Pulau-pulau kecil

advertisement
9
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi dan Batas an Pulau-Pulau Kecil (PPK)
Pulau-pulau kecil (PPK) didefinisikan sebagai pulau dengan luas lebih kecil
atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan
ekosistemnya (Undang- undang RI No. 27 Tahun 2007). Konvensi PBB tentang
Hukum Laut Internasional tahun 1982 (UNCLOS 1982) pasal 121 mendefinisikan
pulau seba gai da ratan yang terbe ntuk secara alami dan dikelilingi oleh air dan
selalu berada di atas permukaan air pada saat pasang naik tertinggi. Dengan kata
lain, sebuah pulau tidak boleh tenggelam pada saat air pasang naik. Implikasinya,
ada empat syarat yang harus dipenuhi agar dapat disebut sebagai pulau, yakni (1)
memiliki lahan daratan, (2) terbentuk secara alami, bukan lahan reklamasi, (3)
dikelilingi oleh air, baik air asin (laut) maupun tawar, (4) selalu berada di atas
garis pasang tinggi. Alternatif batasan pulau kecil dikemukakan pada pertemuan
CSC (1984) yang menetapkan pulau kecil adalah pulau dengan luas area
maksimum 5.000 km2 . Selanjutnya berlandaskan pada kepentingan hidrologi
(ketersediaan air tawar), ditetapkan batasan pulau kecil sebagai pulau dengan
ukuran kurang dari 1.000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km. Namun batasan
ini mengalami perubahan UNESCO (1991) yang memberikan batasan sebagai
pulau dengan luas area kurang dari atau sama dengan 2.000 km2 (Bengen and
Retraubun 2006).
Dari segi luasnya, UNESCO (1994) menetapkan bahwa pulau-pulau yang
luasnya kurang dari 200 km2 tergolong pulau kecil, sedangkan yang luasnya
kurang dari 100 km2 tergolong pulau sangat kecil.
menyebutkan,
atas
muka
pulau kecil
air
pasang
adalah ruang
dari
perairan
daratan
yang
Definisi lainnya
yang berelevasi
mengelilinginya
di
dengan
luas kurang dari 100 km2 (BBPT-Proyek Pesisir USAID 1998).
Menurut pembentukannya, pulau kecil dapat terbagi menjadi dua tipe yaitu
pulau oseanik dan pulau kontinental. Pulau oseanik dapat digolongkan atas dua
kategori yaitu pulau vulkanis dan pulau karang (pulau datar). Umumnya pulaupulau kecil di Indonesia memiliki karakteristik biogeofisik yang tersendiri sebagai
10
berikut (Bengen 2004) : (1) terpisah dari habitat pulau induk (mainland island)
dan bersifat insulair, (2) memiliki sumberdaya air terbatas, baik air permukaan
maupun air tanah, dengan daerah tangkapan air yang relatif kecil atau sangat
terbatas sehingga sebagian aliran air permukaan dan sedimen akan diteruskan ke
laut, (3) rentan terhadap pengaruh dari luar, baik yang bersifat alami (badai dan
gelombang besar) maupun akibat kegiatan manusia (pengubahsuaian lahan,
pencemaran), (4) memiliki sejumlah spesies endemik yang bernilai ekologis
tinggi, (5) area perairan lebih luas daripada daratan, serta relatif terisolir, (6) tidak
memiliki hinterland yang jauh dari pantai
Terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan pulau
kecil, seperti yang dikemukakan Retraubun (2001) yaitu :
1. Secara Ekologis
• Habitat/ Ekos istem pulau kecil cenderung memiliki spesies endemik yang
tinggi dibandingkan proporsi ukuran pulaunya.
• Memiliki resiko lingkungan yang tinggi, misalnya akibat pencemaran dan
kerusakan akibat aktivitas transportasi laut dan aktivitas penangkapan ikan,
akibat bencana alam seperti gempa tsunami.
• Keterbatasan daya dukung lingkungan pulau (ketersediaan air tawar dan
tanaman pangan).
2. Secara Fisik
• Terpisah dari pulau besar
• Bentuk gugu san atau sendiri
• Tidak mampu mempengaruhi hidroklimat laut
• Luas pulau tidak lebih dari 10.000 km2
• Rentan terhadap perubahan alam dan atau manusia seperti bencana angin
badai, gelombang tsunami, letusan gunung berapi, fenomena kenaikan
permukaan air laut (sea level rise) dan penambangan
3. Secara Sosial – Budaya – Ekonomi
• Ada pulau yang berpenduduk dan tidak
• Penduduk asli mempunyai buda ya da n sosial eko nomi yang khas
11
• Kepadatan penduduk sangat renda h (1-2 orang per hektar)
• Ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar (pulau
induk, kontinen)
• Keterbatasan kualitas sumberdaya manusia
• Aksesibilitas (sarana, jarak, waktu) rendah atau maksimal satu kali sehari.
Jika aksesibilitasnya tinggi maka keunikan pulau lebih mudah terganggu.
2.2
Potensi Sumberdaya Hayati Pulau-pulau Kecil
2.2.1 Terumbu karang
Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan massif kalsium karbonat
(CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang
hermatipik) dari filum Cnidaria, Ordo Scleractinia yang hidup bersimbiose
dengan alga bersel satu Zooxanthellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur
serta organisme lain yang mensekresi kalsium karbonat.
Manfaat yang terkandung dalam terumbu karang sangat besar dan beragam.
Menurut Caesar (1996) jenis manfaat yang terkandung dalam terumbu karang
dapat diidentifikasi menjadi dua, yaitu manfaat langsung yaitu sebagai habitat
bagi sumberdaya ikan (tempat mencari makan, memijah dan asuhan), batu karang,
pariwisata, wahana penelitian dan pemanfaatan biota perairan lainnya dan manfaat
tidak langsung seperti fungsi terumbu karang sebagai penahan abrasi pantai,
keanekaragaman hayati dan lain sebagainya.
Terumbu karang dapat menjadi sumber devisa yang diperoleh dari penyelam
dan kegiatan wisata bahari lainnya. Bahkan dewasa ini berbagai jenis biota yang
hidup pada ekosistem terumbu karang ternyata banyak mengandung senyawa
bioaktif sebagai bahan obat-obatan, makanan dan kosmetika (Dahuri 2003).
Selain itu terumbu karang juga menjadi daya tarik tersendiri dan menjadi
perhatian bagi para ahli, mahasiswa, perusahaan farmasi sebagai obyek penelitian.
Ekosistem terumbu karang banyak menyumbangkan berbagai biota laut
seperti ikan, karang, moluska dan krustasea bagi masyarakat di kawasan pesisir,
dan bersama ekosistem pantai lainnya menyediakan makanan dan menjadi tempat
berpijah bagi berbagai jenis biota laut yang bernilai ekonomi tinggi.
12
Di kawasan pulau-pulau kecil, banyak dijumpai karang dari berbagai jenis
yang terdapat pada rataan terumbu tepi (fringing reef), sedangkan di kawasan
Indonesia bagian timur sering dijumpai terumbu karang dengan tipe terumbu
cincin (atoll).
2.2.2 Padang Lamun (Seagrass)
Lamun merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang
memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut.
Lamun mengko lonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah (propagule) yang
dihasilkan secara seksual (dioecious). Lamun umumnya membentuk padang
lamun yang luas di dasar laut yang masih dapa t dijangka u oleh cahaya matahari
untuk mendukung pertumbuhannya, biasanya hidup diperairan yang dangkal dan
jernih pada kedalaman berkisar antara 2-12 meter, dengan sirkulasi air yang baik.
Substrat lumpur-berpasir merupakan substrat yang paling disukai oleh lamun dan
berada diantara ekosistem mangrove dan terumbu karang (Koch and Gust 1999) .
Secara ekologis, padang lamun mempunyai beberapa fungsi penting bagi
wilayah pulau-pulau kecil yaitu sebagai produsen detritus dan zat hara, mengikat
sedimen dan menstabilkan substrat yang lunak dengan sistem perakaran yang
padat dan saling menyilang, sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh
besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa
dewasanya di lingkungan ini serta sebagai tudung pelindung yang melindungi
penghuni padang lamun dari sengatan matahari (Koc h and Gust 1999). Di
samping itu, padang lamun juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan
budidaya berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram, tempat rekreasi dan
sumber pupuk hijau.
Di kawasan pulau-pulau kecil banyak dijumpai lamun dari jenis Enhalus
dan Thalassia, karena di kawasan ini kandungan sedimen organiknya relatif
rendah da n dido minasi oleh substrat pa sir.
2.2.3 Hutan Mangrove
Hutan mangrove mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi
biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahan
13
abrasi, amukan angin, taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air
laut, dan lain sebagainya. Sedangkan secara ekonomis berfungsi sebagai penyedia
kayu, bahan baku obat-obatan dan lain- lain. Disamping itu, ekosistem hutan
mangrove juga memberikan manfaat tidak langsung, terutama sebagai habitat bagi
bermacam- macam binatang seperti binatang laut (udang, kepiting, dan beberapa
jenis ikan), dan binatang melata lainnya.
Di kawasan pulau-pulau kecil jenis mangrove yang banyak ditemukan
adalah jenis Avicennia, karena wilayah pulau-pulau kecil merupakan daerah yang
ketersediaan air tawarnya terbatas, pasokan sedimen (bahan or ganiknya) relatif
rendah da n memiliki substrat pa sir (Dahuri 2003).
2.2.4 Sumberdaya Perikanan
Secara ekologis, pulau-pulau kecil di daerah tropis dan sub-trop is
berasosiasi dengan terumbu karang. Dengan demikian di kawasan ini memiliki
spesies-spesies yang menggunakan karang sebagai habitatnya yaitu ikan ekonomis
penting seperti kerapu, napoleon, kima raksasa (Tridacna gigas), teripang dan
lain- lain sehingga komoditas seperti ini dapat dikatakan sebagai komoditas
spesifik pulau kecil. Ciri utama komoditas tersebut adalah memiliki sifat
penyebaran yang bergantung pada terumbu karang sehingga keberlanjutan
stoknya dipengaruhi oleh kesehatan karang.
2.3
Potensi Sumberdaya Nir Hayati
2.3.1 Pertambangan
Aktivitas pertambangan banyak dilakukan di negara-negara pulau kecil, di
dunia maupun di Indonesia pada propinsi-propinsi tertentu. Dalam pemanfaatan
potensi mineral di kawasan pulau-pulau kecil harus dilakukan dengan
perencanaan yang ketat dan dilakukan secara berkelanjutan sesuai peraturan
perundangan yang berlaku. Struktur batuan da n geologi pulau-pulau kecil di
Indonesia adalah struktur batuan tua yang diperkirakan mengandung deposit
bahan-bahan tambang/ mineral penting seperti emas, mangan, nikel dan lain- lain.
14
Beberapa aktivitas pertambangan baik pada tahap penyelidikan umum,
eksplorasi maupun eksploitasi di pulau-pulau kecil antara lain ; timah di Pulau
Kundur, Pulau Karimun (Riau); nikel di Pulau Gag (Papua), Pulau Gebe (Maluku
Utara), Pulau Pakal (Maluku); batubara di Pulau Laut, Pulau Sebuku (Kalsel);
emas di Pulau Wetar, Pulau Haruku (Maluk u) da n migas di Pulau Natuna (Riau).
2.3.2 Energi Kelautan
Dengan luas wilayah laut yang lebih besar dibandingkan darat maka potensi
energi kelautan memiliki prospek yang baik sebagai energi alternatif untuk
mengantisipasi berkurangnya minyak bumi, LNG, batubara, dan lain- lain
sepanjang kemampuan negara diarahkan untuk pemanfaatannya. Sumberdaya
kelautan yang mungkin digunakan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah
Konversi Energi Panas Samudera/ Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC),
Panas Bumi (Geothermal), Ombak dan Pasang Surut (Bengen and Retraubun
2006).
2.4
Jasa-jasa Lingkungan
Pulau-pulau kecil memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai
ekonomisnya yaitu sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan,
media komunikasi, kawasan rekreasi, konservasi dan jenis pemanfaatan lainnya
(Yulianda 2007). Jenis-jenis pariwisata yang dapat dikembangkan di kawasan
pulau-pula u kecil adalah :
2.4.1 Wisata Bahari
Kawasan pulau-pulau kecil merupakan aset wisata bahari yang sangat besar
yang didukung oleh potensi geologis dan karaktersistik yang mempunyai
hubungan sangat dekat dengan terumbu karang (Coral Reef), khususnya hard
corals. Disamping itu, kondisi pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni secara
logika akan memberikan kualitas keindahan dan keaslian dari bio-diversity yang
dimilikinya.
