bab ii landasan teori - Universitas Kristen Satya Wacana

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Komunikasi
Komunikasi adalah salah satu dari aktivitas manusia yang dikenali oleh
semua orang namun sangat sedikit yang dapat mendefinisikannya secara
memuaskan. John Fiske (2014) menyatakan komunikasi sebagai “interaksi sosial
melalui pesan”. Terdapat dua mahzab utama dalam ilmu komunikasi. Mahzab
Pertama, kelompok yang melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Kelompok
ini fokus dengan bagaimana pengirim dan penerima megirimkan dan menerima
pesan. Pandangan ini melihat komunikasi sebagai proses dimana seseorang
mempengaruhi perilaku atau cara berpikir orang lain. Jika efek yang muncul tidak
sesuai keinginan, mahzab ini menyatakan bahwa itu sebuah kegagalan
komunikasi. Fiske menyebut pandangan ini sebagai kelompok “proses”. Mahzab
proses cenderung mengaitkan diri dengan ilmu-ilmu sosial, terutama psikologi
dan sosiologi, dan cenderung memfokuskan dirinya terhadap tindak (acts)
komunikasi.
Mahzab Kedua, melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran
makna. Kelompok ini fokus dengan bagaimana pesan, atau teks, berinteraksi
dengan manusia di dalam rangka untuk memproduksi makna. Metode utama dari
pandangan ini adalah semiotik (ilmu tentang tanda dan makna). Kelompok ini
menggunakan
istilah
pemaknaan
(signifikasi),
dan
tidak
menganggap
kesalahpahaman sebagai bukti penting dari kegagalan komunikasi. Mahzab
semiotik cenderung mengaitkan dirinya dengan linguistik dan subjek-subjek seni,
dan memiliki kecenderungan untuk memfokuskan dirinya terhadap kerja (works)
komunikasi. Masing-masing mahzab menginterpretasikan definisi kita, yaitu
komunikasi sebagai interaksi komunikasi melalui pesan, dengan cara mereka
sendiri.
9
Kelompok pertama (kelompok proses)
mendefinisikan komunikasi
sebagai proses dimana seseorang berhubungan dengan orang lain, atau proses
mempengaruhi perilaku, cara berpikiran ataupun respon emosional, terhadap
orang lain dan tentu saja sebaliknya. Kelompok kedua (kelompok semiotik)
mendefinisikan komunikasi sebagai hal yang membuat individu menjadi anggota
budaya atau masyarakat tertentu.
Komunikasi berlangsung bukan hanya melalui kata-kata, tetapi juga
dengan bantuan tindakan, gerak isyarat, ekspresi wajah, dan gambar yang
merupakan lambang makna. Komunikasi visual (visual communication) adalah
salah satu cara berkomunikasi yang tertua dan paling efektif dalam
menyampaikan makna. Gambar menyampaikan makna lebih cepat dari kata-kata,
yang memungkinkan berkomunikasi secara cepat, yang memerlukan waktu lama
jika dilakukan secara verbal. (Moore, 2005 : 99)
Berdasarkan
konteks
tatanan
komunikasi,
komunikasi
dapat
di
klarifikasikan ke dalam beberapa jenis diantaranya komunikasi intrapersonal,
komunikasi
interpersonal,
komunikasi
kelompok,
komunikasi
organisasi,
koumikasi publik dan komunikasi massa. Komunikasi massa merupakan salah
satu bentuk komunikasi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan
manusia saat ini. Dari sinilah informasi dibawa dan disampaikan keseluruh
pelosok daerah melalui berbagai media massa, baik media cetak maupun media
elektronik.1
Komunikasi
massa
merupakan
sebuah
proses
komunikasi
yang
berlangsung dimana pesannya dikirim dari sumber melembaga kepada khalayak
yang sifatnya massal melalui alat-alat yang bersifat mekanis, seperti surat kabar,
majalah, buku, poster, pampflet, internet, radio, televisi dan film.
