BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pengertian Corporate Social Responsibility CSR adalah sebuah pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnisnya dan dalam interaksi dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan dan kemitraan (Nuryana, 2005) dalam (Ramadhani, 2011). Menurut Ramadhani (2011) CSR sering disebut dengan istilah amal perusahaan (Corporate Giving/Charity), kedermawanan perusahaan (Corporate philanthropy), relasi kemasyarakatan perusahaan (Corporate Community/Public Relations) dan pengembangan masyarakat (Community Development). Keempat istilah tersebut dapat menjadi acuan dimensi atau pendekatan CSR yang dilakukan oleh suatu perusahaan dalam konteks Investasi Sosial Perusahaan (Corporate Social Investment/Investing). CSR dapat diartikan sebagai sebuah komitmen dalam menjalankan bisnis dengan memperhatikan aspek sosial, norma-norma, dan etika yang berlaku, bukan saja pada lingkungan sekitar, tetapi juga pada lingkup internal dan eksternal yang lebih luas (Kusniadji,2011). Dalam jangka panjang, CSR memiliki kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Motif perusahaan melakukan suatu CSR dapat dikategorikan dari empat istilah tersebut. 14 Menurut Kotler dan Lee dalam Handayani (2012) CSR adalah suatu komitmen untuk memperbaiki kehidupan masyarakat melalui kebijakan praktik bisnis yang telah ditentukan dan kontribusi sumber daya perusahaan. Sedangkan menurut Carroll dalam Handayani (2012) yang dimaksud dengan corporate social responsibility (CSR) adalah kegiatan perusahaan yang mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dan masyarakat secara serius. 2.1.2 Landasan hukum Peraturan mengenai prinsip-prinsip CSR tertuang dalam Undang-Undang 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) (Ramadhani, 2011). Pada Pasal 74 UU PT disebutkan bahwa : 1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan SDA wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). 2) TJSL merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. 3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain UU PT tersebut, UU Republik Indonesia No 25 tahun 2007 (http://www.bi.go.id)juga menjadi landasan setiap perusahaan untuk melakukan program CSR. Pasal 15 (b) tentang Penanaman Modal pada UU RI No 25 Tahun 2007 tersebut menyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan TJS perusahaan. Berdasarkan dua landasan hukum di atas, maka CSR merupakan 15 kewajiban bagi setiap perusahaan dimana terdapat sanksi hukum, jika perusahaan tidak menerapkannya. Suharto (2008) menyebutkan bahwa peraturan tentang CSR yang relatif lebih terperinci adalah UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. UU ini kemudiaan dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan Menteri Negara BUMN No.4 Tahun 2007 yang mengatur mulai dari besaran dana hingga tatacara pelaksanaan CSR. Seperti kita ketahui, CSR milik BUMN adalah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Dalam UU BUMN dinyatakan bahwa selain mencari keuntungan, peran BUMN adalah juga memberikan bimbingan bantuan secara aktif kepada pengusaha golongan lemah, koperasi dan masyarakat. Selanjutnya, Permen Negara BUMN menjelaskan bahwa sumber dana PKBL berasal dari penyisihan laba bersih perusahaan sebesar 2 persen yang dapat digunakan untuk Program Kemitraan ataupun Bina Lingkungan. Peraturan ini juga menegaskan bahwa pihak-pihak yang berhak mendapat pinjaman adalah pengusaha beraset bersih maksimal Rp 200 juta atau beromset paling banyak Rp 1 miliar per tahun 2.1.3 Kategori aktivitas Menurut Kotler dan Lee dalam Semuel (2008), penerapan CSR dapat dikategorikan menjadi enam kategori, yaitu: 1) Cause Promotions Cause Promotions merupakan penerapan sebuah perusahaan untuk menyediakan dana atau kontribusi yang serupa untuk meningkatkan kesadaran dan perhatian mengenai tujuan sosial ataupun untuk mendukung penggalangan dana, partisipasi, 16 dan pencarian sukarelawan untuk tujuan sosial. Perusahaan dapat memprakarsai dan mengelola promosinya sendiri. Contohnya TheBody Shop mempromosikan dirinya melalui larangan pengujian produk komestik pada binatang. 