaha merupakan Satuan Kerja KPLH Kota dalam pelaksanaan administrasi KPLH Kota 2. Subbagian Tata Usaha dipimpin oleh seorang Kepala Subbagian yang berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Kantor 3. Subbagian Tata Usaha mempunyai tugas : a. Menyusun bahan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran, KPLH kota sesuai dengan lingkup tugasnya b. Melaksanakan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran KPLH Kota sesuai dengan lingkup tugasnya c. Melaksanakan monitoring, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran KPLH Kota d. Melaksanakan pengelolaan kepegawaian, keuangan dan barang KPLH Kota e. Melaksanakan pengelolaan ketatausahaan dan kerumahtanggan KPLH Kota f. Melaksaakan penyediaan, penatausahaan, pemeliharaan dan perawatan prasarana dan sarana kerja KPLH Kota 160 g. Melaksanakan kegiatan pemeliharaan kebersihan, keindahan, keamanan dan ketertiban kantor KPLH Kota h. Melaksanakan pengelolaan ruang rapat/ruang pertemuan KPLH Kota i. Melaksanakan publikasi keguatan dan pengaturan acara KPLH Kota j. Melaksanakan kegiatan pengelolaan kearsipan, data dan informasi KPLH Kota k. Mengoordinasikan penyusunan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran KPLH Kota l. Mengoordinasikan penyusunan laporan kegiatan, keuangan, kinerja dan akuntabilitas KPLH Kota dan m. Melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas Subbagian Tata Usaha Sub Bagian Pelestarian dan Tata Lingkungan 1. Subbagian pelestarian dan Tata Lingkungan merupakan Satuan Kerja lini KPLH Kota dalam pelaksanaan kegiatan pelestarian dan tata lingkungan hidup daerah pada lingkup Kota Administrasi 2. Subbidang Pelestarian dan Tata Lingkungan dipimpin oleh seorang Kepala Subbidang yang berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Kantor 3. Subbidang Pelestarian dan Tata Lingkungan mempunyai tugas: a. Menyusun bahan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran KPLH Kota sesuai dengan lingkup tugasnya b. Melaksanakan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran KPLH Kota sesuai dengan lingkup tugasnya c. Melaksanakan upays pelestarian melalui mitigasi, adaptasi perubahan iklim, konservasi dan penataan lingkungan terkait dengan daya tampung serta daya dukung lingkungan d. Melaksanakan kegiatan pengendalian upaya pelestarian melalui mitigasi, adaptasi perubahan iklim, konservasi dan penataan lingkungan terkait dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan e. Melaksanakan kegiatan pembinaan teknis pencegahan dan penanggulangan pencemaran, kerusakan lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan f. Melaksanakan kegiatan pemantauan dan evaluasi upaya pelestarian melalui mitigasi, adaptasi perubahan iklim, konservasi dan penataan lingkungan terkait dengan daya tampung serta daya dukung lingkungan g. Melaksanakan kegiatan koordinasi, pemantauan, evaluasi dan penyajian informasi kualitas lingkungan h. Melaksanakan kegiatan upaya pelestarian melalui mitigasi, adaptasi dan konservasi dan penataan lingkungan terkait dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan berkoordinasi dengan SKPD/UKPD dan/atau instansi pemerintah/swasta/masyarakat i. Melaksanakan kegiatan bimbingan, konsultasi dan pendampingan teknis pelaksanaan upaya pelestarian melalui mitigasi, adaptasi dan konservasi dan penataan lingkungan terkait dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan terhadap SKPD/UKPD 161 j. Melaksanakan kegiatan bimbingan, konsultasi dan pendampingan terhadap penataan lingkungan antara Green and Clean, Adiwayata,Kalpataru dan Adipura k. Melaksanakan kegiatan monitoring, evaluasi dan pelaporan terhadap upaya pemulihan lingkungan antara lain resapan air dan penghijauan l. Menghimpun, mengolah , menyajikan, memelihara, mengembangkan dan memanfaatkan data dan informasi mengenai bahan perusak ozon m. Melaksanakan pemantauan dan penertiban penggunaan bahan perusak ozon n. Melaksanakan investarisasi , identifikasi, evaluasi dan pelaporan ekosistem dan o. Melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas Subbidang Pelestarian dan Tata Lingkungan Sub Bidang Pencegahan Dampak Lingkungan Subbidang Pencegahan Dampak Lingkungan merupakan Satuan Kerja lini KPLH dalam pelaksanaan kegiatan pencegahan dampak lingkungan dalam lingkup kota Administrasi 1. 2. Subbidang Pencegahan Dampak Lingkungan dipimpin oleh seorang Kepala Subbidang yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Kantor Subbidang Pencegahan Dampak Lingkungan mempunyai tugas: a. Menyusun bahan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran KPLH Kota sesuai dengan lingkup tugasnya b. Melaksanakan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran KPLH Kota sesuai dengan lingkup tugasnya c. Melaksanakan pembinaan UKL-UPL dan SPPL d. Melaksanakan pengawasan, pengendalian dan evaluasi implementasi dokumen lingkungan skala UKL-UPL dan SPPL e. Melaksanakan inventarisasi, identifikasi kegiatan yang belum memiliki dokumen lingkungan dan perizinan Perlindungan serta Pengelolaan Lingkungan Hidup f. Pelaksanaan koordinasi, pemberian bimbingan, konsultasi dan pendampingan teknis pelaksanaan perizinan dan pengelolaan lingkungan hidup terhadap SKPD/UKPD, dan/atau instansi pemerintah/swasta/masyarakat g. Melaksanakan pembinaan dan pengawasan kegiatan yang belum memiliki dokumen lingkungan dan perizinan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan h. Melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas Subbidang Pencegahan Dampak Lingkungan 162 Sub Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan 1. Subbidang Pengawasan dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan adalah Satuan Kerja lini KPLH Kota dalam pelaksanaan kegiatan pengawasan dan pengendalian pencemaran lingkungan pada lingkup kota administrasi 2. Subbidang pengawasan dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan dipimpin oleh seorang Kepala Subbidang yang berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor 3. Subbidang Pengawasan dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan mempunyai tugas : a. Menyusun bahan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran KPLH Kota sesuai dengan lingkup tugasnya b. Melaksanakan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran KPLH sesuai dengan lingkup tugasnya c. Melaksanakan inventarisasi dan identifikasi kegiatan sumber instansional dan non instansional penghasil air limbah dan/atau emisi udara dan/atau limbah padat dan/atau limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) d. Melaksanakan kegiatan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi pengendalian pencemaran air, emisi udara, limbah padat dan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) terhadap kegiatan usaha skala UKLUPL dan SPPL e. Melaksanakan kegiatan pembinaan teknis pencegahan, penanggulangan dan pemulihan kualitas lingkungan akibat pencemaran air limbah, emisi udara, limbah padat dan limah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) terhadap kegiatan usaha skala UKL-UPL dan SPPL e. Kegiatan bimbingan, konsultasi dan pendampingan teknis kepada kegiatan usaha skala UPL-UKL dan SPPL penghasil air limbah, emisi udara, limbah padat dan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) f. Menyiapkan bahan laporan KPLH Kota Administrasi yang berkaitan dengan tugas Subbidang Pengawasan dan Pengendalian Lingkungan dan g. Melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas Sub Bidang Pengawasan dan Pengendalian Dampak Lingkungan 1. 2. 3. Subbidang Penataan Hukum Lingkungan merupakan Satuan Kerja lini KPLH Kota dalam pelaksanaan kegiatan penataan hukum lingkungan pada lingkup kota administrasi Subbidang Penataan Hukum Lingkungan dipimpin oleh Kepala Subbidang yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Kantor Subbidang Penataan Hukum Lingkungan mempunyai tugas : a. Menyusun bahan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran KPLH Kota sesuai dengan lingkup tugasnya b. Melaksanakan rencana strateis dan dokumen pelaksanaan anggaran KPLH Kota sesuai dengan lingkup tugasnya c. Melaksanakan pengelolaan pengaduan kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dalam bentuk menerima, menelaah, mengklarifikasi, memverifikasi dan menindaklanjuti hasil verifikasi 163 d. Melaksanakan fasilitasi penanganan pengaduan penyelesaian kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup e. Melaksanakan koordinasi penanganan pengaduan penyelesaian kasus pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dengan instansi terkait f. Melaksanakan penerapan sanksi administratif di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai lingkup tugasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan g. Melaksanakan koordinasi penerapan penegakan hukum di bidang perlindugan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan Instansi terkait h. Melaksanakan analisis yuridis dan menyusun dokumen sanksi administratif skala UKL-UPL i. Melaksanakan pengawasan, pengendalian, evaluasi dan penyusunan status ketaatan terhadap pelaksanaan sanksi administratif j. Melaksanakan sosialisasi peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan lingkup tugasnya k. Melaksanakan edukasi di bidang lingkungan hidup sesuai dengan lingkup tugasnya l. Melaksanakan pembinaan, pemberdayaan, dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup m. Melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas Subbidang Penataan Hukum Lingkungan. Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Administrasi Jakarta Utara Sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No.10 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah dan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No.87 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kelautan dan Pertanian, maka Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan kota Administrasi Jakarta Utara yang secara teknis dan administrasi berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Dinas Kelautan dan Pertanian serta secara operasional berkedudukan di bawah dan bertanggung jawb kepada Walikota. Tugas Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Administrasi Jakarta Utara: Melaksanakan pelayanan bidang peternakan, perikanan dan kelautan di wilayah kota Administrasi Jakarta Utara. 164 Fungsi Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Administrasi Jakarta Utara : a. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Suku Dinas b. Pelaksanaan dokumen pelaksanaan Anggaran (DPA) Suku Dinas c. Pelaksanaan bimbingan, konsultasi, dan fasilitasi kegiatan dan usaha peternakan, perikanan dan kelautan d. