pengembangan kompetensi dan kinerja

advertisement
11
TINJAUAN PUSTAKA
Konsepsi Pamong Belajar
Pengertian Pamong Belajar
Pamong Belajar merupakan sebutan bagi PNS yang memegang jabatan
fungsional pada Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Sanggar Kegiatan Belajar
(SKB) milik Pemerintah Kabupaten/Kota,
Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD)
Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB) milik Pemerintah Provinsi, Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal
(BPPNFI), dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Pengembangan Pendidikan
Nonformal dan Informal (P2PNFI). Dua lembaga terakhir merupakan milik Direktorat
Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Ditjen PNFI) Kemendiknas yang
terdapat di beberapa
wilayah (regional). Pada masa sebelum otonomi daerah,
seluruh UPTD dan UPT tersebut berada di bawah Direktorat Pendidikan Luar
Sekolah, Pemuda, dan Olahraga atau sekarang berada di bawah Direktorat
Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Ditjen PNFI) Kemendiknas.
Kata-kata Pamong Belajar juga tercantum dalam Undang-undang Sisdiknas
Nomor 20 tahun 2003 Bab I, Pasal 1 yang menyatakan bahwa Pamong Belajar
adalah sebagai tenaga kependidikan disamping sebutan lain seperti guru, dosen,
konselor, widyaiswara, tutor, instruktur, dan fasilitator. Secara teknis edukatif, tugas
masing-masing Pamong Belajar baik di SKB, di BPKB, BPNFI, maupun yang ada di
P2PNFI adalah sama, namun dalam cakupan pengembangan model pendidikan
nonformal dan distribusinya berbeda menurut karakteristik lokal, sosial, dan budaya.
Keragaman karakteristik dan kebutuhan berbagai suku dan wilayah di Indonesia
tidak dapat ditangani pada satu institusi dengan satu model saja.
Tugas Pokok dan Fungsi Pamong Belajar
Keputusan MENKOWASBANGPAN Nomor 25/KEP/MK.WASPAN/6/ 1999
tentang tugas Pamong Belajar hanya mengatur rincian tugas Pamong Belajar Ahli,
tetapi tidak mencantumkan tugas Pamong Belajar Terampil, padahal sekitar 20
persen Pamong Belajar tersebut masih bersatus sebagai Pamong Belajar Terampil
dengan pendidikan rata-rata dari SLTA sampai D3. Tugas Pamong Belajar Ahli
(Pamong Belajar Pertama, Pamong Belajar Muda, dan Pamong Belajar Madya),
yaitu: (1) melaksanakan pengembangan model program pendidikan luar sekolah,
11
12
pemuda dan olahraga (PLSPOR); (2) melaksanakan kegiatan belajar mengajar
dalam rangka pengembangan model dan pembuatan percontohan program
PLSPOR; dan (3) melaksanakan penilaian dalam rangka pengendalian mutu dan
dampak pelaksanaan program PLSPOR.
Oleh karena tugas pokok Pamong Belajar mengacu kepada keputusan
MENKOWASBANGPAN di atas, maka tugas pokok Pamong Belajar tersebut
tampak rancu, mendua, tidak relevan, dan sulit direalisasikan. Untuk itu diperlukan
pembaharuan keputusan tersebut dengan menghapus program kepemudaan dan
keolahragaan. Secara adminsitratif, di pemerintah pusat bagian pekerjaan tersebut
sudah dilimpahkan ke Kementerian Pemuda dan Olahraga, atau di daerah sudah
diserahkan kepada bagian kepemudaan pada Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota.
Sampai saat ini Kementerian Pendidikan Nasional belum merevisi keputusan
MENKOWASBANGPAN tersebut. Begitu juga kebanyakan Pemerintah Daerah
belum membuat revisi atau menggantinya dengan keputusan baru yang sesuai
dengan kondisi riil dan karakteristik lokal daerahnya. Pemerintah Kabupaten/Kota
cenderung memberikan garis kebijakan kepada Sanggar Kegiatan Belajar dan
Pamong Belajarnya atas instruksi atau keinginan kepala daerah yang bersangkutan
tanpa dilandasi oleh perangkat hukum dan ketentuan yang jelas tentang tugas
pokok kelembagaan.
Konsepsi Kompetensi dan Kinerja
Pemahaman mengenai kompetensi sangat terkait dengan teori-teori dasar
tentang kepribadian manusia yang membentuk perilaku seseorang. Kompetensi
dan kinerja sebagai perwujudan perilaku seseorang dapat diimprovisasi melalui
penerapan berbagai teori belajar. Teori belajar perilaku (behaviouristic theory) yang
dikembangkan oleh
Thorndike (1903), Watson (1925), dan Skinner (1954)
mengatakan bahwa melalui proses interaksi antara stimulus dan respon dapat
mengubah perilaku seseorang.
Teori belajar kognitif yang dikembangkan oleh
Piaget, Ausubel, dan Bruner pada dasarnya mengatakan bahwa proses belajar
lebih penting dari pada hasil belajar itu sendiri. Proses belajar tersebut dibangun
melalui interaksi antara diri pembelajar dengan lingkungannya secara terus
menerus dan menyeluruh. Kemudian teori belajar humanistik yang dikembangkan
oleh Roger (1969) dan Bloom (1964) menekankan kepada proses pembelajaran
yang berpusat pada pribadi pembelajar (student learning centre) sehingga akan
dapat lebih memanusiakan manusia itu sendiri.
13
Pengertian Kompetensi
Istiah “competencies”, “competence”, dan “competen” yang dalam bahasa
Indonesia diterjemahkan sebagai kompetensi, kecakapan dan keberdayaan
merujuk pada keadaan atau kualitas mampu dan sesuai. Kamus bahasa Inggris
mengartikan “competence” sebagai keadaan yang sesuai, memadai, atau cocok.
Kompetensi ditempat kerja artinya kecocokan seseorang dengan pekerjaannya.
Menurut Palan (2008:5), ada dua istilah yang muncul dari pemikiran yang
berbeda tentang konsep kesesuaian dalam pekerjaan, yaitu: (1) competency
(kompetensi), yaitu deskripsi mengenai perilaku, dan (2) competence (kecakapan)
yang merupakan deskripsi tugas atau hasil pekerjaan.
Spencer dan Spencer (1993:9) mengatakan bahwa “competence is an
underlying characteristic of an individual that is casually related to criterionreferenced effective and/or superior performance in a job or situation.” Artinya,
kompetensi merupakan karakteristik dasar seseorang individu yang mempengaruhi
cara berpikir dan bertindak, membuat generalisasi terhadap segala situasi yang
dihadapi serta bertahan cukup lama dalam diri manusia.
Mirip dengan itu Klemp (Lucia dan Lepsinger, 1999:2-3) dan Shermon
(2005) menegaskan bahwa kompetensi yaitu “an underlying characteristic of a
person which result in effective and or superior performance on his job”. Artinya,
kompetensi adalah sifat dasar seseorang yang berpengaruh pada kinerjanya
secara efektif dan sangat menonjol. Berdasarkan hasil konferensi di Johanesburg
tahun 1995, Parry (Lucia dan Lepsinger, 1999:5) mengemukakan bahwa :
“a cluster of related knowedge, skills, and attitudes that affects a major part
of one’s job (a role or responsibility), that correlates with performance on the
job, that can be measured against well accepted standards, and that can be
improved via training and development.”
Artinya, kompetensi adalah sekumpulan pengetahuan, keterampilan dan
sikap seseorang yang berhubungan satu sama lain yang mempengaruhi sebagian
besar pekerjaan seseorang (peran dan tanggung jawabnya) yang berkorelasi
dengan kinerja dan dapat diukur dan diterima sebagai suatu standar kinerja yang
baik. Hal tersebut dapat diperbaiki melalui latihan dan pengembangan.
Senada dengan itu Ulrich (Hutapea dan Thoha, 2008:5-6) mendefinisikan
kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, atau kemampuan individu yang
diperagakan (an individual’s demontsrated knowledge, skils, or abilities). Watson
Wyatt (Ruky, 2006:108) menyimpulkan bahwa kompetensi sebagai kombinasi dari
keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan sikap (attitudes) yang dapat
14
diamati dan diterapkan secara kritis untuk suksesnya sebuah organisasi dan
prestasi kerja serta konstribusi pribadi karyawan terhadap organisasinya.
Berdasarkan pengertian di atas, penulis memandang bahwa kompetensi
Pamong Belajar dapat diartikan sebagai kecakapan yang memadai yang dimiliki
seorang Pamong Belajar untuk melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan
pendidikan nonformal. Untuk melakukan kompetensi tersebut, seseorang Pamong
Belajar memerlukan pengetahuan khusus, keterampilan proses, dan sikap, yang
berbeda dari kompetensi yang satu dengan yang lainnya. Ada kompetensi yang
lebih tergantung kepada pengetahuan dan ada yang lebih tergantung kepada
proses. Kompetensi teknis relatif merupakan tindakan mekanis yang setiap kali
diterapkan dengan menggunakan cara yang sama, sedangkan kompetensi
profesional dituntut kreativitas serta kecakapan menyesuaikan pada keadaan yang
berbeda-beda.
Komponen Kompetensi
Menurut Hutapea dan Thoha (2008:3-4), dalam organisasi, baik dalam
maupun luar negeri pada awalnya hanya ada dua jenis definisi kompetensi yang
berkembang pesat yaitu: (1) kompetensi teknis/fungsional (hard skill/ hard
competency) dan (2) kompetensi perilaku (behaviour competencies) atau disebut
juga soft skills/soft competencies. Konsentrasi kompetensi teknis ini adalah pada
pekerjaan dan pada awalnya banyak berkembang di negara-negara Eropa (Inggris),
sedangkan kompetensi perilaku lahir dan berkembang di Amerika Serikat yang
dipelopori oleh Mc Clelland (1973), Boyatzis (1982), dan Spencer & Spencer
(1993).
