Perilaku Pasca Pembelian - Universitas Mercu Buana

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Integrated Marketing Communication (IMC) 1
Pokok Bahasan:
PERILAKU PASCA PEMBELIAN
Fakultas
Program Studi
KOMUNIKASI
MARCOMM
Tatap Muka
12
Kode MK
Disusun Oleh
MK10230 MORISSAN, M.A
Abstrak
Kompetensi
Proses
evaluasi
pasca
pembelian
merupakan hal penting bagi pemasar
karena umpan balik yang diterima
sebagai akibat penggunaan produk akan
mempengaruhi kemungkinan pembelian
di masa depan.
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa
diharapkan
 Dapat memahami dan mampu menjelaskan
tentang perilaku pasca pembelian
 Dapat memahami dan mampu menjelaskan
beberapa teori terkait perilaku pasca
pembelian.
Perilaku Pasca Pembelian
P
roses keputusan konsumen tidak berakhir saat produk dibeli, melainkan berlanjut
hingga periode pasca pembelian. Pemasar harus memantau kepuasan pasca
pembelian, tindakan pasca pembelian, dan pemakaian produk pasca pembeliaan. Apa yang
menentukan apakah pembeli akan sangat puas, agak puas, atau tidak puas terhadap suatu
pembelian? Keputusan pembeli merupakan fungsi dari seberapa dekat harapan pembeli
atas suatu produk dengan kinerja yang dirasakan pembeli atas produk tersebut. Setelah
menggunakan barang atau jasa, konsumen membandingkan tingkat kinerja (performance)
suatu produk dengan harapan yang dimiliki terhadap produk itu dan menentukan perasaan
puas atau tidak puas terhadap produk bersangkutan. Kepuasaan terjadi ketika harapan
konsumen dapat dipenuhi oleh produk bersangkutan atau bahkan melebihi; ketidakpuasan
terjadi ketika kinerja produk berada di bawah harapan.
Kepuasaan Pasca Pembelian. Jika kinerja produk lebih rendah daripada harapan,
pelanggan akan kecewa; jika ternyata sesuai harapan, pelanggan akan puas; jika melebihi
harapan, pembeli akan sangat puas. Konsumen memiliki harapan berdasarkan pesan yang
mereka terima dari penjual, teman dan sumber-sumber informasi lain. Jika penjual melebihlebihkan manfaat suatu produk, konsumen akan mengalami harapan yang tak tercapai
(disconfirmed expectation), yang akan menyebabkan ketidakpuasan. Semakin besar
kesenjangan antara harapan dan kinerja, semakin besar ketidakpuasan konsumen.
Proses evaluasi pasca pembelian merupakan hal penting bagi pemasar karena umpan
balik yang diterima sebagai akibat penggunaan produk akan mempengaruhi kemungkinan
pembelian di masa depan dan kemungkinan konsumen membicarakan hal-hal yang
menguntungkan atau tidak menguntungkan tentang produk tersebut dengan orang lain.
Kinerja produk yang positif berarti merek bersangkutan akan tetap berada dalam daftar
pilihan konsumen dan meningkatkan kemungkinan produk untuk dibeli kembali. Kinerja
produk yang tidak memuaskan akan mendorong konsumen membentuk sikap negatif
terhadap produk bersangkutan, selain akan mengurangi kemungkinan produk untuk dibeli
kembali atau bahkan dicoret dari daftar pilihan konsumen. Pemasar kerap mengatakan,
“Iklan kami yang terbaik adalah pelanggan yang puas.”
Para pelanggan yang tidak puas akan bereaksi sebaliknya. Mereka mungkin membuang
atau mengembalikan produk tersebut. Mereka mungkin mengambil tindakan publik seperti
mengajukan keluhan ke perusahaan, pergi ke pengacara, atau mengadu ke media massa
atau kelompok-kelompok lain (seperti lembaga konsumen, lembaga bisnis, swasta atau
‘13
2
Integrated Marketing Communication
Morissan, M.A.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
pemerintah). Tindakan pribadi dapat berupa memutuskan untuk berhenti membeli produk
tersebut (pilihan untuk keluar) atau memperingatkan teman-teman (pilihan untuk berbicara).
Dalam semua kejadian itu, penjual telah gagal memuaskan pelanggan.
