BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SYARAT-SYARAT PEMIMPIN DALAM ISLAM A. Pengertian dan Teori-Teori Kepemimpinan dalam Islam 1. Pengertian dan Teori-Teori Kepemimpinan Istilah kepemimpinan berasal dari kata dasar "pimpin" yang artinya "bimbing" atau "tuntun". Kemudian dari kata "pimpin" lahirlah kata kerja "memimpin" yang artinya suatu kegiatan membimbing, menunjukkan jalan atau menuntun, dan bentuk kata bendanya adalah "pemimpin" yaitu orang yang melaksanakan memimpin, menunjukkan jalan atau orang yang membimbing. Perkataan lain yang disamakan pengertiannya adalah mengetuai, mengepalai, memandu, menguasai, dan melatih1. Sedangkan kepemimpinan itu sendiri artinya kemampuan menggerakkan dan mengarahkan orang-orang. Menggerakkan dan mengarahkan orang, berarti telah berlangsungnya hubungan manusia (human relation), yaitu menggerakkan dan mengerahkan (si pemimpin) dengan yang digerakkan dan diarahkan (yang dipimpin), sehingga dalam banyak hal si pemimpin sifatnya mengajak dan mempengaruhi yang di pimpin dengan suka rela dan ikhlas untuk mencapai tujuan bersama2, karena seorang pemimpin merupakan 1 769. Purwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1982, hlm. 2 S. Pamudji, Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, cet. Ke-7, Jakarta: Bumi Akasara 1995, hlm. 60. 14 15 pangkal penyebab dari suatu kegiatan-kegiatan, proses, atau perubahan suatu kelompok sosial. Menurut Cooley, sebagaimana dikutip S. Pamudji menyatakan "the leader is always the nucleus or a tendency, and on the other hand, all social movement, closely examined will befaund to consist of tendencies having such nuclei” (pemimpin selalu merupakan titik pusat dari suatu kecenderungan dan sebaliknya, semua gerakan sosial, kalau dicermati akan ditemukan kecenderungan-kecenderungan yang mempunyai titik pusat.3 Sementara Redl menyatakan bahwa pemimpin adalah seorang yang menjadi titik pusat mengintegrasikan kelompok. Pengertian ini sama yang dinyatakan oleh Miriam Budiardjo dalam mendefinisikan kekuasaan, yaitu kemampuan seseorang untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain atau kelompoknya, sehingga perbuatannya menjadi sesuai dengan tujuan dan keinginan orang yang mempunyai kekuasaan4. Selanjutnya Ordwey Tead memberikan definisi kepemimpinan sebagai "the activity of influencing people to cooperate toward some goal which they come to find desirable" yaitu suatu kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan yang mereka kehendaki.5 Sedangkan menurut Pratt Fairchild sebagaimana dikutip Kartini Kartono menyatakan bahwa pemimpin dalam arti luas adalah seseorang yang memprakarsai tingkah laku sosial dengan cara mengatur, mengarahkan, 3 Ibid, hlm. 9 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet ke- 22, Jakarta : Gramedia Utama, 2002 hlm. 35. 5 S. Pamudji, op. cit, hlm. 13. 4 16 mengorganisir, mengontrol perbuatan orang lain. Sedangkan dalam pengertian yang lebih sempit, pemimpin adalah seorang yang membimbing, memimpin dengan bantuan kualitas-kualitas persuasinya dan akseptansi (penerimaan) seccara sukarela oleh para pengikutnya.6 Munculnya kepemimpinan bersama-sama adanya peradaban manusia, yaitu sejak pertama kali diciptakannya manusia dan mulai berkumpul bersama, kemudian berkumpul bersama-sama untuk mempertahankan eksistensi hidupnya, menentang kebuasan binatang dan alam di sekitar yang mengganggunya. Sejak itulah terjadi kerjasama antar manusia, dan di situ ada unsur kepemimpinan. Pada saat itu pribadi yang ditunjuk sebagai pemimpin adalah orang yang paling kuat, paling cerdas, pemberani, dan mampu mempengaruhi orang lain.7 Untuk dapat memenuhi seseorang dijadikan sebagai pemimpin dibutuhkan tiga hal penting: Pertama, kekuasaan yang dimaksud adalah kekuatan, otoritas, dan legalitas yang memberi wewenang kepada pemimpin guna mempengaruhi dan menggerakkan bawahan untuk berbuat sesuatu. Kedua, kewibawaan adalah kelebihan, keunggulan, keutamaan sehingga seorang pemimpin mampu mengatur orang lain dan orang tersebut patuh pada orang yang memimpin dan bersedia melakukan perbuatan-perbuatan tertentu atas perintahnya. Ketiga, kemampuan yaitu seorang pemimpin mempunyai segala daya, kesanggupan, kekuatan dan kecakapan atau ketrampilan teknis maupun sosial 6 Lihat Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Pemimpin Abnormal Itu?, cet. Ke-7, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, hlm.28. 7 Ibid, hlm. 28. 17 yang dianggap melebihi dari kemampuan orang biasa.8 Sebagaimana definisi yang dijelaskan oleh Kartini Kartono bahwa pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki superioritas tertentu, sehingga ia memiliki kewibawaan dan kekuasaan untuk menggerakkan orang lain untuk melakukan usaha bersama guna mencapai satu tujuan tertentu. Jadi pemimpin harus memiliki satu atau beberapa kelebihan dibandingkan dengan lainnya, sehingga ia mendapat pengakuan dan respek dari para pengikutnya serta dipatuhi segala perintahnya.9 Dari beberapa terminologi kepemimpinan tersebut dapat diidentifikasi beberapa kesimpulan sebagai berikut: a) Dalam kepemimpinan selalu berhadapan dengan dua belah pihak, yaitu pemimpin dan orang-orang yang dipimpin. Jumlah pemimpin selalu lebih sedikit dibanding dengan orang yang dipimpinnya. b) Kepemimpinan merupakan gejala sosial, yang berlangsung sebagai interaksi antar manusia di dalam kelompoknya baik kelompok besar seperti pemimpin nasional yang dijabat oleh presiden, atau kelompok kecil, seperti kelompok keluarga. c) Kepemimpinan berisi kegiatan menuntun, membimbing memandu, menunjukkan jalan agar kelompok dapat mengerjakan sesuai dengan aturan yang mengikatnya.10 8 Ibid. Ibid, hlm. 44. 10 Hadari Nawawi, Kepemimpinan Dalam Islam, cet. Ke-1 Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993, hlm. 28. 9 18 Dari beberapa pengertian diatas berarti bahwa antara pemimpin dan yang dipimpin harus mempunyai visi dan misi yang sama, karena arah daan tujuannya sama. Dalam hal demikian, harus ada kesatuan yang utuh, ada hubungan timbal balik, dan saling kontrol. Oleh karenanya tidak harus diwarnai sikap dominasi atau kekuasaan dari sepihak, atau unsur tekanan dari pihak pemimpin. Pemimpin harus bisa menyusun hubungan-hubungan kerja, menilai para anggotanya, dan memberi kesejahteraan dan perasaan-perasaan bagi yang dipimpin, serta selalu berpihak kepada kepentingan yang dipimpin dalam membela hak-haknya, seperti dalam memberi keputusan (decision) harus diambil secara kolektif dan mengikat seluruh kelompoknya untuk tujuan bersama.11 Oleh karenanya urgensi pemimpin sangat penting dalam masyarakat. Tanpa pemimpin sebuah komunitas dapat mengalami kekacauan (faudha/ caos). Sehingga pernah diriwayatkan bahwa: “60 tahun di bawah pemimpin yang zalim, masih lebih baik dari pada tidak ada pemimpin”. Nabi juga pernah berpesan kepada sahabatnya: “Apabila tiga orang diantara kamu melakukan bepergian, maka hendaklah mereka menunjuk salah satunya menjadi pemimpin. Berpegang pada pengertian tersebut bahwa pemimpin hanya ada dalam sebuah kelompok atau organisasi. Baik kelompok kecil, yang dipimpin oleh kepala keluarga, maupun kepemimpinan tingkat nasional yang berpusat pada kepala pemerintahan, yang dipimpin oleh presiden untuk negara yang 11 Miriam Budiardjo, op. cit, hlm. 11 19 berbentuk republik. Sehingga kata yang dipakai untuk pemimpin negara adalah presiden, karena kata presiden itu sendiri derivatife dari kata to preside yang artinya memimpin atau tampil di depan. Sedangkan kata latin presidere berasal dari kata prae yang artinya di depan, dan kata sedere artinya duduk.12 2. Beberapa Istilah Pemimpin dalam Islam Dalam terminologi Islam kata yang dipakai untuk kepala atau pemimpin bagi gelar simbolik utama yang digelarkan kepada orang yang melaksanakan tugas kepemimpinan adalah imam, khalifah, dan amir. Meskipan ada beberapa istilah lain yang mempunyai arti kepala atau pemimpin, seperti rais, syaikh, dan sultan.13 Gelar rais dan syaikh pernah disandang bagi orang yang mempunyai pengaruh paling besar bagi kabilah suku Quraisy, dan gelar ini mempunyai posisi tertinggi.14 Namun gelar Syaikh tersebut meluas menjadi Syaikh al Islam, dan gelar ini hanya lazim digunakan oleh para ulama fikih dan pemimpin tarekat, dan bagi orang yang memberi fatwa (mufti)15. Sedangkan kata sulthan merupakan derivasi dari kata salatha yang berarti menguasai, memimpin.16 Gelar ini pernah dipakai oleh penguasa muslim secara resmi semenjak abad ke-11 pada dinasti Abbasiyah. Pada mulanya gelar sulthan hanya jabatan bagi seorang yang menduduki jabatan gubernur, dan masih 12 Peter Salim, Websters New world dictionary college edition, New York the world publishing Company, 1962, hlm. 1153. 