2) Cause-Related Marketing Cause-Related Marketing merupakan tanggung jawab perusahaan untuk membuat kontribusi atau donasi atas sebagian dari pendapatan lembaga sosial tertentu berdasarkan penjualan. Sebagai contoh, Comcast mendonasikan $4.95 dari biayainstalasi high-speed Internet service kepada Ronald McDonald’s House Charity di setiap akhir bulan. 3) Corporate Social Marketing Corporate Social Marketing merupakan penerapan dari Corporate Social Responsibility (CSR) dimana perusahaan mendukung sebuahperkembangan dan/atau penerapan dari perubahan tingkah laku dengan maksud untuk meningkatkankesehatan umum, keamanan, dan kesejahteraanlingkungan. Contohnya Philip Moris mendorong para orang tua untuk berbicara kepada anaknya untuk tidak merokok. 4) Corporate Philanthropy Corporate Philanthropy adalah penerapan dari Corporate Social Responsibility (CSR) dimana perusahaan melakukan kontribusi langsung kepada lembaga sosial, pada umumnya dalam bentuk uang tunai, sumbangan barang, dan hal lain yang serupa. Penerapan ini 17 merupakan penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) yang paling tradisional dan umum dilakukan. 5) Community Volunteering Community Volunteering merupakan inisiatif dari perusahan untuk mendukung dan mendorong para pekerjanya, rekan bisnis, dan/atau anggota waralaba untuk merelakan sedikit waktunya untuk mendukung komunitas organisasi. Misalnya perusahaan mengorganisir karyawannya untuk ikut berpartisipasi dalam program Corporate SocialResponsibility (CSR) yang sedang dijalankan oleh perusahaan, misalnya sebagai staf pengajar. 6) Social Responsibility Business Practice Social Responsibility Business Practice adalah inisiatif dari sebuah perusahaan untuk mengadopsi dan mengatur praktek bisnis dan investasinya agar dapat mendukung lembaga sosial dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melindungi lingkungan. Contohnya, Starbucks bekerjasama dengan Conservation International untuk mendukung petani meminimalkan dampak negatif lingkungannya. Pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) pada suatu perusahaan dapat memberikan kesan positif terhadap produk, sehingga kesan tersebut akan menimbulkan ikatan emosional dan berkembang menjadi brand loyalty (Ariningsih, 2009). 18 2.1.4 Pendekatan corporate social responsibility Menurut Poerwanto dalam Ramadhani (2011), secara konseptual terdapat 3 (tiga) pendekatan dalam pembentukkan CSR, yaitu : 1) Pendekatan moral, yaitu kebijakan atau tindakan yang didasarkan pada prinsip kesantunan dan nilai-nilai positif yang berlaku, dengan pengertian bahwa apa yang dilakukan tidak melanggar atau merugikan pihak-pihak lain. 2) Pendekatan kepentingan bersama, yaitu menyatakan bahwa kebijakankebijakan moral harus didasarkan pada standar kebersamaan, kewajaran, keterbukaan dan kebebasan. 3) Pendekatan manfaat adalah konsep TJS yang didasarkan pada nilai-nilai bahwa apa yang dilakukan oleh organisasi harus dapat menghasilkan manfaat besar bagi pihak-pihak berkepentingan secara adil. Berdasarkan pendekatan tersebut, CSR tidak dapat disebut sebagai beban perusahaan karena CSR merupakan bentuk moral atau etika perusahaan yang menjadi kepentingan bersama berbagai pihak terkait yang akan menunjang keberlangsungan usaha suatu perusahaan. Hal ini tentu saja akan membawa manfaat bagi perusahaan dalam jangka panjang, sehingga CSR dapat dikategorikan dalam tiga aktivitas yang dikenal dengan Triple Bottom Lines meliputi 3P, yaitu profit, people dan planet. Profit berarti perusahaan memberikan manfaat keuntungan kepada shareholder, people diwujudkan dalam bentuk kepedulian terhadap stakeholder dan masyarakat sekitar, serta planet merupakan bentuk aktivitas CSR perusahaan sebagai wujud kepedulian terhadap lingkungan. 