1
Sumber jurnal: Mellisa, 2013. “Pembentukan Opini Publik Tentang Citra Polisi Terkait Berita
Tindak Kekerasan Polisi di Harian Samarinda Pos”, eJournal Ilmu Komunikasi Unmul, vol. 1 no.
2, pp.236-248.
10
2.2. Film
Media massa mengacu pada media komunikasi dan informasi yang
melakukan penyebaran informasi secara masal dan dapat diakses secara masal
pula (Bungin, 2007 : 71). Dalam media massa, film merupakan salah satu
golongan komunikasi massa yang bersifat media elektronik. Menurut Susanto
(1982 : 58) film adalah gerakan atau lebih tepat lagi gambar yang bergerak.
Dahulu film dikenal dengan istilah gambar hidup, dan memang gerakan itulah
yang merupakan unsur pemberi “hidup” kepada suatu gambar, yang betapapun
sempurnanya teknik yang dipergunakan, belum mendekati kenyataan hidup
sehari-hari, sebagai halnya dengan film. Untuk meningkatkan kesan dan dampak
dari film, suatu film diiringi dengan suatu yang dapat berupa dialog atau musik.
Dalam film yang baik, dialog dan musik hanya dipergunakan apabila film tidak
atau kurang mampu memberi kesan yang jelas kepada komunikan melalui gerakan
saja, sehingga dialog maupun musik merupakan alat bantu penguat ekspresi. Di
samping suara dan musik, warna juga mempertingkat nilai “kenyataan” pada film,
sehingga “sungguh-sungguh terjadi” dan “sedang dialami oleh khalayak” pada
saat film diputari makin terpenuhi. Dengan demikian, film merupakan suatu
sarana komunikasi yang mengaktualisasikan suatu kejadian untuk dinikmati pada
saat tertentu oleh khalayak.
Komunikasi visual merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk
menyampaikan pesan. Film amat efektif untuk mengkomunikasikan informasi
kepada berbagai kelompok dengan menyajikan informasi kepada semua anggota
kelompok secara serentak. Informasi yang didapat dari film bisa diingat secara
lebih lama ketimbang informasi dari sumber-sumber lain (Moore, 2005 : 306). Isi
media, termasuk film maupun iklan, pada hakikatnya adalah hasil konstruksi
realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja
sebagai alat merepresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti
apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya, media
massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan
11
gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya (Sobur, 2001:8788).
Dalam perkembangannya, film tidak hanya dijadikan sebagai media
hiburan semata tetapi juga digunakan sebagai alat propaganda, terutama
menyangkut tujuan sosial atau nasional. Berdasarkan pada pencapaiannya yang
menggambarkan realitas, film dapat memberikan imbas secara emosional dan
popularitas.
2
Film sebagai suatu media komunikasi, merupakan suatu kombinasi
antara usaha penyampaian pesan melalui gambar yang bergerak, pemanfaatan
teknologi kamera, warna dan suara. Unsur-unsur tersebut dilatarbelakangi oleh
suatu cerita yang mengandung suatu pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara
kepada khalayak film (Susanto, 1982 : 60). Menurut Moore (2005), sebuah
gambar menyampaikan makna lebih cepat daripada kata-kata. Berdasarkan
pernyataan Moore dan Susanto, peneliti menyimpulkan bahwa setiap film
memiliki sebuah makna dan pesan dibaliknya.
Secara umum film dibangun
dengan banyak tanda, didalam tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda
yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. 3
2.3. Semiotika
Semiotika merupakan suatu studi ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda dalam suatu konteks skenario, gambar, teks, dan adegan di film
menjadi sesuatu yang dapat dimaknai. Sedangkan, kata “semiotika” itu sendiri
berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda” atau seme ,yang berarti
“penafsir tanda”. (Kurniawan, 2001 : 49)
Tanda yang terdiri dari bunyi dan gambar disebut signifier atau penanda,
dan konsep dari bunyi dan gambar tersebut disebut signified. Dalam komunikasi,
seseorang memakai tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain
2
Sumber Jurnal: Faddli, Ilham M & Rochim M, 2015. “Kajian Representasi Pencitraan Polisi di
Film Comic 8”, Prosiding Penelitian SPeSIA 2015
3
Sumber Jurnal: Mudjiono, Yoyon. 2011. “Kajian Semiotika Dalam Film”, Jurnal Ilmu
Komunikasi, vol. 1 no. 1.