Berdasarkan rating
yang dilakukan oleh
lembaga
kepariwisataan
internasional, beberapa kawasan di Indonesia dengan sumberdaya yang
15
dimilikinya mempunyai rating tertinggi bila ditinjau dari segi daya tarik wisata
bahari dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain di dunia. Beberapa kawasan
wisata bahari yang sangat sukses di dunia antara lain adalah kawasan Great
Barrier Reef, ka wasan negara- negara di Karibia, seperti Bahama, Kawasan Pasifik
seperti Hawai serta Kawasan Meditterrania. Belajar dari pengalaman di kawasan
tersebut, ternyata negara-negara tersebut merupakan “Negara Pulau-pulau Kecil
(Small Islands State)”, kecuali di Great Barrier Reef dan Meditterrania.
Sebagian besar pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki potensi wisata
bahari yang cukup potensial (DKP 2008). Beberapa diantaranya telah
dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata bahari seperti Taman Nasional (TN)
Taka Bone Rate (Sulawesi Selatan), Taman Nasional Teluk Cendrawasih, Taman
Nasional Kepulauan Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Taman Wisata Alam (TWA)
Kepulauan Kapoposang (Sulawesi Selatan), Taman Wisata Alam Tujuh Belas
Pulau (Nusa Tenggara Timur), Taman Wisata Alam Gili Meno, Ayer, Trawangan
(Nusa Tenggara Barat), Taman Wisata Alam Pulau Sangiang (Jawa Barat) dan
lain- lain.
2.4.2 Wisata Terestrial
Pulau-pulau kecil mempunyai potensi wisata terestrial yaitu wisata yang
merupakan satu kesatuan dengan potensi wisata perairan laut. Wisata terestrial di
pulau-pulau kecil misalnya Taman Nasional Komodo (NTT), sebagai lokasi Situs
Warisan Dunia (World Herritage Site) merupakan kawasan yang memiliki potensi
darat sebagai habitat komodo, serta potensi keindahan perairan lautnya di Pulau
Rinca dan Pulau Komodo. Contoh lain adalah Pulau Moyo yang terletak di NTB
sebagai Taman Buru (TB), dengan kawasan hutan yang masih asri untuk wisata
berburu dan wisata bahari (diving). Kondisi Pulau Moyo tersebut dimanfaatkan
oleh para pengusaha pariwisata sebagai kawasan “Ekowisata Terestrial”.
Dikawasan tersebut terdapat resort yang tarifnya relatif mahal, dengan fasilitas
yang ditawarkan berupa tenda-tenda, sehingga merupakan “wisata camping” yang
dikemas secara mewah. Paket wisata di Kawasan Pulau Moyo ini suda h sanga t
terkenal di mancanegara sehingga dapat memberikan devisa bagi negara.
16
2.4.3 Wisata Kultural
Pulau-pulau ke cil
merupaka n suatu prototipe konkrit dari suatu unit
kesatuan utuh dari sebuah ekosistem yang terkecil. Salah satu komponennya yang
sangat signifikan adalah komponen masyarakat lokal. Masyarakat ini sudah lama
sekali berinteraksi dengan ekosistem pulau kecil, sehingga secara realitas di
lapangan, masyarakat pulau-pulau kecil
tentunya mempunyai budaya dan
kearifan tradisional (local wisdom) tersendiri yang merupakan nilai komoditas
wisata yang tinggi.
Kawasan yang dapat dijadikan sebagai obyek wisata kultural, misalnya, di
Pulau Lembata. Masyarakat suku Lamalera di Pulau Lembata mempunyai budaya
heroik “Berbur u Paus secara tradisional” (traditional whales hunter). Kegiatan
berburu paus secara tradisional tersebut dilakukan setelah melalui ritual- ritual
buda ya yang sangat khas, yang hanya di miliki oleh suku Lamalera tersebut.
Keunika n buda ya da n kearifan tradisional tersebut, menjadi daya tarik bagi para
wisatawan.
2.5
Pengelolaan Pulau-pulau Kecil dalam Konteks Pengelolaan Wilaya h
Pesisir Terpadu (PWPT)
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu dahulu dikenal istilah Integrated
Coastal Zone Management (ICZM) pertama kali dikemukakan pada Konferensi
Pesisir Dunia (World Conference of Coast) yang digelar pada tahun 1993 di
Belanda. Pada forum tersebut, PWPT diartikan sebagai proses paling tepat
menyangkut masalah pengelolaan pesisir, baik untuk kepentingan saat ini maupun
jangka panjang, termasuk di dalamnya akibat kerugian habitat, degradasi kualitas
air akibat pencemaran, perubahan siklus hidrologi, berkurangnya sumber daya
pesisir, kenaikan muka air laut serta dampak akibat perubahan iklim dunia
(Suba ndo no et al. 2009). Lebih jauh, Subandono et al. (2009) juga menyatakan
bahwa konsep PWPT menyediakan suatu kerangka perencanaan dan pengelolaan
yang tepat dalam menaklukkan berbagai kendala dan permasalahan dalam
pengelolaan wilayah pesisir, seperti ada nya pe ngaturan institusi yang terpecahpecah, birokrasi yang berorientasi pada satu sektor, konflik kepentingan,
17
kurangnya prioritas, kepastian hukum, minimnya pengetahuan kedudukan wilayah
dan faktor sosial lainnya serta kurangnya informasi dan sumberdaya.
Dahuri et al. (2003) mendefenisikan PWPT seba gai suatu pendekatan
pengelolaan pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan
kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai
pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan.
Untuk mewujudka n hal itu maka ke terpaduan da lam perencanaan da n
pengelolaan kawasan pesisir dan laut mencakup empat aspek, yaitu : (a)
keterpaduan wilaya h/ ekologis; (b) keterpaduan sektoral; (c) keterpaduan
kebijakan secara vertikal; (d) keterpaduan disiplin ilmu; dan (d) keterpaduan
stakeholder. Dengan kata lain, penetapan komposisi dan laju/ tingkat kegiatan
pembangunan pesisir yang optimal akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi
yang dapat dirasaka n oleh segenap pemangku kepentingan (stakeholders) secara
adil dan berkelanjutan. Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu
pada dasarnya merupakan suatu proses yang bersifat siklikal. Dengan demikian
terlihat bahwa pendekatan keterpaduan pengelolaan/ pemanfaatan kawasan pesisir
dan laut menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat terwujud one plan
dan one management serta tercapai pembangunan yang berkelanjutan dan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Konsep batasan ekologis dalam pengelolaan wilayah pesisir harus berisikan
upa ya mengintegrasika n empa t ko mpo nen pe nting yang merupaka n satu kesatuan
meliputi a) Batasan wilayah perencanaan : natural domain (bukan batasan
administratif) ; b) Kawasan pesisir sebagai dasar pengelolaan kawasan di hulunya
; c) Pendekatan Keterpaduan meliputi integrasi ekos istem darat- maritim, integrasi
perencanaan sektoral (hor izontal), integrasi perencanaan vertikal dan integrasi
sains dengan manajemen; dan d) Alokasi ruang proporsional, dimana 30% dari
wilayah perencanaan merupakan lahan alami.
Prinsip ke terpaduan
sangat penting dalam konteks pengelolaan pesisir
karena wilayah pesisir memiliki fungs i yang dinamik. Cicin-Sain and Knecht
(1998) in Adrianto (2005) memberikan acuan bahwa elemen keterpaduan dalam
pengelolaan pesisir
adalah
(1)
keterpaduan
sektoral,
(2)
keterpaduan
18
pemerintahan, (3) keterpaduan spasial, (4) keterpaduan ilmu dan manajemen dan
(5) keterpaduan internasional. Dalam penentuan wilayah pesisir, Indo nesia
menggunakan batasan pengertian berdasarkan pendekatan secara ekologis yang
digabungkan dengan pendekatan dari segi perencanaan untuk memperlihatkan
batasan secara yuridis dari wilayah pesisir Indonesia.
Ditinjau dari pendekatan secara administratif, masalah batasan wilayah
pesisir merupakan hal yang paling mendasar yang harus dipahami lebih dahulu,
karena akan menunjukkan ruang lingkup berlakunya suatu perundang- undangan
mengenai pengelolaan wilayah pe sisir. Di Indo nesia dalam konsep normatifnya,
batasan wilayah pesisir yang digunakan dalam Pedoman Umum Perencanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu yaitu wilayah peralihan ekosistem darat dan
laut yang saling mempengaruhi dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk
Provinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu untuk kabupaten/ kota ke arah darat
batas administrasi kabupaten/ kota. Berdasarkan Rancangan Undang-undang
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil tahun 2004,
pengertian wilayah pesisir ialah satu kesatuan wilayah antara daratan dan lautan
yang secara ekologis mempunyai hubungan keterkaitan yang di dalamnya
termasuk ekosistem pulau kecil serta perairan di antara satu kesatuan pulau-pulau
kecil.
Singh (1992) in Adrianto (2004) menjelaskan bahwa pulau-pulau kecil yang
merupakan wilayah pesisir yang memiliki karakteristik tambahan (1) relatif
terisolir,
(2)
memiliki
keterbatasan
secara
geografis
(smallness),
(3)
keanekaragaman yang terbatas; dan (4) secara ekonomis maupun ekologis rentan
terhadap faktor eksternal harus berbasis keberlanjutan dalam pengelolaannya.
Artinya harus mempertimbangkan faktor keterpaduan antar komponen yang
secara riil tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam perspke tif ekos istem
wilayah. Wilayah pulau-pulau kecil dibagi menjadi beberapa sub wilayah dengan
berbagai potensi dan potensi persoalan yaitu (1) wilayah perairan lepas pantai
(coastal offshore zone), (2) wilayah pantai (beach zone), (3) wilayah dataran
rendah pesisir (coastal lowland zone), (4) wilayah pesisir pedalaman (inland
zone).
19
Prinsip keterpaduan untuk tercapainya keberlanjutan pembangunan dan
pengelolaan wilayah pesisir dan laut dalam konteks pulau-pulau kecil antar sub
wilayah di atas digambarkan seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Berke lanjutan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut di
Pulau-Pulau Kecil (Sumber : Debance 1999 in Adrianto 2004)
2.6
Sistem Sosial Ekologi dalam Pengelolaan Pulau-pulau Kecil
Ghina (2003) merangkum dari berbagai sumber mengenai karakteristik
pengelolaan pulau-pulau kecil berdasarkan sifat kerentanannya yaitu karena
keterpencilan, ukuran fisik kecil, kerapuhan dan keunikan ekologis, pertumbuhan
populasi manusia yang cepat dan kepadatan tinggi, sumberda ya alam yang
terbatas terutama daratannya, ketergantungan tinggi pada sumberdaya laut, peka
dan mudah terekspos akibat bencana alam, peka terhadap naiknya permukaan air
laut dan perubahan iklim. Karakteristik lainnya yakni pasar domestik kecil,
ketergantungan barang ekspor dan impor yang tinggi, ketidak- mampuan untuk
mempengaruhi harga internasional, tingginya biaya/ unit pengangkutan, marginal,
ketidakpastian persediaan barang, harus menyimpan sejumlah besar barang,
kerentanan perdagangan : ketergantungan tinggi pada pajak perdagangan, industri
domestik yang rentan, ketergantungan pada pilihan/ preferensi perdagangan,
pembatasan pada kompetisi domestik, berbagai kesulitan dalam menarik investasi
langsung dari luar, peluang investasi dan jasa komunikasi terbatas, permasalahan
administrasi pemerintahan, ketergantungan pada keuangan eks ternal. Kaly et al.
20
(2004) menambahkan bahwa faktor- faktor yang menyebabka n kerentanan tersebut
karena bencana alam, masalah perbatasan, migrasi, kerusuhan, pemisahan secara
geografis, pemanfaatan ekonomi, pasar internal yang kecil dan kerusakan
sumberdaya.
Prinsip utama pembangunan pulau-pulau kecil secara terpadu dan
berkelanjutan, harus mempertimbangkan kriteria ekologi, ekonomi, dan sosial
(Kay and Alder 2005). Hal ini didasarkan pada karakteristik dan dinamika pulaupulau kecil yang merupakan suatu sistem dinamis saling terkait antara sistem
komunitas manusia dengan sistem alam sehingga kedua sistem inilah yang
bergerak dinamik dalam kesamaan besaran, untuk itu diperlukan integrasi
pengetahuan dalam implementasi pengelolaan pulau-pulau kecil. Integrasi inilah
yang dikenal dengan paradigma Social Ecological System (SES) (Adrianto and
Aziz 2006). Pemikiran alternatif yang memberikan penjelasan bagaimana sistem
ekonomi bekerja dalam sebuah delineasi ekosistem sangat diperlukan. Arus
pemikiran utama Ecological Economics (EE) yang berkaitan dengan nilai lebih
(surplus value) dalam konteks keterbatasan ekos istem yakni memfokuskan diri
pada hubungan yang kompleks, non-linier dengan waktu yang lebih panjang
antara sistem alam dan sistem ekonomi. Komitmen normatif dari arus pemikikan
utama Ecological Economics
adalah
berusaha
mewujudkan terciptanya
“masyarakat yang bukan tanpa batas” (frugal society), dalam arti bahwa
kehidupan masyarakat berada dalam keterbatasan sistem alam baik sebagai
penyedia sumberdaya maupun penyerap limbah (Adrianto 2004).