19 2.1.5 Citra perusahaan Definisi Citra menurut Jefkins dalam Jatmiko (2011) adalah kesan seseorang atau individu tentang sesuatu yang muncul sebagai hasil dari pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Susanto dalam Prasetya (2010) mengungkapkan bahwa Citra perusahaan adalah asosiasi yang terbentuk antara perusahaan dengan sekumpulan atribut (positif dan negative) yang paling menonjol yang kemudian diberi makna dalam benak para stakeholdernya. Weiwei (2007) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa citra perusahaan adalah respon konsumen terhadap total penawaran dan didefinisikan sebagai jumlah dari keyakinan, ide, yang public miliki terhadap organisasi. Selanjutnya, menurut Rakhmat dalam Jatmiko (2011), citra merupakan kesan yang diperoleh berdasarkan pengetahuan dan pengertian seseorang tentang fakta-fakta atau kenyataan. Roslina dalam Jatmiko (2011) dikatakan bahwa citra perusahaan adalah persepsi eksternal stakeholders. Sedangkan dalam News of Perhumas dalam Jatmiko (2011), disebutkan bahwa terdapat beberapa aspek dalam membentuk citra dan reputasi perusahaan, antara lain: 1) Kemampuan financial. 2) Mutu produk dan pelayanan. 3) Fokus pada pelanggan. 4) Keunggulan dan kepekaan SDM. 5) Reliability. 6) Inovasi. 7) Tanggung jawab lingkungan. 20 8) Tanggung jawab sosial. 9) Penegakan Good Corporate Governance (GCG) Namun dalam upaya pengukurannya, Spector dalam Picton & Broderick dalam Jatmiko (2011) menemukan enam faktor utama yang dapat mengukur dimensi utama para calon responden yang mereka gunakan dalam mengekspresikan citra dari suatu organisasi. Keenam faktor utama tersebut adalah sebagai berikut: 1) Dynamic : pioneering, attention-getting, active, goal oriented Bahwa sebuah organisasi atau perusahaan haruslah dinamis : pelopor, menarik perhatian, aktif dan berorientasi pada tujuan. 2) Cooperative : friendly, well-liked, eager to please good relations Sebuah organisasi harus mampu bekerja sama : ramah, disukai, membuat senang orang lain dan memiliki hubungan baik dengan orang lain. 3) Business : wise, smart, persuade, well-organized Organisasi harus memiliki karakter bisnis : bijak, cerdas, terorganisir dengan baik. 4) Character : ethical, reputable, respectable Sebuah organisasi yang baik, harus memiliki karakter yang baik pula seperti : etis, reputasi baik dan terhormat 5) Successful : financial performance, self-confidence Ciri yang dimiliki organisasi sukses adalah kinerja keuangan yang baik dan percaya diri 6) Withdrawn : aloof, secretive, cautious 21 Organisasi pun harus mampu menahan diri : ketat, menjaga rahasia dan berhati-hati. Zeithaml & Bitner dalam Riswono (2010) mengungkapkan bahwa citra perusahaan didefinisikan sebagai persepsi sebuah perusahaan yang dipantulkan pada asosiasi yang di simpan dalam memori pembeli. Asosiasi itu dapat berupa sesuatu yang sangat nyata, seperti jam kerja dan kemudahan akses, atau sesuatu yang kurang nyata dan bahkan lebih emosional, seperti kegembiraan, kepercayaan, dan kesenangan. Asosiasi itu dapat berhubungan dengan pengalaman penyedia jasa itu sendiri atau pemakai jasa 2.1.6 Definisi ekuitas merek Berbagai merek memiliki variasi dalam hal kekuatan dan nilai yang dimiliki di dalam pasar, dimana merek yang kuat merupakan merek dengan ekuitas yang tinggi, merek dengan ekuitas yang tinggi merupakan kekayaan yang sangat berharga bagi perusahaan. (Handayani,2012) Asosiasi pemasaran Amerika