BAB II

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM
TENTANG SYARAT-SYARAT PEMIMPIN DALAM ISLAM
A. Pengertian dan Teori-Teori Kepemimpinan dalam Islam
1. Pengertian dan Teori-Teori Kepemimpinan
Istilah kepemimpinan berasal dari kata dasar "pimpin" yang artinya
"bimbing" atau "tuntun". Kemudian dari kata "pimpin" lahirlah kata kerja
"memimpin" yang artinya suatu kegiatan membimbing, menunjukkan jalan
atau menuntun, dan bentuk kata bendanya adalah "pemimpin" yaitu orang
yang melaksanakan memimpin, menunjukkan jalan atau orang yang
membimbing.
Perkataan
lain
yang
disamakan
pengertiannya
adalah
mengetuai, mengepalai, memandu, menguasai, dan melatih1. Sedangkan
kepemimpinan
itu
sendiri
artinya
kemampuan
menggerakkan
dan
mengarahkan orang-orang. Menggerakkan dan mengarahkan orang, berarti
telah
berlangsungnya
hubungan
manusia
(human
relation),
yaitu
menggerakkan dan mengerahkan (si pemimpin) dengan yang digerakkan dan
diarahkan (yang dipimpin), sehingga dalam banyak hal si pemimpin sifatnya
mengajak dan mempengaruhi yang di pimpin dengan suka rela dan ikhlas
untuk mencapai tujuan bersama2, karena seorang pemimpin merupakan
1
769.
Purwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1982, hlm.
2
S. Pamudji, Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, cet. Ke-7, Jakarta: Bumi
Akasara 1995, hlm. 60.
14
15
pangkal penyebab dari suatu kegiatan-kegiatan, proses, atau perubahan suatu
kelompok sosial.
Menurut Cooley, sebagaimana dikutip S. Pamudji menyatakan "the
leader is always the nucleus or a tendency, and on the other hand, all social
movement, closely examined will befaund to consist of tendencies having such
nuclei” (pemimpin selalu merupakan titik pusat dari suatu kecenderungan dan
sebaliknya, semua gerakan sosial, kalau dicermati akan ditemukan
kecenderungan-kecenderungan yang mempunyai titik pusat.3 Sementara Redl
menyatakan bahwa pemimpin adalah seorang yang menjadi titik pusat
mengintegrasikan kelompok. Pengertian ini sama yang dinyatakan oleh
Miriam Budiardjo dalam
mendefinisikan kekuasaan, yaitu kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain atau kelompoknya,
sehingga perbuatannya menjadi sesuai dengan tujuan dan keinginan orang
yang mempunyai kekuasaan4.
Selanjutnya Ordwey Tead memberikan definisi kepemimpinan sebagai
"the activity of influencing people to cooperate toward some goal which they
come to find desirable" yaitu suatu kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk
bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan yang mereka kehendaki.5
Sedangkan menurut Pratt Fairchild sebagaimana dikutip Kartini
Kartono menyatakan bahwa pemimpin dalam arti luas adalah seseorang yang
memprakarsai tingkah laku sosial dengan cara mengatur, mengarahkan,
3
Ibid, hlm. 9
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet ke- 22, Jakarta : Gramedia Utama,
2002 hlm. 35.
5
S. Pamudji, op. cit, hlm. 13.
4
16
mengorganisir, mengontrol perbuatan orang lain. Sedangkan dalam pengertian
yang lebih sempit, pemimpin adalah seorang yang membimbing, memimpin
dengan bantuan kualitas-kualitas persuasinya dan akseptansi (penerimaan)
seccara sukarela oleh para pengikutnya.6
Munculnya kepemimpinan bersama-sama adanya peradaban manusia,
yaitu sejak pertama kali diciptakannya manusia dan mulai berkumpul
bersama, kemudian berkumpul bersama-sama untuk mempertahankan
eksistensi hidupnya, menentang kebuasan binatang dan alam di sekitar yang
mengganggunya. Sejak itulah terjadi kerjasama antar manusia, dan di situ ada
unsur kepemimpinan. Pada saat itu pribadi yang ditunjuk sebagai pemimpin
adalah orang yang paling kuat, paling cerdas, pemberani, dan mampu
mempengaruhi orang lain.7
Untuk dapat memenuhi seseorang dijadikan sebagai pemimpin
dibutuhkan tiga hal penting: Pertama, kekuasaan yang dimaksud adalah
kekuatan, otoritas, dan legalitas yang memberi wewenang kepada pemimpin
guna mempengaruhi dan menggerakkan bawahan untuk berbuat sesuatu.
Kedua, kewibawaan adalah kelebihan, keunggulan, keutamaan sehingga
seorang pemimpin mampu mengatur orang lain dan orang tersebut patuh pada
orang yang memimpin dan bersedia melakukan perbuatan-perbuatan tertentu
atas perintahnya.
Ketiga, kemampuan yaitu seorang pemimpin mempunyai segala daya,
kesanggupan, kekuatan dan kecakapan atau ketrampilan teknis maupun sosial
6
Lihat Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Pemimpin Abnormal
Itu?, cet. Ke-7, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, hlm.28.
7
Ibid, hlm. 28.
17
yang dianggap melebihi dari kemampuan orang biasa.8 Sebagaimana definisi
yang dijelaskan oleh Kartini Kartono bahwa pemimpin adalah seorang pribadi
yang memiliki superioritas tertentu, sehingga ia memiliki kewibawaan dan
kekuasaan untuk menggerakkan orang lain untuk melakukan usaha bersama
guna mencapai satu tujuan tertentu. Jadi pemimpin harus memiliki satu atau
beberapa kelebihan dibandingkan dengan lainnya, sehingga ia mendapat
pengakuan dan respek dari para pengikutnya serta dipatuhi segala
perintahnya.9
Dari beberapa terminologi kepemimpinan tersebut dapat diidentifikasi
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a) Dalam kepemimpinan selalu berhadapan dengan dua belah pihak, yaitu
pemimpin dan orang-orang yang dipimpin. Jumlah pemimpin selalu lebih
sedikit dibanding dengan orang yang dipimpinnya.
b) Kepemimpinan merupakan gejala sosial, yang berlangsung sebagai
interaksi antar manusia di dalam kelompoknya baik kelompok besar
seperti pemimpin nasional yang dijabat oleh presiden, atau kelompok
kecil, seperti kelompok keluarga.
c) Kepemimpinan berisi kegiatan menuntun, membimbing memandu,
menunjukkan jalan agar kelompok dapat mengerjakan sesuai dengan
aturan yang mengikatnya.10
8
Ibid.
Ibid, hlm. 44.
10
Hadari Nawawi, Kepemimpinan Dalam Islam, cet. Ke-1 Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1993, hlm. 28.
9
18
Dari beberapa pengertian diatas berarti bahwa antara pemimpin dan
yang dipimpin harus mempunyai visi dan misi yang sama, karena arah daan
tujuannya sama. Dalam hal demikian, harus ada kesatuan yang utuh, ada
hubungan timbal balik, dan saling kontrol. Oleh karenanya tidak harus
diwarnai sikap dominasi atau kekuasaan dari sepihak, atau unsur tekanan dari
pihak pemimpin. Pemimpin harus bisa menyusun hubungan-hubungan kerja,
menilai para anggotanya, dan memberi kesejahteraan dan perasaan-perasaan
bagi yang dipimpin, serta selalu berpihak kepada kepentingan yang dipimpin
dalam membela hak-haknya, seperti dalam memberi keputusan (decision)
harus diambil secara kolektif dan mengikat seluruh kelompoknya untuk tujuan
bersama.11
Oleh karenanya urgensi pemimpin sangat penting dalam masyarakat.
Tanpa pemimpin sebuah komunitas dapat mengalami kekacauan (faudha/
caos). Sehingga pernah diriwayatkan bahwa: “60 tahun di bawah pemimpin
yang zalim, masih lebih baik dari pada tidak ada pemimpin”. Nabi juga pernah
berpesan kepada sahabatnya: “Apabila tiga orang diantara kamu melakukan
bepergian, maka hendaklah mereka menunjuk salah satunya menjadi
pemimpin.
Berpegang pada pengertian tersebut bahwa pemimpin hanya ada dalam
sebuah kelompok atau organisasi. Baik kelompok kecil, yang dipimpin oleh
kepala keluarga, maupun kepemimpinan tingkat nasional yang berpusat pada
kepala pemerintahan, yang dipimpin oleh presiden untuk negara yang
11
Miriam Budiardjo, op. cit, hlm. 11
19
berbentuk republik. Sehingga kata yang dipakai untuk pemimpin negara
adalah presiden, karena kata presiden itu sendiri derivatife dari kata to preside
yang artinya memimpin atau tampil di depan. Sedangkan kata latin presidere
berasal dari kata prae yang artinya di depan, dan kata sedere artinya duduk.12
2. Beberapa Istilah Pemimpin dalam Islam
Dalam terminologi Islam kata yang dipakai untuk kepala atau
pemimpin bagi gelar simbolik utama yang digelarkan kepada orang yang
melaksanakan tugas kepemimpinan adalah imam, khalifah, dan amir.
Meskipan ada beberapa istilah lain yang mempunyai arti kepala atau
pemimpin, seperti rais, syaikh, dan sultan.13
Gelar rais dan syaikh pernah disandang bagi orang yang mempunyai
pengaruh paling besar bagi kabilah suku Quraisy, dan gelar ini mempunyai
posisi tertinggi.14 Namun gelar Syaikh tersebut meluas menjadi Syaikh al
Islam, dan gelar ini hanya lazim digunakan oleh para ulama fikih dan
pemimpin tarekat, dan bagi orang yang memberi fatwa (mufti)15. Sedangkan
kata sulthan merupakan derivasi dari kata salatha yang berarti menguasai,
memimpin.16 Gelar ini pernah dipakai oleh penguasa muslim secara resmi
semenjak abad ke-11 pada dinasti Abbasiyah. Pada mulanya gelar sulthan
hanya jabatan bagi seorang yang menduduki jabatan gubernur, dan masih
12
Peter Salim, Websters New world dictionary college edition, New York the world
publishing Company, 1962, hlm. 1153.
13
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003, hlm. 11.
14
Ibid.
15
Tim Penulis IAIN Syahid, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992,
hlm. 876.
16
Ibnu al Mandzur, Lisan al Arab, jilid 7 Beirut: Dar al Fikr, t.th. hlm. 320-321
20
dibawah kekuasaan Khalifah, namun jabatan sulthan semakin besar
kekuasaannya bahkan melebihi jabatan khalifah. Pada akhirnya sulthan benarbenar berkuasa penuh atas daerah dan wilayahnya dan berada di atas
kekuasaan khalifah17.
