BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Psychological Well-Being
1. Definisi Psychological Well-Being
Menurut Ryff (1989), psychological well-being adalah kondisi dimana
seseorang memiliki kemampuan menerima diri sendiri maupun kehidupannya di
masa lalu, pengembangan diri, keyakinan bahwa hidupnya bermakna, memiliki
tujuan, memiliki kualitas hubungan positif dengan orang lain, kapasitas untuk
mengatur kehidupan di lingkungan secara efektif dan kemampuan menentukan
tindakan sendiri. Ryff (1989) merumuskan teori psychological well-being pada
konsep kriteria kesehatan mental yang positif.
Ryan dan Deci (dalam Singh, Mohan, & Anasseri, 2012) menyatakan
bahwa psychological well-being adalah sebuah konstruksi yang berkaitan dengan
berfungsinya seseorang secara optimal dan positif. Ryff (dalam Papalia, Olds &
Feldman, 2009) mendasari cakupan psychological well-being berdasarkan
cakupan teori para ahli seperti Erikson hingga Maslow, lalu berdasarkan cakupan
tersebut mengembangkan sebuah model baru yang mencakup enam aspek untuk
mengukur psychological well-being. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan Ryff
dan Keyes (1995) terhadap studi-studi mengenai psychological well being, Ryff
dan Keyes berusaha mengajukan konsep psychological well-being yang bersifat
multidimensional yaitu, konsep yang mengupas enam aspek tentang aktualisasi
19
20
diri manusia yang terdiri dari kemandirian, pertumbuhan pribadi, penerimaan
diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan hubungan yang positif.
Deskripsi orang yang memiliki psychological well-being yang baik adalah
orang yang mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu, mampu
membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian
terhadap tekanan sosial, maupun menerima diri apa adanya, memiliki arti dalam
hidup, serta mampu mengontrol lingkungan eksternal (Papalia, dkk 2009).
Berdasarkan definisi yang sudah dipaparkan diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa psychological well-being adalah sebuah konsep tentang
kriteria kesehatan
mental untuk menggambarkan seseorang yang mampu
berfungsi secara optimal dan positif, yang ditunjukkan melalui evaluasi-evaluasi
pengalaman hidup dimana hal tersebut dipengaruhi oleh berfungsinya fungsi
psikologis secara positif seperti, penerimaan diri, mampu membuat hubungan
yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian dalam mengatur
kehidupan, mampu mengontrol dan menguasai lingkungan eksternal, memiliki
tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
2. Aspek-aspek Psychological well-being
Menurut Ryff (1989) terdapat enam aspek dari psychological well-being,
yaitu:
a.
Self Acceptance (penerimaan diri)
Sebuah ciri khas dari karakteristik kriteria kesehatan secara mental yaitu
dimana, seseorang bisa menerima apa yang terjadi pada kehidupannya saat
21
ini maupun kehidupannya di masa lalu. Seseorang yang memiliki skor self
acceptance (penerimaan diri) yang tinggi memiliki sebuah sikap yang
positif terhadap dirinya sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek
tentang dirinya yang mencakup kualitas hal yang baik dan buruk,
merasakan hal yang positif tentang kehidupan di masa lalunya. Sedangkan
seseorang yang memiliki skor self acceptance (penerimaan diri) yang
rendah merasa tidak puas terhadap dirinya, merasa kecewa dengan apa
yang telah terjadi di kehidupan masa lalu, bermasalah dengan hal-hal
yang ada di dalam dirinya, berharap untuk menjadi orang berbeda dari
dirinya saat ini (Ryff, 1989).
b.
Positive relations with others (hubungan yang positif dengan orang lain)
Mempunyai perasaan empati, kasih sayang, cinta yang besar, persahabatan
yang lebih mendalam, dan lebih bisa menyatukan diri terhadap sesama.
Membangun hubungan yang hangat dan positif merupakan salah satu
kriteria dari kematangan (maturity), dari segi teori perkembangan juga
menekankan untuk membangun hubungan yang dekat (intimacy) sekaligus
mampu mengarahkan dan membimbing orang lain (generativity).
Seseorang yang mempunyai skor tinggi pada dimensi ini menunjukkan
mampu membina hubungan yang hangat, kepuasan, percaya terhadap orang
lain, memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat
menunjukkan empati, afeksi, dan keintiman, serta memahami prinsip
memberi dan menerima dalam hubungan antar sesama manusia. Seseorang
yang mempunyai skor yang rendah pada dimensi ini menunjukkan perilaku
tertutup terhadap hubungannya dengan orang lain, sulit bersikap hangat
22
kepada orang lain, tertutup, tidak peduli terhadap sesama, terisolasi dan
merasa frustrasi dalam hubungan dengan sesama orang lain, tidak ada
kemauan untuk berkompromi dalam mempertahakan hubungan dengan
orang lain (Ryff, 1989).
c.
Autonomy (kemandirian)
Mampu menentukan nasib sendiri dan bisa mengatur perilaku sesuai
dengan kemauan diri sendiri. Orang yang mampu berfungsi secara positif
dan optimal, dideskripsikan dengan mampu menunjukkan kemandirian dan
resisten terhadap enkulturasi, memiliki evaluasi lokus secara internal yang
berarti tidak meniru tindakan orang lain untuk mendapatkan persetujuan
tetapi mengevaluasi diri sesuai dengan standar personal yang dimiliki.
Seseorang yang memiliki nilai tinggi pada dimensi ini menunjukkan bahwa
dapat menentukan tentang sesuatu seorang diri, mampu melawan tekanan
sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara-cara tertentu, mengatur
perilaku dari dalam, mengevaluasi diri dengan standar pribadi. Sedangkan
seseorang yang memiliki nilai rendah pada dimensi ini menunjukkan
bahwa orang tersebut terlalu peduli terhadap harapan dan penilaian dari
orang lain, berpegang pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan
penting bagi dirinya, menyesuaikan diri sesuai dengan tekanan sosial untuk
berpikir dan bertindak dengan cara tertentu (Ryff, 1989).
d.
Environtmental mastery (penguasaan lingkungan)
Kemampuan seseorang untuk memilih dan membuat lingkungan menjadi
cocok dengan kondisi psikologisnya. Perkembangan selama rentang
kehidupan juga menggambarkan kemampuan untuk memanipulasi dan
23
mengontrol lingkungan yang kompleks. Teori ini menekankan kemampuan
seseorang untuk beradaptasi di lingkungannya dan mengubahnya secara
kreatif dengan aktivitas fisik maupun mental, mengambil kesempatankesempatan yang ada di dalam lingkungan merupakan hal yang penting
dalam psychological well-being seseorang. Seseorang yang memiliki skor
yang tinggi pada dimensi ini mempunyai penguasaan dan kemampuan
dalam mengatur lingkungan, dapat mengendalikan berbagai aktivitas
eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan
mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan
yang ada di lingkungannya, mampu memilih atau membuat konteks yang
sesuai dengan kebutuhan pribadi dan nilai-nilai. Seseorang yang memiliki
skor yang rendah pada dimensi ini mengalami kesulitan dalam mengatur
kehidupan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah dan
memperbaiki lingkungan sekitar, serta kurangnya kontrol terhadap dunia
luar (Ryff, 1989).
e.
