9 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Batas an Pulau-Pulau Kecil (PPK) Pulau-pulau kecil (PPK) didefinisikan sebagai pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya (Undang- undang RI No. 27 Tahun 2007). Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional tahun 1982 (UNCLOS 1982) pasal 121 mendefinisikan pulau seba gai da ratan yang terbe ntuk secara alami dan dikelilingi oleh air dan selalu berada di atas permukaan air pada saat pasang naik tertinggi. Dengan kata lain, sebuah pulau tidak boleh tenggelam pada saat air pasang naik. Implikasinya, ada empat syarat yang harus dipenuhi agar dapat disebut sebagai pulau, yakni (1) memiliki lahan daratan, (2) terbentuk secara alami, bukan lahan reklamasi, (3) dikelilingi oleh air, baik air asin (laut) maupun tawar, (4) selalu berada di atas garis pasang tinggi. Alternatif batasan pulau kecil dikemukakan pada pertemuan CSC (1984) yang menetapkan pulau kecil adalah pulau dengan luas area maksimum 5.000 km2 . Selanjutnya berlandaskan pada kepentingan hidrologi (ketersediaan air tawar), ditetapkan batasan pulau kecil sebagai pulau dengan ukuran kurang dari 1.000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km. Namun batasan ini mengalami perubahan UNESCO (1991) yang memberikan batasan sebagai pulau dengan luas area kurang dari atau sama dengan 2.000 km2 (Bengen and Retraubun 2006). Dari segi luasnya, UNESCO (1994) menetapkan bahwa pulau-pulau yang luasnya kurang dari 200 km2 tergolong pulau kecil, sedangkan yang luasnya kurang dari 100 km2 tergolong pulau sangat kecil. menyebutkan, atas muka pulau kecil air pasang adalah ruang dari perairan daratan yang Definisi lainnya yang berelevasi mengelilinginya di dengan luas kurang dari 100 km2 (BBPT-Proyek Pesisir USAID 1998). Menurut pembentukannya, pulau kecil dapat terbagi menjadi dua tipe yaitu pulau oseanik dan pulau kontinental. Pulau oseanik dapat digolongkan atas dua kategori yaitu pulau vulkanis dan pulau karang (pulau datar). Umumnya pulaupulau kecil di Indonesia memiliki karakteristik biogeofisik yang tersendiri sebagai 10 berikut (Bengen 2004) : (1) terpisah dari habitat pulau induk (mainland island) dan bersifat insulair, (2) memiliki sumberdaya air terbatas, baik air permukaan maupun air tanah, dengan daerah tangkapan air yang relatif kecil atau sangat terbatas sehingga sebagian aliran air permukaan dan sedimen akan diteruskan ke laut, (3) rentan terhadap pengaruh dari luar, baik yang bersifat alami (badai dan gelombang besar) maupun akibat kegiatan manusia (pengubahsuaian lahan, pencemaran), (4) memiliki sejumlah spesies endemik yang bernilai ekologis tinggi, (5) area perairan lebih luas daripada daratan, serta relatif terisolir, (6) tidak memiliki hinterland yang jauh dari pantai Terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan pulau kecil, seperti yang dikemukakan Retraubun (2001) yaitu : 1. Secara Ekologis • Habitat/ Ekos istem pulau kecil cenderung memiliki spesies endemik yang tinggi dibandingkan proporsi ukuran pulaunya. • Memiliki resiko lingkungan yang tinggi, misalnya akibat pencemaran dan kerusakan akibat aktivitas transportasi laut dan aktivitas penangkapan ikan, akibat bencana alam seperti gempa tsunami. • Keterbatasan daya dukung lingkungan pulau (ketersediaan air tawar dan tanaman pangan). 2. Secara Fisik • Terpisah dari pulau besar • Bentuk gugu san atau sendiri • Tidak mampu mempengaruhi hidroklimat laut • Luas pulau tidak lebih dari 10.000 km2 • Rentan terhadap perubahan alam dan atau manusia seperti bencana angin badai, gelombang tsunami, letusan gunung berapi, fenomena kenaikan permukaan air laut (sea level rise) dan penambangan 3. Secara Sosial – Budaya – Ekonomi • Ada pulau yang berpenduduk dan tidak • Penduduk asli mempunyai buda ya da n sosial eko nomi yang khas 11 • Kepadatan penduduk sangat renda h (1-2 orang per hektar) • Ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar (pulau induk, kontinen) • Keterbatasan kualitas sumberdaya manusia • Aksesibilitas (sarana, jarak, waktu) rendah atau maksimal satu kali sehari. Jika aksesibilitasnya tinggi maka keunikan pulau lebih mudah terganggu. 2.2 Potensi Sumberdaya Hayati Pulau-pulau Kecil 2.2.1 Terumbu karang Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan massif kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, Ordo Scleractinia yang hidup bersimbiose dengan alga bersel satu Zooxanthellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang mensekresi kalsium karbonat. Manfaat yang terkandung dalam terumbu karang sangat besar dan beragam. Menurut Caesar (1996) jenis manfaat yang terkandung dalam terumbu karang dapat diidentifikasi menjadi dua, yaitu manfaat langsung yaitu sebagai habitat bagi sumberdaya ikan (tempat mencari makan, memijah dan asuhan), batu karang, pariwisata, wahana penelitian dan pemanfaatan biota perairan lainnya dan manfaat tidak langsung seperti fungsi terumbu karang sebagai penahan abrasi pantai, keanekaragaman hayati dan lain sebagainya. Terumbu karang dapat menjadi sumber devisa yang diperoleh dari penyelam dan kegiatan wisata bahari lainnya. Bahkan dewasa ini berbagai jenis biota yang hidup pada ekosistem terumbu karang ternyata banyak mengandung senyawa bioaktif sebagai bahan obat-obatan, makanan dan kosmetika (Dahuri 2003). Selain itu terumbu karang juga menjadi daya tarik tersendiri dan menjadi perhatian bagi para ahli, mahasiswa, perusahaan farmasi sebagai obyek penelitian. Ekosistem terumbu karang banyak menyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan, karang, moluska dan krustasea bagi masyarakat di kawasan pesisir, dan bersama ekosistem pantai lainnya menyediakan makanan dan menjadi tempat berpijah bagi berbagai jenis biota laut yang bernilai ekonomi tinggi. 12 Di kawasan pulau-pulau kecil, banyak dijumpai karang dari berbagai jenis yang terdapat pada rataan terumbu tepi (fringing reef), sedangkan di kawasan Indonesia bagian timur sering dijumpai terumbu karang dengan tipe terumbu cincin (atoll). 2.2.2 Padang Lamun (Seagrass) Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Lamun mengko lonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah (propagule) yang dihasilkan secara seksual (dioecious). Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapa t dijangka u oleh cahaya matahari untuk mendukung pertumbuhannya, biasanya hidup diperairan yang dangkal dan jernih pada kedalaman berkisar antara 2-12 meter, dengan sirkulasi air yang baik. Substrat lumpur-berpasir merupakan substrat yang paling disukai oleh lamun dan berada diantara ekosistem mangrove dan terumbu karang (Koch and Gust 1999) . Secara ekologis, padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah pulau-pulau kecil yaitu sebagai produsen detritus dan zat hara, mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang, sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkungan ini serta sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari (Koc h and Gust 1999). Di samping itu, padang lamun juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan budidaya berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram, tempat rekreasi dan sumber pupuk hijau. Di kawasan pulau-pulau kecil banyak dijumpai lamun dari jenis Enhalus dan Thalassia, karena di kawasan ini kandungan sedimen organiknya relatif rendah da n dido minasi oleh substrat pa sir. 2.2.3 Hutan Mangrove Hutan mangrove mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahan 13 abrasi, amukan angin, taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya. Sedangkan secara ekonomis berfungsi sebagai penyedia kayu, bahan baku obat-obatan dan lain- lain. Disamping itu, ekosistem hutan mangrove juga memberikan manfaat tidak langsung, terutama sebagai habitat bagi bermacam- macam binatang seperti binatang laut (udang, kepiting, dan beberapa jenis ikan), dan binatang melata lainnya. Di kawasan pulau-pulau kecil jenis mangrove yang banyak ditemukan adalah jenis Avicennia, karena wilayah pulau-pulau kecil merupakan daerah yang ketersediaan air tawarnya terbatas, pasokan sedimen (bahan or ganiknya) relatif rendah da n memiliki substrat pa sir (Dahuri 2003). 2.2.4 Sumberdaya Perikanan Secara ekologis, pulau-pulau kecil di daerah tropis dan sub-trop is berasosiasi dengan terumbu karang. Dengan demikian di kawasan ini memiliki spesies-spesies yang menggunakan karang sebagai habitatnya yaitu ikan ekonomis penting seperti kerapu, napoleon, kima raksasa (Tridacna gigas), teripang dan lain- lain sehingga komoditas seperti ini dapat dikatakan sebagai komoditas spesifik pulau kecil. Ciri utama komoditas tersebut adalah memiliki sifat penyebaran yang bergantung pada terumbu karang sehingga keberlanjutan stoknya dipengaruhi oleh kesehatan karang. 2.3 Potensi Sumberdaya Nir Hayati 2.3.1 Pertambangan Aktivitas pertambangan banyak dilakukan di negara-negara pulau kecil, di dunia maupun di Indonesia pada propinsi-propinsi tertentu. Dalam pemanfaatan potensi mineral di kawasan pulau-pulau kecil harus dilakukan dengan perencanaan yang ketat dan dilakukan secara berkelanjutan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Struktur batuan da n geologi pulau-pulau kecil di Indonesia adalah struktur batuan tua yang diperkirakan mengandung deposit bahan-bahan tambang/ mineral penting seperti emas, mangan, nikel dan lain- lain. 14 Beberapa aktivitas pertambangan baik pada tahap penyelidikan umum, eksplorasi maupun eksploitasi di pulau-pulau kecil antara lain ; timah di Pulau Kundur, Pulau Karimun (Riau); nikel di Pulau Gag (Papua), Pulau Gebe (Maluku Utara), Pulau Pakal (Maluku); batubara di Pulau Laut, Pulau Sebuku (Kalsel); emas di Pulau Wetar, Pulau Haruku (Maluk u) da n migas di Pulau Natuna (Riau). 2.3.2 Energi Kelautan Dengan luas wilayah laut yang lebih besar dibandingkan darat maka potensi energi kelautan memiliki prospek yang baik sebagai energi alternatif untuk mengantisipasi berkurangnya minyak bumi, LNG, batubara, dan lain- lain sepanjang kemampuan negara diarahkan untuk pemanfaatannya. Sumberdaya kelautan yang mungkin digunakan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah Konversi Energi Panas Samudera/ Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), Panas Bumi (Geothermal), Ombak dan Pasang Surut (Bengen and Retraubun 2006). 