Adapun gelar besar yang diberikan kepada kepala negara untuk
melaksanakan pemerintahan dalam sejarah Islam adalah Imam, Khalifah, dan
Amir.
a. Imam
Sebutan gelar yang paralel dengan pemimpin dalam sejarah
pemerintahan Islam adalah imam. Kata imam turunan dari kata al amma (‫)ﺃﻷﻡ‬
yang berarti "menjadi ikutan" atau berarti ‫ ﺃﻟﻘﺼـﺪ‬artinya tujuan atau maksud,
bisa juga mengambil dari kata ‫ ﺃﻣـﺎﻡ‬yang berarti ‫ ﺗﻘـﺪﻡ‬yang mempunyai arti:
maju atau depan, sehingga dikatakan ‫ﻓﻼﻥ ﻳﺆﻡ ﺍﻟﻘﻮﻡ‬, si Fulan mengimami kaum,
‫ـﻢ‬
‫ـﻮﻡ ﻭﺃﻡ ﻬﺑـ‬
‫ ﺃﻡ ﺍﻟﻘـ‬artinya memajukan atau maju menjadi imam bagi mereka
(kaumnya). ‫ ﺃﳌـﺆﻡ‬berarti ‫ ﺩﻟﻴﻞ ﻫﺎﺩ‬yang berarti pedoman (guide) yang memberi
petunjuk.18 Kepemimpinan disebut al imamah, karena masih satu akar kata
dengan imam, ma’mum, dan ummat. Imam artinya pemimpinmakmum yang
dipimpin, dan satu kesatuan antara imam dengan makmum disebut dengan
ummat.
17
18
Ibid, hlm. 291.
Ibid, jilid 12 hlm. 30.
21
Dengan demikian bahwa kata imam memiliki makna-makna sebagai
berikut: dikuti, baik sebagai kepala atau yang lainnya yang mengurus masalah
kegiatan, maju ke depan (taqaddum), bermaksud kepada tujuan tertentu (al
qashdu ila jihatin mu'ayanatin), petunjuk atau bimbingan (hidayah, irsyad),
kepemimpinan (qiyadah), kecakapan atau kemampuan seseorang menjadi suri
teladan (ahliyah). Selanjutnya Ibnu Mandzur berkesimpulan bahwa imam
yang dimaksud adalah seorang yang diikuti oleh kaumnya, baik berada di
jalan yang benar ataupun jalan yang sesat.
Sedangkan menurut Quraish Shihab kata imam berasal dari kata amma
ya’ummu (‫ ) ﺃﻡ ﻳـﺆﻡ‬yang berarti menuju, menumpu dan meneladani, dari kata
yang sama lahirlah kata um ( ‫ ) ﺃﻡ‬yang berarti “ibu” dan imam (‫ )ﺍﻣـﺎﻡ‬yang
artinya “pemimpin”, karena keduanya sama-sama menjadi teladan, tumpuan
pandangan, dan harapan bagi semua masyarakatnya.19
Namun Fakhruddin al Razi dalam tafsirnya berpendapat bahwa kata
imam, jika diithlaqkan, maka yang ditunjuk hanyalah petunjuk ke arah
kebaikan, karena jika menunjuk makna kejahatan, niscaya diberi keterangan
yang menunjuk pada makna tersebut.20 Kata Imam dalam shalat dengan
khalifah sering disejajarkan karena kedudukkan seorang imam dalam hal
kepemimpinan harus diikuti, tentunya imam yang berjalan sesuai dengan
ketentuan hukum.21
19
Quraish Shihab, Wawasan al Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas pelbagai Persoalan Umat,
Bandung: Mizan, cet. Ke-8, 1998, hlm. 325.
20
Al Razi, Tafsir al Razi, Beirut: Dar al Fikr, jilid 1, t.th. hlm. 710.
21
Ali Abd. Raziq, al Islam wa Ushul al Hukm, al Qahirat, 1925, hlm. 3.
22
Kata imam banyak terdapat dalam al Qur'an seperti S. Yasin: 12, Imam
al mubin, kata imam ini artinya kitab induk yakni al Qur'an yang memberi
petunjuk, S. Al Baqarah: 124 berarti Nabi Ibrahim yang ditunjuk oleh Allah
sebagai pemimpin bagi umat manusia, S. al Hijr: 79, berarti jalan umum, S.
Hud: 17 berarti pedoman, S. al Furqan: 74 berarti pemimpin dalam hal
kebaikan, S. al Qashash: 5 berarti pemimpin yang mempunyai arti luas.
Namun dalam S. at Taubah: 12 yang memakai kata jamak yakni a'immat yang
menunjuk pada pemimpin orang-orang kafir, sedangkan dalam S. al Anbiya':
72-73 berarti pemimpin-pemimpin spiritual (Rasul) yang dibekali wahyu oleh
Allah untuk mengajak manusia mengerjakan kebaikan, mengerjakan shalat,
menunaikan zakat, pemimpin-pemimpin yang dimaksud adalah Nabi Ibrahim,
Nabi Ishaq dan Nabi Ya'qub. S. al Sajdah: 24 berarti para pemimpin yang
memberi petunjuk berdasarkan perintah Allah.22
Dengan demikian kata imam yang dimaksud pemimpin dalam arti luas
atau bersifat umum adalah pemimpin yang mengurus masalah pemerintahan
(politik) saja, atau pemimpin yang mengurus masalah agama saja. Namun kata
imam yang mempunyai arti khusus hanya menunjuk pemimpin spiritual yang
bertugas untuk misi keagamaan saja. Akan tetapi dalam kenyataan sejarah
Nabi Muhammad SAW. selaku pemimpin agama bagi umatnya untuk
melaksanakan tugas kerasulannya, dalam perkembangannya pada periode
22
Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, cet, ke- 5, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 60.
23
Madinah Nabi Muhammad SAW. melaksanakan tugas-tugas politik dan
pemerintahan, sekaligus sebagai kepala negara bagi masyarakat Madinah.23
Pada mulanya gelar imam lebih populer di kalangan umat Islam Syi'ah,
tugas imam di samping sebagai pemimpin spiritual yang sakral, ia juga
berfungsi
sebagai
pemimpin
politik,
meskipun
di
kalangan
Sunni
menggunakan istilah imam dalam doktrin politiknya.
b. Khalifah
Khalifah berasal dari kata ‫ ﺧﻠـﻒ ﳜﻠـﻒ ﺧﻼﻓـﺔ‬artinya menggantikan,
membelakangi, dan bentuk jamaknya adalah ‫ ﺧﻠﻔﺎﺀ ﺧﻼﺋﻒ‬Dikatakan bahwa ‫ﻣﻦ‬
‫ ﻳﻘـﻮﻡ ﻣﻘﺎﻣﻪ‬artinya orang yang menggantikan tempat orang lain dalam beberapa
persoalan. Kata ini mengalami perkembangan arti, baik secara umum maupun
secara khusus, dalam kamus dan ensiklopedi berbahasa Inggris khalifah
berarti wakil (deputy), pengganti (successor), penguasa (vicegerent), title bagi
pemimpin tertinggi bagi komunitas muslim (title of the supreme head of the
Muslim Community).24
Dalam kenyataan sejarah Islam, khalifah adalah pemimpin yang
menggantikan Nabi dalam tanggung jawab terhadap umatnya agar manusia
mengikuti undang-undang–Nya. Dengan demikian khalifah merupakan gelar
bagi pemimpin tertinggi bagi masyarakat Muslim, lebih khusus ia sebagai
pengganti Nabi dalam urusan agama dan urusan politik.
23
24
hlm. 881.
Ibid, hlm. 61.
Van Donzel, et. al. (eds), First Enclyclopadia of Muslim, Vol. IV, Leiden: Brill, 1978
24
Dalam al Qur'an kata khalifah disebutkan dalam S. al Baqarah: 30
yang berarti Nabi Adam dan keturunannya sebagai pengganti makhluk lain
untuk memakmurkan dan melaksanakan hukum-hukum Allah di bumi. Dalam
S. Shad: 26 Allah menunjuk kepada Nabi Daud sebagai pemimpin, dalam S. al
Nur: 55 Allah menjadikan penguasa pada orang yang beriman dan beramal
saleh, dalam S. al An'am: 133 dan 165, S. Hud: 57, S. Fathir: 39, S. al A'raf:
69 dan 74 mempunyai arti pengganti bagi generasi berikutnya.25
Awal penyebutan gelar khalifah pertama kali dalam Islam adalah gelar
yang diberikan kepada Abu Bakar, ketika ia terpilih dalam bai'at as Tsaqifah.26
Tugas yang diberikan adalah untuk menggantikan Rasulullah Saw, dalam
memimpin dan memelihara kemaslahatan umat Islam. Kemudian gelar
Khalifah berkembang menjadi titel bagi pemimpin tertinggi untuk umat Islam.
Lebih khusus khalifah berarti sebagai pengganti Nabi dalam urusan masalah
agama dan urusan pemerintahan. Dalam urusan agama yang dimaksud bukan
untuk meneruskan dalam menerima wahyu, karena setelah Rasulullah wafat
otomatis wahyu berhenti, dan tidak dapat digantikan oleh siapa pun.27
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kata khalifah yang
digunakan dalam al Qur'an mempunyai pengertian sebagai berikut
1) Manusia dijadikan oleh Tuhan sebagai pengganti makhluk pendahulunya.
2) Umat manusia seluruhnya dijadikan oleh Tuhan sebagai penguasa bumi
dan kepada mereka diberikan kemampuan untuk mengolah dan
melaksanakan hukum menurut batas-batas yang ditetapkan oleh Tuhan.
25
Suyuti Pulungan op. cit, hlm. 50-53.
Ibnu Khaldun, al Muqaddimat, Beirut: Dar al Fikr, hlm. 156.
27
Suyuti Pulungan, op. cit. hlm. 57
26
25
3) Orang yang memiliki kekuasaan sebagai anugerah dari Allah untuk
memobilisasi sumber daya alam.
4) Tuhan menjadikan manusia dari satu generasi ke generasi umat secara
bergantian untuk menguji siapa di antara umat-umat itu yang paling baik
karya dan amal perbuatannya untuk dijadikan contoh atau teladan.
5) Orang-orang mukmin akan dikaruniai kekuasaan oleh Allah bila mereka
benar-benar taat dan banyak berbuat amal saleh.28
c. Amir
Kata amir derivasi dari kata amara ya'muru amran artinya perintah
dan bentuk fa'ilnya
adalah amir yang berarti orang yang memerintah,
pemimpin (qa'id, za'im). Menurut istilah, amir didefinisikan dengan "seorang
penguasa yang melaksanakan urusan untuk kepentingan kelompoknya".