dalam Ariningsih (2009) mendefinisikan merek (brand) sebagai nama, istilah, simbol, atau rancangan, atau kombinasi dari semuanya yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau penjual atau kelompok penjual dan untuk mendefinisikannya dari barang atau jasa pesaing. Menurut Aaker dalam Ariningsih (2009) merek yang kuat memiliki 4 dimensi yaitu awareness, associations, perceivedquality, dan brand loyalty. Selanjutnya, dalam studi yang dilakukan oleh Buil et.al (2013), Christodoulides and de Chernatony menyebutkan bahwa nilai ekonomis atau keuangan dari merek adalah hasil akhir dari tanggapan konsumen terhadap merek. Menurut Aaker dalam Chan (2010), ekuitas merek merupakan seperangkat asset dan liabilitas yang terkait dengan 22 suatu merek, nama dan symbol yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan sebuah produk atau jasa baik pada perusahaan maupun para pelanggan. Sedangkan Kotler dan Keller dalam Sudarsono (2013) menyebutkan bahwa ekuitas merek merupakan nilai tambah yang diberikan produk dan jasa. Menurut Simamora dalam Sanjaya (2012), ekuitas merek yaitu kekuatan suatu merek yang memberikan nilai kepada perusahaan dan konsumen. Pada perspektif perusahaan, ekuitas merek memberikan keuntungan, aliran kas, dan pangsa pasar yang lebih tinggi. Sedangkan dari perspektif konsumen, ekuitas merek terkait dengan sikap merek yang positif dan kuat didasarkan pada arti dan keyakinan yang positif dan jelas tentang merek dalam benak konsumen.Kelangsungan maupun kemapanan suatu merek ditentukan dari kemampuan merek itu untuk membentuk suatu persepsi nilai yang tinggi di pasar Delgado dan Munuera dalam Ariningsih (2009). Pride and Ferrel dalam Severi and Kwek (2013) menyatakan bahwa ekuitas merek dapat didefinisikan sebagai pemasaran dan nilai-nilai keuangan yang terkait dengan kekuatan merek di pasar termasuk asset yang dimiliki merek, kesadaran atas nama sebuah merek, loyalitas merek, persepsi kualitas dan asosiasi merek. Penetapan merek mencakup segala aspek produk dan jasa yang memiliki kekuatan merek dan segala sesuatu tentang penciptaan perbedaan. Merek mempunyai fungsi sebagai berikut: 1) menyederhanakan penanganan atau penelusuran produk 2) menawarkan perlindungan hukum yang kuat untuk fitur atau aspek produk unik 3) menandakan tingkat mutu tertentu 23 4) kemempuan untuk diramalkan dan keamanan permintaan dan menciptakan hambatan perusahaan lain memasuki pasar Membangun merek yang kuat di pasar adalah tujuan dari setiap perusahaan maupun pemasar karena hal ini akan memberikan keuntungan yang sangat besar bagi perusahaan, termasuk di dalamnya yaitu tidak akan mudah goyah akibat dari persaingan pasar yang sangat kompetitif, marjin laba akan naik, pangsa pasar yang besar dan kemungkinan untuk dapat melakukan usaha perluasan merek Delgado dan Munuera dalam Ariningsih (2009). 2.1.7 Kesetiaan merek (brand loyalty) Menurut Ford dalam Widjaja (2007), loyalitas merek dapat dilihat dari seberapa sering orang membeli merek itu dibandingkan dengan merek lainnya.Berikut penjelasan Susanto dalam Widjaja (2007) tentang tingkatan loyalitas terhadap merek yaitu : 1) Tingkatan yang paling dasar adalah pembeli tidak loyal, yang sama sekali tidak tertarik pada merek tersebut dan bagi mereka merek apapun dianggap memadai sehingga merek memainkan peran yang kecil dalam keputusan pembelian. 2) Tingkat kedua adalah para pembeli yang puas dengan produk atau setidaknya tidak mengalami kepuasan, tipe ini bisa disebut sebagai pembeli kebiasaan (habitual buyer). 3) Tingkat ketiga berisi orang-orang yang puas, namun mereka memikul biaya peralihan (switching cost) serta biaya berupa waktu, uang atau resiko kinerja berkenaan dengan tindakan 24 beralih merek, kelompok ini bisa disebut pelanggan yang loyal terhadap biaya peralihan. 