Disonansi Kognitif. Akibat lain yang dirasakan konsumen dari suatu pembelian adalah
munculnya disonansi kognitif atau ketidaknyamanan kognitif (cognitive dissonance) yaitu
suatu perasaan ketegangan psikologis atau keraguan pasca pembelian yang dirasakan
konsumen setelah membuat keputusan pembelian yang sulit. Disonansi kognitif lebih sering
terjadi setelah konsumen melakukan pembelian penting dimana konsumen harus memilih
berbagai alternatif merek yang hampir sama (khususnya jika merek yang tidak terpilih
memiliki fitur yang unik dan menarik yang tidak dimiliki merek produk yang sudah dibeli).
Kadang-kadang konsumen sangat terlibat dalam sebuah pembelian namun ia hanya
melihat sedikit perbedaan di antara berbagai merek yang ada. Keterlibatan yang tinggi
didasari oleh fakta bahwa pembelian tersebut mahal, jarang dilakukan, dan berisiko. Dalam
kasus itu, pembeli akan berkeliling untuk mempelajari apa yang tersedia namun akan
membeli dengan cukup cepat karena barangkali pembeli sangat peka terhadap faktor harga
yang lebih murah atau faktor kenyamanan berbelanja. Setelah pembelian, konsumen
mungkin mengalami disonansi/ketidaknyamanan yang muncul setelah merasakan adanya
hal-hal yang tidak mengenakkan dari merek yang dibelinya atau setelah mendengar kabar
yang menyenangkan mengenai merek-merek lain.
Konsumen yang mengalami disonansi kognitif menggunakan berbagai strategi dalam
upaya untuk mengurangi ketidaknyamanan yang dirasakannya. Mereka berupaya mencari
kepastian dan pendapat dari orang lain untuk membenarkan keputusan pembelian yang
telah dilakukannya, yaitu dengan cara merendahkan sikap atau pendapat yang mendukung
merek yang tidak terpilih; menolak atau menyimpangkan informasi yang tidak mendukung
keputusan yang dibuat atau; mencari informasi atau pandangan yang dapat mendukung
keputusan yang dibuat. Sumber informasi pendukung yang penting untuk mengatasi
disonansi kognitif konsumen adalah iklan. Dalam hal ini, konsumen akan lebih
memperhatikan iklan yang mempromosikan merek yang telah dibeli atau terpilih untuk
dibeli.1 Dengan demikian adalah penting bagi perusahaan untuk beriklan dalam upaya
memperkuat keputusan konsumen yang telah membeli merek produk perusahaan itu.
Pemasar harus menyadari pentingnya tahap evaluasi pasca pembelian. Konsumen yang
tidak puas dan mengalami disonansi kognitif, tidak saja ia akan mencoret merek yang tidak
memuaskan itu dari daftar pilihannya di masa depan namun juga menyebarkan informasi
Robert E Smith, Integrating Information from Advertising and Trial: Processes and Effects on Consumer Response to
Product Information, Journal of Marketing Research, may 1993 dalam George E. Belch & Michael A. Belch LocCit hal 123.
1
‘13
3
Integrated Marketing Communication
Morissan, M.A.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
negatif kepada orang lain, sehingga informasi negatif menyebar dari mulut ke mulut yang
akan mencegah orang lain untuk membeli produk itu. Jaminan terbaik terhadap evaluasi
pasca pembelian yang menghasilkan kepuasaan konsumen adalah produk berkualitas yang
selalu dapat memenuhi harapan konsumen. Pemasar harus memastikan bahwa iklan dan
bentuk-bentuk promosi lainnya tidak akan menciptakan harapan yang berlebihan pada diri
konsumen yang tidak akan dapat dipenuhi produk bersangkutan.
Komunikasi Pasca Pembelian
Pemasar saat ini juga menyadari pentingnya melakukan komunikasi pasca pembelian.
Banyak perusahaan yang mengirim surat atau brosur untuk memastikan dan memberikan
dukungan bahwa keputusan konsumen membeli produk itu tidak keliru. Banyak perusahaan
membuka saluran telepon bebas pulsa bagi konsumen yang membutuhkan tambahan
informasi, ingin bertanya atau mengajukan keluhan terhadap produk yang mereka beli.
Banyak pemasar yang menawarkan pengembalian barang, memberikan uang pengganti
dan memperpanjang waktu garansi untuk memastikan kepuasaan konsumen.
