Paper-Ina-4-Riana Ayu Kusumadewi - Publikasi FTSL ITB

advertisement
DESALINASI AIR ASIN DENGAN PROSES DISTILASI
MENGGUNAKAN ENERGI MATAHARI DALAM KONDISI
VAKUM
SALINE WATER DESALINATION WITH DISTILLATION PROCESS
USING SOLAR ENERGY IN VACUUM CONDITION
Riana Ayu Kusumadewi1, Suprihanto Notodarmodjo2, dan Qomarudin Helmy3
Program Studi Magister Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132
1
[email protected], [email protected], dan [email protected]
Abstrak: Sumber air yang secara kuantitas tidak terbatas adalah air laut, namun kualitasnya sangat buruk
karena mengandung kadar garam atau TDS (Total Dissolved Solid) yang sangat tinggi. Salah satu
alternatif teknologi pengolahan air laut yang memanfaatkan energi matahari (renewable energy) adalah
desalinasi surya (solar still) untuk memisahkan garam dan air bersih. Pada penelitian ini dilakukan
pengembangan dari reaktor solar still dimana proses pemanasan, penguapan, dan pengembunan
ditempatkan secara terpisah. Evaporator berada dalam kondisi vakum untuk mempercepat proses
penguapan. Pada awal penelitian digunakan air payau artifisial (salinitas 12‰) untuk menentukan kondisi
maksimum ditilator, yaitu dengan beberapa variasi, antara lain variasi tekanan vakum (-0,05; -0,1; -0,15;
-0,2; -0,25; dan -0,3 bar), debit air input evaporator (3,3; 6,5; 12; dan 16 mL/det), dan jumlah tray dalam
evaporator (dari tanpa tray hingga menggunakan lima tray). Dari hasil penelitian diperoleh bahwa
tekanan vakum sebesar -0,3 bar, debit air input sebesar 6,5 mL/det, dan jumlah tray dalam evaporator
sebanyak lima buah yang menghasilkan efisiensi distilator paling tinggi, yaitu sebesar 37,77%. Setelah
kondisi maksimum diperoleh, dilanjutkan dengan menggunakan air laut artifisial (salinitas 38‰) sebagai
air umpan. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa efisiensi distilator untuk air laut artifisial (efisiensi
21,79%) lebih rendah dibandingkan dengan air payau artifisial (efisiensi 37,77%). Perpindahan panas
secara konduksi, konveksi, radiasi, evaporasi, dan kondensasi juga dianalisis untuk mengetahui
kesetimbangan termal dalam sistem. Dari hasil uji kualitas air, diperoleh bahwa air distilat yang
dihasilkan dari sistem desalinasi ini telah memenuhi baku mutu air minum menurut Peraturan Menteri
Kesehatan No. 492 tahun 2010 berdasarkan parameter pH, salinitas, konduktivitas, kekeruhan, TDS
(Total Dissolved Solid), besi (Fe), klorida, dan kesadahan, kecuali parameter E.coli.
Kata kunci: air asin, desalinasi, tekanan vakum, efisiensi distilator
Abstract: Water resource which is not limited in quantity is sea water, but its quality is very bad due to it
contains salinity or TDS (Total Dissolved Solid) which is very high. One of the sea water treatment
techmology alternatives using solar energy (renewable energy) is solar desalination (solar still) to
separate salt and clean water. In this research, development of solar still reactor had been conducted
where heating, evaporation, and condensation process are placed separately. Evaporator was under
vacuum condition to accelerate evaporation process. At the beginning of this research, I used an artificial
brackish water (salinity of 12‰) to determine distilator maximum condition, ie with a few variations,
such as variations in vacuum pressure (-0.05; -0.1; -0.15; -0.2; -0.25; -0.3 bar), evaporator input water
flow (3.3; 6.5; 12; and 16 mL/sec), and the number of trays in evaporator (from without tray until five
trays). The result showed that vacuum pressure of -0.3 bar, input water flow of 6.5 mL/sec, and five trays
in evaporator that yield the highest distillator efficiency, amounting to 37.77%. After maximum condition
is obtained, followed by using artificial sea water (salinity of 38‰) as feed water. The result showed that
distillator efficiency for artificial sea water (efficiency of 21.79%) was lower than artificial brackish
water (efficiency of 37.77%). Heat transfer by conduction, convection, radiation, evaporation, and
condensation is also analyzed to determine the thermal equilibrium in the system. From water quality test
results, I obtained that distilled water produced by desalination system was met drinking water quality
standard according to Minister of Health Regulation No. 492 of 2010 based on the parameters: pH,
salinity, conductivity, turbidity, TDS (Total Dissolved Solid), ferrous (Fe), chloride, and hardness, except
E.coli.
Keywords: saline water, desalination, vacuum pressure, distillator efficiency
4-41
PENDAHULUAN
Laju konsumsi air bersih di dunia meningkat dua kali lipat setiap 20 tahun,
melebihi dua kali laju pertumbuhan manusia. Beberapa pihak memperhitungkan bahwa
pada tahun 2025, permintaan air bersih akan melebihi persediaan hingga mencapai 56%
(Shofinita, 2009 dalam Safitri, 2011). Di sisi lain, pencemaran air permukaan (sungai
dan danau) yang disebabkan oleh limbah industri dan pertanian serta limbah domestik
dalam jumlah besar membatasi ketersediaan sumber air bersih (Fath, et al., 2008).
Sumber air yang secara kuantitas tidak terbatas adalah air laut, namun kualitasnya
sangat buruk karena mengandung kadar garam atau TDS (Total Dissolved Solid) sangat
tinggi (Yuan, et al., 2011). Untuk mengatasi masalah tersebut, salah satu caranya adalah
dengan menerapkan teknologi pengolahan air laut. Proses pengolahan air laut menjadi
air tawar tersebut dikenal sebagai proses desalinasi (Deng, et al., 2010).