4) Tingkat keempat adalah mereka yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut, preferensinya mungkin dilandasi oleh suatu asosiasi seperti simbol, rangkaian pengalaman dalam menggunakan atau persepsi kualitas yang tinggi. 5) Tingkat teratas adalah pelanggan yang setia, mereka mempunyai kebanggaan menjadi pengguna suatu merek, merek tersebut sangat penting bagi mereka, baik dari segi fungsinya maupun sebagai ekspresi diri mereka. 2.1.8 Kesadaran merek (brand awareness) Aaker dalam Widjaja (2007) mendefinisikan kesadaran merek adalah kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori merek tertentu. Kesadaran (awareness) menggambarkan keberadaan merek didalam pikiran konsumen yang dapat menjadi penentu dalam beberapa kategori dan biasanya memiliki peran penting dalam brand equity (Handayani,2012).Menurut Aaker dalam Chan (2010)ukuran dari kesadaran merekterdiri dari beberapa level: Unaware of brand ;brand recognition; brand recall; top of mind. Unaware of brand merupakan tingkat yang paling rendahdimana konsumen tidak menyadari akan adanya suatu merek. 2.1.9 Kesan kualitas (percieved quality) Menurut Susanto dalam Widjaja (2007) kesan kualitas dapat didefinisikan sebagai persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keungulan suatu 25 produk atau jasa berkenaan dengan maksud yang diharapkan. Lebih lanjut, menurut Aaker dalam Wijaja (2007) apabila kesan kualitas adalah untuk dimengerti dan diatur, maka penting untuk mengetahui dimensi-dimensi yang mempengaruhi kesan kualitas produk dan kualitas jasa, yaitu: Kualitas produk, terbagi menjadi: a. Performance–karakteristik operasional produk yang utama. b. Features–elemen sekunder dari produk atau bagian tambahan dari produk. c. Conformance with specifications–tidak ada produk yang cacat. d. Reliability–konsistensi kinerja produk. e. Durability–daya tahan sebuah produk. f. Serviceability–kemampuan memberikan pelayanan sehubungan dengan produk. g. Fit and finish–menunjukkan saat munculnya atau dirasakannya kualitas produk. 2.1.10 Asosiasi merek (brand asociation) Menurut Aaker dalam Widjaja (2007) asosiasi merek adalah segala sesuatu yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan ingatan konsumen terhadap suatu merek. Penelitian yang dilakukan oleh Susanto dalam Widjaja (2007) menyatakan bahwa hal-hal lain yang penting dalam asosiasi merek adalah asosiasi yang menunjukan fakta bahwa produk dapat digunakan untuk mengekspresikan gaya hidup, kelas sosial, dan peran professional; atau, yang mengekspresikan asosiasi- 26 asosiasi yang memerlukan aplikasi produk dan tipe-tipe orang yang menggunakan produk tersebut, toko yang menjual produk atau wiraniaganya. 2.2 Hipotesis 2.2.1 Pengaruh corporate social responsibility terhadap ekuitas merek Beberapa penelitian terdahulu menemukan bahwa terdapat hubungan antara Corporate social responsibility terhadap ekuitas merek. CSR yang dilakukan dengan baik akan berpengaruh positif terhadap reputasi perusahaan. Namun membutuhkan waktu yang panjang agar terbentuk reputasi positif perusahaan dan terbangun brand equity yang diharapkan dapat menambah kepuasan dan meningkatkan loyalitas merek (Ariningsih, 2009). Ulasan dari literatur dan makalah penelitian menunjukkan bahwa peningkatan ekuitas merek yang lebih baik, kinerja merek perusahaan dan citra perusahaan dapat dicapai melalui pelaksanaan CSR dan dengan promosi implementasi kesejahteraan (Khan, 2013). Ghorbani et.al (2013),dalam penelitiannya menyebutkan bahwa semakin banyak sebuah perusahaan terlibat dalam kegiatan CSR semakin mereka dapat mempengaruhi persepsi ekuitas mereka oleh konsumen. Menurut Handayani (2012) semakin banyak kegiatan atau interaksi Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau brand, maka