BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma kepala dan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karsinoma kepala dan leher merupakan istilah luas yang mengacu kepada keganasan
epitel sinus paranasalis, rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring. Hampir seluruh
keganasan epitel tersebut berupa Karsinoma Sel Skuamosa Kepala dan Leher (KSSKL)
dengan insiden cukup tinggi, dimana faktor risiko yang penting adalah merokok, konsumsi
alkohol, oral hygiene buruk, unfix dentures. Faktor risiko tersebut dominan menyebabkan
kanker rongga mulut. Infeksi virus seperti human papillomavirus (HPV), Epstein - Barr
Virus (EBV) juga berperan penting terhadap timbulnya kanker nasofaring dan orofaring.
Dari etiologi disebutkan tadi maka lokasi KSSKL dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu
KSSKL bagian anterior (oral cancer) dan KSSKL bagian posterior (orofaring, nasofaring,
laring) dengan batas papilla sirkumvalata.
Diperkirakan terjadi 263.900 kasus baru dan 128.000 kematian dari kanker rongga
mulut di seluruh dunia pada tahun 2008 (Jemal, et al., 2011). Di Amerika Serikat
diperkirakan ditemukan 29.800 kasus baru kanker rongga mulut setiap tahun dan 8.100
kematian karena kanker rongga mulut setiap tahun. (Sugerman, et al., 1999). Didapatkan
korelasi antara kejadian kanker rongga mulut dengan paparan karsinogen yang terdapat
pada tembakau, alkohol dan buah pinang (Argiris, et al., 2008). Dikatakan pula infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) memegang peranan penting sebagai penyebab kanker
orofaring, pada tahun 2008 kasus kanker orofaring di dunia sekitar 85.000 kasus dan 22.000
kasus HPV(+), sebagian besar tidak merokok maupun minum alkohol (Pytynia, et al.,
2014), sebanyak 40-80% kanker orofaring di Amerika disebabkan oleh infeksi HPV
(Marur, et al., 2010). Pada Nasopharyngeal cancer (NPC) diperkirakan terjadi 84.400
kasus baru dan 51.600 kematian pada tahun 2008 (Jemal, et al., 2011), angka kejadian
paling banyak di Cina dan South Eastern Asia, termasuk di Malaysia, Indonesia, Singapura.
Faktor-faktor yang berperan pada angka kejadian NPC adalah genetik, lingkungan,
makanan, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV), 90% kasus undifferentiated NPC di Inggris
terinfeksi EBV (Farrell, et al., 1997)
Di Indonesia, pada tahun 1991, KSSKL menempati urutan ke 9 (3,03 %) dari 10
karsinoma terbanyak pada perempuan dan urutan ke 2 (11,27%) dari 10 karsinoma
terbanyak pada laki – laki (Tjindarbumi dan Mangunkusumo, 2002). Berdasarkan data dari
13 pusat patologi di Indonesia pada tahun 1998, kanker rongga mulut menempati urutan ke
2 karsinoma paling sering ditemukan di Bali setelah kanker serviks (Tjindarbumi dan
Mangunkusumo, 2002). Data dari Register Kanker Jakarta pada tahun 2005-2007
menunjukan bahwa kanker rongga mulut dan kanker nasofaring menempati posisi 8 (1,72
per 100.000) dari 10 karsinoma pada perempuan dan posisi 4 (3,65 per 100.000) dari 10
karsinoma pada laki-laki (Wahidin, et al., 2012). Di Bali pasien KSSKL seringkali datang
dengan stadium lanjut sehingga terapi sering bersifat paliatif dengan hasil tidak optimal. Di
RSUP Sanglah periode 2013-2014 ditemukan sebanyak 40 kasus karsinoma sel skuamosa
rongga mulut dan 25 kasus kanker nasofaring yang dirawat.
Sejumlah literatur menyebutkan bahwa faktor genetik berperan sebagai faktor
risiko, prediktor, dan prognostik pada KSSKL, penemuan-penemuan baru tersebut banyak
menyebabkan perubahan pada penatalaksanaan KSSKL, tetapi perkembangan tersebut
belum memberikan perubahan angka hidup yang memuaskan (Argiris, et al., 2008),
sehingga
pengembangan
penelitian
genetik
molekuler
sangat
penting
untuk
mengidentifikasi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan sifat KSSKL (PerezOrdonez, et al., 2006)
Epidermal growth factor receptor (EGFR) secara intensif telah diteliti sebagai
target terapi untuk pemberian obat anti kanker. Ekspresi dari faktor pertumbuhan dan
reseptornya merupakan kunci penting pada proses pathogenesis pertumbuhan sel kanker
(Kono, et al., 2012). Adanya over ekspresi EGFR merupakan prediktor kuat untuk
menentukan prognosis dari pasien KSSKL (Suh, et al., 2014; Warnakulasuriya, et al.,
2014). Terdapat hubungan antara overekspresi EGFR dengan ukuran tumor, invasi
kekelenjar getah bening maupun metastasis pada KSSKL (Kusukawa, et al., 1996).
