11 TINJAUAN PUSTAKA Konsepsi Pamong Belajar Pengertian Pamong Belajar Pamong Belajar merupakan sebutan bagi PNS yang memegang jabatan fungsional pada Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) milik Pemerintah Kabupaten/Kota, Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB) milik Pemerintah Provinsi, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI), dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (P2PNFI). Dua lembaga terakhir merupakan milik Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Ditjen PNFI) Kemendiknas yang terdapat di beberapa wilayah (regional). Pada masa sebelum otonomi daerah, seluruh UPTD dan UPT tersebut berada di bawah Direktorat Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga atau sekarang berada di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Ditjen PNFI) Kemendiknas. Kata-kata Pamong Belajar juga tercantum dalam Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Bab I, Pasal 1 yang menyatakan bahwa Pamong Belajar adalah sebagai tenaga kependidikan disamping sebutan lain seperti guru, dosen, konselor, widyaiswara, tutor, instruktur, dan fasilitator. Secara teknis edukatif, tugas masing-masing Pamong Belajar baik di SKB, di BPKB, BPNFI, maupun yang ada di P2PNFI adalah sama, namun dalam cakupan pengembangan model pendidikan nonformal dan distribusinya berbeda menurut karakteristik lokal, sosial, dan budaya. Keragaman karakteristik dan kebutuhan berbagai suku dan wilayah di Indonesia tidak dapat ditangani pada satu institusi dengan satu model saja. Tugas Pokok dan Fungsi Pamong Belajar Keputusan MENKOWASBANGPAN Nomor 25/KEP/MK.WASPAN/6/ 1999 tentang tugas Pamong Belajar hanya mengatur rincian tugas Pamong Belajar Ahli, tetapi tidak mencantumkan tugas Pamong Belajar Terampil, padahal sekitar 20 persen Pamong Belajar tersebut masih bersatus sebagai Pamong Belajar Terampil dengan pendidikan rata-rata dari SLTA sampai D3. Tugas Pamong Belajar Ahli (Pamong Belajar Pertama, Pamong Belajar Muda, dan Pamong Belajar Madya), yaitu: (1) melaksanakan pengembangan model program pendidikan luar sekolah, 11 12 pemuda dan olahraga (PLSPOR); (2) melaksanakan kegiatan belajar mengajar dalam rangka pengembangan model dan pembuatan percontohan program PLSPOR; dan (3) melaksanakan penilaian dalam rangka pengendalian mutu dan dampak pelaksanaan program PLSPOR. Oleh karena tugas pokok Pamong Belajar mengacu kepada keputusan MENKOWASBANGPAN di atas, maka tugas pokok Pamong Belajar tersebut tampak rancu, mendua, tidak relevan, dan sulit direalisasikan. Untuk itu diperlukan pembaharuan keputusan tersebut dengan menghapus program kepemudaan dan keolahragaan. Secara adminsitratif, di pemerintah pusat bagian pekerjaan tersebut sudah dilimpahkan ke Kementerian Pemuda dan Olahraga, atau di daerah sudah diserahkan kepada bagian kepemudaan pada Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota. Sampai saat ini Kementerian Pendidikan Nasional belum merevisi keputusan MENKOWASBANGPAN tersebut. Begitu juga kebanyakan Pemerintah Daerah belum membuat revisi atau menggantinya dengan keputusan baru yang sesuai dengan kondisi riil dan karakteristik lokal daerahnya. Pemerintah Kabupaten/Kota cenderung memberikan garis kebijakan kepada Sanggar Kegiatan Belajar dan Pamong Belajarnya atas instruksi atau keinginan kepala daerah yang bersangkutan tanpa dilandasi oleh perangkat hukum dan ketentuan yang jelas tentang tugas pokok kelembagaan. Konsepsi Kompetensi dan Kinerja Pemahaman mengenai kompetensi sangat terkait dengan teori-teori dasar tentang kepribadian manusia yang membentuk perilaku seseorang. Kompetensi dan kinerja sebagai perwujudan perilaku seseorang dapat diimprovisasi melalui penerapan berbagai teori belajar. Teori belajar perilaku (behaviouristic theory) yang dikembangkan oleh Thorndike (1903), Watson (1925), dan Skinner (1954) mengatakan bahwa melalui proses interaksi antara stimulus dan respon dapat mengubah perilaku seseorang. Teori belajar kognitif yang dikembangkan oleh Piaget, Ausubel, dan Bruner pada dasarnya mengatakan bahwa proses belajar lebih penting dari pada hasil belajar itu sendiri. Proses belajar tersebut dibangun melalui interaksi antara diri pembelajar dengan lingkungannya secara terus menerus dan menyeluruh. Kemudian teori belajar humanistik yang dikembangkan oleh Roger (1969) dan Bloom (1964) menekankan kepada proses pembelajaran yang berpusat pada pribadi pembelajar (student learning centre) sehingga akan dapat lebih memanusiakan manusia itu sendiri. 13 Pengertian Kompetensi Istiah “competencies”, “competence”, dan “competen” yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai kompetensi, kecakapan dan keberdayaan merujuk pada keadaan atau kualitas mampu dan sesuai. Kamus bahasa Inggris mengartikan “competence” sebagai keadaan yang sesuai, memadai, atau cocok. Kompetensi ditempat kerja artinya kecocokan seseorang dengan pekerjaannya. Menurut Palan (2008:5), ada dua istilah yang muncul dari pemikiran yang berbeda tentang konsep kesesuaian dalam pekerjaan, yaitu: (1) competency (kompetensi), yaitu deskripsi mengenai perilaku, dan (2) competence (kecakapan) yang merupakan deskripsi tugas atau hasil pekerjaan. Spencer dan Spencer (1993:9) mengatakan bahwa “competence is an underlying characteristic of an individual that is casually related to criterionreferenced effective and/or superior performance in a job or situation.” Artinya, kompetensi merupakan karakteristik dasar seseorang individu yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak, membuat generalisasi terhadap segala situasi yang dihadapi serta bertahan cukup lama dalam diri manusia. Mirip dengan itu Klemp (Lucia dan Lepsinger, 1999:2-3) dan Shermon (2005) menegaskan bahwa kompetensi yaitu “an underlying characteristic of a person which result in effective and or superior performance on his job”. Artinya, kompetensi adalah sifat dasar seseorang yang berpengaruh pada kinerjanya secara efektif dan sangat menonjol. Berdasarkan hasil konferensi di Johanesburg tahun 1995, Parry (Lucia dan Lepsinger, 1999:5) mengemukakan bahwa : “a cluster of related knowedge, skills, and attitudes that affects a major part of one’s job (a role or responsibility), that correlates with performance on the job, that can be measured against well accepted standards, and that can be improved via training and development.” Artinya, kompetensi adalah sekumpulan pengetahuan, keterampilan dan sikap seseorang yang berhubungan satu sama lain yang mempengaruhi sebagian besar pekerjaan seseorang (peran dan tanggung jawabnya) yang berkorelasi dengan kinerja dan dapat diukur dan diterima sebagai suatu standar kinerja yang baik. Hal tersebut dapat diperbaiki melalui latihan dan pengembangan. Senada dengan itu Ulrich (Hutapea dan Thoha, 2008:5-6) mendefinisikan kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, atau kemampuan individu yang diperagakan (an individual’s demontsrated knowledge, skils, or abilities). Watson Wyatt (Ruky, 2006:108) menyimpulkan bahwa kompetensi sebagai kombinasi dari keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan sikap (attitudes) yang dapat 14 diamati dan diterapkan secara kritis untuk suksesnya sebuah organisasi dan prestasi kerja serta konstribusi pribadi karyawan terhadap organisasinya. Berdasarkan pengertian di atas, penulis memandang bahwa kompetensi Pamong Belajar dapat diartikan sebagai kecakapan yang memadai yang dimiliki seorang Pamong Belajar untuk melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan pendidikan nonformal. Untuk melakukan kompetensi tersebut, seseorang Pamong Belajar memerlukan pengetahuan khusus, keterampilan proses, dan sikap, yang berbeda dari kompetensi yang satu dengan yang lainnya. Ada kompetensi yang lebih tergantung kepada pengetahuan dan ada yang lebih tergantung kepada proses. Kompetensi teknis relatif merupakan tindakan mekanis yang setiap kali diterapkan dengan menggunakan cara yang sama, sedangkan kompetensi profesional dituntut kreativitas serta kecakapan menyesuaikan pada keadaan yang berbeda-beda. Komponen Kompetensi Menurut Hutapea dan Thoha (2008:3-4), dalam organisasi, baik dalam maupun luar negeri pada awalnya hanya ada dua jenis definisi kompetensi yang berkembang pesat yaitu: (1) kompetensi teknis/fungsional (hard skill/ hard competency) dan (2) kompetensi perilaku (behaviour competencies) atau disebut juga soft skills/soft competencies. Konsentrasi kompetensi teknis ini adalah pada pekerjaan dan pada awalnya banyak berkembang di negara-negara Eropa (Inggris), sedangkan kompetensi perilaku lahir dan berkembang di Amerika Serikat yang dipelopori oleh Mc Clelland (1973), Boyatzis (1982), dan Spencer & Spencer (1993). Dalam kaitannya dengan kinerja, Shermon (2005); Spencer dan Spencer (Ruky, 2006:106) membagi kompetensi atas dua jenis : (1) kompetensi ambang (threshold competencies) yaitu kriteria minimal dan esensial yang dibutuhkan oleh pekerjaan, dan (2) kompetensi pembeda (differentiating competencies) yaitu kriteria yang dapat membedakan antara orang yang selalu mencapai unjuk kerja superior dan orang yang unjuk kerjanya rata-rata saja. Kemudian Spencer dan Spencer (1993:9-11) mengatakan bahwa ada lima komponen/elemen yang membentuk sebuah kompetensi, yaitu: (1) motif (motives), (2) karakter pribadi (traits), (3) konsep diri (self concept), (4) pengetahuan (knowledge), (5) keterampilan (skills), dan (6) gambaran diri (self image). 