Bentuk pluralnya adalah umara', dalam al Qur'an hanya terdapat kata ulil amri
yang mempunyai arti pemimpin atau orang yang berpengetahuan,29 namun
kata amir lebih banyak terdapat dalam hadith.30
Istilah amir digunakan untuk gelar jabatan-jabatan penting dalam
sejarah pemerintahan Islam dengan sebutan yang beragam, seperti Amir al
mukminin, Amir al Muslimin, Umara', dan Amir saja. Oleh karenanya, kata
amir seringkali digunakan untuk kepala pemerintahan di daerah dan gelar
untuk penguasa militer, seperti Amir al jaisy atau amir al Jund sebutan bagi
komandan divisi militer.31
28
Ibid, hlm. 53
Ibnu al Manzhur, op. cit, jilid 4, hlm. 31.
30
Suyuti Pulungan, op. cit, 65.
31
Ibid.
29
26
Pertama kali yang mendapat gelar Amir almukminin adalah Umar bin
Khattab.32 Berkenaan dengan ini Ibnu Khaldun berkata: Amir al mukminin
adalah gelar khalifah. Gelar ini suatu gelar yang baru yang diadakan semenjak
zaman khulafa'. yang sebelumnya menamakan komandan pasukan dengan
gelar Amir, dan kata yang sinonim dengan itu adalah Amil.33
B. Perkembangan Sejarah Keislaman tentang Kepala Negara
Untuk bisa mengetahui dan menganalisa pasal mengenai persyaratan
presiden, terebih dahulu penulis sedikit menguraikan tentang sejarah
pemerintahan Islam pertama kali. Dalam hal ini ada tiga periode penting
dalam sejarah pemerintahan Islam sebagai rujukan pemerintahan menurut
Islam. Sehingga dalam perjalanan pemerintahan tiga periode ini, terutama
tentang
kepemimpinannya
bisa
dijadikan
sebagai
“pesan”
model
kepemimpinan menurut Islam. Baik mengenai watak, sifat, kebijakan, maupun
kriteria-kriteria lain yang harus melekat pada diri seorang pemimpin, terutama
pemimpin pemerintahan.
Sebagaimana diketahui bahwa ketika Nabi Muhammad hijrah ke
Madinah bisa dikatakan sebagai pemerintahan pertama kali dalam Islam.
Karena pada periode Madinah Nabi tidak lagi mengurusi masalah agama saja,
namun sudah mulai memperhatikan masalah-masalah sosial, kemasyarakatan
(muamalah), termasuk melakukan strategi peperangan, periode inilah bisa
32
Teungku Hasbi as Shiddieqi, Islam dan Politik Bernegara, Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2002, hlm. 40.
33
Ibnu Khaldun, op. cit, hlm. 189.
27
dikatakan sebagai periode pertama kali dalam pemerintahan.34 Kemudian
periode pemerintahan kedua adalah periode Khulafa’ al Rasyidin yang lebih
dikenal dengan salaf as salih, periode ini mewarisi pemerintahan Nabi,
bahkan sudah meluas dengan melakukan ekspansi wilayah. Dan periode ketiga
adalah periode pemerintahan pasca Khulafa’ al Rasyidin, pada masa ini ada
dua dinasti besar yang menduduki tampuk pemerintahan setelah khulafa’ al
rasyidin, yakni Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah, meskipun dengan
gaya pemerintahannya berbeda dengan periode sebelumnya.
1. Masa Rasulullah SAW.
Untuk bisa dikatakan Negara dalam pemerintahaan Islam pada zaman
Nabi, maka pandangan tersebut lebih tertuju ketika Nabi sudah berhijrah di
kota Yathrib. Kemudian kota ini berganti nama menjadi Madinah al Nabi, dan
lebih populer dengan sebutan Madinah.35.
Terbentuknya negara Madinah merupakan akibat dari perkembangan
penganut Islam yang sudah menjelma menjadi suatu kelompok sosial dan
mempunyai kekuatan politik riil pada pasca periode Makah di bawah
pimpinan Nabi Muhammad SAW. Selama periode Makah pengikut Nabi
jumlahnya relatif kecil dan belum mempunyai daerah kekuasaan atau pun
34
Dalam ilmu politik, menurut Miriam Budiardjo termasuk syarat-syarat terbentuknya
negara adalah, adanya wilayah, masyarakat, dan adanya undang-undang untuk berlangsungnya
tatanan kehidupan dalam wilayah tersebut. Dengan membandingkan pada periode Madinah, maka
bisa dikatakan bahwa Madinah adalah sebuah negara, karena sudah ada wilayah, yakni wilayah
Madinah, adanya masyarakat, yaitu penduduk Ansar, Muhajirin, kaum Yahudi, beserta sekutunya,
dan adanya undang-undang yang mengatur tatanan kehidupan mereka, yaitu dengan dibentuknya
Piagam Madinah. Lihat Miriam Budiardjo, op. cit, 2002 hlm. 13.
35
Suyuti Pulungan, op. cit, hlm. 77.
28
berdaulat. Penganut Islam merupakan komunitas minoritas yang lemah dan
tertindas, sehingga tidak mampu tampil menjadi kelompok sosial yang duduk
sejajar dengan elit masyarakat di kalangan kelompok sosial mayoritas yang
berada di bawah kekuasaan aristokrat Quraisy, yang masyarakatnya bersifat
homegen.36 Akan tetapi setelah Nabi hijrah ke Madinah posisi Nabi dan
umatnya mengalami perubahan besar. Di kota tersebut Nabi beserta
pengikutnya mempunyai kedudukan yang baik dan mempunyai kekuatan
besar serta berdiri sendiri. Kedudukan Nabi selain sebagai pemimpin agama,
juga secara resmi sebagai pemimpin penduduk kota itu, yang masyarakatnya
heterogen. Babak baru dalam sejarah Islam pun dimulai, berbeda dengan
periode Makah, karena di Madinah Islam bukan saja mengajarkan tentang
aqidah,
namun
sudah
menyentuh
tentang
kehidupan
bermasyarakat
(mu'amalah), sehingga dalam diri Nabi terkumpul dua kekuasaan, yakni
kekuasaan spiritual, sebagai pemimpin agama dan kekuasaan duniawi sebagai
kepala negara bagi penduduk Madinah.37 Sebagaimana Fazlur Rahman
berpendapat bahwa “masyarakat Madinah yang diorganisir Nabi merupakan
suatu negara dan pemerintahan yang membentuk suatu komunitas umat
Muslim”.38
Perubahan besar yang dialami Nabi ditandai dengan beberapa
peristiwa penting. Pada tahun 621 daan 622 M Nabi berturut-turut mendapat
36
Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, jilid. II terj. Muchtar Yahya dan Sanusi
Latif Jakarta: Pustaka al Husna, 1988.
37
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, jilid. I, Jakarta: UI-Press,
1986, hlm. 92.
38
Sebagaimana dikutip oleh Dhiauddin Rais, al Nadzariyat al Siyasat al Islamiyat,
Mishr: Maktabah al anjlu, 1957, hlm, 15.
29
dukungan moral dan dukungan politik dari sekelompok orang arab (suku Aus
dan suku Khazraj) di kota Yathrib yang menyatakan diri masuk Islam. Dalam
bai'atnya yang pertama tahun 821 M dikenal dengan Bai'at Aqabah yang
Pertama, mereka berikrar untuk tidak akan menyembah selain Allah, dan akan
meninggalkan segala perbuatan jahat dan akan menaati Rasulullah dalam
segala urusan yang benar. Sedangkan pada tahun berikutnya 622 M yang
dikenal dengan Bai'at Aqabah Kedua, mereka berjanji akan melindungi Nabi
sebagaimana melindungi keluarga mereka sendiri dan menaati Nabi sebagai
pemimpin, mereka juga berjanji akan berjuang bersama baik untuk berperang
maupun untuk perdamaian.39
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru itu Nabi
segera meletakkan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat yaitu dibangunnya
masjid di Quba, pembangunan masjid tersebut di samping sebagai sarana
untuk ibadah shalat, juga berfungsi sebagai sarana penting untuk
mempersatukan jiwa mereka40 Masjid tersebut digunakan sebagai sarana
musyawarah untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi,
sekaligus sebagai pusat kegiatan sosial, budaya pendidikan, peradilan, bahkan
sebagai pusat pemerintahan.
Selain itu Nabi juga mulai menata kehidupan sosial politik komunitaskomunitas di Madinah. Dengan sifat Nabi yang adil, tidak membeda-bedakan
ras, suku, keyakinan dan antar sahaya. Ini terbukti dengan disatukannya semua
39
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al Islam, jilid I, al Qahirat: al Maktabat al Nahdhat al
Mishriyat. 1979, hlm. 95-97.
40
Ahmad Ibrahim Syarif, Daulat al Rasul fi al Madinat, Kuwait: Dar al Bayan, 1972,
hlm. 87.
30
penduduk Madinah yang heterogen, yaitu komunitas Arab muslim Mekkah,
komunitas Arab Muslim Madinah dari suku Aus dan suku Khazraj, kelompok
Yahudi, dan komunitas Arab yang paganis. Untuk itu langkah Nabi yang
ditempuh, adalah menata intern kehidupan kaum muslimin, dengan cara
mempersaudarakannya yang diikat bukan karena kabilah ataupun golongan
darah, namun disatukan karena ikatan agama.41 Kemudian langkah berikutnya
dengan mempersatukan antara kaum Muslimin dengan kaum Yahudi bersama
sekutunya melalui perjanjian tertulis yang dikenal dengan "Piagam
Madinah"42. Langkah Nabi mendapat sambutan hangat oleh masyarakat
Madinah, karena sikap solidaritas yang tinggi dalam diri Nabi, dan berhasil
mengikat penduduk Madinah yang heterogen, dalam usahanya untuk
mencegah timbulnya konflik Nabi juga menjamin kebebasan bagi semua
golongan, namun tetap melaksanakan hukum bagi yang melanggarnya
berdasarkan perjanjian yang telah disepakati oleh masing-masing pihak.43 Hal
ini merupakan bukti kemampuan Nabi dalam melakukan negosiasi dan
konsolidasi dengan berbagai kabilah dan kelompok sosial Madinah, sehingga
Nabi diakui sebagai pemimpin mereka.44
Langkah Nabi yang ditetapkan dalam konstitusi Piagam Madinah
mengandung beberapa prinsip, yaitu: prinsip persatuan dan persaudaraan. Hal
ini untuk menetralisir kekuasaan antar kelompok sosial yang sering terjadi dan
41
303-304.
42
Ibnu Hasym, Sirat al Nabawiyah, jilid I, Mathba'at Muhammad Ali Shabih, t.th. hlm.
Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta:
UII Press, 1993, hlm. 9-17.
43
Munir Muhammad Ghadban, al Tahaluf al Siyasi ai al Islam, terj. Gazira Abi Umah,
“Kompromi Politik dalam Islam”. Jakarta: Pustaka al Kauthar, 2001, 114-119.