13 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 11. 14 Ibid. 15 Tim Penulis IAIN Syahid, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, hlm. 876. 16 Ibnu al Mandzur, Lisan al Arab, jilid 7 Beirut: Dar al Fikr, t.th. hlm. 320-321 20 dibawah kekuasaan Khalifah, namun jabatan sulthan semakin besar kekuasaannya bahkan melebihi jabatan khalifah. Pada akhirnya sulthan benarbenar berkuasa penuh atas daerah dan wilayahnya dan berada di atas kekuasaan khalifah17. Adapun gelar besar yang diberikan kepada kepala negara untuk melaksanakan pemerintahan dalam sejarah Islam adalah Imam, Khalifah, dan Amir. a. Imam Sebutan gelar yang paralel dengan pemimpin dalam sejarah pemerintahan Islam adalah imam. Kata imam turunan dari kata al amma ()ﺃﻷﻡ yang berarti "menjadi ikutan" atau berarti ﺃﻟﻘﺼـﺪartinya tujuan atau maksud, bisa juga mengambil dari kata ﺃﻣـﺎﻡyang berarti ﺗﻘـﺪﻡyang mempunyai arti: maju atau depan, sehingga dikatakan ﻓﻼﻥ ﻳﺆﻡ ﺍﻟﻘﻮﻡ, si Fulan mengimami kaum, ـﻢ ـﻮﻡ ﻭﺃﻡ ﻬﺑـ ﺃﻡ ﺍﻟﻘـartinya memajukan atau maju menjadi imam bagi mereka (kaumnya). ﺃﳌـﺆﻡberarti ﺩﻟﻴﻞ ﻫﺎﺩyang berarti pedoman (guide) yang memberi petunjuk.18 Kepemimpinan disebut al imamah, karena masih satu akar kata dengan imam, ma’mum, dan ummat. Imam artinya pemimpinmakmum yang dipimpin, dan satu kesatuan antara imam dengan makmum disebut dengan ummat. 17 18 Ibid, hlm. 291. Ibid, jilid 12 hlm. 30. 21 Dengan demikian bahwa kata imam memiliki makna-makna sebagai berikut: dikuti, baik sebagai kepala atau yang lainnya yang mengurus masalah kegiatan, maju ke depan (taqaddum), bermaksud kepada tujuan tertentu (al qashdu ila jihatin mu'ayanatin), petunjuk atau bimbingan (hidayah, irsyad), kepemimpinan (qiyadah), kecakapan atau kemampuan seseorang menjadi suri teladan (ahliyah). Selanjutnya Ibnu Mandzur berkesimpulan bahwa imam yang dimaksud adalah seorang yang diikuti oleh kaumnya, baik berada di jalan yang benar ataupun jalan yang sesat. Sedangkan menurut Quraish Shihab kata imam berasal dari kata amma ya’ummu ( ) ﺃﻡ ﻳـﺆﻡyang berarti menuju, menumpu dan meneladani, dari kata yang sama lahirlah kata um ( ) ﺃﻡyang berarti “ibu” dan imam ( )ﺍﻣـﺎﻡyang artinya “pemimpin”, karena keduanya sama-sama menjadi teladan, tumpuan pandangan, dan harapan bagi semua masyarakatnya.19 Namun Fakhruddin al Razi dalam tafsirnya berpendapat bahwa kata imam, jika diithlaqkan, maka yang ditunjuk hanyalah petunjuk ke arah kebaikan, karena jika menunjuk makna kejahatan, niscaya diberi keterangan yang menunjuk pada makna tersebut.20 Kata Imam dalam shalat dengan khalifah sering disejajarkan karena kedudukkan seorang imam dalam hal kepemimpinan harus diikuti, tentunya imam yang berjalan sesuai dengan ketentuan hukum.21 19 Quraish Shihab, Wawasan al Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, cet. Ke-8, 1998, hlm. 325. 20 Al Razi, Tafsir al Razi, Beirut: Dar al Fikr, jilid 1, t.th. hlm. 710. 21 Ali Abd. Raziq, al Islam wa Ushul al Hukm, al Qahirat, 1925, hlm. 3. 22 Kata imam banyak terdapat dalam al Qur'an seperti S. Yasin: 12, Imam al mubin, kata imam ini artinya kitab induk yakni al Qur'an yang memberi petunjuk, S. Al Baqarah: 124 berarti Nabi Ibrahim yang ditunjuk oleh Allah sebagai pemimpin bagi umat manusia, S. al Hijr: 79, berarti jalan umum, S. Hud: 17 berarti pedoman, S. al Furqan: 74 berarti pemimpin dalam hal kebaikan, S. al Qashash: 5 berarti pemimpin yang mempunyai arti luas. Namun dalam S. at Taubah: 12 yang memakai kata jamak yakni a'immat yang menunjuk pada pemimpin orang-orang kafir, sedangkan dalam S. al Anbiya': 72-73 berarti pemimpin-pemimpin spiritual (Rasul) yang dibekali wahyu oleh Allah untuk mengajak manusia mengerjakan kebaikan, mengerjakan shalat, menunaikan zakat, pemimpin-pemimpin yang dimaksud adalah Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq dan Nabi Ya'qub. S. al Sajdah: 24 berarti para pemimpin yang memberi petunjuk berdasarkan perintah Allah.22 Dengan demikian kata imam yang dimaksud pemimpin dalam arti luas atau bersifat umum adalah pemimpin yang mengurus masalah pemerintahan (politik) saja, atau pemimpin yang mengurus masalah agama saja. Namun kata imam yang mempunyai arti khusus hanya menunjuk pemimpin spiritual yang bertugas untuk misi keagamaan saja. Akan tetapi dalam kenyataan sejarah Nabi Muhammad SAW. selaku pemimpin agama bagi umatnya untuk melaksanakan tugas kerasulannya, dalam perkembangannya pada periode 22 Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, cet, ke- 5, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 60. 23 Madinah Nabi Muhammad SAW. melaksanakan tugas-tugas politik dan pemerintahan, sekaligus sebagai kepala negara bagi masyarakat Madinah.23 Pada mulanya gelar imam lebih populer di kalangan umat Islam Syi'ah, tugas imam di samping sebagai pemimpin spiritual yang sakral, ia juga berfungsi sebagai pemimpin politik, meskipun di kalangan Sunni menggunakan istilah imam dalam doktrin politiknya. b. Khalifah Khalifah berasal dari kata ﺧﻠـﻒ ﳜﻠـﻒ ﺧﻼﻓـﺔartinya menggantikan, membelakangi, dan bentuk jamaknya adalah ﺧﻠﻔﺎﺀ ﺧﻼﺋﻒDikatakan bahwa ﻣﻦ ﻳﻘـﻮﻡ ﻣﻘﺎﻣﻪartinya orang yang menggantikan tempat orang lain dalam beberapa persoalan. Kata ini mengalami perkembangan arti, baik secara umum maupun secara khusus, dalam kamus dan ensiklopedi berbahasa Inggris khalifah berarti wakil (deputy), pengganti (successor), penguasa (vicegerent), title bagi pemimpin tertinggi bagi komunitas muslim (title of the supreme head of the Muslim Community).24 Dalam kenyataan sejarah Islam, khalifah adalah pemimpin yang menggantikan Nabi dalam tanggung jawab terhadap umatnya agar manusia mengikuti undang-undang–Nya. Dengan demikian khalifah merupakan gelar bagi pemimpin tertinggi bagi masyarakat Muslim, lebih khusus ia sebagai pengganti Nabi dalam urusan agama dan urusan politik. 23 24 hlm. 881. Ibid, hlm. 61. Van Donzel, et. al. (eds), First Enclyclopadia of Muslim, Vol. IV, Leiden: Brill, 1978 24 Dalam al Qur'an kata khalifah disebutkan dalam S. al Baqarah: 30 yang berarti Nabi Adam dan keturunannya sebagai pengganti makhluk lain untuk memakmurkan dan melaksanakan hukum-hukum Allah di bumi. Dalam S. Shad: 26 Allah menunjuk kepada Nabi Daud sebagai pemimpin, dalam S. al Nur: 55 Allah menjadikan penguasa pada orang yang beriman dan beramal saleh, dalam S. al An'am: 133 dan 165, S. Hud: 57, S. Fathir: 39, S. al A'raf: 69 dan 74 mempunyai arti pengganti bagi generasi berikutnya.25 Awal penyebutan gelar khalifah pertama kali dalam Islam adalah gelar yang diberikan kepada Abu Bakar, ketika ia terpilih dalam bai'at as Tsaqifah.26 Tugas yang diberikan adalah untuk menggantikan Rasulullah Saw, dalam memimpin dan memelihara kemaslahatan umat Islam. Kemudian gelar Khalifah berkembang menjadi titel bagi pemimpin tertinggi untuk umat Islam. Lebih khusus khalifah berarti sebagai pengganti Nabi dalam urusan masalah agama dan urusan pemerintahan. Dalam urusan agama yang dimaksud bukan untuk meneruskan dalam menerima wahyu, karena setelah Rasulullah wafat otomatis wahyu berhenti, dan tidak dapat digantikan oleh siapa pun.27 Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kata khalifah yang digunakan dalam al Qur'an mempunyai pengertian sebagai berikut 1) Manusia dijadikan oleh Tuhan sebagai pengganti makhluk pendahulunya. 2) Umat manusia seluruhnya dijadikan oleh Tuhan sebagai penguasa bumi dan kepada mereka diberikan kemampuan untuk mengolah dan melaksanakan hukum menurut batas-batas yang ditetapkan oleh Tuhan. 25 Suyuti Pulungan op. cit, hlm. 50-53. Ibnu Khaldun, al Muqaddimat, Beirut: Dar al Fikr, hlm. 156. 27 Suyuti Pulungan, op. cit. hlm. 57 26 25 3) Orang yang memiliki kekuasaan sebagai anugerah dari Allah untuk memobilisasi sumber daya alam. 4) Tuhan menjadikan manusia dari satu generasi ke generasi umat secara bergantian untuk menguji siapa di antara umat-umat itu yang paling baik karya dan amal perbuatannya untuk dijadikan contoh atau teladan. 