Dalam kaitannya dengan kinerja, Shermon (2005); Spencer dan Spencer
(Ruky, 2006:106) membagi kompetensi atas dua jenis : (1) kompetensi ambang
(threshold competencies) yaitu kriteria minimal dan esensial yang dibutuhkan oleh
pekerjaan, dan (2) kompetensi pembeda (differentiating competencies) yaitu kriteria
yang dapat membedakan antara orang yang selalu mencapai unjuk kerja superior
dan orang yang unjuk kerjanya rata-rata saja. Kemudian Spencer dan Spencer
(1993:9-11) mengatakan bahwa ada lima komponen/elemen yang membentuk
sebuah kompetensi, yaitu: (1) motif (motives), (2) karakter pribadi (traits), (3)
konsep diri (self concept), (4) pengetahuan (knowledge), (5) keterampilan (skills),
dan (6) gambaran diri (self image).
15
Menurut Shermon (2005), dari keenam tingkat kompetensi tersebut, skill dan
knowledge relatif lebih nampak sebagai karakteristik seseorang. Sementara itu,
social role, dan self image cenderung sedikit nampak dan dikontrol oleh perilaku
dari luar. Sedangkan trait dan motive letaknya lebih dalam pada pusat kepribadian.
Oleh karena itu skill
dan knowledge lebih mudah dikembangkan dibanding
kompetensi lain, misalnya melalui program pendidikan dan pelatihan. Trait dan
motive cukup sulit dinilai dan dikembangkan karena berada pada pusat kepribadian
seseorang. Sedangkan social role dan self image berada di antara keduanya dan
dapat dirubah melalui pelatihan dan terapi.
Prahalad dan Hamel (Sanchez dan Heene, 2004: 37) mengemukakan suatu
gagasan perlunya core competence (kompetensi inti) dalam suatu organisasi. Ruky
(2006:105) mengatakan bahwa kompetensi inti perlu diuraikan dengan kompetensi
spesifik (specific job competencies) yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap
yang spesifik yang diperlukan karyawan untuk pekerjaan dan jabatan tertentu.
Perreneud (Suparno, 2001) mengatakan bahwa kompetensi-kompetensi
yang akan menghindarkan orang dari hidup belas kasihan orang lain yang
memegang peran strategis dalam mengambil keputusan ialah :
(1) Mampu mengidentifikasi, menilai dan mempertahankan sumber-sumber,
keterbatasan, dan hak-hak, serta kebutuhan-kebutuhan.
(2) Mampu secara mandiri maupun berkelompok membentuk dan melaksanakan
proyek serta menyusun strategi.
(3) Mampu mengenali situasi, hubungan dan medan kekuatan secara sistematis.
(4) Mampu bekerjasama, bertindak sinergik, berpartisipasi dan berbagi tugas
kepemimpinan.
(5) Mampu mengelola dan menyelesaikan konflik.
(6) Mampu mengurai atau menyusun dalam urutan dan bekerja berdasarka aturanaturan.
(7) Mampu membangun aturan-aturan yang mengatasi perbedaan-perbedaan
kultural.
Perreneud (Suparno, 2001), Hutapea dan Thoha (2008:16-19) dan Ruky
(2006:107) menjelaskan beberapa alasan pentingnya penggunaan konsep
kompetensi dalam manajemen sumber daya manusia, diantaranya :
(1)
Untuk pembentukan pekerjaan (job design) yaitu untuk memperjelas standar
kinerja, menggambarkan fungsi, peran, dan tanggungjawab pekerjaan
sehingga dapat ditentukan keterampilan, pengetahuan dan karakteristik yang
16
dibutuhkan dalam pekerjaan dan apa saja perilaku yang mempengaruhinya
untuk suksesnya suatu pekerjaan.
(2)
Untuk evaluasi pekerjaan (job evaluation)
(3)
Sebagai alat seleksi karyawan untuk memilih karyawan terbaik (recruitmen
and selection)
(4)
Pembentukan dan pengembangan organisasi (organization design and
development)
(5)
Pembentukan dan memperkuat nilai dan budaya organisasi (organization
culture), yaitu untuk menyelaraskan perilaku kerja dengan nilai-nilai
organisasi.
(6)
Untuk manajemen prestasi (performance management)
(7)
Pembelajaran organisasi (organization learning)
(8)
Untuk memaksimalkan produktifitas dan karyawan melalui mobilisasi secara
horizontal dan vertikal (productifity and mobilization)
(9)
Sebagai dasar untuk pengembangan sistem remunerasi (imbalan) yang lebih
adil (reward system).
(10) Untuk manajemen karir dan penilaian potensi karyawan (career management
and employee’s assesment)
(11) Untuk memudahkan adaptasi terhadap perubahan
yang sangat cepat
(adaptation and change)
Pengertian Kinerja
Kinerja adalah pencapaian atau tingkat keberhasilan semua hasil kerja yang
dituntut oleh karyawan atau petugas yang berkaitan dengan jabatan atau tugas
pekerjaannya dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil
kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu atau
yang sudah disepakati bersama. Pencapaian kinerja seorang pejabat atau petugas
akan menjadi ukuran tinggi atau rendahnya prestasi kerja pejabat tersebut dalam
melaksanakan tugas pekerjaannya (Padmowihardjo, 1994:12 ; Rivai dan Basri,
2005:14-15).
Blumberg dan Pringler (Stoner dan Wankel, 1986) mengatakan bahwa
kinerja merupakan fungsi perkalian dari kemampuan, motivasi, dan kesempatan
untuk berprestasi dengan rumusan: performance = (ability x motivation x
opportunity to performance). Maksud kesempatan untuk berprestasi adalah
kesempatan untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi bila mendapatkan dukungan,
17
bantuan atau fasilitas dari luar seperti kondisi tempat kerja, peralatan kerja, teman
kerja, informasi dan aturan kerja.
Menurut Ainsworth et al. (2002: 14), model kinerja sangat diperlukan dalam
mengukur kinerja pegawai. Model kinerja adalah fungsi dari role clarity (kejelasan
aturan), competence (kompetensi), environment (lingkungan), values (nilai-nilai),
preferences (pilihan-pilihan), reward (penghargaan), plus feedback (umpan balik).
Kriteria penilaian kinerja individu menurut Robin (Rivai dan Basri, 2005:14-15)
mengacu kepada tugas individu, perilaku individu, dan ciri individu.
Lusthaus et al. (2002:46) menghubungkan kinerja dengan empat aspek
yaitu : (1) performance in relation to effectiveness (hubungan kinerja dengan
efektifitas), (2) performance in relation to efficiency (hubungan kinerja dengan
efisiensi), dan (3) performance in relation to ongoing relevance (hubungan kinerja
dengan relevansi), dan (4) performance in relation to financial viability (hubungan
kinerja dengan gairah keuangan).
Gilley dan Eggland (1989) menyimpulkan bahwa kinerja seseorang memiliki
kaitan dengan kebutuhan, baik kebutuhan dasar (basic needs) maupun kebutuhan
sekunder (psychologic dan sosiologic needs). Terpenuhi dan seimbangnya ketiga
kebutuhan ini akan mendorong terjadinya kualitas sumber daya manusia yang baik
yang ditunjukan dengan kinerja yang tinggi. Terkait dengan itu, Romiszowsky
(Suciati dan
Irawan,
2001:50) mengemukakan
analisisnya
bahwa
kinerja
(performance) yang rendah dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berasal
dari dalam dan luar diri seseorang. Berbagai faktor tersebut dapat digambarkan
dengan kondisi sebagai berikut: (1) belum menguasai pengetahuan/keterampilan
tersebut, (2) sifat atau struktur tugas yang sulit atau tidak menyenangkan,
(3) konsekuensi negatif pelaksanaan suatu tugas, dan (4) jarang berlatih
menggunakan keterampilan tersebut.
Model Kompetensi dan Kinerja
Pamong Belajar
Model dapat didefinisikan sebagai representasi realitas yang kompleks dari
kenyataan atau fenomena sehingga lebih mudah dipahami. Jadi, model adalah
miniatur dari realitas (Palan, 2008:33). Sedangkan kompetensi model atau kinerja
model dapat diartikan seperangkat succes factors yang terdiri dari sejumlah perilaku
kunci yang dibutuhkan untuk melaksanakan peran tertentu untuk menghasilkan
kinerja yang memuaskan (Ruky, 2006:111).
18
Banyak
ahli
berpandangan
bahwa
kompetensi
seseorang
menghasilkan kinerja (competency=performance). Oleh karena itu
akan
membangun
model kompetensi dalam organisasi sangat perlu untuk : (1) menyediakan sarana
dalam menerapkan kompetensi sesuai tujuan organisasi, (2) memahami peubahpeubah yang menentukan kinerja dan korelasi di antara variabel tersebut, dan
(3) menyebarkan kompetensi secara cepat dalam sebuah organisasi. Pada
dasarnya sebuah model tersebut harus mampu mendefinisikan tuntutan inti semua
karyawan, standar hanya pada tingkat atau peran tertentu dalam organisasi (Palan,
2008:24-35).
Ruky (2006:112) menjelaskan bahwa ada dua cara umum untuk membagun
kompetensi model, yaitu :
(1) Membangun kompetensi model generik, bersumber dari Inggris yaitu dengan
menyepakati kompetensi model tiap-tiap jabatan dan menetapkannya sebagai
standar untuk berbagai keperluan
(2) Membangun kompetensi model Amerika, yaitu dengan cara menggunakan data
yang dikumpulkan dari sejumlah sampel yang kemampuan dan prestasi kerja
paling superior atau paling menonjol. Kemudian mereka diteliti untuk
mengetahui apa yang mereka miliki atau lakukan, yang orang lain tidak, yang
menyebabkan mereka mencapai kinerja unggul.