2.4 Jasa-jasa Lingkungan Pulau-pulau kecil memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya yaitu sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan, media komunikasi, kawasan rekreasi, konservasi dan jenis pemanfaatan lainnya (Yulianda 2007). Jenis-jenis pariwisata yang dapat dikembangkan di kawasan pulau-pula u kecil adalah : 2.4.1 Wisata Bahari Kawasan pulau-pulau kecil merupakan aset wisata bahari yang sangat besar yang didukung oleh potensi geologis dan karaktersistik yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan terumbu karang (Coral Reef), khususnya hard corals. Disamping itu, kondisi pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni secara logika akan memberikan kualitas keindahan dan keaslian dari bio-diversity yang dimilikinya. Berdasarkan rating yang dilakukan oleh lembaga kepariwisataan internasional, beberapa kawasan di Indonesia dengan sumberdaya yang 15 dimilikinya mempunyai rating tertinggi bila ditinjau dari segi daya tarik wisata bahari dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain di dunia. Beberapa kawasan wisata bahari yang sangat sukses di dunia antara lain adalah kawasan Great Barrier Reef, ka wasan negara- negara di Karibia, seperti Bahama, Kawasan Pasifik seperti Hawai serta Kawasan Meditterrania. Belajar dari pengalaman di kawasan tersebut, ternyata negara-negara tersebut merupakan “Negara Pulau-pulau Kecil (Small Islands State)”, kecuali di Great Barrier Reef dan Meditterrania. Sebagian besar pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki potensi wisata bahari yang cukup potensial (DKP 2008). Beberapa diantaranya telah dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata bahari seperti Taman Nasional (TN) Taka Bone Rate (Sulawesi Selatan), Taman Nasional Teluk Cendrawasih, Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Taman Wisata Alam (TWA) Kepulauan Kapoposang (Sulawesi Selatan), Taman Wisata Alam Tujuh Belas Pulau (Nusa Tenggara Timur), Taman Wisata Alam Gili Meno, Ayer, Trawangan (Nusa Tenggara Barat), Taman Wisata Alam Pulau Sangiang (Jawa Barat) dan lain- lain. 2.4.2 Wisata Terestrial Pulau-pulau kecil mempunyai potensi wisata terestrial yaitu wisata yang merupakan satu kesatuan dengan potensi wisata perairan laut. Wisata terestrial di pulau-pulau kecil misalnya Taman Nasional Komodo (NTT), sebagai lokasi Situs Warisan Dunia (World Herritage Site) merupakan kawasan yang memiliki potensi darat sebagai habitat komodo, serta potensi keindahan perairan lautnya di Pulau Rinca dan Pulau Komodo. Contoh lain adalah Pulau Moyo yang terletak di NTB sebagai Taman Buru (TB), dengan kawasan hutan yang masih asri untuk wisata berburu dan wisata bahari (diving). Kondisi Pulau Moyo tersebut dimanfaatkan oleh para pengusaha pariwisata sebagai kawasan “Ekowisata Terestrial”. Dikawasan tersebut terdapat resort yang tarifnya relatif mahal, dengan fasilitas yang ditawarkan berupa tenda-tenda, sehingga merupakan “wisata camping” yang dikemas secara mewah. Paket wisata di Kawasan Pulau Moyo ini suda h sanga t terkenal di mancanegara sehingga dapat memberikan devisa bagi negara. 16 2.4.3 Wisata Kultural Pulau-pulau ke cil merupaka n suatu prototipe konkrit dari suatu unit kesatuan utuh dari sebuah ekosistem yang terkecil. Salah satu komponennya yang sangat signifikan adalah komponen masyarakat lokal. Masyarakat ini sudah lama sekali berinteraksi dengan ekosistem pulau kecil, sehingga secara realitas di lapangan, masyarakat pulau-pulau kecil tentunya mempunyai budaya dan kearifan tradisional (local wisdom) tersendiri yang merupakan nilai komoditas wisata yang tinggi. Kawasan yang dapat dijadikan sebagai obyek wisata kultural, misalnya, di Pulau Lembata. Masyarakat suku Lamalera di Pulau Lembata mempunyai budaya heroik “Berbur u Paus secara tradisional” (traditional whales hunter). Kegiatan berburu paus secara tradisional tersebut dilakukan setelah melalui ritual- ritual buda ya yang sangat khas, yang hanya di miliki oleh suku Lamalera tersebut. Keunika n buda ya da n kearifan tradisional tersebut, menjadi daya tarik bagi para wisatawan. 2.5 Pengelolaan Pulau-pulau Kecil dalam Konteks Pengelolaan Wilaya h Pesisir Terpadu (PWPT) Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu dahulu dikenal istilah Integrated Coastal Zone Management (ICZM) pertama kali dikemukakan pada Konferensi Pesisir Dunia (World Conference of Coast) yang digelar pada tahun 1993 di Belanda. Pada forum tersebut, PWPT diartikan sebagai proses paling tepat menyangkut masalah pengelolaan pesisir, baik untuk kepentingan saat ini maupun jangka panjang, termasuk di dalamnya akibat kerugian habitat, degradasi kualitas air akibat pencemaran, perubahan siklus hidrologi, berkurangnya sumber daya pesisir, kenaikan muka air laut serta dampak akibat perubahan iklim dunia (Suba ndo no et al. 2009). Lebih jauh, Subandono et al. (2009) juga menyatakan bahwa konsep PWPT menyediakan suatu kerangka perencanaan dan pengelolaan yang tepat dalam menaklukkan berbagai kendala dan permasalahan dalam pengelolaan wilayah pesisir, seperti ada nya pe ngaturan institusi yang terpecahpecah, birokrasi yang berorientasi pada satu sektor, konflik kepentingan, 17 kurangnya prioritas, kepastian hukum, minimnya pengetahuan kedudukan wilayah dan faktor sosial lainnya serta kurangnya informasi dan sumberdaya. Dahuri et al. (2003) mendefenisikan PWPT seba gai suatu pendekatan pengelolaan pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Untuk mewujudka n hal itu maka ke terpaduan da lam perencanaan da n pengelolaan kawasan pesisir dan laut mencakup empat aspek, yaitu : (a) keterpaduan wilaya h/ ekologis; (b) keterpaduan sektoral; (c) keterpaduan kebijakan secara vertikal; (d) keterpaduan disiplin ilmu; dan (d) keterpaduan stakeholder. Dengan kata lain, penetapan komposisi dan laju/ tingkat kegiatan pembangunan pesisir yang optimal akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasaka n oleh segenap pemangku kepentingan (stakeholders) secara adil dan berkelanjutan. Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu pada dasarnya merupakan suatu proses yang bersifat siklikal. Dengan demikian terlihat bahwa pendekatan keterpaduan pengelolaan/ pemanfaatan kawasan pesisir dan laut menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat terwujud one plan dan one management serta tercapai pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Konsep batasan ekologis dalam pengelolaan wilayah pesisir harus berisikan upa ya mengintegrasika n empa t ko mpo nen pe nting yang merupaka n satu kesatuan meliputi a) Batasan wilayah perencanaan : natural domain (bukan batasan administratif) ; b) Kawasan pesisir sebagai dasar pengelolaan kawasan di hulunya ; c) Pendekatan Keterpaduan meliputi integrasi ekos istem darat- maritim, integrasi perencanaan sektoral (hor izontal), integrasi perencanaan vertikal dan integrasi sains dengan manajemen; dan d) Alokasi ruang proporsional, dimana 30% dari wilayah perencanaan merupakan lahan alami. Prinsip ke terpaduan sangat penting dalam konteks pengelolaan pesisir karena wilayah pesisir memiliki fungs i yang dinamik. Cicin-Sain and Knecht (1998) in Adrianto (2005) memberikan acuan bahwa elemen keterpaduan dalam pengelolaan pesisir adalah (1) keterpaduan sektoral, (2) keterpaduan 18 pemerintahan, (3) keterpaduan spasial, (4) keterpaduan ilmu dan manajemen dan (5) keterpaduan internasional. Dalam penentuan wilayah pesisir, Indo nesia menggunakan batasan pengertian berdasarkan pendekatan secara ekologis yang digabungkan dengan pendekatan dari segi perencanaan untuk memperlihatkan batasan secara yuridis dari wilayah pesisir Indonesia. Ditinjau dari pendekatan secara administratif, masalah batasan wilayah pesisir merupakan hal yang paling mendasar yang harus dipahami lebih dahulu, karena akan menunjukkan ruang lingkup berlakunya suatu perundang- undangan mengenai pengelolaan wilayah pe sisir. Di Indo nesia dalam konsep normatifnya, batasan wilayah pesisir yang digunakan dalam Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu yaitu wilayah peralihan ekosistem darat dan laut yang saling mempengaruhi dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk Provinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu untuk kabupaten/ kota ke arah darat batas administrasi kabupaten/ kota. Berdasarkan Rancangan Undang-undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil tahun 2004, pengertian wilayah pesisir ialah satu kesatuan wilayah antara daratan dan lautan yang secara ekologis mempunyai hubungan keterkaitan yang di dalamnya termasuk ekosistem pulau kecil serta perairan di antara satu kesatuan pulau-pulau kecil. Singh (1992) in Adrianto (2004) menjelaskan bahwa pulau-pulau kecil yang merupakan wilayah pesisir yang memiliki karakteristik tambahan (1) relatif terisolir, (2) memiliki keterbatasan secara geografis (smallness), (3) keanekaragaman yang terbatas; dan (4) secara ekonomis maupun ekologis rentan terhadap faktor eksternal harus berbasis keberlanjutan dalam pengelolaannya. Artinya harus mempertimbangkan faktor keterpaduan antar komponen yang secara riil tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam perspke tif ekos istem wilayah. Wilayah pulau-pulau kecil dibagi menjadi beberapa sub wilayah dengan berbagai potensi dan potensi persoalan yaitu (1) wilayah perairan lepas pantai (coastal offshore zone), (2) wilayah pantai (beach zone), (3) wilayah dataran rendah pesisir (coastal lowland zone), (4) wilayah pesisir pedalaman (inland zone). 19 Prinsip keterpaduan untuk tercapainya keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut dalam konteks pulau-pulau kecil antar sub wilayah di atas digambarkan seperti pada Gambar 1. Gambar 1. Kerangka Berke lanjutan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut di Pulau-Pulau Kecil (Sumber : Debance 1999 in Adrianto 2004) 2.6 Sistem Sosial Ekologi dalam Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Ghina (2003) merangkum dari berbagai sumber mengenai karakteristik pengelolaan pulau-pulau kecil berdasarkan sifat kerentanannya yaitu karena keterpencilan, ukuran fisik kecil, kerapuhan dan keunikan ekologis, pertumbuhan populasi manusia yang cepat dan kepadatan tinggi, sumberda ya alam yang terbatas terutama daratannya, ketergantungan tinggi pada sumberdaya laut, peka dan mudah terekspos akibat bencana alam, peka terhadap naiknya permukaan air laut dan perubahan iklim. Karakteristik lainnya yakni pasar domestik kecil, ketergantungan barang ekspor dan impor yang tinggi, ketidak- mampuan untuk mempengaruhi harga internasional, tingginya biaya/ unit pengangkutan, marginal, ketidakpastian persediaan barang, harus menyimpan sejumlah besar barang, kerentanan perdagangan : ketergantungan tinggi pada pajak perdagangan, industri domestik yang rentan, ketergantungan pada pilihan/ preferensi perdagangan, pembatasan pada kompetisi domestik, berbagai kesulitan dalam menarik investasi langsung dari luar, peluang investasi dan jasa komunikasi terbatas, permasalahan administrasi pemerintahan, ketergantungan pada keuangan eks ternal. Kaly et al. 20 (2004) menambahkan bahwa faktor- faktor yang menyebabka n kerentanan tersebut karena bencana alam, masalah perbatasan, migrasi, kerusuhan, pemisahan secara geografis, pemanfaatan ekonomi, pasar internal yang kecil dan kerusakan sumberdaya. Prinsip utama pembangunan pulau-pulau kecil secara terpadu dan berkelanjutan, harus mempertimbangkan kriteria ekologi, ekonomi, dan sosial (Kay and Alder 2005). Hal ini didasarkan pada karakteristik dan dinamika pulaupulau kecil yang merupakan suatu sistem dinamis saling