Komunikasi pasca pembelian dengan pembeli telah terbukti menghasilkan penurunan
pengembalian produk dan pembatalan pesanan. Perusahaan-perusahaan komputer dapat
mengirimkan surat ke pemilik komputer baru sebagai ucapan selamat karena telah memilih
komputer yang baik. Mereka dapat memasang iklan yang menampilkan pemilik merek yang
puas. Mereka dapat meminta saran perbaikan dari pelanggan dan membuat daftar lokasi
servis yang tersedia. Mereka dapat menulis buku petunjuk yang mudah dimengerti. Sebagai
tambahan, mereka dapat menyediakan saluran yang baik untuk mengobati kekecewaan
pelanggan dengan cepat.
PEMBELAJARAN KONSUMEN
Kita telah mempelajari bahwa proses keputusan pembelian konsumen dipengaruhi oleh
berbagai faktor antara lain sifat atau kondisi produk, pengalaman konsumen dengan produk
serta tingkat kepentingan pembelian produk. Pembahasan kita mengenai perilaku konsumen
sejauh ini hanya melihat proses pengambilan keputusan yang berorientasi kepada aspek
kognitif konsumen (cognitive orientation). Model proses pengambilan keputusan lima tahap
yang telah kita pelajari memandang konsumen sebagai pemecah masalah (problem solver)
dan pengolah informasi yang terlibat dalam berbagai proses mental untuk mengevaluasi
berbagai alternatif dan memutuskan pada tingkatan seperti apa berbagai alternatif itu dapat
memuaskan kebutuhan dan motif pembelian konsumen.
Namun demikian terdapat perspektif lain berkenaan dengan bagaimana konsumen
menerima pengetahuan dan mendapatkan pengalaman yang mereka gunakan dalam
membuat keputusan pembelian. Untuk memahami perspektif ini, kita harus meninjau
‘13
4
Integrated Marketing Communication
Morissan, M.A.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
berbagai pendekatan pada proses ‘pembelajaran konsumen’ (consumer learning) dan
implikasinya bagi iklan dan promosi.
Pembelajaran konsumen didefiniskan sebagai: The process by which individuals acquire
the purchase and consumption knowledge and experience they apply to future related
behavior.2 (Proses yang mana individu menerima pengetahuan dan pengalaman dari
pembelian dan konsumsi yang mereka gunakan untuk perilaku yang berhubungan di masa
depan). Dua pendekatan dasar terhadap proses pembelajaran ini adalah teori pembelajaran
perilaku (behavioral approach) dan teori pembelajaran kognitif (cognitive learning process).
Teori Pembelajaran Perilaku
Teori pembelajaran perilaku menekankan pada stimuli yang berasal dari lingkungan
eksternal yang menimbulkan perilaku; pendekatan ini cenderung mengurangi peran proses
psikologi internal. Teori pembelajaran perilaku didasarkan pada orientasi stimulus-respon
(S-R) yang merupakan suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pembelajaran terjadi
sebagai hasil tanggapan terhadap stimuli eksternal yang berasal dari lingkungan. Para
pendukung teori ini percaya bahwa pembelajaran terjadi melalui hubungan antara suatu
stimuli dan respon. Pada bagian berikut ini kita akan mempelajari prinsip dasar dari dua
pendekatan teori pembelajaran perilaku yaitu:
classical conditioning dan operant
conditioning.
Classical Conditioning. Teori ini berasumsi bahwa pembelajaran adalah suatu proses
asosiatif dengan suatu hubungan yang sudah ada antara stimuli dan respon. Contoh paling
populer proses pembelajaran jenis ini berasal dari penelitian terhadap perilaku hewan yang
dilakukan psikolog Rusia, I.P Pavlop3. Pavlop memperhatikan bahwa anjing-anjingnya pada
setiap waktu makan akan segera mengeluarkan air liur ketika melihat makanan mereka
datang. Anjing-anjing itu tidak pernah diajarkan untuk mengeluarkan liurnya ketika melihat
makanan, itu merupakan reaksi reflek si anjing. Karena hubungan sudah ada sebelum
proses yang dikondisikan maka makanan anjing dinamakan dengan ‘stimuli yang tidak
dikondisikan’ (unconditioned stimulus) dan air liur adalah suatu ‘respon yang tidak
dikondisikan’ (unconditioned response). Untuk mengetahui apakah keluarnya liur anjing
dapat dikondisikan, Pavlop membunyikan lonceng setiap makanan anjing diberikan. Setelah
beberapa kali dilakukan, si anjing ternyata mengeluarkan liurnya setiap kali lonceng
berbunyi walaupun makanannya tidak ada. Dengan demikian, lonceng menjadi ‘stimuli yang
2
Leon G .Schiffman dan Leslie LazarKannuk, Consumer Behavior, 4th edition, Englewood Cliffs, NJ, Prentice Hall, hal 192.