akan semakin tinggi tingkat reputasi perusahaan, brand equity serta social equity brand dimata konsumen dan para stakeholdernya. Dari penelitian yang telah dipaparkan diatas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1: Corporate Social Responsibility berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap Ekuitas Merek pada produk Astra Honda 27 2.2.2 Pengaruh corporate social responsibility terhadap citra perusahaan Beberapa penelitian terdahulu menemukan bahwa terdapat hubungan antara Corporate Social Responsibility terhadap citra perusahaan. Menurut Huang et.al (2014) CSR memiliki efek positif signifikan terhadap citra perusahaan, kualitas pelayanan, dan niat beli. Selain melindungi kepentingan berbagai pihak yang berkepentingan ( pekerja, konsumen, pemagang saham, pemasok, pemerintah, dan lingkungan ) perusahaan juga perlu untuk mematuhi hukum. Menurut Arendt and Malte (2010) Dalam industri jasa, CSR memperkuat dampak dari identifikasi stakeholder – perusahaan terhadap kinerja , sedangkan di industri berbasis produk, CSR memperkuat pengaruh corporate image tarik pada keunggulan kompetitif . Ini berarti bahwa CSR mempengaruhi keberhasilan perusahaan dalam kedua jenis industri, melalui peningkatan daya tarik image (industri berbasis produk ) atau identifikasi stakeholder – perusahaan ( industri berbasis layanan ) . CSR berpengaruh positif dan signifikan terhadap corporate image. Aktivitas CSR yang dilakukan sebuah perusahaan akan mempengaruhi pembentukan corporate image dari perusahaan tersebut. Semakin baik aktivitas CSR yang dilakukan maka corporate image yang tercipta akan semakin baik (Ningrum, 2014). Dari penelitian yang telah dipaparkan diatas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2: Corporate Social Responsibility berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap Citra Perusahaan pada produk Astra Honda. 28 2.2.3 Pengaruh citra perusahaan terhadap ekuitas merek Penelitian terdahulu menemukan bahwa terdapat hubungan antara citra perusahaan terhadap Ekuitas merek. Menurut Handayani (2012) dari hasil penelitian diketahui bahwa brand equity dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh corporate reputation dan social equity brand masing-masing dengan nilai t-value sebesar 2,78 dan 1,99 diatas 1,96. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin baik reputasi perusahaan dan semakin tinggi tingkat social equity brand suatu produk, maka akan semakin tinggi pula tingkat brand equity-nya. Dari penelitian yang telah dipaparkan diatas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3: Citra Perusahaan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap Ekuitas Merek pada produk Astra Honda 2.2.4 Pengaruh citra perusahaan dalam memediasi pengaruh corporate social responsibility terhadap ekuitas merek Beberapa penelitian terdahulu menemukan bahwa terdapat hubungan antara Citra perusahaan dalam memediasi pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Ekuitas merek. Menurut Handayani (2012) dari hasil penelitian diketahui bahwa brand equity tidak hanya dipengaruhi oleh kegiatan CSR saja, tetapi juga tingkat reputasi perusahaan dan social equity brand dari produk tersebut. Menurut Lai et.al (2010) Ekuitas merek industry dan reputasi perusahaan memiliki efek mediasi parsial pada hubungan antara CSR dan kinerja merek .Dari penelitian yang telah dipaparkan diatas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 29 H4: Citra perusahaan secara signifikan memediasi pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Ekuitas Merek pada produk Astra Honda Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Citra Perusahaan Corporate Social Responsibility Ekuitas Merek Sumber:Lai et al.(2010) Gambar 2.1: Gambar Kerangka Pemikiran Penelitian 30