Ekspresi EGFR (+) pada 100% oral cancer dan berkaitan erat dengan kebiasaan merokok
dan minum alkohol (Mahendra, et al., 2014), over ekspresi EGFR berhubungan dengan
pola pertumbuhan tumor yang invasive, dan diferensiasi buruk pada oral cancer (Shiraki, et
al., 2005). Overekspresi EGFR juga didapatkan pada 80% kasus undifferentiated NPC dan
berhubungan dengan prognosis buruk (Razak, et al., 2010), 80% pasien NPC mempunyai
ekspresi EGFR positif (Fujii, et al., 2002). Pada pasien kanker oropharing dengan HPV(+)
ekspresi EGFR lebih rendah daripada pasien dengan HPV(-) (Won, et al., 2012), EGFR (+)
pada 60% HPV (+) dan 93% HPV (-), pasien kanker orofaring dengan HPV (+) mempunyai
prognosis baik (Hong, et al., 2010). Di Bali ekspresi EGFR didapatkan 80% pada total 30
pasien oral SCC dan mempunyai hubungan dengan ukuran tumor dan node (Sutama dan
Sudarsa, 2008). Adanya over ekspresi EGFR pada KSSKL merupakan celah untuk
pengobatan kanker rongga mulut dengan menggunakan obat anti EGFR (Leemans, et al.,
2011). Penggunaan Anti EGFR sudah banyak digunakan pada kanker rongga mulut
maupun kanker nasofaring tetapi hasil yang diperoleh masih belum memuaskan (Choong
dan Cohen., 2006), sehingga banyak penelitian yang berkembang berkaitan kombinasi
therapi antara kemoradiasi dan anti EGFR (Lee, et al., 2012)
Berdasarkan data tersebut diatas peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian
tentang perbedaan over ekspresi EGFR pada KSSKL bagian anterior dan KSSKL bagian
posterior.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, disusunlah rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah ada hubungan over ekspresi epidermal growth factor receptor (EGFR)
dengan karsinoma sel skuamosa kepala leher bagian anterior (eksogen) dan
posterior (infeksi virus)?
2. Apakah ada hubungan over ekspresi epidermal growth factor receptor (EGFR)
dengan stadium klinis pasien karsinoma sel skuamosa kepala leher bagian
anterior?
3. Apakah ada hubungan over ekspresi epidermal growth factor receptor (EGFR)
dengan grade histopatologi pasien karsinoma sel skuamosa kepala leher bagian
anterior?
4. Apakah ada hubungan over ekspresi epidermal growth factor receptor (EGFR)
dengan stadium klinis pasien karsinoma sel skuamosa kepala leher bagian
posterior?
5. Apakah ada hubungan over ekspresi epidermal growth factor receptor (EGFR)
dengan grade histopatologi pasien karsinoma sel skuamosa kepala leher bagian
posterior?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana hubungan ekspresi epidermal growth factor receptor
(EGFR) dengan karsinoma sel skuamosa kepala leher bagian anterior dan posterior.
1.3.2
Tujuan Khusus
1. Mengetahui hubungan over ekspresi epidermal growth factor receptor (EGFR)
dengan karsinoma sel skuamosa kepala leher bagian anterior (eksogen) dan
posterior (infeksi virus).
2. Mengetahui hubungan over ekspresi epidermal growth factor receptor (EGFR)
dengan stadium klinis pasien karsinoma sel skuamosa kepala leher bagian
anterior.
3. Mengetahui hubungan over ekspresi epidermal growth factor receptor (EGFR)
dengan grade histopatologi pasien karsinoma sel skuamosa kepala leher bagian
anterior.
4. Mengetahui hubungan over ekspresi epidermal growth factor receptor (EGFR)
dengan stadium klinis pasien karsinoma sel skuamosa kepala leher bagian
posterior.
5. Mengetahui hubungan over ekspresi epidermal growth factor receptor (EGFR)
dengan grade histopatologi pasien karsinoma sel skuamosa kepala leher bagian
posterior.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Ilmiah
Memberikan suatu informasi baru berupa data hubungan over ekspresi epidermal
growth factor receptor (EGFR) dengan karsinoma sel skuamosa bagian anterior dan
posterior, stadium klinis dan grade histopatologis di Bali.
1.4.2. Manfaat Klinis
Apabila penelitian ini dapat membuktikan adanya perbedaan ekspresi epidermal
growth factor receptor (EGFR) pada karsinoma sel skuamosa kepala leher bagian anterior
dan posterior, maka dapat digunakan sebagai dasar dalam penatalaksanaan pasien KSSKL
di Bali.
Download