terkait antara sistem komunitas manusia dengan sistem alam sehingga kedua sistem inilah yang bergerak dinamik dalam kesamaan besaran, untuk itu diperlukan integrasi pengetahuan dalam implementasi pengelolaan pulau-pulau kecil. Integrasi inilah yang dikenal dengan paradigma Social Ecological System (SES) (Adrianto and Aziz 2006). Pemikiran alternatif yang memberikan penjelasan bagaimana sistem ekonomi bekerja dalam sebuah delineasi ekosistem sangat diperlukan. Arus pemikiran utama Ecological Economics (EE) yang berkaitan dengan nilai lebih (surplus value) dalam konteks keterbatasan ekos istem yakni memfokuskan diri pada hubungan yang kompleks, non-linier dengan waktu yang lebih panjang antara sistem alam dan sistem ekonomi. Komitmen normatif dari arus pemikikan utama Ecological Economics adalah berusaha mewujudkan terciptanya “masyarakat yang bukan tanpa batas” (frugal society), dalam arti bahwa kehidupan masyarakat berada dalam keterbatasan sistem alam baik sebagai penyedia sumberdaya maupun penyerap limbah (Adrianto 2004). Paradigma Social Ecological System membicarakan unit ekosistem seperti wilayah pesisir pulau-pulau kecil, ekosistem mangroves, terumbu karang dan lainnya berasosiasi dengan struktur dan proses sosial yang ada di mana aspek sistem alam (ekosistem) dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan (Adrianto 2004). Pengelolaan pendekatan ekosistem di pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dinyatakan sebagai suatu simbiosis pandangan yang respek kepada sistem alam, yang mengintegrasikan pandangan ekonom, enjinir, dan ekolog, bersama-sama untuk melindungi fungsi sistem alam secara terus- menerus menghasilkan jasa-jasa ekosistemnya. Begitu pula sebaliknya para ekonom/ enjinir senantiasa 21 membutuhkan ekolog, dengan maksud jika terjadi penurunan jasa sumberdaya alam maka akan menghasilkan pula penurunan nilai ekonomi ekosistem tersebut dan berimplikasi pada penurunan kesejahteraan sosial. Pengelolaan pesisir pulaupulau kecil dengan ’Konsep Ekosistem’ adalah lebih tepat dewasa ini digunakan sebagai falsafah dasar untuk pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, karena merupakan konsep induk dengan perspektif lebih luas, integratif, mencakup proses interaksi dinamika lingkungan hidup, ruang, wilayah, kawasan dan lainlain, secara saintifik terukur dan terprediksi, dan telah diadopsi luas oleh negaranegara maju di dunia dan negara-negara lain anggota PBB, khususnya yang tergabung dalam Small Islands Development States/ SIDS (Bass and DalalClayton 1995) in Adrianto (2005). Informasi ekologis dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa di wilayah pesisir perairan laut dangkal (perairan teritorial) dari pantai sampai kedalaman 200 m, merupakan wilayah yang paling produktif karena pengaruh kontribusi interaksi dari darat, tetapi perairan ini sangat rentan dari dampak degradasi akibat aktivitas manusia. Adapun produktivitas di perairan laut Zona Ekonomi Eksklusif (kedalaman >200 m) sangat dipengaruhi oleh produktivitas perairan dangkal. Holling (1986) menyatakan bahwa tantangan pengelolaan sumberdaya alam saat ini adalah semakin besarnya perubahan ekologis dan sosial yang menyebabkan munculnya kejutan-kejutan dan ketidakpastian yang semakin tinggi. Pesisir dan pulau kecil merupakan sebuah sistem dimana aspek ekologi dan aspek sosial terkait sangat erat dan merupakan sebuah sistem yang terintegrasi. Kedua aspek ini memiliki kompleksitas dan terus berubah dimana keduanya bersifat nonlinier dan menempati batas tertentu dalam dinamikanya (Folke et al. 2002). 22 Tabe l 1 Potensi Kemampuan, Pemanfaatan Jasa, dan Ancaman pada Ekos istem di Sub-Wilayah Pesisir Pulau-Pulau Kecil Sub-wilayah Potensi Kemampuan Jasa Ekosistem tempat bersarang penyu Pemanfaatan Jasa Ekosistem rekreasi konservasi Kaya biodiversitas Rekreasi di perairan jernih, perairan dangkal, kedalaman 200 m; sangat peka kekeruhan, kenaikan suhu, pencemaran, sedimentasi; Jika terumbu karang hidup sehat meluas, pertandabanyak ikan tuna. sangat produktif, tempat berbiak, berlindung ikan kerapu, tuna, kakap, udang, penyu, biota laut lain, rumput laut Konservasi, pariwisata, perikanan perlindungan pantai, pulau- pulau kecil dari gelombang besar dan kenaikan muka laut tangkapan ikan berlebih, racun ikan, pemboman, penambangan karang, erosi dari penggundulan vegetasi di darat 4) Padang lamun rumput laut terdapat di antara terumbu karang dan mangrove (bakau) sangat produktif, tmpt berbiak,tumbuh, berlindung ikan, udang, kepiting dan biota laut lain,kaya nutrisi alami sumber makanan, farmasi, kosmetik, industri biotek, dan sumber energi biofuel. Tangkapan ikan berlebih, perusakan karang dan mangrove, pencemaran minyak, sedimentasi 5) Pantai berlumpur terdapat di sekitar muara sungai (estuari),/ delta pertemuan air tawar dan laut (perairan payau) produktivitas biologis tinggi, kaya siklus nutrisi. sangat produktif, kaya nutrisi, berbiak ikan, udang, kepiting, Konservasi perusakan habitat, pencemaran minyak. jalur pelayaran, akuakultur, perikanan tradisionil sampah, pencemaran banjir, sedimentasi 7) Mangrove (hutan bakau) terdapat di sekitar muara sungai, tempat berlumpur, bau sulfur, perangkap debris sampah, kaya nutrisi, pencegah erosi, pelindung pantai kaya udang, kepiting, udang; tempat beberapa mamalia, reptil, burung; produksi primer sangat tinggi tumpahan minyak, pestisida-pupuk dari pertanian, pembabatan kayu mangrove, pembukaan tambak berlebihan 8) Hutan rawa pasang surut sepenuhnya mangrove atau didominasi tumbuhan nipah siklus nutrisi tinggi, tempat makan ikan, udang, kepiting saat pasang naik, perangkap sedimen sumber kayu untuk konstruksi, reklamasi lahan, akuakultur, pariwisata, industri biotek dan perlindungan bentuk pantai sumber kayu, rumah tradisional, reklamasi lahan basah, tempat akuakultur dan sumber gula atau bioethanol 9) Laguna agak tertutup, sedikit terbuka, jalan masuk dari laut dapat berubahubah Terdiri dari gosong karang, pulau karang muncul, atol, vulkanik; pulau benua; ukuran luas kurang dari 2 000 km2. Jumlah seluruh Indonesia > 17 000 ragam pulau-pulau. produktivitas ikan, udang, kepiting, tempat berbiak secara alami biota laut lain masing-masing pulau dianggap mempunyai ekosistem unik. pariwisata, navigasi, tangkap ikan, budidaya. pencemaran pariwisata, pemukiman, stasiun pengamat, pertanian subsisten, marikultur sumber bioindustri masa depan, termasuk biofood & biofuel. air tanah minim, intrusi air laut; limbah; penduduk padat; Penebangan vegetasi, pemanasan global, lenyapnya pulau- pulau kecil akibat kenaikan muka laut 15-19 mm/tahun. 1) Pantai berpasir 2) Pantai berbatu 3) Terumbu karang 6) Estuari/ Delta 10) PulauPulau Kecil Penjelasan di pantai terbuka, jauh dari muara sungai (estuari) terbuka kena ombak Sumbe r : Bass and Dalal-Clayton (1995) in Adrianto (2004) Ancaman perusakan habitat, tambang pasir, tumpahan minyak Erosi pantai tumpahan minyak pestisida-pupuk berlebih dari pertanian, pembabatan nipah/ bakau 23 Pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dengan pengelolaan sumberdaya lain umumnya masih didasarkan pada asumsi adanya daya dukung ekosistem untuk menghasilkan produksi dan jasa lingkungan secara terus menerus, dan kegiatan produksi dapat dikontrol sepenuhnya. Gunderson et al. (1995) menyatakan bahwa simplifikasi lansekap darat dan laut untuk produksi sumberdaya tertentu dalam jangka pendek memang dapat menyuplai kebutuhan pasar, tetapi dengan pengorbanan penurunan diversitas umumnya pengelola sumberdaya berupaya untuk mengontrol proses perubahan pada lansekap tersebut untuk menstabilisasi output dari ekosistem dan mempertahankan pola konsumsi manusia (Holling and Meffe 1996). 2.7 Kerentanan Pulau-Pulau Kecil (PPK) 2.7.1 Konsep dan Definisi Ke rentanan Kerentanan didefinisikan sebagai karakteristik spesifik atau kondisi yang akan meningkatkan kemungkinan bencana yang akan mengakibatkan kerusakan, kerugian dan kehilangan. Tingkat kerentanan bervariasi tergantung dari karakteristik exposure, seperti tingkat desain, material konstruksi, demografi, lokasi geografis, dan sebagainya (Noson 2000). Seluruh ekosistem terus mengalami perubahan gradual berupa perubahan iklim, masukan nutrien, fragmentasi habitat atau eksploitasi biotik. Selama ini diasumsikan bahwa alam merespon perubahan gradual tersebut juga secara perlahan. Perubahan drastis dapat merubah ke keadaan yang sangat berbeda yang dapat menghambat proses perubahan alam yang perlahan tersebut sehingga menimbulka n ko nsekuensi sosial dan ekonomi yang besar. Peruba han dari satu keadaan ke keadaan lainnya merupakan salah satu karakteristik dari sistem adaptif yang kompleks. Teori sistem kompleks (Holland 1995) menyatakan bahwa alam berada dalam keadaan tetap atau mendekati keadaan seimbang, dimana perspektif ini mendominasi ilmu dan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang digunakan selama ini (Gunderson et al. 1995). Pendefinisian Kerentanan muncul dengan asumsi (1) bahwa di alam, kondisi-kondisi bahaya da n be ncana merupaka n “kondisi luar“ da n tidak 24 bergantung dari kegiatan pembangunan yang dilakukan. (2) Fakta resiko dan kerentanan tidak jelas terlihat pada kondisi alami, kecuali jika dikaitkan dengan kemiskinan yang terlihat pada beberapa kondisi lokal, nasional dan tingkat internasional. (3) Anggapan yang salah bahwa kondisi alam dapat dikontrol dengan teknologi dan selanjutnya bencana dapat dihindari. Bencana pada dasarnya berasal dari kondisi-kondisi sosial, ekonomi, fisik dan lingkungan masyarakat. Infrastruktur, jasa, organisasi dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit dan sistem yang berbeda, cenderung dipengaruhi oleh peristiwa alam seperti ge mpa bumi, banjir, tanah longsor atau dengan peristiwa teknis seperti ledakan, kebakaran , tumpahan minyak, dan lain lain. Suatu bencana didahului oleh sedikitnya dua kecenderungan yaitu ; peristiwa yang sedang berlangsung, yang disebut resiko; da n suatu ko ndisi rentan ; bermula dari perangai manusia , proses, infrastruktur, jasa, organisasi atau sistem yang berpengaruh, yang mengakibatkan kerusakan. Kerentanan sebagai salah satu akibat yang tidak dapat diduga, pertama kali dipelajari oleh Briguglio (1995) untuk mengidentifikasi masalah- masalah yang terdapat di pulau-pulau kecil dan negara kepulauan. Pulau-pulau kecil dilihat secara umum sebagai suatu daerah atau area, yang jika dibandingkan dengan entitas bukan kepulauan, secara relatif memiliki alam dan batas-batas administrasi yang lebih jelas, dan juga secara khusus memiliki beberapa keuntungan ekonomi dan lingkungan sekaligus juga kerugian. Suatu formulasi tentang kerentana n diusulka n oleh Disaster Reduction Institute (DRI) ( White et al, 2005) in Villagran (2006) sebagai berikut : Istilah kerentanan digunakan pada konteks berbeda satu sama lain. Literatur yang ada, ditemukan perbedaan pengertian mengenai kerentanan sebagai berikut : 1. Sebagai ko