12
akan menginterpretasikan tanda tersebut. Misalnya ketika orang menyebut kata
“dasar” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda
kemarahan (signified). Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat
dipisahkan seperti dua sisi dari sehelai kertas (Sobur, 2003:46).
Bidang kajian semiotik atau semiologi adalah mempelajari fungsi tanda
dalam teks, yaitu bagaimana memahami sistem tanda yang ada dalam teks yang
berperan membimbing pembacanya agar bisa menangkap pesan yang terkandung
di dalamnya. Dengan ungkapan lain, semiologi berperan untuk melakukan
interogasi terhadap tanda-tanda yang dipasang oleh penulis agar pembaca bisa
memasuki bilik-bilik makna yang tersimpan dalam sebuah teks. (Hidayat, 1996 :
163).
Istilah teks biasanya mengacu pada pesan yang telah dibuat dalam
beberapa cara (tulisan, rekaman audio dan video) sehingga secara fisik, antara
pengirim dan penerima tidak terikat satu sama lain. Teks adalah kumpulan tandatanda (seperti kata-kata, gambar, suara dan atau gerakan) yang dikonstruksikan
(dan diinterpretasikan) dengan mengacu pada konvensi yang terkait dengan genre
dan media komunikasi.4
Tradisi semiotika tidak pernah menganggap terdapatnya kegagalan
pemaknaan, karena setiap „pembaca‟ mempunyai pengalaman budaya yang relatif
berbeda, sehingga pemaknaan diserahkan kepada pembaca.
Roland Barthes
mengatakan bahwa dalam memahami teks, pengarang dianggap mati. Dengan kata
lain, setelah teks diciptakan oleh pengarang maka pemaknaan diserahkan pada
pembaca teks tersebut. Dalam bahasanya, Barthes menyatakan bahwa “kelahiran
pembaca pastilah dibayar dengan kematian pengarang”. Teks di tangan pembaca
seolah-olah bebas, agrefis, terkelupas, tanpa campur tangan penciptanya.
Pemikir strukturalis yang mempraktikkan model linguistik dan semiologi
adalah Roland Barthes (1915-1950). Dalam karyanya yang berjudul Elements of
Semiology (1964) terdapat beberapa elemen yang dikemukakan Barthes tentang
4
Chandler, Daniel. 12 Mei 2016. Diakses dari
http://www.aber.ac.uk/media/Documents/SB4/semiotic.html
13
tanda dan pemaknaannya dalam semiotik, diantaranya adalah signifier dan
signified serta denotasi dan konotasi. Barthes melengkapi penanda dan petanda
dengan dua strata dimana penanda ataupun petanda juga memuat bentuk dan
substansi (Kurniawan, 2001:56).
Barthes membedakan dua level pengertian (signification) dari semiotika
yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi adalah level deskriptif dan harafiah makna
yang disepakati seluruh anggota budaya. Pada level konotasi, makna dihasilkan
oleh hubungan antara signifier dan budaya secara luas yang mencakup
kepercayaan, tingkah laku, kerangka kerja dan ideologi dari sebuah formasi sosial.
Semiologi, dalam istilah Barthes, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memakai hal-hal (things), memaknai (to signify) dalam
hal ini tidak dapat dicampur-adukkan dengan mengkomunikasikan (to
communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu hendak berkomunikasi,
tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2001:15).
Gambar 1
Signifikasi Dua Tahap Roland Barthes
(Sumber: Sobur, 2001:12)
Dalam semiologi Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat
pertama, sedangkan konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi
justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi melawan
keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan
dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi (Budiman, 1999 : 22).
