BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Anatomi dan Fisiologi Saluran

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Anatomi dan Fisiologi Saluran Kemih
Saluran kemih secara fisiologis berfungsi untuk menyaring darah dari zatzat yang tidak diperlukan tubuh dan sekaligus menyerap zat-zat yang masih
dibutuhkan. Aliran urin yang konstan dari saluran kemih bagian atas dan proses
eliminasi oleh saluran kemih bagian bawah berperan penting dalam mencegah
masuknya mikroba ke dalam saluran kemih (Hickling et al., 2015).
Sistem perkemihan terdiri ginjal yang menyaring darah dan menghasilkan
urin, ureter yang membawa urin dari ginjal ke vesika urinaria, vesika
urinariasebagai
tempat
urin
dikumpulkan
sebelum
dikeluarkan
melalui
uretra(Hickling et al., 2015).
Ginjal terletak di kiri dan kanan pada dinding posterior di belakang
peritoneum sisi vertebra torakalis ke-12 sampai vertebra lumbalis ke-3. Ginjal
berperan untuk menyaring cairan plasma, memilah bahan-bahan yang diperlukan
oleh tubuh, dan mengalirkan bahan-bahan yang akan dieliminasi ke dalam urin.
Urin yang terbentuk akan mengalir dan disalurkan ke ureter (Hickling et al.,
2015).
Ureter merupakan saluran yang menyambungkan ginjal ke vesika urinaria dengan
panjang 22-30 cm, terletak di rongga abdomen dan rongga pelvis. Urin yang
mengalir dari ginjal akan terdorong masuk ke vesika urinaria melalui gerakan
peristaltik dari otot-otot ureter. Ureter menembus dinding kandung secara oblik
sebelum bermuara di kandung kemih. Hal ini mencegah aliran balik urin dari
kandung kemih ke ginjal apabila terjadi peningkatan tekanan di kandung
kemih(Hickling et al., 2015).
Vesika urinaria (kandung kemih) yang berbentuk seperti kantung berongga
terbentuk dari otot polos, kolagen, dan elastin. Vesika urinaria dapat mengembang
dan mengempis sesuai volume urine yang ditampungnya. Letak vesika urinaria
5
Universitas Sumatera Utara
pada wanita di anterior dari vagina dan inferior dari uterus. Urin yang ditampung
di
dalam vesika urinaria akan dialirkan keluar tubuh melalui uretra yang diatur oleh
kerja otot polos involunter di sfingter uretra interna. (Hickling et al., 2015).
Uretra berupa saluran yang berpangkal pada vesika urinaria mengalirkan
urin ke luar tubuh. Ukuran uretra berbeda antara pria dan wanita. Pada pria
panjang uretra sekitar 13-20 cm, sedangkan panjang uretra pada wanita sekitar 4-5
cm (Hickling et al., 2015). Ukuran uretra pada wanita yang lebih pendek
menyebabkan wanita lebih beresiko menderita ISK (Foxman, 2014).
Produksi urin melibatkan proses filtrasi oleh glomerulus di ginjal dan
reabsorbsi oleh tubulus ginjal. Kedua hal ini diatur oleh level hidrasi sistemik dan
keseimbangan elektrolit; urin yang telah difiltrasi akan keluar dari ginjal menuju
ureter, yang kemudian akan mengalir ke vesika urinaria untuk dimulai proses
pengosongan kandung kemih (Hickling et al., 2015).
Proses
pengosongan
kandung
kemih
(mikturisi)
melibatkan
dua
mekanisme yaitu refleks berkemih akibat peningkatan tegangan pada dinding
kandung, dan refleks saraf untuk mengosongkan kandung kemih. Refleks
berkemih dicetuskan apabila reseptor-reseptor regang di dalam dinding kandung
kemih terangsang akibat peningkatan tegangan di dindingnya oleh volume urin
yang berada di dalam kandung kemih. Stimulasi pada reseptor regang ini akan
merangsang saraf parasimpatis sehingga kandung kemih akan berkontraksi.
Kontraksi kandung kemih akan menyebabkan sfingter interna terbuka dan sfingter
eksterna melemas sehingga urin dapat terdorong keluar melalui uretra keluar
tubuh(Hickling et al., 2015).