15 Menurut Shermon (2005), dari keenam tingkat kompetensi tersebut, skill dan knowledge relatif lebih nampak sebagai karakteristik seseorang. Sementara itu, social role, dan self image cenderung sedikit nampak dan dikontrol oleh perilaku dari luar. Sedangkan trait dan motive letaknya lebih dalam pada pusat kepribadian. Oleh karena itu skill dan knowledge lebih mudah dikembangkan dibanding kompetensi lain, misalnya melalui program pendidikan dan pelatihan. Trait dan motive cukup sulit dinilai dan dikembangkan karena berada pada pusat kepribadian seseorang. Sedangkan social role dan self image berada di antara keduanya dan dapat dirubah melalui pelatihan dan terapi. Prahalad dan Hamel (Sanchez dan Heene, 2004: 37) mengemukakan suatu gagasan perlunya core competence (kompetensi inti) dalam suatu organisasi. Ruky (2006:105) mengatakan bahwa kompetensi inti perlu diuraikan dengan kompetensi spesifik (specific job competencies) yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang spesifik yang diperlukan karyawan untuk pekerjaan dan jabatan tertentu. Perreneud (Suparno, 2001) mengatakan bahwa kompetensi-kompetensi yang akan menghindarkan orang dari hidup belas kasihan orang lain yang memegang peran strategis dalam mengambil keputusan ialah : (1) Mampu mengidentifikasi, menilai dan mempertahankan sumber-sumber, keterbatasan, dan hak-hak, serta kebutuhan-kebutuhan. (2) Mampu secara mandiri maupun berkelompok membentuk dan melaksanakan proyek serta menyusun strategi. (3) Mampu mengenali situasi, hubungan dan medan kekuatan secara sistematis. (4) Mampu bekerjasama, bertindak sinergik, berpartisipasi dan berbagi tugas kepemimpinan. (5) Mampu mengelola dan menyelesaikan konflik. (6) Mampu mengurai atau menyusun dalam urutan dan bekerja berdasarka aturanaturan. (7) Mampu membangun aturan-aturan yang mengatasi perbedaan-perbedaan kultural. Perreneud (Suparno, 2001), Hutapea dan Thoha (2008:16-19) dan Ruky (2006:107) menjelaskan beberapa alasan pentingnya penggunaan konsep kompetensi dalam manajemen sumber daya manusia, diantaranya : (1) Untuk pembentukan pekerjaan (job design) yaitu untuk memperjelas standar kinerja, menggambarkan fungsi, peran, dan tanggungjawab pekerjaan sehingga dapat ditentukan keterampilan, pengetahuan dan karakteristik yang 16 dibutuhkan dalam pekerjaan dan apa saja perilaku yang mempengaruhinya untuk suksesnya suatu pekerjaan. (2) Untuk evaluasi pekerjaan (job evaluation) (3) Sebagai alat seleksi karyawan untuk memilih karyawan terbaik (recruitmen and selection) (4) Pembentukan dan pengembangan organisasi (organization design and development) (5) Pembentukan dan memperkuat nilai dan budaya organisasi (organization culture), yaitu untuk menyelaraskan perilaku kerja dengan nilai-nilai organisasi. (6) Untuk manajemen prestasi (performance management) (7) Pembelajaran organisasi (organization learning) (8) Untuk memaksimalkan produktifitas dan karyawan melalui mobilisasi secara horizontal dan vertikal (productifity and mobilization) (9) Sebagai dasar untuk pengembangan sistem remunerasi (imbalan) yang lebih adil (reward system). (10) Untuk manajemen karir dan penilaian potensi karyawan (career management and employee’s assesment) (11) Untuk memudahkan adaptasi terhadap perubahan yang sangat cepat (adaptation and change) Pengertian Kinerja Kinerja adalah pencapaian atau tingkat keberhasilan semua hasil kerja yang dituntut oleh karyawan atau petugas yang berkaitan dengan jabatan atau tugas pekerjaannya dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu atau yang sudah disepakati bersama. Pencapaian kinerja seorang pejabat atau petugas akan menjadi ukuran tinggi atau rendahnya prestasi kerja pejabat tersebut dalam melaksanakan tugas pekerjaannya (Padmowihardjo, 1994:12 ; Rivai dan Basri, 2005:14-15). Blumberg dan Pringler (Stoner dan Wankel, 1986) mengatakan bahwa kinerja merupakan fungsi perkalian dari kemampuan, motivasi, dan kesempatan untuk berprestasi dengan rumusan: performance = (ability x motivation x opportunity to performance). Maksud kesempatan untuk berprestasi adalah kesempatan untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi bila mendapatkan dukungan, 17 bantuan atau fasilitas dari luar seperti kondisi tempat kerja, peralatan kerja, teman kerja, informasi dan aturan kerja. Menurut Ainsworth et al. (2002: 14), model kinerja sangat diperlukan dalam mengukur kinerja pegawai. Model kinerja adalah fungsi dari role clarity (kejelasan aturan), competence (kompetensi), environment (lingkungan), values (nilai-nilai), preferences (pilihan-pilihan), reward (penghargaan), plus feedback (umpan balik). Kriteria penilaian kinerja individu menurut Robin (Rivai dan Basri, 2005:14-15) mengacu kepada tugas individu, perilaku individu, dan ciri individu. Lusthaus et al. (2002:46) menghubungkan kinerja dengan empat aspek yaitu : (1) performance in relation to effectiveness (hubungan kinerja dengan efektifitas), (2) performance in relation to efficiency (hubungan kinerja dengan efisiensi), dan (3) performance in relation to ongoing relevance (hubungan kinerja dengan relevansi), dan (4) performance in relation to financial viability (hubungan kinerja dengan gairah keuangan). Gilley dan Eggland (1989) menyimpulkan bahwa kinerja seseorang memiliki kaitan dengan kebutuhan, baik kebutuhan dasar (basic needs) maupun kebutuhan sekunder (psychologic dan sosiologic needs). Terpenuhi dan seimbangnya ketiga kebutuhan ini akan mendorong terjadinya kualitas sumber daya manusia yang baik yang ditunjukan dengan kinerja yang tinggi. Terkait dengan itu, Romiszowsky (Suciati dan Irawan, 2001:50) mengemukakan analisisnya bahwa kinerja (performance) yang rendah dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berasal dari dalam dan luar diri seseorang. Berbagai faktor tersebut dapat digambarkan dengan kondisi sebagai berikut: (1) belum menguasai pengetahuan/keterampilan tersebut, (2) sifat atau struktur tugas yang sulit atau tidak menyenangkan, (3) konsekuensi negatif pelaksanaan suatu tugas, dan (4) jarang berlatih menggunakan keterampilan tersebut. Model Kompetensi dan Kinerja Pamong Belajar Model dapat didefinisikan sebagai representasi realitas yang kompleks dari kenyataan atau fenomena sehingga lebih mudah dipahami. Jadi, model adalah miniatur dari realitas (Palan, 2008:33). Sedangkan kompetensi model atau kinerja model dapat diartikan seperangkat succes factors yang terdiri dari sejumlah perilaku kunci yang dibutuhkan untuk melaksanakan peran tertentu untuk menghasilkan kinerja yang memuaskan (Ruky, 2006:111). 18 Banyak ahli berpandangan bahwa kompetensi seseorang menghasilkan kinerja (competency=performance). Oleh karena itu akan membangun model kompetensi dalam organisasi sangat perlu untuk : (1) menyediakan sarana dalam menerapkan kompetensi sesuai tujuan organisasi, (2) memahami peubahpeubah yang menentukan kinerja dan korelasi di antara variabel tersebut, dan (3) menyebarkan kompetensi secara cepat dalam sebuah organisasi. Pada dasarnya sebuah model tersebut harus mampu mendefinisikan tuntutan inti semua karyawan, standar hanya pada tingkat atau peran tertentu dalam organisasi (Palan, 2008:24-35). Ruky (2006:112) menjelaskan bahwa ada dua cara umum untuk membagun kompetensi model, yaitu : (1) Membangun kompetensi model generik, bersumber dari Inggris yaitu dengan menyepakati kompetensi model tiap-tiap jabatan dan menetapkannya sebagai standar untuk berbagai keperluan (2) Membangun kompetensi model Amerika, yaitu dengan cara menggunakan data yang dikumpulkan dari sejumlah sampel yang kemampuan dan prestasi kerja paling superior atau paling menonjol. Kemudian mereka diteliti untuk mengetahui apa yang mereka miliki atau lakukan, yang orang lain tidak, yang menyebabkan mereka mencapai kinerja unggul. Model yang banyak digunakan dewasa ini adalah model Amerika. Model pengumpulan datanya dijelaskan lebih lanjut oleh Palan (2008:40-41) yaitu melalui : (1) panel ahli, wawancara kejadian perilaku karyawan unggul, dan (2) kamus kompetensi generik yang dibuat oleh konsultan. Masalahnya, model ini sulit direalisasikan bila pemegang jabatan dalam organisasi tersebut hanya satu orang. Berkaitan dengan upaya peningkatan kompetensi dan kinerja Pamong Belajar, model kompetensi dan kinerja merupakan kerangka acuan dalam pengembangan perilaku Pamong Belajar. Menurut Hutapea dan Thoha (2008:3842), untuk mengubah perilaku perlu digunakan pendekatan atau perlakuan (treatment) yang dapat menyentuh persepsi dan nilai (value) yang dimiliki oleh seseorang yang terletak tersembunyi dalam dirinya. Oleh karena itu perubahan perilaku kerja produktif memerlukan waktu yang cukup panjang dan proses yang tepat. Menurut Skinner (Hutapea dan Thoha, 2008:38-42), perubahan perilaku ini dilakukan dengan mengkombinasikan tindakan penguatan (reinforcement), pengulangan (repetition), dan pengarahan (coaching). Tindakan penguatan dapat dilakukan melalui penegakan aturan organisasi, pemberian reward & punishment. 