I.P Pavlop, The Work of the Digestive Glands, 2nd Edition, Griffin, London, 1910 dalam George E. Belch & Michael A.
Belch hal 125.
3
‘13
5
Integrated Marketing Communication
Morissan, M.A.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dikondisikan’ (stimulus conditioned) yang menghasilkan ‘respon yang dikondisikan’
(conditioned response) yang menghasilkan efek yang sama dengan reaksi awal yang tidak
dikondisikan.
Terdapat dua faktor penting agar terjadinya pembelajaran melalui proses asosiatif; yang
pertama adalah adanya kontiguitas (contiguity) yang berarti stimuli yang tidak dikondisikan
dan stimuli yang dikondisikan harus berdekatan dalam waktu dan tempat. Pada eksperimen
yang dilakukan Pavlop, anjing belajar untuk mengasosiasikan bunyi lonceng dengan
makanan karena kedua stimuli itu diberikan secara bersamaan. Prinsip penting lainnya
adalah repetisi (pengulangan) atau frekuensi asosiasi. Semakin sering stimuli yang tidak
dikondisikan dengan stimuli yang dikondisikan terjadi bersamaan maka semakin kuat
asosiasi diantara keduanya.
Penerapan
‘Classical
Conditioning’.
Pembelajaran
melalui
classical
conditioning
memainkan suatu peran penting dalam pemasaran. Konsumen dapat dikondisikan agar
memberikan kesan yang baik serta citra yang positif terhadap berbagai merek melalui
proses asosiatif. Pemasang iklan akan berupaya untuk mengasosiasikan produk mereka
dengan persepsi, citra dan emosi yang menyenangkan konsumen agar mereka dapat
memberikan reaksi positif terhadap suatu produk. Banyak produk yang dipromosikan melalui
iklan pencitraan (image advertising); merek produk dipertunjukkan dengan suatu stimuli
yang tidak dikondisikan yang menghasilkan perasaan yang menyenangkan bagi konsumen.
Ketika suatu merek diperlihatkan secara serentak dengan stimuli yang tidak dikondisikan
maka merek itu menjadi suatu stimuli yang dikondisikan yang akan menghasilkan respon
yang sama menyenangkannya. Misalnya, suatu produk air minum dalam kemasan
mengasosiasikan produknya dengan kejernihan dan kesegaran sumber mata air
pegunungan. Dalam iklannya digambarkan suasana pegunungan yang menghijau dan mata
air yang mengeluarkan air yang sangat jernih. Iklan berusaha mengasosiasikan kejernihan
dan kesegaran air kemasan dengan kejernihan dan kesegaran mata air pegunungan. Dalam
hal ini, iklan air kemasan itu berusaha untuk memposisikan produknya dengan menerapkan
teori classical conditioning.
Teori classical conditioning juga diterapkan dalam mengasosiasikan suatu produk
dengan kondisi emosi konsumen. Suatu studi oleh Gerald Gorn menggunakan pendekatan
ini untuk menguji bagaimana musik latar pada suatu iklan mempengaruhi pilihan produk.4 Ia
menemukan bahwa konsumen cenderung untuk memilih suatu produk yang penyajiannya
diiringi latar belakang musik yang mereka sukai dari pada musik yang tidak mereka sukai.
Gerald J. Gorn, The Effects of Music in Advertising on Choice: A Classical Conditioning Approach , Journal of Marketing,
1982 dalam George E. Belch & Michael A. Belch, LocCit, hal 125..
4
‘13
6
Integrated Marketing Communication
Morissan, M.A.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa emosi yang dihasilkan oleh suatu iklan adalah
penting karena menurut teori classical conditioning, emosi itu dapat diasosiasikan dengan
produk yang diiklankan. Kellaris (1993) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa suara
musik yang diberikan secara bersamaan dengan pesan iklan suatu merek akan mendorong
ingatan dan pengenalan konsumen terhadap merek itu.5 Selain itu, pemasang iklan sering
memadukan suatu produk dengan suatu peristiwa atau situasi yang memberikan perasaan
positif kepada konsumen seperti humor, acara olah raga yang menarik atau pertunjukkan
musik.