14
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebutnya sebagai “mitos”dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
Sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan
yang telah ada sebelumnya, atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem
pemaknaan tataran kedua.5
Ketika menganalisis sebuah film, akan menjadi jelas bahwa tanda
linguistik, visual, dan jenis tanda lain mengenai bagaimana film itu di
representasikan (seperti scene, actor, caption, jingle, dan sebagainya) tidaklah
sesederhana mendenotasikan suatu hal , tetapi juga menciptakan tingkat konotasi
yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebut fenomena ini, membawa tanda
dan konotasinya untuk menimbulkan kesan atau pesan tertentu, sebagai
penciptaan mitos (Bignell, 1997:16). Pengertian mitos disini bukanlah menunjuk
pada mitologi dalam pengertian sehari-hari seperti halnya dongeng atau ceritacerita tradisional, melainkan sebuah cara pemaknaan. (Barthes, 2004:152)
Pada film “ENIGMA” ada sesuatu hal yang bias mengenai citra polisi
yang dibentuk oleh sang sutradara, dimana pada film tersebut citra positif polisi
lebih ditonjolkan. Untuk melakukan analisis film “ENIGMA”, peneliti
menemukan scene atau adegan dalam film tersebut yang menunjukkan adanya
representasi citra Institusi Kepolisian Republik Indonesia. Dari setiap scene
tersebut akan dilakukan analisis terhadap setiap penanda yang muncul untuk
mengetahui makna denotatif pada signifikasi tahap pertama. Kemudian makna
denotatif tersebut menjadi penanda pada signifikasi tahap kedua untuk
mengetahui makna konotatif. Setelah itu, dilakukan analisis untuk mencari mitos
yang terkandung pada makna konotatif tersebut. Melalui pendekatan Semiotika
analisis Roland Barthes, peneliti akan menelaah representasi citra Institusi
Kepolisian Republik Indonesia pada film “ENIGMA” serial “Kematian Alana”
5
Sumber Jurnal : Asrofah. 2014. “Semiotik Mitos Roland Barthes dalam Analisis Iklan di Media
Massa”, Universitas PGRI Semarang, Vol.2 no. 1
15
2.4. Representasi
Representasi berasal dari bahasa Inggris, representation, yang berarti
perwakilan, gambaran atau penggambaran. Secara sederhana, representasi dapat
diartikan sebagai gambaran mengenai suatu hal yang terdapat dalam kehidupan
yang digambarkan melalui suatu media (Vera, 2014:96)
Menurut David Croteau dan William Hoynes (2000:194), representasi
merupakan hasil proses pemilihan yang terjadi secara bervariasi yang berarti
adalah terdapat aspek-aspek tertentu dari realitas yang secara sengaja ditonjolkan
dan ada pula aspek – aspek realitas yang lain diabaikan. Semua jenis representasi
adalah “menghadirkan-lagi” dunia sosial baik dengan sifat yang tidak lengkap
maupun sedemikian sempit.
Representasi menurut Chris Barker adalah konstruksi sosial yang
mengharuskan
kita
mengeksplorasi
pembentukan
makna
tekstual
dan
menghendaki penyelidikan tentang cara dihasilkannya makna pada beragam
konteks. Representasi dan makna budaya memiliki materialitas tertentu. Mereka
melekat pada bunyi, prasasti, objek, citra, buku, majalah, dan program televisi.
Mereka diproduksi, ditampilkan, digunakan, dan dipahami dalam konteks sosial
tertentu (Barker, 2004:9).
Sementara itu, dalam sebuah praktek representasi, asumsi yang berlaku
adalah bahwa isi media tidak merupakan murni realitas karena itu representasi
lebih tepat dipandang sebagai cara bagaimana mereka membentuk versi realitas
dengan cara-cara tertentu bergantung pada posisi sosial dan kepentingannya.
(John Fiske, 1997). Pendapat Fiske mengenai representasi ini berlaku dalam
sebuah proses kerja media secara umum dan sudah mulai menyinggung mengenai
kaitan antara representasi dengan realitas bentukan yang diciptakan oleh suatu
media.
