PJK - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah suatu kondisi dimana terjadi
ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan kebutuhan yang menyebabkan
kondisi hipoksia pada miokardium dan akumulasi zat-zat buangan metabolisme
yang umumnya disebabkan oleh proses atherosklerosis pada arteri koroner (Lilly,
2011). Secara global, PJK merupakan penyebab kematian tertinggi. Diperkirakan
7,8 juta kematian dari 11,1 juta kematian disebabkan oleh PJK pada tahun 2020
(Tardif, 2010). World Health Organization (WHO) memperkirakan 30% dari
seluruh kematian disebabkan karena penyakit jantung dan pembuluh darah pada
tahun 2015 (WHO, 2004). Di Indonesia, prevalensi penyakit jantung dan pembuluh
darah adalah sebesar 9.2% dan telah menduduki peringkat pertama sebagai
penyebab kematian. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
2001, penyakit jantung menyebabkan sebesar 26.3% kematian (Delima et al.,
2009).
Presentasi klinis PJK yang paling sering adalah berupa angina pektoris
stabil diikuti oleh sindrom koroner akut dan kematian mendadak. Uji Latih
Treadmill (ULT) adalah tes yang paling banyak digunakan untuk evaluasi awal
pasien dengan angina pektoris (Tardif, 2010). Uji latih ini secara umum mempunyai
sensitivitas antara 60% sampai 70% dan spesifisitas 85% (Kharabsheh et al., 2006).
Mark et al (1987) mendeskripsikan suatu nilai prognosis dari ULT yang didasarkan
pada durasi latihan, deviasi segmen ST (depresi atau elevasi), serta keberadaan dan
1
keparahan angina yang timbul pada saat latihan. Nilai ini dikenal dengan Duke
Treadmill Score (DTS) yang menunjukan stratifikasi prognosis pada populasi
pasien dengan penyakit jantung iskemik. Selama ini DTS digunakan para klinisi
dalam mengambil keputusan untuk mengevaluasi pasien lebih lanjut dengan
angiografi koroner karena dapat memperkirakan keberadaan stenosis arteri koroner
yang signifikan (stenosis ≥75%) (Mark et al., 1987; Mark et al., 1991). Selain itu,
DTS memiliki nilai diagnostik yang baik dalam memprediksi jumlah arteri koroner
yang terlibat sehingga DTS tidak hanya memiliki kemampuan untuk mendeteksi
stenosis arteri koroner yang signifikan tetapi juga dapat menentukan keparahan lesi
koroner berdasarkan jumlah arteri yang terlibat (Shaw et a.l, 1998).
Terdapat beberapa sistem nilai yang digunakan untuk menggambarkan
keparahan lesi koroner. Sistem nilai ini tidak hanya didasarkan pada jumlah arteri
koroner yang terlibat tetapi juga karakteristik setiap lesi koroner, salah satu sistem
nilai yang umum digunakan adalah Nilai Syntax. Nilai syntax adalah sistem nilai
angiografi yang menilai keparahan lesi koroner didasarkan pada anatomi koroner
dan karakteristik lesi serta dapat menjadi alat bantu para klinisi dalam memutuskan
metode revaskularisasi pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang kompleks
(Mohr et al., 2013). Nilai Syntax juga memiliki nilai prognosis jangka panjang dan
berhubungan dengan komplikasi tindakan yang juga dapat mempengaruhi luaran
klinis (Girasis et al, 2011; Van Gal et al, 2009; Madhavan et al., 2014).
Duke Treadmill Score telah terbukti memiliki korelasi yang kuat dengan
keparahan lesi koroner yang dinilai berdasarkan nilai Syntax. Pasien dengan risiko
tinggi berdasarkan DTS pada penelitian tersebut memiliki nilai Syntax yang
2
meningkat secara signifikan (Acar et al., 2012) namun belum ada data mengenai
nilai diagnostik DTS dalam memprediksi keparahan lesi koroner yang tidak hanya
berdasarkan jumlah arteri koroner yang terlibat tetapi juga berdasarkan karakteristik
lesi seperti keparahan yang dinilai berdasarkan nilai Syntax. Perlunya mendeteksi
kelompok pasien risiko tinggi berdasarkan nilai Syntax karena nilai Syntax dapat
secara objektif menentukan batas atas kesesuaian untuk dilakukan revaskularisasi
dengan metode intervensi perkutan dan lebih dipilih metode revaskularisasi dengan
bedah pintas koroner.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, uji latih jantung memang penting untuk
mendeteksi pasien kelompok risiko tinggi yaitu kelompok pasien dengan
keterlibatan arteri koroner cabang utama dan tiga arteri koroner besar yang akan
mendapat manfaat dari tindakan revaskularisasi (Chaitman et al., 1981; Pignone et
al., 2003). Tindakan revaskularisasi baik dengan intervensi perkutan maupun bedah
pintas pada pasien dengan angina pektoris stabil terbukti berdampak pada
peningkatan kualitas hidup (Brorsson et al., 2001) walaupun manfaat dari intervensi
perkutan pada angina pektoris stabil dalam menurunkan mortalitas, kejadian infark
miokard dan tindakan revaskularisasi ulang masih menjadi perdebatan
(Wijeysundera et al., 2009; Stergiopoulos et al., 2014).