Paradigma
Social Ecological System membicarakan unit ekosistem seperti wilayah pesisir
pulau-pulau kecil, ekosistem mangroves, terumbu karang dan lainnya berasosiasi
dengan struktur
dan proses sosial yang ada di mana aspek sistem alam
(ekosistem) dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan (Adrianto 2004).
Pengelolaan pendekatan ekosistem di pesisir dan pulau-pulau kecil dapat
dinyatakan sebagai suatu simbiosis pandangan yang respek kepada sistem alam,
yang mengintegrasikan pandangan ekonom, enjinir, dan ekolog, bersama-sama
untuk melindungi fungsi sistem alam secara terus- menerus menghasilkan jasa-jasa
ekosistemnya. Begitu pula sebaliknya para ekonom/ enjinir senantiasa
21
membutuhkan ekolog, dengan maksud jika terjadi penurunan jasa sumberdaya
alam maka akan menghasilkan pula penurunan nilai ekonomi ekosistem tersebut
dan berimplikasi pada penurunan kesejahteraan sosial. Pengelolaan pesisir pulaupulau kecil dengan ’Konsep Ekosistem’ adalah lebih tepat dewasa ini digunakan
sebagai falsafah dasar untuk pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, karena
merupakan konsep induk dengan perspektif lebih luas, integratif, mencakup
proses interaksi dinamika lingkungan hidup, ruang, wilayah, kawasan dan lainlain, secara saintifik terukur dan terprediksi, dan telah diadopsi luas oleh negaranegara maju di dunia dan negara-negara lain anggota PBB, khususnya yang
tergabung dalam Small Islands Development States/ SIDS (Bass and DalalClayton 1995) in Adrianto (2005). Informasi ekologis dalam Tabel 1
menunjukkan bahwa di wilayah pesisir perairan laut dangkal (perairan teritorial)
dari pantai sampai kedalaman 200 m, merupakan wilayah yang paling produktif
karena pengaruh kontribusi interaksi dari darat, tetapi perairan ini sangat rentan
dari dampak degradasi akibat aktivitas manusia. Adapun produktivitas di perairan
laut Zona Ekonomi Eksklusif (kedalaman >200 m) sangat dipengaruhi oleh
produktivitas perairan dangkal.
Holling (1986) menyatakan bahwa tantangan pengelolaan sumberdaya alam
saat ini adalah semakin besarnya perubahan ekologis dan sosial yang
menyebabkan munculnya kejutan-kejutan dan ketidakpastian yang semakin tinggi.
Pesisir dan pulau kecil merupakan sebuah sistem dimana aspek ekologi dan aspek
sosial terkait sangat erat dan merupakan sebuah sistem yang terintegrasi. Kedua
aspek ini memiliki kompleksitas dan terus berubah dimana keduanya bersifat nonlinier dan menempati batas tertentu dalam dinamikanya (Folke et al. 2002).
22
Tabe l 1 Potensi Kemampuan, Pemanfaatan Jasa, dan Ancaman pada Ekos istem di
Sub-Wilayah Pesisir Pulau-Pulau Kecil
Sub-wilayah
Potensi Kemampuan
Jasa Ekosistem
tempat bersarang
penyu
Pemanfaatan Jasa
Ekosistem
rekreasi konservasi
Kaya biodiversitas
Rekreasi
di perairan jernih,
perairan dangkal,
kedalaman 200 m;
sangat peka kekeruhan,
kenaikan suhu,
pencemaran,
sedimentasi; Jika
terumbu karang hidup
sehat meluas,
pertandabanyak ikan
tuna.
sangat produktif,
tempat berbiak,
berlindung ikan
kerapu, tuna, kakap,
udang, penyu, biota
laut lain, rumput laut
Konservasi,
pariwisata,
perikanan
perlindungan pantai,
pulau- pulau kecil
dari gelombang
besar dan kenaikan
muka laut
tangkapan ikan
berlebih, racun ikan,
pemboman,
penambangan karang,
erosi dari penggundulan
vegetasi di darat
4) Padang
lamun
rumput
laut
terdapat di antara
terumbu karang dan
mangrove (bakau)
sangat produktif, tmpt
berbiak,tumbuh,
berlindung ikan,
udang, kepiting dan
biota laut lain,kaya
nutrisi alami
sumber makanan,
farmasi, kosmetik,
industri biotek, dan
sumber energi
biofuel.
Tangkapan ikan berlebih,
perusakan karang dan
mangrove, pencemaran
minyak, sedimentasi
5) Pantai
berlumpur
terdapat di sekitar
muara sungai (estuari),/
delta
pertemuan air tawar
dan laut (perairan
payau)
produktivitas biologis
tinggi, kaya siklus
nutrisi.
sangat produktif, kaya
nutrisi, berbiak ikan,
udang, kepiting,
Konservasi
perusakan habitat,
pencemaran minyak.
jalur pelayaran,
akuakultur,
perikanan tradisionil
sampah, pencemaran
banjir, sedimentasi
7) Mangrove
(hutan
bakau)
terdapat di sekitar
muara sungai, tempat
berlumpur, bau sulfur,
perangkap debris
sampah, kaya nutrisi,
pencegah erosi,
pelindung pantai
kaya udang, kepiting,
udang; tempat
beberapa mamalia,
reptil, burung; produksi
primer sangat tinggi
tumpahan minyak,
pestisida-pupuk dari
pertanian, pembabatan
kayu mangrove,
pembukaan tambak
berlebihan
8) Hutan
rawa
pasang
surut
sepenuhnya mangrove
atau didominasi
tumbuhan nipah
siklus nutrisi tinggi,
tempat makan ikan,
udang, kepiting saat
pasang naik, perangkap
sedimen
sumber kayu untuk
konstruksi,
reklamasi lahan,
akuakultur,
pariwisata, industri
biotek dan
perlindungan bentuk
pantai
sumber kayu, rumah
tradisional,
reklamasi lahan
basah, tempat
akuakultur dan
sumber gula atau
bioethanol
9) Laguna
agak tertutup, sedikit
terbuka, jalan masuk
dari laut dapat berubahubah
Terdiri dari gosong
karang, pulau karang
muncul, atol, vulkanik;
pulau benua; ukuran
luas kurang dari 2 000
km2. Jumlah seluruh
Indonesia > 17 000
ragam pulau-pulau.
produktivitas ikan,
udang, kepiting, tempat
berbiak secara alami
biota laut lain
masing-masing pulau
dianggap mempunyai
ekosistem unik.
pariwisata, navigasi,
tangkap ikan,
budidaya.
pencemaran
pariwisata,
pemukiman, stasiun
pengamat, pertanian
subsisten,
marikultur
sumber bioindustri
masa depan,
termasuk biofood &
biofuel.
air tanah minim, intrusi
air laut; limbah;
penduduk padat;
Penebangan vegetasi,
pemanasan global,
lenyapnya pulau- pulau
kecil akibat kenaikan
muka laut 15-19
mm/tahun.
1) Pantai
berpasir
2) Pantai
berbatu
3) Terumbu
karang
6) Estuari/
Delta
10) PulauPulau
Kecil
Penjelasan
di pantai terbuka, jauh
dari muara sungai
(estuari)
terbuka kena ombak
Sumbe r : Bass and Dalal-Clayton (1995) in Adrianto (2004)
Ancaman
perusakan habitat,
tambang pasir,
tumpahan minyak
Erosi pantai
tumpahan minyak
pestisida-pupuk
berlebih dari pertanian,
pembabatan nipah/
bakau
23
Pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dengan pengelolaan
sumberdaya lain umumnya masih didasarkan pada asumsi adanya daya dukung
ekosistem untuk menghasilkan produksi dan jasa lingkungan secara terus
menerus, dan kegiatan produksi dapat dikontrol sepenuhnya. Gunderson et al.
(1995) menyatakan bahwa simplifikasi lansekap darat dan laut untuk produksi
sumberdaya tertentu dalam jangka pendek memang dapat menyuplai kebutuhan
pasar, tetapi dengan pengorbanan penurunan diversitas umumnya pengelola
sumberdaya berupaya untuk mengontrol proses perubahan pada lansekap tersebut
untuk menstabilisasi output dari ekosistem dan mempertahankan pola konsumsi
manusia (Holling and Meffe 1996).
2.7
Kerentanan Pulau-Pulau Kecil (PPK)
2.7.1 Konsep dan Definisi Ke rentanan
Kerentanan didefinisikan sebagai karakteristik spesifik atau kondisi yang
akan meningkatkan kemungkinan bencana yang akan mengakibatkan kerusakan,
kerugian dan kehilangan. Tingkat kerentanan bervariasi tergantung dari
karakteristik exposure, seperti tingkat desain, material konstruksi, demografi,
lokasi geografis, dan sebagainya (Noson 2000).
Seluruh ekosistem terus mengalami perubahan gradual berupa perubahan
iklim, masukan nutrien, fragmentasi habitat atau eksploitasi biotik. Selama ini
diasumsikan bahwa alam merespon perubahan gradual tersebut juga secara
perlahan. Perubahan drastis dapat merubah ke keadaan yang sangat berbeda yang
dapat menghambat proses perubahan alam yang perlahan tersebut sehingga
menimbulka n ko nsekuensi sosial dan ekonomi yang besar. Peruba han dari satu
keadaan ke keadaan lainnya merupakan salah satu karakteristik dari sistem adaptif
yang kompleks. Teori sistem kompleks (Holland 1995) menyatakan bahwa alam
berada dalam keadaan tetap atau mendekati keadaan seimbang, dimana perspektif
ini mendominasi ilmu dan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang
digunakan selama ini (Gunderson et al. 1995).
Pendefinisian Kerentanan muncul dengan asumsi (1) bahwa di alam,
kondisi-kondisi bahaya da n be ncana merupaka n “kondisi luar“ da n tidak
24
bergantung dari kegiatan pembangunan yang dilakukan. (2) Fakta resiko dan
kerentanan tidak jelas terlihat pada kondisi alami, kecuali jika dikaitkan dengan
kemiskinan yang terlihat pada beberapa kondisi lokal, nasional dan tingkat
internasional. (3) Anggapan yang salah bahwa kondisi alam dapat dikontrol
dengan teknologi dan selanjutnya bencana dapat dihindari.
Bencana pada dasarnya berasal dari kondisi-kondisi sosial, ekonomi, fisik
dan lingkungan masyarakat. Infrastruktur, jasa, organisasi dari yang paling
sederhana sampai yang paling rumit dan sistem yang berbeda, cenderung
dipengaruhi oleh peristiwa alam seperti ge mpa bumi, banjir, tanah longsor atau
dengan peristiwa teknis seperti ledakan, kebakaran , tumpahan minyak, dan lain
lain. Suatu bencana didahului oleh sedikitnya dua kecenderungan yaitu ; peristiwa
yang sedang berlangsung, yang disebut resiko; da n suatu ko ndisi rentan ;
bermula dari perangai manusia , proses, infrastruktur, jasa, organisasi atau sistem
yang berpengaruh, yang mengakibatkan kerusakan.
Kerentanan sebagai salah satu akibat yang tidak dapat diduga, pertama kali
dipelajari oleh Briguglio (1995) untuk mengidentifikasi masalah- masalah yang
terdapat di pulau-pulau kecil dan negara kepulauan. Pulau-pulau kecil dilihat
secara umum sebagai suatu daerah atau area, yang jika dibandingkan dengan
entitas bukan kepulauan, secara relatif memiliki alam dan batas-batas administrasi
yang lebih jelas, dan juga secara khusus memiliki beberapa keuntungan ekonomi
dan lingkungan sekaligus juga kerugian.
Suatu formulasi
tentang kerentana n diusulka n oleh Disaster Reduction
Institute (DRI) ( White et al, 2005) in Villagran (2006) sebagai berikut :
Istilah kerentanan digunakan pada konteks berbeda satu sama lain. Literatur
yang ada, ditemukan perbedaan pengertian mengenai kerentanan sebagai berikut :
1. Sebagai ko ndisi tertentu atau situasi dari suatu sistem sebelum terjadi be ncana,
digambarkan dengan bentuk seperti ukuran kepekaan, pembatasan, kekurangan
atau ketidakmampuan seperti ketidakmampuan untuk bertahan terhadap
25
dampak yang ada (resisten) dan ketidakmampuan untuk mengatasi suatu
peristiwa ( kapasitas adaptif);
2. Sebagai akibat langsung dari kegiatan berlebihan yang membuat ancaman
berbahaya ; dan
3. Kemungkinan yang besar sebagai hasil dari sistem ketika terjadi tekanan dari
luar dengan ancaman yang berpotensi hilangnya beberapa fasilitas dan
hilangnya kegiatan ekonomi atau hilangnya manusia. Atau munculnya
kesenjangan kemiskinan.