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian kegiatan dan usaha peternakan, perikanan dan kelautan pada lingkup kota administrasi jakarta utara e. Pelaksanaan pemeriksaan kesehatan hewan,hasil perikanan, bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan f. Pemberian, pengawasan, pengendalian dan evaluasi perijinan/rekomendasi/sertifikasi di bidang peternakan, perikanan dan kelautan g. Pelaksanaan pengembangan peran serta masyarakat dalam peternakan, perikanan dan kelautan h. Menghimpun, pengolahan dan penyajian data dan informasi peternakan, perikanan dan kelautan pada lingkup kota administrasi jakarta utara i. Pelaksanaan supervisi pelaksanaan tugas seksi peternakan, perikanan dan kelautan kecamatan j. Pelaksanaan pemungutan, penata usahaan, penyetoran, pelaporan dan pertanggungjawaban penerimaan retribusi pelayanan dan perikanan k. Pelaksanaan koordinasi peternakan, perikanan dan kelautan pada lingkup wilayah kota administrasi l. Penyelenggaran ketatausahaan, pengelolaan kepegawaian , keuangan, barang suku dinas m. Pembinaan dan pendayagunaan pesisir dan pantai n. Penyediaan, penata usahaan, penggunaan, pemeliharaan dan perawatan prasaranan dan sarana kerja suku dinas o. Penyusunan bahan laporan Dinas Kelauran dan Pertanian kota Administrasi yang terkait dengan tugas dan fungsi Suku Dinas p. Pelaksanaan pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi Suku Dinas 165 Gambar 4.4 Struktur Organisasi Suku Dinas Peternakan,Perikanan dan kelautan Jakarta Utara Kepala Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara Sub Bagian Tata Usaha Seksi Peternakan Sek.P2K Kec.Koja Seksi.P2K Kec.Cilincing Seksi Pengawasan dan Pengendalian Sek.P2K Kec.Kelapa Gading Seksi Perikanan dan Kelautan Seksi.P2K Kec.Pade mangan Jabatan Fungsional Seksi.P2K Kec.Tj.Priok Seksi.P2K Kec.Penjarin gan 166 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTAG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya alamnya berdasarkan Wawasan Nusantara merupakan salah satu bagian lingkungan hidup yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, berfungsi sebagai ruang bagi kehidupan Bangsa; b. bahwa pengelolaan lingkungan laut beserta sumber daya alamnya bertujuan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dan kelangsungan hidup makhluk hidup lainnya baik masa sekarang maupun masa yang akan datang; c. bahwa meningkatnya kegiatan pembangunan di darat dan di laut maupun pemanfataan laut beserta sumber daya alamnya dapat mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan laut yang akhirnya menurunkan mutu serta fungsi laut ; d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, dipandang perlu menetapkan PeraturanPemerintah tetnang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusahaan Laut; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2), Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945; 167 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823); 3.Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2994); 4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037); 5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona ekonomi Ekslusif Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3260); 6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274); 7.Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299); 8.Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982; 9. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber DayaAlam Hayati Dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49,Tambahan Lembaran Negara Nomor 10. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493); 11. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501); 12. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647); 13. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 168 MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN PEN-CEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan : 1. Ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional; 2. Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya; 3. Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut; 4. Perusakan laut adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang melampaui kriteria baku kerusakan laut; 5. Kerusakan laut adalah perubahan fisik dan/atau hayati laut yang melewati kriteria baku kerusakan laut; 6. Kriteria baku kerusakan laut adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan laut yang dapat ditenggang; 7. Status mutu laut adalah tingkatan mutu laut pada lokasi dan waktu tertentu yang dinilai berdasarkan baku mutu air laut dan/atau kriteria baku kerusakan laut; 169 8. Perlindungan mutu laut adalah setiap upaya atau kegiatan yang dilakukan agar mutu laut tetap baik; 9. Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut adalah setiap upaya atau kegiatan pencegahan dan/atau penanggulangan dan/atau pencemaran dan/atau perusakan laut; 10. Pembuangan (Dumping) adalah pembuangan limbah sebagai residu suatu usaha dan/atau kegiatan dan/atau benda lain yang tidak terpakai atau daluwarsa ke laut; 11. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan; 12. Limbah cair adalah sisa dari proses usaha dan/atau kegiatan yang berwujud cair; 13. Limbah padat adalah sisa atau hasil samping dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang berwujud padat termasuk sampah; 14. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum; 15. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan; 16. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup; Pasal 2 Perlindungan mutu laut meliputi upaya atau kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut bertujuan untuk mencegah atau mengurangi turunnya mutu laut dan/atau rusaknya sumber daya laut. BAB II PERLINDUNGAN MUTU LAUT Pasal 3 Perlindungan mutu laut didasarkan pada baku mutu air laut, kriteria baku kerusakan laut dan status mutu laut. Pasal 4 Baku Mutu Air Laut dan kreteria baku kerusakan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan masukan dari menteri lainnya dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait lainnya. 170 Pasal 5 (1) Status mutu laut ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian data mutu air laut, kondisi tingkat kerusakan laut yang mempengaruhi mutu laut. (2) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dapat menetapkan status mutu laut berdasarkan pedoman teknis penetapan status mutu laut yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. (3) Dalam hal Gubernur Kepala Daerah Tingkat I tidak menetapkan status mutu laut, maka Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan status mutu laut. Pasal 6 Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penilaian dan penetapan status mutu laut. Pasal 7 (1) Air laut yang mutunya memenuhi baku mutu air laut dinyatakan sebagai air laut yang status mutunya berada pada tingkatan baik. (2) Air laut yang mutunya tidak memenuhi baku mutu air laut dinyatakan sebagai air laut yang status mutunya berada pada tingkatan tercemar. Pasal 8 (1) Lingkungan laut yang memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan sebagai lingkungan laut yang status mutunya pada tingkatan baik. (2) Lingkungan laut yang tidak memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan sebagai lingkungan laut yang status mutunya berada pada tingkatan rusak. BAB III 171 PENCEGAHAN PENCEMARAN LAUT Pasal 9 Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan pencemaran laut. Pasal 10 (1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan pencemaran laut, wajib melakukan pencegahan terjadinya pencemaran laut. (2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang limbahnya ke laut, wajib memenuhi persyaratan mengenai baku mutu air laut, baku mutu limbah cair, baku mutu emisi dan ketentuan-ketentuan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 11 Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pencegahan pencemaran laut. Pasal 12 Limbah cair dan/atau limbah padat dari kegiatan rutin operasional di laut wajib dikelola dan dibuang di sarana pengelolaan limbah cair dan/atau limbah padat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB IV PENCEGAHAN PERUSAKAN LAUT Pasal 13 Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan laut. Pasal 14 172 (1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan laut wajib melakukan pencegahan perusakan laut. (2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pencegahan perusakan laut. BAB V PENANGGULANGAN PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LAUT Pasal 15 (1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya. (2) Pedoman sebagaimana mengenai dimaksud pennggulangan ayat (1) pencemaran ditetapkan oleh dan/atau Kepala perusakan laut instansi yang bertanggungjawab. BAB VI PEMULIHAN MUTU LAUT Pasal 16 (1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan laut wajib melakukan pemulihan mutu laut. (2) Pedoman mengenai pemulihan mutu laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. BAB VII KEADAAN DARURAT Pasal 17 (1) Dalam keadaan darurat, pembuangan benda ke laut yang berasal dari usaha dan/atau kegiatan di laut dapat dilakukan tanpa izin, apabila : a. laut. pembuangan benda dimaksudkan untuk menjamin keselamatan jiwa kegiatan di BAB V b. pembuangan benda sebagaimana dimaksud pada huruf a disebabkan oleh adanya kerusakan pada peralatannya dengan syarat bahwa semua upaya pencegahan yang layak telah dilakukan atau pembuangan tersebut merupakan cara terbaik untuk mencegah kerugian yang lebih besar. (2) Dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilik dan/atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib dan segera memberitahukan kepada pejabat yang berwenang dan/atau instansi yang bertanggung jawab. (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atas, wajib menyebutkan tentang benda yang dibuang, lokasi, waktu, jumlah dan langkah-langkah yang telah dilakukan. (4) Instansi yang menerima laporan wajib melakukan tindakan pencegahan meluasnya pencemaran dan/atau kerusakan laut dan wajib melaporkan kepada Menteri. (5) Biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan laut serta pemulihan mutu laut yang ditimbulkan oleh keadaan darurat, ditanggung oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan. DUMPING Pasal 18 (1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan dumping ke laut wajib mendapat izin Menteri. (2) Tata cara dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri. BAB IX PENGAWASAN Pasal 19 (1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan laut. (2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan. Pasal 20 (1) Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan. (2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut. Pasal 21 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, wajib : a. mengizinkan pengawas memasuki lingkungan kerjanya dan membantu terlaksananya tugas pengawasan tersebut; b. memberikan keterangan dengan benar, baik secara lisan maupun tertulis apabila hal itu diminta pengawas; c. memberikan dokumen dan/atau data yang diperlukan oleh pengawas; d. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan contoh limbah atau barang lainnya yang diperlukan pengawas; dan e. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan gambar dan/atau melakukan pemotretan di lokasi kerjanya. Pasal 22 (1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut yang telah dilakukan kepada instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya. (2) Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab. BAB X PEMBIAYAAN Pasal 23 (1) Biaya inventarisasi dan/atau penelitian dalam rangka penetapan status mutu laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan/atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. (2) Biaya pengawasan penaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB XI GANTI RUGI Pasal 24 (1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan laut wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut serta biaya pemulihannya. (2) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain, akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan laut wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan. Pasal 25 Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 26 Setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, setiap usaha dan/atau kegiatan wajib menyesuaikan persyaratan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 27 Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 28 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Pebruari 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd. BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Pebruari 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd. AKB AR TANDJUNG LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 32 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT A. UMUM Sebagian besar wilayah Republik Indonesia berupa perairan laut yang letaknya sangat strategis. Perairan laut Indonesia selain dimanfaatkan sebagai sarana perhubungan laut lokal maupun internasional, juga memiliki sumber daya laut yang sangat kaya dan penting, antara lain sumber daya perikanan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan pada daerah pesisir dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata yang menarik. Laut juga mempunyai arti penting bagi kehidupan makhluk hidup seperti manusia, juga ikan, tumbuh-tumbuhan dan biota laut lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor kelautan mempunyai potensi yang sangat besar untuk dapat ikut mendorong pembangunan di masa kini maupun masa depan. Oleh karena itu, laut yang merupakan salah satu sumber daya alam, sangat perlu untuk dilindungi. Hal ini berarti pemanfaatannya harus dilakukan dengan bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Agar laut dapat bermanfaat secara berkelanjutan dengan tingkat mutu yang diinginkan, maka kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut menjadi sangat penting. Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan ini merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. 1. Pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya. Hal ini berarti, bahwa perlu ditetapkan baku mutu air laut yang berfungsi sebagai tolok ukur untuk menentukan telah terjadinya pencemaran laut. Selain itu juga sangat berguna bagi penentuan status mutu laut. Karena sangat erat kaitannya antara tingkat pencemaran laut dengan status mutu laut itu sendiri. 2. Perusakan laut adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang melampaui kriteria baku kerusakan laut. Hal ini berarti bahwa perlu ditetapkan kriteria baku kerusakan laut yang berfungsi sebagai tolok ukur untuk menentukan tingkat kerusakan laut. Selain itu juga sangat berguna bagi penentuan status mutu laut. Karena sangat erat kaitannya antara tingkat kerusakan laut dengan status mutu laut itu sendiri. 3. Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan bahwa sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup dengan mempertimbangkan generasi kini dan yang akan datang serta terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana. Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut mengacu kepada sasaran tersebut sehingga pola kegiatannya terarah dan selaras dengan tetap mempertimbangkan hak dan kewajiban serta peran masyarakat. 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup juga menyebutkan hak setiap anggota masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang diikuti dengan kewajiban untuk memelihara dan melestarikan fungsi lingkungan hidup, sehingga setiap orang mempunyai peran yang jelas tentang hak dan kewajibannya didalam upaya pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut. 5. Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan juga untuk melaksanakan tujuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya yang ada kaitannya dengan masalah lingkungan hidup serta melaksanakan misi yang tercantum dalam konvensi internasional yang berkaitan dengan hukum laut atau pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut. Peraturan Pemerintah ini berkaitan sangat erat pula dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Air, Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun dan Peraturan Pemerintah tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pengendalian Dampak Lingkungan ke Daerah. 6. Pengendalian Pencemaran dan/atau perusakan laut merupakan kegiatan yang mencakup: a. Inventarisasi kualitas laut dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai kriteria yang ada dalam pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut. b. Penetapan baku mutu air laut dan kriteria baku kerusakan laut yang digunakan sebagai tolok ukur utama pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut. c. Pemantauan kualitas air laut dan pengukuran tingkat kerusakan laut yang diikuti dengan pengumpulan hasil pemantauan yang dilakukan oleh instansi lain, evaluasi dan analisis terhadap hasil yang diperoleh serta pembuatan laporan. d. Penetapan status mutu laut di suatu daerah. e. Perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pengendaliannya untuk mempertahankan mutu laut agar tetap baik atau memperbaiki mutu laut yang telah tercemar atau rusak. f. Pengawasan terhadap penaatan peraturan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut termasuk penaataan mutu limbah yang dibuang ke laut dan/atau penaataan terhadap kriteria baku kerusakan laut serta penindakan, pemulihan dan penegakan hukumnya. B. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 Unsur terkait adalah semua benda, daya, keadaan, dan makluk hidup yang ada di laut. Angka 2 Cukup jelas Angka 3 Cukup jelas Angka 4 Cukup jelas Angka 5 Cukup jelas ) Angka 6 Cukup jelas Angka 7 Cukup jelas Angka 8 Yang dimaksud mutu laut tetap baik adalah mutu laut sama atau di bawah ambang batas baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakan laut. Angka 9 Cukup jelas Angka 10 Cukup jelas Angka 11 Cukup jelas Angka 12 Cukup jelas ) Angka 13 Cukup jelas Angka 14 Cukup jelas Angka 15 Cukup jelas Angka 16 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Baku mutu air laut ditetapkan berdasarkan peruntukannya, antara lain: baku mutu air laut untuk pariwisata dan rekreasi (mandi, renang, dan selam); baku mutu air laut untuk konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sedangkan kriteria baku kerusakan laut ditetapkan berdasarkan pada kondisi fisik ekosistem laut yaitu antara lain: terumbu karang, mangrove dan padang lamun. Pasal 5 ) Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan memenuhi baku mutu air laut adalah jika nilai atau kadar parameter mutu air laut yang diukur berada dalam batas atau sesuai dengan ketentuan baku mutu air laut yang ditetapkan oleh Menteri . Ayat (2) Yang dimaksud dengan tidak memenuhi baku mutu air laut adalah jika nilai atau kadar parameter mutu air laut yang diukur tidak berada dalam batas atau tidak sesuai dengan ketentuan baku mutu air laut yang ditetapkan oleh Menteri. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan lingkungan laut yang memenuhi kriteria baku kerusakan laut adalah jika kondisi fisik lingkungan laut yang dimaksud antara lain berada dalam : Kondisinya "baik" sampai "baik sekali", untuk terumbu karang. Kondisinya "sedang" sampai "sangat padat", untuk mangrove. Kondisinya "kaya" sampai "sangat kaya", untuk padang lamun. Ayat (2) ) Yang dimaksud dengan lingkungan laut yang tidak memenuhi kriteria baku kerusakan adalah jika kondisi fisik lingkungan laut yang dimaksud antara lain berada dalam : Kondisinya "sedang" sampai "buruk", untuk terumbu karang. Kondisinya "jarang" sampai "sangat jarang", untuk mangrove. Kondisinya "agak miskin" sampai "miskin", untuk padang lamun. Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Yang dimaksud limbah padat adalah termasuk sampah. Yang dimaksud dengan kegiatan rutin operasional di laut antara lain: kapal, kegiatan lepas pantai (off shore) dan perikanan. Pasal 13 Cukup jelas ) Pasal 14 Ayat (1) Kewajiban untuk melakukan pencegahan dimaksud merupakan upaya untuk mengurangi terjadinya kemungkinan resiko terhadap setiap ekosistem laut berupa terjadinya perusakan Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan keadaan darurat adalah suatu keadaan yang memerlukan penanggulangan sesegera mungkin sehingga mengesampingkan prosedur normal. Yang dimaksud dengan benda adalah barang dan/atau bahan dan/atau zat dan/atau limbah. Ayat (2) Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang antara lain Menteri Perhubungan, Menteri ) Pertambangan dan Energi, dan Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (2) Dalam rangka menetapkan tata cara dumping, Menteri wajib melakukan koordinasi dengan instansi terkait. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Dalam hal menetapkan pejabat yang berwenang dari instansi lain untuk melakukan pengawasan, Menteri melakukan koordinasi dengan pimpinan instansi yang bersangkutan. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan adalah menghormati nilai dan norma yang berlaku baik tertulis maupun yang tidak tertulis. Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) ) Laporan tentang kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau yang disampaikan antara lain berisi hasil pemantauan kualitas dan kuantitas limbah yang dibuang ke laut, kinerja instalasi pengolahan air limbah, luas penambangan pasir atau batu yang telah dilakukan dan upaya minimalisasi dampak, reklamasi pantai. 189 Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3816 PEDOMAN WAWANCARA PENELITIAN Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. (Studi kasus wilayah laut Marunda Jakarta Utara) Penelitian ini dilakukan dalam rangka penyusunan Skripsi pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Untuk memperoleh data yang berkaitan dengan Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. (Studi kasus wilayah laut Marunda Jakarta Utara) maka disusunlah pedoman wawancara seperti dibawah ini. Pedoman wawancara untuk Kategori : Unsur Pemerintah 1. Kantor Lingkungan Hidup 2. Suku Dinas Perikanan,Kelautan dan Ketahanan Pangan Jakarta Utara 3. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta I. Tingkat kepatuhan 1. Apakah Implementor sudah mematuhi aturan seperti standar operasi, prosedur dan mekanisme? mulai dari pencegahan hingga pemulihan mutu lingkungan. 2. Bagaimana bentuk dukungan masyarakat/LSM/pihak industri dalam pencegahan hingga pemulihan pencemaran? 3. Bagaimana status pencemaran yang terjadi di kawasan laut marunda? (Ringan/sedang/berat) 4. Bagaimana kejelasan dan konsistensi para pelaksana pada sasaran program? 5. Bagaimana pembinaan pegawai di lingkungan birokrasi? 6. Bagaimana peran dari pihak yang berwenang dalam hal pengendalian pencemaran laut 7. Sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat/LSM/Industri dalam mematuhi kebijakan tersebut? 8. Bagaimana pelaporan dan pertanggung jawaban pelaksanaan tugas dan fungsi? II. Lancarnya rutinitas fungsi 9. Apakah koordinasi dan sinkronisasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian di bidang lingkungan kelautan sudah berjalan efektif? 10. Bagaimana koordinasi antar lembaga pemerintah dengan pihak non pemerintahan? (LSM/Masyarakat/Industri) 11. Apakah fungsi pengaduan mengenai pencemaran lingkungan sudah berjalan secara efektif? 12. Bagaimana upaya sosialisasi programkepada masyarakat dalam hal untuk meningkatkan partisipasi masyarakat? 13. Apakah selama ini kewenangan daerah dalam rangka membuat regulasi kebijakan terjadi disharmoni atau terdapat tumpang tindih kebijakan? 14. apa sajakah program strategis yang dilakukan dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan?(air laut) 15. Bagaimana pelaksanaan kebijakan penegakan hukum lingkungan dalam hal ini fasilitasi penyelesaian sengketa lingkungan dan berbagai tindakan pencemaran? III. Terwujudnya kinerja dampak yang dikehendaki 16. Bagaimana proses implementasi pengendalian pencemaran laut dan/atau perusakan laut dilakukan? 17. apa saja yang berhasil dicapai dalam target program? 18. Apakah visi-visi Lingkungan Jakarta yang berkelanjutan sudah tercapai? 19. Apakah SDM menjadi faktor keberhasilan kebijakan tersebut? 20. Bagaimana alokasi anggaran pengelolaan lingkungan? 21. Apakah infrastruktur sudah memadai dalam mendukung kebijakan? 22. Apakah terdapat kendala yang paling utama dalam implementasi kebijakan? 23. Apakah selama ini sasaran program atau SDM menentang kebijakan? 24. Apakah upaya Rehabilitas lingkungan berjalan secara efektif? 2. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta I. Tingkat kepatuhan 25. Apakah Implementor sudah mematuhi aturan seperti standar operasi, prosedur dan mekanisme? mulai dari pencegahan hingga pemulihan mutu lingkungan. 26. Bagaimana bentuk dukungan masyarakat/LSM/pihak industri dalam pencegahan hingga pemulihan pencemaran? 27. Bagaimana status pencemaran yang terjadi di kawasan laut marunda? (Ringan/sedang/berat) 28. Bagaimana kejelasan dan konsistensi para pelaksana pada sasaran program? 29. Bagaimana pembinaan pegawai di lingkungan birokrasi? 