5) Orang-orang mukmin akan dikaruniai kekuasaan oleh Allah bila mereka benar-benar taat dan banyak berbuat amal saleh.28 c. Amir Kata amir derivasi dari kata amara ya'muru amran artinya perintah dan bentuk fa'ilnya adalah amir yang berarti orang yang memerintah, pemimpin (qa'id, za'im). Menurut istilah, amir didefinisikan dengan "seorang penguasa yang melaksanakan urusan untuk kepentingan kelompoknya". Bentuk pluralnya adalah umara', dalam al Qur'an hanya terdapat kata ulil amri yang mempunyai arti pemimpin atau orang yang berpengetahuan,29 namun kata amir lebih banyak terdapat dalam hadith.30 Istilah amir digunakan untuk gelar jabatan-jabatan penting dalam sejarah pemerintahan Islam dengan sebutan yang beragam, seperti Amir al mukminin, Amir al Muslimin, Umara', dan Amir saja. Oleh karenanya, kata amir seringkali digunakan untuk kepala pemerintahan di daerah dan gelar untuk penguasa militer, seperti Amir al jaisy atau amir al Jund sebutan bagi komandan divisi militer.31 28 Ibid, hlm. 53 Ibnu al Manzhur, op. cit, jilid 4, hlm. 31. 30 Suyuti Pulungan, op. cit, 65. 31 Ibid. 29 26 Pertama kali yang mendapat gelar Amir almukminin adalah Umar bin Khattab.32 Berkenaan dengan ini Ibnu Khaldun berkata: Amir al mukminin adalah gelar khalifah. Gelar ini suatu gelar yang baru yang diadakan semenjak zaman khulafa'. yang sebelumnya menamakan komandan pasukan dengan gelar Amir, dan kata yang sinonim dengan itu adalah Amil.33 B. Perkembangan Sejarah Keislaman tentang Kepala Negara Untuk bisa mengetahui dan menganalisa pasal mengenai persyaratan presiden, terebih dahulu penulis sedikit menguraikan tentang sejarah pemerintahan Islam pertama kali. Dalam hal ini ada tiga periode penting dalam sejarah pemerintahan Islam sebagai rujukan pemerintahan menurut Islam. Sehingga dalam perjalanan pemerintahan tiga periode ini, terutama tentang kepemimpinannya bisa dijadikan sebagai “pesan” model kepemimpinan menurut Islam. Baik mengenai watak, sifat, kebijakan, maupun kriteria-kriteria lain yang harus melekat pada diri seorang pemimpin, terutama pemimpin pemerintahan. Sebagaimana diketahui bahwa ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah bisa dikatakan sebagai pemerintahan pertama kali dalam Islam. Karena pada periode Madinah Nabi tidak lagi mengurusi masalah agama saja, namun sudah mulai memperhatikan masalah-masalah sosial, kemasyarakatan (muamalah), termasuk melakukan strategi peperangan, periode inilah bisa 32 Teungku Hasbi as Shiddieqi, Islam dan Politik Bernegara, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002, hlm. 40. 33 Ibnu Khaldun, op. cit, hlm. 189. 27 dikatakan sebagai periode pertama kali dalam pemerintahan.34 Kemudian periode pemerintahan kedua adalah periode Khulafa’ al Rasyidin yang lebih dikenal dengan salaf as salih, periode ini mewarisi pemerintahan Nabi, bahkan sudah meluas dengan melakukan ekspansi wilayah. Dan periode ketiga adalah periode pemerintahan pasca Khulafa’ al Rasyidin, pada masa ini ada dua dinasti besar yang menduduki tampuk pemerintahan setelah khulafa’ al rasyidin, yakni Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah, meskipun dengan gaya pemerintahannya berbeda dengan periode sebelumnya. 1. Masa Rasulullah SAW. Untuk bisa dikatakan Negara dalam pemerintahaan Islam pada zaman Nabi, maka pandangan tersebut lebih tertuju ketika Nabi sudah berhijrah di kota Yathrib. Kemudian kota ini berganti nama menjadi Madinah al Nabi, dan lebih populer dengan sebutan Madinah.35. Terbentuknya negara Madinah merupakan akibat dari perkembangan penganut Islam yang sudah menjelma menjadi suatu kelompok sosial dan mempunyai kekuatan politik riil pada pasca periode Makah di bawah pimpinan Nabi Muhammad SAW. Selama periode Makah pengikut Nabi jumlahnya relatif kecil dan belum mempunyai daerah kekuasaan atau pun 34 Dalam ilmu politik, menurut Miriam Budiardjo termasuk syarat-syarat terbentuknya negara adalah, adanya wilayah, masyarakat, dan adanya undang-undang untuk berlangsungnya tatanan kehidupan dalam wilayah tersebut. Dengan membandingkan pada periode Madinah, maka bisa dikatakan bahwa Madinah adalah sebuah negara, karena sudah ada wilayah, yakni wilayah Madinah, adanya masyarakat, yaitu penduduk Ansar, Muhajirin, kaum Yahudi, beserta sekutunya, dan adanya undang-undang yang mengatur tatanan kehidupan mereka, yaitu dengan dibentuknya Piagam Madinah. Lihat Miriam Budiardjo, op. cit, 2002 hlm. 13. 35 Suyuti Pulungan, op. cit, hlm. 77. 28 berdaulat. Penganut Islam merupakan komunitas minoritas yang lemah dan tertindas, sehingga tidak mampu tampil menjadi kelompok sosial yang duduk sejajar dengan elit masyarakat di kalangan kelompok sosial mayoritas yang berada di bawah kekuasaan aristokrat Quraisy, yang masyarakatnya bersifat homegen.36 Akan tetapi setelah Nabi hijrah ke Madinah posisi Nabi dan umatnya mengalami perubahan besar. Di kota tersebut Nabi beserta pengikutnya mempunyai kedudukan yang baik dan mempunyai kekuatan besar serta berdiri sendiri. Kedudukan Nabi selain sebagai pemimpin agama, juga secara resmi sebagai pemimpin penduduk kota itu, yang masyarakatnya heterogen. Babak baru dalam sejarah Islam pun dimulai, berbeda dengan periode Makah, karena di Madinah Islam bukan saja mengajarkan tentang aqidah, namun sudah menyentuh tentang kehidupan bermasyarakat (mu'amalah), sehingga dalam diri Nabi terkumpul dua kekuasaan, yakni kekuasaan spiritual, sebagai pemimpin agama dan kekuasaan duniawi sebagai kepala negara bagi penduduk Madinah.37 Sebagaimana Fazlur Rahman berpendapat bahwa “masyarakat Madinah yang diorganisir Nabi merupakan suatu negara dan pemerintahan yang membentuk suatu komunitas umat Muslim”.38 Perubahan besar yang dialami Nabi ditandai dengan beberapa peristiwa penting. Pada tahun 621 daan 622 M Nabi berturut-turut mendapat 36 Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, jilid. II terj. Muchtar Yahya dan Sanusi Latif Jakarta: Pustaka al Husna, 1988. 37 Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, jilid. I, Jakarta: UI-Press, 1986, hlm. 92. 38 Sebagaimana dikutip oleh Dhiauddin Rais, al Nadzariyat al Siyasat al Islamiyat, Mishr: Maktabah al anjlu, 1957, hlm, 15. 29 dukungan moral dan dukungan politik dari sekelompok orang arab (suku Aus dan suku Khazraj) di kota Yathrib yang menyatakan diri masuk Islam. Dalam bai'atnya yang pertama tahun 821 M dikenal dengan Bai'at Aqabah yang Pertama, mereka berikrar untuk tidak akan menyembah selain Allah, dan akan meninggalkan segala perbuatan jahat dan akan menaati Rasulullah dalam segala urusan yang benar. Sedangkan pada tahun berikutnya 622 M yang dikenal dengan Bai'at Aqabah Kedua, mereka berjanji akan melindungi Nabi sebagaimana melindungi keluarga mereka sendiri dan menaati Nabi sebagai pemimpin, mereka juga berjanji akan berjuang bersama baik untuk berperang maupun untuk perdamaian.39 Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu Nabi segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat yaitu dibangunnya masjid di Quba, pembangunan masjid tersebut di samping sebagai sarana untuk ibadah shalat, juga berfungsi sebagai sarana penting untuk mempersatukan jiwa mereka40 Masjid tersebut digunakan sebagai sarana musyawarah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi, sekaligus sebagai pusat kegiatan sosial, budaya pendidikan, peradilan, bahkan sebagai pusat pemerintahan. Selain itu Nabi juga mulai menata kehidupan sosial politik komunitaskomunitas di Madinah. Dengan sifat Nabi yang adil, tidak membeda-bedakan ras, suku, keyakinan dan antar sahaya. Ini terbukti dengan disatukannya semua 39 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al Islam, jilid I, al Qahirat: al Maktabat al Nahdhat al Mishriyat. 1979, hlm. 95-97. 40 Ahmad Ibrahim Syarif, Daulat al Rasul fi al Madinat, Kuwait: Dar al Bayan, 1972, hlm. 87. 30 penduduk Madinah yang heterogen, yaitu komunitas Arab muslim Mekkah, komunitas Arab Muslim Madinah dari suku Aus dan suku Khazraj, kelompok Yahudi, dan komunitas Arab yang paganis. Untuk itu langkah Nabi yang ditempuh, adalah menata intern kehidupan kaum muslimin, dengan cara mempersaudarakannya yang diikat bukan karena kabilah ataupun golongan darah, namun disatukan karena ikatan agama.41 Kemudian langkah berikutnya dengan mempersatukan antara kaum Muslimin dengan kaum Yahudi bersama sekutunya melalui perjanjian tertulis yang dikenal dengan "Piagam Madinah"42. Langkah Nabi mendapat sambutan hangat oleh masyarakat Madinah, karena sikap solidaritas yang tinggi dalam diri Nabi, dan berhasil mengikat penduduk Madinah yang heterogen, dalam usahanya untuk mencegah timbulnya konflik Nabi juga menjamin kebebasan bagi semua golongan, namun tetap melaksanakan hukum bagi yang melanggarnya berdasarkan perjanjian yang telah disepakati oleh masing-masing pihak.43 Hal ini merupakan bukti kemampuan Nabi dalam melakukan negosiasi dan konsolidasi dengan berbagai kabilah dan kelompok sosial Madinah, sehingga Nabi diakui sebagai pemimpin mereka.44 Langkah Nabi yang ditetapkan dalam konstitusi Piagam Madinah mengandung beberapa prinsip, yaitu: prinsip persatuan dan persaudaraan. Hal ini untuk menetralisir kekuasaan antar kelompok sosial yang sering terjadi dan 41 303-304. 