Model yang banyak digunakan dewasa ini adalah model Amerika. Model
pengumpulan datanya dijelaskan lebih lanjut oleh Palan (2008:40-41) yaitu melalui :
(1) panel ahli, wawancara kejadian perilaku karyawan unggul, dan (2) kamus
kompetensi generik yang dibuat oleh konsultan. Masalahnya, model ini sulit
direalisasikan bila pemegang jabatan dalam organisasi tersebut hanya satu orang.
Berkaitan dengan upaya peningkatan kompetensi dan kinerja Pamong
Belajar, model kompetensi dan kinerja merupakan kerangka acuan dalam
pengembangan perilaku Pamong Belajar. Menurut Hutapea dan Thoha (2008:3842), untuk mengubah perilaku perlu digunakan pendekatan atau perlakuan
(treatment) yang dapat menyentuh persepsi dan nilai (value) yang dimiliki oleh
seseorang yang terletak tersembunyi dalam dirinya. Oleh karena itu perubahan
perilaku kerja produktif memerlukan waktu yang cukup panjang dan proses yang
tepat. Menurut Skinner (Hutapea dan Thoha, 2008:38-42), perubahan perilaku ini
dilakukan
dengan
mengkombinasikan
tindakan
penguatan
(reinforcement),
pengulangan (repetition), dan pengarahan (coaching). Tindakan penguatan dapat
dilakukan melalui penegakan aturan organisasi, pemberian reward & punishment.
19
Pamong Belajar merupakan tenaga pendidikan nonformal yang dapat
berfungsi sebagai penyuluh. Sebagai tenaga penyuluh dan agen perubahan dalam
pembinaan industri kecil, maka Pamong Belajar dapat menerapkan beberapa
prinsip sebagaimana yang dijabarkan oleh Lippitt et al. (1958:91–122), di
antaranya: diagnosa masalah klien, motivasi, pemilihan alternatif, memilih peran
yang sesuai, memelihara hubungan dengan klien, mengarahkan perubahan, dan
memilih teknik yang spesifik sesuai prilaku klien.
PP Nomor 19 Tahun 2005 menyebutkan bahwa pendidik dan tenaga
kependidikan harus memiliki kualifikasi dan potensi akademik, memiliki kompetensi
sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta mampu mewujudkan
wajib belajar pendidikan nasional. Berdasarkan PP tersebut, Direktorat Pendidik
dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Non Formal menetapkan standar kompetensi
Pamong Belajar sebagai berikut:
(1) kompetensi teknis,
(2) kompetensi
pengembangan profesi, (3) kompetensi akademik, (4) kompetensi personal dan
profesional; dan (5) kompetensi budaya.
Dalam menjalankan tugasnya sebagai agen pembaharu maka Pamong
Belajar dalam melakukan kegiatan pembinaan perlu memahami sebuah konsep
pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Menurut Chambers
(Kartasasmita, 1997), konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan,
yakni yang bersifat "people-centered, participatory, empowering, and sustainable"
Nangoi (2004:9-11) menjelaskan bahwa terdapat tiga aspek utama dalam
strategi
pembinaan industri kecil, yaitu: (1) pembinaan melalui training,
(2) pembinaan melalui perbaikan manajemen, dan (3) pembinaan melalui
pendekatan latihan dan pengembangan.
Senada dengan itu, Hubeis (1997:45-46) mengatakan bahwa diperlukan
lima aspek dalam strategi pembinaan industri kecil agar lebih profesional di era
globalisasi, yaitu: (1) peningkatan pemahaman (cara berpikir) tentang proses
pembuatan keputusan, (2) peningkatan kemampuan mengenali lingkungan untuk
mencari dan menciptakan peluang usaha, (3) menciptakan keunggulan dalam
persaingan, (4) memilih dan menjalin kerjasama usaha melalui berbagai jalur
kemitraan, dan (5) peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pembinaan
(empowerment) dan pembinaan kelembagaan (pelatihan, magang, dan inkubasi
bisnis).
Berdasarkan pendapat pakar di atas, maka dapat analogikan bahwa untuk
suksesnya seorang Pamong Belajar dalam membina industri kecil perlu memiliki
20
model kompetensi dengan elemen-elemen sebagai berikut: (1) kemampuan
menganalisis masalah usaha industri kecil, (2) kemampuan menganalisis
kebutuhan industri kecil, (3) kemampuan menganalisis sumber daya pada industri
kecil, (4) kemampuan berinteraksi sosial dengan industri kecil dan masyarakat di
sekitarnya, (5) kemampuan dalam kegiatan instruksional, dan (6) kemampuan
dalam mengakses teknologi informasi.
Berdasarkan pendapat pakar di atas juga dapat dirumuskan model kinerja
Pamong Belajar sehubungan dengan kegiatan pembinaan industri kecil, yaitu:
(1) penyusunan disain kegiatan pembinaan, (2) penumbuhan dan pengembangan
produk, (3) penumbuhan jejaring dan kemitraan usaha, (4) pembentukan
kelembagaan ekonomi, (5) pembentukan kemandirian dan kerberlanjutan usaha,
dan (6) evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut kegiatan.
Antara model kompetensi dan model kinerja Pamong Belajar tersebut harus
serasi dan singkron. Kompetensi menurut Palan (2008:123) bersifat enabler. Pada
seseorang yang kompeten ia menjadi mampu (able) memberikan hasil sesuai
standar atau model yang telah ditetapkan organisasi. Oleh karena itu tidak selalu
kompetensi akan menghasilkan kinerja sesuai standar, karena kinerja juga akan
dipengaruhi oleh tuntutan kerja, lingkungan, dan faktor lain.
Konsepsi Pembinaan
Konsep-konsep yang dikembangkan dalam kegiatan pembinaan masyarakat
mengacu kepada konsep pemberdayaan masyarakat. Konsep pemberdayaan
masyarakat merupakan paradigma pembangunan yang dilandasi oleh paradigma
pembangunan sosial-demokrat dan menentang paradigma pembangunan neoliberal. Menurut Syahyuti (2006:96), paradigma sosial-demokrat menekankan
kepada adanya intervensi untuk peningkatan kapasitas individu (capacity building)
melalui proses pendidikan dan pelatihan agar terjadinya peningkatan kesadaran,
pengetahuan, dan keterampilan individu dan masyarakat. Sebaliknya paradigma
neo-liberal menekankan pada pasar bebas dan menyerahkan sepenuhnya
perubahan
tersebut
kepada
masyarakat dan
mengurangi campur tangan
pemerintah.
Cook dan Macaulay (1997:99) memandang bahwa dalam pemberdayaan
hal yang vital untuk merealisaikan pemberdayaan ke dalam tindakan adalah
pendidikan dan pelatihan. Dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan setiap
orang yang diberdayakan mendapat keyakinan dan bertanggung jawab terhadap
21
keputusannya yang dalam pekerjaannya. Pengalaman membuktikan diperlukan
investasi besar dalam pendidikan dan pelatihan sebagai bagian dari empowerment
yang berhasil.
Pengertian Pemberdayan Masyarakat
Istilah “empowerment” telah lahir semenjak pertengahan abad ke-17 dengan
makna “to invest with authority, authorize.” Dalam pengertian umum adalah “to
enable or permi” atau “leading people to learn to lead themselves.” Dari banyak
batasan tersebut ada yang memfokuskan kepada pemberdayaan individu yaitu
suatu proses untuk meningkatkan kemampuan individu. Seseorang dikatakan telah
“empowered” ketika misalnya ia telah dapat memimpin dirinya sendiri.
Pranarka (Sulistiyani, 2004) mengatakan bahwa makna kata “pemberian”
sebagai makna dari kata “to give power or authority” atau “to give ability to or
enable” menunjukkan bahwa sumber inisiatif bukan dari masyarakat. Inisiatif untuk
mengalihkan daya/kemampuan/kekuatan adalah pihak-pihak lain yang memiliki
kekuatan dan kemampuan, misalnya pemerintah atau agen-agen pembangunan
lainnya. Pemberdayaan membahas tentang individu, kelompok, atau komunitas
berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk
membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Intinya adalah
“kemandirian”.
Dari sisi pembangunan ekonomi, pendekatan pemberdayaan memfokuskan
kepada
upaya
untuk
memobilisasi
kemampuan
sendiri
golongan
miskin,
dibandingkan dengan menyediakan program kesejahteraan sosial untuk mereka.
Dalam bidang politik pemberdayaan adalah perjuangan untuk menegakan hak-hak
sipil serta kesetaraan gender. Hal ini berarti bahwa “pemberdayaan” adalah proses
untuk meningkatkan asset dan kemampuan secara individual maupun kelompok
suatu masyarakat. Masyarakat yang telah berdaya (empowered) diindikasikan oleh
adanya pemilikan kebebasan dalam membuat pilihan dan tindakan sendiri
(Syahyuti, 2006).
Menurut Sumodiningrat (1999:16-254), pemberdayaan masyarakat berarti
meningkatkan kemampuan atau meningkatkan kemandirian masyarakat,
bukan
hanya meliputi penguatan individu masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya,
menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan,
sikap bertanggungjawab, memperkuat kelembagaan masyarakat agar rakyat
mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan dalam suasana
22
keadilan sosial yang berkelanjutan. Dalam kerangka itu, pemberdayaan masyarakat
dilakukan dalam tiga jurusan. Pertama, bagaimana menciptakan iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling), kedua, penguatan
potensi dan daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering), dan ketiga,
pemberdayaan berarti melindungi, artinya yang lemah harus dicegah untuk tidak
menjadi makin lemah karena kurang berdaya dalam menghadapi yang kuat.
Hubeis
(2000:12)
mengatakan
bahwa
pemberdayaan
masyarakat
(community empowerement) adalah perwujudan capacity building masyarakat yang
bernuansa pada pemberdayaan sumberdaya manusia melalui pengembangan
kelembagaan pembangunan mulai dari tingkat pusat sampai tingkat perdesaan
seiring dengan pembangunan sistem sosial ekonomi rakyat, prasarana dan sarana,
serta
pengembangan
Tiga-P
(pendampingan,
penyuluhan,
pelayanan).