30. Bagaimana peran dari pihak yang berwenang dalam hal pengendalian pencemaran laut 31. Sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat/LSM/Industri dalam mematuhi kebijakan tersebut? 32. Bagaimana pelaporan dan pertanggung jawaban pelaksanaan tugas dan fungsi? II. Lancarnya rutinitas fungsi 33. Apakah koordinasi dan sinkronisasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian di bidang lingkungan kelautan sudah berjalan efektif? 34. Bagaimana koordinasi antar lembaga pemerintah dengan pihak non pemerintahan? (LSM/Masyarakat/Industri) 35. Apakah fungsi pengaduan mengenai pencemaran lingkungan sudah berjalan secara efektif? 36. Bagaimana upaya sosialisasi programkepada masyarakat dalam hal untuk meningkatkan partisipasi masyarakat? 37. Apakah selama ini kewenangan daerah dalam rangka membuat regulasi kebijakan terjadi disharmoni atau terdapat tumpang tindih kebijakan? 38. apa sajakah program strategis yang dilakukan dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan?(air laut) 39. Bagaimana pelaksanaan kebijakan penegakan hukum lingkungan dalam hal ini fasilitasi penyelesaian sengketa lingkungan dan berbagai tindakan pencemaran? III.Terwujudnya kinerja dampak yang dikehendaki 40. Bagaimana proses implementasi pengendalian pencemaran laut dan/atau perusakan laut dilakukan? 41. apa saja yang berhasil dicapai dalam target program? 42. Apakah visi-visi Lingkungan Jakarta yang berkelanjutan sudah tercapai? 43. Apakah SDM menjadi faktor keberhasilan kebijakan tersebut? 44. Bagaimana alokasi anggaran pengelolaan lingkungan? 45. Apakah infrastruktur sudah memadai dalam mendukung kebijakan? 46. Apakah terdapat kendala yang paling utama dalam implementasi kebijakan? 47. Apakah selama ini sasaran program atau SDM menentang kebijakan? 48. Apakah upaya Rehabilitas lingkungan berjalan secara efektif? 3. Suku Dinas Peternakan,Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara I. Tingkat kepatuhan 1. Apakah Implementor sudah mematuhi aturan seperti standar operasi, prosedur dan mekanisme? mulai dari pencegahan hingga pemulihan mutu lingkungan. 2. Bagaimana bentuk dukungan masyarakat/LSM/pihak industri dalam pencegahan hingga pemulihan pencemaran? 3. Bagaimana status pencemaran yang terjadi di kawasan laut marunda? (Ringan/sedang/berat) 4. Bagaimana kejelasan dan konsistensi para pelaksana pada sasaran program? 5. Bagaimana pembinaan pegawai di lingkungan birokrasi? 6. Bagaimana peran dari pihak yang berwenang dalam hal pengendalian pencemaran laut 7. Sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat/LSM/Industri dalam mematuhi kebijakan tersebut? 8. Bagaimana pelaporan dan pertanggung jawaban pelaksanaan tugas dan fungsi? II. Lancarnya rutinitas fungsi 9. Apakah koordinasi dan sinkronisasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian di bidang lingkungan kelautan sudah berjalan efektif? 10. Bagaimana koordinasi antar lembaga pemerintah dengan pihak non pemerintahan? (LSM/Masyarakat/Industri) 11. Apakah fungsi pengaduan mengenai pencemaran lingkungan sudah berjalan secara efektif? 12. Bagaimana upaya sosialisasi programkepada masyarakat dalam hal untuk meningkatkan partisipasi masyarakat? 13. Apakah selama ini kewenangan daerah dalam rangka membuat regulasi kebijakan terjadi disharmoni atau terdapat tumpang tindih kebijakan? 14. apa sajakah program strategis yang dilakukan dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan?(air laut) III. Terwujudnya kinerja dampak yang dikehendaki 15. Bagaimana proses implementasi pengendalian pencemaran laut dan/atau perusakan laut dilakukan? 16. apa saja yang berhasil dicapai dalam target program? 17. Apakah visi-visi Lingkungan Jakarta yang berkelanjutan sudah tercapai? 18. Apakah SDM menjadi faktor keberhasilan kebijakan tersebut? 19. Bagaimana alokasi anggaran pengelolaan lingkungan? 20. Apakah infrastruktur sudah memadai dalam mendukung kebijakan? 21. Apakah terdapat kendala yang paling utama dalam implementasi kebijakan? 22. Apakah selama ini sasaran program atau SDM menentang kebijakan? 23. Apakah upaya Rehabilitas lingkungan berjalan secara efektif? Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. (Studi kasus wilayah laut Marunda Jakarta Utara) Penelitian ini dilakukan dalam rangka penyusunan Skripsi pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Untuk memperoleh data yang berkaitan dengan Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. (Studi kasus wilayah laut Marunda Jakarta Utara) maka disusunlah pedoman wawancara seperti dibawah ini. Pedoman wawancara untuk Kategori : Unsur LSM 1. WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) DKI JAKARTA 2. KIARA (Koalisi Rakyat Peduli Perikanan) I. Tingkat Kepatuhan 1. Apakah Implementor sudah mematuhi aturan seperti standar operasi, prosedur dan mekanisme? mulai dari pencegahan hingga pemulihan mutu lingkungan. 2. Bagaimana bentuk dukungan masyarakat/LSM/pihak industri dalam pencegahan hingga pemulihan pencemaran? 3.Bagaimana status pencemaran yang terjadi di kawasan laut marunda? 4. Bagaimana kejelasan dan konsistensi para pelaksana pada sasaran program? 5. Bagaimana peran dari pihak yang berwenang dalam hal pengendalian pencemaran laut? 6. Sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat/LSM/Industri dalam mematuhi kebijakan tersebut? II. Lancarnya Rutinitas Fungsi 7. Bagaimana koordinasi antar lembaga pemerintah dengan pihak non pemerintahan? (LSM/Masyarakat/Industri) 8. Apakah fungsi pengaduan mengenai pencemaran lingkungan sudah berjalan secara efektif? 9. Bagaimana upaya sosialisasi program kepada masyarakat dalam hal untuk meningkatkan partisipasi masyarakat? 10. Apakah selama ini kewenangan daerah dalam rangka membuat regulasi kebijakan terjadi disharmoni atau terdapat tumpang tindih kebijakan? III. Terwujudnya kinerja dampak yang ingin dikehendaki 11. Bagaimana proses implementasi pengendalian pencemaran laut dan/atau perusakan laut dilakukan? 12. Apakah SDM menjadi faktor keberhasilan kebijakan tersebut? 13. Apakah terdapat kendala yang paling utama dalam implementasi kebijakan? 14.Apakah selama ini sasaran program atau SDM menentang kebijakan? 15.Apakah upaya Rehabilitas lingkungan berjalan secara efektif? Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. (Studi kasus wilayah laut Marunda Jakarta Utara) Penelitian ini dilakukan dalam rangka penyusunan Skripsi pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Untuk memperoleh data yang berkaitan dengan Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. (Studi kasus wilayah laut Marunda Jakarta Utara) maka disusunlah pedoman wawancara seperti dibawah ini. Pedoman wawancara untuk Kategori : Unsur Industri 1. PT.Asianagro Agungjaya 2.PT.Orson Indonesia 3.PT.Dua Kuda Indonesia I. Tingkat Kepatuhan 1. Apakah industri telah melakukan upaya minimasasi limbah untuk mencegah/memperkecil dampak negatif yang timbul dari kegiatan produksi? 2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan penerapan pengolahan air limbah kurang optimal? 3. Apakah industri mematuhi prosedur pelaporan pengelolaan limbah ke instansi berwenang? 4. Apakah selama ini industri mendukung pencegahan hingga pemulihan mutu lingkungan? 5. Dukungan apa yang industri lakukan dalam hal tersebut? Apakah memiliki program CSR? 6. Bagaimana hubungan industri dengan masyarakat sekitar? 7. Bagaimana koordinasi industri dengan pemerintah dalam hal ni pengelolaan limbah?Apakah industri bersikap kooperatif? 8. Apakah selama ini industri memenuhi baku mutu limbah? - Jika limbah berbentuk cair, berapa volume limbah yang dihasilkan setiap hari? - Berapa ukuran IPLC? (Instalasi pengolahan limbah cair) - Berapa jarak antara kolam limbah dengan badan air penerima limbah? 9. Apakah selama ini industri mendapat isu lingkungan sekitar? Bagaimana jika masyarakat protes terhadap dugaan pencemaran? 10. Bagaimana menurut anda, status pencemaran yang terjadi di kawasan laut Marunda? Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. (Studi kasus wilayah laut Marunda Jakarta Utara) Penelitian ini dilakukan dalam rangka penyusunan Skripsi pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Untuk memperoleh data yang berkaitan dengan Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. (Studi kasus wilayah laut Marunda Jakarta Utara) maka disusunlah pedoman wawancara seperti dibawah ini. Pedoman wawancara untuk Kategori : Unsur Nelayan Marunda 1 Apakah Implementor sudah mematuhi aturan seperti standar operasi, prosedur dan mekanisme? mulai dari pencegahan hingga pemulihan mutu lingkungan. 2. Bagaimana bentuk dukungan masyarakat/LSM/pihak industri dalam pencegahan hingga pemulihan pencemaran? 3.Bagaimana status pencemaran yang terjadi di kawasan laut marunda? 4. Bagaimana kejelasan dan konsistensi para pelaksana pada sasaran program? 5. Bagaimana peran dari pihak yang berwenang dalam hal pengendalian pencemaran laut? 6. Sejauhmana tingkat partisipasi masyarakat/LSM/Industri dalam mematuhi kebijakan tersebut? 7. .Bagaimana koordinasi antar lembaga pemerintah dengan pihak non pemerintahan? (LSM/Masyarakat/Industri) 8. Apakah fungsi pengaduan mengenai pencemaran lingkungan sudah berjalan secara efektif? 9. Bagaimana upaya sosialisasi programkepada masyarakat dalam hal untuk meningkatkan partisipasi masyarakat? 10. Bagaimana proses implementasi pengendalian pencemaran laut dan/atau perusakan laut dilakukan? 11. Apakah sejauh ini masyarakat pesisir laut marunda sudah merasakan dampak kebijakan yang menjadi tujuan yang dikehendaki? 12. Apakah terdapat kendala yang paling utama dalam implementasi kebijakan? 13. Apakah selama ini sasaran program atau SDM menentang kebijakan? TRANSKRIP DATA DAN KODING Keterangan Q=Pertanyaan A= Jawaban I= Informan Q/I A Q1 Apakah impelementor sudah mematuhi prosedur dan mekanisme pencegahan hingga KODING pemulihan mutu lingkungan? I1 Belum, tahun ini Subid.Pengawasan dan Pengendalian 1 Pencemaran lingkungan memfokuskan untuk melakukan pengawasan pada kawasan industri yaitu dengan cara mengeluarkan status ketaatan lingkungan. Nah disitu dapat di nilai taat pada aturan atau tidak, karena selama ini khusus dikawasan Marunda itu tidak semuanya mempunyai IPAL. Padahal secara teknis harusnya yang menyediakan adalah pengelola kawasan bukan dari perusahaan masing-masing, ini yang menjadi ketidakjelasan aturan yang tidak dipatuhi. Sehingga pencegahan juga tidak ditaati, standar operasi dan prosedur semua tertuang di dokumen pengelolaan limbah industri. I2 Kalau berbicara pencemaran disitu sebenarnya karena 13 sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta, pencemaran dari hulu 2 sampai hilir. Jika dilihat bagaimana implementornya kalau pencemaran dibawah koordinasi Asisten Kesejahteraan masyarakat nah disitu banyak membawahi suku-suku dinas seperti BPLHD, Perikanan, Perhubungan dan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan jika berbicara SDM Industri. Kami (perikanan) hanya melaporkan dampak pencemaran karena banyak dampak negatif yang diterima oleh nelayan walaupun aturan tersedia seperti AMDAL, UKL/UPL cuma bagaimana yang mengawasi. Lemahnya pengawasan yang terjadi. I3 Kalau di lihat dari IPAL yang sudah sesuai aturan yang dibuat 3 aturan sudah jelas, tetapi jika melihat limbah yang masih tidak bagus kan berarti ada masalah. Misalnya, dari pengawasan yang kurang ketat, kemudian IPAL dimainkan oleh industri sehingga faktanya limbah tidak diurus secara baik dan dampaknya terhadap lingkungan nelayan juga I4 Selama ini memang interaksi antara industri, pemerintah dan masyarakat agak timpang contohnya di Marunda Kepu beberapa limbah yang terjadi tidak diurus tidak pernah ada upaya/tindakan yang konkrit dari perusahaan sekitar untuk menangani/meminimalisir limbah yang ada. Interaksi antar mereka cenderung lebih tegang. Jadi menurut kami, standar dan prosedur yang telah dibuat tidak di implementasikan 4 secara baik I6 