Purpose in life (tujuan hidup)
Keyakinan yang memberikan seseorang perasaan bahwa ada tujuan dan arti
dari kehidupan. Definisi dari kematangan juga menekankan sebuah
pemahaman yang jernih tentang tujuan dari kehidupan, kemampuan untuk
mengarahkan, dan memiliki tujuan. Teori perkembangan rentang
kehidupan mengacu pada sebuah variasi dalam perubahan tujuan selama
hidup, seperti menjadi produktif dan kreatif, atau mencapai integrasi secara
emosional di kemudian hari. Seseorang yang berfungsi dengan positif
mempunyai
tujuan,
mempunyai
niatan,
dan
kemampuan
untuk
24
mengarahkan, yang semuanya berkontribusi terhadap perasaan bahwa
hidup adalah bermakna. Seseorang yang memiliki skor tinggi pada dimensi
ini mempunyai tujuan-tujuan dalam hidup dan kemampuan untuk
mengarahkannya, dapat merasakan keberadaan akan arti hidup saat ini dan
masa lalu, berpegang pada keyakinan bahwa memberi tujuan dan target
yang ingin dicapai dalam hidup. Seseorang yang memiliki skor rendah
pada dimensi ini sedikit memiliki pemaknaan terhadap kehidupan,
memiliki sedikit tujuan, memiliki sedikit cita-cita, tidak melihat makna dan
tujuan di kehidupan masa lalu, tidak memiliki pandangan atau kepercayaan
yang memberi arti pada kehidupan (Ryff, 1989).
f.
Personal growth (pertumbuhan pribadi)
Fungsi psikologis yang positif tidak hanya membutuhkan karakteristikkarakteristik yang telah disebutkan diatas, tapi juga membutuhkan
pengembangan
potensi
mengembangkannya
dari
sebagai
seseorang,
seorang
untuk
individu.
tumbuh,
Kebutuhan
dan
untuk
aktualisasi diri dan sadar akan potensi yang ada di dalam diri merupakan
pandangan yang penting dalam pertumbuhan pribadi. Individu akan terus
menghadapi tugas-tugas baru pada periode kehidupan yang berbeda.
Pertumbuhan yang berkelanjutan dan realisasi diri merupakan hal yang
penting bagi psychological well-being. Seseorang yang mempunyai skor
yang tinggi pada dimensi ini mempunyai sebuah perasaan untuk
melanjutkan pengembangan, melihat dirinya sebagai individu yang terus
tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap berbagai pengalaman baru,
mempunyai keinginan untuk merealisasikan potensinya, melihat bahwa diri
25
dan perilakunya terus mengalami peningkatan, berubah secara efektif dan
mencerminkan kemampuan tentang diri. Skor yang rendah pada dimensi ini
menunjukkan bahwa individu mengalami stagnansi atau tidak adanya
kemajuan pada individu, tidak adanya peningkatan dan pengembangan
pada individu, merasa bosan dan tidak tertarik dengan kehidupan, merasa
tidak mampu untuk mengembangkan sikap dan perilaku baru yang lebih
baik (Ryff, 1989).
Berdasarkan uraian yang dijelaskan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
kriteria orang yang memiliki psychological well-being yang baik setidaknya
harus memenuhi enam aspek yang dikemukakan oleh Ryff (1989) yaitu, self
acceptance (penerimaan diri), positive relations with others (hubungan yang
positif dengan orang lain), autonomy (kemandirian), environtmental mastery
(penguasaan lingkungan), purpose in life (tujuan hidup), dan personal growth
(pertumbuhan pribadi).
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
Salah satu cara untuk semakin memahami konsep tentang psychological
well-being adalah dengan mempelajari faktor-faktor yang berhubungan dengan
psychological well-being itu sendiri. Singh, Mohan, dan Anasseri (2012) dalam
bukunya, menjelaskan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi psychological
well-being. Faktor-faktor tersebut antara lain:
26
a.
Usia (age)
Ryff dan Keyes (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) menganggap
bahwa orang tua mengalami penurunan dalam pertumbuhan pribadi. Akan
tetapi individu di usia tuanya menunjukkan peningkatan pada kemampuan
menguasai lingkungan dan kemandirian dikarenakan individu mencapai
tahap yang lebih tinggi dari rentang kehidupan. Kemampuan menguasai
lingkungan cenderung lebih baik di usia paruh baya dan lanjut usia
daripada saat individu berada di usia muda, tetapi tetap stabil dari usia
menengah ke usia yang lebih tua. Dimensi penerimaan diri dan hubungan
positif dengan orang lain tampaknya tidak terlalu dipengaruhi oleh usia.
Oleh karena itu, pengalaman individu selama hidupnya dapat mengubah
cita-citanya dan cara dia menilai kesejahteraan dirinya sendiri.
Orang-orang yang berusia muda menganggap dirinya telah membuat
kemajuan yang signifikan sejak masa remaja, dan memiliki harapan besar
untuk masa depan, sehingga nilai untuk aspek tujuan hidup dan
pertumbuhan pribadi menjadi lebih tinggi. Orang-orang di usia pertengahan
cenderung tetap dalam proses yang berkesinambungan yaitu perbaikan dari
masa lalu ke masa kini dan mempertahankan tingkat kesejahteraan yang
tinggi
dalam dimensi yang berbeda yang membentuk kesejahteraan.
Akhirnya, orang tua terus menganggap diri mereka dalam kaitannya
dengan masa lalu dan tidak menganggap sensasi berkembang menuju masa
depan. Dilihat dari sisi positif, orang tua cenderung menguasai lingkungan
lebih baik dari kelompok usia lainnya.
27
b.
Jenis kelamin (gender)
Beberapa studi dalam meta-analisis oleh Pinquart dan Sorensen (dalam
Singh, Mohan & Anasseri, 2012) dimana pesertanya mulai dari remaja
sampai usia tua, menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan psychological
well-being antara jenis kelamin. Dalam beberapa kasus, harga diri dan
kesejahteraan psikologis ditemukan sedikit lebih tinggi di kalangan pria
daripada wanita. Hal itu juga ditemukan di semua penelitian yang termasuk
dalam meta-analisis bahwa wanita yang lebih tua menunjukkan tingkat
kepuasan yang lebih rendah terhadap kehidupan, kebahagiaan dan harga
diri jika dibandingkan dengan
pria. Perbedaan gender dalam hal
kesejahteraan psikologis bisa lebih besar pada usia lebih tua, karena wanita
mengalami penurunan lebih besar dalam ambisi saat tumbuh dewasa.