42 Ibnu Hasym, Sirat al Nabawiyah, jilid I, Mathba'at Muhammad Ali Shabih, t.th. hlm. Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UII Press, 1993, hlm. 9-17. 43 Munir Muhammad Ghadban, al Tahaluf al Siyasi ai al Islam, terj. Gazira Abi Umah, “Kompromi Politik dalam Islam”. Jakarta: Pustaka al Kauthar, 2001, 114-119. 44 Suyuti Pulungan op. cit. hlm. 86. 31 terjerumus kepada konflik. Dari segi ilmu politik langkah ini bertujuan untuk mengatur hubungan-hubungan kemanusiaan di masyarakat, mengontrol dan menertibkan unsur-unsur dan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Karena manusia memang hidup dalam suasana kerjasama antagonistis, penuh konflik dan persaingan. Sehingga regulasi yang dibuat, walaupun ada unsur pemaksaan, namun untuk menetapkan tujuan-tujuan kehidupan bersama dalam mencapai kesejahteraan.45 Prinsip persamaan, prinsip kebebasan, tolongmenolong, keadilan, prinsip musyawarah, dan prinsip penegakkan hukum tetap dilaksanakan. Termasuk juga sikap tanggung jawab bagi pemimpin, ketakwaan dan amar ma’ruf nahi munkar Dikatakan bahwa masyarakat yang dipimpin oleh Nabi adalah negara, karena dari sudut ilmu politik sudah memenuhi syarat-syarat negara, yaitu dengan adanya wilayah, yakni wilayah Madinah, adanya masyarakat, yaitu kaum Ansar, Muhajirin, kaum Yahudi, serta sekutunya dan pemerintah yang berdaulat yang dipegang oleh Nabi dibantu para sahabatnya, juga adanya undang-undang yang mengatur kehidupan mereka yaitu dengan dibuatnya Piagam Madinah.46. Dalam ilmu tata negara juga disebutkan bahwa tugas-tugas pemerintah adalah untuk mencapai tujuan bersama yaitu dengan melaksanakan penertiban dan mencegah konflik dalam masyarakat, mengusahakan kesejahteraan rakyat, mempertahankan dan menegakkan keadilan.47 Sebagaimana yang dilakukan 45 Miriam Budiardjo, op. cit, hlm. 38. Ibid, hlm. 13. 47 Ibid, hlm. 46. 46 32 Nabi untuk memenuhi kesejahteraan rakyatnya dan kesejahteraan sosial rakyat Madinah Nabi mengelola zakat, infaq, dan shadaqah, dan jizyah. Sosok kepemimpinan Nabi dalam kapasitasnya sebagai kepala negara tampak dalam prakteknya dengan mendelegasikan tugas-tugas eksekutif dan yudikatif, yaitu dengan diangkanya katib (sekretaris), amil (pengelola zakat) qadhi (hakim). Nabi juga mengangkat seorang amil untuk setiap wilayah untuk melaksanakan tugasnya di daerah yang ditempati. Nabi juga menunjuk sahabat untuk memimpin pasukan perang, disamping Nabi sendiri sering memimpin dalam medan pertempuran sebagai panglimanya.48 Dari uraian di atas mengenai negara Madinah periode Nabi Muhammad SAW tampak aktifitas Nabi tidak hanya menonjol di bidang risalah kenabian saja (kapasitasnya sebagai Nabi dan Rasul), untuk mengajarkan wahyu yang diterima dari Allah kepada umat manusia. Tetapi juga menonjol di bidang keduniaan untuk membangun kebutuhan spiritual dan kebutuhan material masyarakat. Nabi sebagai kepala negara telah menampilkan sebagai pemimpin yang berhasil melaksanakan prinsip keseimbangan antar kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat bagi umatnya. Terlaksananya prinsip keseimbangan ini karena Nabi menerapkan secara konsisten prinsip musyawarah, kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, persamaan bagi semua lapisan sosial, keadilan, dan kesejahteraan bagi rakyatnya, baik secara spiritual, maupun secara material, persatuan dan 48 Ibnu Hisyam, op. cit. hlm. 54-57. 33 persaudaraan, amar makruf nahi munkar, dan yang lebih penting prinsip ketaqwaan49 2. Masa Khulafa' al Rasyidin Khilafah merupakan sistem pertama kali dalam sejarah Islam ketika Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah. Khalifah merupakan lembaga pengganti rasul dalam meneruskan misi keagamaan rasul dan mengatur urusan pemerintahan Negara Madinah yang terbentuk semasa Nabi. Pengangkatan Abu Bakar menjadi Khalifah merupakan hasil kesepakatan antara kaum Ansar dengan kaum Muhajirin dalam musyawarahnya di Tsaqifah Bani Sa'idah50. Musyawarah tersebut merupakan sikap spontanitas kaum Ansar yang lebih memiliki kesadaran politik dibanding kaum Muhajirin untuk memutuskan siapa yang akan meneruskan perjuangan Nabi dalam memimpin umat Islam.51 Pada awalnya pertemuan itu sempat terjadi ketegangan dengan persoalan yang mereka hadapi. Siapa yang akan menggantikan Nabi dalam memimpin umat Islam? apa syaratnya? bagaimana mekanisme pemilihannya?. Hal itu disebabkan Nabi sendiri tidak pernah memberi petunjuk secara tegas tentang masalah pemerintahan semasa hidupnya. Nabi juga tidak menunjuk salah seorang sahabat untuk meneruskan perjuangannya. Demikian juga al 49 Suyuti pulungan, op. cit. hlm. 101-102 Tsaqifah Bani Sa'idah merupakan balai pertemuan di Madinah, sebagaimana tempat pertemuan orang Quraisy yang bernama Dar al Nadwah di Makkah, karena sudah merupakan kebiasaan kaum Ansar berkumpul dib alai tersebut untuk memusyawarahkan masalaah-masalah umum, sebagaimana kaum Quraisy berkumpul di Dar al Nadwah. Lihat Dhiauddin Rais, op, cit, hlm. 25. 51 Suyuti Pulungan, op. cit, hlm. 102. 50 34 Qur'an tidak memberi petunjuk secara tegas terhadap pembentukkan pemerintahan yang harus diikuti umat Islam.52 Namun dengan semangat ukhuwah islamiyah yang tinggi akhirnya Abu Bakarlah yang terpilih sebagai pemimpin umat Islam, dan masing-masing pihak menerima dan segera membai’atnya. Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun, pada tahun 634 Ia meninggal dunia, masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri, terutama tantangan yang ditimbulkan suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat Nabi Muhammad batal setelah Nabi wafat, oleh karena itu, mereka menentang Abu Bakar, sehingga persoalan tersebut disebut dengan perang riddah (perang melawan kemurtadan).53 Dalam melaksanakan pemerintahannya Abu Bakar bertekad melaksanakan prinsip-prinsip pemerintahan yang pernah dilakukan oleh Nabi, yaitu dengan melaksanakan syari'at, mengadakan musyawarah, menjamin hakhak umat, secara adil serta memelihara ketaatan rakyat terhadap pemimpinnya selama pemerintahannya berjalan sesuai dengan aturan hukum. Abu Bakar juga berhasil membangun pranata sosial politik serta pertahanan dan keamanan dengan memobilisir segala kekuatan untuk menciptakan pertahanan dan keamaanan Negara Madinah, menghimpun ayat-ayat al Qur'an yang 52 Dalam pernyataannya Nabi menyerahkan kepada umatnya untuk masalah keduniaan اﻧﺘﻢ أﻋﻠﻢ ﺑﺄﻣﻮر دﻧﻴﺎآﻢHal ini tampak sifat Nabi yang demokratis dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Sebagaimana Sukarna menjelaskan, termasuk dari prinsip demokrasi adalah manajemen terbuka, artinya ada keterlibatan langsung dari masyarakat. Lihat Sukarna, Sistem politik, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1990, hlm. 43. 53 Badri Yatim, op. cit. hlm. 29. 35 berserakan. Keberhasilan ini tentu karena adanya kedisiplinan, kepercayaan, dan ketaatan yang tinggi dari rakyat terhadap integritas kepribadian dalam kepemimpinannya 54 Mengenai praktek pemerintahan Abu Bakar di bidang ekonomi adalah dengan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan rakyat, yaitu dengan mengelola zakat, infaq, dan shadaqah yang berasal dari kaum muslimin, ghanimah dari rampasan perang, dan jizyah dari pajak warga negara non muslim, itu semua sebagai sumber pendapatan Negara yang tertampung dalam Bait al Mal. Penghasilan tersebut kemudian dibagikan untuk kesejahteraan tentara, gaji pegawai dan kepada rakyat yang berhak menerimanya sesuai dengan ketentuan al Qur'an.55 Praktek pemerintahan Khalifah Abu Bakar terpenting lainnya adalah mengenai suksesi kepemimpinan, Abu Bakar telah menunjuk Umar bin Khattab untuk menggantikan jabatannya, hal ini dilakukan karena ada kekhawatiran akan terulangnya kembali peristiwa Bai'at al Tsaqifah yang nyaris terjadi perpecahan, jika tidak segera menunjuk seseorang untuk menggantikannya.56 Namun demikian Abu Bakar tidak meninggalkan musyawarah dalam penunjukakan tersebut, ia berkonsultasi kepada Abdurahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Asid bin Hadlir, dari tokoh Ansar. Setelah Abu Bakar mendadak sakit dan menunjuk Umar untuk menggantikan imam dalam shalat. Dan penunjukan itu mendapat persetujuan 54 Suyuti Pulungan, op. cit, hlm 108-113. Abd. Wahid. Al Najjar, al Khulafa' al Rasyidin, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyat, 1990, hlm. 100-103. 