Aturan memang ada, dari mulai pencegahan pencemaran 5 sampai pemulihan, tetapi kenyataannya laut masih saja tercemar walaupun sering ada pembinaan dari pemerintah tetapi outputnya tidak ada yang bisa dirasakan langsung manfaatnya sama kita I7 Sebenarnya kalau dari aturan pencegahan sudah berjalan sesuai aturan, tapi kalau dari pemulihan saat sudah ada limbah 6 di laut belum, terutama kesadaran dari pihak-pihak industri yang di duga membuang limbahnya ke laut I8 Dulu ketika tahun 1991 saya ikut dalam pengambilan sample 7 air atas dugaan pencemaran dari pabrik kayu lapis dan pabrik kertas, mekanisme dan prosedur menurut saya cukup baik, nelayan diajak dalam penanganan kasus pencemaran, tetapi sekarang sudah mulai lemah segala pengawasannya. Padahal dulu aktif mencari limbah berasal darimana bersama BAPEDAL. Pemerintah mulai lemah dengan kekuatan swasta dan lemahnya aturan-aturan tersebut I9 Menurut saya sih tidak, limbah selalu ada terus, perusahaan disini kan banyak harusnya lebih tegas lagi, nelayan kaya kitakita ini kan gak begitu paham gimana kebijakannya. Dulu kalau gak ada ikan ya kita anggapnya ada limbah gitu aja, tanpa tau itu limbah berasal darimana lagian kalau air sample 8 di uji gitu hasilnya tetap bagus bagus aja versi mereka (pemerintah) I13 Kalau secara umum sudah mematuhi dengan ditandai dengan 9 sudah mempunyai dokumen Q2 Bagaimana bentuk dukungan masyarakat/LSM/Pihak industri dalam pencegahan hingga pemulihan pencemaran? I1 Belum ada 10 I2 Dukungan dari LSM biasanya mereka melaporkan dan mereka 11 juga memberikan pendapat dan solusi, ketika rapat koordinasi di tingkat walikota biasanya LSM disertakan I3 Kalau secara khusus WALHI memberi dukungan dalam bentuk masih berupa kampanye, kita tidak fokus ke Marunda saja tetapi pada lingkungan jakarta Marunda hanya menjadi salah satu keys, karena kita sendiri kan ketika menghadapi situasi limbah di Teluk Jakarta dan sungai kita dorong isunya dengan Revitalisasi lingkungan sesuai dengan UU PPLH tahun 2009 dengan stand posisi itu WALHI juga menolak Reklamasi dan pembuatan Tanggul Raksasa. Kita hanya prioritaskan di kampanye kita Revitalisasi Sungai yang mana 13 sungai ini membawa banyak sekali berbagai macam limbah yang bermuara ke laut. Limbah rumah tangga, industri dan semacamnya, itu juga ditambah dengan keberadaan pabrik 12 sepanjang pinggir laut seperti pabrik kaca yang tinggi limbah B3nya makanya kita sekarang mengkampanyekan dengan konteks pemulihan. 14 Kami sudah beberapa kali melakukan sesuatu diantaranya 13 mengingatkan perusahaan tersebut walaupun akses masuk dibatasi, melakukan advokasi terhadap pemangku kebijakan, kami ciptakan ruang kepada nelayan untuk mediasi dengan pemerintah dan membawa kasus ini ke nasional, di lain hal kita juga coba membangkitkan semangat nelayan untuk meningkatkan kreativitas mereka contohnya di Marunda Kepu ibu-ibunya kita ajar untuk melakukan pengolahan kerang/ekonomi alternatif. I6 Kalau dukungan setahu saya LSM seperti KIARA pernah 14 datang ke Marunda sini, kalau dari pemerintah ya cuma sebatas binaan saja, kalau industri cuek-cuek saja I7 Bentuk dukungan yang saya tahu ya hanya melarang 15 membuang sampah atau apapun ke laut I8 Kalau dari kita (nelayan) biasanya melakukan pengaduan- 16 pengaduan tapi karena tidak ditindak lanjuti lebih dalam kita jadi malas seperti dulu. I9 Kalau dari pemerintah (suku dinas perikanan dan kelautan) saja yang gencar melakukan pembinaan-pembinaan ke nelayan, tapi dari pihak industri sekitar sama sekali tidak ada, 17 yang dibilang CSR itu kita tidak pernah merasakan,atau tidak menjangkau ke nelayan-nelayan sini I13 Kalau dukungan dari pihak LSM sih seperti WALHI kita 18 libatkan dalam pembahasan dokumen AMDAL Q3 Bagaimana status Pencemaran yang terjadi di Kawasan Laut Marunda? I1 Kalau untuk menetapkan apakah berat/sedang/ringan harus 19 melihat hasil pemantauan kualitas air laut di BPLHD Provinsi bagian Pelestarian Lingkungan I2 Udah berat dan diambang batas 20 I3 Kalau dari data terakhir yang keluar dari BPS itu situasi 21 Jakarta yang tercemar ringan 2-8% sedangkan air yang tercemar 82% (pantai) dan itu yang sesuai dengan kondisi dilapangan I4 Sebenarnya sudah berat karena tidak pernah ditangani, 22 perusahaan tertutup, CSR disini juga tidak jelas I6 Cukup tercemar di tandai dengan kondisi air yang hitam dan 23 kadang putih seperti susu. I7 Sudah cukup tercemar, bagaimana tidak tercemar ada beberapa hal pemerintah kecolongan seperti perusahaanperusahaan tertentu membuang limbah bersamaan dengan turunnya hujan. Dan pembangunan-pembangunan mereka juga sebenarnya mencemari. Kondisi air laut Marunda kadang 24 sampai hitam dan kecoklatan seperti air teh. I8 Sudah cukup tercemar, warna air laut sampai kadang sampai 25 kaya warna teh kadang keruh I9 Wah laut Marunda Cilincing sudah cukup parah tercemarnya, 26 air pekat kaya air teh kadang hitam, sehingga kalau lagi ada limbah ya berkurng tangkapan ikannya. I13 Kalau untuk tahu apakah tercemar berat/sedang/ringan ke bagian kelestarian lingkungan yang lebih 27 mengetahui detailnya. Q4 Bagaimana kejelasan dan konsistensi para pelaksana pada sasaran program? I1 Kalau dari Kantor Lingkungan Hidup sendiri ya melalui pembinaan dan pengawasan untuk 28 mempertahankan konsistensi terhadap pengendalian pencemaran tersebut I2 Kalau kebijakan sudah jelas, tetapi konsistensi dari 29 Karena pengawasan masih lemah, bahwa aturan tidak 30 implementasi belum maksimal I3 dilaksanakan menurut saya sih tidak ada konsistensi dari para pelaksana program I4 Tidak konsisten dan belum ada i’tikad yang baik untuk menjelaskan duduk permasalahan, karena dinas itu biasanya hanya turun secara programatis saja misalnya mereka tidak perhatian secara hal lain dalam hal ini contohkan saja 31 menanam mangrove, tidak memikirkan maintanance nya jadi mereka hanya based programatic I6 Konsisten dalam program tetapi kadang tidak tepat sasaran 32 dan alasan pencemaran hanya karena dari sungai-sungai saja. I7 secara konsistensi sih belum ada, biarpun aturan sudah ada 33 I8 Jelas sih, Cuma konsisten sih sepertinya engga, ganti 34 pemimpin ya ganti pula budayanya. I9 Tidak konsisten, kalau konsisten laut bersih-bersih saja dan 35 nelayan sejahtera I13 Kalau konsistensi kan dapat dilihat bagaimana implementasi, 36 bagaimana pengawasan aktif dan pasifnya, pasif itu dapat berupa laporan yang rutin kemudian aktif kita meninjau ke lapangan kalau terjadi kejanggalan atau memang ada yang harus di cek langsung. Q5 Bagaimana pembinaan pegawai dilingkungan birokrasi? I1 Pembinaan pegawai, pengawasan dan penegakan hukum sudah sesuai tupoksinya dan sudah sesuai dengan 37 bidang kompetensinya. I2 Kita selalu melakukan pembinaan, bukan hanya dalam 38 lingkungan birokrasi tetapi langsung ke kelompok-kelompok nelayan. I13 Kita sesuaikan kebijakan-kebijakan dari pemda masalah kepegawaian dan memang sudah sesuai dengan kompetensi 39 dibidangnya. Q6 Bagaimana peran dari pihak yang berwenang dalam pengendalian pencemaran laut? I1 Kita melakukan pengawasan dan menekankan tiap perusahaan 40 untuk mengelola limbahnya dengan baik tapi nyata nya tidak semua perusahaan mempunyai IPAL yang memadai I2 Sejauh ini dari pihak kita selalu menampung aspirasi dari korban dampak pencemaran (nelayan) kemudian 41 kita koordinasikan kepada yang terkait dengan hal tersebut. I3 Sejauh ini peran tidak terlihat dan tidak ada peran, harusnya 42 kan tindakan minimal jika terjadi pelanggaran itu lakukan penyegelan, karena yang menyebabkan pencemaran kan salah satunya aktivitas industri. Jika IPALnya buruk maka seharusnya aktivitas produksi harus di segel sampai perusahaan mengikuti prosedur yang baik, konsistensi dari para pelaksana tidak ada, dan kita tidak pernah tau apa yang terjadi dilapangan. I4 Peran mereka hanya setelah terjadi dampak, misalnya banjir 43 rob mereka hanya datang kasih bantuan dan setelah itu tidak dipikirkan lagi, itu yang menjadi selama ini masalah tidak teratasi sampai tuntas I6 Perannya belum terlalu menyentuh para nelayan 44 I7 Tidak begitu paham sama peran mereka 45 I8 Peran sih ada, cuma dari beberapa dinas saja, dulu BAPEDAL 46 aktif mengajak nelayan tapi sekarang tidak begitu keliatan perannya I9 Peran hanya dari suku dinas kelautan, mengumpulkan 47 masyarakat melakukan musyawarah tentang kenelayanan tapi dari lingkungan hidup tidak pernah kelihatan komunikasi dengan masyarakat sekitar atau tidak pernah tahu bagaimana pemantauannya. I13 Peran dalam bentuk aktif dan pasif, kalau aktif sudah pasti, 48 karena mereka yang melapor dan kita nilai dan aktif biasanya sesuai dengan prioritas ( misalnya yang laporannya terlalu jelek dan terlalu bagus) Q7 Sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat/LSM/Industri dalam mematuhi kebijakan tersebut? I1 Sejauh ini masih rendah, harapan kita masyarakat juga ikut 49 dalam pengawasan, seperti misalnya ketika ada pencemaran langsung menghubungi kita tapi pada saat melaporkan harus disertakan foto/sampel pada saat itu karena namanya di laut kondisi air beberapa jam saja sudah berbeda. I2 Kalau dari masyarakat kan ada formaswas (forum masyarakat pengawas) tugas mereka melihat, mencatat, dan melaporkan, formaswas juga aktif dalam pelaporan pencemaran, ketika melaporkan kita teruskan ke stakeholder yang 50 bertanggungjawab. I3 Jika kita berbicra laju kerusakan lingkungan dengan 51 partisipasi, tindakan perusakan lingkungan itu begitu masive, tinggi dan luas sedangkan tindakan rehabilitasi lingkungan hanya simbolik jadi kalau dikatakan partisipasi menyelesaikan masalah sampai saat ini belum dan karena luasan dan jangkauannya gak masive hanya titik-titik kecil saja, masyarakat itu berpartisipasinya hanya jangkauan-jangkauan dekat seperti tentang sampah saja di lingkungannya, tidak menyelesaikan masalah-masalah besar tentang bagaimana IPAL/lingkungan luas, justru sekarang-sekarang ini jika masyarakat melakukan partisipasi dalam bentuk unjuk rasa/apa malah biasanya bertentangan dengan pemerintah. Pemerintah melindungi mereka-mereka yang mempunyai modal/perusahaan. I4 Tingkat partisipasinya masih rendah, dari industri saja sudah 52 jelas bagaimana mau membahas limbah, akses saja dipersulit nelayan juga minim pemahaman kebijakan I6 Kondisi tercemar laut ini sudah dianggap tradisi, kita sebagai 53 nelayan jadi tidak bisa berbuat apa-apa kalau industri partisipasinya hanya membuang limbah. I7 Kalau LSM pernah sesekali datang kesini, nanya-nanya saja, kalau partisipasi dari masyarakat ya tidak begitu tahu tentang 54 aturan-aturan yang ada, paling tahu tidak boleh buang sampah/limbah ke laut tapi nyata nya sampah masih banyak aja. I8 Partisipasi masyarakat ya aktif dengan membuat kelompok- 55 kelompok dan paguyuban untuk menampung aspirasi para nelayan tetapi untuk industri kadang ada industri yang nakal dengan limbahnya sehingga persoalan pencemaran tidak pernah selesai. I9 Masyarakat sudah jenuh, LSM saya tidak begitu tahu 56 bagaimana partisipasinya, industri juga sangat tertutup terhadap masyarakat. I13 Tingkat kesadaran dan partisipasi yang rendah menjadi 57 permasalahan pencemaran selama ini. Q8 Bagaimana pelaporan dan pertanggung jawaban pelaksanaan tugas dan fungsi? I1 Dalam bentuk Berita acara dan Rekapan hasil pengawasan 58 I2 Kita bertanggung jawab menanggapi banyak laporan terkait 59 dampak pencemaran tersebut, selain itu kita juga rutin melaksanakan pembinaan terhadap kelompok-kelompok nelayan. I3 Dalam bentuk nota dinas, laporan hasil kunjungan lapangan Q/II Q9 60 KODING Apakah koordinasi terkait dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian lingkungan kelautan sudah berjalan secara efektif? I1 Desember kemarin telah dilakukan koordinasi dengan kelautan 61 membahas edukasi ke nelayan dan masyarakat pesisir tetap sekarang belum ada koordinasi lebih lanjut karena kendala rolling jabatan pada bulan januari kemarin tetapi kita juga ada koordinasi dengan formapel (forum masyarakat peduli lingkungan) untuk mengecek kondisi lapangan. I2 Sejauh ini cukup baik, dari segi LSM masyarakat kita selalu 62 koordinasikan. I13 Kalau dari BPLHD sering membina LSM-LSM tertentu 63 WALHI, FORMAPEL dan lainnya biasanya kalau kita cek ke lapangan. Q10 Bagaimana koordinasi antar lembaga pemerintah dengan non pemerintah? I1 Koordinasi belum berjalan efektif, selain melalui, tetapi 64 terkadang formapel membantu cek lapangan dan pengawasan. I2 Sejauh ini cukup baik, dari segi LSM atau masyarakat kita 65 selalu koordinasikan I3 Kalau koordinasi antar lembaga pemerintah yang berwenang, kita tidak tahu lebih dalam hanya WALHI diajak dalam penandatanganan sidang AMDAL tapi hanya bersifat administrasi. Artinya sejauh mengecek dilapangan atau 66 gimana sejauh ini WALHI tidak pernah. Jadi koordinasi dengan kita hanya bersifat administratif. (Rapat, mengundang seluruh elemen, perusahaan presentasi, masyarakat berpartisipasi dan tanda tangan) tidak terlibat dalam kroscek dilapangan dengan berbagai kemungkinan seperti manipulasi. WALHI banyak menolak dalam sidang AMDAL. I4 Tidak ada koordinasi yang dirasa cukup baik misal suku dinas 67 perikanan dengan BPLHD I6 Tidak ada koordinasi 68 I7 Saya sih tidak begitu tau bagaimana koordinasinya, cuma 69 kayaknya tidak ada koordinasi yang bermanfaat nantinya, seperti BPLHD dengan perikanan/perhubungan. I8 Secara mekanismenya sih saya tidak paham, tapi sejauh ini 70 pihak pemerintah tidak pernah mengajak kita untuk mengatasi itu tidak seperti dulu ketika saya dilibatkan pengambilan sample air sampai di uji di laboratorium I9 Sepertinya tidak ada koordinasi yang cukup baik, dari 71 perikanan sama lingkungan hidup atau dengan perhubungan I13 Kalau dari BPLHD sering membina LSM-LSM tertentu WALHI, FORMAPEL (Forum Masyarakat Peduli Lingkungan) dan LMK biasanya kalau kita ke lapangan Q11 Apakah fungsi pengaduan mengenai lingkungan sudah berjalan secara efektif? pencemaran 72 I1 Pengaduan sudah berjalan efektif, selain melalui surat kita 73 juga menyediakan pengaduan melalui web/phone tetapi kendalanya masyarakat kurang sosialisasi I2 Jelas efektif, ketika pengaduan ditanggapi dibuat rapat 74 koordinasi I3 Tidak efektif 75 I4 Tidak efektif, pengaduan hanya ditanggapi namun tindakannya 76 tidak jelas I6 Kurang tahu, pengaduan kita (nelayan) hanya sebatas dengan 77 pihak Sudin Perikanan ketika sedang pembinaan I7 Tidak berjalan efektif, apalagi di lingkungan hidup, kita paling 78 melakukan pengaduan ke suku dinas perikanan, selalu di tanggapi tetapi sepertinya tidak di koordinasikan ke beberapa yang berwenang terhadap hal tersebut I8 Belum efektif, banyak masyarakat yang tidak tahu 79 I9 Pengaduan hanya sebatas ditanggapi tidak tahu bagaimana 80 kelanjutannya I13 Biasanya masyarakat dapat melakukan tentang masalah lingkungan bisa melalui sms, web, dan langsung kita tindaklanjuti. Sekarang tidak ada istilah akses pengaduan sulit, pengaduan berjalan efektif tetapi yang menjadi permasalahan kita contohkan pencemaran laut Marunda, pencemaran laut yang luas kan kita tidak pernah tahu limbah siapa, dan dengan 81 arus laut yang sebegitu cepat tidak bisa dipredikasi waktunya, kalau sekarang tercemar sesaat kemudian sudah tidak. Q12 Bagaimana upaya sosialisasi program kepada Masyarakat dalam hal untuk meningkatkan partisipasi masyarakat menjaga kelestarian laut? I1 Kita koordinasikan dengan kelautan, mereka yang memiliki 82 masyarakatnya, kemudian kita yang melakukan edukasi. I2 Sosialisasi dilakukan melalui pembinaan ke masyarakat 83 nelayan terkadang selain membicarakan pencemaran, kita juga membahas alat tangkap nelayan dan tentang kenelayanan I3 Karena mengingat energi WALHI belum begitu kuat makanya 84 tidak seluruh kita advokasi kita hanya melakukan kampanyekampanye untuk masyarakat memulihkan lingkungan. I4 Sosialisasi tidak berjalan secara rutin, menyapa masyarakatpun 85 tidak, jadi bagaimana masyarakat termotivasi. I6 Ada pertemuan beberapa kali dengan sudin perikanan, 86 masyarakat melapor mengenai limbah hanya ditanggapi tetapi tidak ada hasil I7 Sosialisasi paling dalam pembinaan-pembinaan ke kelompok 87 kelompok nelayan saja I8 Tidak pernah tahu gimana sosialisasinya mungkin hanya 88 kadang LSM datang tapi saya tidak tahu persis. I9 Sosialisasi secara aktif sih tidak ada, tetapi paling dari sudin 89 perikanan pas pembinaan-pembinaan ke kelompok nelayan. I13 Dengan melalui ancaman-ancaman hukum yang ada di UU PPLH bagaimana sanksi nya. Sosialisasi 90 program pengendalian biasanya dilakukan tingkat kota. Q13 Apakah selama ini kewenangan daerah dalam membuat regulasi kebijakan terjadi disharmoni atau terdapat tumpang tindih kebijakan? I1 Sekarang sih pembagian wewenang sudah jelas, misalnya 91 dalam pembinaan dan pengawasan tingkat kota hanya untuk dokumen UKL/UPL kalau tingkat provinsi AMDAL. Kalau untuk jakarta sih tidak ada tumpang tindih karena kebijakan semua ada di provinsi. I2 Saya dari perikanan dan kelautan tidak begitu menganalisis 92 jauh ke hal itu I3 kalo di tingkat UU iya tumpang tindih contohnya di UU lingkungan mensyaratkan secara ketat proses perusakan hutan diimbangi dengan proses reboisasi menggunakan lahan pertanian harus disiapkan lahan pengganti tetapi ketika berbicara investasi, persyaratannya dibuka seluas-luasnya asing untuk masuk investasi dibidang lingkungan. Hal ini kan menjadi bentrok karena ketika kemudahan diberikan sementara UU lain melakukan pengetatan ini kan yang menjadi kontradiksi sehingga selama ini bisa dibilang undang- 93 undang lingkungan hidup disharmoni dan tumpang tindih. I4 tumpang tindih kebijakan memang terjadi, jadi tidak pernah 94 jelas ini kewenangan siapa dan kerjaan siapa, masyarakat juga tidak paham ranah kebijakan jadi permasalahan jadi blunder sendiri. kita ambil kasus UU No.27 Tahun 2007 yang isinya ada salah satu pasal yang membolehkan laut di privatisasi, KIARA pernah menggugat ke Mahkamah Konstitusi tahun 2010-2011 dan memenangkan tetapi kemudian tahun 2014 pemerintah kembali merevisi dan menggolkan aturan tersebut. Dengan aturan yang telah dibuat sedemikian rupa tetapi SDMnya tidak menjalankan secara baik maka implementasi sangat jauh apa yang diharapkan. I13 Oh tidak, kan kita satu komando 95 Q14 Apa saja kah program strategis yang dilakukan dalam rangka pengendalian pencemaran laut? I1 kita secara acak akan mengecek kondisi dilapangan tetapi 96 cenderung tidak mempunyai IPAL yang baik. Kita juga mempunyai program status ketaatan yang dapat melihat sejauhmana perusahaan aktif melaporkan pengelolaan limbahnya/tidak. I2 akibat dari pencemaran, program kita adalah dengan kita membuatkan rumah-rumah ikan yang baru, karena sudah tercemar maka kita harus membuatkan lokasi penangkapan 97 ikan yang baru dan memang tidak mudah harus melalui kajiankajian terlebih dahulu. Kita juga melakukan revitalisasi alat tangkap. I13 Program strategis dalam menanggulangi pencemaran laut ini 98 ya minimal dari stop nyampah di kali karena kontribusi pencemaran laut ini juga berasal dari 13 sungai yang mengalir ke laut. Q15 Bagaimana pelaksanaan kebijakan penegakan hukum lingkungan? Dalam penyelesaian kasus sengketa lingkungan I1 selama ini KLH sebagai mediator dalam penyelesaian kasus 99 lingkungan hidup, jika kasusnya dapat diselesaikan dalam wilayah kota kita usahakan samapai tuntas, tetapi jika memang harus ke provinsi atau ke pengadilan tidak menutup kemungkinan seperti kasus pada tahun 2014 ketika melakukan pengawasan, saya prioritaskan yang laporan nya jelek-jelek saja, saya buatkan berita acara dan kasih waktu untuk melakukan perbaikan, tetapi hanya 10% yang taat. I13 Selama ini penyelesaian kasus, kalau dapat diselesaikan ditingkat kota ya tingkat kota, tetapi tingkat provinsi juga bisa. Kalau berbicara kasus yangsampai dibawa ke pengadilan jarang, dulu pernah pada kasus pengambilan air tanah, tetapi jika konteks nya melihat kasus ikan yang banyak mati kita 100 tidak bisa menduga itu limbah siapa karena banyak perusahaan-perusahaan yang ‘’nakal’’ mereka rame-rame membuang limbah pada saat hujan dan malam hari. Kelemahan kita dalam penegakan hukum itu dibagian pengawasan hanya ada 2 orang tidak mungkin mengawasi 24 jam dengan jumlah industri yang sebegitu banyak. Q16 Bagaimana proses Implementasi Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut dilakukan? I1 Implementasi pengendalian pencemaran kita giat dalam hal 101 mengawasi walaupun masih terkendala beberapa hal seperti kurangnya SDM tetapi implementasi proses menuju baik I2 Selama ini masih lemahnya pengawasan. 102 I3 Jadi selama ini pemerintah belum ada tindakan dalam 103 pengendalian pencemaran ini buktinya selama ini kita lihat justru makin tercemar. I4 Tidak berjalan secara efektif selama ini, apalagi sekarang mau 104 dibuat tanggul raksasa dengan reklamasi yang semakin gencar, biarpun sudah melalui AMDAL tapi kita tidak pernah tahu yang terjadi di balik meja. Padahal efeknya pencemaran itu terkena langsung yaitu nelayan, pemilik modal yang di lindungi. I6 Implementasi selama ini berjalan saja tetapi ya begitu tidak ada dampak yang dirasakan ke arah yang lebih baik, padahal 105 beberapa waktu sering diambil sample air yang tercemar untuk diteliti tetapi hasilnya tidak tahu. I7 Ya selama ini sih aturan hanya aturan, tapi dampak 106 pencemarannya begitu kita rasakan untuk mendapatkan ikan kita harus benar ke tengah tetapi kelandanya kan ikan yang kita dapatkan sedikit tetapi biaya solar nambah makanya aturan apapun kita ingin segera dilakukan yang tegas kepada yang berwenang. I8 Implementasi selama ini kurang memberikan dampak apa-apa, 107 pencemaran tidak berkurang. I9 Selama ini tidak ada kerjasama yang berarti untuk mengatasi 108 pencemaran, banyak faktor yang diduga menjadi sumber pencemar tapi begitu-gitu aja banyak oknum dan partisipasi rendah I13 .Proses menuju baik implementasinya Q17 Apa saja yang berhasil dicapai dalam target program 109 pengendalian pencemaran laut? I1 Susah mendeskripsikan tetapi yang kita gencarkan untuk 110 ketaatan semua yang terlibat. I2 Ada revitalisasi alat tangkap, pembuatan lokasi tangkap yang 111 baru dan selektivitas alat tangkap nelayan I13 Sulit dijelaskan, karena berbicara pencemaran dari dulu ya begitu begitu aja tetapi jika melihat kualitas air sungai sudah 112 cukup bagus Q18 Apakah visi-visi lingkungan Jakarta yang berkelanjutan sudah tercapai? I1 Sedikit demi sedikit sedang dijalankan dengan baik 113 I13 Sudah dan dalam proses 114 Q19 Apakah SDM menjadi faktor keberhasilan? I1 Iya jelas, sedangkan SDM kita masih kurang 115 I2 Ya, SDM menjadi faktor keberhasilan kebijakan 116 I3 ini bukan soal SDM tapi soal mental korupnya terlalu tinggi, 117 jual beli perizinan dan manipulasi. Jika memang pengawasan kendala oleh kurangnya SDM pemerintah punya infrastruktur lain seperti polisi, satpol pp, tentara dan lain-lain. I4 Dengan penegakan aturan yang lemah, misalnya aturan yang 118 telah sedemikian rupa baik tetapi SDM nya tidak menjalankan secara baik, implementasi sangat jauh apa yang diharapkan. Kita ambil kasus UU No.27 Tahun 2007 yang isinya ada salah satu yang membolehkan laut di privatisasi, KIARA pernah menggugat ke MK tahun 2010-2011 dan menang tetapi kemudian tahun 2014 pemerintah kembali merevisi dan menggolkan aturan tersebut. I13 Ya tentu, kesadaran dari masyarakat amatlah berpengaruh terhadap keberhasilan kebijakan. Q20 Apakah selama ini masyarakat sekitar Marunda sudah 119 merasakan dampak yang dikehendaki dari kebijakan tersebut? I6 Dampak yang kita rasakan hanya menurunnya hasil tangkapan 120 ikan, rajungan dan sebagainya, padahal kalau saja tidak tercemar kita dapat 10-20kg tetapi jika laut dirasa sedang tercemar paling banyak dapat 1kg. Begitu dampak yang dirasakan, untuk tujuan yang dikehendaki dari kebijakan tersebut nelayan tidak merasakannya. I7 Belum merasakan dampak yang dikehendaki 121 I8 Dampak negatifnya saja, misalnya 122 biasanya dapat ikan banyak kalau lagi ada limbah berkurang sekali I9 Belum Q21 Bagaimana alokasi anggaran pengelolaan lingkungan? I1 Sistem alokasi anggaran sekarang jauh lebih baik, karena kita 123 124 sendiri yang mengajukan bukan dikasih dalam jumlah tertentu I2 Kalau untuk anggaran untuk melakukan pengelolaan kita 125 mengajukan dan tidak ada masalah I13 Sejauh ini tidak ada masalah Q22 Apakah infrastruktur sudah memadai dalam mendukung 126 kebijakan? I1 Infrastruktur memadai tapi SDM sangat kurang jadi ada 127 beberapa target yang tidak terpenuhi I2 Memang dalam jumlah misalnya untuk mengatasi dampak 128 pencemaran itu kita masih kurang, karena jumlahnya cukup banyak tapi kita selalu usahakan untuk kesejahteraan nelayan I13 Sudah memadai, tetapi sekarang kan laboratorium- 129 laboratorium swasta sudah banyak walaupun finalnya tetap di BPLHD Q23 Apakah terdapat kendala yang paling utama dalam Implementasi kebijakan? I1 Ketaatan dari pengelola limbah industri, dan rendahnya 130 partisipasi masyarakat sekitar, serta kurangnya SDM dari bagian bidang pengawasan. I2 Pengawasan untuk industri-industri sekitar, pengawasan 131 pencemaran dan partisipasi yang belum efektif I3 Ketidaktegasan dari pemerintah mungkin lobby lobby 132 investasi yang tinggi I4 Kewenangan yang tumpang tindih, kemudian implementasi 133 dilapangan juga berbeda kemudian partisipasi masyarakat dalam memahami aturan-aturn juga rendah, implementasi tidak ada tindak lanjut. I6 Dari industri-industri itu yang melakukan pencemaran. 