Whitbourne dan Powers (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012)
menyatakan bahwa wanita berhubungan lebih dekat dengan peristiwa
dalam sistem sosial, sedangkan laki-laki lebih dipengaruhi oleh lingkungan
profesional mereka. Pinquart dan Sorensen (dalam Singh, Mohan &
Anasseri, 2012) mengungkapkan oleh karena itu, perempuan lebih
terintegrasi secara sosial dan memiliki skor yang lebih tinggi dalam
hubungan yang positif dengan orang lain jika dibandingkan dengan lakilaki. Dennerstein, Lehnert, dan Guthrie (dalam Singh, Mohan & Anasseri)
melakukan studi yang dilakukan di Australia pada 226 wanita untuk
menilai tingkat kepuasan dan variabel yang lain selama satu periode
kehidupan, yaitu proses menopause. Hasil penelitian menemukan bahwa
kesejahteraan psikologis perempuan meningkat secara signifikan setelah
28
melewati tahap awal menopause ke tahap selanjutnya. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis perempuan
meningkat saat memasuki tahap akhir transisi menopause.
c.
Kelas sosial ekonomi (socioeconomic level)
Diener (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) mengemukakan aspek lain
yang berdampak penting pada kesejahteraan psikologis yaitu situasi sosial
ekonomi, yang juga mencakup beberapa kondisi objektif seperti akses ke
perumahan, sistem kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan kegiatan rekreasi.
Haan, Kaplan, dan Syme (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012)
menyatakan bahwa kesuksesan atau kegagalan dari segi finansial
berkombinasi dengan sumber daya lingkungan, bisa memiliki efek penting
pada perasaan seseorang dari segi prestasi, penguasaan lingkungan dan
penerimaan diri, dan hal ini cenderung berkembang ketika seseorang
bertambah tua.
Secara keseluruhan, ketika situasi keuangan sedang dalam kondisi yang
baik direpresentasikan oleh keseimbangan ekonomi yang positif, maka
kesejahteraan psikologis juga akan meningkat. Ketika situasi keuangan ini
menjadi lebih buruk, dan dengan itu jumlah dirasakan dari kecilnya
pendapatan, maka tingkat kesejahteraan psikologis menjadi turun. Oleh
karena itu, Hence, Steptoe dan Feldman (dalam Singh, Mohan & Anasseri,
2012) mengamati bahwa adanya kondisi lingkungan yang negatif di sekitar
tempat tinggal dikaitkan dengan persepsi kesehatan yang buruk dan dengan
kecemasan psikologis.
29
d.
Relasi sosial (social relations)
Seseorang harus memiliki hubungan sosial yang stabil dan memiliki temanteman yang dapat mereka percayai. Menurut Blanco dan Diaz (dalam
Singh, Mohan & Anasseri, 2012) kesejahteraan jelas dipengaruhi oleh
kontak sosial dan hubungan interpersonal. Hal itu telah terbukti lewat
hubungan berupa kontak di masyarakat, pola aktif persahabatan dan
partisipasi sosial. Penelitian oleh Diener dan Diener (dalam Singh, Mohan
& Anasseri, 2102) menunjukkan pentingnya konteks sosial dan budaya
dalam penilaian seseorang terhadap kesejahtreraan psikologis dirinya
sendiri. Faktor lain yang penting di tingkat kesejahteraan psikologis pada
orang tua adalah kepuasan orang tua terhadap teman hidupnya. Aspek ini
sangat penting bagi kesehatan dan kesejahteraan lansia, untuk siapakah
keluarga menjadi sebuah faktor protektif untuk kesehatan para orang tua.
Keluarga mengakuisisi peran penting dalam kehidupan saat ini dan menjadi
sumber penting dari kesejahteraan psikologis.
e.
Faktor kepribadian (personality factors)
Costa dan Mcrae (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) mengemukakan
bahwa telah ada bukti yang berulang-ulang selama beberapa dekade
terakhir bahwa variabel kepribadian berkaitan erat dengan kesejahteraan
psikologis. Neurotisisme dan extrovertisme berhubungan dengan afek
negatif dan afek positif. Umumnya, orang-orang dengan kecenderungan
neurotik yang sistematis merasa lebih tertekan. Sebaliknya, ekstroversi
mempengaruhi emosi positif, sedangkan neurotisisme secara independen
mempengaruhi emosi negatif. Oleh karena itu, orang yang sering
30
mengekspresikan perasaan kesejahteraan psikologis akan cenderung
ditandai dengan stabilitas emosi dan ekstroversi. Ekstrovert belajar untuk
menjadi bahagia lebih cepat dan tidak mudah untuk menjadi sedih.
Sebaliknya dapat diamati pada orang dengan kecenderungan neurotik lebih
cepat menjadi sedih tapi lebih sulit untuk menjadi bahagia. Jelas, lebih
mudah untuk ekstrovert mengalami emosi positif, tapi dia juga lebih
mungkin terlibat dalam situasi yang memfasilitasi emosi positif.
Landau dan Litwin (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) telah
membuktikan dalam studi terbaru dalam hubungan antara interaksi sosial
dan kesejahteraan pada orang yang berumur panjang. Mayer, Roberts dan
Barsade (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) menyatakan bahwa selain
faktor kepribadian yang disebutkan di atas, kita tidak bisa mengabaikan
fakta bahwa selama dekade terakhir telah ada bukti yang konsisten untuk
hubungan antara kecerdasan emosional yang lebih besar, dipahami sebagai
sebuah kemampuan untuk memahami dan mengelola sendiri kondisi
emosional seseorang, dan sebuah tingkat kesejahteraan psikologis yang
lebih tinggi dan sebuah penyesuaian psikologis yang lebih baik untuk
lingkungan.
Orang dengan kecerdasan emosional yang lebih besar memiliki penguasaan
yang lebih baik terhadap tugas-tugas yang telah ditetapkan dan sebagai
hasil pengalaman sebuah tingkatan kesejahteraan psikologis yang lebih
tinggi. Pada akhirnya, kemampuan untuk mengelola emosi dengan baik
dikaitkan dengan penyesuaian psikologis yang lebih baik terhadap
31
lingkungan. Individu dengan kemampuan mengelola emosi yang baik
memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi.
B. Rasa Syukur
1. Definisi Rasa Syukur
Kamus Bahasa Inggris Oxford (dalam Emmons & McCullough, 2004)
mendefinisikan rasa syukur sebagai “kualitas atau kondisi berterima kasih;
apresiasi pada sebuah keinginan untuk berbuat kebaikan”. Rasa syukur tidak
hanya disebut kebaikan yang tertinggi, tetapi adalah orang tua dari semua yang
lain, ingatan moral dari umat manusia, kekuatan yang menarik pada arah
perubahan pada alam semesta, kunci yang akan membuka semua pintu, kualitas
yang menjaga kita tetap awet muda.
Pruyser (dalam Emmons & McCullough, 2004) menyatakan kata gratitude
berasal dari bahasa latin yaitu gratia yang berarti kelembutan, kebaikan hati atau
terima kasih. Carman dan Streng (dalam Emmons & McCullough, 2004)
menyatakan bahwa rasa syukur tidak hanya anugerah tertinggi manusia dalam
ajaran agama Yahudi, Kristen, Muslim, Buddha, dan Hindu tetapi juga dianggap
sebagai kualitas yang tiada tara dalam tradisi mereka, yang bernilai fundamental
untuk hidup yang lebih baik. Harned (dalam Emmons & McCullough, 2004)
menyatakan rasa syukur dikatakan untuk menggambarkan sebuah sikap terhadap
pemberi, dan sebuah sikap terhadap hadiah, sebuah kepastian untuk memakai
pemberian
tersebut
dengan
baik,
untuk
mempergunakannya
dengan
32
menggunakan daya khayal dan dengan akal sehat sesuai persetujuan dengan niat
dari pemberi.