ndisi tertentu atau situasi dari suatu sistem sebelum terjadi be ncana, digambarkan dengan bentuk seperti ukuran kepekaan, pembatasan, kekurangan atau ketidakmampuan seperti ketidakmampuan untuk bertahan terhadap 25 dampak yang ada (resisten) dan ketidakmampuan untuk mengatasi suatu peristiwa ( kapasitas adaptif); 2. Sebagai akibat langsung dari kegiatan berlebihan yang membuat ancaman berbahaya ; dan 3. Kemungkinan yang besar sebagai hasil dari sistem ketika terjadi tekanan dari luar dengan ancaman yang berpotensi hilangnya beberapa fasilitas dan hilangnya kegiatan ekonomi atau hilangnya manusia. Atau munculnya kesenjangan kemiskinan. Chambers (1989) memperkenalkan suatu definisi kerentanan, yang mengarah pada masyarakat dan mata pencarian mereka. Didalam definisi ini, kerentanan adalah teka nan/ penggunaan yang tidak tentu dengan kapasitas adaptif yang terbatas. Chambers kemudian memasukkan faktor internal dan eksternal berupa : (1) Faktor eksternal terkait dengan tekanan dari luar yang berlebihan seperti goncangan yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi seperti banjir, gempabumi, kebakaran, wabah penyakit dsb, (2) Faktor internal terkait dengan ketidakmampuan mengatasi bahaya tanpa menimbulkan kerugian. Tekanan berhubungan dengan goncangan yang terjadi secara terus menerus, dengan waktu yang singkat dan menyebabkan kemerosotan sumberdaya. Chambers memandang kerentanan sebagai kebalikan dan resiliensi/ ketahanan. Pada konteks ini aset berupa sumberdaya manusia yang menjadi kunci yang dapat mengatasi segala goncangan da n teka nan. Alexander (2000: 12) in Villagran (2006) mendefinisikan kerentanan sebagai potensi bencana, kerusakan, bahaya, gangguan atau bentuk lain dari hilangnya perhatian dari beberapa elemen. Ditambahkan oleh Alexander bahwa kerentanan dapat diperbesar atau dikurangi tergantung pada tipe kerusakan dan faktor lain yang perlu dipertimbangkan. Studi kerentanan sangat muda h dilakukan di wilayah pulau-pulau kecil, karena wilayah tersebut memiliki ukuran yang sangat terbatas, belum lagi faktorfaktor fisik lingkungan yang mengalami peruba han cepat terlihat dan terukur karena ukurannya yang terbatas. Studi kerentanan di pulau-pulau kecil telah dilakuka n oleh Briguglio (1995), Adrianto and Matsuda (2002) in Adrianto 26 (2004). Dalam kacamata ekonomi, dampak bencana alam terhadap ekonomi pulau-pulau kecil tidak jarang sangat besar sehingga menyebabkan tingkat resiko di pulau-pulau kecil menjadi tinggi pula. Parameter-parameter yang diguna ka n untuk menentukan tingkat kerentanan dapat dibagi atas parameter fisik dan sosial ekonomi. Parameter kerentanan fisik berkaitan dengan aspek fisis laut, geologi, dan tinjauan geomorfologi pantai dan pulau-pulau kecil diantaranya tinggi genangan dan erosi akibat kenaikan muka air laut. Klasifikasi parameter kerentanan fisik mengacu pada Gornitz (1997) ditunjukka n oleh Tabe l 2 di bawah ini. Sedangkan parameter sosial ekonomi berkaitan dengan demografi, tingkat kemiskinan dan penduduk terkena dampak. Tabe l 2 Parameter Kerentanan Fisis Terhadap Kenaikan Muka Laut (Gornitz et al. 1991 in Gornitz, 1997) Rank Parameter Sangat Rendah 1 Rendah 2 Sedang 3 Tinggi 4 Sangat Tinggi 5 Geomorfologi Bertebing tinggi Bertebing sedang Bertebing rendah, mangrove Bangunan pantai, estuari, Pantai berpasir, pantai berkerikil, delta Kenaikan muka laut(mm/tahun) < -1 -1.0 – 0.99 1.0-2.0 2.1-4.0 > 4.0 T unggang pasut(m) 1.0 1.1 – 2.0 2.1 – 4.0 4.1 – 6.0 > 6.0 Tinggi gelombang(m) 0-2.9 3-4.9 5-5.9 6-6.9 >6.9 Elevasi (m) >30.0 m 20.1-30.0 m 10.1-20.0 m 5.1-10.1 m 0.5-0 m Geologi Vulkanik konglomerat Erosi/Akresi(m/ta hun) > 2.0 Akresi 1.0 – 2.0 akresi batuan sedimentasi -1.0 - +1.0 stabil sedimen consolidated, -1.0 - -2.0 erosi sedimen unconsolidated, < - 2.0 Erosi Keputusan Menteri Kimpraswil No. 327/KPTS/M/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang, salah satu diantaranya Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi da n Kawasan Rawan Gempa Bumi, ditemukan istilah kerentanan sebagai kondisi atau karakteristik biologis, geografis, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan teknologi masyarakat di suatu wilayah unt uk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan menanggapi dampak bahaya/ bencana alam tertentu. Kerentanan dika itka n de ngan ke mampuan manusia untuk 27 melindungi dirinya dan kemampuan untuk menanggulangi dirinya dari dampak bahaya/ be ncana alam tanpa bantuan dari luar. Dalam pedoman ini juga diperoleh istilah tingkat kerentanan sebagai indikator tingkat kerawanan pada kawasan yang belum dimanfaatkan sebagai kawasan budi daya, dengan hanya mempertimbangkan aspek kondisi alam, tanpa memperhitungkan besarnya kerugian yang diakibatkan. Kerentanan (vulnerability) merupakan kebalikan dari ketangguhan (resilience), kedua konsep tersebut laksana dua sisi mata uang. Konsep ketangguhan merupakan konsep yang luas, termasuk kapasitas dan kemampuan merespons dalam situasi krisis/ konflik/ darurat (emergency rersponse). Kerentanan, ketangguhan, kapasitas, dan kemampuan merespons dalam situasi darurat, bisa di implementasikan baik pada tingkat individu, keluarga, masyarakat dan institusi pemerintah maupun LSM (Chambers 1989) . Villagran (2006), kerentanan wilayah dan penduduk terhadap ancaman meliputi kerentanan fisik, kerentanan sosial dan kerentanan ekonomi. Kerentanan sosial ekonomi dapat bersifat generik berlaku untuk semua jenis ancaman. Sementara itu kerentanan fisik bersifat spesifik sesuai dengan jenis ancaman. Kerentanan yang bersifat generik dapat digunakan untuk semua ancaman, terkait dengan aspek sosial ekonomi wilayah dan penduduk di suatu wilayah. Indikator kerentanan sosial ekonomi terkait dengan tingkat kemiskinan, laju pertumbuhan ekonomi, densitas dan penyebaran penduduk, lama pendidikan formal, tingkat pengangguran, beban tanggungan, dan indikator sosial ekonomi lainnya. 2.7.2 Tipologi Ke rentanan Turner et al. (2003), kerentanan sebagai suatu sistem, subsistem atau komponen sistem yang terjadi secara terus- menerus dan dapat menyebabkan bencana, kerusakan atau tekanan. Ada dua model dasar yang digunakan untuk menganalisis kerentanan yaitu mode l resiko-bencana (Risk Hazard (RH)) (Gambar 2) dan model tekanan- pelepasan (Pressure-Release (PAR) (Gambar 3). Dasar dari RH model adalah bahwa gangguan dapat terjadi sebagai akibat dari kegiatan yang berlebihan yang menimbulkan tekanan (sensitifitasnya). Jika 28 kondisi kerentanan yang ada terjadi secara terus menerus akan membawa dampak bagi suatu ko ndisi yang ada. Model PAR, menjelaskan bahwa dasar dari kerentanan yaitu ko ndisi yang terjadi secara terus menerus dan menjadi kondisi yang tidak dapat dikendalikan, yang akan menjadi ancaman sehingga suatu kondisi menjadi rusak a tau berbahaya. Keterangan : Akibat/ Relasi antar Komponen Kebergantungan antar Kompo nen Gambar 2. Mode l Risk-Hazard Sebagai Model Analisis Kerentanan (Aplikasi Resiko Secara Umum) Dimulai Pada Unit Hazard (Bahaya) (Turner et al. 2003) Keterangan : Akibat/ Relasi antar Komponen Kebergantungan antar Kompo nen Gambar 3. Model PAR (Penelitian Secara Umum) Dengan Penekanan Pada Kondisi Sosial Yang Menyebabkan Terjadinya Tekanan (Turner et al. 2003) Bencana cenderung terjadi pada komunitas yang rentan, dan aka n membuat komunitas semakin rentan jika tidak ada upaya menguranginya (kapasitas adaptif 29 dari manusia dan lingkungannya). Kerentanan komunitas diawali oleh kondisi lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi yang tidak aman (unsave conditions) yang melekat padanya. Kondisi tidak aman tersebut terjadi oleh tekanan dinamis internal maupun eksternal (dynamic pressures), misalnya di komunitas institusi lokal tidak berkembang dan ketrampilan tepat guna tidak dimiliki. Tekanan dinamis terjadi karena terdapat akar permasalahan (root causes) yang menyertainya. Akar permasalahan internal umumnya karena komunitas tidak mempunyai akses sumberdaya, struktur dan kekuasaan, sedang secara eksternal karena sistem politik dan ekonomi yang tidak tepat. Oleh karenanya penanganan bencana perlu dilakukan secara menyeluruh dengan meningkatkan kapasitas dan menangani akar permasalahan untuk mereduksi resiko secara total. Konsep dasar dari kerentanan (Gambar 4) terdiri dari (1) interaksi antara manusia dan lingkungannya, artinya manusia menggunakan lingkungan yang ada (2) kerusakan serta tekanan yang muncul akibat penggunaan lingkungan yang berlebihan (3) hubungan manusia da n sistem lingkungannya yang rentan akibat penggunaan secara berlebihan membawa akibat proses penyesuaian dan adaptasi, yang akan membuat sistem tersebut lebih tahan (resiliensi) terhadap tekanan yang ada. Gambar 4. Kompo nen Kerentanan Yang Terkait Dengan Faktor-Faktor Yang Berpe ngaruh Dalam Sistem Suatu Studi (Tur ner et al. 2003). 30 Kerentanan terdiri dari elemen-elemen berupa exposure (keterbukaan), sensitifitas dan resiliensi seperti yang terdapat pada Gambar 5. Keterbukaan terdiri da ri individu, pelayanan, tingkatan, wilayah, flora dan fauna ataupun ekosistem yang dengan ciri frekwensi, tingkatan dan kejadian secara terusmenerus. Sensitifitas merupakan interaksi antara kondisi manusia dengan ko ndisi alam/ lingk ungan. Interaksi yang ada antara manusia dengan alam/ lingkungannya akan membawa dampak berupa adaptasi penggunaan lingkungan. Jika lingkungan yang ada bagus, maka penggunaan atau pemanfaatan alam tersebut semakin besar, begitu juga sebaliknya. Gambar 5. Komponen-Komponen Dari Penggunaan Secara Berlebihan, Sensitifitas, dan Resiliensi (Ketahanan/ Daya Lenting) sebagai Bagian dari Framework Kerentanan (Turner et al. 2003). Kerentanan digambarkan oleh (ISDR 2004) sebagai kesatuan proses fisik, sosial, ekonomi, dan faktor lingkungan, yang akan menimbulkan resiko. Faktor fisik meliputi kepekaan penempatan dan lingkungan yang dibangun serta disebabkan oleh faktor seperti kepadatan penduduk, keterpencilan wilayah, lokasi, konstruksi bangunan dan infrastruktur. Faktor sosial terkait dengan isu sosial seperti tingkat kesejahteraan/ kesehatan individu, jenis kelamin, kesehatan, 31 kemampuan membaca dan menulis, pendidikan, keamanan, hak azasi manusia, kekayaan sosial, nilai-nilai tradisional, kepercayaan dan sistem organisasi. Begitu juga, faktor ekonomi terkait dengan isu ke miskina n yang meliputi kemiskinan tingkat individu, masyarakat da n eko nomi nasional, hutang, akses kredit, pinjaman da n asuransi serta keaneka ragaman eko nomi. Akhirnya faktor lingkungan meliputi pengurasan dan penurunan sumber daya alami. Beberapa unsur-unsur yang dapat mempengaruhi sifat kerentanan lingkungan adalah penggunaan bahan berbahaya dan beracun, kurangnya udara bersih, air dan sanitasi yang bentuknya tidak sesuai dengan manajemen limbah. Organisasi OECD memperke nalka n suatu kerangka untuk mengevaluasi kerentanan yang dikenal dengan Pressure-State-Response model (P-S-R) yang memperkenalkan kerentanan dari kondisi lingkungan yang dapat dilihat langsung seperti konsentrasi NO x didalam wilayah perkotaan, arus tingkatan CO 2 , dan lainlain. Secara implisit, kerentanan menyangkut tindakan manusia menggunakan lingkungan pada beberapa waktu tertentu. Adaptasi dari mode l P-S-R ke sektor masyarakat, terkait secara langsung seperti kemiskinan, pertumbuhan populasi, dan migrasi da n teka nan alami, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan lain lain. Model ini juga diperkenalkan oleh (IUCN 2001 European Commission 2002 in Bowen and Riley 2003) yang dikenal dengan model DPSIR. Pendekatan DPSIR untuk mengetahui keterkaitan faktor- faktor penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem sehingga dapat digunakan untuk menilai intensitas penggunaan sumberdaya oleh manusia dan aktivitas yang ada. Penilaian tekanan terhadap ekosistem dianalisis berdasarkan pendekatan keseluruhan sistem dan integrasi ekos istem yang berkaitan dengan struktur, komposisi dan fungsinya berdasarkan indikator ruang meliputi bentang alam, tata guna air da n biodiversity (Turner et al. 2000). Mode l ini dikembangkan untuk mengevaluasi masalah kerentanan di pulau be rdasarka n tujuan yang ingin dicapai. Yang dimulai dengan definisi dan identifikasi tujuan sebagai indikator yang dibutuhkan. Langkahlangkah berikut merupakan pengembangan dari indikator kerentanan : 32 1. Ruang lingkup, berupa analisa yang digunaka n sesuai target sistem indikator kerentanan, kebutuhan pe nduduk, persepsi, dan kapasitas ruang dan wilayah serta batasan waktu. 