134 I7 Kendalanya tidak ada kelanjutan atas pengaduan-pengaduan 135 kita. I8 Pemerintah kurang peduli terhadap kondisi dilapangan, pengaduan selama ini tidak berdampak apa-apa sehingga 136 masalah tidak pernah tuntas. I9 Kurang tegas dan kurang serius pemerintah dalam mengatasi 137 pencemaran. I13 Sebenarnya masalah klasiknya kurangnya SDM dalam 138 pengawasan dari kita tapi kadang dibantu formapel/lsm yang melapor ke kita. Q24 Apakah selama ini sasaran program menentang kebijakan? I1 Tidak, cuma cari aman dan tidak patuh biasanya. 139 I2 Dibilang menentang sih tidak, hanya mematuhi tapi tidak 140 efektif I3 Menentang sih tidak, cuma banyak oknum saja 141 I4 Banyak aktor pihak industri tidak patuh dan tidak ada warning 142 oleh pejabat yang berwenang I6 Iya menentang, kalau tidak kan laut bersih- bersih saja 143 I7 Tidak begitu sih, memang pencemaran sudah menjadi masalah 144 dari dulu-dulu I8 Menentang sih tidak, cuma tidak patuh saja 145 I9 Kalau yang tidak mengikuti aturan ya berarti menentang cuma 146 masalahnya kita tidak pernah tahu limbah berasal darimana dan bagaimana mengatasinya. I13 Menentang sih tidak, tetapi cenderung cari aman saja Q25 Apakah upaya Rehabilitasi lingkungan berjalan secara 147 efektif? I1 Sedang dalam proses ke arah yang lebih baik 148 I2 Rehabilitasi memang dilakukan tetapi belum efektif karena 149 masuknya limbah jadi habitat laut masih terganggu I3 Belum efektif 150 I4 Tidak, mindset masyarakat kita adalah laut menjadi tempat 151 pembuangan terakhir sampah masyarakat juga tidak pernah diajak untuk lebih arif terhadap alam mereka beranggapan karena udah ada limbah disitu kemudian buang sampah disitu. I13 Belum, kita masih sulit merehabilitasi lingkungan, karena kita 152 belum pernah penjarakan orang untuk kasus lingkungan, untuk kasus perusahaan yang membuang limbah diatas baku mutu kita tutup saluran limbahnya bayangkan berapa ratus juta untuk menyedot limbahnya, misal 400rb/tanki sedangkan dalam sehari mereka bisa menghasilkan berapa banyak limbah. Q26 Mampu berapa persen pemerintah untuk mengatasi hal ini? I1 Tidak bisa memprediksikan, karena untuk taat saja perusahaan 153 susah, makanya dibuatkanlah SKL untuk melihat berapa persen perusahaan yang taat. I13 Tidak bisa memprediksi 154 KODING DATA Kode 1 Rincian Kategori Implementor (dalam hal ini industri) belum mematuhi prosedur kebijakan yang telah ditentukan seperti tidak tersedianya IPAL 2 Implementor belum mematuhi prosedur kebijakan yang telah ditentukan, karena kurang pengawasan 3 Lemahnya pengawasan sehingga terjadi oknum-oknum pencemaran 4 Standar dan aturan prosedur yang dibuat tidak diimplementasikan dengan baik, kondisi disharmoni antara swasta dan masyarakat 5 Prosedur dan aturan yang telah dibuat tidak berpengaruh terhadap pengendalian pencemaran 6 Aturan sudah dibuat dengan baik,tetapi kurang kesadaran dari beberapa pihak 7 Peraturan sudah dibuat dengan baik, tetapi pemerintah lemah pengawasan terhadap pelaku swasta 8 Implementor belum melaksanakan aturan dengan baik, kurangnya ketegasan menindak pelaku pencemaran 9 Implementor mematuhi melalui dokumen-dokumen 10 Belum adanya dukungan dari semua pihak terhadap pengendalian pencemaran 11 Dukungan dari LSM berbentuk koordinasi dengan pemerintah 12 Dukungan dari WALHI berbentuk kampanye Revitalisasi lingkungan 13 Dukungan dari KIARA berbentuk advokasi dengan pemangku kebijakan dan meningkatkan kreativitas nelayan 14 Dukungan dari pemerintah berbentuk pembinaan-pembinaan ke nelayan 15 Dukungan masyarakat dengan cara tidak membung sampah di laut 16 Nelayan dan masyarakat melakukan dukungan dengan bentuk pengaduan 17 Dukungan dari pemerintah berbentuk pembinaan-pembinaan ke nelayan 18 Dukungan dari LSM berbentuk koordinasi dengan pemerintah 19 Tidak tahu tingkat pencemaran 20 Tingkat pencemaran sudah berat dan diambang batas baku mutu 21 Laut tercemar 22 Pencemaran sudah berat 23 Cukup tercemar, air laut hitam 24 Cukup tercemar, air laut coklat pekat 25 Cukup tercemar, air laut coklat pekat 26 Cukup tercemar, air laut coklat pekat 27 Tidak tahu tingkat pencemaran yang terjadi di laut Marunda 28 Melalui pembinaan dan pengawasan dalam menjaga konsistensi 29 Konsistensi belum maksimal 30 Tidak konsisten, ditandai dengan lemahnya pengawasan 31 Tidak konsisten, hanya based programatic 32 Konsisten, tapi tidak tepat sasaran 33 Tidak konsisten terhadap aturan yang telah dibuat 34 Tidak konsisten, karena beda pemimpin beda budaya 35 Tidak konsisten, laut masih saja tercemar 36 Konsistensi melalui pengawasan aktif dan pasif 37 Sudah sesuai dengan bidang kompetisinya 38 Selalu melakukan pembinaan pegawai 39 Sudah sesuai dengan bidang kompetisinya 40 Peran yang dilakukan menekan perusahaan untuk menaati aturan 41 Menampung aspirasi nelayan yang kemudian akan dikoordinasikan dengan yang berwenang 42 Peran tidak terlihat 43 Peran instansi cenderung setelah ada dampak 44 Peran belum menyentuh ke nelayan 45 Tidak paham peran mereka 46 Peran hanya dari beberapa dinas saja 47 Peran hanya pembinaan dari Sudin Perikanan kelautan 48 Peran berbentuk aktif dan pasif, secara pasif pasti dilakukan tetapi aktif dengan melihat prioritas 49 Partisipasi masyarakat rendah 50 Forum masyarakat aktif melaporkan 51 Partisipasi masih belum maksimal, karena masih dalam ruang lingkup kecil 52 Partisipasi masih rendah, terutama industri 53 Masyarakat jenuh dengan pencemaran sehingga cenderung apatis 54 Masyarakat berpartisipasi dengan tidak membuang sampah/limbah ke laut 55 Masyarakat berpartisipasi dengan membuat paguyuban untuk menampung aspirasi 56 Masyarakat cenderung jenuh dan apatis 57 Tingkat kesadaran dan partisipasi yang rendah 58 Pertanggungjawaban kinerja dalam bentuk berita acara dan Rekapan hasil pengawasan 59 Rutin melakukan pembinaan terhadap kelompok nelayan 60 Dalam bentuk nota dinas laporan hasil kunjungan lapangan 61 Koordinasi tahun lalu membahas edukasi terhadap nelayan dan masyarakat pesisir 62 Koordinasi cukup baik dengan LSM dan masyarakat 63 BPLHD selalu berkoordinasi dengan LSM saat turun ke lapangan 64 Koordinasi pemerintah dengan non pemerintah belum efektif 65 Koordinasi pemerintah dengan non pemerintah cukup baik 66 Koordinasi dengan LSM hanya bersifat administratif 67 Tidak terjalin koordinasi yang baik 68 Tidak ada koordinasi 69 Tidak terjalin koordinasi yang baik 70 Pemerintah dirasa tidak berkoordinasi dengan masyarakat setempat 71 Tidak terjalin koordinasi yang baik 72 BPLHD berkoordinasi dengan LSM LSM dalam pembinaan ketika cek ke lapangan 73 Pengaduan berjalan efektif, terkendala kurang sosialisasi 74 Pengaduan efektif, dan langsung dikoordinasikan 75 Tidak efektif 76 Tidak efektif, tidak ada tindak lanjut 77 Tidak begitu mengetahui mengenai layanan pengaduan 78 Tidak berjalan efektif layanan pengaduan 79 Belum efektif, masyarakat tidak mengetahui 80 Tidak adanya tindak lanjut dari pengaduan tersebut 81 Layanan pengaduan efektif, tetapi untuk tindaklanjut masih terdapat kendala 82 Upaya sosialisasi program melalui kegiatan edukasi 83 Sosialisasi melalui program pembinaan terhadap nelayan dan masyarakat pesisir 84 LSM melakukan advokasi dan mengkampanyekan pemulihan lingkungan 85 Sosialisasi program tidak berjalan efektif 86 Sosialisasi pernah dilakukan membahas limbah 87 Sosialisasi dengan pembinaan-pembinaan nelayan 88 LSM terkadang datang melakukan sosialisasi program pelestarian laut 89 Sosialisasi memang dilakukan tetapi tidak rutin 90 Sosialisasi program hukum PPLH 91 Regulasi kebijakan pembagian wewenang sudah efektif, membedakan wewenang kota dan provinsi 92 Tidak begitu mengetahui bagaimana regulasi kebijakan lingkungan 93 Kalau di tingkat UU terjadi tumpang tindih misal dalam UU Kehutanan, antara kerusakan hutan dan reboisasi 94 Tumpang tindih kebijakan terjadi tumpang tindih misal dalam UU No.27 Tahun 2007 didalamnya terdapat pasal laut dapat di privatisasi 95 Regulasi kebijakan tidak terjadi tumpang tindih kebijakan 96 Program strategisnya SKL (Status Ketaatan Lingkungan) 97 Program strategisnya membuat lokasi penangkapan ikan yang baru akibat dari pencemaran 98 Program strategisnya stop nyampah di sungai 99 Kita selalu berusaha menyelesaikan penegakan hukum atas sengketa lingkungan sampai tuntas 100 Penyelesaian penegakan hukum atas sengketa lingkungan masih terkendala beberapa hal seperti oknum pembuangan limbah dan kurangnya SDM dalam pengawasan 101 Implementasi pengendalian pencemaran laut proses menuju baik 102 Implementasi masih lemahnya pengawasan 103 Implementasi belum efektif 104 Implementasi belum efektif 105 Implementasi pengendalian pencemaran belum baik 106 Implementasi masih terkendali dari kurang tegasnya yang berwenang 107 Implementasi pengendalian pencemaran belum memberikan dampak yang baik 108 Implementasi pengendalian pencemaran masih terkendala dari rendahnya partisipasi masyarakat dan kurang kerjasama 109 Proses menuju baik implementasi pengendalian pencemaran laut 110 Target program adalah melalui ketaatan lingkungan 111 Target program adalah melalui revitalisasi alat tangkap, pembuatan lokasi tangkap yang baru dan selektivitas alat tangkap nelayan 112 Yang berhasil dicapai dari target program sulit dijelaskan, namun melihat kualitas air sungai sudah cukup baik 113 Visi lingkungan hidup Jakarta belum tercapai 114 Visi lingkungan hidup Jakarta belum tercapai 115 SDM jelas menjadi faktor keberhasilan tetapi SDM kurang 116 SDM menjadi faktor keberhasilan kebijakan 117 SDM memang menjadi faktor keberhasilan,tetapi yang lebih penting mental dari para pelaksana 118 SDM menjadi faktor keberhasilan kebijakan 119 Kesadaran dari SDM menjadi faktor keberhasilan kebijakan 120 Masyarakat belum merasakan dampak dari tujuan kebijakan pengendalian pencemaran 121 Masyarakat belum merasakan dampak dari tujuan kebijakan pengendalian pencemaran 122 Masyarakat belum merasakan dampak dari tujuan kebijakan pengendalian pencemaran 123 Masyarakat belum merasakan dampak dari tujuan kebijakan pengendalian pencemaran 124 Tidak ada masalah dengan alokasi anggaran 125 Tidak ada masalah dengan alokasi anggaran 126 Tidak ada masalah dengan alokasi anggaran 127 Infrastruktur cukup memadai 128 Jumlah dalam pemenuhan infrastruktur masih terbatas 129 Infrastruktur cukup memadai 130 Kendala utama yaitu ketaatan dari industri,rendahnya partisipasi masyarakat dan kurangnya SDM dalam pengawasan 131 Kendala