Emmons dan McCullough (2003) menemukan bahwa orang-orang yang
bersyukur tidak hanya menunjukkan keadaan mental yang lebih positif seperti
antusias, tekun, dan penuh perhatian tetapi juga lebih murah hati, peduli, dan
membantu orang lain. Fitzgerald (dalam Emmons & McCullough, 2004)
mengidentifikasi tiga komponen rasa syukur, yaitu perasaan hangat dan memberi
apresiasi terhadap orang lain atau sesuatu, memiliki niat baik kepada seseorang
atau sesuatu, serta kecenderungan untuk bertindak melakukan sesuatu seperti
beribadah kepada Tuhan, menolong orang lain, dan membalas kebaikan orang
lain.
Rasa syukur adalah sesuatu yang menyenangkan. Rasa syukur juga
memberikan motivasi. Ketika kita merasa bersyukur, kita tergerak untuk
membagikan kebaikan yang telah kita dapatkan kepada orang lain. Rasa syukur
adalah sebuah kesadaran bahwa seseorang adalah hanya penerima dari sebuah
kebaikan. Merasa bersyukur membuat seseorang menjadi ingat pertolongan yang
orang lain telah berikan untuk kepentingan kesejahteraan dirinya (Emmons,
2007).
Menurut McCullough, Emmons, dan Tsang (2002) syukur mempengaruhi
afeksi, mood, dan emosi. Rasa syukur sebagai sifat yang lebih mengarah kepada
afeksi ini disebut sebagai disposisi dari rasa syukur. Disposisi rasa syukur
didefinisikan sebagai kecenderungan umum orang untuk mengenali dan
menanggapi emosi berterima kasih atas kebaikan orang lain. Istilah yang
33
digunakan untuk menyebut dimensi diganti oleh istilah yang disebut faset karena
elemen-elemen disposisi rasa syukur berdiri sebagai sebuah kesatuan dan muncul
secara bersama-sama. Faset dari disposisi rasa syukur antara lain: intensity,
frequency, span, dan density.
Menurut Emmons dan McCullough (2003) dengan bersyukur tidak hanya
menunjukkan keadaan mental yang lebih positif (seperti antusias, tekun, dan
penuh perhatian), tetapi juga lebih murah hati, peduli, dan membantu orang lain.
Berdasarkan uraian yang dijelaskan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
rasa syukur adalah kualitas dan kondisi berterima kasih yang membawa kebaikan
bagi setiap orang yang senantiasa mengamalkannya serta dianggap sebagai
anugerah tertinggi dari Tuhan kepada setiap umat manusia yang bernilai
fundamental untuk kehidupan seseorang agar senantiasa lebih baik. Rasa syukur
juga menimbulkan keinginan untuk membantu orang lain yang kesusahan,
perasaan takjub, berterima kasih dan apresiasi untuk kehidupan. Rasa syukur
memiliki korelasi yang kuat dengan kesejahteraan psikologis.
2. Aspek-aspek Rasa Syukur
Fiztgerald (1998) mengidentifikasi aspek- aspek dari rasa syukur, yaitu :
a.
A Warm Sense of Appreciation for somebody or something
Penilaian yang positif dan penghargaan terhadap seseorang atau sesuatu
meliputi perasaan cinta dan kasih sayang.
34
b.
A Sense of Goodwill toward that person or thing
Kehendak yang baik (goodwill) yang ditujukan kepada seseorang atau
sesuatu, meliputi keinginan untuk membantu orang lain yang kesusahan
dan keinginan untuk berbagi.
c.
A Disposition to Act that flows from appreciation and goodwill
Kecenderungan untuk bertindak positif dengan memberi penilaian positif,
penghargaan, dan berkehendak baik kepada orang lain, lingkungan dan
Tuhan, meliputi intensi menolong orang lain, membalas kebaikan orang
lain, dan beribadah.
McCullough, Emmons, dan Tsang (2002) menyatakan terdapat empat
elemen yang muncul bersamaan dengan munculnya rasa syukur yaitu:
a.
Intensity: Kekuatan seseorang untuk merasakan perasaan rasa syukur.
Individu yang memiliki disposisi rasa syukur yang baik akan merasakan
rasa syukur yang sifatnya lebih intens daripada individu dengan disposisi
syukur yang rendah
b.
Frequency: Seseorang dengan disposisi syukur yang baik akan lebih
merasa bersyukur setiap harinya dan dapat muncul walau hanya dari
kebaikan orang lain yang sifatnya sederhana.
c.
Span: Individu dengan disposisi rasa syukur akan merasa banyak bersyukur
terhadap berbagai hal dan aspek dalam hidupnya. Contohnya seseorang
akan bersyukur atas kesehatan yang dia peroleh, keluarga yang dia miliki,
pekerjaan yang sedang dia lakukan dan kehidupannya sendiri.
d.
Density: Mengacu kepada jumlah orang yang individu syukuri atas suatu
manfaat positif yang individu dapatkan. Contohnya saat seseorang diterima
35
di sebuah perguruan tinggi bergengsi maka seseorang tersebut bersyukur
atas anugerah dari Tuhan, dukungan dari orang tuanya, saudaranya, guru,
dan teman-temannya. Orang dengan disposisi syukur yang rendah mungkin
hanya berterima kasih pada orang tuanya saja.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rasa Syukur
Menurut McCullough, Emmons, dan Tsang (2002) faktor-faktor yang
mempengaruhi rasa syukur adalah :
a)
Emotionality
Satu kecenderungan atau tingkatan dimana seseorang bereaksi secara
emosional dan merasa menilai kepuasan hidupnya.
b)
Prosociality
Kecenderungan seseorang untuk diterima oleh lingkungan sosialnya.
c)
Religiousness
Berkaitan dengan keagamaan, keimanan, yang menyangkut nilai-nilai
transendental.
C. Perilaku Prososial
1. Definisi Perilaku Prososial
Lewin (1936) melihat perilaku sebagai sebuah fungsi dari seseorang dan
situasi. Menurut Staub, Baron, dan Byrne (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006)
perilaku prososial dapat diartikan sebagai perilaku yang menguntungkan
penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan bagi pelakunya. Perilaku yang
36
menghasilkan keuntungan yang substansial bagi orang yang menerima
pertolongan dan perilaku yang membutuhkan pengorbanan dari penolong, dan
keuntungan hanya ditujukan pada orang yang hendak ditolong bukan kepada
penolong. Oleh karena itu perilaku prososial tidak membutuhkan penilaian dari
maksud perilaku tersebut, atau seberapa besar keuntungan atau pengorbanan dari
penolong atau penerima pertolongan tersebut yang terpenting adalah orang yang
menerima pertolongan tersebut telah tertolong.
William (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) membatasi perilaku
prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk
mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik
menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis, dapat
dikatakan bahwa perilaku prososial bertujuan untuk membantu meningkatkan
well-being orang lain. Batson (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009) menyatakan
perilaku prososial yaitu mencakup setiap tindakan yang membantu atau
dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif penolong. Perilaku
prososial bisa dimulai dari tindakan yang sifatnya altruisme yaitu tanpa pamrih
sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih atau kepentingan pribadi.