Pendampingan dapat menggerakkan partisipasi total masyarakat, penyuluhan
dapat merespon dan memantau ubahan-ubahan yang terjadi di masyarakat, dan
pelayanan
berfungsi
sebagai
unsur
pengendali
ketepatan
distribusi
aset
sumberdaya fisik dan non fisik yang diperlukan masyarakat.
Pembinaan Industri Kecil
Industri kecil merupakan salah satu alternatif bentuk usaha yang dipilih oleh
masyarakat pada negara-negara berkembang di samping sektor budidaya
pertanian. Di Indonesia, industri kecil banyak ditekuni masyarakat perdesaan dan
perkotaan yang dilaksanakan secara padat karya sehingga menyerap tenaga kerja
cukup besar. Industri kecil juga memanfaatkan potensi sumber daya lokal berupa
bahan baku, tenaga kerja, peralatan, metode, atau seni, dan budaya lokal. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa industri kecil yang berbasis pada sumber daya
lokal dan menerapkan indigenous technology ini berpotensi untuk dikembangkan
secara partisipatif.
Menurut Pickle dan Abrahamson (1989:10), sebuah usaha dikatakan
sebagai usaha kecil apabila usaha tersebut mempunyai kriteria sebagai berikut :
(1) manajemennya bebas (biasanya menejer juga sebagai pemilik), (2) dukungan
dan kepemilikan modal oleh seorang individu atau oleh sebuah kelompok kecil,
(3) daerah operasinya pada daerah setempat dimana pekerja dan pemilik berada
dalam satu anggota keluarga, dan (4) ukurannya relatif kecil.
Senada dengan itu Bantacut (Haeruman et al., 2001) mengartikan industri
kecil sebagai badan usaha yang menjalankan proses produksi untuk menghasilkan
23
barang dan jasa dalam skala kecil. Apabila dilhat dari sifat dan bentuknya, maka
industri kecil bercirikan: (1) berbasis pada sumber daya lokal sehingga dapat
memanfaatkan potensi secara maksimal dan memperkuat kemandirian, (2) dimiliki
dan dilaksanakan oleh masyarakat lokal sehingga mampu mengembangkan
sumberdaya manusia, (3) menerapkan teknologi lokal (indigenous technology)
sehingga dapat dilaksanakan dan dikembangkan oleh tenaga lokal, dan (4) tersebar
dalam jumlah yang banyak sehingga merupakan alat pemerataan pembangunan
yang efektif.
Menurut Basri (2002), industri mikro dan kecil sebagai bagian dari usaha
kecil dan menengah (UKM) dapat bertahan malah semakin berkembang di masa
kehancuran ekonomi Indonesia dewasa ini disebabkan oleh beberapa hal :
(1) Sebagian besar industri mikro dan kecil menghasilkan barang-barang konsumsi
(consumer goods), yang dicirikan oleh permintaan terhadap perubahan
pendapatan (income elasticity of demand) yang relatif rendah, artinya
peningkatan dan
terhadap
penurunan pendapatan masyarakat tidak berpengaruh
permintaan
barang.
Dengan
kata
lain
krisis
ekonomi tidak
mempengaruhi permintaan barang-barang yang dihasilkan industri mikro dan
kecil
(2) Mayoritas industri mikro dan kecil mengandalkan pada non-banking-financial
dalam aspek pendanaan usaha. Oleh karena itu kehancuran perbankan
nasional tidak mempengaruhi industri mikro dan kecil.
(3) Umumnya industri mikro dan kecil melakukan spesialisasi produksi yang ketat,
artinya hanya memproduksi barang tertentu saja. Modal yang terbatas menjadi
salah satu faktor yang melatarbelakanginya, struktur pasar yang dihadapi
adalah struktur pasar yang sempurna (banyak produsen dan banyak
konsumen), sehingga mereka terbiasa dengan persaingan yang sangat ketat.
Satria (1997:464) mengatakan bahwa industrialisasi terutama di pedesaan
seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai upaya pembangunan industri secara
fisik, tetapi juga pembangunan industri secara budaya. Pola-pola pengembangan
usaha pertanian yang selama ini dilakukan masyarakat desa seyogyanya tidak
terpaku pada proses budidaya semata tetapi hendaklah diarahkan kepada
pengembangan nilai produk pertanian tersebut melalui industrialisasi, misalnya
membuat berbagai produk makanan olahan.
Menurut Firdausy (1997:73), dalam pengembangan perekonomian rakyat,
ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, yaitu: (1) memberikan dorongan untuk
24
menciptakan kegiatan ekonomi, tidak hanya untuk kepentingan konsumsi sendiri,
tetapi juga peningkaan pendapatan masyarakat itu sendiri (income generating
program), (2) memberikan akses terhadap pasar dan fasilitas pemasaran (seperti
pasar tradisional dan modern), (3) memberikan akses kepada fasilitas pembiayaan;
(4) membangun kerjasama ekonomi baik berupa koperasi maupun kemitraan, dan
(5) akses terhadap fasilitas non ekonomi seperti pendidikan, kesehatan, dan
legalitas usaha. Hal ini dapat dilakukan dengan pendidikan latihan kewirausahaan
dan manajerial sampai mereka dapat mandiri.
Firdausy (1997:70) mengatakan lebih lanjut bahwa dalam perbaikan
kebijakan ekonomi daerah diperlukan peningkatan ekspor dan investasi di daerah.
Dalam peningkatan ekspor di daerah fokus perhatian harus ditekankan pada sektor
unggulan, sedangkan dalam sektor investasi ditekankan pada sektor andalan dan
sektor unggulan. Selanjutnya, potensi yang dimiliki oleh masyarakat juga perlu
ditingkatkan agar masyarakat dapat meningkatkan kondisi sosial ekonominya.
Nangoi (2004:58) juga mengatakan bahwa dalam pembinaan masyarakat
industri perlu dikembangkan paradigma masyarakat pengetahuan. Hal ini dapat
mengacu kepada sesuatu yang terjadi sekarang yakni negara maju identik dengan
negara industri, tentunya hal ini berbasis kepada pengetahuan yang dimiliki
masyarakatnya.
Riyanti (2003:127) dalam penelitiannya mengiventarisasi beberapa indikator
atau sifat yang mesti dikembangkan oleh seorang wirausahawan agar usahanya
berhasil dengan baik, yaitu : sifat instrumental, sifat prestatif, keluwesan bergaul,
kerja keras, keyakinan diri, berani mengambil resiko, swa-kendali, inovatif, dan
mandiri. Utami (2007) menyimpulkan bahwa model pembinaan yang efektif bagi
beberapa pengrajin kulit yaitu dengan peningkatan kualitas perilaku usaha dan
kemandirian usaha, dan adanya kelembagaan usaha melalui dukungan dari
pemerintah daerah, organisasi non pemerintah, dan berbagai lembaga penelitian/
Perguruan Tinggi.
Konsepsi Kewirausahaan
Pengertian Kewirausahaan
Kata kewirausahaan (entrepreneurship) berasal dari bahasa Perancis yaitu
kata “entrepreneur”
yang diturunkan dari kata “enterprendre.” Dalam bahasa
Indonesia, kata “wirausaha” berasal dari kata “wira” (gagah berani, perkasa) dan
”usaha.” Jadi ”wirausaha” berarti orang yang perkasa dan mandiri dalam berusaha.
25
Pengertian
kewirausahaan
(entrepreneurship)
yang
lebih
lengkap
dikemukakan oleh Kao (1989: 91), yaitu :
“entrepreneurship is the attempt to create values through recognition of
business opportunity, the management of risk-taking appropriate to the
opportunity, and through the communicative, and management skills to
mobilize human, financial, and material resources necessary to bring a
project to fruition.”
Artinya, kewirausahaan merupakan usaha untuk menciptakan nilai-nilai
melalui pemanfaatan peluang bisinis, pengelolaan terhadap kemungkinan resiko,
komunikasi, dan kemampuan manajemen dalam hal menggerakkan orang-orang,
keuangan, dan sumber daya material yang diperlukan untuk mencapai sebuah
keberhasilan.
Schumpeter (Rachmadi, 2005) mengatakan bahwa seseorang dikategorikan
sebagai seorang wirausahawan apabila orang tersebut mampu dan mau
mengkonversikan ide-ide baru ke dalam bentuk inovasi-inovasi baru sehingga
menghasilkan suatu produk baru.
Pendidikan Kewirausaan
Dalam proses transfer ilmu pengetahuan ada tiga peubah utama yang saling
berkaitan, yaitu guru, kurikulum, dan pengajaran/instruksional. Guru menempati
kedudukan sentral, oleh karena itu peranan guru, dalam hal ini Pamong Belajar,
perlu mendapatkan perhatian khusus agar proses pembelajaran di bidang
kewirausahaan dapat berjalan dengan baik. Materi kewirausahan merupakan materi
pokok yang harus diberikan oleh Pamong Belajar dalam kegiatan pembinaan
ekonomi masyarakat/industri kecil. Kompetensi Pamong Belajar dalam instruksional
kewirausahaan mencakup kemampuannya dalam hal: (1) menyusun tujuan
pembelajaran, (2) menetapkan bahan/materi ajar, (3) menetapkan metode dan alat
pembelajaran, dan (4) melakukan evaluasi/penilaian. Keempat komponen ini tidak
berdiri sendiri tetapi saling berhubungan dan saling medukung satu sama lain.
Dahulu orang beranggapan bahwa kewirausahaan adalah bakat bawaan
sejak lahir (entrepreneurship are born not made) dan hanya diperoleh dari hasil
praktek ditingkat lapangan dan tidak dapat dipelajari dan diajari, tetapi sekarang
kewirausahaan merupakan suatu disiplin ilmu yang dapat dipelajari dan diajarkan.