2.2Perubahan Fisiologis Saluran Kemih Pada Kehamilan
Kehamilan menyebabkan beberapa perubahan fisiologis pada saluran
kemih. Perubahan tersebut diantaranya terjadi pada:
(1) Ginjal
Ukuran ginjal akan membesar lebih kurang 1,5 cm dibandingkan saat tidak
hamil. Laju filtrasi glomerular (GFR/ Glomerular Filtration Rate) dan aliran
plasma ginjal (renal plasma flow) juga akan meningkat. Peningkatan GFR sebesar
6
Universitas Sumatera Utara
7
25% terjadi 2 minggu setelah konsepsi dan sebesar 50% pada awal trimester II.
Peningkatan GFR ini akan menyebabkan frekuensi berkemih yang lebih sering
(Cunningham, 2014).
(2) Ureter
Ukuran uterus yang semakin membesar dan keluar dari rongga pelvis akan
menyebabkan tekanan di dalam ureter semakin meningkat sehingga ureter akan
berdilatasi. Dilatasi ureter ini dapat terjadi sebelum usia kehamilan 14 minggu,
dan lebih sering terjadi pada bagian kanan (86%) dibandingkan bagian kiri
(Cunningham, 2014). Hormon progesteron yang meningkat selama kehamilan
akan menyebabkan relaksasi otot polos ureter sehingga peristaltik ureter akan
berkurang (Dielubanza and Schaeffer, 2011, Cunningham, 2014, Schnarr and
Smaill, 2008).
(3) Kandung Kemih
Perubahan yang terjadi pada kandung kemih lebih sering terjadi setelah
kehamilan 12 minggu. Tekanan oleh kepala janin yang semakin membesar akan
menghambat aliran darah dan limfe dari kandung kemih, sehingga menjadi edem
dan rentan terhadap trauma (Cunningham, 2014, Ocviyanti and Fernando, 2012).
Penekanan ini juga dapat menyebabkan terjadinya refluks vesikoureteral
(Cunningham, 2014, Dielubanza and Schaeffer, 2011). Hormon progesteron
menyebabkan relaksasi otot polos kandung kemih sehingga kontraksi melemah.
Melemahnya kontraksi kandung kemih ini akan menyebabkan retensi urin yang
memudahkan pertumbuhan bakteri (Dielubanza and Schaeffer, 2011, Schnarr and
Smaill, 2008).
Perubahan fisiologis pada saluran kemih selama kehamilan ini membawa
konsekuensi yang cukup serius.Peningkatan GFR dan aliran plasma ginjal, dilatasi
ureter dan pelvis ginjal, kelemahan otot polos ureter dan kandung kemih akibat
hormon progesteron, adanya refluks vesikoureteral, dan terjadinya retensi urin
menciptakan lingkungan yang memudahkan terjadinya pertumbuhan bakteri
sepanjang saluran kemih. Perubahan fisiologis saluran kemih pada kehamilan ini
menyebabkan wanita hamil lebih rentan terhadap ISK (Dielubanza and Schaeffer,
2011, Schnarr and Smaill, 2008).
Universitas Sumatera Utara
8
2.3ISK dan Kehamilan
2.3.1 Definisi
Menurut IUGA/ICS, ISK adalah infeksi di sepanjang saluran kemih yang
ditandai dengan ditemukannya bakteriuria signifikan pada kultur urin dan adanya
piuria
pada
pemeriksaan
mikroskopis
urin.
Bakteriuria
signifikan
merupakanadanya jumlah bakteri >100.000cfu/mL pada kultur urin, sedangkan
dikatakan piuria apabila ditemukan jumlah leukosit >10/ lbp pada pemeriksaan
mikroskopis urin. ISK dapat disertai dengan gejala terdesak berkemih, sering
berkemih, dan/ atau nyeri di saluran kemih bagian bawah (Haylen et al., 2012).
Suatu kondisi apabila ditemukan bakteriuria signifikan namun tidak terdapat
gejala ISK dinamakan bakteriuria asimptomatik (Cunningham, 2014).