Brigham (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) menyatakan bahwa perilaku
prososial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain,
dengan
demikian
kedermawanan,
persahabatan,
kerjasama,
menolong,
menyelamatkan, dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial.
37
Staub (dalam Dayaksini & Hudaniah, 2006) mengatakan bahwa ada tiga
indikator yang menjadi tindakan prososial, yaitu:
1.
Tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada
pihak pelaku
2.
Tindakan itu dilahirkan secara sukarela
3.
Tindakan itu menghasilkan kebaikan
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan diatas maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang
ditujukan untuk menolong orang lain, dengan tanpa mengharapkan imbalan dari
pertolongannya sehingga orang yang ditolong bisa tertolong dan mendapatkan
keuntungan baik secara materi, fisik maupun psikologis.
2. Aspek-aspek Perilaku Prososial
Aspek-aspek perilaku prososial menurut Eisenberg dan Musen (dalam
Dayakisni & Hudaniah, 2006) adalah:
a.
Berbagi
Kesediaan untuk berbagi perasaan dengan orang lain baik dalam suasana
suka maupun duka.
b.
Kerjasama
Kesediaan untuk saling bekerja sama dengan orang lain untuk meraih dan
mencapai tujuan.
c.
Menolong
Kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang mengalami kesulitan.
38
d.
Bertindak jujur
Kesediaan untuk melakukan sesuatu apa adanya tanpa berbuat curang.
e.
Berderma
Kesediaan untuk memberikan sebagian barang miliknya kepada orang lain
yang membutuhkan secara sukarela.
Aspek-aspek perilaku prososial yang dipakai dalam penelitian ini adalah
berbagi, kerjasama, menolong, berbuat jujur, dan berderma.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial
Taylor, Peplau, dan Sears (2009) menyatakan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi seseorang melakukan perilaku prososial. Faktor-faktor tersebut
diantaranya:
1.
Karakteristik dari Penolong
a. Mood dan Menolong
Isen dan Levin (dalam Taylor dkk, 2009) mengatakan banyak bukti
yang menunjukkan bahwa orang akan bersedia menolong apabila berada
dalam keadaan good mood, misalnya setelah menemukan uang, baru
mendapat hadiah, atau setelah mendengar musik yang menyenangkan.
Nampaknya perasaan positif menaikkan kesediaan seseorang untuk
melakukan tindakan prososial. Kemungkinan lainnya adalah keadaan
mood positif mungkin menyebabkan kita punya pikiran yang lebih
positif. Sedangkan Carlson dan Miller (dalam Taylor dkk, 2009)
mengatakan untuk efek bad mood terhadap tindakan menolong ternyata
39
lebih kompleks dan riset menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Jika
mood buruk membuat kita lebih fokus pada diri dan kebutuhan kita,
maka ini akan menurunkan kemungkinan kita untuk membantu orang
lain. Ciadini (dalam Taylor dkk, 2009) mengatakan di sisi lain, jika kita
menganggap tindakan membantu orang lain menyebabkan diri kita
merasa lebih baik dan mengurangi mood negatif, maka kita lebih
mungkin untuk memberi bantuan. Tindakan membantu orang lain dalam
mood negatif dikarenakan negative-state relief model (model peredaan
keadaan negatif) untuk menjelaskan mengapa mood negatif justru
meningkatkan tindakan membantu. Menurut pendapat ini, orang dalam
keadaan
mood
buruk
termotivasi
untuk
meredakan
ketidaknyamanannya. Jika ada kesempatan membantu dan kita
menganggap itu dapat memperbaiki mood kita, maka kita akan
menawarkan bantuan.
b. Motif Pemberian Pertolongan: Empati dan Kesedihan Personal
Kesedihan personal adalah reaksi emosional kita terhadap penderitaan
orang lain seperti perasaan terkejut, ngeri, waspada, prihatin, atau tak
berdaya. Kesedihan personal terjadi ketika menyaksikan suatu kejadian
yang membuat kita tenggelam dalam reaksi emosional sedangkan
empati adalah perasaan simpati dan perhatian kepada orang lain,
khususnya
pada
orang
yang
menderita.
Kesedihan
personal
menyebabkan kita cemas dan prihatin; empati menyebabkan kita merasa
simpati dan sayang. Lebih jauh, keinginan membantu yang dimotivasi
oleh keinginan untuk mereduksi ketidaknyamanan pribadi adalah
40
tindakan egoistis, bukan altruistik. Sebaliknya empati biasanya
memotivasi kita untuk menolong karena tujuan empati adalah
memperbaiki keadaan orang lain, empati merupakan motif altruistik.
c. Karakteristik Personal
Knight (dalam Taylor dkk, 2009) menyatakan ada ciri tertentu dari
personalitas orang dalam membantu pada situasi spesifik. Sebuah studi
menemukan bahwa orang dewasa dengan kebutuhan tinggi untuk
mendapat persetujuan sosial lebih mungkin untuk menyumbangkan
uang ketimbang individu dengan kebutuhan persetujuan sosial yang
rendah. Menurut Satow (dalam Taylor dkk, 2009) individu dengan
kebutuhan tinggi untuk mendapat persetujuan sosial menyumbang hanya
jika ada orang lain yang melihatnya. Orang dengan kebutuhan
persetujuan sosial yang tinggi mungkin termotivasi oleh keinginan
mendapat pujian dari orang lain, karena itulah individu bertindak
prososial ketika tindakan baik itu dilihat oleh orang lain.
d. Gender dan Tindakan Menolong
Sesuai peran tradisional pria sebagai pelindung, laki-laki lebih mungkin
untuk memberi bantuan pada tindakan yang dianggap heroik seperti
menyelamatkan orang yang tenggelam atau seseorang yang diserang.
Kekuatan fisik dan latihan olahraga mungkin mempengaruhi perbedaan
jenis kelamin ini. Laki-laki dalam setting yang lebih umum cenderung
lebih mungkin membantu orang asing yang sedih atau tertekan
ketimbang perempuan. Secara umum peran sosial wanita cenderung
pada perilaku prososial pengasuhan, seperti merawat anak kecil,
41
menghibur teman, atau berbicara dengan orang lanjut usia. Crawford
dan Unger (dalam Taylor dkk, 2009) menyatakan wanita lebih mungkin
ketimbang pria untuk memberi perawatan pada keluarga, mengambil
tanggung jawab merawat anak dan orang tua, dengan kata lain pria dan
wanita cenderung terspesialisasi dalam tipe pemberian bantuan yang
berbeda-beda.
2.