44
Suyuti Pulungan op. cit. hlm. 86.
31
terjerumus kepada konflik. Dari segi ilmu politik langkah ini bertujuan untuk
mengatur hubungan-hubungan kemanusiaan di masyarakat, mengontrol dan
menertibkan unsur-unsur dan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.
Karena manusia memang hidup dalam suasana kerjasama antagonistis, penuh
konflik dan persaingan. Sehingga regulasi yang dibuat, walaupun ada unsur
pemaksaan, namun untuk menetapkan tujuan-tujuan kehidupan bersama dalam
mencapai kesejahteraan.45 Prinsip persamaan, prinsip kebebasan, tolongmenolong, keadilan, prinsip musyawarah, dan prinsip penegakkan hukum
tetap dilaksanakan. Termasuk juga sikap tanggung jawab bagi pemimpin,
ketakwaan dan amar ma’ruf nahi munkar
Dikatakan bahwa masyarakat yang dipimpin oleh Nabi adalah negara,
karena dari sudut ilmu politik sudah memenuhi syarat-syarat negara, yaitu
dengan adanya wilayah, yakni wilayah Madinah, adanya masyarakat, yaitu
kaum Ansar, Muhajirin, kaum Yahudi, serta sekutunya dan pemerintah yang
berdaulat yang dipegang oleh Nabi dibantu para sahabatnya, juga adanya
undang-undang yang mengatur kehidupan mereka yaitu dengan dibuatnya
Piagam Madinah.46.
Dalam ilmu tata negara juga disebutkan bahwa tugas-tugas pemerintah
adalah untuk mencapai tujuan bersama yaitu dengan melaksanakan penertiban
dan mencegah konflik dalam masyarakat, mengusahakan kesejahteraan rakyat,
mempertahankan dan menegakkan keadilan.47 Sebagaimana yang dilakukan
45
Miriam Budiardjo, op. cit, hlm. 38.
Ibid, hlm. 13.
47
Ibid, hlm. 46.
46
32
Nabi untuk memenuhi kesejahteraan rakyatnya dan kesejahteraan sosial rakyat
Madinah Nabi mengelola zakat, infaq, dan shadaqah, dan jizyah.
Sosok kepemimpinan Nabi dalam kapasitasnya sebagai kepala negara
tampak dalam prakteknya dengan mendelegasikan tugas-tugas eksekutif dan
yudikatif, yaitu dengan diangkanya katib (sekretaris), amil (pengelola zakat)
qadhi (hakim). Nabi juga mengangkat seorang amil untuk setiap wilayah
untuk melaksanakan tugasnya di daerah yang ditempati. Nabi juga menunjuk
sahabat untuk memimpin pasukan perang, disamping Nabi sendiri sering
memimpin dalam medan pertempuran sebagai panglimanya.48
Dari uraian di atas mengenai negara Madinah periode Nabi
Muhammad SAW tampak aktifitas Nabi tidak hanya menonjol di bidang
risalah kenabian saja (kapasitasnya sebagai Nabi dan Rasul), untuk
mengajarkan wahyu yang diterima dari Allah kepada umat manusia. Tetapi
juga menonjol di bidang keduniaan untuk membangun kebutuhan spiritual dan
kebutuhan
material
masyarakat.
Nabi
sebagai
kepala
negara
telah
menampilkan sebagai pemimpin yang berhasil melaksanakan prinsip
keseimbangan antar kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat bagi
umatnya. Terlaksananya prinsip keseimbangan ini karena Nabi menerapkan
secara konsisten prinsip musyawarah, kebebasan berpendapat, kebebasan
beragama, persamaan bagi semua lapisan sosial, keadilan, dan kesejahteraan
bagi rakyatnya, baik secara spiritual, maupun secara material, persatuan dan
48
Ibnu Hisyam, op. cit. hlm. 54-57.
33
persaudaraan, amar makruf nahi munkar, dan yang lebih penting prinsip
ketaqwaan49
2. Masa Khulafa' al Rasyidin
Khilafah merupakan sistem pertama kali dalam sejarah Islam ketika
Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah. Khalifah merupakan lembaga
pengganti rasul dalam meneruskan misi keagamaan rasul dan mengatur urusan
pemerintahan Negara Madinah yang terbentuk semasa Nabi. Pengangkatan
Abu Bakar menjadi Khalifah merupakan hasil kesepakatan antara kaum Ansar
dengan kaum Muhajirin dalam musyawarahnya di Tsaqifah Bani Sa'idah50.
Musyawarah tersebut merupakan sikap spontanitas kaum Ansar yang lebih
memiliki kesadaran politik dibanding kaum Muhajirin untuk memutuskan
siapa yang akan meneruskan perjuangan Nabi dalam memimpin umat Islam.51
Pada awalnya pertemuan itu sempat terjadi ketegangan dengan
persoalan yang mereka hadapi. Siapa yang akan menggantikan Nabi dalam
memimpin umat Islam? apa syaratnya? bagaimana mekanisme pemilihannya?.
Hal itu disebabkan Nabi sendiri tidak pernah memberi petunjuk secara tegas
tentang masalah pemerintahan semasa hidupnya. Nabi juga tidak menunjuk
salah seorang sahabat untuk meneruskan perjuangannya. Demikian juga al
49
Suyuti pulungan, op. cit. hlm. 101-102
Tsaqifah Bani Sa'idah merupakan balai pertemuan di Madinah, sebagaimana tempat
pertemuan orang Quraisy yang bernama Dar al Nadwah di Makkah, karena sudah merupakan
kebiasaan kaum Ansar berkumpul dib alai tersebut untuk memusyawarahkan masalaah-masalah
umum, sebagaimana kaum Quraisy berkumpul di Dar al Nadwah. Lihat Dhiauddin Rais, op, cit,
hlm. 25.
51
Suyuti Pulungan, op. cit, hlm. 102.
50
34
Qur'an tidak memberi petunjuk secara tegas terhadap pembentukkan
pemerintahan yang harus diikuti umat Islam.52
Namun dengan semangat ukhuwah islamiyah yang tinggi akhirnya
Abu Bakarlah yang terpilih sebagai pemimpin umat Islam, dan masing-masing
pihak menerima dan segera membai’atnya. Abu Bakar menjadi khalifah hanya
dua tahun, pada tahun 634 Ia meninggal dunia, masa sesingkat itu habis untuk
menyelesaikan persoalan dalam negeri, terutama tantangan yang ditimbulkan
suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah
Madinah. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat Nabi
Muhammad batal setelah Nabi wafat, oleh karena itu, mereka menentang Abu
Bakar, sehingga persoalan tersebut disebut dengan perang riddah (perang
melawan kemurtadan).53
Dalam
melaksanakan
pemerintahannya
Abu
Bakar
bertekad
melaksanakan prinsip-prinsip pemerintahan yang pernah dilakukan oleh Nabi,
yaitu dengan melaksanakan syari'at, mengadakan musyawarah, menjamin hakhak umat, secara adil serta memelihara ketaatan rakyat terhadap pemimpinnya
selama pemerintahannya berjalan sesuai dengan aturan hukum. Abu Bakar
juga berhasil membangun pranata sosial politik serta pertahanan dan
keamanan dengan memobilisir segala kekuatan untuk menciptakan pertahanan
dan keamaanan Negara Madinah, menghimpun ayat-ayat al Qur'an yang
52
Dalam pernyataannya Nabi menyerahkan kepada umatnya untuk masalah keduniaan ‫اﻧﺘﻢ‬
‫ أﻋﻠﻢ ﺑﺄﻣﻮر دﻧﻴﺎآﻢ‬Hal ini tampak sifat Nabi yang demokratis dalam menyelesaikan masalah-masalah
yang dihadapi. Sebagaimana Sukarna menjelaskan, termasuk dari prinsip demokrasi adalah
manajemen terbuka, artinya ada keterlibatan langsung dari masyarakat. Lihat Sukarna, Sistem
politik, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1990, hlm. 43.
53
Badri Yatim, op. cit. hlm. 29.
35
berserakan. Keberhasilan ini tentu karena adanya kedisiplinan, kepercayaan,
dan ketaatan yang tinggi dari rakyat terhadap integritas kepribadian dalam
kepemimpinannya 54
Mengenai praktek pemerintahan Abu Bakar di bidang ekonomi adalah
dengan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan rakyat, yaitu dengan
mengelola zakat, infaq, dan shadaqah yang berasal dari kaum muslimin,
ghanimah dari rampasan perang, dan jizyah dari pajak warga negara non
muslim, itu semua sebagai sumber pendapatan Negara yang tertampung dalam
Bait al Mal. Penghasilan tersebut kemudian dibagikan untuk kesejahteraan
tentara, gaji pegawai dan kepada rakyat yang berhak menerimanya sesuai
dengan ketentuan al Qur'an.55
Praktek pemerintahan Khalifah Abu Bakar terpenting lainnya adalah
mengenai suksesi kepemimpinan, Abu Bakar telah menunjuk Umar bin
Khattab untuk menggantikan jabatannya, hal ini dilakukan karena ada
kekhawatiran akan terulangnya kembali peristiwa Bai'at al Tsaqifah yang
nyaris terjadi perpecahan, jika tidak segera menunjuk seseorang untuk
menggantikannya.56 Namun demikian Abu Bakar tidak meninggalkan
musyawarah
dalam
penunjukakan
tersebut,
ia
berkonsultasi
kepada
Abdurahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Asid bin Hadlir, dari tokoh
Ansar. Setelah Abu Bakar mendadak sakit dan menunjuk Umar untuk
menggantikan imam dalam shalat. Dan penunjukan itu mendapat persetujuan
54
Suyuti Pulungan, op. cit, hlm 108-113.
Abd. Wahid. Al Najjar, al Khulafa' al Rasyidin, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyat, 1990,
hlm. 100-103.
56
Abu Zahrah, Tarikh al Madzahib al Islamiyat al Siyasat wa al Aqidah, Beirut: Dar al
Fikr t. th, hlm. 95.
55
36
dari kaum muslimin, dan setelahnya Abu Bakar wafat, Umar dilantik kaum
muslimin untuk menjadi khalifah kedua yang berlangsung di masjid Nabawi.57
Sebagai kepala negara Umar sangat memperhatikan kesejahteraan
rakyat dari pada perhatiannya terhadap kesejahteraan para pejabat dan
pegawainya. Hal ini juga untuk menata perekonomian Negara Madinah. Pada
masanya penyelewengan kekayaan Negara relatif kecil, karena para pegawai
dan pejabat diberi gaji yang cukup, dan peraturan yang tegas bagi para
pelanggar aturan. Di riwayatkan, suatu malam Umar mengadakan perjalanan
keliling untuk mengetahui secara pasti keadaan kesejahteraan rakyatnya,
kemudian ia menemukan satu keluarga dimana sang Ibu tampak sedang
merebus sesuatu. Sementara anaknya menangis menahan rasa lapar. Ketika
diketahuinya ternyata yang direbus hanyalah air, sekedar untuk menghibur
anaknya yang merintih menahan rasa laparnya. Ia berfikir hal ini tanggung
jawab seorang pemimpin dan tidak perlu terjadi seandainya ia tahu
sebelumnya. Seketika itu Umar segera mengambil bahan makanan dari Bait al
Mal dengan memikulnya sendiri untuk diberikan kepada keluarga tersebut58.