2.3.2 Prevalensi
Prevalensi ISK pada masa kehamilan bervariasi di berbagai wilayah dan
waktu. Hasil dari beberapa studi menunjukkan prevalensi ISK pada masa
kehamilan di berbagai negara antara lain sebesar 14% di Ethiopia (Derese et al.,
2016), 20% di Arab Saudi (Faidah et al., 2013), 7,7% di India (Shazia et al.,
2011). Di Indonesia, prevalensi ISK pada kehamilan sebesar 30-35%, dari
beberapa studi yang pernah dilakukan antara lain sebesar 35,3% di Jakarta
(Bukitwetan et al., 2004), 35% di Medan (Munthe, 2014), dan 30,2% di Malang
(Zahroh et al., 2016)
2.3.3 Faktor Resiko
Perubahan morfologi saluran kemih selama kehamilan menyebabkan
wanita hamil lebih rentan terhadap ISK (Cunningham, 2014). Namun terdapat
beberapa faktor yang juga mempengaruhi terjadinya ISK pada masa kehamilan,
antara lain usia muda (24-34 tahun), usia kehamilan (insiden tertinggi pada 30-32
Universitas Sumatera Utara
9
minggu),tingkat pendidikan yang rendah,
aktivitas seksual, multiparitas, dan
kondisi sosio-ekonomi yang kurang (Emiru et al., 2013, Derese et al., 2016).
Studi oleh Derese et al, di Ethiopia menyatakan kelompok usia 25-34
tahun beresiko 3 kali lipat menderita ISK. ISK lebih sering terjadi pada usia muda
kemungkinan disebabkan pada usia tersebut penderita masih aktif secara seksual
sehingga semakin sering terpapar dengan bakteri penyebab ISK (Derese et al.,
2016).
Tingkat pendidikan juga merupakan faktor resiko yang berhubungan
dengan kejadian ISK selama masa kehamilan. Pada satu studi, ditemukan subjek
dengan level pendidikan hanya mampu baca-tulis lebih beresiko menderita ISK 2
kali lipat daripada subjek dengan tingkat pendidikan lebih tinggi (Derese et al.,
2016). Tingkat pendidikan menunjukkan tingkat pemahaman subjek tentang
pengetahuan terutama yang berkaitan dengan kemampuan subjek untuk menjaga
higiene diri. Subjek dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diyakini terpapar
lebih banyak informasi tentang perilaku hidup bersih dan sehat, terutama terkait
dengan higiene diri yang berkaitan dengan kegiatan berkemih.
Beberapa studi menunjukkan proporsi ISK lebih besar pada subjek dengan
kondisi sosio-ekonomi yang rendah. Kondisi sosio-ekonomi terlihat dari besarnya
jumlah penghasilan bulanan yang didapat dalam satu keluarga. Beberapa studi
menemukan hubungan signifikan antara penghasilan bulanan dengan kejadian
ISK pada masa kehamilan (Haider et al., 2010, Emiru et al., 2013, Derese et al.,
2016). Pada satu studi, subjek yang memiliki penghasilan di bawah 1.000 birr (Rp
600.000,-) beresiko 15 kali lipat menderita ISK daripada subjek dengan
penghasilan lebih tinggi (Derese et al., 2016). Kondisi sosio-ekonomi
berhubungan dengan status nutrisi dan imunitas selama kehamilan. Beberapa studi
meyakini bahwa kondisi sosio-ekonomi yang rendah menunjukkan rendahnya
kemampuan wanita hamil untuk mendapatkan nutrisi yang baik selama
kehamilan, dan dengan rendahnya imunitas selama masa kehamilan (Haider et al.,
2010).
Usia kehamilan merupakan salah satu faktor resiko terjadinya ISK pada
masa kehamilan(Foxman, 2014). Ditemukan adanya peningkatan prevalensi ISK
seiring dengan meningkatnya usia kehamilan. Hal ini disebabkan oleh tekanan
Universitas Sumatera Utara
10
kepala janin yang semakin membesar terhadap kandung kemih (Cunningham,
2014). Hormon progesteron juga berperan dalam melemahnya kontraksi kandung
kemih sehingga sering terjadi retensi urin yang memudahkan pertumbuhan bakteri
(Cunningham, 2014, Dielubanza, 2011). Studi oleh Bukitwetan menemukan
proporsi terbesar ISK terjadi pada usia kehamilan > 28 minggu(Bukitwetan et al.,
2004). Studi lain juga menyatakan bahwa insiden tertinggi ISK terjadi pada usia
kehamilan 30-32 minggu (Emiru et al., 2013).