19 Pamong Belajar merupakan tenaga pendidikan nonformal yang dapat berfungsi sebagai penyuluh. Sebagai tenaga penyuluh dan agen perubahan dalam pembinaan industri kecil, maka Pamong Belajar dapat menerapkan beberapa prinsip sebagaimana yang dijabarkan oleh Lippitt et al. (1958:91–122), di antaranya: diagnosa masalah klien, motivasi, pemilihan alternatif, memilih peran yang sesuai, memelihara hubungan dengan klien, mengarahkan perubahan, dan memilih teknik yang spesifik sesuai prilaku klien. PP Nomor 19 Tahun 2005 menyebutkan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan harus memiliki kualifikasi dan potensi akademik, memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta mampu mewujudkan wajib belajar pendidikan nasional. Berdasarkan PP tersebut, Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Non Formal menetapkan standar kompetensi Pamong Belajar sebagai berikut: (1) kompetensi teknis, (2) kompetensi pengembangan profesi, (3) kompetensi akademik, (4) kompetensi personal dan profesional; dan (5) kompetensi budaya. Dalam menjalankan tugasnya sebagai agen pembaharu maka Pamong Belajar dalam melakukan kegiatan pembinaan perlu memahami sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Menurut Chambers (Kartasasmita, 1997), konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat "people-centered, participatory, empowering, and sustainable" Nangoi (2004:9-11) menjelaskan bahwa terdapat tiga aspek utama dalam strategi pembinaan industri kecil, yaitu: (1) pembinaan melalui training, (2) pembinaan melalui perbaikan manajemen, dan (3) pembinaan melalui pendekatan latihan dan pengembangan. Senada dengan itu, Hubeis (1997:45-46) mengatakan bahwa diperlukan lima aspek dalam strategi pembinaan industri kecil agar lebih profesional di era globalisasi, yaitu: (1) peningkatan pemahaman (cara berpikir) tentang proses pembuatan keputusan, (2) peningkatan kemampuan mengenali lingkungan untuk mencari dan menciptakan peluang usaha, (3) menciptakan keunggulan dalam persaingan, (4) memilih dan menjalin kerjasama usaha melalui berbagai jalur kemitraan, dan (5) peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pembinaan (empowerment) dan pembinaan kelembagaan (pelatihan, magang, dan inkubasi bisnis). Berdasarkan pendapat pakar di atas, maka dapat analogikan bahwa untuk suksesnya seorang Pamong Belajar dalam membina industri kecil perlu memiliki 20 model kompetensi dengan elemen-elemen sebagai berikut: (1) kemampuan menganalisis masalah usaha industri kecil, (2) kemampuan menganalisis kebutuhan industri kecil, (3) kemampuan menganalisis sumber daya pada industri kecil, (4) kemampuan berinteraksi sosial dengan industri kecil dan masyarakat di sekitarnya, (5) kemampuan dalam kegiatan instruksional, dan (6) kemampuan dalam mengakses teknologi informasi. Berdasarkan pendapat pakar di atas juga dapat dirumuskan model kinerja Pamong Belajar sehubungan dengan kegiatan pembinaan industri kecil, yaitu: (1) penyusunan disain kegiatan pembinaan, (2) penumbuhan dan pengembangan produk, (3) penumbuhan jejaring dan kemitraan usaha, (4) pembentukan kelembagaan ekonomi, (5) pembentukan kemandirian dan kerberlanjutan usaha, dan (6) evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut kegiatan. Antara model kompetensi dan model kinerja Pamong Belajar tersebut harus serasi dan singkron. Kompetensi menurut Palan (2008:123) bersifat enabler. Pada seseorang yang kompeten ia menjadi mampu (able) memberikan hasil sesuai standar atau model yang telah ditetapkan organisasi. Oleh karena itu tidak selalu kompetensi akan menghasilkan kinerja sesuai standar, karena kinerja juga akan dipengaruhi oleh tuntutan kerja, lingkungan, dan faktor lain. Konsepsi Pembinaan Konsep-konsep yang dikembangkan dalam kegiatan pembinaan masyarakat mengacu kepada konsep pemberdayaan masyarakat. Konsep pemberdayaan masyarakat merupakan paradigma pembangunan yang dilandasi oleh paradigma pembangunan sosial-demokrat dan menentang paradigma pembangunan neoliberal. Menurut Syahyuti (2006:96), paradigma sosial-demokrat menekankan kepada adanya intervensi untuk peningkatan kapasitas individu (capacity building) melalui proses pendidikan dan pelatihan agar terjadinya peningkatan kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan individu dan masyarakat. Sebaliknya paradigma neo-liberal menekankan pada pasar bebas dan menyerahkan sepenuhnya perubahan tersebut kepada masyarakat dan mengurangi campur tangan pemerintah. Cook dan Macaulay (1997:99) memandang bahwa dalam pemberdayaan hal yang vital untuk merealisaikan pemberdayaan ke dalam tindakan adalah pendidikan dan pelatihan. Dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan setiap orang yang diberdayakan mendapat keyakinan dan bertanggung jawab terhadap 21 keputusannya yang dalam pekerjaannya. Pengalaman membuktikan diperlukan investasi besar dalam pendidikan dan pelatihan sebagai bagian dari empowerment yang berhasil. Pengertian Pemberdayan Masyarakat Istilah “empowerment” telah lahir semenjak pertengahan abad ke-17 dengan makna “to invest with authority, authorize.” Dalam pengertian umum adalah “to enable or permi” atau “leading people to learn to lead themselves.” Dari banyak batasan tersebut ada yang memfokuskan kepada pemberdayaan individu yaitu suatu proses untuk meningkatkan kemampuan individu. Seseorang dikatakan telah “empowered” ketika misalnya ia telah dapat memimpin dirinya sendiri. Pranarka (Sulistiyani, 2004) mengatakan bahwa makna kata “pemberian” sebagai makna dari kata “to give power or authority” atau “to give ability to or enable” menunjukkan bahwa sumber inisiatif bukan dari masyarakat. Inisiatif untuk mengalihkan daya/kemampuan/kekuatan adalah pihak-pihak lain yang memiliki kekuatan dan kemampuan, misalnya pemerintah atau agen-agen pembangunan lainnya. Pemberdayaan membahas tentang individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Intinya adalah “kemandirian”. Dari sisi pembangunan ekonomi, pendekatan pemberdayaan memfokuskan kepada upaya untuk memobilisasi kemampuan sendiri golongan miskin, dibandingkan dengan menyediakan program kesejahteraan sosial untuk mereka. Dalam bidang politik pemberdayaan adalah perjuangan untuk menegakan hak-hak sipil serta kesetaraan gender. Hal ini berarti bahwa “pemberdayaan” adalah proses untuk meningkatkan asset dan kemampuan secara individual maupun kelompok suatu masyarakat. Masyarakat yang telah berdaya (empowered) diindikasikan oleh adanya pemilikan kebebasan dalam membuat pilihan dan tindakan sendiri (Syahyuti, 2006). Menurut Sumodiningrat (1999:16-254), pemberdayaan masyarakat berarti meningkatkan kemampuan atau meningkatkan kemandirian masyarakat, bukan hanya meliputi penguatan individu masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya, menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, sikap bertanggungjawab, memperkuat kelembagaan masyarakat agar rakyat mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan dalam suasana 22 keadilan sosial yang berkelanjutan. Dalam kerangka itu, pemberdayaan masyarakat dilakukan dalam tiga jurusan. Pertama, bagaimana menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling), kedua, penguatan potensi dan daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering), dan ketiga, pemberdayaan berarti melindungi, artinya yang lemah harus dicegah untuk tidak menjadi makin lemah karena kurang berdaya dalam menghadapi yang kuat. Hubeis (2000:12) mengatakan bahwa pemberdayaan masyarakat (community empowerement) adalah perwujudan capacity building masyarakat yang bernuansa pada pemberdayaan sumberdaya