‘Operant Conditioning’.
Konsep classical conditioning memandang individu sebagai
peserta pasif dalam proses pembelajaran yang hanya menerima stimuli. Pengkondisian
terjadi sebagai hasil dari penerimaan stimuli oleh individu yang terjadi sebelum adanya
respon.
Dalam
pendekatan
operant
conditioning,
individu
harus
secara
aktif
mengoperasikan atau bertindak terhadap berbagai aspek dari lingkungan agar pembelajaran
dapat terjadi. Operant conditioning sering juga dinamakan instrumental conditioning karena
respon individu adalah hal yang sangat penting (instrumental) dalam mendapatkan suatu
penguatan positif (positive reinforcement), misalnya penghargaan atau penguatan negatif
(negative reinforcement), misalnya hukuman.
Penguatan, penghargaan atau konsekwensi yang menyenangkan yang diasosiasikan
dengan suatu respon tertentu, adalah suatu elemen penting dari instrumental conditioning.
Perilaku yang diperkuat akan memperkuat ikatan antara suatu stimuli dan respon. Jadi, jika
konsumen membeli suatu produk setelah melihat iklan produk bersangkutan dan konsumen
mengalami suatu hasil yang positif dengan produk itu, maka kemungkinan konsumen akan
menggunakan produk itu lagi di masa datang akan sangat besar. Jika hasilnya tidak
menyenangkan maka kemungkinan pembelian kembali akan menurun.
Prinsip-prinsip operant conditioning juga dapat diterapkan pada pemasaran. Dalam hal
ini perusahaan berusaha menyediakan produk yang memuaskan kebutuhan konsumen dan
memberikan dorongan kepada konsumen untuk memperkuat kemungkinan pembelian
kembali. Penguatan juga dapat diterapkan pada iklan: banyak iklan yang menekankan pada
manfaat atau keuntungan (rewards) yang akan diterima konsumen dengan menggunakan
suatu produk. Penguatan juga terjadi bila suatu iklan mendorong konsumen untuk
menggunakan suatu produk atau merek tertentu untuk menghindari konsekwensi yang tidak
menyenangkan.
James J Kellaris, Anthony D. Cox dan Dena Cox, The Effect of Background Music on Ad Processing: A Contigency
Explanation, Journal of Marketing, 1993, hal 114.
5
‘13
7
Integrated Marketing Communication
Morissan, M.A.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Terdapat dua konsep yang relevan bagi pemasar dalam menggunakan penguatan
melalui strategi promosi yaitu: (1) jadwal penguatan dan; (2) shaping (bentuk penguatan).
Perbedaan jadwal penguatan menghasilkan pola pembelajaran dan perilaku yang juga
berbeda. Pembelajaran paling cepat terjadi melalui jadwal penguatan yang berkelanjutan
(continuous reinforcement schedule) yang mana setiap respon akan diberi penghargaan,
namun kemungkinan perilaku akan berhenti jika penguatan dihentikan. Dalam hal ini,
pemasar harus menyediakan penguatan yang berkelanjutan kepada konsumen atau
beresiko konsumen akan pindah ke merek lain yang menyediakan penguatan.
Pembelajaran terjadi lebih lambat namun akan bertahan lebih lama jika menggunakan
jadwal penguatan sebagian (partial reinforcement schedule) dan hanya sebagian respon
konsumen yang diberi penghargaan. Program promosi memiliki jadwal penguatan sebagian
ini. Perusahaan dapat menawarkan konsumen suatu insentif untuk menggunakan
produknya. Perusahaan tidak ingin menawarkan insentif setiap saat (penguatan terus
menerus) karena konsumen akan bergantung kepada insentif dan berhenti membeli merek
bersangkutan jika pemberian insentif dihentikan.
Penjadwalan
penguatan
juga
dapat
digunakan
untuk
mempengaruhi
proses
pembelajaran dan perilaku konsumen melalui suatu proses yang dikenal sebagai shaping
yaitu penguatan tindakan yang dilakukan secara berturut-turut yang mengarah pada suatu
respon atau pola perilaku yang diinginkan. Dalam konteks promosi, prosedur shaping
digunakan sebagai bagian dari program pengenalan suatu produk. Pemasar harus berhatihati dalam menggunakan prosedur ini. Jika insentif dihentikan terlalu cepat, konsumen tidak
dapat membentuk perilaku yang diinginkan; tetapi jika insentif diberikan berlebihan maka
pembelian konsumen lebih disebabkan insentif yang ditawarkan dari pada produk itu sendiri.