Umar juga pernah memberikan zakat kepada seorang tua Yahudi yang tuna
netra. Suatu ketika Umar berkunjung ke Damaskus dan mengunjungi satu
kaum Nasrani yang terkena penyakit kusta, ia memerintahkan agar mereka
dicukupkan bahan makanan mereka.59
57
Suyuti Pulungan, op. cit, hlm. 116-118.
Jamil Ahmad, Seratus Tokoh Muslim Terkemuka, terj. Tim Penterjemeh/ Pustakawan
Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1984, hlm. 30.
59
Abbas Mahmoed al Akkad, Kecemerlangan Khalifah Umar bin Khattab, terj. A, Gani
dan Zainal Abidin Ahmad, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, hlm. 135.
58
37
Di zaman Umar gelombang ekspansi sangat cepat, sehingga Umar
segera mengatur administrasi negara. Administrasi pemerintahan di daerahdaerah yang sudah menjadi kekuasaannya diberi kewenangan dan otonomi
seluas-luasnya dalam mengelola daerahnya masing-masing. Setiap propinsi
diangkat seorang gubernur yang disebut wali atau Amir untuk membantu
dalam kepemimpinannya. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan
propinsi, antara lain, Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah,
Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan,
pada masa Umar mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan
pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga
yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban,
dengan dibentuknya jawatan kepolisian, demikian pula jawatan pekerjaan
umum. 60
Dalam
pemerintahannya
Umar
tidak
pernah
meninggalkan
musyawarah, persamaan manusia, kebebasan manusia dan keadilan untuk
mengangkat harkat manusia pada martabatnya yang luhur. Maka bisa
dikatakan puncak kejayaan Negara Madinah terwujud pada masanya.61
Sebelum masa jabatannya berakhir dengan kematian, Ia dibunuh oleh
budak Persi bernama Abu Lu'lu'ah, untuk menentukan penggantinya Umar
tidak melakukan jalan yang ditempuh Abu Bakar, Ia menunjuk enam orang
sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya
menjadi Khalifah, Enam orang tersebut adalah, Usman bin Affan, Ali bin Abi
60
61
Syibli Nu'man, Umar Yang Agung, Bandung: Penerbit Pustaka, 1981, hlm. 263.
Suyuti Pulungan, op. cit, hlm. 137.
38
Thalib, Thalhah, Zubeir, Sa'ad bin Abi Whaqas, dan Abdurrahman bin Auf.,
ditambah Abdullah bin Umar yang tidak mempunyai hak suara dalam
menentukan Khalifah.62
Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun. Pada paroh
terakhir masa kekhalifahannya muncul beberapa konflik internal, karena
merasa kecewa terhadapnya. Kepemimpinan Usman berbeda dengan
kepemimpinan Umar, ini disebabkan karena umurnya sudah lanjut (diangkat
umur 70 tahun) dan pada diri Usman tertanam sifat yang lemah lembut.
Namun sikap lemah lembutnya justru menjadi bumerang bagi dirinya
Akhirnya Usman dibunuh oleh orang-orang pemberontak yang kecewa
terhadap kepemimpinannya.
Salah satu faktor yang menyebabkan kekecewaan masyarakat terhadap
Usman
adalah
kebijaksanaannya
dalam
mengangkat
para
pejabat
pemerintahan dari keluarga sendiri yang kurang berkompeten, sehingga sering
terjadi penyelewengan. Seperti diangkatnya Marwan bin Hakam sebagai
sekretaris negara, jabatan ini sangat setrategis, karena punya wewenang untuk
mempengaruhi keputusan Khalifah. Sehingga dalam prakteknya disamping
Marwan sebagai sekretaris Negara sekaligus sebagai penasehat pribadi
khalifah.
Selain Marwan adalah anak paman Usman, Disinyalir ia tidak
disukai oleh rakyat, karena sering mementingkan urusan pribadi dan
kelompoknya, ia juga sering melakukan intrik-intrik politik.63
62
63
hlm. 336.
A. Syalabi, op. cit. hlm. 263.
Yoesoef Syoe'eib, Sejarah Daulah Khulafa' al Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979,
39
Issu
sentral
lain
yang
memicu
rakyat
protes
terhadap
kepemimpinannya adalah masalah pengangkatan gubernur dan masalah
penggunaan keuangan negara. Usman telah memberhentikan gubernur yang
diangkat oleh Umar dan digantikan kerabat terdekat Usman, sehingga Usman
laksana boneka dihadapan kerabatnya, dalam perjalanan pemerintahannya
pada hakekatnya yang mengendalikan adalah kerabatnya.64 Menurut Harun
Nasution Usman adalah seorang yang lemah lembut Usman, disamping
usianya sudah senja, sehingga ia tidak bisa membendung ambisi keluarganya
yang kaya lagi berpengaruh yang telah memanfaatkan jabatannya.65
Meskipun demikian, tidak berarti pada masa pemerintahannya tidak
ada kegiatan-kegiatan yang penting. Pada masa pemerintahannya, berdasarkan
hasil musyawarah Usman berhasil menyusun standar al Qur'an yaitu dengan
penyeragaman bacaan dan tulisan al Qur'an. Usman juga telah berjasa besar
dalam pembangunan bendungan untuk menjaga arus banjir dan mengatur
pembagian air ke kota-kota, ia juga membangun sarana-sarana umum, seperti
pembangunan jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas
masjid Madinah.66
Puncak dari krisis kepercayaan rakyat terhadap kepemimpinannya
adalah dengan munculnya pemberontakan rakyat dari Kufah, Basrah, dan
Mesir, mereka dating bersamaan. Mereka berhasil mengepung kota itu dan
64
Suyuti Pulungan, op.cit, hlm. 147.
Harun Nasution, Theologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, dan Perbandingan, Jakarta:
Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1972, hlm. 4.
66
Badri Yatim, op. cit, hlm 39.
65
40
rumah kediaman Khalifah Usman dan berhasil membunuhnya ketika sedang
membaca al Qur'an.67
Tidak lama setelah pembai'atan, Ali menghadapi pemberontakan
Thalhah, Zubaeir dan Aisyah. Hal ini disebabkan Ali tidak menghukum
pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang
telah ditumpahkan secara zalim. Sehingga suasana suhu politik semakin tidak
menentu. Tindakan dan kebijaksanaan Ali setelah resmi menjadi Khalifah
adalah menggantikan pejabat-pejabat pemerintahan pada pada masa Khalifah
Usman, tindakan itu tentu saja ingin memulihkan keadaan yang lebih baik.
Akan tetapi kebijaksanaan itu justru memancing kemarahan keluarga Bani
Umayah.68
Pada tahun 36 H. terjadi perang jamal yaitu antara pasukan yang
dipimpin kubu Aisyah, Thalhah, dan Zubeir dengan Ali dan pasukannya.
Kemenangan berada di pihak Ali. Kemudian Ali menghadapi Muawiyah yang
dikenal dengan perang siffin. (tahun 37), Hampir saja kemenangan di pihak
Ali, dengan intrik politiknya Muawiyah menempuh jalan Tahkim (arbitrase)
yang dipimpin oleh Amr bin Ash dan pihak Ali dipimpin oleh Abu Musa al
Asy'ari. Hasil tahkim ini bukannya menyelesaikan ketegangan, melainkan
terjadinya dualisme pemerintahan, secara sepihak memberhentikan Ali dari
jabatan Khalifah dan mengukuhkan Mu'awiyah menjadi Khalifah.69
Namun setelah peristiawa itu, mayoritas umat Islam tetap mengakui
Ali sebagai Khalifah, tidak mengakui pemerintahan Mu'awiyah, dan golongan
67
Ahmad Jamil, op. cit, hlm. 36-37.
Badri Yatim, op. cit, hlm. 59.
69
Suyuti Pulungan, op. cit. hlm. 150.
68
41
ini yang disebut dengan golongan Syi'ah. Sebagian pengikut Ali memprotes
keputusan majlis Tahkim dan menyatakan keluar dari kelompok Ali kleompok
ini disebut dengan Khawarij. Akibatnya di ujung pemerintahan Ali
kekuatannya semakin tidak
menguntungkan, karena tentaranya semakin
berkurang. Kelompok terakhir ini pula yang membunuh Khalifah Ali yang
dilakukan oleh Abdurrahman bin Muljam.70
Masa pemerintahan Ali merupakan masa yang paling kritis, karena
terjadi pertentangan kalangan intern umat Islam sendiri, yang berpangkal dari
pembunuhan Usman. Namun demikian Ali berhasil mengembalikan
kebijaksanaan Umar, dengan memecat sebagian pejabat Negara yang telah
melakukan korupsi. Ia juga telah membenahi dan menyusun dokumendokumen Khalifah. Membentuk kantor hajib (bendahara), kantor pasukan
pengawal (Sahib ush shurthah), serta mengorganisir polisi dan menetapkan
tugas-tugas mereka.71
Untuk pengelolaan uang negara, Khalifah Ali mengikuti prinsipprinsip yang telah diterapkan Khalifah Umar, yaitu dengan meningkatkan
perekonomian rakyat, harta rakyat dikembalikan pada rakyat. Sikap adil dan
jujur yang diterapkan Ali mendapat reaksi dari pendukung Ali yang kemudian
berpihak pada Umayah. Pengawasan terhadap para pejabat negara yang sering
bertindak penyelewengan ditindak tegas. Sehingga suatu ketika Ibnu Abbas,
70
71
Ibid, hlm 157-158.
Ahmad Jamil, op. cit, hlm. 45-46.