Chambers (1989) memperkenalkan suatu definisi kerentanan, yang
mengarah pada masyarakat dan mata pencarian mereka. Didalam definisi ini,
kerentanan adalah teka nan/ penggunaan yang tidak tentu dengan kapasitas adaptif
yang terbatas. Chambers kemudian memasukkan faktor internal dan eksternal
berupa : (1) Faktor eksternal terkait dengan tekanan dari luar yang berlebihan
seperti goncangan yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi seperti
banjir, gempabumi, kebakaran, wabah penyakit dsb, (2) Faktor internal terkait
dengan ketidakmampuan mengatasi bahaya tanpa menimbulkan kerugian.
Tekanan berhubungan dengan goncangan yang terjadi secara terus menerus,
dengan waktu yang singkat dan menyebabkan kemerosotan sumberdaya.
Chambers memandang kerentanan sebagai kebalikan dan resiliensi/ ketahanan.
Pada konteks ini aset berupa sumberdaya manusia yang menjadi kunci yang dapat
mengatasi segala goncangan da n teka nan.
Alexander (2000: 12) in Villagran (2006) mendefinisikan kerentanan
sebagai potensi bencana, kerusakan, bahaya, gangguan atau bentuk lain dari
hilangnya perhatian dari beberapa elemen. Ditambahkan oleh Alexander bahwa
kerentanan dapat diperbesar atau dikurangi tergantung pada tipe kerusakan dan
faktor lain yang perlu dipertimbangkan.
Studi kerentanan sangat muda h dilakukan di wilayah pulau-pulau kecil,
karena wilayah tersebut memiliki ukuran yang sangat terbatas, belum lagi faktorfaktor fisik lingkungan yang mengalami peruba han cepat terlihat dan terukur
karena ukurannya yang terbatas. Studi kerentanan di pulau-pulau kecil telah
dilakuka n oleh Briguglio (1995), Adrianto and Matsuda (2002) in Adrianto
26
(2004). Dalam kacamata ekonomi, dampak bencana alam terhadap ekonomi
pulau-pulau kecil tidak jarang sangat besar sehingga menyebabkan tingkat resiko
di pulau-pulau kecil menjadi tinggi pula.
Parameter-parameter yang diguna ka n untuk menentukan tingkat kerentanan
dapat dibagi atas parameter fisik dan sosial ekonomi. Parameter kerentanan fisik
berkaitan dengan aspek fisis laut, geologi, dan tinjauan geomorfologi pantai dan
pulau-pulau kecil diantaranya tinggi genangan dan erosi akibat kenaikan muka air
laut. Klasifikasi parameter kerentanan fisik mengacu pada Gornitz (1997)
ditunjukka n oleh Tabe l 2 di bawah ini. Sedangkan parameter sosial ekonomi
berkaitan dengan demografi, tingkat kemiskinan dan penduduk terkena dampak.
Tabe l 2 Parameter Kerentanan Fisis Terhadap Kenaikan Muka Laut (Gornitz et
al. 1991 in Gornitz, 1997)
Rank
Parameter
Sangat Rendah
1
Rendah
2
Sedang
3
Tinggi
4
Sangat Tinggi
5
Geomorfologi
Bertebing
tinggi
Bertebing
sedang
Bertebing
rendah,
mangrove
Bangunan pantai,
estuari,
Pantai berpasir,
pantai berkerikil,
delta
Kenaikan muka
laut(mm/tahun)
< -1
-1.0 – 0.99
1.0-2.0
2.1-4.0
> 4.0
T unggang
pasut(m)
1.0
1.1 – 2.0
2.1 – 4.0
4.1 – 6.0
> 6.0
Tinggi
gelombang(m)
0-2.9
3-4.9
5-5.9
6-6.9
>6.9
Elevasi (m)
>30.0 m
20.1-30.0 m
10.1-20.0 m
5.1-10.1 m
0.5-0 m
Geologi
Vulkanik
konglomerat
Erosi/Akresi(m/ta
hun)
> 2.0
Akresi
1.0 – 2.0
akresi
batuan
sedimentasi
-1.0 - +1.0
stabil
sedimen
consolidated,
-1.0 - -2.0
erosi
sedimen
unconsolidated,
< - 2.0
Erosi
Keputusan Menteri Kimpraswil No. 327/KPTS/M/2002 tentang Penetapan
Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang, salah satu diantaranya Pedoman
Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi da n Kawasan Rawan
Gempa Bumi, ditemukan istilah kerentanan sebagai kondisi atau karakteristik
biologis, geografis, sosial, ekonomi, politik, budaya, dan teknologi masyarakat di
suatu wilayah unt uk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan
mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan menanggapi dampak bahaya/
bencana alam tertentu. Kerentanan dika itka n de ngan ke mampuan manusia untuk
27
melindungi dirinya dan kemampuan untuk menanggulangi dirinya dari dampak
bahaya/ be ncana alam tanpa bantuan dari luar. Dalam pedoman ini juga diperoleh
istilah tingkat kerentanan sebagai indikator tingkat kerawanan pada kawasan
yang belum dimanfaatkan sebagai kawasan budi daya, dengan hanya
mempertimbangkan aspek kondisi alam, tanpa memperhitungkan besarnya
kerugian yang diakibatkan.
Kerentanan (vulnerability)
merupakan kebalikan dari ketangguhan
(resilience), kedua konsep tersebut laksana dua sisi mata uang. Konsep
ketangguhan merupakan konsep yang luas, termasuk kapasitas dan kemampuan
merespons dalam situasi krisis/ konflik/ darurat (emergency rersponse).
Kerentanan, ketangguhan, kapasitas, dan kemampuan merespons dalam situasi
darurat, bisa di implementasikan baik pada tingkat individu, keluarga, masyarakat
dan institusi pemerintah maupun LSM (Chambers 1989) .
Villagran (2006), kerentanan wilayah dan penduduk terhadap ancaman
meliputi kerentanan fisik, kerentanan sosial dan kerentanan ekonomi. Kerentanan
sosial ekonomi dapat bersifat generik berlaku untuk semua jenis ancaman.
Sementara itu kerentanan fisik bersifat spesifik sesuai dengan jenis ancaman.
Kerentanan yang bersifat generik dapat digunakan untuk semua ancaman, terkait
dengan aspek sosial ekonomi wilayah dan penduduk di suatu wilayah. Indikator
kerentanan sosial ekonomi terkait dengan tingkat kemiskinan, laju pertumbuhan
ekonomi, densitas dan penyebaran penduduk, lama pendidikan formal, tingkat
pengangguran, beban tanggungan, dan indikator sosial ekonomi lainnya.
2.7.2 Tipologi Ke rentanan
Turner et al. (2003), kerentanan sebagai suatu sistem, subsistem atau
komponen sistem yang terjadi secara terus- menerus dan dapat menyebabkan
bencana, kerusakan atau tekanan. Ada dua model dasar yang digunakan untuk
menganalisis kerentanan yaitu mode l resiko-bencana (Risk Hazard (RH))
(Gambar 2) dan model tekanan- pelepasan (Pressure-Release (PAR) (Gambar 3).
Dasar dari RH model adalah bahwa gangguan dapat terjadi sebagai akibat dari
kegiatan yang berlebihan yang menimbulkan tekanan (sensitifitasnya). Jika
28
kondisi kerentanan yang ada terjadi secara terus menerus akan membawa dampak
bagi suatu ko ndisi yang ada. Model PAR, menjelaskan bahwa dasar dari
kerentanan yaitu ko ndisi yang terjadi secara terus menerus dan menjadi kondisi
yang tidak dapat dikendalikan, yang akan menjadi ancaman sehingga suatu
kondisi menjadi rusak a tau berbahaya.
Keterangan :
Akibat/ Relasi antar Komponen
Kebergantungan antar Kompo nen
Gambar 2. Mode l Risk-Hazard Sebagai Model Analisis Kerentanan (Aplikasi
Resiko Secara Umum) Dimulai Pada Unit Hazard (Bahaya) (Turner
et al. 2003)
Keterangan :
Akibat/ Relasi antar Komponen
Kebergantungan antar Kompo nen
Gambar 3. Model PAR (Penelitian Secara Umum) Dengan Penekanan Pada
Kondisi Sosial Yang Menyebabkan Terjadinya Tekanan (Turner et al.
2003)
Bencana cenderung terjadi pada komunitas yang rentan, dan aka n membuat
komunitas semakin rentan jika tidak ada upaya menguranginya (kapasitas adaptif
29
dari manusia dan lingkungannya). Kerentanan komunitas diawali oleh kondisi
lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi yang tidak aman (unsave conditions) yang
melekat padanya. Kondisi tidak aman tersebut terjadi oleh tekanan dinamis
internal maupun eksternal (dynamic pressures), misalnya di komunitas institusi
lokal tidak berkembang dan ketrampilan tepat guna tidak dimiliki. Tekanan
dinamis terjadi karena terdapat akar permasalahan (root causes) yang
menyertainya. Akar permasalahan internal umumnya karena komunitas tidak
mempunyai akses sumberdaya, struktur dan kekuasaan, sedang secara eksternal
karena sistem politik dan ekonomi yang tidak tepat. Oleh karenanya penanganan
bencana perlu dilakukan secara menyeluruh dengan meningkatkan kapasitas dan
menangani akar permasalahan untuk mereduksi resiko secara total.
Konsep dasar dari kerentanan (Gambar 4) terdiri dari (1) interaksi antara
manusia dan lingkungannya, artinya manusia menggunakan lingkungan yang ada
(2) kerusakan serta tekanan yang muncul akibat penggunaan lingkungan yang
berlebihan (3) hubungan manusia da n sistem lingkungannya yang rentan akibat
penggunaan secara berlebihan membawa akibat proses penyesuaian dan adaptasi,
yang akan membuat sistem tersebut lebih tahan (resiliensi) terhadap tekanan yang
ada.
Gambar 4. Kompo nen Kerentanan Yang Terkait Dengan Faktor-Faktor Yang
Berpe ngaruh Dalam Sistem Suatu Studi (Tur ner et al. 2003).
30
Kerentanan terdiri dari elemen-elemen berupa exposure (keterbukaan),
sensitifitas dan resiliensi seperti yang terdapat pada Gambar 5. Keterbukaan
terdiri da ri individu, pelayanan, tingkatan, wilayah, flora dan fauna ataupun
ekosistem yang dengan ciri frekwensi, tingkatan dan kejadian secara terusmenerus. Sensitifitas merupakan interaksi antara kondisi manusia dengan ko ndisi
alam/ lingk ungan. Interaksi yang ada antara manusia dengan alam/ lingkungannya
akan membawa dampak berupa adaptasi penggunaan lingkungan. Jika lingkungan
yang ada bagus, maka penggunaan atau pemanfaatan alam tersebut semakin besar,
begitu juga sebaliknya.
Gambar 5. Komponen-Komponen Dari Penggunaan Secara Berlebihan,
Sensitifitas, dan Resiliensi (Ketahanan/ Daya Lenting) sebagai Bagian
dari Framework Kerentanan (Turner et al. 2003).
Kerentanan digambarkan oleh (ISDR 2004) sebagai kesatuan proses fisik,
sosial, ekonomi, dan faktor lingkungan, yang akan menimbulkan resiko. Faktor
fisik meliputi kepekaan penempatan dan lingkungan yang dibangun serta
disebabkan oleh faktor seperti kepadatan penduduk, keterpencilan wilayah, lokasi,
konstruksi bangunan dan infrastruktur. Faktor sosial terkait dengan isu sosial
seperti tingkat kesejahteraan/ kesehatan individu, jenis kelamin, kesehatan,
31
kemampuan membaca dan menulis, pendidikan, keamanan, hak azasi manusia,
kekayaan sosial, nilai-nilai tradisional, kepercayaan dan sistem organisasi. Begitu
juga, faktor ekonomi terkait dengan isu ke miskina n yang meliputi kemiskinan
tingkat individu, masyarakat da n eko nomi nasional, hutang, akses kredit,
pinjaman da n asuransi serta keaneka ragaman eko nomi. Akhirnya faktor
lingkungan meliputi pengurasan dan penurunan sumber daya alami. Beberapa
unsur-unsur yang dapat mempengaruhi sifat kerentanan lingkungan adalah
penggunaan bahan berbahaya dan beracun, kurangnya udara bersih, air dan
sanitasi yang bentuknya tidak sesuai dengan manajemen limbah.