Teori Pembelajaran Kognitif
Teori pembelajaran perilaku (behavioral learning theories) dikritik karena mengasumsikan
suatu pandangan mekanistik terhadap konsumen dan terlalu banyak memberikan
penekanan pada stimuli eksternal. Teori pembelajaran perilaku mengabaikan proses
psikologi internal individu seperti motivasi, pemikiran dan persepsi. Teori ini berasumsi
bahwa setiap stimuli eksternal dari lingkungan akan menghasilkan respon yang dapat
diperkirakan. Namun para pemasar dan peneliti perilaku konsumen ada yang yang tidak
sepakat dengan penjelasan teori pembelajaran perilaku yang dinilai terlalu sederhana.
Mereka yang tidak setuju lebih tertarik dengan proses mental yang kompleks yang
mendasari pengambilan keputusan oleh konsumen. Studi mengenai proses pengambilan
keputusan dan pembelajaran konsumen dengan menggunakan pendekatan kognitif saat ini
telah mendominasi berbagai penelitian mengenai perilaku konsumen.
‘13
8
Integrated Marketing Communication
Morissan, M.A.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Teori kognitif memiliki daya tarik tersendiri bagi pemasar karena perilaku konsumen
melibatkan kegiatan pemilihan dan pengambilan keputusan, terlebih bagi keputusan
pembelian suatu produk yang dipandang penting bagi konsumen. Proses kognitif seperti
persepsi, kepercayaan, sikap dan integrasi adalah penting untuk memahami proses
pengambilan keputusan konsumen untuk berbagai tipe atau jenis pembelian. Seluruh proses
yang telah kita bahas pada bagian sebelumnya mengenai model proses pengambilan
keputusan lima tahap adalah relevan dan dapat digunakan dalam memahami teori
pembelajaran kognitif ini. Dengan kata lain teori pembelajaran kognitif pada dasarnya adalah
sama dengan model proses pengambilan keputusan lima tahap yang telah kita pelajari
sebelumnya.
PENGARUH LINGKUNGAN PADA PERILAKU KONSUMEN
Konsumen tidak membuat keputusan pembelian pada suatu lingkungan yang terisolasi.
Konsumen berada di tengah masyarakat dan berinteraksi dengan masyarakat tempat ia
berada. Dalam hal ini, terdapat sejumlah faktor eksternal yang diketahui memberikan
pengaruh pada proses pengambilan keputusan konsumen sebagaimana yang ditunjukkan
pada skema di bawah ini yang akan diperjelas melalui uraian selanjutnya dalam bagian ini.
Budaya
Faktor yang paling luas dan paling abstrak yang mempengaruhi pembelian konsumen
adalah faktor budaya yang merupakan suatu kompleksitas dari makna, nilai, norma dan
tradisi yang dipelajari dan dibagi oleh anggota suatu masyarakat. Norma dan nilai budaya
memberikan arah
dan petunjuk kepada anggota masyarakat dalam seluruh aspek
kehidupan termasuk juga perilaku konsumsi mereka. Faktor budaya memiliki pengaruh
paling luas dan paling dalam. Budaya merupakan penentu keinginan dan penentu perilaku
yang paling mendasar. Anak-anak memahami nilai, persepsi, preferensi dan perilaku dari
keluarganya serta lembaga-lembaga sosial lainnya.
Memahami berbagai budaya yang berbeda menjadi penting khususnya bagi perusahaan
yang akan memperluas pasar produknya, misalnya melalui ekspor ke negara-negara lain
yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan negara asal perusahaan. Setiap negara
tentu saja memiliki tradisi, kebiasaan dan nilai-nilai tertentu yang harus dipahami ketika
pemasar akan merencanakan dan melaksanakan program pemasaran di suatu negara.
Pemasar juga harus menyadari kemungkinan perubahan yang terjadi pada suatu budaya
dan implikasi perubahan itu bagi strategi dan program iklan serta promosi.