manusia melalui pengembangan kelembagaan pembangunan mulai dari tingkat pusat sampai tingkat perdesaan seiring dengan pembangunan sistem sosial ekonomi rakyat, prasarana dan sarana, serta pengembangan Tiga-P (pendampingan, penyuluhan, pelayanan). Pendampingan dapat menggerakkan partisipasi total masyarakat, penyuluhan dapat merespon dan memantau ubahan-ubahan yang terjadi di masyarakat, dan pelayanan berfungsi sebagai unsur pengendali ketepatan distribusi aset sumberdaya fisik dan non fisik yang diperlukan masyarakat. Pembinaan Industri Kecil Industri kecil merupakan salah satu alternatif bentuk usaha yang dipilih oleh masyarakat pada negara-negara berkembang di samping sektor budidaya pertanian. Di Indonesia, industri kecil banyak ditekuni masyarakat perdesaan dan perkotaan yang dilaksanakan secara padat karya sehingga menyerap tenaga kerja cukup besar. Industri kecil juga memanfaatkan potensi sumber daya lokal berupa bahan baku, tenaga kerja, peralatan, metode, atau seni, dan budaya lokal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa industri kecil yang berbasis pada sumber daya lokal dan menerapkan indigenous technology ini berpotensi untuk dikembangkan secara partisipatif. Menurut Pickle dan Abrahamson (1989:10), sebuah usaha dikatakan sebagai usaha kecil apabila usaha tersebut mempunyai kriteria sebagai berikut : (1) manajemennya bebas (biasanya menejer juga sebagai pemilik), (2) dukungan dan kepemilikan modal oleh seorang individu atau oleh sebuah kelompok kecil, (3) daerah operasinya pada daerah setempat dimana pekerja dan pemilik berada dalam satu anggota keluarga, dan (4) ukurannya relatif kecil. Senada dengan itu Bantacut (Haeruman et al., 2001) mengartikan industri kecil sebagai badan usaha yang menjalankan proses produksi untuk menghasilkan 23 barang dan jasa dalam skala kecil. Apabila dilhat dari sifat dan bentuknya, maka industri kecil bercirikan: (1) berbasis pada sumber daya lokal sehingga dapat memanfaatkan potensi secara maksimal dan memperkuat kemandirian, (2) dimiliki dan dilaksanakan oleh masyarakat lokal sehingga mampu mengembangkan sumberdaya manusia, (3) menerapkan teknologi lokal (indigenous technology) sehingga dapat dilaksanakan dan dikembangkan oleh tenaga lokal, dan (4) tersebar dalam jumlah yang banyak sehingga merupakan alat pemerataan pembangunan yang efektif. Menurut Basri (2002), industri mikro dan kecil sebagai bagian dari usaha kecil dan menengah (UKM) dapat bertahan malah semakin berkembang di masa kehancuran ekonomi Indonesia dewasa ini disebabkan oleh beberapa hal : (1) Sebagian besar industri mikro dan kecil menghasilkan barang-barang konsumsi (consumer goods), yang dicirikan oleh permintaan terhadap perubahan pendapatan (income elasticity of demand) yang relatif rendah, artinya peningkatan dan terhadap penurunan pendapatan masyarakat tidak berpengaruh permintaan barang. Dengan kata lain krisis ekonomi tidak mempengaruhi permintaan barang-barang yang dihasilkan industri mikro dan kecil (2) Mayoritas industri mikro dan kecil mengandalkan pada non-banking-financial dalam aspek pendanaan usaha. Oleh karena itu kehancuran perbankan nasional tidak mempengaruhi industri mikro dan kecil. (3) Umumnya industri mikro dan kecil melakukan spesialisasi produksi yang ketat, artinya hanya memproduksi barang tertentu saja. Modal yang terbatas menjadi salah satu faktor yang melatarbelakanginya, struktur pasar yang dihadapi adalah struktur pasar yang sempurna (banyak produsen dan banyak konsumen), sehingga mereka terbiasa dengan persaingan yang sangat ketat. Satria (1997:464) mengatakan bahwa industrialisasi terutama di pedesaan seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai upaya pembangunan industri secara fisik, tetapi juga pembangunan industri secara budaya. Pola-pola pengembangan usaha pertanian yang selama ini dilakukan masyarakat desa seyogyanya tidak terpaku pada proses budidaya semata tetapi hendaklah diarahkan kepada pengembangan nilai produk pertanian tersebut melalui industrialisasi, misalnya membuat berbagai produk makanan olahan. Menurut Firdausy (1997:73), dalam pengembangan perekonomian rakyat, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, yaitu: (1) memberikan dorongan untuk 24 menciptakan kegiatan ekonomi, tidak hanya untuk kepentingan konsumsi sendiri, tetapi juga peningkaan pendapatan masyarakat itu sendiri (income generating program), (2) memberikan akses terhadap pasar dan fasilitas pemasaran (seperti pasar tradisional dan modern), (3) memberikan akses kepada fasilitas pembiayaan; (4) membangun kerjasama ekonomi baik berupa koperasi maupun kemitraan, dan (5) akses terhadap fasilitas non ekonomi seperti pendidikan, kesehatan, dan legalitas usaha. Hal ini dapat dilakukan dengan pendidikan latihan kewirausahaan dan manajerial sampai mereka dapat mandiri. Firdausy (1997:70) mengatakan lebih lanjut bahwa dalam perbaikan kebijakan ekonomi daerah diperlukan peningkatan ekspor dan investasi di daerah. Dalam peningkatan ekspor di daerah fokus perhatian harus ditekankan pada sektor unggulan, sedangkan dalam sektor investasi ditekankan pada sektor andalan dan sektor unggulan. Selanjutnya, potensi yang dimiliki oleh masyarakat juga perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat meningkatkan kondisi sosial ekonominya. Nangoi (2004:58) juga mengatakan bahwa dalam pembinaan masyarakat industri perlu dikembangkan paradigma masyarakat pengetahuan. Hal ini dapat mengacu kepada sesuatu yang terjadi sekarang yakni negara maju identik dengan negara industri, tentunya hal ini berbasis kepada pengetahuan yang dimiliki masyarakatnya. Riyanti (2003:127) dalam penelitiannya mengiventarisasi beberapa indikator atau sifat yang mesti dikembangkan oleh seorang wirausahawan agar usahanya berhasil dengan baik, yaitu : sifat instrumental, sifat prestatif, keluwesan bergaul, kerja keras, keyakinan diri, berani mengambil resiko, swa-kendali, inovatif, dan mandiri. Utami (2007) menyimpulkan bahwa model pembinaan yang efektif bagi beberapa pengrajin kulit yaitu dengan peningkatan kualitas perilaku usaha dan kemandirian usaha, dan adanya kelembagaan usaha melalui dukungan dari pemerintah daerah, organisasi non pemerintah, dan berbagai lembaga penelitian/ Perguruan Tinggi. Konsepsi Kewirausahaan Pengertian Kewirausahaan Kata kewirausahaan (entrepreneurship) berasal dari bahasa Perancis yaitu kata “entrepreneur” yang diturunkan dari kata “enterprendre.” Dalam bahasa Indonesia, kata “wirausaha” berasal dari kata “wira” (gagah berani, perkasa) dan ”usaha.” Jadi ”wirausaha” berarti orang yang perkasa dan mandiri dalam berusaha. 25 Pengertian kewirausahaan (entrepreneurship) yang lebih lengkap dikemukakan oleh Kao (1989: 91), yaitu : “entrepreneurship is the attempt to create values through recognition of business opportunity, the management of risk-taking appropriate to the opportunity, and through the communicative, and management skills to mobilize human, financial, and material resources necessary to bring a project to fruition.” Artinya, kewirausahaan merupakan usaha untuk menciptakan nilai-nilai melalui pemanfaatan peluang bisinis, pengelolaan terhadap kemungkinan resiko, komunikasi, dan kemampuan manajemen dalam hal menggerakkan orang-orang, keuangan, dan sumber daya material yang diperlukan untuk mencapai sebuah keberhasilan. Schumpeter (Rachmadi, 2005) mengatakan bahwa seseorang dikategorikan sebagai seorang wirausahawan apabila orang tersebut mampu dan mau mengkonversikan ide-ide baru ke dalam bentuk inovasi-inovasi baru sehingga menghasilkan suatu produk baru. Pendidikan Kewirausaan Dalam proses transfer ilmu pengetahuan ada tiga peubah utama yang saling berkaitan, yaitu guru, kurikulum, dan pengajaran/instruksional. Guru menempati kedudukan sentral, oleh karena itu peranan guru, dalam hal ini Pamong Belajar, perlu mendapatkan perhatian khusus agar proses pembelajaran di bidang kewirausahaan dapat berjalan dengan baik. Materi kewirausahan merupakan materi pokok yang harus diberikan oleh Pamong Belajar dalam kegiatan pembinaan ekonomi masyarakat/industri kecil. Kompetensi Pamong Belajar dalam instruksional kewirausahaan mencakup kemampuannya dalam hal: (1) menyusun tujuan pembelajaran, (2) menetapkan bahan/materi ajar, (3) menetapkan metode dan alat pembelajaran, dan (4) melakukan evaluasi/penilaian. Keempat komponen ini tidak berdiri sendiri tetapi saling berhubungan dan saling medukung satu sama lain. Dahulu orang beranggapan bahwa kewirausahaan adalah bakat bawaan sejak lahir (entrepreneurship are born not made) dan hanya diperoleh dari hasil praktek ditingkat lapangan dan tidak dapat dipelajari dan diajari, tetapi sekarang