1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan patin (Pangasius hypopthalmus) merupakan salah satu potensi perikanan yang saat ini menjadi primadona karena permintaannya yang meningkat. Persentase kenaikan produksi ikan patin di Indonesia cukup pesat, pada tahun 2004-2007 sebesar 22,86% sedangkan persentase kenaikan produksi ikan patin tahun 2007-2008 adalah 38,52% dari 37.878 ton pada tahun 2007 meningkat menjadi 52.470 ton tahun 2008 (DKP 2009). Peningkatan ini cukup siginifikan terkait erat dengan perkembangan tren pasar di masyarakat. Konsumsi ikan tahun 2008 sebesar 29,98 kg per kapita per tahun, meningkat dari tahun 2007 yang mencapai 25 kg, sedangkan pada tahun 2004 hanya 22,58 kg (DKP 2009). Ikan sangat rentan terhadap kerusakan akibat pertumbuhan mikroba paska kematian dan kinerja biokimia yang terdapat dalam tubuh ikan. Hal ini disebabkan karena daging ikan merupakan substrat yang baik bagi pertumbuhan mikroba. Daging ikan menyediakan sumber zat makanan makromolekul dan mikromolekul yang secara langsung dapat digunakan mikroba (Hadiwiyoto 1993). Efek dari aktivitas mikroba pada protein ikan adalah off-flavor dan off-odor (Reddy et al. 1994). Glikogen dalam tubuh ikan diubah menjadi asam laktat akibat bekerjanya autolisis (Hadiwiyoto 1993). Secara komersial, hal ini menjadi suatu tantangan bagi transportasi dan pemasaran ikan (Regenstein 2006). Belakangan ini telah berkembang suatu tren permintaan terhadap produk makanan yang didinginkan dengan umur simpan yang lebih panjang. Konsumen lebih memilih produk yang segar, mudah untuk dikonsumsi dan tidak menggunakan bahan tambahan pangan. Hal ini telah mendorong pertumbuhan teknologi alternatif untuk pengemasan bahan pangan, distribusi dan penyimpanan, yaitu modified atmosphere packaging (MAP), yang menghasilkan produk yang mempunyai umur simpan yang lebih panjang dan kualitas yang lebih baik (Sivertsvik et al. 2002). Modified Atmosphere Packaging (MAP) adalah suatu teknologi memperpanjang umur simpan produk dengan menggantikan udara yang ada di dalam kemasan dengan campuran gas yang relatif lebih murni atau steril dan terhitung rasio kandungannya (Sivertsvik et al. 2002). Pengemasan atmosfer termodifikasi dengan kandungan gas karbondioksida dalam kemasannya dapat memperpanjang umur simpan dari produk dengan memperpanjang lag phase dari bakteri aerobik pembusuk (Statham 1984; Farber 1991 dalam Reddy et al. 1994). Bila dibandingkan dengan pendinginan, pengemasan atmosfer termodifikasi telah memperpanjang umur simpan sampai dua kali lipat terhadap produk perikanan segar dan produk olah minimal (Statham 1984; Reddy et al. 1992 dalam Reddy et al. 1994) serta mempunyai potensi untuk digunakan pada level eceran atau retail. Efektifitas MAP dalam memperpanjang umur simpan tergantung pada beberapa faktor, yaitu jenis makanan, kualitas dari bahan makanan (raw material), komposisi gas, suhu penyimpanan, higiene selama penanganan dan pengemasan, rasio antara volume gas dan produk, permeabilitas dari kemasan. Konsentrasi CO 2 pada MAP tergantung pada spesies ikan (Soccol & Otterrer 2003) dan perbedaan komposisi gas telah digunakan untuk berbagai produk ikan. Karena faktor ini, maka perlu juga dilakukan penelitian pengaruh MAP terhadap fillet ikan patin (Pangasius hypopthalmus). 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah 1) Mengetahui bagaimana pengaruh pengkomposisian gas CO2 dan N2 terhadap aspek mikrobiologi, kimiawi dan sensori fillet ikan patin (Pangasius hypopthalmus) dalam MAP dengan penyimpanan pada suhu 5oC dan suhu ruang. 2) Mengetahui komposisi gas yang paling optimum untuk memperpanjang umur simpan fillet segar ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) pada MAP dengan penyimpanan pada suhu 5oC dan suhu ruang.