B. Masalah Penelitian
Duke Treadmill Score (DTS) dari hasil ULT telah terbukti dapat
menunjukan stratifikasi prognosis pada populasi pasien dengan penyakit jantung
iskemik dan dapat membantu para klinisi dalam mengambil keputusan untuk
mengevaluasi pasien lebih lanjut dengan angiografi koroner. Duke Treadmill Score
3
memiliki nilai diagnostik yang baik berdasarkan Area Under Curve (AUC) pada
kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) dalam memprediksi adanya
stenosis arteri koroner yang signifikan (AUC 76%;p=0.0001) dan penyakit arteri
koroner yang berat (AUC 85%;p=0.0001) namun pada penelitian tersebut penilaian
stenosis arteri koroner yang signifikan dan berat belum dinyatakan dalam bentuk
nilai Syntax dimana nilai ini dapat menjadi suatu alat yang dapat membantu para
klinisi dalam memutuskan metode revaskularisasi pada pasien dengan penyakit
arteri koroner yang kompleks sehingga perlu dilakukan penelitian untuk melihat
nilai diagnostik DTS dalam mendeteksi keparahan lesi koroner berdasarkan Nilai
Syntax. Duke Treadmill Score memang telah terbukti berhubungan dengan
keparahan lesi koroner yang dinilai dengan nilai Syntax. Pasien dengan risiko tinggi
berdasarkan DTS memiliki nilai Syntax yang meningkat secara signifikan namun
belum diketahui apakah DTS memiliki nilai diagnostik yang baik dalam mendeteksi
keparahan lesi koroner berdasarkan nilai Syntax.
C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka dapat
dirumuskan suatu pertanyaan penelitian sebagai berikut:
Apakah DTS memiliki nilai diagnostik yang baik dalam mendeteksi keparahan
lesi koroner pada pasien yang terduga penyakit jantung koroner stabil?
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai diagnostik DTS dalam
mendeteksi derajat keparahan lesi koroner pada pasien yang terduga penyakit
jantung koroner stabil.
4
E. Manfaat Penelitian
Dengan mengetahui nilai diagnostik DTS untuk mendeteksi keparahan lesi
koroner akan didapatkan suatu indikator yang dapat digunakan untuk memprediksi
keparahan lesi koroner. Hal ini diharapkan dapat membantu klinisi terutama yang
bekerja di daerah dalam memperkirakan metode revaskularisasi yang mungkin akan
dilakukan pada pasien sehingga dapat menjadi salah satu pertimbangan klinis dalam
merujuk pasien ke pusat yang mempunyai fasilitas revaskularisasi tersebut dan
dalam memberikan edukasi kepada pasien.
F. Keaslian Penelitian
Dari studi literatur yang telah dilakukan oleh penulis, diketahui bahwa
terdapat beberapa penelitian yang mengevaluasi hubungan antara DTS dari hasil
ULT dengan keparahan lesi koroner pada angiografi koroner, yaitu:
1. Shaw et al. (1998) pada publikasinya dengan judul Use of a Prognostic
Treadmill Score in Identifying Diagnostic Coronary Diseases Subgroups,
menilai akurasi diagnosis DTS. Stenosis arteri koroner yang signifikan
dideskripsikan dengan adanya suatu stenosis ≥ 75% pada minimal 1 arteri
koroner besar dan penyakit arteri koroner yang berat dideskripsikan dengan
keterlibatan tiga arteri koroner besar atau stenosis ≥ 75% pada cabang
utama. Pada penelitian ini didapatkan, DTS memiliki nilai diagnostik yang
baik dalam memprediksi adanya stenosis arteri koroner yang signifikan
(AUC 76%; p=0.0001) dan penyakit arteri koroner yang berat (AUC
85%;p=0.0001).
5
2. Acar et al. (2012) pada publikasinya dengan judul Relationship Between
Duke Treadmill Score and Coronary Artery Lesion Complexity menilai
hubungan antara DTS dengan keparahan lesi koroner berdasarkan nilai
Syntax. Pada penelitian ini didapatkan, DTS memiliki korelasi yang kuat
dengan keparahan lesi koroner berdasarkan nilai Syntax (r=-0.9; p<0.001).
Belum ada penelitian yang meneliti nilai diagnostik DTS untuk mendeteksi
keparahan lesi koroner berdasarkan nilai Syntax. Penulis juga belum menemukan
publikasi mengenai penelitian serupa di Indonesia.
6
Download