2. Pemilihan kerangka indikator yang sesuai, yang meliputi daerah (lingkungan, ekonomi, masyarakat), tujuan (kebutuhan dasar manusia, kemakmuran ekonomi), sektor publik (perumahan, kesehatan, pendidikan), isu (polusi industri, tingkat pengangguran) dan sebab akibat ( kondisi-ko ndisi, teka nan, reaksi), dan kombinasi faktor-faktor yang ada. 3. Kriteria pemilihan berkaitan dengan kebenaran, perhitungan yang mudah, ketelitian, dan keefektifan biaya untuk mengumpulkan dan memproses data. 4. Identifikasi indikator potensial berkaitan dengan kerangka dan kriteria pemilihan. 5. Pemilihan indikator akhir berkaitan dengan tingkatan sebelumnya. 6. Evaluasi pelaksanaan indikator berkaitan dengan langkah- langkah sebelumnya. Pengukuran model DPSIR berupa matriks hubungan antara suatu komponen indikator yang ada dan akibat yang ditimbulkannya hingga menimbulkan kerentanan ekosistem (functional relationship to ecosystem vulnerability). Kerentanan sangat mudah dikaji pada wilayah yang sangat kecil seperti halnya dengan pulau kecil. Vitousek (2002), menggambarkan pulau sebagai mod el sistem untuk mempelajari ekologi karena pada pulau kecil terdapat proses evolus i dan spesiasi, biologi konservasi mudah dilakukan dan terdapat evolusi buda ya. Dalam konteks wilayah pulau kecil, kerentanan digambarkan Villagran (2006) sebagai kecenderungan wilayah yang rusak oleh kekuatan eko nomi eksternal atau resiko lingkungan terkait dengan keterpencilan dan ukuran geografis yang kecil. CSD-UN-DESA memperkenalkan indeks kerentanan untuk wilayah pulau kecil (UN-DESA 2004), seperti Briguglio ( Atkins et al. 2001). 33 Resident Coastal Population P atterns in land use/ land cover development of coastal industry sectors Capac ity B uilding Driver Response Analysis Indicator Policy Dinamics Institutional Pressure Impact Coastal Wetland attention introduction of Industrial P ops Metals introduction of Coastal Agricultural Fortilizers Cost of Marine-vectored Disease Value of Recr eational Bathing Value of Co mmer cial Fishing State Certain socio-econo mic Indicators can describe System drivers or the Sustainability of given state character Changes in Nutrient Dynamics ContaminantBurden in Marine Sediments Gambar 6. Model Evaluasi Kerentanan dengan Metode DPSIR (IUCN 2001; European Commission 2002 in Bowen and Riley 2003) Briguglio (2003; 2004) in Pelling and Uitto (2001) mulai mengembangkan beberapa indeks kerentanan ekonomi terkait dengan parameter-parameter sebagai berikut : 1. Ukuran kecil, yang dapat menghalangi wilayah memperoleh keuntungan ekonomi; 2. Keterbukaan ekonomi, yang berarti ketiadaan kendali untuk mengatur secara menyeluruh; 3. Kegiatan ekspor terbatas pada produk tertentu; 4. Ketergantungan pada produk impor, terutama bahan baku dan energi; 34 5. Terkait dengan wilayah yang kecil dan terpencil, menjadikan biaya-biaya transportasi yang tinggi; 6. Ekos istem yang rentan, dan diperburuk o leh gejala alam yang ada. 2.7.3 Kerentanan Fisik BPPT (2009), Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan suatu kondisi fisik yang rawan terhadap faktor bahaya tertentu. Kondisi kerentanan ini dapat dilihat dari berbagai indikator sebagai berikut : persentase kawasan terbangun, kepadatan bangunan, persentase bangunan konstruksi darurat dan sebagainya. Wilayah permukiman di Indonesia dapat dikatakan berada pada kondisi yang sangat rentan karena persentase kawasan terbangun, kepadatan bangunan dan bangunan konstruksi darurat di perkotaan sangat tinggi sehingga apabila terjadi suatu bencana maka kerugiannya sangat besar. Selain itu, bentuk kerentanan fisik yang dimiliki masyaraka t berupa da ya tahan menghadapi ba haya tertentu. Sebagai contoh adalah kekuatan bangunan rumah bagi masyarakat yang berada di daerah rawan gempa, adanya tanggul pengaman banjir bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dan sebagainya. BAPENAS (2006), kerentanan fisik bersifat spesifik tergantung jenis bencana. Indikator kerentanan fisik untuk masing- masing jenis hazard menggunakan indikator yang spesifik, seba gai contoh penggunaan indikator tsunami code untuk tsunami, indikator building code untuk gempa bumi, indikator penduduk yang tinggal di area yang tidak aman untuk ancaman letusan gunung api. Secara umum wilayah Indonesia memiliki kerentanan fisik yang tinggi karena pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana yang ada belum memenuhi prasyarat yang dibutuhka n wilayah yang memiliki potensi ancaman yang tinggi seperti Indonesia. 2.7.4 Kerentanan Sos ial Kerentanan sosial menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan terhadap keselamatan jiwa/ kesehatan penduduk apabila ada bahaya dengan indikator 35 kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, pe rsentase pe nduduk usia tuabalita, tingkat pengangguran, tekanan ekonomi dan penduduk wanita. BPPT (2009), Kerentanan sosial menggambarkan kondisi tingkat kerapuhan sosial dalam menghadapi bahaya. Pada kondisi sosial yang rentan maka jika terjadi bencana dapat dipastikan akan menimbulkan dampak kerugian yang besar. Beberapa indikator kerentanan sosial antara lain kepadatan penduduk, laju pertumbuhan pe nduduk, pe rsentase pe nduduk us ia tua-ba lita da n pe nduduk wanita. Kota-kota di Indonesia memiliki kerentanan sosial yang tinggi karena memiliki persentase yang tinggi pada indikator- indikator tersebut. Sebagai contoh adalah semakin besar persentase kelompok rentan bencana pada suatu daerah maka diasumsikan tingkat kerentanan daerah tersebut semakin tinggi. Kelompok rentan be ncana ada lah anggota masyarakat yang membutuhka n ba ntuan karena keadaan yang di sandangnya di antaranya masyarakat lanjut usia, penyandang cacat, anak-anak serta ibu hamil dan menyusui. Kondisi kecacatan menyebabkan hak pe nyanda ng cacat untuk tumbuh kembang dan berkreasi tidak dapat terpenuhi. Korban bencana sosial adalah mereka yang menjadi pihak yang dirugikan oleh kejadian bencana sosial yang diakibatkan ulah manusia antara lain karena disparitas ekonomi, diskriminasi, ketidakadilan, kelalaian, ketidaktahuan, maupun sempitnya wawasan dari sekelompok masyarakat. Mereka yang tergolong sebagai korban bencana sosial adalah mereka yang menjadi korban konflik, kerusuhan sosial, kekerasan dan perilaku yang tidak adil (Villagran 2006). Masalah kerentanan sosial yang dialami masyarakat akan bertambah berat karena pada saat yang bersamaan pemerintah juga mengalami serangkaian tantangan yang harus diperhatikan dengan baik agar tidak membebani di ke mudian hari seperti ke cenderungan peruba han struktur demografi, kecenderungan urbanisasi dan kecenderungan kenaikan jumlah penduduk miskin (BPPT 2009). 36 2.7.5 Kerentanan Ekonomi Adrianto and Matsuda (2002), pulau-pulau kecil memiliki peluang ekonomi yang terbatas khususnya soal skala ekonomi (economics of scale). Agar kegiatan ekonomi di pulau-pulau kecil mendapatkan skalanya yang sesuai maka pengembangan sektor perdagangan menjadi diperlukan, walaupun tergantung pula kepada infrastruktur yang ada di pulau-pulau kecil tersebut. Adapun kegiatan ekonomi yang memungkinkan untuk dilakukan di pulau-pulau kecil adalah kegiatan ekonomi yang terspesialisasi sesuai dengan sumberdaya yang tersedia. Dalam beberapa hal, specialized economy seperti yang terjadi untuk pulaupulau kecil berdampak positif, khususnya yang terkait dengan konsep skala ekonomi. Dengan keanekaragaman spesialisasi ekonomi dari sebuah pulau kecil, maka semakin meningkat pula tingkat ketahanan ekonomi dari pulau tersebut dari faktor eksternal sepanjang pengelolaan kegiatan ekonomi tersebut memperhitungkan tingkat daya dukung pulau secara umum (Hein, 1990 in Adrianto, 2004). Menurut Briguglio (1995) in Adrianto (2004), ada beberapa hal yang menjadi ciri keterbatasan ekonomi wilayah pulau-pulau kecil terkait dengan ukuran fisik (smallness), yaitu: 1. Terbatasnya sumberdaya alam dan ketergantungan terhadap komponen impor yang tinggi. 2. Terbatasnya substitusi impor bagi ekonomi pulau. 3. Kecilnya pasar domestik dan ketergantungan terhadap ekspor untuk menggerakkan ekonomi pulau. 4. Ketergantungan terhadap p rod uk-produk dengan tingkat spesialisasi tinggi. 5. Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal. 6. Terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi. 7. Terbatasnya kompetisi lokal. 8. Persoalan yang terkait dengan administrasi publik. Briguglio (1995) mengungkapkan bahwa karakteristik penting lain dari pulau-pulau kecil yang terkait dengan pengembangan ekonomi wilayah adalah tingkat insularitas. Pulau-pulau kecil memiliki tingkat insularitas yang tinggi karena sebagian besar jauh dari daratan induknya. Persoalan eko nomi pulau-pulau 37 kecil yang terkait dengan karakteristik insularitas ini terutama yang terkait dengan persoalan transportasi dan komunikasi, lingkungan ekonomi yang cenderung monopolistik, melimpahnya sumberdaya kelautan dan dominasi sektor jasa. Adapun karakteristik pulau-pulau kecil yang dilihat dari sifat insularitas seperti yang dikemukakan oleh Briguglio (1995), yaitu: 1. Biaya transportasi per unit produk. 2. Ketidakpastian suplai. 3. Volume stok yang besar. 4. Ketergantungan terhadap p rod uk-produk dengan tingkat spesialisasi tinggi. 5. Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal. 6. Terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi. 7. Terbatasnya kompetisi lokal. 