Karakteristik Situasi
a. Kehadiran Orang Lain
Latane dan Darley (dalam Taylor dkk, 2009) menyatakan kehadiran
orang lain mengurangi kemungkinan setiap orang akan memberi
bantuan pada orang asing yang kesulitan. Ini disebut sebagai bystander
effect (efek orang sekitar). Semakin banyak orang yang hadir, semakin
kecil kemungkinan individu akan memberi bantuan, dan semakin lama
jeda sebelum bantuan diberikan.
b. Kondisi Lingkungan
Setting fisik mempengaruhi tindakan menolong. Banyak riset telah
mendokumentasikan dampak dari kondisi lingkungan terhadap tindakan
membantu. Ahmed (dalam Taylor dkk, 2009) dalam risetnya
menunjukkan bahwa orang lebih mungkin membantu pengendara motor
yang jatuh pada cuaca cerah ketimbang pada cuaca hujan. Ringkasnya,
cuaca mempengaruhi tindakan menolong. Levine (dalam Taylor dkk,
2009) dalam studinya menemukan bahwa tindakan menolong lebih
sering terjadi di kota dengan kepadatan penduduk rendah dan dengan
tingkat kejahatan yang rendah.
42
c. Tekanan Waktu
Menurut eksperimen yang dilakukan oleh Darley dan Batson (dalam
Taylor dkk, 2009) orang yang terburu-buru lebih kecil kemungkinannya
untuk menolong orang lain, terutama ketika seseorang dituntut untuk
datang tepat waktu.
Staub (dalam Dayakisni & Hudaniah 2006) mengemukakan beberapa
faktor yang mendasari seseorang untuk bertindak prososial, yaitu:
a.
Self-gain
Harapan seseorang untuk mendapatkan sesuatu atau menghindari
kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau
takut dikucilkan.
b.
Personal values and norms
Adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu
selama bersosialisasi dan sebagian nilai-nilai dan norma tersebut berkaitan
dengan perilaku prososial, seperti kewajiban untuk menegakkan kebenaran
dan keadilan serta adanya timbal balik.
c.
Empathy
Kemampuan seseorang untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang
lain. Prasyarat untuk bisa berempati individu harus memiliki kemampuan
untuk mengambil peran.
Berdasarkan penjelasan
digunakan dalam penelitian
diatas faktor-faktor perilaku prososial yang
ini adalah faktor-faktor perilaku prososial dari
Dayaksini & Hudaniah (2006) yang terdiri dari self-gain, personal values and
norms, dan emphaty.
43
D. Remaja Akhir
1. Definisi Remaja Akhir
Muss (dalam Sarwono, 2012) menyatakan bahwa remaja dalam bahasa
inggris yaitu adolescence berasal dari kata latin adolescere yang artinya tumbuh
kearah kematangan. Kematangan disini tidak hanya berarti kematangan fisik,
tetapi terutama kematangan sosial-psikologis. Hurlock (dalam Ali & Asrori,
2012) menyatakan dalam perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence
sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional,
sosial dan fisik. Pandangan ini didukung Piaget (dalam Ali & Asrori, 2012) yang
mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu
menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak
merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan
merasa sama, atau paling tidak sejajar.
Shaw dan Constanzo (dalam Ali & Asrori, 2012) menyatakan bahwa
remaja sedang mengalami perkembangan pesat dalam aspek intelektual.
Transformasi intelektual dari cara berpikir remaja memungkinkan remaja tidak
hanya mampu mengintegrasikan dirinya ke dalam masyarakat dewasa, tapi juga
merupakan
karakteristik
yang
paling
menonjol
dari
semua
periode
perkembangan. Mappiare dalam (Ali & Asrori, 2012) menyatakan masa remaja
dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu remaja awal dan remaja akhir. Hurlock
(dalam Sarwono, 2012) menyatakan remaja akhir adalah suatu masa dimana
individu telah mencapai transisi perkembangan yang mendekati masa dewasa.
44
Blos (dalam Sarwono, 2012) menyatakan bahwa remaja akhir adalah masa
konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal
yaitu minat yang makin mantap pada fungsi-fungsi intelektual, mencari
kesempatan untuk bisa bersatu dengan orang lain dan pengalaman-pengalaman
baru,
terbentuk
identitas
seksual
yang
tidak
akan
berubah,
mampu
menyeimbangkan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain, dan mampu
memisahkan antara diri pribadi dengan masyarakat umum.
Berdasarkan definisi yang sudah dipaparkan diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa masa remaja akhir adalah masa transisi individu yang
semakin dekat untuk mencapai kedewasaan.
2. Pembagian Usia Remaja
Menurut Mappiare (dalam Ali & Asrori, 2012) rentang usia remaja ini
dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12-18 tahun adalah remaja awal dan
usia 18-22 tahun adalah remaja akhir.
Blos (dalam Sarwono, 2012) menyebutkan ada tiga tahap perkembangan
remaja, yaitu:
a.
Remaja awal (early adolescence)
Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan perubahanperubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongandorongan
yang
menyertai
perubahan-perubahan
itu.
Remaja
awal
mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan
mudah terangsang secara erotis. Remaja awal ketika bahunya dipegang oleh
lawan jenis, sudah membuatnya berfantasi erotis. Kepekaan yang berlebih-
45
lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego”
menyebabkan para remaja awal ini sulit mengerti dan dimengerti orang
dewasa.
b.
Remaja madya ( middle adolescence)
Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Remaja
senang jika banyak teman yang menyukainya, ada kecenderungan
“narcistic”, yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman
yang punya sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Remaja berada dalam
kondisi kebingungan karena tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau
tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimistis, idealis atau
materialis, dan sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari
Oedipus Complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak)
dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan dari lain jenis.
c.
Remaja akhir (late adolescence)
Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan
ditandai dengan pencapaian lima hal, yaitu: Minat yang makin mantap
terhadap fungsi-fungsi intelek, egonya mencari kesempatan untuk bersatu
dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru, terbentuk
identitas seksual yang tidak akan berubah lagi, egosentrisme (terlalu
memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan
antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain, tumbuh “dinding” yang
memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the
public).
46
Said (2015) membagi usia remaja menjadi tiga fase dimana setiap fase
memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri. Fase tingkatan umur remaja tersebut,
yaitu:
a.
Remaja awal
Remaja berada pada rentang usia 12 sampai 15 tahun. Remaja pada
tahap ini umumnya sedang duduk di masa Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Ciri khas remaja pada fase ini adalah berubahnya bentuk fisik
dengan cepat.
b.
Remaja pertengahan
Remaja berada pada rentang usia 15 sampai 18 tahun. Remaja pada
tahap ini umumnya sedang duduk di masa Sekolah Menengah Atas (SMA).
Ciri khas remaja pada fase ini adalah mulai sempurnanya perubahan fisik
pada remaja sehingga fisiknya sudah menyerupai fisik orang dewasa.
c.
Remaja akhir (late adolescence)
Remaja berada pada rentang usia 18 sampai 21 tahun. Remaja pada
tahap ini umumnya tengah menempuh pendidikan di perguruan tinggi, jika
tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi remaja pada fase ini
biasanya sudah bekerja dan membantu menafkahi anggota keluarga. Ciri
khas pada fase ini adalah seorang remaja sudah menjadi seseorang yang
dewasa dari sisi bentuk fisik maupun sikap.
47
3. Kebutuhan Remaja Dalam Perkembangannya
Kebutuhan psikologis adalah kebutuhan yang paling penting bagi remaja
karena
sangat
berpengaruh
terhadap
perilaku
seorang
remaja
dalam
kehidupannya. Adapun kebutuhan psikologis dari remaja menurut Said (2015)
antara lain:
a.