Jumlah paritas mempengaruhi terjadinya ISK pada kehamilan. Beberapa
studi menemukan hubungan signifikan antara multiparitas dengan kejadian ISK
pada kehamilan (Bukitwetan et al., 2004, Haider et al., 2010, Nigam et al., 2016).
Studi lain oleh Zahroh di Malang (2016) menemukan bahwa resiko terjadinya ISK
meningkat sebanyak 3 kali lipat pada nulipara. Beberapa studi lain menyatakan
tidak ada hubungan antara jumlah paritas dengan kejadian ISK pada masa
kehamilan (Emiru et al., 2013, Hamdan et al., 2011).
Aktivitas seksual juga merupakan faktor resiko yang berhubungan dengan
kejadian ISK pada masa kehamilan. Suatu studi menyatakan aktivitas seksual
setidaknya 1 kali dalam 2 minggu merupakan faktor resiko yang berhubungan
signifikan dengan kejadian ISK pada masa kehamilan (Haider et al., 2010). Studi
lain menyatakan terjadi peningkatan resiko sebesar 3 kali lipat untuk mengalami
ISK pada subjek dengan aktifitas seksual lebih dari 3 kali dalam seminggu. Hal ini
terjadi akibat meningkatnya resiko untuk terjadi iritasi pada muara uretra saat
melakukan hubungan seksual sehingga meningkatkan resiko terjadinya ISK
(Haider et al., 2010). Studi lain yang juga menyatakan aktivitas seksual
berhubungan signifikan dengan kejadian ISK pada kehamilan (Foxman, 2014,
Emiru et al., 2013, Haider et al., 2010, Bukitwetan et al., 2004). Studi lain di
Indonesia oleh Bukitwetan (2004), menemukan peningkatan resiko sebesar 3 kali
lipat untuk menderita ISK pada subjek dengan aktifitas seksual lebih dari 3 kali
dalam seminggu.
2.3.4Patogenesis
Patogen yang menginfeksi saluran kemih pada umumnya merupakan flora
normal di usus besar dan mukosa vagina (Cunningham, 2014, Dielubanza and
Universitas Sumatera Utara
11
Schaeffer, 2011). Penyebaran infeksi terjadi secara ascendingakibat berpindahnya
flora dubur menuju vagina dan mengganggu flora normal di vagina, kemudian
masuk ke kandung kemih melalui uretra. Bakteri yang telah berkolonisasi di
kandung kemih dapat bermultiplikasi, kemudian naik menuju ureter, dan apabila
terjadi refluks vesikoureteral, bakteri dapat naik (ascending) menuju parenkim
ginjal(Cunningham, 2014).
E. coli merupakan salah satu flora normal yang dapat berkolonisasi di
saluran kemih(Cunningham, 2014). E. coli memiliki kemampuan untuk berkoloni
di saluran kemih dengan bantuan faktor adherens yang disebut adhesin. Adhesin
merupakan protein permukaan sel (cell-surface protein) yang dapat berupa pili
dan fimbriae (Jawetz, 2013). Adhesin akan meningkatkan kemampuan
melekatnya E. coli ke mukosa saluran kemih dan juga meningkatkan virulensinya
(Cunningham, 2014). Sebagian besar strain strain E. coli yang menginfeksi
saluran kemih (uropathogenic E. coli/ UPEC) memiliki adhesin type-1 pili yang
akan berinteraksi dengan reseptor di sel permukaan epitel kandung kemih
(Dielubanza and Schaeffer, 2011, Schilling et al., 2001). Type-1 pilimerupakan
adhesin yang paling berperan dalam mempertahankan kolonisasi dan infeksi dari
UPEC (Dielubanza and Schaeffer, 2011).