8. Persoalan yang terkait dengan administrasi publik. BPPT (2009), kerentanan ekonomi menggambarkan suatu kondisi tingkat kerapuhan ekonomi dalam menghadapi ancaman bahaya. Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyaraka t sangat menentuka n tingka t kerentanan terhadap ancaman bahaya. Beberapa indikator kerentanan ekonomi diantaranya adalah persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (sektor yang rawan terhadap pemutusan hubungan kerja) dan persentase rumah tangga miskin. Sebagai contoh adalah masyarakat atau daerah yang miskin atau kurang mampu lebih rentan terhadap ba haya, ka rena tidak mempunyai kemampuan finansial yang memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana. Penduduk miskin ada lah pe nduduk yang pe ndapa tannya di ba wah garis kemiskinan. Pada tahun 2005, garis kemiskinan ditentukan oleh dua kelompok besar yaitu garis kemiskinan berkaitan dengan makanan (GKM) berupa pemenuhan kebutuhan 2.100 kalori per kapita per hari sebesar Rp 91.072,- dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) berupa paket komoditi kebutuhan dasar yang ditetapkan sebesar Rp 38.036,-. Beban pe nduduk miskin yang berkeluarga lebih besar daripada yang belum berkeluarga mengingat besarnya jumlah dan banyaknya macam kebutuhan anggota keluarga yang masih harus ditanggung. Dari penduduk miskin terdapat kelompok masyarakat fakir miskin, 38 yaitu mereka yang be nar-benar berada di kelompok terbawah yang sangat membutuhkan uluran tangan pemerintah (BPS 2005). Kerentanan ekonomi yang digunakan dalam penghitungan indeks kerentanan pada setiap jenis hazard relatif sama dengan indikator utama di antaranya, pendapatan asli daerah, laju pe rtumbuhan eko nomi da n densitas populasi. Kerentanan sosial ekonomi penduduk terhadap bencana meliputi aspek ekonomi (laju pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, PDRB) dan aspek sosial (kependudukan seperti densitas dan jumlah penduduk, pendidikan, kesehatan, kemiskinan, tenaga kerja). Peta kerentanan sosial ekonomi wilayah Indonesia menunjukkan bahwa komponen densitas pe nduduk da n laju pertumbuhan ekonomi menjadi indikator penentu kerentanan wilayah (BPPT 2009). 2.7.6 Kerentanan Lingk ungan BPPT (2009), lingkungan hidup suatu masyarakat sangat mempengaruhi kerentanan. Konsentrasi penduduk yang tidak merata, sebagian tinggal di daerah yang rawan terhadap bahaya, seperti di lereng gunung api, dataran sungai yang rawan terhadap banjir, lereng- lereng perbukitan yang berpotensi terhadap bencana tanah longsor, zona pa tahan aktif yang berpo tensi terhadap gempa bumi dan sebagainya. Bencana yang terjadi di Indonesia sering kali menimbulkan dampak korban yang sangat besar mengingat bahwa daerah rawan bencana masih banyak yang dihuni oleh penduduk karena keterbatasan tempat atau karena daerah tersebut subur untuk kehidupannya. Sebagai contoh adalah masyarakat yang tinggal di daerah yang kering dan sulit air akan selalu terancam bahaya kekeringan. Penduduk yang tinggal di lereng bukit atau pegunung an rentan terhadap a ncaman be ncana tanah longsor da n seba gainya. Kerentanan merupakan gambaran dari faktor fisis, sosial, ekonomi dan lingkungan yang dibentuk dari perilaku, kebiasaan, budaya, sosial ekonomi suatu wilayah yang dikaji dan saling berinteraksi satu sama lain. Berdasarkan definisi ISDR (2004), kerentanan dikelompokkan menjadi 4 faktor yaitu : 39 a. Fisik Faktor kerentanan fisikal pada umumnya merujuk pada perhatian serta kelemahan atau kekurangan pada lokasi serta lingkungan terbangun. Hal ini dapat diartikan sebagai wilayah terbuka (exposure) atau tempat yang sangat rentan terke na ba haya (placed in harm’s way). Kerentanan fisik dapat ditunjukkan oleh misalnya tingkat kepadatan penduduk, permukiman terpencil, lokasi, desain serta material yang dipergunakan untuk infrastruktur dan perumahan, kondisi geomorfologi area terbangun serta elemen fisis lainnya. b. Sos ial Elemen yang berkaitan dengan faktor kerentanan sosial adalah yang berhubungan dengan kehidupan individu, komunitas dan masyarakat pada umumnya. Hal tersebut termasuk aspek yang berkaitan dengan tingkat melek huruf dan pendidikan, jaminan keamanan dan ketenangan, jaminan hak asasi manusia, sistem pemerintahan yang baik, persamaan sosial, nilai sosial pos itif, ideologi dan lain- lain. Selain itu isu gender, kelompok usia, akses ke fasilitas kesehatan juga merupakan elemen kerentanan sosial. Fasilitas fisik dalam komunitas, seperti keterbatasan infrastruktur dasar, misalnya sediaan air bersih dan sanitasi, fasilitas kesehatan, hal tersebut juga dapat meningkatkan kerentanan sosial. Kearifan lokal serta kebiasaan atau tradisi dapat menjadi bagian untuk meningkatkan kapabilitas sosial. c. Ekonomi Tingkat kerentanan ekonomi sangatlah bergantung pada status ekonomi dari masyarakat, komunitas serta tingkat diatasnya. Selain itu jumlah kaum miskin, komposisi jumlah perempuan yang tidak berimbang dan para manula juga akan meningkatkan kerentanan ekonomi, karena kelompok ini dianggap paling rentan apabila terjadi bencana, karena pada umumnya kelompok ini memiliki keterbatasan kemampuan dalam upaya recovery akibat bencana. Kerentanan ekonomi juga bergantung pada kondisi cadangan ekonomi dari masyarakat, komunitas atau level diatasnya, akses pada pendanaan, pinjaman dan asuransi. Eko nomi yang lemah pada umumnya akan meningkatkan tingkat kerentanan ekonomi. Selain itu keterbatasan akses terhadap Infrasturktur pendukung 40 perekonomian seperti akses jalan, perbankan, pasar juga berpengaruh pada tingkat kerentanan ekonomi. d. Lingkungan (Ekologi) Aspek kunci dari kerentanan lingkungan termasuk didalamnya peningkatan penurunan sumberdaya alam serta status degradasi sumberdaya. Dengan kata lain kekurangan da ri resilience dalam sistim ekologi serta terbuka terhadap zat beracun serta polutan berbahaya, merupakan elemen penting dalam membentuk kerentanan lingk ungan. Dengan meningkatnya kerentanan lingkungan seperti berkurangnya biodiversity, penurunan mutu tanah atau ke langkaan air bersih akan dengan mudahnya mengancam jaminan terpenuhinya kebutuhan pangan bagi masyarakat yang bergantung pada produksi lahan, hutan serta lingkungan laut untuk mata pencahariannya. Lingkungan yang terpolusi juga meningkatkan ancaman resiko kesehatan. Beberapa indikator kerentanan fisik, ekonomi, sosial dan lingkungan tersebut di atas menunjukkan bahwa wilayah Indonesia memiliki tingkat kerentanan yang tinggi, sehingga hal ini mempengaruhi/ menyebabkan tingginya risiko terjadinya be ncana di wilayah Indo nesia. Kondisi tersebut menunjukkan masih lemahnya upaya pengurangan risiko bencana baik melalui peningkatan ketangguhan masyarakat terhadap ancaman bahaya atau pengurangan kerentanan fisik, sos ial, ekonomi dan lingkungan masyarakat. Kejadian bencana alam terjadi pada waktu yang tidak dapat diprediksi sebelumnya dan seringkali diluar kekuasaan manusia untuk menolaknya. Bencana alam yang kerap menimpa penduduk di berbagai lokasi berbeda adalah : banjir, gempa bumi, kekeringan, tanah longsor, kebakaran hutan dan angin topan. Kejadian bencana alam ini tentu saja menyebabkan penduduk yang menjadi korban memerlukan pertolongan segera dan tidak dapat ditunda (BPPT 2009). 2.7.7 Adaptas i Kerentanan Moran (1982) in Gunawan (2008) mendefinisikan adaptasi sebagai suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon terhadap perubahan-perubahan ekologi, sosial dan lingkungannya. 41 Dalam kajian adaptabilitas manusia terhadap lingkungan, ekos istem adalah keseluruhan situasi dimana adaptabilitas berlangs ung/ terjadi. Suatu populasi di suatu ekosistem tertentu menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan dengan cara-cara yang spesifik. Ketika suatu populasi/ masyarakat mulai menyesuaikan diri terhadap suatu lingkungan yang baru, suatu proses perubahan akan dimulai dan mungkin membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menyesuaikan diri. Adaptasi yang dilakukan manusia terhadap lingkungan menunjukkan adanya interrelasi antara manusia dan lingk ungan. Usaha-usaha adaptasi dapat berfokus pada respon terhadap berbagai dampak spesifik (misalnya peningkatan suhu) dan/ atau pengurangan kerentanan dengan menangani penyebabnya. Adaptasi yang dilakukan manusia terhadap lingkungan menunjukkan adanya interrelasi antara manusia dan lingkungan. Dalam konteks ini, pendekatan human ecology menekankan/ menunjukan adanya hubungan saling terkait (interplay) antara lingk ungan fisik dan sistem-sistem sosial/ buda ya. Dalam mode l sistem human ecology, terdapat keterkaitan antara sistem sosial (masyarakat/ buda ya) da n sistem eko logi yang mencakup perpindahan energi, materi dan informasi dari satu sistem ke sistem lain dan di antara komponen dari masingmasing sistem. Dalam hubungan yang saling terkait ini, perubahan pada satu komponen akan menyebabkan perubahan pada komponen lain dan sebaliknya (Rambo 1984). Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam interaksinya dengan lingkungan sekitar, manusia menggunakan kebudayaan. Dalam berbagai disiplin ilmu sosial, khususnya antropologi, kebudayaan didefinisikan secara beragam, tergantung dari perspektif yang digunakan. Namun demikian, secara keseluruhan terdapat beberapa perspektif dalam melihat kebudayaan, misalnya kebudayaan dilihat sebagai sistem yang saling berkaitan secara fungsional, sebagai sistem simbol, sebagai sistem kognitif, atau sebagai sistem adaptif. Dalam konteks interaksi dengan lingkungan, perspektif yang tampaknya sesuai untuk dipakai dalam mengartikan kebudayaan adalah perspektif yang melihat kebudayaan sebagai sistem adaptif (culture as adaptive system). Dalam perspektif ini, kebudayaan (budaya) didefinisikan/ diartikan sebagai ekspresi adaptasi manusia terhadap setting lingkungannya. 