Ketenangan, kedamaian, dan kestabilan jiwa
b.
Kesempatan berekspresi dan mengembangkan potensi diri
c.
Cinta dan kasih sayang
d.
Pujian, motivasi, dan penghargaan yang tinggi
e.
Dikenal oleh orang lain, diterima, dan dihargai oleh masyarakat di
sekitarnya
f.
Kebebasan dan rasa merdeka
g.
Sosialisasi dalam kehidupan dan kesetiakawanan
h.
Kesuksesan dan prestasi
i.
Pendidikan agama, pengarahan dan bimbingan
4. Tugas-Tugas Perkembangan Remaja
Havighurst
(dalam
Ali
&
Asrori,
2012)
mendefinisikan
tugas
perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode
tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan fase
bahagia dan membawa kearah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas
berikutnya tetapi kalau gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan
dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya, ada sejumlah tugas perkembangan
remaja yang penting, yaitu:
48
a.
Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik
pria maupun wanita.
b.
Mencapai peran sosial pria dan wanita.
c.
Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif.
d.
Mencari kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa
lainnya.
e.
Mencapai jaminan kebebasan ekonomis.
f.
Memilih dan menyiapkan lapangan pekerjaan.
g.
Persiapan untuk memasuki kehidupan berkeluarga.
h.
Mengembangkan ketrampilan intelektual dan konsep yang penting untuk
kompetensi kewarganegaraan.
i.
Memperoleh himpunan nilai-nilai dan etika sebagai pedoman untuk
bertingkah laku.
E. IMA Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
1. Latar Belakang Berdirinya IMA Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Islamic Medical Activists (IMA) awalnya terbentuk dari kesadaran mahasiswa
bahwa bangsa Indonesia berkewajiban mengisi kemerdekaan dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia menuju masyarakat yang adil dan makmur yang
diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Mahasiswa Indonesia yang termasuk di
dalamnya adalah mahasiswa Muslim merupakan bagian integral dari bangsa
Indonesia yang merupakan penerus dan pewaris masa depan bangsa guna
49
meneruskan pembangunan sebagai bagian dari perjuangan mengisi kemerdekaan
(Anggaran Dasar IMA, 2015).
Mahasiswa Muslim Indonesia, sebagai generasi muda yang sadar atas hak dan
kewajibannya, peranan dan tanggung jawabnya terhadap nusa dan bangsa bertekad
memberikan darma baktinya untuk mewujudkan nilai-nilai yang terdapat dalam
kitab suci Al-Qur’an. Bahwa untuk kesempurnaan pendidikan bagi mahasiswa
Muslim Indonesia dimanapun berada termasuk yang ada di Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana Denpasar Bali sebagai generasi penerus perjuangan bangsa
yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bernuansa sosial, berwawasan
cendekia, berdimensi menjangkau masa yang akan datang, maka sepatutnya
memperoleh jaminan kesejahteraan yang layak (anggaran dasar IMA, 2015).
Mahasiswa Muslim yang terdorong oleh hasrat yang luhur dan murni serta
meyakini bahwa tujuan ini hanya dapat dicapai dengan usaha-usaha yang teratur,
terencana dan penuh tanggung jawab, maka mahasiswa Muslim Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana menghimpun diri dalam suatu organisasi yang
berdasarkan kekeluargaan yang didirikan di Denpasar, Bali tahun 1989 dengan
nama Islamic Medical Activists (IMA) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
(anggaran dasar IMA, 2015).
2. Azas, Tujuan, Sifat, dan Usaha-Usaha IMA Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana
Islamic Medical Activists (IMA) sebagai sebuah organisasi memiliki azas,
tujuan, sifat dan usaha-usaha organisasi yang sudah tercantum secara sah dalam
anggaran dasar IMA tahun 2015. Organisasi IMA adalah organisasi yang
50
berazaskan nilai luhur yang terkandung dalam kitab suci Al-Qur’an (anggaran dasar
IMA, 2015).
Organisasi IMA memiliki tujuan-tujuan organisasi yang dimuat dalam
anggaran dasar IMA tahun 2015 antara lain:
a.
Sebagai wadah untuk menanamkan nilai-nilai Islami dalam membentuk
individu Muslim dan generasi Islami yang diridhoi Tuhan Yang Maha Esa.
b.
Sebagai wadah untuk mencetak kader pemimpin di bidang kesehatan.
c.
Sebagai wadah untuk membangun silaturahmi dan persaudaraan sesama
mahasiswa Muslim.
Organisasi IMA adalah organisasi kemahasiswaan yang bersifat independen
dan kekeluargaan (anggaran dasar IMA, 2015).
Organisasi IMA juga memiliki usaha-usaha dalam organisasi yang dimuat
dalam anggaran dasar IMA tahun 2015 antara lain:
a.
Meningkatkan kesejahteraan anggota.
b.
Membina kepribadian anggota yang bermoral dan berakhlak Islami dan
profesionalitas dalam bidang Kedokteran melalui pembinaan yang
berkelanjutan.
c.
Mengembangkan potensi kreatif dan keilmuan.
d.
Membina kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
e.
Berperan aktif dalam dunia pendidikan, serta berpartisipasi secara
konstruktif dan kreatif dalam pembangunan masyarakat.
51
3. Sumber Keuangan Organisasi IMA Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Sumber keuangan yang digunakan oleh organisasi IMA dalam menjalankan
program dari organisasi, seperti yang dimuat dalam anggaran dasar IMA tahun 2015
berasal dari:
a.
Sumbangan sukarela dari alumni.
b.
Sumbangan sukarela dari anggota IMA.
c.
Sumbangan dari donator yang tidak mengikat.
d.
Usaha-usaha lain yang sah dan halal.
e.
Sisa dana dari kegiatan-kegiatan IMA yang telah lalu.
4. Keanggotaan Organisasi IMA Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Anggota IMA berdasarkan yang tercantum dalam anggaran rumah tangga
IMA tahun 2015 terdiri dari:
a.
Anggota utama yaitu seluruh mahasiswa Muslim yang sedang menempuh
studi di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
b.
Anggota kehormatan yaitu dokter Muslim alumni Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana.
c.
Anggota
utama
IMA
berkewajiban
untuk
mengikuti
pengkaderan/pembinaan organisasi secara berjenjang yang memiliki tujuan
untuk meningkatkan kualitas individu anggota IMA, meningkatkan
pengetahuan tentang organisasi IMA, dan membekali anggota IMA
pengetahuan tentang keorganisasian serta kepemimpinan.
d.
Tahap pertama pengkaderan anggota IMA berupa pelaksanaan kajian rutin
dalam bentuk micro teaching secara berkelanjutan yang diawali dengan
52
temu warga baru (TAWABA) IMA Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana. Muatan pengkaderan tahap pertama adalah melakukan kajian
rutin tentang keagamaan dan seluk beluk perkuliahan di Fakultas
Kedokteran.
e.