Type-1 pili berperan dalam adherensi UPEC dengan menginduksi
terjadinya kaskade sistem imun host, diantaranya pembentukan kompleks protein
antara focal adhesion kinase (FAK) dengan phosphatidylinositol 3-kinase (PI 3kinase), a-actinin danvinculin. Kaskade ini menghasilkan pembentukan kembali
sitoskeleton dan membentuk selubung terhadap bakteri yang masuk. Invasi
terhadap sel epitel kandung kemih ini mencetuskan produksi sitokin/ kemokin pro
inflamasi dan apoptosis sel epitel. Respon imun yang melibatkan sel-sel inflamasi
berusaha mengeluarkan bakteri dari permukaan sel epitel kandung kemih, namun
UPEC memiliki kemampuan untuk menginvasi mukosa kandung kemih, sehingga
bakteri menjadi persisten di dalam sel mukosa kandung kemih (Jawetz, 2013,
Schilling et al., 2001, Dielubanza and Schaeffer, 2011).
Adhesin lain yang dimiliki oleh UPEC yaitu adhesin P- dan S- fimbriae
yang menyebabkan pielonefritis (90% kasus), sistitis (19% kasus), dan bakteriuria
asimptomatik (14% kasus) (Dielubanza and Schaeffer, 2011). Adhesin P- dan S-
Universitas Sumatera Utara
12
fimbriae juga berperan pada invasi UPEC ke sel epitel mukosa kandung kemih
(Schilling et al., 2001, Cunningham, 2014, Ahmed, 2016, Hickling et al., 2015).
2.3.5Profil Bakteri Penyebab ISK Pada Kehamilan
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melihat profil bakteri penyebab
ISK pada kehamilan.Penelitian retrospektif sepanjang tahun 2003-2012 yang
dilakukan oleh Bankole, dkk di Benin, Etiopia menunjukkan bakteri paling sering
yang menyebabkan ISK pada kehamilan adalah E. coli (36%), lalu diikuti oleh S.
aureus (25%), Klebsiella spp (15%), dan Streptococcus D (14%) (Bankolé et al.,
2016). Penelitian ini hampir mirip dengan penelitian Ahmed, dkk (2016) di
Etiopia Selatan yang menemukan bahwa prevalensi ibu hamil yang menderita ISK
sebesar 11,1 % dan bakteri terbanyak penyebab ISK adalah E. coli (45%).
Penelitian lain di Etiopia Timur oleh Derese, dkk (2016) menyatakan bahwa
bakteriuria signifikan ditemukan pada 14% urin ibu hamil, dengan bakteri
terbanyak E.coli (35%), coagulase-negatif Staphylococci (19,2%),Pseudomonas
aeruginosa (15,4%), dan Klebsiella spp. (11,5%).
Hasil berbeda didapatkan dari penelitian di India oleh Ahmed, dkk (2016)
yang menunjukkan bahwa patogen terbanyak penyebab ISK pada wanita hamil
adalah Staphylococcus aureus (44%), diikuti oleh E. coli (36%), Klebsiella
pneumonia (10%), Pseudomonas aeruginosa (8%), dan Proteus spp (3%).
Di Indonesia, studi oleh Bukitwetan, dkk (2004) di Jakarta, menyatakan
E.coli ditemukan pada 100% isolat urin pada studi tersebut. Studi di Pekanbaru
oleh bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Riau (2012)
menunjukkan 76% ISK disebabkan oleh gram negatif, dengan prevalensi
Escherichia coli (28%), Klebsiella sp (26%), Pseudomonas sp (18%) (Endriani et
al., 2012).
Berikut ini beberapa bakteri yang sering menyebabkan ISK pada masa
kehamilan yaitu Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus
aureus, Staphylococcus epidermidis, dan Klebsiella sp:
(1) Escherichia coli (E. coli)
Universitas Sumatera Utara
13
E. coli merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang pendek dengan
panjang sekitar 2 µm, diameter 0,7 µm, lebar 0,4-0,7µm, motil, dan bersifat
anaerob fakultatif(Jawetz, 2013). E. coli memfermentasikan laktosa dan
memproduksi indol yang digunakan untuk mengidentifikasi bakteri pada kultur
urin. Identifikasi E. coli pada media agar darahberbentuk besar (2-3 mm), sirkular,
konveks dan koloni tidak berpigmen (Johnson, 1991).