Menurut Meredith et al. (1996), seorang wirausahawan juga memiliki sifat :
(1) percaya diri, (2) berorientasikan tugas dan hasil, (3) berani mengambil resiko;
(4) kepemimpinan, (5) keorisinilan, dan (6) berorientasi masa depan. Menurut Bird
26
(1996), perilaku wirausaha adalah aktivitas wirausahawan yang mencermati
peluang (opportunities), mempertimbangkan dorongan nilai dalam lingkungan
usahanya (value-driven), siap menerima resiko dan kreatif, gagasan-gagasannya
disesuaikan
dengan
format
dimulainya
bisnis,
pertumbuhan
usaha
atau
transformasi bisnis.
Untuk melahirkan seorang wirausahawan melalui proses pendidikan
kewirausahaan, kita dapat mengacu kepada pendapat Spencer dan Spencer
(1993:222-224) yang mengatakan bahwa seorang wirausahawan mesti mempunyai
kompetensi tertentu, yaitu :
(1) Prestasi (achievement),
yang terdiri dari : inisiatif, melihat dan bekerja
berdasarkan peluang, peristensi, mencari informasi, konsern pada kualitas
kerja, komit pada kontrak kerja, dan berorientasikan efesiensi.
(2) Berpikir dan memecahkan masalah (thinking and problem solving), yaitu berpikir
dan memecahkan masalah dengan perencanaan dan pemecahan masalah
yang sistemais
(3) Kematangan pribadi (personal maturity), yang terdiri dari percaya diri, keahlian,
keterbatasan pengakuan
(4) Pengaruh (influence), yang terdiri dari sifat persuasif dan penggunaan siasat .
(5) Pengarahan dan pengendalian (directing and contolling), yang terdiri dari
kepekaan dan monitoring.
(6) Berorientasi pada sesama (orientation to others), yang terdiri dari kredibilitas,
integritas, keilmiahan, konsern pada kesejahteraan karyawan, pengakuan pada
relasi bisnis yang penting, dan penyediaan pelatihan karyawan.
(7) Kompetensi
tambahan
(additional
competencies),
yang
terdiri
dari
pembentukan modal, konsern pada citra pproduk dan pelayanan.
Konsepsi Karakteristik Individu
Pemahaman tentang karakteristik individu terkait dengan teori-teori dasar
(grand theory) di bidang psikologi kepribadian. Beberapa teori kepribadian yang
relevan menurut Salkind (1985:11-19) adalah teori perkembangan oleh Gesell
(1920) dan Lorenz (1940), kemudian teori psikoanalisis yang dikemukakan oleh
Freud (1930) dan Erikson (1955). Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) dan
Spencer dan Spencer (1993), secara definitif, karakteristik pribadi/individu
merupakan bagian dari individu yang melekat pada diri seseorang yang mendasari
27
tingkah laku orang tersebut yang dibutuhkan dalam suatu kriteria atau situasi
tertentu.
Karakteristk pribadi meliputi umur, jenis kelamin, posisi, jabatan, motivasi,
status sosial, dan agama (Mardikanto, 1993:213). Umur, pendidikan, status sosial
ekonomi, pola hubungan, dan sikap mempengaruhi proses inovasi seseorang
(Slamet, 2003:16). Menurut Freud (Salkind, 1985:11-19), ada tiga komponen dalam
kepribadian manusia, yaitu : id, ego, dan super ego. Dengan bertambahnya umur,
pengalaman atau proses belajar yang panjang, orang sudah mampu mengalahkan
id, ego, dan superegonya. Havigusrt (1972) dengan teori perkembangannya
mengatakan bahwa dengan mempelajari masa perkembangan kita dapat
mengetahui siap-tidaknya seseorang untuk belajar, sehingga dapat dihindari
terjadinya kegagalan belajar. Pada saat tertentu, keinginan untuk belajar seseorang
akan sangat besar atau bisa menurun.
.
Umur
Baron dan Greenberg (1990:169) mengatakan bahwa umur dan masa kerja
seseorang berpengaruh tehadap kinerjanya. Kepuasan kerja akan meningkat
sejalan dengan bertambahnya umur (Schultz dan Schultz, 1994:277). Tingkat
kepuasan kerja pegawai yang lebih muda cenderung lebih rendah dibandingkan
dengan pegawai yang lebih tua karena pegawai yang lebih muda sering kali
mempunyai harapan yang tinggi ketika memasuki dunia kerja (Luthans, 1989:181),
namun menurut Padmowihardjo (1994), umur sendiri bukan merupakan faktor
psikologis, tetapi hal-hal yang diakibatkan oleh umur itu adalah faktor-faktor
psikologis dalam belajar. Umur 25 tahun adalah umur yang optimal untuk belajar.
Pada umur 46 tahun kemampuan belajar mulai menurun dan akan menurun drastis
setelah umur 60 tahun.
Hasil
perpaduan
antara
karakteristik
dengan
pengalaman
belajar
menjadikan perbedaan yang sangat besar pada kemampuan setiap orang
(Lionberger dan Gwin, 1982;8). Hasil penelitian Sachie (Salkind, 1985:32)
menunjukkan bahwa pebedaan umur membawa perbedaan dalam kematangan.
Disimpulkan oleh Salkind (1985:31) bahwa umur krononologis merupakan acuan
untuk mengetahui tingkat perkembangan individu. Hal itu karena umur krononologis
mudah dan akurat ditentukan sehingga tingkat perkembangan individu dapat
diamati dengan menggunakan kriteria munculnya kinerja atau kemampuan tertentu
dalam umurnya.
28
Masa Kerja
Rakhmat (1999:21) mengatakan bahwa pengalaman adalah satu-satunya
jalan kepemilikan pengetahuan (aliran filsafat empirisme). Secara psikologis seluruh
perilaku manusia, kepribadian, dan temperamen ditentukan oleh pengalaman
inderawi (sensory experience).
Sejalan
dengan
itu,
Padmowihardjo
(1994:19)
menjelaskan
bahwa
pengaturan pengalaman yang dimiliki seseorang sebagai hasil belajar selama
hidupnya dapat digambarkan dalam otak manusia. Seseorang akan berusaha
menghubungkan hal-hal yang dipelajari dengan pengalaman yang dimiliki dalam
proses belajar.
Pengalaman
yang
menyenangkan
dan
memuaskan
akan
berdampak pada hal positif bagi perilaku yang sama dan akan diterapkan pada
situasi berikutnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masa kerja terkait dengan
pengalaman. Pengalaman merupakan sumber belajar bagi seseorang yang dapat
digunakannya untuk mengatasi berbagai persoalan dalam pekerjaan. Khusus bagi
Pamong Belajar pengalaman yang berkaitan pengelolaan usaha yang dilakukan
sendiri akan berpengaruh terhadap kemampuannya dalam mengelola program
pembinaan industri kecil.
Pendidikan Formal
Program pendidikan yang baik akan membuat perbedaan besar dalam
standar hidup, kebudayaan, dan kebebasan suatu bangsa. Pelayanan publik yang
baik hanya dapat terwujud apabila didukung oleh pendidikan yang baik. Sejalan
dengan
itu,
Slamet
(2003:12)
mengungkapkan
bahwa
masyarakat
perlu
dipersiapkan melalui program-program pendidikan agar mampu menerima dan
berpartisipasi secara aktif dalam setiap usaha pembangunan.
Menurut Gonzales (Jahi, 1988), pendidikan juga merupakan suatu faktor
yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan dan menggambarkan tingkat
kemampuan
kognitif.
Semakin
tinggi
tingkat
pendidikan
seseorang,
ada
kecenderungan semakin tinggi pula pengetahuan, sikap, dan keterampilan, efisiensi
bekerja, dan semakin banyak tahu cara-cara dan teknik bekerja yang lebih baik dan
lebih menguntungkan (Slamet, 2003:40; Mardikanto, 1993:213).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan menunjukkan tingkat
intelegensi yang berhubungan dengan daya pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat
29
pendidikan seseorang semakin luas pengetahuannya dan semakin kuat pula daya
pikirnya.
Pendidikan Nonformal
Menurut Buchori (1994:8), terdapat dua proses pendidikan yaitu yang
disengaja dan terencana, dan yang tidak disengaja dan tidak direncanakan.
Pendidikan formal dan nonformal merupakan pendidikan yang disengaja sehingga
hal itu dapat dikatakan sebagai suatu upaya, sedang pendidikan informal (termasuk
pendidikan di lingkungan keluarga) merupakan pendidikan yang tidak disengaja dan
tak terencana sehingga lebih merupakan suatu kejadian/peristiwa.
Perpaduan pendidikan formal, non formal dan
informal menjadi penting
dalam meningkatkan kualitas belajar seseorang (Ranaweera, 1994). Pendidikan
nonformal adalah setiap kegiatan pendidikan di luar sistem pendidikan formal yang
diorganisasikan dan sistematis, yang dilaksanakan di luar jaringan sistem formal
untuk menyediakan tipe pelajaran yang dipilih untuk sub kompok tertentu dalam
masyarakat, baik bagi orang dewasa mapun bagi anak-anak (Blanckenburg,
1988:17). Pendidikan nonformal berorientasi pada ciri-ciri warga belajar dalam
mencapai tujuan pendidikannya (Ruwiyanto, 1994:65).
Pendidikan nonformal dalam penelitian ini adalah pendidikan nonformal
yang didapatkan Pamong Belajar melalui pelatihan, magang, kursus, penataran,
dan berbagai pendidikan keterampilan teknis lainnya yang dapat meningkatkan
kemampuannya dalam kegiatan pembinaan ekonomi masyarakat atau pengrajin
industri kecil.
Kekosmopolitan
Mardikanto (1993:350) mengemukakan bahwa kekosmopolitan merupakan
hubungan seseorang dengan lingkungan luar di luar sistem sosialnya yang dapat
dilihat dari frekuensi dan jarak kegiatan bepergian maupun pemanfaatan media
massa. Bagi masyarakat yang memiliki tingkat kekosmopolitan tinggi akan
cenderung lebih mudah mengadopsi inovasi di banding dengan masyarakat yang
tingkat kekosmopolitannya rendah (lokalit). Orang yang kosmopolitan relatif tinggi
lebih terbuka terhadap ide, gagasan, pengetahuan dan informasi dari luar. Dalam
penelitian ini yang dimaksud dengan kekosmopolitan adalah sikap keterbukaan
Pamong Belajar dalam menerima informasi melalui hubungan mereka dengan
30
berbagai sumber informasi, frekuensi bepergian ke luar daerah, maupun dalam
pemanfaatan media massa.