42
gubernur Basrah dan keluarga Ali menggunakan keuangan negara, untuk
kepentingan pribadi, kemudian Ali langsung menegurnya.72
Dalam prakteknya usaha untuk menegakkan kebenaran didepan hukum
Ali telah memberikan contoh pada dirinya. Suatu ketika Ali dituntut oleh
seorang Yahudi mengenai baju besi Khalifah. Pengadilan yang dipimpin oleh
seorang Qadhi Madinah menanyakan kepada Ali: "apakah anda menginginkan
pembelaan terhadapnya?". Ali menjawab: "tidak". Kemudian perkara tersebut
dimenangkan oleh orang Yahudi. Tetapi si Yahudi terkejut dengan keputusan
tersebut yang memihak kepadanya, padahal Ia hanya menguji kebesaran jiwa
Ali dan baju besi itu sebenarnya telah dijualnya kepada Ali. Kemudian atas
kebesaran jiwa Ali Ia mengembalikan baju besinya. Dari peristiwa ini
menunjukkan bahwa prinsip persamaan diperlakukan untuk semua lapisan
sosial, etnik, di depan hukum.73
3. Masa Pasca Khulafa' al Rasyidin
Setelah wafatnya Khalifah Ali bin Abi Thalib berakhirlah masa
periode Madinah. Tokoh yang duduk di kursi pemerintahan sebagai pemimpin
negara adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, seorang Gubernur untuk wilayah
Syiria sejak zaman Khalifah Umar bin Khattab pada tahun 661 M (41 H),
setelah pihaknya dinyatakan menang oleh Majlis Tahkim.
Peristiwa itu terjadi setelah pengikut yang masih loyal terhadap
kepemimpinan Ali membai'at Hasan putra Ali menjadi Khalifah, sebagai
72
73
Ibid, hlm, 45.
Ibid, hlm. 39.
43
penerus perjuangan Ali, Ia mengundurkan diri dari arena politik. Sebab, Ia
tidak menginginkan pertumpahan darah terulang kembali dikalangan umat
Islam, hingga ia menyerahkan kekuasaannya kepada Mu'awiyah. Langkah
penting Hasan bin Ali merupakan usaha rekonsiliasi umat bagi Islam yang
terpecah belah. Oleh karenanya peristiwa itu dalam sejarah Islam dikenal
dengan tahun persatuan ('Am al Jama'ah). Yaitu babak sejarah yang
mempersatukan umat kembali berada di bawah kekuasaan seorang Khalifah.
Rekonsiliasi yang dilakukan antara Hasan dengan Mu'awiyah setelah
Mu'awiyah bersedia memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Hasan, yaitu
Mu'awiyah harus menjamin keselamatan dan keamanan jiwa dan harta
keturunan Ali serta pendukungnya. Hasan mengimbangi persetujuan tersebut
dengan turut membai'at Mu'awiyah, begitu juga para pendukung Hasan
dengan menunjukkan ketaatan dengan membai'atnya.74
Muawiyah mempunyai kepribadian yang luar biasa dalam masalah
politik pemerintahan, juga dalam mengatur administrasi kenegaraan.
Mu'awiyah juga dikenal seorang politikus yang pandai mengatur setrategi,
piawai dalam merancang taktik dan dalam bersiasat, meskipun dengan caranya
sendiri sering menempuh dengan segala cara,
75
untuk mempertahankan
kemapanannya dalam berkuasa, Mu'awiyah berhasil merekrut para tokoh
terkemuka, politikus, dan administrator untuk bergabung dalam sistem yang
dibangunnya, untuk memperkokoh posisinya di puncak kepemimpinannya.76
74
Suyuti Pulungan, op. cit, hlm. 163.
Khudori Bek, Muhadharat Tarikh al Umam al Islamiyat, al Qahira: Mathba'at al
Istiqamat, 1370 H, hlm. 99.
76
Suyuti Pulungan loc. cit, hlm 163.
75
44
Mu'awiyah juga dikenal berwatak keras dan tegas, tetapi juga bisa berwatak
lapang dada dan toleran. Sikap ini tampak sebagai prinsip yang ia terapkan
dalam memimpin: " Aku tidak menggunakan pedangku jika cambuk saja
sudah cukup, dan tidak pula cambuk, kalau perkataan sudah memadai, jikalau
aku dengan orang lain saling berebut sehelai rambut, maka tidaklah putus
rambut tersebut, karena jika mereka mengencangkannya , aku mengendorkan,
dan jika mereka mengendorkan, maka aku akan mengencangkannya.77
Sesuai dengan prinsip dan watak Mu'awiyah tersebut, ia membuat
kebijaksanaan dan keputusan politik, baik kebijaksanaan dalam negeri
ataupun luar negeri. Dan jejak ini diteruskan oleh para penggantinya dengan
mnyempurnakannya. Pertama, Mu'awiyah memindahkan pusat pemerintahan
dari Madinah ke Damaskus. Meskipun beralasan demi menjaga keamanan,
namun sangat bermuatan politis, Karena Damaskus letaknya jauh dari daerah
konflik, yakni Kufah yang merupakan basis kaum Syi'ah, pendukung Ali, dan
jauh dari Hijaz tempat tinggal mayoritas Bani Hasyim dan Bani Umayah,
sehingga bisa terhindar dari konflik yang lebih tajam antara dua kubu itu yang
saling berebut kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus merupakan daerah di
wilayah Syam (Syria) yang sebelumnya sudah berada di bawah genggaman
pengaruh Mu'awiyah selama 20 tahun semenjak oleh Khalifah Umar bin
Khattab diangkat menjadi Gubernur.78
Kedua, orang-orang yang telah berjasa dalam perjuangannya hingga
puncak kekuasaannya diberi penghargaan oleh Mu'awiyah. Seperti Amr bin
77
78
Ahmad Syalabi, op. cit, hlm. 41.
Suyuti Pulungan, op. cit, hlm. 164.
45
Ash diangkat kemabali menjadi Gubernur Mesir dan al Mughirah bin Syu'bah
juga diangkat menjadi Gubernur di wilayah Persi.79 Ia juga berhasil
mengambil hati para pemuka yang bersikap netral terhadap berbagai kasus,
sehingga mereka berpihak kepadanya. Ketiga, Mu'awiyah menyingkirkan
orang-orang yang beroposisi yang dianggap berbahaya, dan menumpas para
pemberontak.80 Seperti kaum Khawarij yang dianggap merongrong wibawa
kekuasaanya serta mengkafirkannya, karena dalam perang shiffin Mu'awiyah
hanya menuruti hawa nafsu politiknya, tidak taat kepada hukum al Qur'an.
Keempat meningkatkan kekuatan militer yang terdiri dari tiga angkatan, darat,
laut dan aparat kepolisian yang tangguh dan loyal.
Kelima, melakukan ekspansi wilayah baik ke Timur yang diteruskan
oleh penerusnya, Khalifah abd Al Malik, sedangkan ke arah Barat diteruskan
oleh Khalifah al Walid, dan ke Perancis pada masa Khalifah Umar bin Abd
Aziz. Perluasan ini merupakan ekspansi terbesar kedua setelah perluasan
wilayah yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Berbagai suku
bangsa bersatu dalam satu naungan Islam melahirkan benih peradaban baru
yang bercorak Islam, sekalipun kebudayaan Arab lebih dipusatkan
perhatiannya oleh Dinasti tersebut.81
Keenam, Mu'awiyah dan para penerusnya membuat kebijaksanaan
yang berbeda dengan masa Khulafa' al Rasyidin, mereka mengangkat orangorang non muslim sebagai pejabat elit pemerintahan, seperti penasehat,
79
Ibid, hlm. 164.
Ibid.
81
Harun Nasution, Islam di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya,Jakarta: UI- Press, jilid. 1
hlm, 62-63.
80
46
administrator, dokter-dokter, dan kesatuan-kesatuan tentara.82 Namun menurut
Wellhausen, pada masa Khalifah Umar bin Abd. Al Aziz kebijaksanaan
tersebut dihapus, karena para pejabat non Muslim yang menduduki posisi
privilege dalam pemerintahan, sering kali merugikan kepentingan umat Islam
dan meremehkannya.83 Ketujuh, Mu'awiyah memperbaharui dan melengkapi
dalam bidang administrasi dengan jabatan-jabatan baru, karena mendapat
pengaruh dari kebudayaan Byzantium.
Kedelapan, keputusan politik dan kebijaksanaan terpenting pada masa
Khalifah Mu'awiyah adalah mengubah sistem pemerintahan dari bentuk
Khilafah yang bercorak demokrasi menjadi sistem monarki dengan
mengangkat putra mahkota. Hal ini berarti suksesi kepemimpinan berlangsung
secara turun-temurun, kemudian diikuti oleh penerusnya.
Tetapi keputusan yang terakhir ini mendapat banyak kecaman dari
umat Islam golongan Syi'ah, Abdurrahman bin Abu Bakar, Husein bin Ali,
dan Abdullah bin Zubeir. Bahkan masyarakat madinah mengadakan dialog
dengan menyarankan supaya ia mengikuti langkah yang ditempuh oleh
Rasulullah atau Abu Bakar dan atau Umar dalam urusan suksesi
kepemimpinan. Namun saran tersebut diabaikan, Mu'awiyah beralasan
khawatir terjadi kekacauan yang lebih besar dan demi menjaga stabilitas
keamanan negara.84
82
Pulungan, op. cit, hlm. 166 .
Ibid.
84
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al Islam, al Qahirat: Maktabah al Nahdhat al Mishriyat,
1979, hlm. 387.
83
47
Dalam pemerintahan Mu'awiyah, meskipun yang digunakan sistem
monarki, namun untuk penamaan gelar tetap menggunakan gelar khalifah, ada
juga yang menyebut amir al Mukminin. Bahkan status jabatan khalifah
diartikan sebagai "Wakil Allah" (Khalifat Allah), dengan menghubungkan
al Qur'an S. al Baqarah: 30, sehingga Dinasti ini menyatakan bahwa
keputusannya didasarkan atas perkenan Allah, siapa yang tidak patuh berarti
kafir dan harus dimusnahkan.85
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagai ciri-ciri pada pemerintahan
Dinasti Umayah adalah, sebagai unsur pengikat bangsa lebih ditekankan pada
kesatuan politik ekonimi, Khalifah sebagai jabatan sekuler, dan berfungsi
sebagai jabatan eksekutif kepala pemerintahan eksekutif. Dinasti ini lebih
mengarahkan pada perluasan kekuasaan dan wilayah kekuasaan negara.
Dinasti ini lebih bersifat eksklusif, karena lebih mengutamakan orang-orang
berdarah Arab duduk dalam pemerintahan, sedangkan orang-orang non Arab
tidak banyak mendapat kesempatan yang sama luasnya dengan yang berdarah
Arab. Qadhi (hakim) mempunyai kebebasan dalam memutuskan perkara. Dan
formalitas agama tetap dipatuhi, dengan menampilkan citranya sebagai
pejuang Islam, ciri lain dari Dinasti ini adalah kurangnya melakukan
musyawarah, karenanya kekuasaan khalifah bersifat absolut, meskipun
keabsolutannya belum menonjol. Dengan demikian tampilnya Dinasti
85
W. Montgomery Watt, The Majesty That Was Islam, terj. Hartono Hadikusumo,
Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990, hlm. 23.