utama yaitu kurang pengawasan dan rendahnya partisipasi masyarakat 132 Kendala utama yaitu kurang tegasnya dari pihak yang berwenang 133 Kendala utama yaitu kewenangan tumpang tindih,masyarakat tidak paham aturan, implementasi dilapangan berbeda 134 Kendala utama yaitu dari industri yang diduga pencemaran 135 Kendala tidak ada kelanjutan atas pengaduan 136 Kendala utama yaitu pemerintah kurang peduli terhadap kondisi dilapangan 137 Kendala utama yaitu kurang tegas dan kurang serius pemerintah dalam mengatasi hal tersebut 138 Kendala utama yaitu kurangnya SDM 139 Sasaran kebijakan tidak menentang kebijakan, tidak patuh 140 Sasaran kebijakan tidak menentang kebijakan, mematuhi tetapi tidak efektif 141 Sasaran kebijakan tidak menentang kebijakan, hanya banyak oknum saja 142 Sasaran kebijakan tidak menentang kebijakan, hanya tidak patuh 143 Sasaran kebijakan menentang kebijakan 144 Sasaran kebijakan mengabaikan peraturan kebijakan 145 Sasaran kebijakan tidak menentang kebijakan, hanya tidak patuh 146 Sasaran kebijakan cenderung menentang kebijakan 147 Sasaran kebijakan tidak menentang kebijakan, hanya cari aman saja 148 Upaya rehabilitasi lingkungan masih dalam proses 149 Upaya rehabilitasi lingkungan belum efektif 150 Upaya rehabilitasi lingkungan belum efektif 151 Upaya rehabilitasi lingkungan belum efektif 152 Upaya rehabilitasi lingkungan masih sulit dilakukan 153 Pemerintah belum dapat memprediksikan mampu berapa persen dalam mengatasi pencemaran laut 154 Pemerintah belum dapat memprediksikan mampu berapa persen dalam mengatasi pencemaran laut KATEGORISASI DATA NO 1. Kategori Kepatuhan Rincian Isi Kategori Perilaku Implementor terhadap kebijakan Implementor (dalam hal ini industri) belum mematuhi prosedur kebijakan yang telah ditentukan seperti tidak tersedianya IPAL Implementor belum mematuhi prosedur kebijakan yang telah ditentukan, karena kurang pengawasan Lemahnya pengawasan sehingga terjadi oknum-oknum pencemaran Standar dan aturan prosedur yang dibuat tidak diimplementasikan dengan baik, kondisi disharmoni antara swasta dan masyarakat Prosedur dan aturan yang telah dibuat tidak berpengaruh terhadap pengendalian pencemaran Aturan sudah dibuat dengan baik,tetapi kurang kesadaran dari beberapa pihak Peraturan sudah dibuat dengan baik, tetapi pemerintah lemah pengawasan terhadap pelaku swasta Implementor belum melaksanakan aturan dengan baik, kurangnya ketegasan menindak pelaku pencemaran Implementor mematuhi melalui dokumen-dokumen Dukungan terhadap kebijakan Belum adanya dukungan dari semua pihak terhadap pengendalian pencemaran Dukungan dari LSM berbentuk koordinasi dengan pemerintah Dukungan dari WALHI berbentuk kampanye Revitalisasi lingkungan Dukungan dari KIARA berbentuk advokasi dengan pemangku kebijakan dan meningkatkan kreativitas nelayan Dukungan dari pemerintah berbentuk pembinaan-pembinaan ke nelayan Dukungan masyarakat dengan cara tidak membung sampah di laut Nelayan dan masyarakat melakukan dukungan dengan bentuk pengaduan Dukungan dari pemerintah berbentuk pembinaan-pembinaan ke nelayan Dukungan dari LSM berbentuk koordinasi dengan pemerintah Konsistensi Pelaksana Program Melalui pembinaan dan pengawasan dalam menjaga konsistensi Konsistensi belum maksimal Tidak konsisten, ditandai dengan lemahnya pengawasan Tidak konsisten, hanya based programatic Konsisten, tapi tidak tepat sasaran Tidak konsisten terhadap aturan yang telah dibuat Tidak konsisten, karena beda pemimpin beda budaya Tidak konsisten, laut masih saja tercemar Konsistensi melalui pengawasan aktif dan pasif Pembinaan SDM birokrasi Sudah sesuai dengan bidang kompetisinya Selalu melakukan pembinaan pegawai Sudah sesuai dengan bidang kompetisinya Peran dari pihak yang berwenang Peran yang dilakukan menekan perusahaan untuk menaati aturan Menampung aspirasi nelayan yang kemudian akan dikoordinasikan dengan yang berwenang Peran tidak terlihat Peran instansi cenderung setelah ada dampak Peran belum menyentuh ke nelayan Tidak paham peran mereka Peran hanya dari beberapa dinas saja Peran hanya pembinaan dari Sudin Perikanan kelautan Peran berbentuk aktif dan pasif, secara pasif pasti dilakukan tetapi aktif dengan melihat prioritas Partisipasi terhadap isi kebijakan Partisipasi masyarakat rendah Forum masyarakat aktif melaporkan Partisipasi masih belum maksimal, karena masih dalam ruang lingkup kecil Partisipasi masih rendah, terutama industri Masyarakat jenuh dengan pencemaran sehingga cenderung apatis Masyarakat berpartisipasi dengan tidak membuang sampah/limbah ke laut Masyarakat berpartisipasi dengan membuat paguyuban untuk menampung aspirasi Masyarakat cenderung jenuh dan apatis Tingkat kesadaran dan partisipasi yang rendah Pelaporan dan Pertanggungjawaban pelaksana kebijakan Pertanggungjawaban kinerja dalam bentuk berita acara dan Rekapan hasil pengawasan Rutin melakukan pembinaan terhadap kelompok nelayan Dalam bentuk nota dinas laporan hasil kunjungan lapangan 2. Lancarnya Pelaksanaan Fungsi Koordinasi instansi terkait Rutinitas Fungsi Koordinasi tahun lalu membahas edukasi terhadap nelayan dan masyarakat pesisir Koordinasi cukup baik dengan LSM dan masyarakat BPLHD selalu berkoordinasi dengan LSM saat turun ke lapangan Koordinasi Pemerintah dengan Non Pemerintah Koordinasi pemerintah dengan non pemerintah belum efektif Koordinasi pemerintah dengan non pemerintah cukup baik Koordinasi dengan LSM hanya bersifat administratif Tidak terjalin koordinasi yang baik Tidak ada koordinasi Tidak terjalin koordinasi yang baik Pemerintah dirasa tidak berkoordinasi dengan masyarakat setempat Tidak terjalin koordinasi yang baik BPLHD berkoordinasi dengan LSM LSM dalam pembinaan ketika cek ke lapangan Fungsi Layanan Pengaduan Pengaduan berjalan efektif, terkendala kurang sosialisasi Pengaduan efektif, dan langsung dikoordinasikan Tidak efektif Tidak efektif, tidak ada tindak lanjut Tidak begitu mengetahui mengenai layanan pengaduan Tidak berjalan efektif layanan pengaduan Belum efektif, masyarakat tidak mengetahui Tidak adanya tindak lanjut dari pengaduan tersebut Layanan pengaduan efektif, tetapi untuk tindaklanjut masih terdapat kendala Fungsi Sosialisasi program Upaya sosialisasi program melalui kegiatan edukasi Sosialisasi melalui program pembinaan terhadap nelayan dan masyarakat pesisir LSM melakukan advokasi dan mengkampanyekan pemulihan lingkungan Sosialisasi program tidak berjalan efektif Sosialisasi pernah dilakukan membahas limbah Sosialisasi dengan pembinaan-pembinaan nelayan LSM terkadang datang melakukan sosialisasi program pelestarian laut Sosialisasi memang dilakukan tetapi tidak rutin Sosialisasi program hukum PPLH Fungsi Regulasi Kebijakan Regulasi kebijakan pembagian wewenang sudah efektif, membedakan wewenang kota dan provinsi Tidak begitu mengetahui bagaimana regulasi kebijakan lingkungan Kalau di tingkat UU terjadi tumpang tindih misal dalam UU Kehutanan, antara kerusakan hutan dan reboisasi Tumpang tindih kebijakan terjadi tumpang tindih misal dalam UU No.27 Tahun 2007 didalamnya terdapat pasal laut dapat di privatisasi Regulasi kebijakan tidak terjadi tumpang tindih kebijakan Fungsi penyusunan program strategis Program strategisnya SKL (Status Ketaatan Lingkungan) Program strategisnya membuat lokasi penangkapan ikan yang baru akibat dari pencemaran Program strategisnya stop nyampah di sungai Fungsi Penegakan hukum Kita selalu berusaha menyelesaikan penegakan hukum atas sengketa lingkungan sampai tuntas Penyelesaian penegakan hukum atas sengketa lingkungan masih terkendala beberapa hal seperti oknum pembuangan limbah dan kurangnya SDM dalam pengawasan 3. Terwujudnya Kinerja Implementasi Program kebijakan Dampak yang dikehendaki Implementasi pengendalian pencemaran laut proses menuju baik Implementasi masih lemahnya pengawasan Implementasi belum efektif Implementasi belum efektif Implementasi pengendalian pencemaran belum baik Implementasi masih terkendali dari kurang tegasnya yang berwenang Implementasi pengendalian pencemaran belum memberikan dampak yang baik Implementasi pengendalian pencemaran masih terkendala dari rendahnya partisipasi masyarakat dan kurang kerjasama Proses menuju baik implementasi pengendalian pencemaran laut Tingkat Pencapaian Program Kebijakan Target program adalah melalui ketaatan lingkungan Target program adalah melalui revitalisasi alat tangkap, pembuatan lokasi tangkap yang baru dan selektivitas alat tangkap nelayan Yang berhasil dicapai dari target program sulit dijelaskan, namun melihat kualitas air sungai sudah cukup baik Visi lingkungan hidup Jakarta belum tercapai Visi lingkungan hidup Jakarta belum tercapai Faktor Penentu Keberhasilan Kebijakan SDM jelas menjadi faktor keberhasilan tetapi SDM kurang SDM menjadi faktor keberhasilan kebijakan SDM memang menjadi faktor keberhasilan,tetapi yang lebih penting mental dari para pelaksana SDM menjadi faktor keberhasilan kebijakan Kesadaran dari SDM menjadi faktor keberhasilan kebijakan Tidak ada masalah dengan alokasi anggaran Tidak ada masalah dengan alokasi anggaran Tidak ada masalah dengan alokasi anggaran Infrastruktur cukup memadai Jumlah dalam pemenuhan infrastruktur masih terbatas Infrastruktur cukup memadai Faktor penghambat Keberhasilan Kebijakan Kendala utama yaitu ketaatan dari industri,rendahnya partisipasi masyarakat dan kurangnya SDM dalam pengawasan Kendala utama yaitu kurang pengawasan dan rendahnya partisipasi masyarakat Kendala utama yaitu kurang tegasnya dari pihak yang berwenang Kendala utama yaitu kewenangan tumpang tindih,masyarakat tidak paham aturan, implementasi dilapangan berbeda Kendala utama yaitu dari industri yang diduga pencemaran Kendala utama yaitu pemerintah kurang peduli terhadap kondisi dilapangan Kendala utama yaitu kurang tegas dan kurang serius pemerintah dalam mengatasi hal tersebut Kendala utama yaitu kurangnya SDM Sasaran kebijakan tidak menentang kebijakan, tidak patuh Sasaran kebijakan tidak menentang kebijakan, mematuhi tetapi tidak efektif Sasaran kebijakan tidak menentang kebijakan, hanya banyak oknum saja Sasaran kebijakan tidak menentang kebijakan, hanya tidak patuh Sasaran kebijakan menentang kebijakan Sasaran kebijakan mengabaikan peraturan kebijakan Sasaran kebijakan tidak menentang kebijakan, hanya tidak patuh Sasaran kebijakan cenderung menentang kebijakan Sasaran kebijakan tidak menentang kebijakan, hanya cari aman saja Upaya rehabilitasi lingkungan masih dalam proses Upaya rehabilitasi lingkungan belum efektif Upaya rehabilitasi lingkungan belum efektif Upaya rehabilitasi lingkungan belum efektif Upaya rehabilitasi lingkungan masih sulit dilakukan Pemerintah belum dapat memprediksikan mampu berapa persen dalam mengatasi pencemaran laut Pemerintah belum dapat memprediksikan mampu berapa persen dalam mengatasi pencemaran laut Dampak yang dikehendaki dari kebijakan Masyarakat belum merasakan dampak dari tujuan kebijakan pengendalian pencemaran Masyarakat belum merasakan dampak dari tujuan kebijakan pengendalian pencemaran Masyarakat belum merasakan dampak dari tujuan kebijakan pengendalian pencemaran Masyarakat belum merasakan dampak dari tujuan kebijakan pengendalian pencemaran Sumber : Peneliti, 2015 IV. Lembar Catatan Bimbingan Skripsi 249 DAFTAR RIWAYAT HIDUP IDENTITAS PRIBADI Nama : Septi Rosmalia NIM : 6661110907 Tempat,Tanggal Lahir : Tegal, 27 September 1993 Agama : Islam Alamat : Jl.Kayu Tinggi No.93 RT 001/03 Cakung Timur Cakung Jakarta Timur Email : [email protected] RIWAYAT PENDIDIKAN 1999-2000 TK Al-Wathoniyah Jakarta 2000-2006 Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama 02 Kertasari Tegal 2007-2009 SMP Al-Akhyar Jakarta 2009-2011 SMA Negeri 102 Jakarta 2011-2015 Ilmu Administrasi Negara FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa RIWAYAT ORGANISASI Tahun 2007-2008 : Ketua OSIS SMP Al-Akhyar Jakarta Tahun 2009-2010 : Anggota OSIS SMA N 102 Jakarta Tahun 2013-2014 : Anggota EDC Untirta