Persepsi pada Pekerjaan
Persepsi adalah sebuah proses pengamatan, seleksi, dan pengorganisasian
rangsangan yang diterima secara konstan dan pembuatan interpretasi atas
rangsangan tersebut (Lewis, 1987:107-109). Persepsi dapat sebagai penghambat
dan mempermudah dalam berkomunikasi, dapat berupa persepsi langsung dan
persepsi tak langsung. Menurut Heider (Aloliliweri, 1991:176), persepsi langsung
terkait dengan pemaknaan objek fisik, sedangkan persepsi tak langsung terkait
dengan komunikasi antar pribadi yang dipengaruhi oleh peubah individu maupun
kondisi komunikasi. Oleh karena persepsi bersifat kompleks, kita cenderung
memperhatikan salah satu stimuli tertentu dari seseorang, padahal seseorang
tersebut makhluk hidup cenderung mengalami perubahan sehingga persepsi pun
menjadi mudah salah (Rakhmat, 1999:81).
Menurut Litterer (Asngari, 1984:12-23), persepsi adalah :
”the understanding or view people have of things in the world around them.
One of the basic factors in perception is the ability of people to take a limited
number of facts and pieces of information and fit them into a whole picture.
This proces of closure plays a central role in perception.“
Persepsi orang itu dipengaruhi oleh pandangan seseorang pada suatu
keadaan, fakta, atau tindakan. Orang bertindak sebagian dilandasi oleh persepsi
mereka pada suatu situasi. Walaupun seseorang hanya mendapat bagian-bagian
informasi, dia dengan cepat menyusunnya menjadi suatu gambaran yang
menyeluruh. Ada keinginan atas kebutuhan manusia untuk mengetahui dan
mengerti dunia tempat hidup, dan mengetahui makna dari informasi yang
diterimanya. Karena itu, individu perlu mengerti dengan jelas tugas dan tanggung
jawab yang dipikulkan kepadanya.
Persepsi
seorang
pegawai
pada
pekerjaan
akan
mempengaruhi
komitmennya pada pekerjaan tersebut. Menurut Schatz dan Schatz (1986),
komitmen yang tinggi biasanya ditunjukkan dengan loyalitas dan kemampuan kerja
yang tinggi pula. Menurut Steers dan Porter (Djati, 2002:25), loyalitas tersebut
bukan loyalitas pasif, tetapi juga loyalitas yang melibatkan hubungan yang aktif
dengan organisasi kerja untuk keberhasilan organisasi bersangkutan dalam
menjalankan misinya.
31
Konsepsi Pendidikan dan Pelatihan
Untuk memahami efektifitas dari suatu kegiatan pendidikan dan pelatihan
perlu dipahami berbagai teori besar (grand theory) tentang belajar. Menurut Salkin
(1985) ada beberapa teori belajar, misalnya teori belajar Stimulus Respon oleh
Thorndike (1903) , teori belajar Learning Condition oleh Gagne (1968), teori belajar
Discovery Learning oleh Bruner (1966), teori belajar Cognitive Learning oleh
Ausubel (1970), teori belajar Social Learning oleh Bandura (1977), dan Penyadaran
Naif-Transitif–Kritis oleh Paulo Freire (Roger, 1969). Pendekatan belajar dalam
pendidikan dan pelatihan yang tepat bagi Pamong Belajar adalah pendekatan
belajar orang dewasa, bersifat humanistik, dan berfokus kepada pembelajar
(student centered learning. Rogers (Good dan Brophy, 1990:465) mengemukakan
bahwa pada dasarnya manusia mempunyai potensi alami untuk belajar.
Pengertian Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan, pelatihan dan pengembangan merupakan kegiatan penting
dalam suatu organisasi untuk mempertahankan, menjaga, dan memelihara pegawai
dalam organisasi, kemudian meningkatkan keahlian serta kompetensi para pegawai
untuk kemudian dapat meningkatkan produktivitas kerjanya.
Menurut Gilley dan Eggland (1989:7), pendidikan (education) diartikan
sebagai pembelajaran yang diberikan untuk meningkatkan kinerja seseorang pada
sebuah pekerjaan di kemudian hari atau untuk memungkinkan seseorang akan
menerima tanggung jawab dan atau tugas-tugas baru, sedangkan pelatihan
(training) merupakan pembelajaran yang diberikan dalam pekerjaannya untuk
meningkatkan kinerja pada pekerjaannya sekarang. Pengembangan (development)
merupakan pembelajaran yang tidak terkait dengan pekerjaan utama seseorang
tetapi mempunyai pengaruh pada pekerjaannya di masa sekarang dan masa
datang.
Menurut Rivai dan Sagala (2009:211), pelatihan merupakan bagian dari
pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan
keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif
singkat dengan metode yang lebih mengutamakan pada praktek dari pada teori dan
bentujuan untuk kebutuhan pekerjaan pada saat ini. Keterampilan yang dimaksud
adalah physical skill, intelectual skill, social skill, managerial skill, dll.
Pelatihan merupakan upaya untuk memperbaiki performansi pekerja pada
suatu pekerjaan tertentu yang menjadi tanggung jawabnya (Bernadin dan Russel,
32
1993:297). Pelatihan secara bersamaan harus dirancang untuk mewujudkan tujuan
organisasi dan tujuan pekerja secara individu, mencakup pengalaman belajar (learn
experience), aktivitas-aktivitas terencana (be a planned organization) dan dirancang
berdasarkan kebutuhan (Hersey dan Blanchard, 1990:78). Pada dasarnya indikator
mutu seorang karyawan adalah derajad pendidikan, pengetahuan, sikap, dan
keterampilan, dan motivasi karyawan yang bersangkutan (Mangkuprawira dan
Hubeis, 2007:69).
Manajemen Pendidikan dan Pelatihan
Menurut Azizy (2007:114), diklat Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus diubah
dari diklat yang menekankan kepatuhan (compliance) menjadi diklat khusus yang
menekankan keterampilan, pengetahuan, dan moralitas (karakter, integritas,
mentalitas, dan dedikasi).
Mengacu kepada pendapat Bernadin dan Russel (1993:111-112) dan Gilley
dan Eggland (1989:29-31), ada empat aktivitas dalam program pelatihan, yaitu:
(1) penilaian kebutuhan pelatihan (need assesment) yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi apakah program pelatihan dibutuhkan atau tidak,
(2) pengembangan program pelatihan (development) yang bertujuan untuk
merancang lingkungan pelatihan dan metode-metode yang dibutuhkan guna
mencapai tujuan pelatihan, dan (3) evaluasi program pelatihan (evaluation) yang
bertujuan untuk menguji dan menilai apakah program pelatihan telah dilaksanakan
secara efektif dan mampu mencapai tujuan yang diharapkan, dan (4) kegiatan
pengajaran (instruction).
Simamora (1996:48-49) mengemukakan bahwa tujuan pelatihan dan
pengembangan adalah : (1) memperbaiki kinerja, (2) pemutakhiran keterampilan
karyawan sesuai perkembangan teknologi, (3) mengurangi waktu belajar bagi
karyawan baru supaya menjadi kompeten, (4) membantu untuk memecahkan
persoalan operasional, (5) mempersiapkan karyawan untuk promosi, dan (6) untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi.
Untuk
mencapai hasil yang
maksimal,
maka
kebutuhan
pelatihan
merupakan hal yang mutlak dikaji sebelum pelatihan dimuai. Kebutuhan pelatihan
didefinisikan oleh Rae (1990:12); Halim dan Ali (1997:137); Mangkuprawira dan
Hubeis (2007:85) yaitu sebagai kondisi kesenjangan atau kekurangan antara
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dikuasai saat ini dengan yang
seharusnya dimiliki. Kesenjangan tersebut menjadi masalah yang mengawali
33
munculnya perbedaan antara kinerja yang diharapkan dengan kinerja yang
ditampilkan. Menurut Davies (2005:34-35), latihan dibutuhkan karena ada masalah,
tantangan, atau tuntutan pengembangan.
Hickerson dan Middleton (1975:13); Rae (1990:8); Boydell (Davies,
2005:119) menyatakan bahwa model latihan yang efektif terdiri dari tahapan
analisis kebutuhan latihan, merancang tujuan latihan, merancang latihan,
melaksanakan latihan, dan evaluasi (formatif dan sumatif). Gilley dan Eggland
(1989:214) mengemukakan sembilan tahap latihan yaitu falsafah mengajar dan
belajar, analisis kebutuhan, umpan balik, disain program, pengembangan program,
implementasi program, manajemen program, evaluasi dan akuntablitas. Lebih
ringkas dikatakan Irianto (2001:30) bahwa latihan mempunyai tahapan integratif
yang terdiri dari tahap penentuan, tahap implementasi, dan tahap evaluasi.
Salah satu model yang ditawarkan Gilley dan Eggland (1989:209) untuk
penentuan kebutuhan adalah individual appraisal models. Model ini terdiri dari dua
jenis yaitu kolaboratif dan nonkolaboratif. Dalam model kolaboratif, karyawan
dibantu
orang
lain
untuk
mengklasifikasikan
kebutuhannya,
sedangkan
nonkolaboratif, karyawan menentukan sendiri kebutuhannya. Model non kolaboratif
mengendung kelemahan, karena bisanya yang bersangkutan tidak cukup
mengenali dan tidak memahami esensi kebutuhan belajar. Dengan demikian,
colaborative individual appraisal models lebih baik dalam penentuan kebutuhan
pelatihan karena model ini dapat mengidentifikasi kebutuhan spesifik seseorang
yang berkaitan dengan pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan agar
mampu melaksanakan suatu pekerjaan (Halim dan Ali, 1997:137).