kewirausahaan merupakan suatu disiplin ilmu yang dapat dipelajari dan diajarkan. Menurut Meredith et al. (1996), seorang wirausahawan juga memiliki sifat : (1) percaya diri, (2) berorientasikan tugas dan hasil, (3) berani mengambil resiko; (4) kepemimpinan, (5) keorisinilan, dan (6) berorientasi masa depan. Menurut Bird 26 (1996), perilaku wirausaha adalah aktivitas wirausahawan yang mencermati peluang (opportunities), mempertimbangkan dorongan nilai dalam lingkungan usahanya (value-driven), siap menerima resiko dan kreatif, gagasan-gagasannya disesuaikan dengan format dimulainya bisnis, pertumbuhan usaha atau transformasi bisnis. Untuk melahirkan seorang wirausahawan melalui proses pendidikan kewirausahaan, kita dapat mengacu kepada pendapat Spencer dan Spencer (1993:222-224) yang mengatakan bahwa seorang wirausahawan mesti mempunyai kompetensi tertentu, yaitu : (1) Prestasi (achievement), yang terdiri dari : inisiatif, melihat dan bekerja berdasarkan peluang, peristensi, mencari informasi, konsern pada kualitas kerja, komit pada kontrak kerja, dan berorientasikan efesiensi. (2) Berpikir dan memecahkan masalah (thinking and problem solving), yaitu berpikir dan memecahkan masalah dengan perencanaan dan pemecahan masalah yang sistemais (3) Kematangan pribadi (personal maturity), yang terdiri dari percaya diri, keahlian, keterbatasan pengakuan (4) Pengaruh (influence), yang terdiri dari sifat persuasif dan penggunaan siasat . (5) Pengarahan dan pengendalian (directing and contolling), yang terdiri dari kepekaan dan monitoring. (6) Berorientasi pada sesama (orientation to others), yang terdiri dari kredibilitas, integritas, keilmiahan, konsern pada kesejahteraan karyawan, pengakuan pada relasi bisnis yang penting, dan penyediaan pelatihan karyawan. (7) Kompetensi tambahan (additional competencies), yang terdiri dari pembentukan modal, konsern pada citra pproduk dan pelayanan. Konsepsi Karakteristik Individu Pemahaman tentang karakteristik individu terkait dengan teori-teori dasar (grand theory) di bidang psikologi kepribadian. Beberapa teori kepribadian yang relevan menurut Salkind (1985:11-19) adalah teori perkembangan oleh Gesell (1920) dan Lorenz (1940), kemudian teori psikoanalisis yang dikemukakan oleh Freud (1930) dan Erikson (1955). Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) dan Spencer dan Spencer (1993), secara definitif, karakteristik pribadi/individu merupakan bagian dari individu yang melekat pada diri seseorang yang mendasari 27 tingkah laku orang tersebut yang dibutuhkan dalam suatu kriteria atau situasi tertentu. Karakteristk pribadi meliputi umur, jenis kelamin, posisi, jabatan, motivasi, status sosial, dan agama (Mardikanto, 1993:213). Umur, pendidikan, status sosial ekonomi, pola hubungan, dan sikap mempengaruhi proses inovasi seseorang (Slamet, 2003:16). Menurut Freud (Salkind, 1985:11-19), ada tiga komponen dalam kepribadian manusia, yaitu : id, ego, dan super ego. Dengan bertambahnya umur, pengalaman atau proses belajar yang panjang, orang sudah mampu mengalahkan id, ego, dan superegonya. Havigusrt (1972) dengan teori perkembangannya mengatakan bahwa dengan mempelajari masa perkembangan kita dapat mengetahui siap-tidaknya seseorang untuk belajar, sehingga dapat dihindari terjadinya kegagalan belajar. Pada saat tertentu, keinginan untuk belajar seseorang akan sangat besar atau bisa menurun. . Umur Baron dan Greenberg (1990:169) mengatakan bahwa umur dan masa kerja seseorang berpengaruh tehadap kinerjanya. Kepuasan kerja akan meningkat sejalan dengan bertambahnya umur (Schultz dan Schultz, 1994:277). Tingkat kepuasan kerja pegawai yang lebih muda cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pegawai yang lebih tua karena pegawai yang lebih muda sering kali mempunyai harapan yang tinggi ketika memasuki dunia kerja (Luthans, 1989:181), namun menurut Padmowihardjo (1994), umur sendiri bukan merupakan faktor psikologis, tetapi hal-hal yang diakibatkan oleh umur itu adalah faktor-faktor psikologis dalam belajar. Umur 25 tahun adalah umur yang optimal untuk belajar. Pada umur 46 tahun kemampuan belajar mulai menurun dan akan menurun drastis setelah umur 60 tahun. Hasil perpaduan antara karakteristik dengan pengalaman belajar menjadikan perbedaan yang sangat besar pada kemampuan setiap orang (Lionberger dan Gwin, 1982;8). Hasil penelitian Sachie (Salkind, 1985:32) menunjukkan bahwa pebedaan umur membawa perbedaan dalam kematangan. Disimpulkan oleh Salkind (1985:31) bahwa umur krononologis merupakan acuan untuk mengetahui tingkat perkembangan individu. Hal itu karena umur krononologis mudah dan akurat ditentukan sehingga tingkat perkembangan individu dapat diamati dengan menggunakan kriteria munculnya kinerja atau kemampuan tertentu dalam umurnya. 28 Masa Kerja Rakhmat (1999:21) mengatakan bahwa pengalaman adalah satu-satunya jalan kepemilikan pengetahuan (aliran filsafat empirisme). Secara psikologis seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan temperamen ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience). Sejalan dengan itu, Padmowihardjo (1994:19) menjelaskan bahwa pengaturan pengalaman yang dimiliki seseorang sebagai hasil belajar selama hidupnya dapat digambarkan dalam otak manusia. Seseorang akan berusaha menghubungkan hal-hal yang dipelajari dengan pengalaman yang dimiliki dalam proses belajar. Pengalaman yang menyenangkan dan memuaskan akan berdampak pada hal positif bagi perilaku yang sama dan akan diterapkan pada situasi berikutnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masa kerja terkait dengan pengalaman. Pengalaman merupakan sumber belajar bagi seseorang yang dapat digunakannya untuk mengatasi berbagai persoalan dalam pekerjaan. Khusus bagi Pamong Belajar pengalaman yang berkaitan pengelolaan usaha yang dilakukan sendiri akan berpengaruh terhadap kemampuannya dalam mengelola program pembinaan industri kecil. Pendidikan Formal Program pendidikan yang baik akan membuat perbedaan besar dalam standar hidup, kebudayaan, dan kebebasan suatu bangsa. Pelayanan publik yang baik hanya dapat terwujud apabila didukung oleh pendidikan yang baik. Sejalan dengan itu, Slamet (2003:12) mengungkapkan bahwa masyarakat perlu dipersiapkan melalui program-program pendidikan agar mampu menerima dan berpartisipasi secara aktif dalam setiap usaha pembangunan. Menurut Gonzales (Jahi, 1988), pendidikan juga merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan dan menggambarkan tingkat kemampuan kognitif. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, ada kecenderungan semakin tinggi pula pengetahuan, sikap, dan keterampilan, efisiensi bekerja, dan semakin banyak tahu cara-cara dan teknik bekerja yang lebih baik dan lebih menguntungkan (Slamet, 2003:40; Mardikanto, 1993:213). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan daya pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat 29 pendidikan seseorang semakin luas pengetahuannya dan semakin kuat pula daya pikirnya. Pendidikan Nonformal Menurut Buchori (1994:8), terdapat dua proses pendidikan yaitu yang disengaja dan terencana, dan yang tidak disengaja dan tidak direncanakan. Pendidikan formal dan nonformal merupakan pendidikan yang disengaja sehingga hal itu dapat dikatakan sebagai suatu upaya, sedang pendidikan informal (termasuk pendidikan di lingkungan keluarga) merupakan pendidikan yang tidak disengaja dan tak terencana sehingga lebih merupakan suatu kejadian/peristiwa. Perpaduan pendidikan formal, non formal dan informal menjadi penting dalam meningkatkan kualitas belajar seseorang (Ranaweera, 1994). Pendidikan nonformal adalah setiap kegiatan pendidikan di luar sistem pendidikan formal yang diorganisasikan dan sistematis, yang dilaksanakan di luar jaringan sistem formal untuk menyediakan tipe pelajaran yang dipilih untuk sub kompok tertentu dalam masyarakat, baik bagi orang dewasa mapun bagi anak-anak (Blanckenburg, 1988:17). Pendidikan nonformal berorientasi pada ciri-ciri warga belajar dalam mencapai tujuan pendidikannya (Ruwiyanto, 1994:65). Pendidikan nonformal dalam penelitian ini adalah pendidikan nonformal yang didapatkan Pamong Belajar melalui pelatihan, magang, kursus, penataran, dan berbagai pendidikan keterampilan teknis lainnya yang dapat meningkatkan kemampuannya dalam kegiatan pembinaan ekonomi masyarakat atau pengrajin industri kecil. Kekosmopolitan Mardikanto (1993:350) mengemukakan bahwa kekosmopolitan merupakan hubungan seseorang dengan lingkungan luar di luar sistem sosialnya yang dapat dilihat dari frekuensi dan jarak kegiatan bepergian maupun pemanfaatan media massa. Bagi masyarakat yang memiliki tingkat kekosmopolitan tinggi akan cenderung lebih mudah mengadopsi inovasi di banding dengan masyarakat yang tingkat kekosmopolitannya rendah (lokalit). Orang yang kosmopolitan relatif tinggi lebih terbuka terhadap ide, gagasan, pengetahuan dan informasi dari luar. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kekosmopolitan adalah sikap keterbukaan Pamong Belajar dalam menerima informasi melalui hubungan mereka dengan 30 berbagai sumber informasi, frekuensi bepergian ke luar daerah, maupun dalam pemanfaatan media massa. Persepsi pada Pekerjaan Persepsi adalah sebuah proses pengamatan, seleksi, dan pengorganisasian rangsangan yang diterima secara konstan dan pembuatan interpretasi atas rangsangan tersebut (Lewis, 1987:107-109). Persepsi dapat sebagai penghambat dan mempermudah dalam berkomunikasi, dapat berupa persepsi langsung dan persepsi tak langsung. Menurut Heider (Aloliliweri, 1991:176), persepsi langsung terkait dengan pemaknaan objek fisik, sedangkan persepsi tak langsung terkait dengan komunikasi antar pribadi yang dipengaruhi oleh peubah individu maupun kondisi komunikasi. Oleh karena persepsi bersifat kompleks, kita cenderung memperhatikan salah satu stimuli tertentu dari seseorang, padahal seseorang tersebut makhluk hidup cenderung mengalami perubahan sehingga persepsi pun menjadi mudah salah (Rakhmat, 1999:81). Menurut Litterer (Asngari, 1984:12-23), persepsi adalah : ”the understanding or view people have of things in the world around them. One of the basic factors in perception is the ability of people to take a limited number of facts and pieces of information and fit them into a whole picture. This proces of closure plays a central role in perception.“ Persepsi orang itu dipengaruhi oleh pandangan seseorang pada suatu keadaan, fakta, atau tindakan. Orang bertindak sebagian dilandasi oleh persepsi mereka pada suatu situasi. Walaupun seseorang hanya mendapat bagian-bagian informasi, dia dengan cepat menyusunnya menjadi suatu gambaran yang menyeluruh. Ada keinginan atas kebutuhan manusia untuk mengetahui dan mengerti dunia tempat hidup, dan mengetahui makna dari informasi yang diterimanya. Karena itu, individu perlu mengerti dengan jelas tugas dan tanggung jawab yang dipikulkan kepadanya. Persepsi seorang pegawai pada pekerjaan akan mempengaruhi komitmennya pada pekerjaan tersebut. Menurut Schatz dan Schatz (1986), komitmen yang tinggi biasanya ditunjukkan dengan loyalitas dan kemampuan kerja yang tinggi pula. Menurut Steers dan Porter (Djati, 2002:25), loyalitas tersebut bukan loyalitas pasif, tetapi juga loyalitas yang melibatkan hubungan yang aktif dengan organisasi kerja untuk keberhasilan organisasi bersangkutan dalam menjalankan misinya. 31 Konsepsi Pendidikan dan Pelatihan Untuk memahami efektifitas dari suatu kegiatan pendidikan dan pelatihan perlu dipahami berbagai teori besar (grand theory) tentang belajar. Menurut Salkin (1985) ada beberapa teori belajar, misalnya teori belajar Stimulus Respon oleh Thorndike (1903) , teori belajar Learning Condition oleh Gagne (1968), teori belajar Discovery Learning oleh Bruner (1966), teori belajar Cognitive Learning oleh Ausubel (1970), teori belajar Social Learning oleh Bandura (1977), dan Penyadaran Naif-Transitif–Kritis oleh Paulo Freire (Roger, 1969). Pendekatan belajar dalam pendidikan dan pelatihan yang tepat bagi Pamong Belajar adalah pendekatan belajar orang dewasa, bersifat humanistik, dan berfokus kepada pembelajar (student centered learning. Rogers (Good dan Brophy, 1990:465) mengemukakan bahwa pada dasarnya manusia mempunyai potensi alami untuk belajar. Pengertian Pendidikan dan Pelatihan Pendidikan, pelatihan dan pengembangan merupakan kegiatan penting dalam suatu organisasi untuk mempertahankan, menjaga, dan memelihara pegawai dalam organisasi, kemudian meningkatkan keahlian serta kompetensi para pegawai untuk kemudian dapat meningkatkan produktivitas kerjanya. Menurut Gilley dan Eggland (1989:7), pendidikan (education) diartikan sebagai pembelajaran yang diberikan untuk meningkatkan kinerja seseorang pada sebuah pekerjaan di kemudian hari atau untuk memungkinkan seseorang akan menerima tanggung jawab dan atau tugas-tugas baru, sedangkan pelatihan (training) merupakan pembelajaran yang diberikan dalam pekerjaannya untuk meningkatkan kinerja pada pekerjaannya sekarang. Pengembangan (development) merupakan pembelajaran yang tidak terkait dengan pekerjaan utama seseorang tetapi mempunyai pengaruh pada pekerjaannya di masa sekarang dan masa datang. Menurut Rivai dan Sagala (2009:211), pelatihan merupakan bagian dari pendidikan yang menyangkut proses belajar untuk memperoleh dan meningkatkan keterampilan di luar sistem pendidikan yang berlaku dalam waktu yang relatif singkat dengan metode yang lebih mengutamakan pada praktek dari pada teori dan bentujuan untuk kebutuhan pekerjaan pada saat ini. Keterampilan yang dimaksud adalah physical skill, intelectual skill, social skill, managerial skill, dll. Pelatihan merupakan upaya untuk memperbaiki performansi pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang menjadi tanggung jawabnya (Bernadin dan Russel, 32 1993:297). Pelatihan secara bersamaan harus dirancang untuk mewujudkan tujuan organisasi dan tujuan pekerja secara individu, mencakup pengalaman belajar (learn experience), aktivitas-aktivitas terencana (be a planned organization) dan dirancang berdasarkan kebutuhan (Hersey dan Blanchard, 1990:78). Pada dasarnya indikator mutu seorang karyawan adalah derajad pendidikan, pengetahuan, sikap, dan keterampilan, dan motivasi karyawan yang bersangkutan (Mangkuprawira dan Hubeis, 2007:69). Manajemen Pendidikan dan Pelatihan Menurut Azizy (2007:114), diklat Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus diubah dari diklat yang menekankan kepatuhan (compliance) menjadi diklat khusus yang menekankan keterampilan, pengetahuan, dan moralitas (karakter, integritas, mentalitas, dan dedikasi). Mengacu kepada pendapat Bernadin dan Russel (1993:111-112) dan Gilley dan Eggland (1989:29-31), ada empat aktivitas dalam program pelatihan, yaitu: (1) penilaian kebutuhan pelatihan (need assesment) yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi apakah program pelatihan dibutuhkan atau tidak, (2) pengembangan program pelatihan (development) yang bertujuan untuk merancang lingkungan pelatihan dan metode-metode yang dibutuhkan guna mencapai tujuan pelatihan, dan (3) evaluasi program pelatihan (evaluation) yang bertujuan untuk menguji dan menilai apakah program pelatihan telah dilaksanakan secara efektif dan mampu mencapai tujuan yang diharapkan, dan (4) kegiatan pengajaran (instruction). Simamora (1996:48-49) mengemukakan bahwa tujuan pelatihan dan pengembangan adalah : (1) memperbaiki kinerja, (2) pemutakhiran keterampilan karyawan sesuai perkembangan teknologi, (3) mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru supaya menjadi kompeten, (4) membantu untuk memecahkan persoalan operasional, (5) mempersiapkan karyawan untuk promosi, dan (6) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi. Untuk mencapai hasil yang maksimal, maka kebutuhan pelatihan merupakan hal yang mutlak dikaji sebelum pelatihan dimuai. Kebutuhan pelatihan didefinisikan oleh Rae (1990:12); Halim dan Ali (1997:137); Mangkuprawira dan Hubeis (2007:85) yaitu sebagai kondisi kesenjangan atau kekurangan antara pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dikuasai saat ini dengan yang seharusnya dimiliki. Kesenjangan tersebut menjadi masalah yang mengawali 33 munculnya perbedaan antara kinerja yang diharapkan dengan kinerja yang ditampilkan. Menurut Davies (2005:34-35), latihan dibutuhkan karena ada masalah, tantangan, atau tuntutan pengembangan. Hickerson dan Middleton (1975:13); Rae (1990:8); Boydell (Davies, 2005:119) menyatakan bahwa model latihan yang efektif terdiri dari tahapan analisis kebutuhan latihan, merancang tujuan latihan, merancang latihan, melaksanakan latihan, dan evaluasi (formatif dan sumatif). Gilley dan Eggland (1989:214) mengemukakan sembilan tahap latihan yaitu falsafah mengajar dan belajar, analisis kebutuhan, umpan balik, disain program, pengembangan program, implementasi program, manajemen program, evaluasi dan akuntablitas. Lebih ringkas dikatakan Irianto (2001:30) bahwa latihan mempunyai tahapan integratif yang terdiri dari tahap penentuan, tahap implementasi, dan tahap evaluasi. Salah satu model yang ditawarkan Gilley dan Eggland (1989:209) untuk penentuan kebutuhan adalah individual appraisal models. Model ini terdiri dari dua jenis yaitu kolaboratif dan nonkolaboratif. Dalam model kolaboratif, karyawan dibantu orang lain untuk mengklasifikasikan kebutuhannya, sedangkan