56 Abu Zahrah, Tarikh al Madzahib al Islamiyat al Siyasat wa al Aqidah, Beirut: Dar al Fikr t. th, hlm. 95. 55 36 dari kaum muslimin, dan setelahnya Abu Bakar wafat, Umar dilantik kaum muslimin untuk menjadi khalifah kedua yang berlangsung di masjid Nabawi.57 Sebagai kepala negara Umar sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat dari pada perhatiannya terhadap kesejahteraan para pejabat dan pegawainya. Hal ini juga untuk menata perekonomian Negara Madinah. Pada masanya penyelewengan kekayaan Negara relatif kecil, karena para pegawai dan pejabat diberi gaji yang cukup, dan peraturan yang tegas bagi para pelanggar aturan. Di riwayatkan, suatu malam Umar mengadakan perjalanan keliling untuk mengetahui secara pasti keadaan kesejahteraan rakyatnya, kemudian ia menemukan satu keluarga dimana sang Ibu tampak sedang merebus sesuatu. Sementara anaknya menangis menahan rasa lapar. Ketika diketahuinya ternyata yang direbus hanyalah air, sekedar untuk menghibur anaknya yang merintih menahan rasa laparnya. Ia berfikir hal ini tanggung jawab seorang pemimpin dan tidak perlu terjadi seandainya ia tahu sebelumnya. Seketika itu Umar segera mengambil bahan makanan dari Bait al Mal dengan memikulnya sendiri untuk diberikan kepada keluarga tersebut58. Umar juga pernah memberikan zakat kepada seorang tua Yahudi yang tuna netra. Suatu ketika Umar berkunjung ke Damaskus dan mengunjungi satu kaum Nasrani yang terkena penyakit kusta, ia memerintahkan agar mereka dicukupkan bahan makanan mereka.59 57 Suyuti Pulungan, op. cit, hlm. 116-118. Jamil Ahmad, Seratus Tokoh Muslim Terkemuka, terj. Tim Penterjemeh/ Pustakawan Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1984, hlm. 30. 59 Abbas Mahmoed al Akkad, Kecemerlangan Khalifah Umar bin Khattab, terj. A, Gani dan Zainal Abidin Ahmad, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, hlm. 135. 58 37 Di zaman Umar gelombang ekspansi sangat cepat, sehingga Umar segera mengatur administrasi negara. Administrasi pemerintahan di daerahdaerah yang sudah menjadi kekuasaannya diberi kewenangan dan otonomi seluas-luasnya dalam mengelola daerahnya masing-masing. Setiap propinsi diangkat seorang gubernur yang disebut wali atau Amir untuk membantu dalam kepemimpinannya. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan propinsi, antara lain, Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan, pada masa Umar mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, dengan dibentuknya jawatan kepolisian, demikian pula jawatan pekerjaan umum. 60 Dalam pemerintahannya Umar tidak pernah meninggalkan musyawarah, persamaan manusia, kebebasan manusia dan keadilan untuk mengangkat harkat manusia pada martabatnya yang luhur. Maka bisa dikatakan puncak kejayaan Negara Madinah terwujud pada masanya.61 Sebelum masa jabatannya berakhir dengan kematian, Ia dibunuh oleh budak Persi bernama Abu Lu'lu'ah, untuk menentukan penggantinya Umar tidak melakukan jalan yang ditempuh Abu Bakar, Ia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi Khalifah, Enam orang tersebut adalah, Usman bin Affan, Ali bin Abi 60 61 Syibli Nu'man, Umar Yang Agung, Bandung: Penerbit Pustaka, 1981, hlm. 263. Suyuti Pulungan, op. cit, hlm. 137. 38 Thalib, Thalhah, Zubeir, Sa'ad bin Abi Whaqas, dan Abdurrahman bin Auf., ditambah Abdullah bin Umar yang tidak mempunyai hak suara dalam menentukan Khalifah.62 Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun. Pada paroh terakhir masa kekhalifahannya muncul beberapa konflik internal, karena merasa kecewa terhadapnya. Kepemimpinan Usman berbeda dengan kepemimpinan Umar, ini disebabkan karena umurnya sudah lanjut (diangkat umur 70 tahun) dan pada diri Usman tertanam sifat yang lemah lembut. Namun sikap lemah lembutnya justru menjadi bumerang bagi dirinya Akhirnya Usman dibunuh oleh orang-orang pemberontak yang kecewa terhadap kepemimpinannya. Salah satu faktor yang menyebabkan kekecewaan masyarakat terhadap Usman adalah kebijaksanaannya dalam mengangkat para pejabat pemerintahan dari keluarga sendiri yang kurang berkompeten, sehingga sering terjadi penyelewengan. Seperti diangkatnya Marwan bin Hakam sebagai sekretaris negara, jabatan ini sangat setrategis, karena punya wewenang untuk mempengaruhi keputusan Khalifah. Sehingga dalam prakteknya disamping Marwan sebagai sekretaris Negara sekaligus sebagai penasehat pribadi khalifah. Selain Marwan adalah anak paman Usman, Disinyalir ia tidak disukai oleh rakyat, karena sering mementingkan urusan pribadi dan kelompoknya, ia juga sering melakukan intrik-intrik politik.63 62 63 hlm. 336. A. Syalabi, op. cit. hlm. 263. Yoesoef Syoe'eib, Sejarah Daulah Khulafa' al Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, 39 Issu sentral lain yang memicu rakyat protes terhadap kepemimpinannya adalah masalah pengangkatan gubernur dan masalah penggunaan keuangan negara. Usman telah memberhentikan gubernur yang diangkat oleh Umar dan digantikan kerabat terdekat Usman, sehingga Usman laksana boneka dihadapan kerabatnya, dalam perjalanan pemerintahannya pada hakekatnya yang mengendalikan adalah kerabatnya.64 Menurut Harun Nasution Usman adalah seorang yang lemah lembut Usman, disamping usianya sudah senja, sehingga ia tidak bisa membendung ambisi keluarganya yang kaya lagi berpengaruh yang telah memanfaatkan jabatannya.65 Meskipun demikian, tidak berarti pada masa pemerintahannya tidak ada kegiatan-kegiatan yang penting. Pada masa pemerintahannya, berdasarkan hasil musyawarah Usman berhasil menyusun standar al Qur'an yaitu dengan penyeragaman bacaan dan tulisan al Qur'an. Usman juga telah berjasa besar dalam pembangunan bendungan untuk menjaga arus banjir dan mengatur pembagian air ke kota-kota, ia juga membangun sarana-sarana umum, seperti pembangunan jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas masjid Madinah.66 Puncak dari krisis kepercayaan rakyat terhadap kepemimpinannya adalah dengan munculnya pemberontakan rakyat dari Kufah, Basrah, dan Mesir, mereka dating bersamaan. Mereka berhasil mengepung kota itu dan 64 Suyuti Pulungan, op.cit, hlm. 147. Harun Nasution, Theologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, dan Perbandingan, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1972, hlm. 4. 66 Badri Yatim, op. cit, hlm 39. 65 40 rumah kediaman Khalifah Usman dan berhasil membunuhnya ketika sedang membaca al Qur'an.67 Tidak lama setelah pembai'atan, Ali menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubaeir dan Aisyah. Hal ini disebabkan Ali tidak menghukum pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang telah ditumpahkan secara zalim. Sehingga suasana suhu politik semakin tidak menentu. Tindakan dan kebijaksanaan Ali setelah resmi menjadi Khalifah adalah menggantikan pejabat-pejabat pemerintahan pada pada masa Khalifah Usman, tindakan itu tentu saja ingin memulihkan keadaan yang lebih baik. Akan tetapi kebijaksanaan itu justru memancing kemarahan keluarga Bani Umayah.68 Pada tahun 36 H. terjadi perang jamal yaitu antara pasukan yang dipimpin kubu Aisyah, Thalhah, dan Zubeir dengan Ali dan pasukannya. Kemenangan berada di pihak Ali. Kemudian Ali menghadapi Muawiyah yang dikenal dengan perang siffin. (tahun 37), Hampir saja kemenangan di pihak Ali, dengan intrik politiknya Muawiyah menempuh jalan Tahkim (arbitrase) yang dipimpin oleh Amr bin Ash dan pihak Ali dipimpin oleh Abu Musa al Asy'ari. Hasil tahkim ini bukannya menyelesaikan ketegangan, melainkan terjadinya dualisme pemerintahan, secara sepihak memberhentikan Ali dari jabatan Khalifah dan mengukuhkan Mu'awiyah menjadi Khalifah.69 Namun setelah peristiawa itu, mayoritas umat Islam tetap mengakui Ali sebagai Khalifah, tidak mengakui pemerintahan Mu'awiyah, dan golongan 67 Ahmad Jamil, op. cit, hlm. 36-37. Badri Yatim, op. cit, hlm. 59. 69 Suyuti Pulungan, op. cit. hlm. 150. 