16
2.5. Teori Hiperealitas
Hiperealitas digunakan di dalam semiotika dan filsafat pascamodern untuk
menjelaskan ketidakmampuan kesadaran hipotesis untuk membedakan kenyataan
dan fantasi, khususnya di dalam budaya pascamodern berteknologi tinggi. (Tiffin,
2001:1). Umberto Eco, di dalam Travels in Hyper-reality, menggunakan istilahistilah copy, replica, replication, imitation, likeness, dan
reproduction untuk
menjelaskan apa yang disebutnya hiperealitas. Umberto Eco merupakan profesor
semiotika pertama di universitas tertua di Eropa, yakni Universitas Bologna.
Menurut Eco, hiperealitas adalah segala sesuatu yang merupakan replikasi,
salinan, atau imitasi dari unsur-unsur masa lalu, yang dihadirkan di dalam konteks
masa kini sebagai sebuah nostalgia. Akan tetapi, ketika masa lalu tersebut
dihadirkan didalam konteks waktu masa kini, maka ia kehilangan kontak dengan
realitas, dengan pengertian ia bisa tampak seakan-akan lebih dari kenyataan yang
disalinnya, lebih sejati dari model yang ditirunya, sehingga menciptakan sebuah
kondisi meleburnya salinan (copy) dan aslinya (original), (Piliang, 2004 : 59).
Hiperealitas juga dikenal sebagai gaya melebihkan sesuatu (Audifax, 2006 : 19).
2.6. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang “Representasi Citra Institusi Kepolisian Republik
Indonesia pada film “Enigma” serial Kematian Alana ” ini terinspirasi dari
beberapa penelitian terdahulu. Akan tetapi dari berbagai penelitian tersebut, belum
ada yang meneliti mengenai film bergenre serial crime yakni “Enigma”. Berikut
beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang akan di
lakukan oleh peneliti.
No.
1
Penelitian
Natasya
2015.
Barthes
Rambu
Pemaknaan
dalam
Hasil Penelitian
Kadunga. Hasil dari penelitian ini adalah:
Roland 1.Pemaknaan bahasa adat berupa teks syair
Ritual adat dadang nulang lunung tapu tidak
Perkawinan Sumba Tengah berhenti
pada
konsep
Roland
Barthes
17
Tahap
Keempat
Nulang
(Dadang mengenai makna denotasi dan konotasi,
Lunung
Universitas
Kristen
Wacana.
Tapu). namun
fungsi
Satya hubungan
teks
antara
terjawab
Semiotika
melalui
Barthes,
Hermeneutika, dan Kebudayaan.
2.Seluruh simbol yang digunakan dalam adat
perkawinan yaitu benda alat maupun syair
adat
merupakan hasil
interpretasi
yang
dibangun dari budaya masyarakat.
2
Priscillia
Marietta.
2012. Hasil dari penelitian ini adalah:
Analisis Semiotika Fashion 1.Elemen
semiotik
(tanda
yang berupa
pada Rubrik What‟s Hot Now pakaian, aksesoris, gaya dandan) berpadu
Majalah
Go‟Girl
Periode sebagai sebuah komposisi semiotik yang
Tahun 2011 (Studi Semiotika bermakna. Makna yang ditafsirkan dilihat
Fashion dengan Pendekatan secara denotatif dan konotatif juga berkaitan
Roland Barthes dan Umberto dengan mitos sesuai dengan kebudayaan
Eco).
Universitas
Satya Wacana.
Kristen masyarakat. Sehingga budaya menjadi kunci
penting dalam memahami fenomena busana.
2.Budaya, dalam hal ini dilihat dari cara
berpakaian dan berdandan yang ada dalam
rubrik fashion “What‟s Hot Now” adalah
budaya barat, khususnya budaya negara
Amerika Serikat (Hollywood), London, dan
Paris.
Sehingga,
tidak
semua
yang
ditampilkan dalam rubrik tersebut relevan
dengan kehidupan di Indonesia dan harus
melalui proses penyesuaian baik dalam acara
maupun pemakainya.