48
Umayah merupakan babak kedua dari praktek pemerintahan Islam yang
mengambil bentuk monarki. 86
Pemerintahan Dinasti Abbasiyah berdiri setelah pemerintahan Dinasti
Umayah jatuh ke tangan Bani Abbas, keturunan Bani Hasyim suku Quraisy.
Dinasti ini didirikan oleh Abu al Abbas, keturunan dari paman Nabi
Mhammad SAW. Berdirinya Dinasti ini merupakan perjuangan gerakan
politik yang dipimpin oleh Abu al Abbas yang mendapat bantuan dari kaum
Syi'ah dan orang-orang Persi. Gerakan ini berhasil menjatuhkan Dinasti
Umayah pada tahun 750 M. sehingga pada tahun itu juga Abu al Abbas
diangkat menjadi khalifah di Kufah sampai dengan tahun 754 M.87
Dalam pemerintahannya, struktur organisasi pemerintahannya serta
sistem dan bentuknya hampir sama dengan Dinasti Umayah, yakni sistem
monarki, dan gelar yang di pakai adalah khalifah. Sebagaimana
Bani
Umayah, intrik-intrik politik dilakukan pada masa tersebut dengan berbagai
cara, sehingga dinasti ini membawa puncak kejayaan di bidang ekonomi dan
perdagangan, politik, sosial, militer, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Diantara Khalifah-Khalifah besar yang sampai pada puncak kejayaannya
adalah, Abu Ja'far al Mansur al Mahdi (775-785 M.), Harun al Rasyid (785809 M.), al Ma'mun (813-833 M.), al Mu'tasim (833-842 M.), al Watsiq (842847 M.) dan al Mutawakkil (847-861 M.)88 Dinasti inilah yang membawa
pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia, dan menjadi kekuatan besar di
belahan Timur.
86
Abu A'la al Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan, 1984.
Suyuti Pulungan, op. cit, hlm. 172.
88
Harun Nasution, op. cit, hlm. 66-69.
87
49
Khalifah-khalifah Abbasiyah memposisikan dirinya sebagai "bayangan
Allah di bumi" (zhilal Allah fi al Ardh), sebagaimana pernyataan Abu Ja'far al
Mansur :" Sesungguhnya saya adalah Sultan Allah di bumi-Nya". Sehingga Ia
menganggap bahwa kekuasaan yang diembannya adalah atas kehendak Tuhan
dan Tuhan pula yang yang memberi kekuasaan kepadanya. Sehingga
kekuasaan Khalifah pada masa ini sangat tampak keabsolutannya dibanding
khalifah-khalifah Bani Umayah.Dalam ilmu tata Negara bahwa penguasa yang
mengklaim dirinya bahwa kedaulatan berasal dari Tuhan dan atas kehendak
Tuhan, dan Tuhan pula yang memberi kekuasaan kepadanya , teori ini disebut
dengan teori ketuhanan.89
Pada masa pemerintahan ini dibentuk lembaga al Nizham al
Mazhalim. Dan lembaga ini mempunyai tiga macam hakim. Pertama, al
Qadhi yang bertugas memberi penerangan hukum dan pembinaan hukum, dan
menyelesaikan perkara sengketa perselisihan dan masalah wakaf.
Kedua, al Muhtasib bertugas mengawasi hukum, mengatur ketertiban
umum, menyelesaikan masalah-masalah kriminal, menegakkan amar makruf
dan nahi munkar, mengawasi ketertiban pasar, mencegah terjadinya hak-hak
kemanusiaan, dan meghukum orang yang mempermainkan hukum syari’at.
Ketiga, al Qadhi Mazhalim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat
diputuskan oleh Qadhi dan Muhtasib, untuk meninjau kembali perkara yang
89
Soehino, Ilmu Negara,Yogyakarta: Liberty, 1986, hlm. 152-153.
50
telah diputuskan oleh qadhi dan muhtasib atau menyelesaikan perkara
banding.90
C. Syarat-Syarat Kepala Negara dalam Islam
Kedudukan pemimpin sebagai penerus tugas rasul untuk menegakkan
hukum Islam merupakan hal yang sangat penting, terlebih pemimpin yang
mengurus masalah pemerintahan. Karena kepala negara adalah seorang yang
ditunjuk untuk memikul tugas dan tanggung jawab atas masyarakat yang
dipimpinnya, juga mengatur tatanan kehidupan masyarakatnya, baik di bidang
struktur pemerintahan, politik, sosial, kesejahteraan, keamanan, pendidikan,
dan lain sebagainya. Seorang kepala negara juga harus bisa memberikan
contoh terbaik (teladan), karena Ia sebagai tumpuan pandangan dan sumber
harapan bagi anggota masyarakatnya agar negaranya menjadi lebih baik. Maka
terhadap orang yang akan menduduki jabatan penting itu ditetapkan syaratsyarat berat, baik syarat yang berdasarkan dalil yang berlandaskan nash-nash
yang pasti (dalil naqli, al Qur’an dan Hadith), maupun yang berdasarkan
dengan dalil-dalil ‘aqli. Sehingga para juris Sunni mencita-citakan terwujudnya
pelaksanaan syari’at Islam, keadilan, dan kesejahteraan rakyat melalui
kekuasaan politik dalam pemerintahan, hal ini tercermin dalam syarat-syarat
yang mereka kemukakan.
Pentingnya posisi dan kedudukan pemimpin, mendorong para ulama
menetapkan beberapa kriteria (syarat-syarat) seorang pemimpin tanpa
90
Suyuti Pulungan, op. cit, hlm. 174-175.
51
memandang siapa dan dari golongan mana ia berasal, asalkan ia mampu
menjalankan kepemimpinannya, maka ia bisa maju tampil untuk menjadi
pemimpin, dengan catatan ia memiliki profesionalisme, sifat adil, jujur,
mempunyai kepekaan sosial yang tinggi terhadap yang dipimpinnya,
mempunyai kewibawaan serta kemampuan untuk memimpin.
Menurut al Mawardi, seorang kepala negara harus memenuhi
kualifikasi adil, mempunyai kompetensi ijtihad, sempurna dan sehat panca
indra, tidak cacat fisik, mempunyai visi kemaslahatan
sosial, tegas dan
pemberani, serta mempunyai garis keturunan dari Quraisy. Ia juga dikenai
beberapa syarat yang dimiliki oleh seorang Qadhi, seperti merdeka, baligh,
berakal,
berpengetahuan
luas,
serta
sempurna
secara
fisik,
seperti
pendengaran, penglihatan, serta lisan agar dapat berurusan langsung dengan
tanggung jawabnya dan sehat badan, sehingga tidak terhambat dalam
melakukan tugasnya sebagai pemimpin.91
Sementara Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa orang yang pantas
menjadi kepala pemerintahan adalah orang yang memiliki kekuatan (al
quwwat), dan integritas (al amanat), adil. Bahkan Ibnu Taimiyah berpendapat
bahwa seorang pemimpin non muslim yang adil lebih baik daripada pemimpin
muslim yang zalim, sebab yang dibutuhkan umat adalah keadilan dan
kesejahteraan yang menyeluruh, bukan figure maupun sosok tertentu.
berdasarkan S. al Qashas: 26 yang berbunyi:
91
Al Mawardi, op. cit, hlm. 6.
52
(٢٦:‫ﻱ ﺍﹾﻟﹶﺄ ِﻣﲔُ )ﺍﻟﻘﺼﺺ‬
‫ﺕ ﺍﹾﻟ ﹶﻘ ِﻮ ﱡ‬
َ ‫ِﺇﻥﱠ َﺧْﻴ َﺮ َﻣ ِﻦ ﺍ ْﺳَﺘ ﹾﺄ َﺟ ْﺮ‬....
Artinya:“Sesungguhnya orang yang paling baik engkau tugaskan adalah orang
kuat lagi dipercaya”.92
Mempunyai kekuatan dalam lapangan kepemimpinan, seperti dalam
memimpin perang, mengatur strategi, memberikan kebijaksanaan yang tepat
dan terarah sesuai dengan keadilan yang telah ditetapkan dalam undangundang, dan Ibnu Taimiyah tidak menetapkan bagi seorang kepala negara
harus dari suku Quraisy, karena masalah ini terjadi ikhtilaf.93
Selanjutnya Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kepala negara harus
memenuhi lima persyaratan:
1) Berilmu pengetahuan, yang dengannya ia mampu melakukan hukumhukum yang berlaku.
2) Al Kifayat, yaitu kemampuan melaksanakan aturan-aturan yang ditetapkan
dalam undang-undang, mampu memainkan strategi dalam berperang,
memobilisir umat untuk ikut berperang, sanggup memelihara tugas-tugas
politik dan siasat, berdiplomasi, mengetahui ashabiat (solidaritas
kelompok) mampu melindungi agama, bersedia jihad melawan musuh
menegakkan hukum, mengelola kepentingan umum.
3) Berlaku adil.
4) Sehat panca indra.
92
Departeman Agama RI, Al Qur’an AL Karim dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra,
1996, hlm. 613.
93
Ibnu Taimiyah, al Siyasat al Syar’iyat fi al Islam wa al ro’yi al Syar’iyat, al Qahirat:
Muassasat al Arabiyat li al Tabi’ wa al Nasyr, 1961, hlm. 15.
53
5) Keturunan Quraisy.94
Namun untuk persyaratan terakhir Ibnu Khaldun mengadakan
rasionalisasi, menurutnya berdasarkan fakta sejarah bahwa suku Quraisy saat
itu adalah suku arab terkuat, tangguh dan terkemuka, mereka mempunyai
solidaritas kelompok yang kokoh sehingga membuatnya berwibawa dalam
memelihara keutuhan persatuan umat Islam. Sehingga seorang pemimpin yang
berasal dari suku tersebut mampu mengurus negara secara efektif. Akan tetapi
jika ada suku lain yang lebih terkemuka dan berwibawa, maka mereka yang
lebih berhak dalam kepemimpinan, sehingga persyaratan tersebut dipahami
secara simbolis.95
Imam Haramain al Juwaini mensyaratkan kepala negara harus seorang
mujtahid, sehingga ia tidak butuh fatwa dari orang lain, mampu mengurus
kemaslahatan segala sesuatu dan memelihara dengan baik, mempunyai
kelebihan dalam mengatur militer dan menjaga stabilitas keamanan negara,
memiliki wawasan yang luas untuk memikirkan kepentingan kaum muslimin,
memiliki sifat lemah lembut dan tegas dalam menegakkan hukum, beragama
Islam, laki-laki, dan merdeka. Singkatnya ia mempunyai kemampuan (kifayat)
menggunakan kekuasaannya untuk mengatur semua urusan negara.96
Al Ghazali mengajukan sepuluh persyaratan bagi orang yang akan
menjadi kepala negara: ia harus laki-laki yang dewasa, berakal sehat, sehat
pendengaran dan penglihatan, merdeka, dan dari suku Quraisy, mempunyai
94
Ibnu Khaldun, op, cit. hlm. 193-194.