Untuk memperoleh efektivitas pelatihan, Hamalik (2007) menekankan
perlunya dipahami beberapa hal, yaitu: (1) perencanaan pelatihan dan unit
pembelajaran, (2) pengembangan kurikulum pelatihan termasuk perencanaan dan
penyesuaiannya, (3) memilih metode pelatihan, (4) pemantauan dan penilaian
pelatihan, (5) kompetensi dan profesionalisme pelatih, dan (6) tindakan pasca
pelatihan.
Elemen kurikulum sebagai bagian penting dari pendidikan dan pelatihan
harus dirancang dengan seksama dan tepat (Dimyati dan Mudjiono, 1995). Kriteria
efektif yang digunakan untuk mengevaluasi pelatihan dan pengembangan harus
berfokus pada proces dan out come (Mangkuprawira dan Hubeis, 2007:97).
Suparman (1994:63-64) mengatakan bahwa penyusunan kurikulum pendidikan
harus didasarkan pada identifikasi kebutuhan instruksional yang bersumber kepada
34
tiga kelompok, yakni: (1) peserta didik (Pamong Belajar), (2) masyarakat (klien),
(3) pendidik (instruktur), dan (4) pengelola program (pemerintah).
Pendidikan dan Pelatihan Berbasis
Kompetensi (PPBK)
Untuk meningkatkan kinerja pegawai belakangan ini muncul istilah
manajemen sumber daya manusia berbasis kompetensi (competency-based human
resources management), yaitu pengelolaan pegawai atau karyawan secara optimal
yang prosesnya didasarkan pada informasi tentang kebutuhan kompetensi dalam
organisasi dan informasi tentang kompetesi individu. Peningkatan kompetensinya
adalah melalui pendidikan dan pelatihan berbasis pada kompetensi yang berfokus
pada hasil akhir (outcome).
Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi (PPBK) merupakan suatu
proses pendidikan dan pelatihan yang dirancang untuk mengembangkan
kemampuan dan ketrampilan secara khusus, untuk mencapai hasil kerja yang
berbasis target kinerja (performance target) yang telah ditetapkan, sifatnya sangat
fleksibel untuk memperoleh kompetensi dengan berbagai cara. Menurut Elam dan
Fletcher (Mangkuprawira dan Hubeis, 2007:74), model pelatihan berbasis
kompetensi sangat menekankan kepada aspek pengetahuan.
Mengacu kepada pendapat Ryllat (1993:65), terdapat sembilan prinsip yang
harus diperhatikan dalam pelaksanaan PPBK, yaitu :
(1) Bermakna, praktek terbaik (meaningful, best practice)
(2) Hasil pembelajaran (acquisition of learning) yang berfokus pada kompetensi
yang diharapkan seseorang, bukan bagaimana mereka memperolehnya.
(3) Feksibel (fleksible), artinya pembelajaran dapat dilakukan dengan berbagai cara
dan metode, membaca, dan cara belajar lainnya.
(4) Mengakui pengalaman belajar sebelumnya (recognizes prior learning)
(5) Tidak didasarkan atas waktu (not time based).
(6) Penilaian yang disesuaikan (appropriate assessment) dengan kemampuan
seseorang dalam menampilkan kompetensi tertentu.
(7) Monitoring dan evaluasi (on-going monitoring and evaluation) sejak dari
masukan, proses sampai pada keluaran, yang hasilnya dihubungkan dengan
standar nasional untuk memperoleh pengalaman (accreditation).
(8) Konsistensi secara nasional, artinya terdapat kompetensi yang secara nasional
konsisten dengan kebutuhan industri dan konsisten pula antar lembaga lain.
35
(9) Adanya sistem akreditasi pembelajaran yang konsisten secara nasional diantara
penyedia jasa pendidikan dan pelatihan dan instansi yang berkompeten.
Dubois (1996:71-73) mengembangkan model pendidikan dan pelatihan
berbasis kompetensi lima tahap seperti yang terlihat pada Gambar 1. Model lima
tahap tersebut sangat sederhana dan dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan dan
hasil akhir pendidikan dan pelatihan yang diharapkan bagi Pamong Belajar.
Mengacu kepada teori perkembangan oleh Havigusrt, teori motivasi
konvensional oleh Maslow, dan teori motivasi berprestasi oleh Mc Clleland, pada
dasarnya manusia selalu ingin berkembang dan ingin berprestasi. Artinya
perkembangan diri seseorang dapat dipacu sehingga mereka bisa lebih mandiri,
berprestasi dan mampu melaksanakan tugas dan pekerjaannya sebagaimana
mestinya. Dengan demikian konsep pengembangan diri merupakan penjabaran dari
beberapa teori besar (grand theory) tentang kepribadian dan diperjelas dengan
beberapa teori tentang motivasi tersebut.
Lingkungan luar
Lingkungan organisasi
Langkah 1
Analisis Kebutuhan,
Penilaian dan Perencanaan
Langkah 2
Pengembangan model
kompetensi
Langkah 3
Perencanaan kurikulum
Langkah 4
Perencanaan dan
Pengembangan Intervensi
Pembelajaran
Langkah 5
Evaluasi
Tujuan
Strategis,
Sasaran,
dan
Rencana
Organisasi
Gambar 1. Model Sistem Strategis untuk Menciptakan dan Mengelola Program
Peningkatan Kinerja Berbasis Kompentensi (Dubois, 1996)
36
Konsepsi Pengembangan Diri
Werther dan Davis (1996:282) mengatakan bahwa pengembangan diri
merupakan
kesempatan-kesempatan
belajar
(learning
opportunity)
yang
direncanakan untuk membantu pengembangan seseorang atau karyawan yang
berorientasi pada masa depan. Pengembangan diri dapat dilakukan dari sudut
pandang individu (melalui kemandirian belajar seseorang) dan dari sudut pandang
organisasi (pengembangan profesionalisme dan pengembangan karir).
Kemandirian Belajar
Kemandirian belajar merupakan upaya sadar dan aktif seseorang untuk
meningkatkan sendiri kualitas perilakunya sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya (Sumardjo, 1999:99). Secara empirik dan teoritik tidak ada kemandirian
yang bersifat mutlak, umumnya bersifat relatif. Sebagai makhluk sosial, seseorang
tidak mungkin hidup dan berdiri sendiri dan memerlukan orang lain di dalamnya
(Susanto, 2001:2).
Dalam menciptakan kemandirian belajar, diperlukan keluwesan dalam
mengelola sumber belajar. Belajar tidak harus dengan guru yang langsung
mengajar, melainkan sumber belajar tertentu dapat dianalogikan sebagai guru.
Menurut Rohani (2004: 161), sesungguhnya tidak ada bahan yang jelas mengenai
sumber belajar, sebab segala yang bisa mendatangkan manfaat atau mendukung
dan menunjang individu untuk berubah ke arah yang lebih baik, positif, dinamis,
atau menuju perkembangan, dapat disebut sebagai sumber belajar.
Mengacu kepada konsep yang dikemukakan Klusmeier dan Goodwin
(Sumardjo, 1999 : 100), ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses belajar
mandiri Penyuluh yang dapat dianalogikan sebagai Pamong Belajar adalah:
(1) karakteristik sumber informasi (teacher characteristic), (2) interaksi sumber
informasi dengan Pamong Belajar (leaner-teacher behaviour), (3) fasilitas (facility);
(4) karakteristik Pamong Belajar (learner characteristic), (5) inovasi/informasi
(subject
matter),
(6)
kelompok
kerja/belajar
(group
characterstic),
dan
(5) kelembagaan pendukung (outside process).
Motivasi Berprestasi
Motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong orang
tersebut untuk melakukan aktifitas-aktivitas tertentu guna mencapai sesuatu tujuan.
Aktivitas yang didorong oleh motif intrinsik lebih sukses dari pada yang didorong
37
oleh motif ekstrinsik. Karena itu pertlu ditimbulkan seluas mungkin motif instrinsik
seseorang dengan jalan menumbuhkan dan mengembangkan minat mereka
melalui sugesti-sugesti yang positif (Suryabrata, 2000:70-74).
Mc Clelland (1973) mengatakan bahwa motivasi berprestasi mengandung
dua aspek, yaitu: (1) mencirikan suatu ketahanan dan suatu ketakutan akan
kegagalan, dan (2) meningkatkan usaha keras yang berguna dan mengharapkan
akan keberhasilan. Travers (1982) mengemukakan pula bahwa aspek-aspek
motivasi berprestasi
adalah
mengharapkan
keberhasilan
dan
menghindari
kegagalan sekaligus dapat menentukan hasil belajar seseorang, karena itu perlu
mendapatkan perhatian yang serius.
Stoner dan Wankel (1986) menjelaskan bahwa orang yang mempunyai
motivasi berprestasi memiliki sejumlah karakteristik, yakni: (1) cenderung
mengambil tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah dan pekerjaan/tugas,
(2) cenderung menentukan tujuan yang agak sulit bagi diri sendiri dan mengambil
resiko yang telah diperhitungkan untuk mencapai tujuan, dan (3) sangat
mementingkan umpan balik mengenai seberapa baik mereka melakukan sesuatu.
Orang yang memiliki motivasi beprestasi tinggi cenderung mempunyai kebutuhan
yang sangat dimotivasi oleh situasi yang bersaing dan penuh tantangan.
Pengembangan Karir
Karir merupakan bagian dari perjalanan dan tujuan hidup seseorang.
Angapan umum bahwa seseorang dikatakan sukses dalam karirnya bila ia telah
menempati posisi menejer atau kepala pada suatu organisasi (Dalil, 2003:275).