Organisasi OECD memperke nalka n suatu kerangka untuk mengevaluasi
kerentanan yang dikenal dengan Pressure-State-Response model (P-S-R) yang
memperkenalkan kerentanan dari kondisi lingkungan yang dapat dilihat langsung
seperti konsentrasi NO x didalam wilayah perkotaan, arus tingkatan CO 2 , dan lainlain. Secara implisit, kerentanan menyangkut tindakan manusia menggunakan
lingkungan pada beberapa waktu tertentu. Adaptasi dari mode l P-S-R ke sektor
masyarakat, terkait secara langsung seperti kemiskinan, pertumbuhan populasi,
dan migrasi da n teka nan alami, seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan lain
lain.
Model ini juga diperkenalkan oleh (IUCN 2001 European Commission
2002 in Bowen and Riley 2003) yang dikenal dengan model DPSIR. Pendekatan
DPSIR untuk mengetahui keterkaitan faktor- faktor penyebab terjadinya tekanan
terhadap ekosistem sehingga dapat digunakan
untuk
menilai intensitas
penggunaan sumberdaya oleh manusia dan aktivitas yang ada. Penilaian tekanan
terhadap ekosistem dianalisis berdasarkan pendekatan keseluruhan sistem dan
integrasi ekos istem yang berkaitan dengan struktur, komposisi dan fungsinya
berdasarkan indikator ruang meliputi bentang alam, tata guna air da n biodiversity
(Turner et al. 2000). Mode l ini dikembangkan untuk mengevaluasi masalah
kerentanan di pulau be rdasarka n tujuan yang ingin dicapai. Yang dimulai dengan
definisi dan identifikasi tujuan sebagai indikator yang dibutuhkan. Langkahlangkah berikut merupakan pengembangan dari indikator kerentanan :
32
1. Ruang lingkup, berupa analisa yang digunaka n sesuai target sistem indikator
kerentanan, kebutuhan pe nduduk, persepsi, dan kapasitas ruang dan wilayah
serta batasan waktu.
2. Pemilihan kerangka indikator yang sesuai, yang meliputi daerah (lingkungan,
ekonomi, masyarakat), tujuan (kebutuhan dasar manusia, kemakmuran
ekonomi), sektor publik (perumahan, kesehatan, pendidikan), isu (polusi
industri, tingkat pengangguran) dan sebab akibat ( kondisi-ko ndisi, teka nan,
reaksi), dan kombinasi faktor-faktor yang ada.
3. Kriteria pemilihan berkaitan dengan kebenaran, perhitungan yang mudah,
ketelitian, dan keefektifan biaya untuk mengumpulkan dan memproses data.
4. Identifikasi indikator potensial berkaitan dengan kerangka dan kriteria
pemilihan.
5. Pemilihan indikator akhir berkaitan dengan tingkatan sebelumnya.
6. Evaluasi
pelaksanaan
indikator
berkaitan
dengan
langkah- langkah
sebelumnya.
Pengukuran model DPSIR berupa matriks hubungan antara suatu komponen
indikator yang ada dan akibat yang ditimbulkannya hingga menimbulkan
kerentanan ekosistem (functional relationship to ecosystem vulnerability).
Kerentanan sangat mudah dikaji pada wilayah yang sangat kecil seperti
halnya dengan pulau kecil. Vitousek (2002), menggambarkan pulau sebagai
mod el sistem untuk mempelajari ekologi karena pada pulau kecil terdapat proses
evolus i dan spesiasi, biologi konservasi mudah dilakukan dan terdapat evolusi
buda ya. Dalam konteks wilayah pulau kecil, kerentanan digambarkan Villagran
(2006) sebagai kecenderungan wilayah yang rusak oleh kekuatan eko nomi
eksternal atau resiko lingkungan terkait dengan keterpencilan dan ukuran
geografis yang kecil. CSD-UN-DESA memperkenalkan indeks kerentanan untuk
wilayah pulau kecil (UN-DESA 2004), seperti Briguglio ( Atkins et al. 2001).
33
Resident Coastal Population P atterns in
land use/ land cover development of
coastal industry sectors
Capac ity B uilding
Driver
Response
Analysis
Indicator
Policy Dinamics
Institutional
Pressure
Impact
Coastal Wetland attention
introduction of Industrial P ops
Metals introduction of Coastal
Agricultural Fortilizers
Cost of Marine-vectored Disease
Value of Recr eational Bathing
Value of Co mmer cial Fishing
State
Certain socio-econo mic
Indicators can describe
System drivers or the
Sustainability of given state
character
Changes in Nutrient Dynamics
ContaminantBurden in Marine
Sediments
Gambar 6. Model Evaluasi Kerentanan dengan Metode DPSIR (IUCN 2001;
European Commission 2002 in Bowen and Riley 2003)
Briguglio (2003; 2004) in Pelling and Uitto (2001) mulai mengembangkan
beberapa indeks kerentanan ekonomi terkait dengan parameter-parameter sebagai
berikut :
1. Ukuran kecil, yang dapat menghalangi wilayah memperoleh keuntungan
ekonomi;
2. Keterbukaan ekonomi, yang berarti ketiadaan kendali untuk mengatur secara
menyeluruh;
3. Kegiatan ekspor terbatas pada produk tertentu;
4. Ketergantungan pada produk impor, terutama bahan baku dan energi;
34
5. Terkait dengan wilayah yang kecil dan terpencil, menjadikan biaya-biaya
transportasi yang tinggi;
6. Ekos istem yang rentan, dan diperburuk o leh gejala alam yang ada.
2.7.3 Kerentanan Fisik
BPPT (2009), Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan suatu
kondisi fisik yang rawan terhadap faktor bahaya tertentu. Kondisi kerentanan ini
dapat dilihat dari berbagai indikator sebagai berikut : persentase kawasan
terbangun, kepadatan bangunan, persentase bangunan konstruksi darurat dan
sebagainya. Wilayah permukiman di Indonesia dapat dikatakan berada pada
kondisi yang sangat rentan karena persentase kawasan terbangun, kepadatan
bangunan dan bangunan konstruksi darurat di perkotaan sangat tinggi sehingga
apabila terjadi suatu bencana maka kerugiannya sangat besar. Selain itu, bentuk
kerentanan fisik yang dimiliki masyaraka t berupa da ya tahan menghadapi ba haya
tertentu. Sebagai contoh adalah kekuatan bangunan rumah bagi masyarakat yang
berada di daerah rawan gempa, adanya tanggul pengaman banjir bagi masyarakat
yang tinggal di bantaran sungai dan sebagainya.
BAPENAS (2006), kerentanan fisik bersifat spesifik tergantung jenis
bencana. Indikator kerentanan fisik
untuk
masing- masing
jenis hazard
menggunakan indikator yang spesifik, seba gai contoh penggunaan indikator
tsunami code untuk tsunami, indikator building code untuk gempa bumi, indikator
penduduk yang tinggal di area yang tidak aman untuk ancaman letusan gunung
api. Secara umum wilayah Indonesia memiliki kerentanan fisik yang tinggi karena
pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana yang ada belum memenuhi
prasyarat yang dibutuhka n wilayah yang memiliki potensi ancaman yang tinggi
seperti Indonesia.
2.7.4 Kerentanan Sos ial
Kerentanan sosial menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan terhadap
keselamatan jiwa/ kesehatan penduduk apabila ada bahaya dengan indikator
35
kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, pe rsentase pe nduduk usia tuabalita, tingkat pengangguran, tekanan ekonomi dan penduduk wanita.
BPPT (2009), Kerentanan sosial menggambarkan kondisi tingkat kerapuhan
sosial dalam menghadapi bahaya. Pada kondisi sosial yang rentan maka jika
terjadi bencana dapat dipastikan akan menimbulkan dampak kerugian yang besar.
Beberapa indikator kerentanan sosial antara lain kepadatan penduduk, laju
pertumbuhan pe nduduk, pe rsentase pe nduduk us ia tua-ba lita da n pe nduduk
wanita. Kota-kota di Indonesia memiliki kerentanan sosial yang tinggi karena
memiliki persentase yang tinggi pada indikator- indikator tersebut. Sebagai contoh
adalah semakin besar persentase kelompok rentan bencana pada suatu daerah
maka diasumsikan tingkat kerentanan daerah tersebut semakin tinggi. Kelompok
rentan be ncana ada lah anggota masyarakat yang membutuhka n ba ntuan karena
keadaan yang di sandangnya di antaranya masyarakat lanjut usia, penyandang
cacat, anak-anak serta ibu hamil dan menyusui. Kondisi kecacatan menyebabkan
hak pe nyanda ng cacat untuk tumbuh kembang dan berkreasi tidak dapat
terpenuhi.
Korban bencana sosial adalah mereka yang menjadi pihak yang dirugikan
oleh kejadian bencana sosial yang diakibatkan ulah manusia antara lain karena
disparitas ekonomi, diskriminasi, ketidakadilan, kelalaian, ketidaktahuan, maupun
sempitnya wawasan dari sekelompok masyarakat. Mereka yang tergolong sebagai
korban bencana sosial adalah mereka yang menjadi korban konflik, kerusuhan
sosial, kekerasan dan perilaku yang tidak adil (Villagran 2006).
Masalah kerentanan sosial yang dialami masyarakat akan bertambah berat
karena pada saat yang bersamaan pemerintah juga mengalami serangkaian
tantangan yang harus diperhatikan dengan baik agar tidak membebani di
ke mudian
hari
seperti
ke cenderungan
peruba han
struktur
demografi,
kecenderungan urbanisasi dan kecenderungan kenaikan jumlah penduduk miskin
(BPPT 2009).
36
2.7.5 Kerentanan Ekonomi
Adrianto and Matsuda (2002), pulau-pulau kecil memiliki peluang ekonomi
yang terbatas khususnya soal skala ekonomi (economics of scale). Agar kegiatan
ekonomi di pulau-pulau kecil mendapatkan skalanya yang sesuai maka
pengembangan sektor perdagangan menjadi diperlukan, walaupun tergantung pula
kepada infrastruktur yang ada di pulau-pulau kecil tersebut. Adapun kegiatan
ekonomi yang memungkinkan untuk dilakukan di pulau-pulau kecil adalah
kegiatan ekonomi yang terspesialisasi sesuai dengan sumberdaya yang tersedia.
Dalam beberapa hal, specialized economy seperti yang terjadi untuk pulaupulau kecil berdampak positif, khususnya yang terkait dengan konsep skala
ekonomi. Dengan keanekaragaman spesialisasi ekonomi dari sebuah pulau kecil,
maka semakin meningkat pula tingkat ketahanan ekonomi dari pulau tersebut dari
faktor
eksternal
sepanjang
pengelolaan
kegiatan
ekonomi
tersebut
memperhitungkan tingkat daya dukung pulau secara umum (Hein, 1990 in
Adrianto, 2004). Menurut Briguglio (1995) in Adrianto (2004), ada beberapa hal
yang menjadi ciri keterbatasan ekonomi wilayah pulau-pulau kecil terkait dengan
ukuran fisik (smallness), yaitu:
1. Terbatasnya sumberdaya alam dan ketergantungan terhadap komponen impor
yang tinggi.
2. Terbatasnya substitusi impor bagi ekonomi pulau.
3. Kecilnya pasar domestik dan ketergantungan terhadap ekspor untuk
menggerakkan ekonomi pulau.
4. Ketergantungan terhadap p rod uk-produk dengan tingkat spesialisasi tinggi.
5. Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal.
6. Terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi.
7. Terbatasnya kompetisi lokal.
8. Persoalan yang terkait dengan administrasi publik.
Briguglio (1995) mengungkapkan bahwa karakteristik penting lain dari
pulau-pulau kecil yang terkait dengan pengembangan ekonomi wilayah adalah
tingkat insularitas. Pulau-pulau kecil memiliki tingkat insularitas yang tinggi
karena sebagian besar jauh dari daratan induknya. Persoalan eko nomi pulau-pulau
37
kecil yang terkait dengan karakteristik insularitas ini terutama yang terkait dengan
persoalan transportasi dan komunikasi, lingkungan ekonomi yang cenderung
monopolistik, melimpahnya sumberdaya kelautan dan dominasi sektor jasa.
Adapun karakteristik pulau-pulau kecil yang dilihat dari sifat insularitas seperti
yang dikemukakan oleh Briguglio (1995), yaitu:
1. Biaya transportasi per unit produk.
2. Ketidakpastian suplai.
3. Volume stok yang besar.
4. Ketergantungan terhadap p rod uk-produk dengan tingkat spesialisasi tinggi.
5. Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal.
6. Terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi.
7. Terbatasnya kompetisi lokal.
8. Persoalan yang terkait dengan administrasi publik.
BPPT (2009), kerentanan ekonomi menggambarkan suatu kondisi tingkat
kerapuhan ekonomi dalam menghadapi ancaman bahaya. Kemampuan ekonomi
suatu individu atau masyaraka t sangat menentuka n tingka t kerentanan terhadap
ancaman bahaya. Beberapa indikator kerentanan ekonomi diantaranya adalah
persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (sektor yang rawan
terhadap pemutusan hubungan kerja) dan persentase rumah tangga miskin.
Sebagai contoh adalah masyarakat atau daerah yang miskin atau kurang mampu
lebih rentan terhadap ba haya, ka rena tidak mempunyai kemampuan finansial yang
memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana.
Penduduk miskin ada lah pe nduduk yang pe ndapa tannya di ba wah garis
kemiskinan. Pada tahun 2005, garis kemiskinan ditentukan oleh dua kelompok
besar yaitu garis kemiskinan berkaitan dengan makanan (GKM) berupa
pemenuhan kebutuhan 2.100 kalori per kapita per hari sebesar Rp 91.072,- dan
Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) berupa paket komoditi kebutuhan
dasar yang ditetapkan sebesar Rp 38.036,-. Beban pe nduduk miskin yang
berkeluarga lebih besar daripada yang belum berkeluarga mengingat besarnya
jumlah dan banyaknya macam kebutuhan anggota keluarga yang masih harus
ditanggung. Dari penduduk miskin terdapat kelompok masyarakat fakir miskin,
38
yaitu mereka yang be nar-benar berada di kelompok terbawah yang sangat
membutuhkan uluran tangan pemerintah (BPS 2005).
Kerentanan ekonomi
yang digunakan dalam penghitungan
indeks
kerentanan pada setiap jenis hazard relatif sama dengan indikator utama di
antaranya, pendapatan asli daerah, laju pe rtumbuhan eko nomi da n densitas
populasi. Kerentanan sosial ekonomi penduduk terhadap bencana meliputi aspek
ekonomi (laju pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah, PDRB) dan aspek
sosial (kependudukan seperti densitas dan jumlah penduduk, pendidikan,
kesehatan, kemiskinan, tenaga kerja). Peta kerentanan sosial ekonomi wilayah
Indonesia
menunjukkan bahwa komponen densitas pe nduduk
da n laju
pertumbuhan ekonomi menjadi indikator penentu kerentanan wilayah (BPPT
2009).
2.7.6 Kerentanan Lingk ungan
BPPT (2009), lingkungan hidup suatu masyarakat sangat mempengaruhi
kerentanan. Konsentrasi penduduk yang tidak merata, sebagian tinggal di daerah
yang rawan terhadap bahaya, seperti di lereng gunung api, dataran sungai yang
rawan terhadap banjir, lereng- lereng perbukitan yang berpotensi terhadap bencana
tanah longsor, zona pa tahan aktif yang berpo tensi terhadap gempa bumi dan
sebagainya. Bencana yang terjadi di Indonesia sering kali menimbulkan dampak
korban yang sangat besar mengingat bahwa daerah rawan bencana masih banyak
yang dihuni oleh penduduk karena keterbatasan tempat atau karena daerah
tersebut subur untuk kehidupannya. Sebagai contoh adalah masyarakat yang
tinggal di daerah yang kering dan sulit air akan selalu terancam bahaya
kekeringan. Penduduk yang tinggal di lereng bukit atau pegunung an rentan
terhadap a ncaman be ncana tanah longsor da n seba gainya.
Kerentanan merupakan gambaran dari faktor fisis, sosial, ekonomi dan
lingkungan yang dibentuk dari perilaku, kebiasaan, budaya, sosial ekonomi suatu
wilayah yang dikaji dan saling berinteraksi satu sama lain. Berdasarkan definisi
ISDR (2004), kerentanan dikelompokkan menjadi 4 faktor yaitu :
39
a. Fisik
Faktor kerentanan fisikal pada umumnya merujuk pada perhatian serta
kelemahan atau kekurangan pada lokasi serta lingkungan terbangun. Hal ini
dapat diartikan sebagai wilayah terbuka (exposure) atau tempat yang sangat
rentan terke na ba haya (placed in harm’s way). Kerentanan fisik dapat
ditunjukkan oleh misalnya tingkat kepadatan penduduk, permukiman terpencil,
lokasi, desain serta material yang dipergunakan untuk infrastruktur dan
perumahan, kondisi geomorfologi area terbangun serta elemen fisis lainnya.
b. Sos ial
Elemen yang berkaitan dengan faktor kerentanan sosial adalah yang
berhubungan dengan kehidupan individu, komunitas dan masyarakat pada
umumnya. Hal tersebut termasuk aspek yang berkaitan dengan tingkat melek
huruf dan pendidikan, jaminan keamanan dan ketenangan, jaminan hak asasi
manusia, sistem pemerintahan yang baik, persamaan sosial, nilai sosial pos itif,
ideologi dan lain- lain. Selain itu isu gender, kelompok usia, akses ke fasilitas
kesehatan juga merupakan elemen kerentanan sosial. Fasilitas fisik dalam
komunitas, seperti keterbatasan infrastruktur dasar, misalnya sediaan air bersih
dan sanitasi, fasilitas kesehatan, hal tersebut juga dapat meningkatkan
kerentanan sosial. Kearifan lokal serta kebiasaan atau tradisi dapat menjadi
bagian untuk meningkatkan kapabilitas sosial.
c. Ekonomi
Tingkat kerentanan ekonomi sangatlah bergantung pada status ekonomi dari
masyarakat, komunitas serta tingkat diatasnya. Selain itu jumlah kaum miskin,
komposisi jumlah perempuan yang tidak berimbang dan para manula juga akan
meningkatkan kerentanan ekonomi, karena kelompok ini dianggap paling
rentan apabila terjadi bencana, karena pada umumnya kelompok ini memiliki
keterbatasan kemampuan dalam upaya recovery akibat bencana. Kerentanan
ekonomi juga bergantung pada kondisi cadangan ekonomi dari masyarakat,
komunitas atau level diatasnya, akses pada pendanaan, pinjaman dan asuransi.
Eko nomi yang lemah pada umumnya akan meningkatkan tingkat kerentanan
ekonomi. Selain itu keterbatasan akses terhadap Infrasturktur pendukung
40
perekonomian seperti akses jalan, perbankan, pasar juga berpengaruh pada
tingkat kerentanan ekonomi.
d. Lingkungan (Ekologi)
Aspek kunci dari kerentanan lingkungan termasuk didalamnya peningkatan
penurunan sumberdaya alam serta status degradasi sumberdaya. Dengan kata
lain kekurangan da ri resilience dalam sistim ekologi serta terbuka terhadap zat
beracun serta polutan berbahaya, merupakan elemen penting dalam membentuk
kerentanan lingk ungan. Dengan meningkatnya kerentanan lingkungan seperti
berkurangnya biodiversity, penurunan mutu tanah atau ke langkaan air bersih
akan dengan mudahnya mengancam jaminan terpenuhinya kebutuhan pangan
bagi masyarakat yang bergantung pada produksi lahan, hutan serta lingkungan
laut untuk mata pencahariannya. Lingkungan yang terpolusi juga meningkatkan
ancaman resiko kesehatan.
Beberapa indikator kerentanan fisik, ekonomi, sosial dan lingkungan
tersebut di atas menunjukkan bahwa wilayah Indonesia memiliki tingkat
kerentanan yang tinggi, sehingga hal ini mempengaruhi/ menyebabkan tingginya
risiko terjadinya be ncana di wilayah Indo nesia. Kondisi tersebut menunjukkan
masih lemahnya upaya pengurangan risiko bencana baik melalui peningkatan
ketangguhan masyarakat terhadap ancaman bahaya atau pengurangan kerentanan
fisik, sos ial, ekonomi dan lingkungan masyarakat. Kejadian bencana alam terjadi
pada waktu yang tidak dapat diprediksi sebelumnya dan seringkali diluar
kekuasaan manusia untuk menolaknya. Bencana alam yang kerap menimpa
penduduk di berbagai lokasi berbeda adalah : banjir, gempa bumi, kekeringan,
tanah longsor, kebakaran hutan dan angin topan. Kejadian bencana alam ini tentu
saja menyebabkan penduduk yang menjadi korban memerlukan pertolongan
segera dan tidak dapat ditunda (BPPT 2009).
2.7.7 Adaptas i Kerentanan
Moran (1982) in Gunawan (2008) mendefinisikan adaptasi sebagai suatu
strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk
merespon terhadap perubahan-perubahan ekologi, sosial dan lingkungannya.
41
Dalam kajian adaptabilitas manusia terhadap lingkungan, ekos istem adalah
keseluruhan situasi dimana adaptabilitas berlangs ung/ terjadi. Suatu populasi di
suatu ekosistem tertentu menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan dengan
cara-cara yang spesifik. Ketika suatu populasi/ masyarakat mulai menyesuaikan
diri terhadap suatu lingkungan yang baru, suatu proses perubahan akan dimulai
dan mungkin membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menyesuaikan diri.
Adaptasi yang dilakukan manusia terhadap lingkungan menunjukkan adanya
interrelasi antara manusia dan lingk ungan. Usaha-usaha adaptasi dapat berfokus
pada respon terhadap berbagai dampak spesifik (misalnya peningkatan suhu) dan/
atau pengurangan kerentanan dengan menangani penyebabnya.
Adaptasi yang dilakukan manusia terhadap lingkungan menunjukkan
adanya interrelasi antara manusia dan lingkungan. Dalam konteks ini, pendekatan
human ecology menekankan/ menunjukan adanya hubungan saling terkait
(interplay) antara lingk ungan fisik dan sistem-sistem sosial/ buda ya. Dalam mode l
sistem human ecology, terdapat keterkaitan antara sistem sosial (masyarakat/
buda ya) da n sistem eko logi yang mencakup perpindahan energi, materi dan
informasi dari satu sistem ke sistem lain dan di antara komponen dari masingmasing sistem. Dalam hubungan yang saling terkait ini, perubahan pada satu
komponen akan menyebabkan perubahan pada komponen lain dan sebaliknya
(Rambo 1984). Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam interaksinya dengan
lingkungan sekitar, manusia menggunakan kebudayaan. Dalam berbagai disiplin
ilmu sosial, khususnya antropologi, kebudayaan didefinisikan secara beragam,
tergantung dari perspektif yang digunakan. Namun demikian, secara keseluruhan
terdapat beberapa perspektif dalam melihat kebudayaan, misalnya kebudayaan
dilihat sebagai sistem yang saling berkaitan secara fungsional, sebagai sistem
simbol, sebagai sistem kognitif, atau sebagai sistem adaptif. Dalam konteks
interaksi dengan lingkungan, perspektif yang tampaknya sesuai untuk dipakai
dalam mengartikan kebudayaan adalah perspektif yang melihat kebudayaan
sebagai sistem adaptif (culture as adaptive system). Dalam perspektif ini,
kebudayaan (budaya) didefinisikan/ diartikan sebagai ekspresi adaptasi manusia
terhadap setting lingkungannya.
42
Keterkaitan sistem sebagai parameter kunci dalam mengamati kerentanan.
Teor i sistem kompleks menggambarkan sistem sebagai sesuatu yang tidak
deterministik, tidak dapat diprediksi dan tidak mekanistik, tetapi sebagai proses
ketergantungan organik dengan umpan balik dari berbagai skala yang
memungkinkan sistem tersebut untuk mengorganisir diri sendiri (Holland 1995;
Levin 1998). Studi komplek adaptif sistem berupaya menjelaskan bagaimana
struktur dan pola interaksi yang kompleks dapat muncul dari ketidakteraturan
menuju ka ida h sederhana yang mengarahka n peruba han. Menurut Levin (1998)
elemen esensialnya ialah : menjaga diversitas dan individualitas komponen,
lokalisasi interaksi komponen, proses otonom yang menyeleksi komponen
berdasarkan hasil dari interaksi lokal, adanya bagian untuk replikasi atau
pengayaan. Dengan demikian sistem kompleks adaptif terdiri dari koleksi agenagen individual yang heterogen yang berinteraksi secara lokal, dan berevolusi
secara genetis, tingkah laku atau sebaran spasial berdasarkan hasil/ keluaran dari
interaksi- interaksi tersebut.
Holland (1995) mengidentifikasi empa t ha l dasar dari ko mpleks sistem
kompleks adaptif yaitu : agregasi, non- linieritas, diversitas, dan aliran. Nonlinieritas menghasilkan path dependency, yang mengacu pada kaidah interaksi
lokal yang berubah saat sistem berevolusi dan terbangun. Konsekuensi dari path
dependency adalah adanya berbagai wadah bagi atraktor dalam pengembangan
ekosistem dan potensi batas tingkah laku serta pergeseran kualitatif dinamika
sistem dalam pengaruh perubahan lingkungan (Levin 1998).