3
Ilham Maizha Faddli dan M. Hasil dari penelitian ini adalah:
Rochim.
Representasi
2015.
Kajian 1.Dalam level Realitas, peneliti menemukan
Pencitraan 4 kode sosial yang muncul dalam film
18
Polisi di Film Comic 8. “Comic 8” , yaitu kode penampilan, kode
Universitas Islam Bandung
lingkungan, gesture (gerakan) dan
kode
expression (ekspresi), dimana kode tersebut
dapat merepresentasikan citra polis pada film
tersebut.
2.Dalam
level
Representasi,
peneliti
menemukan 3 kode sosial yang muncul
dalam film “Comic 8”, yaitu kode camera
(kamera), kode setting (latar) dan kode
conflict (konflik). Citra polisi pada film di
sini terbentuk dengan sistemik.
3. Dalam level Ideologi, peneliti menemukan
bahwa sutradara “Comic 8”
memproduksi
citra polisi dalam praktek-praktek nyata dari
kebiasaan
sehari-hari.
Ideologi
yang
ditonjolkan sutradara yaitu membentuk citra
yang
baik
Sutradara
tentang
dalam
kinerja
kepolisian.
filmnya
tidak
merepresentasikan tentang keburukan atau
sisi negatif dari polisi itu sendiri, melainkan
membangun citra yang baik dari kerja polisi
dalam
menangani
sebuah
kasus
perampokkan.
4
Muhamad Fajar Rifai . 2011. Hasil dari penelitian ini adalah:
Stereotipe Terhadap Institusi 1.Untuk tema kasus Markus di dalam Institusi
Kepolisian
dalam
Media. Kepolisian karakteristik negatif yang muncul
Universitas Muhammadiyah adalah karakteristik rakus, bengis, tamak, sok
Surakarta.
jago, dan congkak. Sedangkan untuk peran
negatif
yang
muncul
adalah
koruptor,
Markus, dan pelaku kriminal. Untuk tema
kepemimpinan Kapolri karakteristik negatif
19
yang muncul hanya congkak dan pestimistis.
Sedangkan untuk peran negatif yang muncul
adalah calon Kapolri yang glamour dan
Kapolri yang akan segera pensiun.
2.Sampul majalah Tempo syarat akan muatan
simbol-simbol dan pemaknaan stereotipe
terhadap Institusi Kepolisian dilihat dari
karakteristik negatif yang muncul dalam
sampul majalah Tempo seperti rakus, bengis,
tamak, sok jago, congkak, dan pesimistis.
Sedangkan peran negatif dalam sampul
majalah Tempo seperti koruptor, Markus,
pelaku kriminal, calon Kapolri yang glamour
dan Kapolri yang akan segera pensiun.
5
Nidya Syifa dan M. Husen Hasil dari penelitian ini adalah:
Fahmi.
2015.
Hubungan 1.Terdapat hubungan yang sedang antara
Antara Tayangan 86 di Net Intensitas tayangang 86 di Net TV dengan
TV dengan Citra Polisi di citra polisi di mata masyarakat.
Kalangan
Masyarakat. 2. Terdapat hubungan yang kuat antara isi
Universitas Islam Bandung.
pesan tayangan 86 di Net TV dengan citra
polisi di mata masyarakat.
3.Terdapat hubungan yang kuat antara daya
tarik tayangan 86 di Net TV dengan citra
polisi di mata masyarakat.
Tabel 2.1
Kajian Penelitian Terdahulu
20
2.7. Kerangka Pikir
Citra Polisi di mata masyarakat
Film “Enigma” serial
“Kematian Alana”
Semiotika menurut Roland Barthes
Denotasi
First order
Signifier
Signified
Second order
Form
Content
Konotasi
Mitos
Representasi Citra Institusi Kepolisian
Republik Indonesia pada film “Enigma”
serial “Kematian Alana”
Gambar 2
Kerangka Pikir Penelitian
21
Download