68 41 ini yang disebut dengan golongan Syi'ah. Sebagian pengikut Ali memprotes keputusan majlis Tahkim dan menyatakan keluar dari kelompok Ali kleompok ini disebut dengan Khawarij. Akibatnya di ujung pemerintahan Ali kekuatannya semakin tidak menguntungkan, karena tentaranya semakin berkurang. Kelompok terakhir ini pula yang membunuh Khalifah Ali yang dilakukan oleh Abdurrahman bin Muljam.70 Masa pemerintahan Ali merupakan masa yang paling kritis, karena terjadi pertentangan kalangan intern umat Islam sendiri, yang berpangkal dari pembunuhan Usman. Namun demikian Ali berhasil mengembalikan kebijaksanaan Umar, dengan memecat sebagian pejabat Negara yang telah melakukan korupsi. Ia juga telah membenahi dan menyusun dokumendokumen Khalifah. Membentuk kantor hajib (bendahara), kantor pasukan pengawal (Sahib ush shurthah), serta mengorganisir polisi dan menetapkan tugas-tugas mereka.71 Untuk pengelolaan uang negara, Khalifah Ali mengikuti prinsipprinsip yang telah diterapkan Khalifah Umar, yaitu dengan meningkatkan perekonomian rakyat, harta rakyat dikembalikan pada rakyat. Sikap adil dan jujur yang diterapkan Ali mendapat reaksi dari pendukung Ali yang kemudian berpihak pada Umayah. Pengawasan terhadap para pejabat negara yang sering bertindak penyelewengan ditindak tegas. Sehingga suatu ketika Ibnu Abbas, 70 71 Ibid, hlm 157-158. Ahmad Jamil, op. cit, hlm. 45-46. 42 gubernur Basrah dan keluarga Ali menggunakan keuangan negara, untuk kepentingan pribadi, kemudian Ali langsung menegurnya.72 Dalam prakteknya usaha untuk menegakkan kebenaran didepan hukum Ali telah memberikan contoh pada dirinya. Suatu ketika Ali dituntut oleh seorang Yahudi mengenai baju besi Khalifah. Pengadilan yang dipimpin oleh seorang Qadhi Madinah menanyakan kepada Ali: "apakah anda menginginkan pembelaan terhadapnya?". Ali menjawab: "tidak". Kemudian perkara tersebut dimenangkan oleh orang Yahudi. Tetapi si Yahudi terkejut dengan keputusan tersebut yang memihak kepadanya, padahal Ia hanya menguji kebesaran jiwa Ali dan baju besi itu sebenarnya telah dijualnya kepada Ali. Kemudian atas kebesaran jiwa Ali Ia mengembalikan baju besinya. Dari peristiwa ini menunjukkan bahwa prinsip persamaan diperlakukan untuk semua lapisan sosial, etnik, di depan hukum.73 3. Masa Pasca Khulafa' al Rasyidin Setelah wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib berakhirlah masa periode Madinah. Tokoh yang duduk di kursi pemerintahan sebagai pemimpin negara adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, seorang Gubernur untuk wilayah Syiria sejak zaman Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 661 M (41 H), setelah pihaknya dinyatakan menang oleh Majlis Tahkim. Peristiwa itu terjadi setelah pengikut yang masih loyal terhadap kepemimpinan Ali membai'at Hasan putra Ali menjadi Khalifah, sebagai 72 73 Ibid, hlm, 45. Ibid, hlm. 39. 43 penerus perjuangan Ali, Ia mengundurkan diri dari arena politik. Sebab, Ia tidak menginginkan pertumpahan darah terulang kembali dikalangan umat Islam, hingga ia menyerahkan kekuasaannya kepada Mu'awiyah. Langkah penting Hasan bin Ali merupakan usaha rekonsiliasi umat bagi Islam yang terpecah belah. Oleh karenanya peristiwa itu dalam sejarah Islam dikenal dengan tahun persatuan ('Am al Jama'ah). Yaitu babak sejarah yang mempersatukan umat kembali berada di bawah kekuasaan seorang Khalifah. Rekonsiliasi yang dilakukan antara Hasan dengan Mu'awiyah setelah Mu'awiyah bersedia memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Hasan, yaitu Mu'awiyah harus menjamin keselamatan dan keamanan jiwa dan harta keturunan Ali serta pendukungnya. Hasan mengimbangi persetujuan tersebut dengan turut membai'at Mu'awiyah, begitu juga para pendukung Hasan dengan menunjukkan ketaatan dengan membai'atnya.74 Muawiyah mempunyai kepribadian yang luar biasa dalam masalah politik pemerintahan, juga dalam mengatur administrasi kenegaraan. Mu'awiyah juga dikenal seorang politikus yang pandai mengatur setrategi, piawai dalam merancang taktik dan dalam bersiasat, meskipun dengan caranya sendiri sering menempuh dengan segala cara, 75 untuk mempertahankan kemapanannya dalam berkuasa, Mu'awiyah berhasil merekrut para tokoh terkemuka, politikus, dan administrator untuk bergabung dalam sistem yang dibangunnya, untuk memperkokoh posisinya di puncak kepemimpinannya.76 74 Suyuti Pulungan, op. cit, hlm. 163. Khudori Bek, Muhadharat Tarikh al Umam al Islamiyat, al Qahira: Mathba'at al Istiqamat, 1370 H, hlm. 99. 76 Suyuti Pulungan loc. cit, hlm 163. 75 44 Mu'awiyah juga dikenal berwatak keras dan tegas, tetapi juga bisa berwatak lapang dada dan toleran. Sikap ini tampak sebagai prinsip yang ia terapkan dalam memimpin: " Aku tidak menggunakan pedangku jika cambuk saja sudah cukup, dan tidak pula cambuk, kalau perkataan sudah memadai, jikalau aku dengan orang lain saling berebut sehelai rambut, maka tidaklah putus rambut tersebut, karena jika mereka mengencangkannya , aku mengendorkan, dan jika mereka mengendorkan, maka aku akan mengencangkannya.77 Sesuai dengan prinsip dan watak Mu'awiyah tersebut, ia membuat kebijaksanaan dan keputusan politik, baik kebijaksanaan dalam negeri ataupun luar negeri. Dan jejak ini diteruskan oleh para penggantinya dengan mnyempurnakannya. Pertama, Mu'awiyah memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Meskipun beralasan demi menjaga keamanan, namun sangat bermuatan politis, Karena Damaskus letaknya jauh dari daerah konflik, yakni Kufah yang merupakan basis kaum Syi'ah, pendukung Ali, dan jauh dari Hijaz tempat tinggal mayoritas Bani Hasyim dan Bani Umayah, sehingga bisa terhindar dari konflik yang lebih tajam antara dua kubu itu yang saling berebut kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus merupakan daerah di wilayah Syam (Syria) yang sebelumnya sudah berada di bawah genggaman pengaruh Mu'awiyah selama 20 tahun semenjak oleh Khalifah Umar bin Khattab diangkat menjadi Gubernur.78 Kedua, orang-orang yang telah berjasa dalam perjuangannya hingga puncak kekuasaannya diberi penghargaan oleh Mu'awiyah. Seperti Amr bin 77 78 Ahmad Syalabi, op. cit, hlm. 41. Suyuti Pulungan, op. cit, hlm. 164. 45 Ash diangkat kemabali menjadi Gubernur Mesir dan al Mughirah bin Syu'bah juga diangkat menjadi Gubernur di wilayah Persi.79 Ia juga berhasil mengambil hati para pemuka yang bersikap netral terhadap berbagai kasus, sehingga mereka berpihak kepadanya. Ketiga, Mu'awiyah menyingkirkan orang-orang yang beroposisi yang dianggap berbahaya, dan menumpas para pemberontak.80 Seperti kaum Khawarij yang dianggap merongrong wibawa kekuasaanya serta mengkafirkannya, karena dalam perang shiffin Mu'awiyah hanya menuruti hawa nafsu politiknya, tidak taat kepada hukum al Qur'an. Keempat meningkatkan kekuatan militer yang terdiri dari tiga angkatan, darat, laut dan aparat kepolisian yang tangguh dan loyal. Kelima, melakukan ekspansi wilayah baik ke Timur yang diteruskan oleh penerusnya, Khalifah abd Al Malik, sedangkan ke arah Barat diteruskan oleh Khalifah al Walid, dan ke Perancis pada masa Khalifah Umar bin Abd Aziz. Perluasan ini merupakan ekspansi terbesar kedua setelah perluasan wilayah yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Berbagai suku bangsa bersatu dalam satu naungan Islam melahirkan benih peradaban baru yang bercorak Islam, sekalipun kebudayaan Arab lebih dipusatkan perhatiannya oleh Dinasti tersebut.81 Keenam, Mu'awiyah dan para penerusnya membuat kebijaksanaan yang berbeda dengan masa Khulafa' al Rasyidin, mereka mengangkat orangorang non muslim sebagai pejabat elit pemerintahan, seperti penasehat, 79 Ibid, hlm. 164. Ibid. 81 Harun Nasution, Islam di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya,Jakarta: UI- Press, jilid. 1 hlm, 62-63. 80 46 administrator, dokter-dokter, dan kesatuan-kesatuan tentara.82 Namun menurut Wellhausen, pada masa Khalifah Umar bin Abd. Al Aziz kebijaksanaan tersebut dihapus, karena para pejabat non Muslim yang menduduki posisi privilege dalam pemerintahan, sering kali merugikan kepentingan umat Islam dan meremehkannya.83 Ketujuh, Mu'awiyah memperbaharui dan melengkapi dalam bidang administrasi dengan jabatan-jabatan baru, karena mendapat pengaruh dari kebudayaan Byzantium. Kedelapan, keputusan politik dan kebijaksanaan terpenting pada masa Khalifah Mu'awiyah adalah mengubah sistem pemerintahan dari bentuk Khilafah yang bercorak demokrasi menjadi sistem monarki dengan mengangkat putra mahkota. Hal ini berarti suksesi kepemimpinan berlangsung secara turun-temurun, kemudian diikuti oleh penerusnya. Tetapi keputusan yang terakhir ini mendapat banyak kecaman dari umat Islam golongan Syi'ah, Abdurrahman bin Abu Bakar, Husein bin Ali, dan Abdullah bin Zubeir. Bahkan masyarakat madinah mengadakan dialog dengan menyarankan supaya ia mengikuti langkah yang ditempuh oleh Rasulullah atau Abu Bakar dan atau Umar dalam urusan suksesi kepemimpinan. Namun saran tersebut diabaikan, Mu'awiyah beralasan khawatir terjadi kekacauan yang lebih besar dan demi menjaga stabilitas keamanan negara.84 82 Pulungan, op. cit, hlm. 166 . Ibid. 84 Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al Islam, al Qahirat: Maktabah al Nahdhat al Mishriyat, 1979, hlm. 387. 