Kerentanan pulau-pulau kecil umumnya disebabkan karena dampak dari
perubahan iklim yang menyebabka n pula ke mampuan adaptasi yang relatif
terbatas, terutama karena sulitnya akses ke berbagai prasarana dan sarana
pendukung. Adrianto (2004), secara ekonomis maupun ekologis pulau-pulau kecil
rentan terhadap faktor eksternal sehingga dalam pengelolaannya harus berbasis
keberlanjutan.
Daya adaptasi terhadap perubahan iklim adalah kemampuan suatu sistem
untuk menyesuaikan diri dari perubahan iklim (termasuk di dalamnya variabilitas
iklim dan variabilitas ekstrem) dengan cara mengurangi kerusakan yang
43
ditimbulkan, mengambil manfaat atau mengatasi perubahan dengan segala
akibatnya (Smith and Wandel 2006). Adaptasi terhadap perubahan iklim adalah
salah satu cara pe nyesuaian yang dilakuka n secara spo ntan maupun terencana
untuk memberikan reaksi terhadap perubahan iklim. Dengan demikian adaptasi
terhadap perubahan iklim merupakan strategi yang diperlukan pada semua skala
untuk meringankan usaha mitigasi dampak (Murdiyarso 2001).
Adaptasi terhadap perubahan iklim sangat potensial untuk mengurangi
dampak perubahan iklim dan meningkatkan dampak manfaat, sehingga tidak ada
korban. Pengalaman menunjukan bahwa banyak strategi adaptasi dapat
memberikan manfaat baik dalam penyelesaian jangka pendek dan maupun jangka
panjang, namun masih ada keterbatasan dalam implementasi dan keefektifannya.
Hal ini disebabkan daya adaptasi yang berbeda-beda berdasarkan daerah, ne gara,
maupun kelompok sosial-ekonomi. Negara dengan sumberdaya ekonomi terbatas,
tingkat teknologi renda h, informasi dan keahlian rendah, infrastruktur buruk,
institusi lemah, ketidakadilan kekuasaan, kapasitas sumber daya terbatas adalah
memiliki kemampuan adaptasi yang lemah dan rentan terhadap perubahan iklim.
Berlaku hal yang seba liknya bagi Negara dengan sumberdaya ekonomi tinggi,
tingkat teknologi tinggi, informasi dan keahlian tinggi, infrastruktur baik, institusi
kuat, berkeadilan dalam kekuasaan, kapasitas sumberdaya melimpah (Gunawan
2008).
2.8
Pemetaa n Spas ial
Perangkat yang digunaka n dalam pemetaan spasial adalah Sistem Informasi
Geografis. Aronoff (1989) mengemukakan Sistem Informasi Geografis (SIG)
adalah sistem berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan
memanipulasi informasi- informasi geografis. Sistem ini dirancang untuk
mengumpulkan, menyimpan serta menganalisis obyek-obyek dan fenomenafenomena, dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting untuk
dianalisis. SIG memiliki kemampuan untuk menguraikan fenomena di permukaan
bumi ke dalam bentuk beberapa layer atau coverage data spasial. Dengan layer
ini, permukaan bumi dapat ‘direkonstruksi’ kembali atau dimode lkan dalam
44
bentuk nyata tiga dimensi dengan menggunakan data ketinggian berikut layer
tematik yang diperlukan. Untuk melakukan hal ini, SIG memiliki kemampuan
untuk menggunakan data spasial maupun atribut secara terintegrasi, sehingga
sistem ini dapat menjawab pertanyaan spasial dan non-spasial yang berkaitan
dengan (1) lokasi, (2) kondisi, (3) kecenderungan, (4) pola dan (5) pemodelan.
Sumber data yang diperlukan untuk proses dalam SIG secara umum
dibedakan atas tiga kategori (Paryono 1994 and Sutrisno 1994) yaitu:
1. Data survei lapang (berupa data digital dan data atribut).
2. Data peta, merupakan informasi yang telah terekam pada peta, kertas, atau film
yang telah dikonversikan dalam bentuk digital, dan bila telah terekam dalam
bentuk peta maka tidak diperlukan lagi data lapang kecuali untuk keperluan
ground check.
3. Data inderaja, berupa foto udara dan citra satelit.
Secara kaidah, SIG harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1)
terdiri atas konsep dan data geografis yang berhubungan dengan distribusi spasial,
(2) merupakan suatu informasi dari data yang di dapat, ide atau analisis, biasanya
berhubungan dengan tujuan pengambilan keputusan, (3) suatu sistem yang terdiri
dari komponen, masukan, proses dan keluaran, ketiga hal tersebut di atas
difungsikan dalam skenario berdasarkan pada teknologi tinggi, (Hamid 2003).
Secara lebih jelas ilustrasi proses pengolahan data dengan mengguakan SIG dapat
dilihat pada Gambar 7.
MAS UKAN
(INPUT)
Peta
Tabel
Survey Lapang
Data Digital
Data Indraja
Analisis SIG
S IS TEM INFORMAS I GEOGRAFIS
PENGELO LAAN DATA BAS E
Capture
code
Edit
Peny impanan
&
Pencarian
M anipulasi
&
Analisis
Tampilan
&
Laporan
KELUARAN
(OUTPUT)
Laporan tekstual
Peta
Produk
Fotografi
Statistik & Tabel
Data untuk SIG
lainny a
Digital database
KEBUTUHAN PENGGUNA (USER)
Gambar 7. Diagram Sistem untuk Ilustrasi SIG (Meaden and Kapetsky 1991)
45
SIG pada pengelolaan wilayah pesisir dapat diaplikasikan untuk pengaturan
tata ruang wilayah pengelolaan, antara lain ; untuk menduga wilayah potensi
wisata, potensi perikanan da n wilayah pe ngemba ngan budida ya perikanan pesisir.
Selain itu SIG juga dapat digunakan untuk melihat terjadinya berbagai perubahan
penggunaan lahan di wilayah pesisir (Purwadhi 2001).
Khusus untuk aplikasi SIG di bidang perikanan, Meade n and Kapetsky
(1991) menjelaskan tentang penggunaan SIG di bidang tersebut antara lain: (1)
perencanaan untuk zonasi sumberdaya air, (2) pemetaan zonasi spesies biota air,
(c) pengaruh lingkungan terhadap produksi ikan secara intensif dan (4)
identifikasi daerah pusat dimana inovasi kegiatan perikanan kemungkinan akan
menyebar. Terkait dengan kerentanan pulau-pulau kecil, pemetaan spasial akan
memberikan informasi data spasial tentang kondisi eksisting maupun kondisi yang
telah lampau dari kawasan pulau kecil, sehingga dari data ini dapat diprediksi
tingkat kerentanan pulau dan variabel yang mempengaruhi kerentanan suatu
kawasan (Basir et al. 2010).
2.9
Pemanfaa tan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil
Keragaman hayati, sumberdaya perikanan dan nilai estetika yang tinggi
merupakan nilai lebih ekos istem pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil memiliki
ekosistem dengan produktifitas hayati tinggi seperti terumbu karang, padang
lamun (seagrass), rumput laut (sea weed) da n hutan baka u (mangrove) ditemuka n.
Selain itu, pulau-pulau kecil juga memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi
nilai ekonomisnya dan sekaligus sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan
kepariwisataan (Pratikto 2005).
Adrianto (2004), wilayah pulau-pulau kecil dapat dibagi menjadi beberapa
sub wilayah dalam perspektif ekos istem wilayah pesisir, yaitu (1) wilayah
perairan lepas pantai (coastal offshore zone), (2) wilayah pantai (beach zone), (3)
wilayah dataran rendah peisisir (coastal lowland zone), (4) wilayah pesisir
pedalaman (inland zone). Potensi pemanfaatan dan permasalahan yang terjadi di
masing- masing sub wilayah disajikan pada Tabel 3.
46
Tabel 3 Potensi Sumberdaya, Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil da n Ide ntifikasi
Permasalahan di Sub-wilayah Pesisir Pulau-Pulau Kecil
No
Sub-Wilayah
Potensi Sumberdaya dan
Pemanfaatan
Lepas • Sumberdaya Perikanan
• Wisata Bahari
• Navigasi
• Pembuangan Limbah
Potensi Persoalan
• Eksploitasi sumberdaya
perikanan
• Polusi
• Kerusakan
lingkunga n
akibat
proses
pembangunan
2
Pantai
• Ekstraksi Pasir
• Kerusakan habitat pesisir
akibat
pembanguna n
• Rekreasi
fisik
• Pemukiman
• Degradasi perlindunga n
• Reklamasi lahan
alami banjir
• Pembangunan
• Konflik spasial
Pelabuhan
• Penurunan
Kualitas
lingkungan pesisir
3
Dataran Rendah • Habitat banyak spesies • Degradasi
kawasan
Pesisir
habitat pesisir
• Pembuangan limbah
• Polusi
• Reklamasi lahan
4
Pedalaman
• Sumberdaya
laha n • Konflik spasial
Pesisir
untuk
industri, • Degradasi kualitas lahan
perumahan
• Penurunan
kualitas
• Rekreasi
lingkungan
• Infrastruktur
da n
kegiatan pembanguna n
lainnya.
Sumber : Debance (1999) in Adrianto (2004)
1
Perairan
Pantai
Barkes (1994), secara umum model- model pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil (PPK) yang digunakan di beberapa wilayah pesisir
yaitu mod el top-down (inisiasi dan kontrol di pihak pemerintah) atau sentralistik,
bottom-up (inisiasi dan kontrol di pihak masyarakat pesisir) atau desentralistik,
co-management (kemitraan antara dua pihak berkepentingan terhadap wilayah
pulau-pulau kecil, misalnya antara masyarakat dan pemerintah) dan pengelolaan
terpadu yang melibatkan unsur-unsur yang memiliki kepentingan terhadap
sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil. Model pengelolaan wilayah pulau-pulau
kecil top-down lebih cenderung digunakan pada negara berkembang karena
kuatnya pemerintah dalam mengelola aset strategisnya. Model top-down
47
bertumpu pada format perencanaan, metode pelaksanaan dan manfaatnya di
pusatkan ke pemerintah nasional dan pemerintah daerah melaksanakan program
tersebut. Pemerintah nasional membagi rata manfaat pengelolaan sumberdaya
wilayah pulau-pulau kecil ke pemerintah daerah, walau daerah tidak memiliki
wilayah pesisir. Kelemahan model top-down adalah minimnya muatan karakter
lokal (kearifan lokal) di dalam pelaksanaanya sehingga seringkali berbenturan
dengan realita dan masalah yang ada. Benturan tersebut berakibat terjadi dualisme
pengelolaan yaitu pengelolaan berbasis masyarakat yang telah berlangsung sejak
dulu dengan konsep top-down. Sedangkan hal positif model ini yaitu besarnya
persediaan pendanaan dan efektifnya instrumen pengelolaan, seperti pengawasan
dan penegakan hukum.
Model bottom-up adalah model pengelolaan yang telah lama digunakan oleh
sebagian besar masyarakat pulau-pulau kecil yang memiliki hak tradisional dan
begitu kuat diakui. Saat sekarang model pengelolaan berbasis masyarakat ini
masih ada, seperti sistem pengelolaan sasi, ondoapi, lebak bulung, panglima laot
atau sistem ponggawa-sawi di Sulawesi Selatan. Kelemahan model bottom-up
adalah mengenai pertanyaan tentang kesejahteraan masyarakat pulau-pulau kecil,
instrumen yang tersedia makin sulit melakuka n pe negaka n hukum yang
disepakati, legalitasnya masih sulit dipenuhi landasannya, hanya sedikit
masyarakat yang memahami prinsip pengelolaan mode l ini. Kelebihan mode l ini
adalah
dibe ntuk
oleh
masyarakat
pulau-pulau
kecil
sendiri
dimana
pelaksanaannya berdasarkan sistem norma, kepatuhan dan loyalitas (Pratikto
2005).
Model pengelolaan Co-management yang berpola kemitraan, menganggap
masyarakat pulau-pulau kecil dan pemerintah memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang sama tentang sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil. Model ini
menitikberatkan bahwa masyarakat harus berkelompok sehingga koordinasi,
pemilihan prioritas dan pengambilan keputusan lebih akomodatif dalam
meminimalkan bias dalam pencapaian tujuan. Proses dalam mode l ini biasa lebih
menyita banyak waktu untuk tawar- menawar antara pihak pemerintah dan
48
kelompok tentang hal- hal penting yang akan disepakati, sehingga kedua pihak ini
seringkali sulit disinergikan (Pratikto 2005).