(2) Staphylococcus aureus (S. aureus)
S. aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk kokus, non motil,
tidak membentuk spora, dan bersifat fakultatif anaerob.Koloni di agar darah akan
berbentuk bulat, konveks, diameter 1-4 mm dan berbatas tegas membentuk zona
beta-hemolisis (Jawetz, 2013).
(3) Pseudomonas aeruginosa
Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri batang Gram negatif, motil
dengan flagella di kutubnya, menghasilkan pigmen larut air yang berdifusi pada
media pertumbuhan. Uji katalase dan oksidase akan menunjukkan hasil positif
bagi Pseudomonas aeruginosa(Jawetz, 2013).
(4) Klebsiella sp
Spesies yang sering menginfeksi saluran kemih adalah Klebsiella
pneumonia. Klebsiella pneumonia merupakan bakteri batang gram negatif, non
motil, berkapsul, memfermentasikan laktosa dan bersifat fakultatif anaerob.
Klebsiella pneumonia merupakan bakteri flora normal yang dijumpai di mulut,
kulit, usus dan sebagai penyebab ISK kedua terbanyak setelah E. coli (Jawetz,
2013).
(5) Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri kokus Gram positif,
tersusun berkelompok seperti anggur. Koloni yang terbentuk pada agar darah
berupa warna putih, kohesif, dan non hemolisis. Bersifat fakultatif anaerob,
memberikan hasil uji katalase yang positif dan uji koagulase yang negatif (Jawetz,
2013).
Universitas Sumatera Utara
14
2.3.6Diagnosis
Diagnosis ISK ditegakkan dengan pemeriksaan mikrobiologi dengan
kultur urin, yaitu adanya >100.000 cfu/ml koloni bakteri pada media pertumbuhan
dan ditemukan jumlah leukosit >10/lpb pada pemeriksaan mikroskopis
urin(Haylen et al., 2012). ISK juga sering disertai dengan gejala terdesak
berkemih, sering berkemih, dan/ atau nyeri di saluran kemih bagian bawah
(Haylen et al., 2012). Dikatakan bakteriuria asimptomatik apabila ditemukan
bakteriuria signifikan namun tanpa gejala ISK (Cunningham, 2014).
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan untuk menegakkan ISK antara
lain(Haylen et al., 2012):
(1) Mikroskopis urin
Pemeriksaan urin di bawah mikroskop dilakukan segera setelah
sampel urin dikumpulkan. Setelah disentrifugasi, setetes urin diteteskan di
atas gelas objek lalu ditutup dengan coverglass. Preparat ini diperiksa di
bawah mikroskop untuk melihat jumlah leukosit. Dikatakan piuria apabila
ditemukan jumlah leukosit >10/lpb (Haylen et al., 2012).
(2) Kultur Urin
Kultur urin merupakan metode penegakan diagnosis terbaik untuk
ISK. Sampel yang digunakan dalam pemeriksaan ini berasal dari urin pancar
tengah (mid stream urine) yang diambil secara bersih (Ocviyanti and
Fernando, 2012, Guido Schmiemann et al., 2010). Sampel urin sebanyak
0,001 mLditanam pada piring media blood agar, cysteine-lactose-electrolytedeficient agar, dan MacConkey agardengan mengikuti prosedur standar
laboratorium mikrobiologi. Piring media diinkubasi secara aerob pada suhu
37°C selama 24 jam dan dinilai terdapat pertumbuhan bakteri atau tidak.
Universitas Sumatera Utara
15
Jumlah koloni yang tumbuh pada blood agar dihitung. Dikatakan
bakteriuria signifikan bila terdapat >100.000cfu/mL koloni pada media
pertumbuhan (Haylen et al., 2012).Pada kultur urin yang menunjukkan hasil
bakteriuria signifikan dilakukan penilaian karakteristik seperti morfologi
koloni, bau, berkelompok atau tidak, dan terjadi hemolisis atau tidak pada
media pertumbuhan. Reaksi biokimia akan diujikan pada kultur yang positif
sesuai prosedur standar seperti uji triple sugar iron agar, indole, simmons
citrate agar, oxidase,urease, dan motilitas (Derese et al., 2016).