83 47 Dalam pemerintahan Mu'awiyah, meskipun yang digunakan sistem monarki, namun untuk penamaan gelar tetap menggunakan gelar khalifah, ada juga yang menyebut amir al Mukminin. Bahkan status jabatan khalifah diartikan sebagai "Wakil Allah" (Khalifat Allah), dengan menghubungkan al Qur'an S. al Baqarah: 30, sehingga Dinasti ini menyatakan bahwa keputusannya didasarkan atas perkenan Allah, siapa yang tidak patuh berarti kafir dan harus dimusnahkan.85 Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagai ciri-ciri pada pemerintahan Dinasti Umayah adalah, sebagai unsur pengikat bangsa lebih ditekankan pada kesatuan politik ekonimi, Khalifah sebagai jabatan sekuler, dan berfungsi sebagai jabatan eksekutif kepala pemerintahan eksekutif. Dinasti ini lebih mengarahkan pada perluasan kekuasaan dan wilayah kekuasaan negara. Dinasti ini lebih bersifat eksklusif, karena lebih mengutamakan orang-orang berdarah Arab duduk dalam pemerintahan, sedangkan orang-orang non Arab tidak banyak mendapat kesempatan yang sama luasnya dengan yang berdarah Arab. Qadhi (hakim) mempunyai kebebasan dalam memutuskan perkara. Dan formalitas agama tetap dipatuhi, dengan menampilkan citranya sebagai pejuang Islam, ciri lain dari Dinasti ini adalah kurangnya melakukan musyawarah, karenanya kekuasaan khalifah bersifat absolut, meskipun keabsolutannya belum menonjol. Dengan demikian tampilnya Dinasti 85 W. Montgomery Watt, The Majesty That Was Islam, terj. Hartono Hadikusumo, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990, hlm. 23. 48 Umayah merupakan babak kedua dari praktek pemerintahan Islam yang mengambil bentuk monarki. 86 Pemerintahan Dinasti Abbasiyah berdiri setelah pemerintahan Dinasti Umayah jatuh ke tangan Bani Abbas, keturunan Bani Hasyim suku Quraisy. Dinasti ini didirikan oleh Abu al Abbas, keturunan dari paman Nabi Mhammad SAW. Berdirinya Dinasti ini merupakan perjuangan gerakan politik yang dipimpin oleh Abu al Abbas yang mendapat bantuan dari kaum Syi'ah dan orang-orang Persi. Gerakan ini berhasil menjatuhkan Dinasti Umayah pada tahun 750 M. sehingga pada tahun itu juga Abu al Abbas diangkat menjadi khalifah di Kufah sampai dengan tahun 754 M.87 Dalam pemerintahannya, struktur organisasi pemerintahannya serta sistem dan bentuknya hampir sama dengan Dinasti Umayah, yakni sistem monarki, dan gelar yang di pakai adalah khalifah. Sebagaimana Bani Umayah, intrik-intrik politik dilakukan pada masa tersebut dengan berbagai cara, sehingga dinasti ini membawa puncak kejayaan di bidang ekonomi dan perdagangan, politik, sosial, militer, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Diantara Khalifah-Khalifah besar yang sampai pada puncak kejayaannya adalah, Abu Ja'far al Mansur al Mahdi (775-785 M.), Harun al Rasyid (785809 M.), al Ma'mun (813-833 M.), al Mu'tasim (833-842 M.), al Watsiq (842847 M.) dan al Mutawakkil (847-861 M.)88 Dinasti inilah yang membawa pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia, dan menjadi kekuatan besar di belahan Timur. 86 Abu A'la al Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan, 1984. Suyuti Pulungan, op. cit, hlm. 172. 88 Harun Nasution, op. cit, hlm. 66-69. 87 49 Khalifah-khalifah Abbasiyah memposisikan dirinya sebagai "bayangan Allah di bumi" (zhilal Allah fi al Ardh), sebagaimana pernyataan Abu Ja'far al Mansur :" Sesungguhnya saya adalah Sultan Allah di bumi-Nya". Sehingga Ia menganggap bahwa kekuasaan yang diembannya adalah atas kehendak Tuhan dan Tuhan pula yang yang memberi kekuasaan kepadanya. Sehingga kekuasaan Khalifah pada masa ini sangat tampak keabsolutannya dibanding khalifah-khalifah Bani Umayah.Dalam ilmu tata Negara bahwa penguasa yang mengklaim dirinya bahwa kedaulatan berasal dari Tuhan dan atas kehendak Tuhan, dan Tuhan pula yang memberi kekuasaan kepadanya , teori ini disebut dengan teori ketuhanan.89 Pada masa pemerintahan ini dibentuk lembaga al Nizham al Mazhalim. Dan lembaga ini mempunyai tiga macam hakim. Pertama, al Qadhi yang bertugas memberi penerangan hukum dan pembinaan hukum, dan menyelesaikan perkara sengketa perselisihan dan masalah wakaf. Kedua, al Muhtasib bertugas mengawasi hukum, mengatur ketertiban umum, menyelesaikan masalah-masalah kriminal, menegakkan amar makruf dan nahi munkar, mengawasi ketertiban pasar, mencegah terjadinya hak-hak kemanusiaan, dan meghukum orang yang mempermainkan hukum syari’at. Ketiga, al Qadhi Mazhalim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh Qadhi dan Muhtasib, untuk meninjau kembali perkara yang 89 Soehino, Ilmu Negara,Yogyakarta: Liberty, 1986, hlm. 152-153. 50 telah diputuskan oleh qadhi dan muhtasib atau menyelesaikan perkara banding.90 C. Syarat-Syarat Kepala Negara dalam Islam Kedudukan pemimpin sebagai penerus tugas rasul untuk menegakkan hukum Islam merupakan hal yang sangat penting, terlebih pemimpin yang mengurus masalah pemerintahan. Karena kepala negara adalah seorang yang ditunjuk untuk memikul tugas dan tanggung jawab atas masyarakat yang dipimpinnya, juga mengatur tatanan kehidupan masyarakatnya, baik di bidang struktur pemerintahan, politik, sosial, kesejahteraan, keamanan, pendidikan, dan lain sebagainya. Seorang kepala negara juga harus bisa memberikan contoh terbaik (teladan), karena Ia sebagai tumpuan pandangan dan sumber harapan bagi anggota masyarakatnya agar negaranya menjadi lebih baik. Maka terhadap orang yang akan menduduki jabatan penting itu ditetapkan syaratsyarat berat, baik syarat yang berdasarkan dalil yang berlandaskan nash-nash yang pasti (dalil naqli, al Qur’an dan Hadith), maupun yang berdasarkan dengan dalil-dalil ‘aqli. Sehingga para juris Sunni mencita-citakan terwujudnya pelaksanaan syari’at Islam, keadilan, dan kesejahteraan rakyat melalui kekuasaan politik dalam pemerintahan, hal ini tercermin dalam syarat-syarat yang mereka kemukakan. Pentingnya posisi dan kedudukan pemimpin, mendorong para ulama menetapkan beberapa kriteria (syarat-syarat) seorang pemimpin tanpa 90 Suyuti Pulungan, op. cit, hlm. 174-175. 51 memandang siapa dan dari golongan mana ia berasal, asalkan ia mampu menjalankan kepemimpinannya, maka ia bisa maju tampil untuk menjadi pemimpin, dengan catatan ia memiliki profesionalisme, sifat adil, jujur, mempunyai kepekaan sosial yang tinggi terhadap yang dipimpinnya, mempunyai kewibawaan serta kemampuan untuk memimpin. Menurut al Mawardi, seorang kepala negara harus memenuhi kualifikasi adil, mempunyai kompetensi ijtihad, sempurna dan sehat panca indra, tidak cacat fisik, mempunyai visi kemaslahatan sosial, tegas dan pemberani, serta mempunyai garis keturunan dari Quraisy. Ia juga dikenai beberapa syarat yang dimiliki oleh seorang Qadhi, seperti merdeka, baligh, berakal, berpengetahuan luas, serta sempurna secara fisik, seperti pendengaran, penglihatan, serta lisan agar dapat berurusan langsung dengan tanggung jawabnya dan sehat badan, sehingga tidak terhambat dalam melakukan tugasnya sebagai pemimpin.91 Sementara Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa orang yang pantas menjadi kepala pemerintahan adalah orang yang memiliki kekuatan (al quwwat), dan integritas (al amanat), adil. Bahkan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa seorang pemimpin non muslim yang adil lebih baik daripada pemimpin muslim yang zalim, sebab yang dibutuhkan umat adalah keadilan dan kesejahteraan yang menyeluruh, bukan figure maupun sosok tertentu. berdasarkan S. al Qashas: 26 yang berbunyi: 91 Al Mawardi, op. cit, hlm. 6. 