42 Keterkaitan sistem sebagai parameter kunci dalam mengamati kerentanan. Teor i sistem kompleks menggambarkan sistem sebagai sesuatu yang tidak deterministik, tidak dapat diprediksi dan tidak mekanistik, tetapi sebagai proses ketergantungan organik dengan umpan balik dari berbagai skala yang memungkinkan sistem tersebut untuk mengorganisir diri sendiri (Holland 1995; Levin 1998). Studi komplek adaptif sistem berupaya menjelaskan bagaimana struktur dan pola interaksi yang kompleks dapat muncul dari ketidakteraturan menuju ka ida h sederhana yang mengarahka n peruba han. Menurut Levin (1998) elemen esensialnya ialah : menjaga diversitas dan individualitas komponen, lokalisasi interaksi komponen, proses otonom yang menyeleksi komponen berdasarkan hasil dari interaksi lokal, adanya bagian untuk replikasi atau pengayaan. Dengan demikian sistem kompleks adaptif terdiri dari koleksi agenagen individual yang heterogen yang berinteraksi secara lokal, dan berevolusi secara genetis, tingkah laku atau sebaran spasial berdasarkan hasil/ keluaran dari interaksi- interaksi tersebut. Holland (1995) mengidentifikasi empa t ha l dasar dari ko mpleks sistem kompleks adaptif yaitu : agregasi, non- linieritas, diversitas, dan aliran. Nonlinieritas menghasilkan path dependency, yang mengacu pada kaidah interaksi lokal yang berubah saat sistem berevolusi dan terbangun. Konsekuensi dari path dependency adalah adanya berbagai wadah bagi atraktor dalam pengembangan ekosistem dan potensi batas tingkah laku serta pergeseran kualitatif dinamika sistem dalam pengaruh perubahan lingkungan (Levin 1998). Kerentanan pulau-pulau kecil umumnya disebabkan karena dampak dari perubahan iklim yang menyebabka n pula ke mampuan adaptasi yang relatif terbatas, terutama karena sulitnya akses ke berbagai prasarana dan sarana pendukung. Adrianto (2004), secara ekonomis maupun ekologis pulau-pulau kecil rentan terhadap faktor eksternal sehingga dalam pengelolaannya harus berbasis keberlanjutan. Daya adaptasi terhadap perubahan iklim adalah kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan diri dari perubahan iklim (termasuk di dalamnya variabilitas iklim dan variabilitas ekstrem) dengan cara mengurangi kerusakan yang 43 ditimbulkan, mengambil manfaat atau mengatasi perubahan dengan segala akibatnya (Smith and Wandel 2006). Adaptasi terhadap perubahan iklim adalah salah satu cara pe nyesuaian yang dilakuka n secara spo ntan maupun terencana untuk memberikan reaksi terhadap perubahan iklim. Dengan demikian adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan strategi yang diperlukan pada semua skala untuk meringankan usaha mitigasi dampak (Murdiyarso 2001). Adaptasi terhadap perubahan iklim sangat potensial untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan meningkatkan dampak manfaat, sehingga tidak ada korban. Pengalaman menunjukan bahwa banyak strategi adaptasi dapat memberikan manfaat baik dalam penyelesaian jangka pendek dan maupun jangka panjang, namun masih ada keterbatasan dalam implementasi dan keefektifannya. Hal ini disebabkan daya adaptasi yang berbeda-beda berdasarkan daerah, ne gara, maupun kelompok sosial-ekonomi. Negara dengan sumberdaya ekonomi terbatas, tingkat teknologi renda h, informasi dan keahlian rendah, infrastruktur buruk, institusi lemah, ketidakadilan kekuasaan, kapasitas sumber daya terbatas adalah memiliki kemampuan adaptasi yang lemah dan rentan terhadap perubahan iklim. Berlaku hal yang seba liknya bagi Negara dengan sumberdaya ekonomi tinggi, tingkat teknologi tinggi, informasi dan keahlian tinggi, infrastruktur baik, institusi kuat, berkeadilan dalam kekuasaan, kapasitas sumberdaya melimpah (Gunawan 2008). 2.8 Pemetaa n Spas ial Perangkat yang digunaka n dalam pemetaan spasial adalah Sistem Informasi Geografis. Aronoff (1989) mengemukakan Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi- informasi geografis. Sistem ini dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan serta menganalisis obyek-obyek dan fenomenafenomena, dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting untuk dianalisis. SIG memiliki kemampuan untuk menguraikan fenomena di permukaan bumi ke dalam bentuk beberapa layer atau coverage data spasial. Dengan layer ini, permukaan bumi dapat ‘direkonstruksi’ kembali atau dimode lkan dalam 44 bentuk nyata tiga dimensi dengan menggunakan data ketinggian berikut layer tematik yang diperlukan. Untuk melakukan hal ini, SIG memiliki kemampuan untuk menggunakan data spasial maupun atribut secara terintegrasi, sehingga sistem ini dapat menjawab pertanyaan spasial dan non-spasial yang berkaitan dengan (1) lokasi, (2) kondisi, (3) kecenderungan, (4) pola dan (5) pemodelan. Sumber data yang diperlukan untuk proses dalam SIG secara umum dibedakan atas tiga kategori (Paryono 1994 and Sutrisno 1994) yaitu: 1. Data survei lapang (berupa data digital dan data atribut). 2. Data peta, merupakan informasi yang telah terekam pada peta, kertas, atau film yang telah dikonversikan dalam bentuk digital, dan bila telah terekam dalam bentuk peta maka tidak diperlukan lagi data lapang kecuali untuk keperluan ground check. 3. Data inderaja, berupa foto udara dan citra satelit. Secara kaidah, SIG harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) terdiri atas konsep dan data geografis yang berhubungan dengan distribusi spasial, (2) merupakan suatu informasi dari data yang di dapat, ide atau analisis, biasanya berhubungan dengan tujuan pengambilan keputusan, (3) suatu sistem yang terdiri dari komponen, masukan, proses dan keluaran, ketiga hal tersebut di atas difungsikan dalam skenario berdasarkan pada teknologi tinggi, (Hamid 2003). Secara lebih jelas ilustrasi proses pengolahan data dengan mengguakan SIG dapat dilihat pada Gambar 7. MAS UKAN (INPUT) Peta Tabel Survey Lapang Data Digital Data Indraja Analisis SIG S IS TEM INFORMAS I GEOGRAFIS PENGELO LAAN DATA BAS E Capture code Edit Peny impanan & Pencarian M anipulasi & Analisis Tampilan & Laporan KELUARAN (OUTPUT) Laporan tekstual Peta Produk Fotografi Statistik & Tabel Data untuk SIG lainny a Digital database KEBUTUHAN PENGGUNA (USER) Gambar 7. Diagram Sistem untuk Ilustrasi SIG (Meaden and Kapetsky 1991) 45 SIG pada pengelolaan wilayah pesisir dapat diaplikasikan untuk pengaturan tata ruang wilayah pengelolaan, antara lain ; untuk menduga wilayah potensi wisata, potensi perikanan da n wilayah pe ngemba ngan budida ya perikanan pesisir. Selain itu SIG juga dapat digunakan untuk melihat terjadinya berbagai perubahan penggunaan lahan di wilayah pesisir (Purwadhi 2001). Khusus untuk aplikasi SIG di bidang perikanan, Meade n and Kapetsky (1991) menjelaskan tentang penggunaan SIG di bidang tersebut antara lain: (1) perencanaan untuk zonasi sumberdaya air, (2) pemetaan zonasi spesies biota air, (c) pengaruh lingkungan terhadap produksi ikan secara intensif dan (4) identifikasi daerah pusat dimana inovasi kegiatan perikanan kemungkinan akan menyebar. Terkait dengan kerentanan pulau-pulau kecil, pemetaan spasial akan memberikan informasi data spasial tentang kondisi eksisting maupun kondisi yang telah lampau dari kawasan pulau kecil, sehingga dari data ini dapat diprediksi tingkat kerentanan pulau dan variabel yang mempengaruhi kerentanan suatu kawasan (Basir et al. 2010). 2.9 Pemanfaa tan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Keragaman hayati, sumberdaya perikanan dan nilai estetika yang tinggi merupakan nilai lebih ekos istem pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil memiliki ekosistem dengan produktifitas hayati tinggi seperti terumbu karang, padang lamun (seagrass), rumput laut (sea weed) da n hutan baka u (mangrove) ditemuka n. Selain itu, pulau-pulau kecil juga memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya dan sekaligus sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan (Pratikto 2005). Adrianto (2004), wilayah pulau-pulau kecil dapat dibagi menjadi beberapa sub wilayah dalam perspektif ekos istem wilayah pesisir, yaitu (1) wilayah perairan lepas pantai (coastal offshore zone), (2) wilayah pantai (beach zone), (3) wilayah dataran rendah peisisir (coastal lowland zone), (4) wilayah pesisir pedalaman (inland zone). Potensi pemanfaatan dan permasalahan yang terjadi di masing- masing sub wilayah disajikan pada Tabel 3. 46 Tabel 3 Potensi Sumberdaya, Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil da n Ide ntifikasi Permasalahan di Sub-wilayah Pesisir Pulau-Pulau Kecil No Sub-Wilayah Potensi Sumberdaya dan Pemanfaatan Lepas • Sumberdaya Perikanan • Wisata Bahari • Navigasi • Pembuangan Limbah Potensi Persoalan • Eksploitasi sumberdaya perikanan • Polusi • Kerusakan lingkunga n akibat proses pembangunan 2 Pantai • Ekstraksi Pasir • Kerusakan habitat pesisir akibat pembanguna n • Rekreasi fisik • Pemukiman • Degradasi perlindunga n • Reklamasi lahan alami banjir • Pembangunan • Konflik spasial Pelabuhan • Penurunan Kualitas lingkungan pesisir 3 Dataran Rendah • Habitat banyak spesies • Degradasi kawasan Pesisir habitat pesisir • Pembuangan limbah • Polusi • Reklamasi lahan 4 Pedalaman • Sumberdaya laha n • Konflik spasial Pesisir untuk industri, • Degradasi kualitas lahan perumahan • Penurunan kualitas • Rekreasi lingkungan • Infrastruktur da n kegiatan pembanguna n lainnya. Sumber : Debance (1999) in Adrianto (2004) 1 Perairan Pantai Barkes (1994), secara umum model- model pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (PPK) yang digunakan di beberapa wilayah pesisir yaitu mod el top-down (inisiasi dan kontrol di pihak pemerintah) atau sentralistik, bottom-up (inisiasi dan kontrol di pihak masyarakat pesisir) atau desentralistik, co-management (kemitraan antara dua pihak berkepentingan terhadap wilayah pulau-pulau kecil, misalnya antara masyarakat dan pemerintah) dan pengelolaan terpadu yang melibatkan unsur-unsur yang memiliki kepentingan terhadap sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil. Model pengelolaan wilayah pulau-pulau kecil top-down lebih cenderung digunakan pada negara berkembang karena kuatnya pemerintah dalam mengelola aset strategisnya. Model top-down 47 bertumpu pada format perencanaan, metode pelaksanaan dan manfaatnya di pusatkan ke pemerintah nasional dan pemerintah daerah melaksanakan program tersebut. Pemerintah nasional membagi rata manfaat pengelolaan sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil ke pemerintah daerah, walau daerah tidak memiliki wilayah pesisir. Kelemahan model top-down adalah minimnya muatan karakter lokal (kearifan lokal) di dalam pelaksanaanya sehingga seringkali berbenturan dengan realita dan masalah yang ada. Benturan tersebut berakibat terjadi dualisme pengelolaan yaitu pengelolaan berbasis masyarakat yang telah berlangsung sejak dulu dengan konsep top-down. Sedangkan hal positif model ini yaitu besarnya persediaan pendanaan dan efektifnya instrumen pengelolaan, seperti pengawasan dan penegakan hukum. Model bottom-up adalah model pengelolaan yang telah lama digunakan oleh sebagian besar masyarakat pulau-pulau kecil yang memiliki hak tradisional dan begitu kuat diakui. Saat sekarang model pengelolaan berbasis masyarakat ini masih ada, seperti sistem pengelolaan sasi, ondoapi, lebak bulung, panglima laot atau sistem ponggawa-sawi di Sulawesi Selatan. Kelemahan model bottom-up adalah mengenai pertanyaan tentang kesejahteraan masyarakat pulau-pulau kecil, instrumen yang tersedia makin sulit melakuka n pe negaka n hukum yang disepakati, legalitasnya masih sulit dipenuhi landasannya, hanya sedikit masyarakat yang memahami prinsip pengelolaan mode l ini. Kelebihan mode l ini adalah dibe ntuk oleh masyarakat pulau-pulau kecil sendiri dimana pelaksanaannya berdasarkan sistem norma, kepatuhan dan loyalitas (Pratikto 2005). Model pengelolaan Co-management yang berpola kemitraan, menganggap masyarakat pulau-pulau kecil dan pemerintah memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sama tentang sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil. Model ini menitikberatkan bahwa masyarakat harus berkelompok sehingga koordinasi, pemilihan prioritas dan pengambilan keputusan lebih