2.3.7 Tata Laksana
Semua wanita hamil dengan ISK harus diterapi. Pemberian terapi pada
wanita hamil denganISK dapat menurunkan insiden bakteriuria dari 86% menjadi
11%, dan menurunkan angka komplikasi hingga 80%. Pemberian terapi perlu
diperhatikan efek samping berbagai antibiotik tersebut pada kehamilan. Efek
samping yang dapat terjadi antara lain reaksi anafilaktik oleh penisilin dan
sefalosporin, fetal hyperbilirunemia oleh sulfonamide, defisiensi glucose-6phosphate dehydrogenase oleh nitrofurantoin, dan trimethroprim bersifat
teratogenik.
Terapi yang diberikan pada wanita hamil dengan ISK terlihat pada gambar
di bawah ini:
Tabel 2.1 Tata laksana ISK Pada Kehamilan
Antibiotik oral
Amoksisilin 3 x 500mg
Sefadroksil 2 x 500 mg
Sefaleksin 3 x 250 mg
Fosfomisin 3 gr dosis tunggal
Nitrofurantoin 3 x 100 mg (tidak digunakan
pada trimester ketiga)
Kotrimoksazol 2 x 960 mg (hanya boleh
digunakan pada trimester kedua)
2.3.8 Penapisan Awal danPencegahan
Universitas Sumatera Utara
16
ISK yang tidak tertangani dapat menimbulkan komplikasi bagi ibu dan
janin. Mengingat komplikasi akibat ISK pada kehamilan, maka pada pelayanan
kesehatan yang sarananya terbatas untuk dapat melakukan kultur urin, diperlukan
suatu metode penapisan awal sehingga ISK dapat lebih awal terdeteksi. Pada
pelayanan kesehatan primer, uji nitrit dengan tes celup urin digunakan untuk
penapisan awal ISK, namun tes celup urin tidak cukup sensitifuntuk deteksi
bakteriuria pada ibu hamil (Ocviyanti and Fernando, 2012). Saat ini tidak terdapat
satupun metode yang cukup sensitif dan spesifik untuk mendeteksi awal ISK pada
kehamilan, sehingga kultur urin masih merupakan standar baku (Mundhada et al.,
2016).
Angka kekambuhan ISK juga cukup tinggi sehingga diperlukan suatu
upaya pencegahan agar ISK tidak berulang. Pencegahan ISK agar tidak berulang
dapat dilakukan dengan memberikan antimikroba profilaksis, terutama pada
wanita sebelum hamil dengan riwayat ISK berulang, ibu hamil dengan riwayat
ISK sebelumnya, ibu hamil dengan diabetes, penyakit ginjal polikistik, batu
saluran kemih, nefropati refluks, atau sedang menggunakan obat steroid(Ocviyanti
and Fernando, 2012).Antibiotik yang aman digunakan sebagai profilaksis ISK
pada kehamilan antara lain sefaleksin 250 mg per oral satu kali sehari atau
amoksisilin 250 mg per oral satu kali sehari (Hickling et al., 2015).
2.4 Kerangka Teori
Dari uraian di atas, adapun kerangka teori pada penelitian ini terlihat pada
bagan di bawah ini:
Bakteri penyebab
ISK
Infeksi Saluran
Kemih
Kehamilan
Faktor resiko:






Usia
Tingkat pendidikan
Penghasilan bulanan
Usia kehamilan
Paritas
Aktivitas seksual
Universitas Sumatera Utara
17
Gambar 2.1Kerangka Teori
2.5Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep penelitian terlihat pada bagan di bawah ini:
Variabel Bebas
Variabel Tergantung
Faktor resiko:






Usia
Tingkat pendidikan
Penghasilan
bulanan
Usia kehamilan
Paritas
Aktivitas seksual
Infeksi Saluran
Kemih
Bakteri peny
ISK
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Download