Ibid.
96
Al Haramain, al Irsyad Ila Qawathi al Adillat fi Ushul al I’tiqadi, Mishr: Maktabah al
Khanji, 1950, hlm. 426-427.
95
54
kekuasaan nyata (nadjat), yaitu mampu berfikir dan mengelola serta
kesediaannya dalam mengurus pemerintahan, wara’, yang dimaksud adalah
menjalankan ajaran-ajaran agama dan bermoral, berbudi pekerti baik, Islam,
dan berilmu, sehingga ia mampu berijtihad dan memberi fatwa mengenai
hukum agama.97
Namun menurut Taqiyuddin an Nabhani membagi dua tentang
persyaratan bagi seorang kepala negara.98 Pertama, syarat in’iqadi, dimana
apabila salah satu syarat in’iqadi ini tidak terpenuhi, maka pengangkatannya
tidak sah dan akadnya batal, syarat ini berdasarkan nash yang ada dalam al
Qur’an dan hadith. Dalam syarat in’iqadi ini terdapat tujuh syarat, antara lain
adalah:
1) Muslim, seorang khalifah harus seorang muslim, tidak boleh dipimpin
oleh orang non muslim, berdasarkan surat an Nisa: 135 berbunyi:
(١٤١:‫ﻼ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬
‫ﲔ َﺳﺒِﻴ ﹰ‬
َ ‫ﺠ َﻌ ﹶﻞ ﺍﻟﱠﻠ ُﻪ ِﻟ ﹾﻠﻜﹶﺎِﻓﺮِﻳ َﻦ ﻋَﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﻤُﺆْ ِﻣِﻨ‬
ْ ‫ َﻭﹶﻟ ْﻦ َﻳ‬....
Artinya:“Dan sekali-kali Allah tidak akan memberikan jalan kepada
orang-orang kafir untuk mengusai orang-orang mukmin.”
(QS. An Nisa: 141). 99
Surat al Ma’idah: 51 berbunyi:
(٥١:‫ﺨﺬﹸﻭﺍ ﺍﹾﻟَﻴﻬُﻮ َﺩ ﻭَﺍﻟﱠﻨﺼَﺎﺭَﻯ ﹶﺃ ْﻭِﻟﻴَﺎ َﺀ َﺑ ْﻌﻀُﻬُ ْﻢ ﹶﺃ ْﻭِﻟﻴَﺎ ُﺀ َﺑﻌْﺾ ٍ)ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ‬
ِ ‫َﻳّﺎﹶﺃﱡﻳﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮﺍﻻَﺗﱠﺘ‬
97
A Ghazali, Fadhail al Bathiniyah, Kairo: 1964, hlm 180, dikutip dalam Jalaluddin
Syaraf dan Ali Abd Mu’ti Muhammad, al Fikri al Siyasi Fi al Islam Iskandariyat: Dar al Jam’iyat,
1978, hlm. 395-402.
98
Taqiyuddin An Nabhani, Nizham al Hukmi fi al Islam, (terj. M. Maghfur Wachid,
“Sistem Pemerintahan Islam : Doktrin, Sejarah, Relita Empirik”, Bangil : Al Izzah, hlm. 66-70.
99
Departemen Agama Ri, op. cit, hlm. 146.
55
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengangkat
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin
sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain.
(Q.S. al Ma’idah: 51).
Dalam surat Ali Imran ayat 118, Allah berfirman:
‫ﺨﺬﹸﻭﺍ ِﺑﻄﹶﺎَﻧ ﹰﺔ ِﻣ ْﻦ ﺩُﻭِﻧ ﹸﻜ ْﻢ ﻻ َﻳ ﹾﺄﻟﹸﻮَﻧ ﹸﻜ ْﻢ َﺧﺒَﺎ ﹰﻻ َﻭﺩﱡﻭﺍﻣَﺎ َﻋِﻨﱡﺘ ْﻢ ﹶﻗ ْﺪ‬
ِ ‫ﻳَﺎﹶﺃﱡﻳﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳ َﻦ ﺁ َﻣﻨُﻮﺍ ﻻَﺗﱠﺘ‬
‫ﺕ ِﺇ ﹾﻥ‬
ِ ‫ﺻﺪُﻭ ُﺭ ُﻫ ْﻢ ﹶﺃ ﹾﻛَﺒﺮُ ﹶﻗ ْﺪ َﺑﱠﻴﻨﱠﺎ ﹶﻟﻜﹸﻢُ ﺍﻟﹾﺂﻳﺎ‬
ُ ‫ﺕ ﺍﹾﻟَﺒ ْﻐﻀَﺎ ُﺀ ِﻣ ْﻦ ﹶﺃ ﹾﻓﻮَﺍ ِﻫ ِﻬ ْﻢ ﻭَﻣَﺎ ﺗُﺨْﻔِﻲ‬
ِ ‫َﺑ َﺪ‬
(١١٨:‫ﹸﻛْﻨُﺘ ْﻢ ﺗَﻌْﻘِﻠﹸﻮﻥﹶ )ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ‬
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu ambil menjadi
teman kepercayaan orang-orang yang di luar golonganmu (non
Muslim), karena mereka tidak henti-hentinya (selalu
menimbulkan) kesulitan bagi kamu, mereka menginginkan
menyusahkanmu, telah tampak dari ucapan mereka kebencian,
sedang apa yang disembunyikan dalam dada (hati) mereka lebih
besar, sungguh telah Kami jelaskan kepada kamu tanda-tanda
(teman dan bukan), jika kamu memahaminya. (Q.S. Ali Imran:
118).
2) Laki-laki, berdasarkan hadith Nabi:
100
‫َﻭﹶﻟ ْﻦ ﻳُ ﹾﻔِﻠ َﺢ ﹶﻗ ْﻮ ٌﻡ َﻭﱠﻟﻮْﺍ َﻋﹶﻠْﻴ ِﻬ ْﻢ ِﺇ ْﻣ َﺮﹶﺃ ﹰﺓ‬
Artinya:“Tidak akan pernah beruntung suatu masyarakat
menyerahkan urusannya kepada perempuan.
yang
3) Baligh, berdasarkan hadits Nabi yang berbunyi:
‫ﻒ َﻭ َﻋ ِﻦ‬
َ ‫ﺠُﻨ ْﻮ ِﻥ َﺣﺘﱠﻰ َﻳ ِﻘْﻴ‬
ْ ‫ﻆ َﻭ َﻋ ِﻦ ﹾﺍ ﹶﳌ‬
‫ﺴَﺘْﻴ ﹶﻘ ﹶ‬
ْ ‫ َﻋ ِﻦ ﺍﻟﻨﱠﺎﺋِﻢِ َﺣﺘﱠﻰ َﻳ‬:‫ﺙ‬
ٍ ‫ﺭُِﻓ َﻊ ﺍﹾﻟ ﹶﻘﹶﻠﻢُ َﻋ ْﻦ ﹶﺛﻠﹶﺎ‬
101
(‫ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻷﺭﺑﻌﺔ‬.‫ﺤَﺘِﻠ َﻢ‬
ْ ‫ﺼِﺒ ﱢﻲ َﺣﺘﱠﻰ َﻳ‬
‫ﺍﻟ ﱠ‬
Artinya:“Terangkat tanggung jawab seseorang dari tiga hal: orang yang
tidur hingga ia bangun, orang yang gila hingga ia sembuh, dan
anak-anak hingga ia bermimpi dan mengeluarkan air mani
(menjadi dewasa)” . (Hadith riwayat Imam empat).
4) Berakal, sesuai dengan hadith Nabi yang disebut di atas.
100
Al Syaukani, Nailul Autar, Mesir: Mustafa al Baby al Halabi. t.th. dan Imam al
Bukhari, Shahih Bukhari, jilid 4 Beirut: Dar al Fikr, t. th. hlm. 10.
101
Muhamad Ali al San’any, Subul al Salam, juz 3, Kairo: Dar al Ihya al Turats al Islami,
1960, hlm. 179.
56
5) Adil, dalam al Qur’an disebutkan dalam surat an Nisa: 58 yang berbunyi:
(٥٨:‫ﺤ ﹸﻜﻤُﻮﺍ ﺑِﺎﹾﻟ َﻌ ْﺪ ِﻝ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬
ْ ‫ﺱ ﹶﺃ ﹾﻥ َﺗ‬
ِ ‫َﻭِﺇﺫﹶﺍ َﺣ ﹶﻜ ْﻤُﺘ ْﻢ َﺑْﻴ َﻦ ﺍﻟﻨﱠﺎ‬
Artinya:”Apabila kamu sekalian memutus suatu perkara, maka berikanlah
tentang hukum tersebut dengan adil. (QS. An Nisa: 58)102
6) Merdeka
7) Mampu melaksanakan amanah, dalam al Qur’an disebutkan dalam surat an
Nisa: 58, yang berbunyi:
(٥٨:‫ﺕ ِﺇﻟﹶﻰ ﹶﺃ ْﻫِﻠﻬَﺎ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ‬
ِ ‫ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ َﻪ َﻳ ﹾﺄﻣُﺮُﻛﹸ ْﻢ ﹶﺃ ﹾﻥ ﺗُ َﺆﺩﱡﻭﺍ ﺍﹾﻟﹶﺄﻣَﺎﻧَﺎ‬
Artinya:”Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu sekalian agar
menyerahkan amanat (kepercayaan) kepada ahlinya.”
(QS. An Nisa: 58)103
Kemudian Taqiyudin berpendapat bahwa persyaratan Kedua adalah,
syurut afdaliyah yaitu syarat-syarat keutamaan. Syarat ini ditetapkan jika
didukung dengan nash-nash yang shahih, walaupun tidak dijelaskan secara
jelas (sarih). Oleh karenanya, jika suatu dalil tidak mengandung perintah
secara tegas, maka syarat tersebut menjadi syarat afdlaliyah. Seperti syarat
pemimpin negara harus seorang mujtahid, karena tidak ada nash yang sarih,
jadi tidak ada keharusan seorang khalifah harus mujtahid, seandainya seorang
khalifah seorang mujtahid, maka akan menjadi lebih utama (afdal) dan
pengangkatannya tetap sah.104 Atau seperti pemimpin harus sehat panca indra,
sempurna anggota badan, meskipun tidak ada nash yang menetapkan
persyaratan tersebut, maka secara in’iqadi pengangkatannya tetap sah, namun
tidak sampai pada level afdaliyah, sehingga bisa dikatakan syuruth afdaliyah
adalah syarat penyempurna.
102
Departemen Agama RI, op. cit, hlm.146.
Ibid
104
Taqiyuddin An Nabhani, op. cit, hlm. 71-72.
103
57
Download