nonkolaboratif, karyawan menentukan sendiri kebutuhannya. Model non kolaboratif mengendung kelemahan, karena bisanya yang bersangkutan tidak cukup mengenali dan tidak memahami esensi kebutuhan belajar. Dengan demikian, colaborative individual appraisal models lebih baik dalam penentuan kebutuhan pelatihan karena model ini dapat mengidentifikasi kebutuhan spesifik seseorang yang berkaitan dengan pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan agar mampu melaksanakan suatu pekerjaan (Halim dan Ali, 1997:137). Untuk memperoleh efektivitas pelatihan, Hamalik (2007) menekankan perlunya dipahami beberapa hal, yaitu: (1) perencanaan pelatihan dan unit pembelajaran, (2) pengembangan kurikulum pelatihan termasuk perencanaan dan penyesuaiannya, (3) memilih metode pelatihan, (4) pemantauan dan penilaian pelatihan, (5) kompetensi dan profesionalisme pelatih, dan (6) tindakan pasca pelatihan. Elemen kurikulum sebagai bagian penting dari pendidikan dan pelatihan harus dirancang dengan seksama dan tepat (Dimyati dan Mudjiono, 1995). Kriteria efektif yang digunakan untuk mengevaluasi pelatihan dan pengembangan harus berfokus pada proces dan out come (Mangkuprawira dan Hubeis, 2007:97). Suparman (1994:63-64) mengatakan bahwa penyusunan kurikulum pendidikan harus didasarkan pada identifikasi kebutuhan instruksional yang bersumber kepada 34 tiga kelompok, yakni: (1) peserta didik (Pamong Belajar), (2) masyarakat (klien), (3) pendidik (instruktur), dan (4) pengelola program (pemerintah). Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi (PPBK) Untuk meningkatkan kinerja pegawai belakangan ini muncul istilah manajemen sumber daya manusia berbasis kompetensi (competency-based human resources management), yaitu pengelolaan pegawai atau karyawan secara optimal yang prosesnya didasarkan pada informasi tentang kebutuhan kompetensi dalam organisasi dan informasi tentang kompetesi individu. Peningkatan kompetensinya adalah melalui pendidikan dan pelatihan berbasis pada kompetensi yang berfokus pada hasil akhir (outcome). Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi (PPBK) merupakan suatu proses pendidikan dan pelatihan yang dirancang untuk mengembangkan kemampuan dan ketrampilan secara khusus, untuk mencapai hasil kerja yang berbasis target kinerja (performance target) yang telah ditetapkan, sifatnya sangat fleksibel untuk memperoleh kompetensi dengan berbagai cara. Menurut Elam dan Fletcher (Mangkuprawira dan Hubeis, 2007:74), model pelatihan berbasis kompetensi sangat menekankan kepada aspek pengetahuan. Mengacu kepada pendapat Ryllat (1993:65), terdapat sembilan prinsip yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan PPBK, yaitu : (1) Bermakna, praktek terbaik (meaningful, best practice) (2) Hasil pembelajaran (acquisition of learning) yang berfokus pada kompetensi yang diharapkan seseorang, bukan bagaimana mereka memperolehnya. (3) Feksibel (fleksible), artinya pembelajaran dapat dilakukan dengan berbagai cara dan metode, membaca, dan cara belajar lainnya. (4) Mengakui pengalaman belajar sebelumnya (recognizes prior learning) (5) Tidak didasarkan atas waktu (not time based). (6) Penilaian yang disesuaikan (appropriate assessment) dengan kemampuan seseorang dalam menampilkan kompetensi tertentu. (7) Monitoring dan evaluasi (on-going monitoring and evaluation) sejak dari masukan, proses sampai pada keluaran, yang hasilnya dihubungkan dengan standar nasional untuk memperoleh pengalaman (accreditation). (8) Konsistensi secara nasional, artinya terdapat kompetensi yang secara nasional konsisten dengan kebutuhan industri dan konsisten pula antar lembaga lain. 35 (9) Adanya sistem akreditasi pembelajaran yang konsisten secara nasional diantara penyedia jasa pendidikan dan pelatihan dan instansi yang berkompeten. Dubois (1996:71-73) mengembangkan model pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi lima tahap seperti yang terlihat pada Gambar 1. Model lima tahap tersebut sangat sederhana dan dapat dimodifikasi sesuai kebutuhan dan hasil akhir pendidikan dan pelatihan yang diharapkan bagi Pamong Belajar. Mengacu kepada teori perkembangan oleh Havigusrt, teori motivasi konvensional oleh Maslow, dan teori motivasi berprestasi oleh Mc Clleland, pada dasarnya manusia selalu ingin berkembang dan ingin berprestasi. Artinya perkembangan diri seseorang dapat dipacu sehingga mereka bisa lebih mandiri, berprestasi dan mampu melaksanakan tugas dan pekerjaannya sebagaimana mestinya. Dengan demikian konsep pengembangan diri merupakan penjabaran dari beberapa teori besar (grand theory) tentang kepribadian dan diperjelas dengan beberapa teori tentang motivasi tersebut. Lingkungan luar Lingkungan organisasi Langkah 1 Analisis Kebutuhan, Penilaian dan Perencanaan Langkah 2 Pengembangan model kompetensi Langkah 3 Perencanaan kurikulum Langkah 4 Perencanaan dan Pengembangan Intervensi Pembelajaran Langkah 5 Evaluasi Tujuan Strategis, Sasaran, dan Rencana Organisasi Gambar 1. Model Sistem Strategis untuk Menciptakan dan Mengelola Program Peningkatan Kinerja Berbasis Kompentensi (Dubois, 1996) 36 Konsepsi Pengembangan Diri Werther dan Davis (1996:282) mengatakan bahwa pengembangan diri merupakan kesempatan-kesempatan belajar (learning opportunity) yang direncanakan untuk membantu pengembangan seseorang atau karyawan yang berorientasi pada masa depan. Pengembangan diri dapat dilakukan dari sudut pandang individu (melalui kemandirian belajar seseorang) dan dari sudut pandang organisasi (pengembangan profesionalisme dan pengembangan karir). Kemandirian Belajar Kemandirian belajar merupakan upaya sadar dan aktif seseorang untuk meningkatkan sendiri kualitas perilakunya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya (Sumardjo, 1999:99). Secara empirik dan teoritik tidak ada kemandirian yang bersifat mutlak, umumnya bersifat relatif. Sebagai makhluk sosial, seseorang tidak mungkin hidup dan berdiri sendiri dan memerlukan orang lain di dalamnya (Susanto, 2001:2). Dalam menciptakan kemandirian belajar, diperlukan keluwesan dalam mengelola sumber belajar. Belajar tidak harus dengan guru yang langsung mengajar, melainkan sumber belajar tertentu dapat dianalogikan sebagai guru. Menurut Rohani (2004: 161), sesungguhnya tidak ada bahan yang jelas mengenai sumber belajar, sebab segala yang bisa mendatangkan manfaat atau mendukung dan menunjang individu untuk berubah ke arah yang lebih baik, positif, dinamis, atau menuju perkembangan, dapat disebut sebagai sumber belajar. Mengacu kepada konsep yang dikemukakan Klusmeier dan Goodwin (Sumardjo, 1999 : 100), ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses belajar mandiri Penyuluh yang dapat dianalogikan sebagai Pamong Belajar adalah: (1) karakteristik sumber informasi (teacher characteristic), (2) interaksi sumber informasi dengan Pamong Belajar (leaner-teacher behaviour), (3) fasilitas (facility); (4) karakteristik Pamong Belajar (learner characteristic), (5) inovasi/informasi (subject matter), (6) kelompok kerja/belajar (group characterstic), dan (5) kelembagaan pendukung (outside process). Motivasi Berprestasi Motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong orang tersebut untuk melakukan aktifitas-aktivitas tertentu guna mencapai sesuatu tujuan. Aktivitas yang didorong oleh motif intrinsik lebih sukses dari pada yang didorong 37 oleh motif ekstrinsik. Karena itu pertlu ditimbulkan seluas mungkin motif instrinsik seseorang dengan jalan menumbuhkan dan mengembangkan minat mereka melalui sugesti-sugesti yang positif (Suryabrata, 2000:70-74). Mc Clelland (1973) mengatakan bahwa motivasi berprestasi mengandung dua aspek, yaitu: (1) mencirikan suatu ketahanan dan suatu ketakutan akan kegagalan, dan (2) meningkatkan usaha keras yang berguna dan mengharapkan akan keberhasilan. Travers (1982) mengemukakan pula bahwa aspek-aspek motivasi berprestasi adalah mengharapkan keberhasilan dan menghindari kegagalan sekaligus dapat menentukan hasil belajar seseorang, karena itu perlu mendapatkan perhatian yang serius. Stoner dan Wankel (1986) menjelaskan bahwa orang yang mempunyai motivasi berprestasi memiliki sejumlah karakteristik, yakni: (1) cenderung mengambil tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah dan pekerjaan/tugas, (2) cenderung menentukan tujuan yang agak sulit bagi diri sendiri dan mengambil resiko yang telah diperhitungkan untuk mencapai tujuan, dan (3) sangat mementingkan umpan balik mengenai seberapa baik mereka melakukan sesuatu. Orang yang memiliki motivasi beprestasi tinggi cenderung mempunyai kebutuhan yang sangat dimotivasi oleh situasi yang bersaing dan penuh tantangan. Pengembangan Karir Karir merupakan bagian dari