akomodatif dalam meminimalkan bias dalam pencapaian tujuan. Proses dalam mode l ini biasa lebih menyita banyak waktu untuk tawar- menawar antara pihak pemerintah dan 48 kelompok tentang hal- hal penting yang akan disepakati, sehingga kedua pihak ini seringkali sulit disinergikan (Pratikto 2005). Model yang terakhir adalah model pengelolaan terpadu. Model ini adalah suatu mekanisme dimana setiap elemen mempunyai peran yang saling mendukung agar terlaksananya tujuan pengelolaan. Multi disiplin ilmu bersinergis dalam suatu wadah tim kerja (teamwork) sehingga alokasi waktu untuk menciptakan kesamaan persepsi, prinsip dan tujuan nampak lebih lama. Mode l terintegrasi (terpadu) ini memerlukan dukungan kelembagaan, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat pesisir itu sendiri, disamping validasi daya dukung sumberdaya bagi terselenggaranya tujuan ini. Pulau-pulau di lokasi penelitian lebih baik dikelola dengan model pengelolaan terpadu ini. 2.10 Pendekatan Sistem dalam Penge lolaa n Pulau-Pulau Kecil 2.10.1 Batasan Sistem Sistem didefinisikan sebagai sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan dan merupakan satu keseluruhan (Amirin 1992). Lebih lanjut sistem didefinisikan beberapa literatur sebagai berikut : (1) Sistem adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan (Muhammadi et al. 2001), (2) Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan (Manetsch and Park 1979 in Eriyatno 1998), (3) Sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks (Marimin 2007). Simatupang (1995), mengemukakan bahwa ada lima unsur utama yang terdapat dalam sistem yaitu (1) elemen-elemen atau bagian-bagian, (2) adanya interaksi atau hubungan antar elemen-elemen atau bagian-bagian, (3) adanya sesuatu yang mengik at elemen-elemen atau bagian-bagian tersebut menjadi suatu kesatuan, (4) terdapat tujuan bersama sebagai hasil akhir, (5) berada dalam suatu lingkungan yang kompleks. 49 Marimin (2007), mengemukakan sifat-sifat dasar dari suatu sistem yaitu (1) Pencapaian tujuan, orientasi pencapaian tujuan akan memberikan sifat dinamis kepada sistem, memberi ciri perubahan yang terus menerus dalam usaha mencapai tujuan, (2) Kesatuan usaha, mencerminka n suatu sifat dasar dari sistem dimana hasil keseluruhan melebihi dari jumlah bagian-bagiannya atau sering disebut konsep sinergi, (3) Keterbukaan terhadap lingkungan, lingkungan merupakan sumber kesempatan maupun hamba tan pe ngemba ngan. Keterbukaan terhadap lingk ungan membuat penilaian terhadap suatu sistem menjadi relatif atau yang dinamakan equifinality atau pe ncapa ian tujuan suatu sistem tidak mutlak harus dilakuka n de ngan satu cara terba ik. Tetapi pe ncapa ian tujuan suatu sistem dapat dilakukan melalui berbagai cara sesuai dengan tantangan lingkungan yang dihadapi, (4) Transformasi, merupakan proses perubahan input menjadi output yang dilakuka n oleh sistem, (5) Hubungan antar bagian, kaitan antara subsistem inilah yang akan memberikan analisa sistem suatu dasar pemahaman yang lebih luas, (6) Sistem ada berbagai macam, antara lain sistem terbuka, sistem tertutup dan sistem dengan umpan balik, (7) Mekanisme pengendalian, mekanisme ini menyangkut sistem umpan balik yang merupakan suatu bagian yang memberi informasi kepada sistem mengenai efek dari perilaku sistem terhadap pencapaian tujuan atau pe mecahan persoa lan yang dihadapi. Simatupang (1995), mengemukakan bahwa suatu sistem nyata dalam bahasa formal tertentu dibuat dalam pemodelan sebagai suatu proses membangun atau membentuk sistem yang dimaksud, yang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu (1) tata nilai yang diyakini/ dianut oleh pemodel, (2) ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh pemodel, dan (3) pengalaman hidup dari pemodel. 2.10.2 Pendekatan Sistem Pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan analisa organisasi yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisa. Pada dasarnya pendekatan sistem adalah penerapan dari sistem ilmiah dalam manajemen. Terdapat dua hal umum yang menandai pendekatan sistem, yaitu (1) dalam semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk 50 menyelesaikan masalah ; dan (2) dibuat suatu mode l kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional. Suatu pendekatan sistem mempunyai delapan unsur yang meliputi : metodo logi untuk pe rencanaan da n pengelolaan, suatu tim yang multidisipliner, pengorganisasian, disiplin untuk bida ng yang non kuantitatif, teknik model matematik, teknik simulasi, teknik optimasi dan aplikasi komputer (Marimin 2007). Simatupang (1995), mengemukakan bahwa hal yang perlu diperhatikan dalam memecahkan atau menganalisis masalah dengan pendekatan sistem adalah : a. Melihat masalah sebagai suatu sistem. Dalam konteks penelitian ini, pulau kecil dipandang sebagai sebuah sistem. b. Mengenali sistem lingkungan. c. Identifikasi subsistem yang ada pada sistem. d. Analisis bagian-bagian sistem secara berurutan, dengan cara (1) evaluasi tujuan, (2) membandingkan keluaran (output) dengan tujuan, (3) mengevaluasi manajemen, melalui: (a) evaluasi performansi (hasil kerja), (b) evaluasi kebutuhan, (c) evaluasi percobaan (experiment) yang pernah dilakukan, (d) tingkat pe ncapa ian tujuan yang hendak dicapai, (e) waktu yang tersedia,(4) mengevaluasi sistem pengolah informasi, dengan (a) menentukan informasiinformasi yang akan dibutuhkan, (b) mendesain sistem informasi sesuai dengan yang dibutuhka n, (5) Mengevaluasi sumberdaya meliputi : (a) evaluasi sumberdaya yang ada (mesin, manusia, material, uang, energi dan sebagainya), (b) evaluasi sumberdaya yang dibutuhkan, (c) evaluasi dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif, (6) mengevaluasi proses transformasi dengan cara (a) mengevaluasi proses pendayagunaan sumberdaya, (b) proses transformasi diarahkan menuju tercapainya efektivitas dan efisiensi yang cukup tinggi. Marimin (2007), metode untuk penyelesaian persoalan yang dilakukan melalui pendekatan sistem terdiri dari tahapan proses. Tahapan tersebut meliputi analisa, rekayasa model, implementasi rancangan, implementasi dan operasi sistem tersebut. Metodo logi sistem pada prinsipnya melalui enam tahap analisa yang meliputi analisa kebutuhan, identifikasi sistem, formulasi permasalahan, 51 pembentukan alternatif sistem, determinasi dari realisasi fisik, sosial politik dan penentuan ke layaka n eko nomi da n ke uangan. Permodelan sistem merupakan salah satu metode analisis dalam pemecahan suatu masalah dengan mengabstraksikan dari suatu objek pada situasi yang aktual ke dalam ko nsep da n stukturisasi mode l. Tahapan dalam membangun model simulasi komputer menurut Djojomartono (1993 ) adalah : 1. Identifikasi dan defenisi sistem. Tahap ini mencakup pemikiran, definisi, karakteristik yang bersifat dinamik atau stokastik dari masalah yang dihadapi dan memerlukan pemecahan dan mengapa perlu dilakukan pendekatan sistem terhadap masalah tersebut. Batasan dari pe rmasalahannya juga harus dibuat untuk menentuka n ruang lingk up sistem; 2. Konseptualisasi sistem. Tahap ini mencakup pa nda ngan yang lebih da lam lagi terhadap struktur sistem dan mengetahui dengan jelas pengaruh-pengaruh penting yang akan beroperasi di dalam sistem. Struktur dan kuantitatif dari model digabungkan bersama, sehingga akhirnya kedua-duanya akan mempengaruhi efektivitas model; 3. Formulasi model. Tahap ini biasanya model dibuat dalam bentuk kode-kode yang dapat dimasukkan ke dalam komputer. Penentuan akan bahasa komputer yang tepat merupakan bagian pokok pada tahap formulasi model; 4. Simulasi mode l. Tahap simulasi komputer digunakan untuk menyatakan dan menentukan bagaimana semua peubah dalam sistem berperilaku terhadap waktu. Tahapan ini perlu menetapka n periode waktu simulasi; 5. Evaluasi model. Berba gai uji dilakuka n terhadap mode l yang telah dibangun untuk mengevaluasi keabsahan dan mutunya. Uji berkisar memeriksa konsistensi logis, membandingkan keluaran model dengan data pengamatan atau lebih jauh menguji secara statistik parameter-parameter yang digunakan dalam simulasi. Analisis sensitivitas dapat dilakukan setelah mode l divalidasi; 52 6. Penggunaan model dan analisis kebijakan. Tahap ini mencakup aplikasi mode l dan mengevaluasi alternatif yang memungkinkan dapat dilaksanaka n. Pemodelan sistem dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terkait dengan kerentanan, memasukka n faktor-faktor fungsi dari kerentanan (fisik) yang terdiri dari exposure, sensitivity dan adaptif capacity (Gambar 8) yang akan dioverlay dengan faktor sosial ekonomi dan kondisi eksisting pulau-pulau kajian. Gambar 8. Sistem Kerentanan di Pulau-Pulau Kecil (Adopsi : Kasperson 1998 in Adrianto 2010). 2.11 Penelitian Terdahulu Kajian kerentanan ba nyak dilakukan denga n mengacu pada ko nsep kerentanan Environmental Vulnerability Index (kaly et al. 2004). Berdasarkan penelitian terdahulu, kajian kerentanan lebih menitikberatkan pada faktor fisis 53 berupa kenaikan muka laut yang dititikberatkan pada faktor pemanasan global. Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini pada Tabel 4. Tabel 4 State of the Art dan Tinjauan Penelitian Terdahulu No Peneliti Pendekatan Penelitian Isu dan Permasalahan Analisis Tinjauan Studi 1. Adrianto 2004 Ekologi, Ekonomi Deskriptif Analisis ekologi, analisis ekonomi, analisis sosial, composit data kerentanan Melihat kerentanan gugusan pulau kecil berdasarkan faktor fisis dan sosial. 2. Agus Supangat 2009 Ekologi, Ekonomi Deskripsi Analisis fisis, analisis ekonomi 3. Kurniadi 2009 Ekologi Deskripsi Analisis fisis Menghitung dampak ekonomis kenaikan muka air laut. Menghitung kerentanan pulau-pulau kecil berdasarkan naiknya paras muka air laut 4. Dewayany Sutrisno 2009 Ekologi Deskripsi Analisis Fisik 5. Kosasih Prijatna dkk 2009 Ekologi Deskripsi Analisis SIG 6. Radjawane dkk 2009 Ekologi, sosial Deskripsi Analisis SIG 7. Hananto Kurnio 2009 Ekologi Deskripsi Analisis Fisis 8. Budhi Gunawan 2009 Sosial Deskripsi Analisis sosial Mengkaji tingkat adaptasi masyarakat terhadap kenaikan muka laut 9. Abdul Rahman 2010 Ekologi, Ekonomi, Sosial Deskripsi Analisis SIG, analisis ekonomi, analisis fisis, analisis sosial Memetakan kerentanan pulau-pulau kecil berdasarkan faktor ekologi, faktor sosial, faktor ekonomi 10. Amiruddin Tahir 2010 Ekologi, sosial Deskripsi Analisis SIG, analisis fisis Menghitung kerentanan pulau-pulau kecil berdasarkan faktor fisis pantai. 11. Mutmainnah 2011 Ekologi, sosial, ekonomi Deskripsi Analisis SIG, analisis fisis, analisis ekologi, analisis sosial Memetakan kerentanan pulau-pulau kecil berdasarkan kondisi fisis dan kesesuaian lahan serta menghitung daya dukung pulau. Membuat model kerentanan pulau-pulau kecil terhadap kenaikan muka laut Menyusun peta kerentanan pulau-pulau kecil dan kawasan pesisir dari kenaikan muka laut di Indonesia Mengidentifikasi kerentanan pesisir terhadap kenaikan muka laut Penerapan CVI pada beberapa wilayah pesisir.