Perubahan stuktur organisasi telah memberikan dampak pada pengelolaan karir
individu dalam organisasi. Dengan mempertimbangkan kompetensi individunya,
organisasi memberikan kesempatan bagi setiap individu untuk mengembangkan
karirnya. Melalui manajemen karir, suatu organisasi mempunyai suatu kekuatan
dalam upaya untuk mendorong individu agar tumbuh dan merealisasikan
potensinya secara penuh.
Pengembangan karir adalah peningkatan pribadi yang dilakukan seseorang
dalam mencapai rencana karir pribadinya. Perencanaan karir pegawai merupakan
suatu proses yang bertujuan agar karir pegawai dapat dikembangkan sesuai
dengan bakat dan kemampuannya sehingga bisa berfungsi dengan baik. Program
pengembangan karir yang kurang baik dapat menimbulkan keresahan dalam
organisasi. Karyawan merasa tidak aman, merasa diperlakukan tidak jujur dan tidak
38
adil, tidak ada ruang untuk berkreativitas. Selanjutnya karyawan akan merasa tidak
puas dengan kebijakan organisasi sehingga berdampak negatif pada kinerja
pegawai secara keseluruhan.
Sulistio dan Pujianto (2003:281) mengemukakan suatu model tahapan
perancangan jalur karir dan program kaderisasi pegawai dalam suatu perusahaan.
Seperti terlihat pada Gambar 2, model tersebut dapat pula dikembangkan untuk
dapat diterapkan dalam berbagai organisasi pemerintah, khususnya di Sanggar
Kegiatan Belajar.
Penelaahan Awal Terhadap Organisasi
Pengumpulan informasi tentang :
 Strukturorganisasi
 Proses Bisnis Perusahaan
 Data empiric tentang promosi/
perpindahan karyawan
Inventarisasi seluruh jabatan
dalam organisasi
Inventarisasi dan
penelaahan terhadap :
 Job Description
 Job Spesification
setiap jabatan
Pengelolaan posisi berdasarkan
struktur organisasi, proses bisnis,
dan data empirik tentang promosi/
perpindahan karyawan
Inventarisasi tugas-tugas
(task) yang tercakup pada
setiap posisi
VERIFIKASI
Inventarisasi :
 Rekruitmen kebutuhan
 Rekruitmen pemenuhan
untuk setiap posisi
VERIFIKASI
Perumusan Jalur Karir berdasarkan
Struktur Organisasi, Proses Bisnis
dan Data Empirik tentang Promosi
dan Perpindahan Karyaan
Perumusan Rancangan Program
Gambar 2. Tahapan Perancangan Jalur Karir dan Program Kaderisasi
(Sulistio & Pujianto, 2003:287)
Menurut
Rivai
dan
Sagala
(2009:266),
beberapa
konsep
dasar
pengembangan karir, yaitu :
(1) Karir adalah seluruh posisi kerja yang dijabat selama sikus kehidupan pekerjaan
seseorang
(2) Jenjang karir merupakan model posisi pekerjaan berurutan yang membentuk
karir seseorang
39
(3) Tujuan karir adalah posisi mendatang yang diupayakan pencapaiannya oleh
seseorang sebagai bagian karirnya. Tujuan-tujuan ini berperan sebagai
bencmark sepanjang jenjang karir seseorang
(4) Perencanaan karir adalah proses dimana kita menyeleksi tujuan karir dan
jenjang karir menuju tujuan-tujuan tersebut.
Konsepsi Lingkungan Eksternal
Pamong Belajar
Lingkungan Fisik Pekerjaan
Lingkungan
mempengaruhi
fisik
kinerja
pekerjaan
seorang
merupakan
karyawan
salah
(Kussriyanto,
satu
faktor
1991:122).
yang
Untuk
mendapatkan suasana kerja yang baik, perlu memperhatikan berbagai faktor
penunjang dalam lingkungan kerja fisik, misalnya pengaturan ruang kerja,
pengaturan
suhu udara, pencahayaan, warna dinding,
dan pengendalian
kebisingan (Purnomo, 2000: 5)
Lingkungan fisik pekerjaan terkait dengan sarana dan prasarana yang
mendukung pekerjaan Pamong Belajar. Sarana dan prasarana tersebut meliputi
ruang perkantoran, alat-alat tulis, komputer, alat transportasi, alat komunikasi da
informasi, tempat ibadah, dan berbagai kebutuhan lainnya. Ketersediaan sarana
prasarana fisik tersebut tentunya berkaitan erat dengan ketersediaan anggaran
yang cukup agar tercipta kenyamanan Pamong Belajar dalam melaksanakan tugas
dan pekerjaannya.
Ada tiga unsur utama berupa sumber daya yang memungkinkan berjalannya
sebuah organisasi dengan baik, yakni (1) sumber daya fisik, (2) sumber daya
keuangan, dan (3) sumber daya manusia. Ketiga sumber daya ini melengkapi satu
sama lain. Kekurangan sumber daya yang satu akan mempengaruhi sumber daya
yang lain. Selama otonomi daerah ketiga sumber daya ini tampaknya kurang
diperhatikan, apalagi bagi daerah yang minim APBD maka sumber daya fisik sering
diabaikan
sehingga
mempengaruhi
kondisi
kerja
Pamong
Belajar
dalam
melaksanakan tugas-tugas di bidang pendidikan nonformal di Sanggar Kegiatan
Belajar.
40
Lingkungan Sosial Keluarga
Lingkungan kemanusiaan meliputi lingkungan masyarakat dan keluarga.
Pemahaman terhadap lingkungan masyarakat sebagai lingkungan kerja bagi
Pamong Belajar terkait dengan kegiatan kemitraan dengan semua pihak, baik
dengan instansi pemerintah, swasta, dan LSM. Hal ini memerlukan koordinasi antar
mitra, dan berbagai jejaring kerja tersebut. Jejaring kerja itu sendiri menurut Wayne
(Arsyad, 2002:11), merupakan proses aktif membangun dan mengelola hubunganhubungan yang produktif. Menurut Hickman (Arsyad, 2002:12), tujuan membangun
jejaring kerja adalah untuk mempersatukan bakat, potensi, dan kemampuan, baik
secara individu, kelompok, maupun seluruh jajaran organisasi sehingga tercipta
kemampuan pribadi maupun kemampuan bersama yang semakin besar.
Dalam membangun hubungan personal di masyarakat khususnya hubungan
kerja dengan semua pihak, Pamong Belajar perlu dibekali dengan berbagai soft
skills sehingga komunikasinya menjadi lebih efektif, kerjasama dan koordinasi
terjalin dengan semua pihak, dan konflik dapat dihindari. Menurut Mulyana
(2008:47-49), agar lingkungan kerja Pamong Belajar tercipta dengan kondusif maka
perlu dikembangkan strategi pembinaan yang berwajah humanis.
Organisasi Kerja
Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara
sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, bekerja atas dasar
yang relatif terus menerus untuk mencapai tujuan bersama atau tujuan kelompok.
Pada orgaisasi pemerintah, bagian organisasi yang sering mengalami perubahan
adalah strukturnya. Menurut Robbin (1993:46), struktur organisasi mengatur
hubungan antar orang dan antar kelompok untuk mencapai tujuan. Juga
menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa dan
mekanisme koordinasi yang formal serta pola interaksi yang akan diikuti.
Disamping itu, konflik-konflik antar pegawai dalam organisasi juga sering
menjadi penghambat dalam pelaksanaan pekerjaan. Konflik bisa terjadi secara
vertikal yaitu antara atasan dan bawahan dan konflik secara horizontal yaitu antar
sesama pegawai. Menurut Handoko (1991:345), karaketristik-karakterik kepribadian
tertentu seperti otoriter dan dogmatis merupakan faktor pemicu konflik tersebut.
Organisasi yang mempunyai tingkat konflik sangat fungsional dapat memacu kinerja
organisasi, bila tingkat konflik rendah kinerja organisasi stagnan, bahkan bila tingkat
41
konflik tinggi kinerja organisasi bisa menjadi jeblok, kekacauan dan perpecahan
akan terjadi.
Kebijakan Pemerintah
Secara umum dapat diartikan bahwa kebijakan pemerintah merupakan
dukungan yang diberikan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah untuk kelancaran tugas Pamong Belajar sehingga kompetensi
dan kinerjanya meningkat, khususnya kompetensi dalam pembinaan pengrajin
industri kecil. Sebaliknya dukungan pemerintah yang kurang memadai, baik pada
aspek
anggaran
kegiatan,
pendidikan
dan
pelatihan
kepegawaian,
dan
kelengkapan sarana prasarana, dan kesejahteraan Pamong Belajar dipandang
dapat menurunkan kompetensi dan kinerja Pamong Belajar.
Kebijakan pemerintah atau kebijakan publik adalah pengaturan yang
sifatnya berlaku umum (Parson, 1995). Menurut Young dan Quinn (Suharto, 2005),
definisi kebijakan publik dalam arti luas yaitu apapun yang dipilih pemerintah untuk
melakukan sesuatu
Kebijakan dihasilkan karena ada hal-hal yang memerlukan
pengaturan, yang dalam hal ini khususnya oleh pemerintah, sesuai dengan
kewenangan dan lingkup kerangka kebutuhan sosial kelompoknya. Pengaturan
tersebut merupakan bentuk intervensi atau aplikasi tindakan umum yang dapat
dilakukan oleh pemerintah.
Menurut Woll (Tangkilisan, 2003:2), kebijakan publik adalah sejumlah
aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara
langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Adapun pengaruh dari tindakan pemerintah tersebut adalah :
(1) Adanya pilihan kebijakan yang dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah, atau
yang lainnya yang bertujuan untuk menggunakan kekuatan publik dalam
mempengaruhi kehidupan masyarakat.
(2) Adanya output kebijakan, dimana kebijakan yang diterapkan pada level ini
menuntut
pemerintah
untuk
melakukan
pengaturan,
penganggaran,
pembentukan personil dan membuat regulasi dalam bentuk program yang akan
mempengaruhi kehidupan masyarakat.
(3) Adanya dampak kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijakan yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Download