Model yang terakhir adalah model pengelolaan terpadu. Model ini adalah
suatu mekanisme dimana setiap elemen mempunyai peran yang saling
mendukung agar terlaksananya tujuan pengelolaan. Multi disiplin ilmu bersinergis
dalam suatu wadah tim kerja (teamwork) sehingga alokasi waktu untuk
menciptakan kesamaan persepsi, prinsip dan tujuan nampak lebih lama. Mode l
terintegrasi (terpadu) ini memerlukan dukungan kelembagaan, baik dari
pemerintah maupun dari masyarakat pesisir itu sendiri, disamping validasi daya
dukung sumberdaya bagi terselenggaranya tujuan ini. Pulau-pulau di lokasi
penelitian lebih baik dikelola dengan model pengelolaan terpadu ini.
2.10 Pendekatan Sistem dalam Penge lolaa n Pulau-Pulau Kecil
2.10.1 Batasan Sistem
Sistem didefinisikan sebagai sehimpunan bagian atau komponen yang saling
berhubungan dan merupakan satu keseluruhan (Amirin 1992). Lebih lanjut sistem
didefinisikan beberapa literatur sebagai berikut : (1) Sistem adalah keseluruhan
interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang
bekerja mencapai tujuan (Muhammadi et al. 2001), (2) Sistem adalah suatu gugus
dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu
tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan (Manetsch and Park 1979 in Eriyatno
1998), (3) Sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian
yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu
lingkungan kompleks (Marimin 2007).
Simatupang (1995), mengemukakan bahwa ada lima unsur utama yang
terdapat dalam sistem yaitu (1) elemen-elemen atau bagian-bagian, (2) adanya
interaksi atau hubungan antar elemen-elemen atau bagian-bagian, (3) adanya
sesuatu yang mengik at elemen-elemen atau bagian-bagian tersebut menjadi suatu
kesatuan, (4) terdapat tujuan bersama sebagai hasil akhir, (5) berada dalam suatu
lingkungan yang kompleks.
49
Marimin (2007), mengemukakan sifat-sifat dasar dari suatu sistem yaitu (1)
Pencapaian tujuan, orientasi pencapaian tujuan akan memberikan sifat dinamis
kepada sistem, memberi ciri perubahan yang terus menerus dalam usaha mencapai
tujuan, (2) Kesatuan usaha, mencerminka n suatu sifat dasar dari sistem dimana
hasil keseluruhan melebihi dari jumlah bagian-bagiannya atau sering disebut
konsep sinergi, (3) Keterbukaan terhadap lingkungan, lingkungan merupakan
sumber kesempatan maupun hamba tan pe ngemba ngan. Keterbukaan terhadap
lingk ungan membuat penilaian terhadap suatu sistem menjadi relatif atau yang
dinamakan equifinality atau pe ncapa ian tujuan suatu sistem tidak mutlak harus
dilakuka n de ngan satu cara terba ik. Tetapi pe ncapa ian tujuan suatu sistem dapat
dilakukan melalui berbagai cara sesuai dengan tantangan lingkungan yang
dihadapi, (4) Transformasi, merupakan proses perubahan input menjadi output
yang dilakuka n oleh sistem, (5) Hubungan antar bagian, kaitan antara subsistem
inilah yang akan memberikan analisa sistem suatu dasar pemahaman yang lebih
luas, (6) Sistem ada berbagai macam, antara lain sistem terbuka, sistem tertutup
dan sistem dengan umpan balik, (7) Mekanisme pengendalian, mekanisme ini
menyangkut sistem umpan balik yang merupakan suatu bagian yang memberi
informasi kepada sistem mengenai efek dari perilaku sistem terhadap pencapaian
tujuan atau pe mecahan persoa lan yang
dihadapi.
Simatupang (1995),
mengemukakan bahwa suatu sistem nyata dalam bahasa formal tertentu dibuat
dalam pemodelan sebagai suatu proses membangun atau membentuk sistem yang
dimaksud, yang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu (1) tata nilai yang diyakini/
dianut oleh pemodel, (2) ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh pemodel, dan (3)
pengalaman hidup dari pemodel.
2.10.2 Pendekatan Sistem
Pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan analisa organisasi yang
menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisa. Pada dasarnya
pendekatan sistem adalah penerapan dari sistem ilmiah dalam manajemen.
Terdapat dua hal umum yang menandai pendekatan sistem, yaitu (1) dalam semua
faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik
untuk
50
menyelesaikan masalah ; dan (2) dibuat suatu mode l kuantitatif untuk membantu
keputusan secara rasional. Suatu pendekatan sistem mempunyai delapan unsur
yang meliputi : metodo logi untuk pe rencanaan da n pengelolaan, suatu tim yang
multidisipliner, pengorganisasian, disiplin untuk bida ng yang non kuantitatif,
teknik model matematik, teknik simulasi, teknik optimasi dan aplikasi komputer
(Marimin 2007).
Simatupang (1995), mengemukakan bahwa hal yang perlu diperhatikan
dalam memecahkan atau menganalisis masalah dengan pendekatan sistem adalah :
a. Melihat masalah sebagai suatu sistem. Dalam konteks penelitian ini, pulau
kecil dipandang sebagai sebuah sistem.
b. Mengenali sistem lingkungan.
c. Identifikasi subsistem yang ada pada sistem.
d. Analisis bagian-bagian sistem secara berurutan, dengan cara (1) evaluasi
tujuan, (2) membandingkan keluaran (output) dengan tujuan, (3) mengevaluasi
manajemen, melalui: (a) evaluasi performansi (hasil kerja), (b) evaluasi
kebutuhan, (c) evaluasi percobaan (experiment) yang pernah dilakukan, (d)
tingkat pe ncapa ian tujuan yang hendak dicapai, (e) waktu yang tersedia,(4)
mengevaluasi sistem pengolah informasi, dengan (a) menentukan informasiinformasi yang akan dibutuhkan, (b) mendesain sistem informasi sesuai dengan
yang dibutuhka n, (5) Mengevaluasi sumberdaya meliputi : (a) evaluasi
sumberdaya yang ada (mesin, manusia, material, uang, energi dan sebagainya),
(b) evaluasi sumberdaya yang dibutuhkan, (c) evaluasi dilakukan secara
kuantitatif dan kualitatif, (6) mengevaluasi proses transformasi dengan cara (a)
mengevaluasi proses pendayagunaan sumberdaya, (b) proses transformasi
diarahkan menuju tercapainya efektivitas dan efisiensi yang cukup tinggi.
Marimin (2007), metode untuk penyelesaian persoalan yang dilakukan
melalui pendekatan sistem terdiri dari tahapan proses. Tahapan tersebut meliputi
analisa, rekayasa model, implementasi rancangan, implementasi dan operasi
sistem tersebut. Metodo logi sistem pada prinsipnya melalui enam tahap analisa
yang meliputi analisa kebutuhan, identifikasi sistem, formulasi permasalahan,
51
pembentukan alternatif sistem, determinasi dari realisasi fisik, sosial politik dan
penentuan ke layaka n eko nomi da n ke uangan.
Permodelan sistem merupakan salah satu metode analisis dalam pemecahan
suatu masalah dengan mengabstraksikan dari suatu objek pada situasi yang aktual
ke dalam ko nsep da n stukturisasi mode l. Tahapan dalam membangun model
simulasi komputer menurut Djojomartono (1993 ) adalah :
1. Identifikasi dan defenisi sistem.
Tahap ini mencakup pemikiran, definisi, karakteristik yang bersifat dinamik
atau stokastik dari masalah yang dihadapi dan memerlukan pemecahan dan
mengapa perlu dilakukan pendekatan sistem terhadap masalah tersebut.
Batasan dari pe rmasalahannya juga harus dibuat untuk menentuka n ruang
lingk up sistem;
2. Konseptualisasi sistem.
Tahap ini mencakup pa nda ngan yang lebih da lam lagi terhadap struktur sistem
dan mengetahui dengan jelas pengaruh-pengaruh penting yang akan beroperasi
di dalam sistem. Struktur dan kuantitatif dari model digabungkan bersama,
sehingga akhirnya kedua-duanya akan mempengaruhi efektivitas model;
3. Formulasi model.
Tahap ini biasanya model dibuat dalam bentuk kode-kode yang dapat
dimasukkan ke dalam komputer. Penentuan akan bahasa komputer yang tepat
merupakan bagian pokok pada tahap formulasi model;
4. Simulasi mode l.
Tahap simulasi komputer digunakan untuk menyatakan dan menentukan
bagaimana semua peubah dalam sistem berperilaku terhadap waktu. Tahapan
ini perlu menetapka n periode waktu simulasi;
5. Evaluasi model.
Berba gai uji dilakuka n terhadap
mode l yang telah dibangun
untuk
mengevaluasi keabsahan dan mutunya. Uji berkisar memeriksa konsistensi
logis, membandingkan keluaran model dengan data pengamatan atau lebih jauh
menguji secara statistik parameter-parameter yang digunakan dalam simulasi.
Analisis sensitivitas dapat dilakukan setelah mode l divalidasi;
52
6. Penggunaan model dan analisis kebijakan. Tahap ini mencakup aplikasi mode l
dan mengevaluasi alternatif yang memungkinkan dapat dilaksanaka n.
Pemodelan sistem dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terkait dengan
kerentanan, memasukka n faktor-faktor fungsi dari kerentanan (fisik) yang
terdiri dari exposure, sensitivity dan adaptif capacity (Gambar 8) yang akan
dioverlay dengan faktor sosial ekonomi dan kondisi eksisting pulau-pulau
kajian.
Gambar 8. Sistem Kerentanan di Pulau-Pulau Kecil (Adopsi : Kasperson 1998 in
Adrianto 2010).
2.11 Penelitian Terdahulu
Kajian kerentanan ba nyak dilakukan denga n mengacu pada ko nsep
kerentanan Environmental Vulnerability Index (kaly et al. 2004). Berdasarkan
penelitian terdahulu, kajian kerentanan lebih menitikberatkan pada faktor fisis
53
berupa kenaikan muka laut yang dititikberatkan pada faktor pemanasan global.
Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini pada Tabel 4.
Tabel 4 State of the Art dan Tinjauan Penelitian Terdahulu
No
Peneliti
Pendekatan
Penelitian
Isu dan
Permasalahan
Analisis
Tinjauan Studi
1.
Adrianto 2004
Ekologi, Ekonomi
Deskriptif
Analisis ekologi,
analisis ekonomi,
analisis sosial,
composit data
kerentanan
Melihat kerentanan
gugusan pulau kecil
berdasarkan faktor fisis
dan sosial.
2.
Agus
Supangat 2009
Ekologi, Ekonomi
Deskripsi
Analisis fisis,
analisis ekonomi
3.
Kurniadi 2009
Ekologi
Deskripsi
Analisis fisis
Menghitung dampak
ekonomis kenaikan muka
air laut.
Menghitung kerentanan
pulau-pulau kecil
berdasarkan naiknya paras
muka air laut
4.
Dewayany
Sutrisno 2009
Ekologi
Deskripsi
Analisis Fisik
5.
Kosasih
Prijatna dkk
2009
Ekologi
Deskripsi
Analisis SIG
6.
Radjawane
dkk
2009
Ekologi, sosial
Deskripsi
Analisis SIG
7.
Hananto
Kurnio
2009
Ekologi
Deskripsi
Analisis Fisis
8.
Budhi
Gunawan
2009
Sosial
Deskripsi
Analisis sosial
Mengkaji tingkat adaptasi
masyarakat terhadap
kenaikan muka laut
9.
Abdul
Rahman
2010
Ekologi, Ekonomi,
Sosial
Deskripsi
Analisis SIG,
analisis ekonomi,
analisis fisis,
analisis sosial
Memetakan kerentanan
pulau-pulau kecil
berdasarkan faktor
ekologi, faktor sosial,
faktor ekonomi
10.
Amiruddin
Tahir 2010
Ekologi, sosial
Deskripsi
Analisis SIG,
analisis fisis
Menghitung kerentanan
pulau-pulau kecil
berdasarkan faktor fisis
pantai.
11.
Mutmainnah
2011
Ekologi, sosial,
ekonomi
Deskripsi
Analisis SIG,
analisis fisis,
analisis ekologi,
analisis sosial
Memetakan kerentanan
pulau-pulau kecil
berdasarkan kondisi fisis
dan kesesuaian lahan serta
menghitung daya dukung
pulau.
Membuat model
kerentanan pulau-pulau
kecil terhadap kenaikan
muka laut
Menyusun peta
kerentanan pulau-pulau
kecil dan kawasan pesisir
dari kenaikan muka laut
di Indonesia
Mengidentifikasi
kerentanan pesisir
terhadap kenaikan muka
laut
Penerapan CVI pada
beberapa wilayah pesisir.
Download