perjalanan dan tujuan hidup seseorang. Angapan umum bahwa seseorang dikatakan sukses dalam karirnya bila ia telah menempati posisi menejer atau kepala pada suatu organisasi (Dalil, 2003:275). Perubahan stuktur organisasi telah memberikan dampak pada pengelolaan karir individu dalam organisasi. Dengan mempertimbangkan kompetensi individunya, organisasi memberikan kesempatan bagi setiap individu untuk mengembangkan karirnya. Melalui manajemen karir, suatu organisasi mempunyai suatu kekuatan dalam upaya untuk mendorong individu agar tumbuh dan merealisasikan potensinya secara penuh. Pengembangan karir adalah peningkatan pribadi yang dilakukan seseorang dalam mencapai rencana karir pribadinya. Perencanaan karir pegawai merupakan suatu proses yang bertujuan agar karir pegawai dapat dikembangkan sesuai dengan bakat dan kemampuannya sehingga bisa berfungsi dengan baik. Program pengembangan karir yang kurang baik dapat menimbulkan keresahan dalam organisasi. Karyawan merasa tidak aman, merasa diperlakukan tidak jujur dan tidak 38 adil, tidak ada ruang untuk berkreativitas. Selanjutnya karyawan akan merasa tidak puas dengan kebijakan organisasi sehingga berdampak negatif pada kinerja pegawai secara keseluruhan. Sulistio dan Pujianto (2003:281) mengemukakan suatu model tahapan perancangan jalur karir dan program kaderisasi pegawai dalam suatu perusahaan. Seperti terlihat pada Gambar 2, model tersebut dapat pula dikembangkan untuk dapat diterapkan dalam berbagai organisasi pemerintah, khususnya di Sanggar Kegiatan Belajar. Penelaahan Awal Terhadap Organisasi Pengumpulan informasi tentang : Strukturorganisasi Proses Bisnis Perusahaan Data empiric tentang promosi/ perpindahan karyawan Inventarisasi seluruh jabatan dalam organisasi Inventarisasi dan penelaahan terhadap : Job Description Job Spesification setiap jabatan Pengelolaan posisi berdasarkan struktur organisasi, proses bisnis, dan data empirik tentang promosi/ perpindahan karyawan Inventarisasi tugas-tugas (task) yang tercakup pada setiap posisi VERIFIKASI Inventarisasi : Rekruitmen kebutuhan Rekruitmen pemenuhan untuk setiap posisi VERIFIKASI Perumusan Jalur Karir berdasarkan Struktur Organisasi, Proses Bisnis dan Data Empirik tentang Promosi dan Perpindahan Karyaan Perumusan Rancangan Program Gambar 2. Tahapan Perancangan Jalur Karir dan Program Kaderisasi (Sulistio & Pujianto, 2003:287) Menurut Rivai dan Sagala (2009:266), beberapa konsep dasar pengembangan karir, yaitu : (1) Karir adalah seluruh posisi kerja yang dijabat selama sikus kehidupan pekerjaan seseorang (2) Jenjang karir merupakan model posisi pekerjaan berurutan yang membentuk karir seseorang 39 (3) Tujuan karir adalah posisi mendatang yang diupayakan pencapaiannya oleh seseorang sebagai bagian karirnya. Tujuan-tujuan ini berperan sebagai bencmark sepanjang jenjang karir seseorang (4) Perencanaan karir adalah proses dimana kita menyeleksi tujuan karir dan jenjang karir menuju tujuan-tujuan tersebut. Konsepsi Lingkungan Eksternal Pamong Belajar Lingkungan Fisik Pekerjaan Lingkungan mempengaruhi fisik kinerja pekerjaan seorang merupakan karyawan salah (Kussriyanto, satu faktor 1991:122). yang Untuk mendapatkan suasana kerja yang baik, perlu memperhatikan berbagai faktor penunjang dalam lingkungan kerja fisik, misalnya pengaturan ruang kerja, pengaturan suhu udara, pencahayaan, warna dinding, dan pengendalian kebisingan (Purnomo, 2000: 5) Lingkungan fisik pekerjaan terkait dengan sarana dan prasarana yang mendukung pekerjaan Pamong Belajar. Sarana dan prasarana tersebut meliputi ruang perkantoran, alat-alat tulis, komputer, alat transportasi, alat komunikasi da informasi, tempat ibadah, dan berbagai kebutuhan lainnya. Ketersediaan sarana prasarana fisik tersebut tentunya berkaitan erat dengan ketersediaan anggaran yang cukup agar tercipta kenyamanan Pamong Belajar dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya. Ada tiga unsur utama berupa sumber daya yang memungkinkan berjalannya sebuah organisasi dengan baik, yakni (1) sumber daya fisik, (2) sumber daya keuangan, dan (3) sumber daya manusia. Ketiga sumber daya ini melengkapi satu sama lain. Kekurangan sumber daya yang satu akan mempengaruhi sumber daya yang lain. Selama otonomi daerah ketiga sumber daya ini tampaknya kurang diperhatikan, apalagi bagi daerah yang minim APBD maka sumber daya fisik sering diabaikan sehingga mempengaruhi kondisi kerja Pamong Belajar dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pendidikan nonformal di Sanggar Kegiatan Belajar. 40 Lingkungan Sosial Keluarga Lingkungan kemanusiaan meliputi lingkungan masyarakat dan keluarga. Pemahaman terhadap lingkungan masyarakat sebagai lingkungan kerja bagi Pamong Belajar terkait dengan kegiatan kemitraan dengan semua pihak, baik dengan instansi pemerintah, swasta, dan LSM. Hal ini memerlukan koordinasi antar mitra, dan berbagai jejaring kerja tersebut. Jejaring kerja itu sendiri menurut Wayne (Arsyad, 2002:11), merupakan proses aktif membangun dan mengelola hubunganhubungan yang produktif. Menurut Hickman (Arsyad, 2002:12), tujuan membangun jejaring kerja adalah untuk mempersatukan bakat, potensi, dan kemampuan, baik secara individu, kelompok, maupun seluruh jajaran organisasi sehingga tercipta kemampuan pribadi maupun kemampuan bersama yang semakin besar. Dalam membangun hubungan personal di masyarakat khususnya hubungan kerja dengan semua pihak, Pamong Belajar perlu dibekali dengan berbagai soft skills sehingga komunikasinya menjadi lebih efektif, kerjasama dan koordinasi terjalin dengan semua pihak, dan konflik dapat dihindari. Menurut Mulyana (2008:47-49), agar lingkungan kerja Pamong Belajar tercipta dengan kondusif maka perlu dikembangkan strategi pembinaan yang berwajah humanis. Organisasi Kerja Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai tujuan bersama atau tujuan kelompok. Pada orgaisasi pemerintah, bagian organisasi yang sering mengalami perubahan adalah strukturnya. Menurut Robbin (1993:46), struktur organisasi mengatur hubungan antar orang dan antar kelompok untuk mencapai tujuan. Juga menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa dan mekanisme koordinasi yang formal serta pola interaksi yang akan diikuti. Disamping itu, konflik-konflik antar pegawai dalam organisasi juga sering menjadi penghambat dalam pelaksanaan pekerjaan. Konflik bisa terjadi secara vertikal yaitu antara atasan dan bawahan dan konflik secara horizontal yaitu antar sesama pegawai. Menurut Handoko (1991:345), karaketristik-karakterik kepribadian tertentu seperti otoriter dan dogmatis merupakan faktor pemicu konflik tersebut. Organisasi yang mempunyai tingkat konflik sangat fungsional dapat memacu kinerja organisasi, bila tingkat konflik rendah kinerja organisasi stagnan, bahkan bila tingkat 41 konflik tinggi kinerja organisasi bisa menjadi jeblok, kekacauan dan perpecahan akan terjadi. Kebijakan Pemerintah Secara umum dapat diartikan bahwa kebijakan pemerintah merupakan dukungan yang diberikan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk kelancaran tugas Pamong Belajar sehingga kompetensi dan kinerjanya meningkat, khususnya kompetensi dalam pembinaan pengrajin industri kecil. Sebaliknya dukungan pemerintah yang kurang memadai, baik pada aspek anggaran kegiatan, pendidikan dan pelatihan kepegawaian, dan kelengkapan sarana prasarana, dan kesejahteraan Pamong Belajar dipandang dapat menurunkan kompetensi dan kinerja Pamong Belajar. Kebijakan pemerintah atau kebijakan publik adalah pengaturan yang sifatnya berlaku umum (Parson, 1995). Menurut Young dan Quinn (Suharto, 2005), definisi kebijakan publik dalam arti luas yaitu apapun yang dipilih pemerintah untuk melakukan sesuatu Kebijakan dihasilkan karena ada hal-hal yang memerlukan pengaturan, yang dalam hal ini khususnya oleh pemerintah, sesuai dengan kewenangan dan lingkup kerangka kebutuhan sosial kelompoknya. Pengaturan tersebut merupakan bentuk intervensi atau aplikasi tindakan umum yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Menurut Woll (Tangkilisan, 2003:2), kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Adapun pengaruh dari tindakan pemerintah tersebut adalah : (1) Adanya pilihan kebijakan yang dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah, atau yang lainnya yang bertujuan untuk menggunakan kekuatan publik dalam mempengaruhi kehidupan masyarakat. (2) Adanya output kebijakan, dimana kebijakan yang diterapkan pada level ini menuntut pemerintah untuk melakukan pengaturan, penganggaran, pembentukan personil dan membuat regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat. (3) Adanya dampak kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.