Tahap kedua pengkaderan anggota IMA berupa annual training of Islamic
Medical Activists student intensively (ANIMASI). Muatan pengkaderan
tahap kedua adalah penanaman keimanan dan ketakwaan serta wawasan
organisasi IMA Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
F. Hubungan Rasa Syukur dan Perilaku Prososial terhadap Psychological Well-Being
pada Remaja Akhir
Masa remaja adalah peralihan masa perkembangan antara masa kanak-kanak ke
masa dewasa yang meliputi perubahan besar pada aspek fisik, kognitif, dan psikososial
(Papalia dkk, 2009). Masa remaja dibagi menjadi tiga fase yaitu, remaja awal yang berada
pada rentang usia 12-15 tahun, remaja madya yang berada pada rentang usia 15-18 tahun,
dan remaja akhir yang berada pada rentang usia 18-21 tahun (Said, 2015). Tahap remaja
akhir adalah masa konsolidasi menuju kedewasaan yang ditandai dengan minat yang
makin mantap terhadap potensi yang dimiliki, menurunkan ego agar bisa bersatu dengan
orang lain dan pengalaman baru, terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah,
terjadinya keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dan orang lain serta telah mampu
memisahkan diri pribadinya dan masyarakat umum (Sarwono, 2012).
53
Ciri khas dalam perkembangan pada fase remaja membawa pada konsekuensi
kebutuhan psikologis yang khas pula bagi remaja (Said, 2015). Remaja akhir yang
kebutuhan psikologisnya terpenuhi akan memperoleh suatu kepuasan hidup yang
membuat dirinya merasa gembira, harmonis, dan produktif. Selain kebutuhan psikologis
yang
harus
dipenuhi,
remaja
juga
harus
melakukan
tugas-tugas
pada
fase
perkembangannya. Tugas perkembangan pada masa remaja difokuskan pada upaya
meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan serta berusaha untuk mencapai
kemampuan bersikap dan berperilaku secara dewasa. Havighurts (dalam Ali & Asrori,
2012) menyatakan jika remaja berhasil menjalankan tugas-tugas perkembangannya maka
akan menimbulkan perasaan bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam
melaksanakan tugas-tugas berikutnya.
Remaja akhir yang mampu memenuhi dan menyelesaikan kebutuhan psikologis
serta tugas perkembangan akan memperoleh kepuasan dan kebahagiaan. Sejalan dengan
pendapat Santrock (2002) bahwa kepuasan hidup merupakan bagian dari kesejahteraan
psikologis. Kondisi seperti ini mengarahkan remaja pada kesejahteraan secara psikologis
yang biasa disebut psychological well-being. Psychological well-being adalah kondisi
dimana seseorang memiliki kemampuan yang terdiri dari enam aspek yaitu, menerima diri
sendiri maupun kehidupannya di masa lalu, pengembangan diri, keyakinan bahwa
hidupnya bermakna, memiliki tujuan, memiliki kualitas hubungan positif dengan orang
lain, kapasitas untuk mengatur kehidupan di lingkungan secara efektif dan kemampuan
menentukan tindakan sendiri (Ryff, 1989).
Rasa syukur ternyata dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang.
Penelitian dari Wood, Joseph, dan Maltby (2008) yang melibatkan responden dengan
54
rentang usia 18-55 tahun menemukan bahwa rasa syukur berhubungan secara signifikan
dengan kepuasan hidup. Rasa syukur memiliki hubungan yang kuat dengan aspek
pertumbuhan pribadi, aspek hubungan positif dengan orang lain, dan aspek penerimaan
diri pada psychological well-being. Hubungan ini menunjukkan bahwa rasa syukur adalah
prediktor penting dari psychological well-being. Remaja akhir yang senantiasa mengenali
dan menanggapi emosi berterima kasih atas kebaikan orang lain yang dimanifestasikan
melalui perasaan bersyukur yang kuat (intensity), merasa bersyukur setiap hari
(frequency), banyak bersyukur terhadap berbagai aspek kehidupannya (span), dan
mengacu pada jumlah orang yang remaja syukuri atas suatu manfaat positif yang
didapatkannya (density) akan menyebabkan psychological well-being remaja meningkat.
Psychological well-being remaja akhir juga bisa ditingkatkan lewat pengembangan
perilaku-perilaku yang positif. Perilaku positif tersebut bisa berwujud perilaku prososial.
Menurut Santrock (2007) perilaku prososial banyak dilakukan di masa remaja
dibandingkan masa kanak-kanak. William (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006)
membatasi perilaku prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi
untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi
lebih baik, dalam arti secara material dan psikologis, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
perilaku prososial bertujuan untuk meningkatkan well-being orang lain.
Eisenberg dan Musen (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) mengungkapkan aspekaspek perilaku prososial diantaranya berbagi, kerjasama, menolong, berbuat jujur dan
berderma. Hasil riset dari Williamson dan Clark (dalam Taylor dkk, 2009) menunjukkan
bahwa perasaan mahasiswa menjadi lebih senang ketika bisa memberi pertolongan kepada
orang lain dibandingkan mahasiswa yang tidak diberi kesempayan untuk menolong.
55
Mahasiswa yang memberi pertolongan juga mengatakan bahwa merasa dirinya lebih baik
seperti lebih sabar, tidak egois, dan dapat diandalkan. Riset membuktikan bahwa
seseorang yang melakukan perilaku prososial bisa membuat kondisi perasaannya menjadi
lebih baik yang tentu akan mempengaruhi psychological well-being seseorang.
Bagan hubungan antara rasa syukur dan perilaku prososial terhadap psychological
well-being pada remaja akhir bisa dilihat pada gambar 1.
56
a. Intensity
b. Frequency
c. Span
d. Density
RASA SYUKUR
REMAJA AKHIR
ANGGOTA ISLAMIC
MEDICAL ACTIVISTS
PSYCHOLOGICAL
WELL_BEING REMAJA
AKHIR ANGGOTA
ISLAMIC MEDICAL
ACTIVISTS
PERILAKU
PROSOSIAL
a. Self acceptance (penerimaan
diri)
b. Positive relations with others
(hubungan positif dengan orang
lain)
c. Autonomy (Kemandirian)
d. Environtmental mastery
(Penguasaan lingkungan)
e. Purpose in life (Tujuan hidup)
f. Personal growth
(Pertumbuhan pribadi)
a. Berbagi
b. Kerjasama
c. Menolong
d. Berbuat jujur
e. Berderma
Gambar 1. Bagan hubungan antar variabel.
Keterangan Gambar 1.
: Variabel yang diteliti
: Aspek dari variabel yang diteliti
: Hubungan variabel bebas terhadap variabel tergantung
: Garis aspek variabel yang diteliti
57
E.Hipotesis Penelitian
Hipotesis Mayor
1. Rasa syukur dan perilaku prososial diyakini memiliki hubungan fungsional terhadap
psychological well-being pada remaja akhir anggota Islamic medical activists
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Hipotesis Minor
1. Rasa syukur diyakini memiliki hubungan fungsional terhadap psychological wellbeing pada remaja akhir anggota Islamic medical activists Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana.
2. Perilaku prososial diyakini memiliki hubungan fungsional terhadap psychological
well-being pada remaja akhir anggota Islamic Medical Activists Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana.
Download