52 (٢٦:ﻱ ﺍﹾﻟﹶﺄ ِﻣﲔُ )ﺍﻟﻘﺼﺺ ﺕ ﺍﹾﻟ ﹶﻘ ِﻮ ﱡ َ ِﺇﻥﱠ َﺧْﻴ َﺮ َﻣ ِﻦ ﺍ ْﺳَﺘ ﹾﺄ َﺟ ْﺮ.... Artinya:“Sesungguhnya orang yang paling baik engkau tugaskan adalah orang kuat lagi dipercaya”.92 Mempunyai kekuatan dalam lapangan kepemimpinan, seperti dalam memimpin perang, mengatur strategi, memberikan kebijaksanaan yang tepat dan terarah sesuai dengan keadilan yang telah ditetapkan dalam undangundang, dan Ibnu Taimiyah tidak menetapkan bagi seorang kepala negara harus dari suku Quraisy, karena masalah ini terjadi ikhtilaf.93 Selanjutnya Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kepala negara harus memenuhi lima persyaratan: 1) Berilmu pengetahuan, yang dengannya ia mampu melakukan hukumhukum yang berlaku. 2) Al Kifayat, yaitu kemampuan melaksanakan aturan-aturan yang ditetapkan dalam undang-undang, mampu memainkan strategi dalam berperang, memobilisir umat untuk ikut berperang, sanggup memelihara tugas-tugas politik dan siasat, berdiplomasi, mengetahui ashabiat (solidaritas kelompok) mampu melindungi agama, bersedia jihad melawan musuh menegakkan hukum, mengelola kepentingan umum. 3) Berlaku adil. 4) Sehat panca indra. 92 Departeman Agama RI, Al Qur’an AL Karim dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1996, hlm. 613. 93 Ibnu Taimiyah, al Siyasat al Syar’iyat fi al Islam wa al ro’yi al Syar’iyat, al Qahirat: Muassasat al Arabiyat li al Tabi’ wa al Nasyr, 1961, hlm. 15. 53 5) Keturunan Quraisy.94 Namun untuk persyaratan terakhir Ibnu Khaldun mengadakan rasionalisasi, menurutnya berdasarkan fakta sejarah bahwa suku Quraisy saat itu adalah suku arab terkuat, tangguh dan terkemuka, mereka mempunyai solidaritas kelompok yang kokoh sehingga membuatnya berwibawa dalam memelihara keutuhan persatuan umat Islam. Sehingga seorang pemimpin yang berasal dari suku tersebut mampu mengurus negara secara efektif. Akan tetapi jika ada suku lain yang lebih terkemuka dan berwibawa, maka mereka yang lebih berhak dalam kepemimpinan, sehingga persyaratan tersebut dipahami secara simbolis.95 Imam Haramain al Juwaini mensyaratkan kepala negara harus seorang mujtahid, sehingga ia tidak butuh fatwa dari orang lain, mampu mengurus kemaslahatan segala sesuatu dan memelihara dengan baik, mempunyai kelebihan dalam mengatur militer dan menjaga stabilitas keamanan negara, memiliki wawasan yang luas untuk memikirkan kepentingan kaum muslimin, memiliki sifat lemah lembut dan tegas dalam menegakkan hukum, beragama Islam, laki-laki, dan merdeka. Singkatnya ia mempunyai kemampuan (kifayat) menggunakan kekuasaannya untuk mengatur semua urusan negara.96 Al Ghazali mengajukan sepuluh persyaratan bagi orang yang akan menjadi kepala negara: ia harus laki-laki yang dewasa, berakal sehat, sehat pendengaran dan penglihatan, merdeka, dan dari suku Quraisy, mempunyai 94 Ibnu Khaldun, op, cit. hlm. 193-194. Ibid. 96 Al Haramain, al Irsyad Ila Qawathi al Adillat fi Ushul al I’tiqadi, Mishr: Maktabah al Khanji, 1950, hlm. 426-427. 95 54 kekuasaan nyata (nadjat), yaitu mampu berfikir dan mengelola serta kesediaannya dalam mengurus pemerintahan, wara’, yang dimaksud adalah menjalankan ajaran-ajaran agama dan bermoral, berbudi pekerti baik, Islam, dan berilmu, sehingga ia mampu berijtihad dan memberi fatwa mengenai hukum agama.97 Namun menurut Taqiyuddin an Nabhani membagi dua tentang persyaratan bagi seorang kepala negara.98 Pertama, syarat in’iqadi, dimana apabila salah satu syarat in’iqadi ini tidak terpenuhi, maka pengangkatannya tidak sah dan akadnya batal, syarat ini berdasarkan nash yang ada dalam al Qur’an dan hadith. Dalam syarat in’iqadi ini terdapat tujuh syarat, antara lain adalah: 1) Muslim, seorang khalifah harus seorang muslim, tidak boleh dipimpin oleh orang non muslim, berdasarkan surat an Nisa: 135 berbunyi: (١٤١:ﻼ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﲔ َﺳﺒِﻴ ﹰ َ ﺠ َﻌ ﹶﻞ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ ِﻟ ﹾﻠﻜﹶﺎِﻓﺮِﻳ َﻦ ﻋَﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﻤُﺆْ ِﻣِﻨ ْ َﻭﹶﻟ ْﻦ َﻳ.... Artinya:“Dan sekali-kali Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk mengusai orang-orang mukmin.” (QS. An Nisa: 141). 99 Surat al Ma’idah: 51 berbunyi: (٥١:ﺨﺬﹸﻭﺍ ﺍﹾﻟَﻴﻬُﻮ َﺩ ﻭَﺍﻟﱠﻨﺼَﺎﺭَﻯ ﹶﺃ ْﻭِﻟﻴَﺎ َﺀ َﺑ ْﻌﻀُﻬُ ْﻢ ﹶﺃ ْﻭِﻟﻴَﺎ ُﺀ َﺑﻌْﺾ ٍ)ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ ِ َﻳّﺎﹶﺃﱡﻳﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮﺍﻻَﺗﱠﺘ 97 A Ghazali, Fadhail al Bathiniyah, Kairo: 1964, hlm 180, dikutip dalam Jalaluddin Syaraf dan Ali Abd Mu’ti Muhammad, al Fikri al Siyasi Fi al Islam Iskandariyat: Dar al Jam’iyat, 1978, hlm. 395-402. 98 Taqiyuddin An Nabhani, Nizham al Hukmi fi al Islam, (terj. M. Maghfur Wachid, “Sistem Pemerintahan Islam : Doktrin, Sejarah, Relita Empirik”, Bangil : Al Izzah, hlm. 66-70. 99 Departemen Agama Ri, op. cit, hlm. 146. 55 Artinya:”Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. (Q.S. al Ma’idah: 51). Dalam surat Ali Imran ayat 118, Allah berfirman: ﺨﺬﹸﻭﺍ ِﺑﻄﹶﺎَﻧ ﹰﺔ ِﻣ ْﻦ ﺩُﻭِﻧ ﹸﻜ ْﻢ ﻻ َﻳ ﹾﺄﻟﹸﻮَﻧ ﹸﻜ ْﻢ َﺧﺒَﺎ ﹰﻻ َﻭﺩﱡﻭﺍﻣَﺎ َﻋِﻨﱡﺘ ْﻢ ﹶﻗ ْﺪ ِ ﻳَﺎﹶﺃﱡﻳﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮﺍ ﻻَﺗﱠﺘ ﺕ ِﺇ ﹾﻥ ِ ﺻﺪُﻭ ُﺭ ُﻫ ْﻢ ﹶﺃ ﹾﻛَﺒﺮُ ﹶﻗ ْﺪ َﺑﱠﻴﻨﱠﺎ ﹶﻟﻜﹸﻢُ ﺍﻟﹾﺂﻳﺎ ُ ﺕ ﺍﹾﻟَﺒ ْﻐﻀَﺎ ُﺀ ِﻣ ْﻦ ﹶﺃ ﹾﻓﻮَﺍ ِﻫ ِﻬ ْﻢ ﻭَﻣَﺎ ﺗُﺨْﻔِﻲ ِ َﺑ َﺪ (١١٨:ﹸﻛْﻨُﺘ ْﻢ ﺗَﻌْﻘِﻠﹸﻮﻥﹶ )ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ Artinya:”Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan orang-orang yang di luar golonganmu (non Muslim), karena mereka tidak henti-hentinya (selalu menimbulkan) kesulitan bagi kamu, mereka menginginkan menyusahkanmu, telah tampak dari ucapan mereka kebencian, sedang apa yang disembunyikan dalam dada (hati) mereka lebih besar, sungguh telah Kami jelaskan kepada kamu tanda-tanda (teman dan bukan), jika kamu memahaminya. (Q.S. Ali Imran: 118). 2) Laki-laki, berdasarkan hadith Nabi: 100 َﻭﹶﻟ ْﻦ ﻳُ ﹾﻔِﻠ َﺢ ﹶﻗ ْﻮ ٌﻡ َﻭﱠﻟﻮْﺍ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻬ ْﻢ ِﺇ ْﻣ َﺮﹶﺃ ﹰﺓ Artinya:“Tidak akan pernah beruntung suatu masyarakat menyerahkan urusannya kepada perempuan. yang 3) Baligh, berdasarkan hadits Nabi yang berbunyi: ﻒ َﻭ َﻋ ِﻦ َ ﺠُﻨ ْﻮ ِﻥ َﺣﺘﱠﻰ َﻳ ِﻘْﻴ ْ ﻆ َﻭ َﻋ ِﻦ ﹾﺍ ﹶﳌ ﺴَﺘْﻴ ﹶﻘ ﹶ ْ َﻋ ِﻦ ﺍﻟﻨﱠﺎﺋِﻢِ َﺣﺘﱠﻰ َﻳ:ﺙ ٍ ﺭُِﻓ َﻊ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﹶﻠﻢُ َﻋ ْﻦ ﹶﺛﻠﹶﺎ 101 ( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔ.ﺤَﺘِﻠ َﻢ ْ ﺼِﺒ ﱢﻲ َﺣﺘﱠﻰ َﻳ ﺍﻟ ﱠ Artinya:“Terangkat tanggung jawab seseorang dari tiga hal: orang yang tidur hingga ia bangun, orang yang gila hingga ia sembuh, dan anak-anak hingga ia bermimpi dan mengeluarkan air mani (menjadi dewasa)” . (Hadith riwayat Imam empat). 4) Berakal, sesuai dengan hadith Nabi yang disebut di atas. 100 Al Syaukani, Nailul Autar, Mesir: Mustafa al Baby al Halabi. t.th. dan Imam al Bukhari, Shahih Bukhari, jilid 4 Beirut: Dar al Fikr, t. th. hlm. 10. 101 Muhamad Ali al San’any, Subul al Salam, juz 3, Kairo: Dar al Ihya al Turats al Islami, 1960, hlm. 179. 56 5) Adil, dalam al Qur’an disebutkan dalam surat an Nisa: 58 yang berbunyi: (٥٨:ﺤ ﹸﻜﻤُﻮﺍ ﺑِﺎﹾﻟ َﻌ ْﺪ ِﻝ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ْ ﺱ ﹶﺃ ﹾﻥ َﺗ ِ َﻭِﺇﺫﹶﺍ َﺣ ﹶﻜ ْﻤُﺘ ْﻢ َﺑْﻴ َﻦ ﺍﻟﻨﱠﺎ Artinya:”Apabila kamu sekalian memutus suatu perkara, maka berikanlah tentang hukum tersebut dengan adil. (QS. An Nisa: 58)102 6) Merdeka 7) Mampu melaksanakan amanah, dalam al Qur’an disebutkan dalam surat an Nisa: 58, yang berbunyi: (٥٨:ﺕ ِﺇﻟﹶﻰ ﹶﺃ ْﻫِﻠﻬَﺎ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ِ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ َﻪ َﻳ ﹾﺄﻣُﺮُﻛﹸ ْﻢ ﹶﺃ ﹾﻥ ﺗُ َﺆﺩﱡﻭﺍ ﺍﹾﻟﹶﺄﻣَﺎﻧَﺎ Artinya:”Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu sekalian agar menyerahkan amanat (kepercayaan) kepada ahlinya.” (QS. An Nisa: 58)103 Kemudian Taqiyudin berpendapat bahwa persyaratan Kedua adalah, syurut afdaliyah yaitu syarat-syarat keutamaan. Syarat ini ditetapkan jika didukung dengan nash-nash yang shahih, walaupun tidak dijelaskan secara jelas (sarih). Oleh karenanya, jika suatu dalil tidak mengandung perintah secara tegas, maka syarat tersebut menjadi syarat afdlaliyah. Seperti syarat pemimpin negara harus seorang mujtahid, karena tidak ada nash yang sarih, jadi tidak ada keharusan seorang khalifah harus mujtahid, seandainya seorang khalifah seorang mujtahid, maka akan menjadi lebih utama (afdal) dan pengangkatannya tetap sah.104 Atau seperti pemimpin harus sehat panca indra, sempurna anggota badan, meskipun tidak ada nash yang menetapkan persyaratan tersebut, maka secara in’iqadi pengangkatannya tetap sah, namun tidak sampai pada level afdaliyah, sehingga bisa dikatakan syuruth afdaliyah adalah syarat penyempurna. 102 Departemen Agama RI, op. cit, hlm.146. Ibid 104 Taqiyuddin An Nabhani, op. cit, hlm. 71-72. 103 57