Subbudaya
‘13
9
Integrated Marketing Communication
Morissan, M.A.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Masing-masing budaya terdiri dari sub-budaya yang lebih kecil yang memberikan lebih
banyak ciri-ciri dan sosialisasi khusus bagi anggotanya. Subbudaya terdiri atas kelompokkelompok atau segmen masyarakat yang lebih kecil yang memiliki kepercayaan, nilai-nilai,
norma dan pola perilaku yang berbeda dengan kelompok atau segmen subbudaya lainnya
dalam suatu kebudayaan yang lebih besar. Subbudaya dapat didasarkan atas umur, ras,
agama, etnik dan wilayah geografis.
Subbudaya yang berdasarkan atas ras atau etnis merupakan faktor penting bagi
pemasar karena jumlahnya yang besar, pertumbuhannya yang tinggi, daya belinya yang
kuat dan pola pembelian tertentu yang mereka miliki. Banyak subbudaya yang membentuk
segmen pasar yang penting dan pemasar sering merancang produk program pemasaran
yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
‘13
10
Integrated Marketing Communication
Morissan, M.A.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Achenbaum, Alvin., Advertising Doesn’t Manipulate Consumers, Journal of Advertising
Research9, 1982, dalam George E. Belch & Michael A. Belch OpCit hal 119.
Alport, W Gordon., Attitude dalam Handbook of Social Psychology, ed. C.M.Murchison,
Clark University Press, 1935 dalam George E. Belch & Michael A. Belch, Advertising and
Promotion hal 118.
Assael, Henry ., Consumer Behavior and Marketing Action, Ken Publishing Co, Boston,
1987.
Bauer A Raymond., Stephen A Greyser, Advertising in America: The Consumer View,
Harvard Business Scholl, Boston, 1968
Belch E George & Michael A. Belch, Advertising and Promotion: An Integrated Marketing
Communications Perspectives, Fifth Edition, Irwin/Graw Hill, New York 2001. Hal 107
Berkowitz N Eric, Roger A Kerin, Steven W Hartley dan William Rudelius, Marketing, 6th
Edition, Irwin McGraw-Hill, 2000. Hal 14
Callebaut, Jan et al, The Naked Consumer: The Secret of Motivational Research In Global
Marketing, Censudiam Institute, Antwerp, Belgium, 1994.
Cohen B Joel., Paul W Minniard, Peter R Dickson, Information Integration: An Information
Processing Perspective, dalam Advances in Consumer Research dalam George E.
Belch & Michael A. Belch, hal 121.
Gorn, J Gerald., The Effects of Music in Advertising on Choice: A Classical Conditioning
Approach , Journal of Marketing, 1982
Harrel, Gilbert, Consumer Behavior, Harcourt Brace Jovanovich, San Diego, 1986.
Kellaris, J James., Anthony D. Cox dan Dena Cox, The Effect of Background Music on Ad
Processing: A Contigency Explanation, Journal of Marketing, 1993.
Kotler, Philip., Principles of Marketing, New Jersey-Prentice Hall, 1980.
Krech, David., Richard S.Crutchfield dan Egerton L. Ballachey, Individual in Society,
McGraw Hill, New York, 1962 dalam Philip Kotler, Marketing Management,OpCit, Hal
200.
Pavlop, I.P., The Work of the Digestive Glands, 2nd Edition, Griffin, London, 1910.
Peter J. Paul., Jerry C Olson, Consumer Behavior, 2nd Edition, Irwin/McGraw-Hill, 1990. Hal
73.
Schiffman, G Leon., Leslie LazarKannuk, Consumer Behavior, 4th edition, Englewood Cliffs,
NJ, Prentice Hall.
‘13
11
Integrated Marketing Communication
Morissan, M.A.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Smith, E Robert., Integrating Information from Advertising and Trial: Processes and Effects
on Consumer Response to Product Information, Journal of Marketing Research, May
1993.
Wells D William.,, Attitude and Behavior: Lesson From the Nedham Lifestyle Study, Journal
of Advertising Research, 1985.
Wikie L William., Edgar A Pessemier, Issues in Marketing ‘s Use of Multiattribute Models,
Journal of Marketing Rese 10, 1983 dalam Belch & Belch hal 119.
Wright L Peter., Frederic Barbour, The Relevance of Decision Process Models in Structuring
Persuasive Messages, Communication Research, 1975.
Zaconc, B Robert., Hezel Markus, Affective and Cognitive Factors in Preferences, Journal
of Consumer Research 9, 1982 dalam George E. Belch & Michael A. Belch, Ibid.
‘13
12
Integrated Marketing Communication
Morissan, M.A.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download