Desalinasi adalah proses pemisahan yang digunakan untuk mengurangi
kandungan garam terlarut dari air garam hingga level tertentu sehingga air dapat
digunakan (Reddy, et al,. 2011). Proses desalinasi melibatkan tiga aliran cairan, yaitu
umpan berupa air garam (misalnya air laut), produk bersalinitas rendah, dan konsentrat
bersalinitas tinggi (Chen, et al., 2011).
Seluruh proses desalinasi jelas memerlukan energi untuk menyisihkan garam dari
air laut. Jika desalinasi dilakukan dengan teknologi konvensional akan memerlukan
pembakaran bahan bakar fosil dalam jumlah besar (produksi air bersih sebesar 1000
m3/hari memerlukan 10.000 ton minyak per tahun), sementara ketersediaan bahan bakar
tersebut semakin berkurang, maka diperlukan sumber energi lain, salah satunya adalah
pemurnian air laut dengan tenaga matahari (Yilmaz dan Soylemez, 2012). Hal ini
didasari bahwa tenaga matahari merupakan renewable energy (energi terbarukan),
aman, gratis, dan bebas polusi (tanpa emisi CO2). Tenaga matahari merupakan solusi
yang menjanjikan untuk menghemat biaya. Selain itu, Indonesia merupakan negara
yang memiliki intensitas matahari yang berlimpah, yaitu rata - rata 4,8 kWh/m2.hari
(Astawa, 2008).
Untuk produksi air yang besar, teknologi desalinasi konvensional seperti MSF,
MED, RO, VC, dan lain sebagainya telah terbukti secara teknis dan ekonomis. Namun,
untuk (i) komunitas kecil dimana ketersediaan air bersih terbatas (hingga 10 m3/hari),
(ii) area yang jauh dari sumber air dan energi (bahan bakar), dan (iii) komunitas dengan
kemampuan teknis rendah, desalinasi tenaga surya lebih cocok untuk diterapkan (Fath,
et al., 2008). Berbagai teknik pengolahan air laut menggunakan tenaga matahari telah
dilakukan, antara lain solar still, multi-stage flash (MSF), multiple-effect boiling
(MEB), reverse osmosis (RO), dan elektrodialisis (Kalogirou, 2008).
Penelitian ini bertujuan untuk mengamati efektivitas sistem desalinasi surya
dalam kondisi vakum dengan berbagai variasi tekanan vakum, debit air, jumlah tray
dalam evaporator, dan jenis air umpan, baik secara kuantitas maupun kualitas serta
transfer panas yang terjadi dalam sistem. Aturan umum praktis untuk solar still
sederhana adalah bahwa area pengumpulan sinar matahari sekitar 1 m2 dibutuhkan
untuk menghasilkan 3 - 5 L air per hari. Dengan demikian, area pengumpulan sinar
matahari yang besar diperlukan dengan biaya modal tinggi (Fath, et al., 2008). Oleh
karena itu dalam penelitian ini, tempat pemanasan, penguapan, dan pengembunan
dilakukan secara terpisah untuk meningkatkan efisiensi solar still konvensional.
Penelitian mengenai desalinasi air laut dalam kondisi vakum telah dilakukan
sebelumnya, salah satunya oleh Al-Kharabsheh dan Goswami (2003). Dalam penelitian
Al-Kharabsheh dan Goswami ini, digunakan cara alami (gravitasi dan tekanan atmosfer)
untuk menciptakan kondisi vakum. Volume air distilat yang dihasilkan adalah sebesar
6,5 kg/m2.hari. Namun kekurangan dari sistem ini adalah sulitnya mencapai
4-42
keseimbangan tekanan hidrostatik dan atmosfer sehingga sistem desalinasi menjadi
tidak vakum. Oleh karena itu dalam penelitian ini, dilakukan pengembangan dari sistem
desalinasi air laut dalam kondisi vakum dengan menggunakan pompa vakum dan tray
dalam evaporator yang dapat membuat kondisi vakum lebih stabil dan meningkatkan
efisiensi distilator.
METODOLOGI
Penelitian desalinasi air asin ini dilakukan di Gedung PAU lantai 7 (outdoor),
Institut Teknologi Bandung (ITB). Pengamatan dimulai pada pukul 08.00 WIB dan
berakhir pada pukul 16.00 WIB selama enam minggu sepanjang bulan Mei-Agustus
2013. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu dimulai dari karakteristik
awal sampel air. Pada awal pengamatan, digunakan air umpan berupa air asin artifisial
yang dibuat dengan salinitas ±12‰. Air masukan dengan konsentrasi 12‰
merepresentasikan air payau yang berada di alam Pada penelitian ini dilakukan pula
pengukuran temperatur pada empat belas titik seperti yang ditunjukkan Gambar 1.
Proses desalinasi air asin dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Air
masukan pada awalnya ditampung dalam tangki air, kemudian dialirkan melalui selang
menuju tangki kolektor surya. Energi matahari akan diserap oleh kolektor surya untuk
memanaskan air, namun sebagian dari energi ini akan hilang ke lingkungan. Setelah
temperatur air mencapai nilai tertentu, air dialirkan menuju evaporator. Debit air yang
masuk ke evaporator diatur dengan variasi 3,3; 6,5; 12, dan 16 mL/det menggunakan
rotameter. Tekanan pompa vakum dalam evaporator diatur sedemikian rupa sesuai
dengan variasi tekanan vakum yang diinginkan. Variasi tekanan vakum yang digunakan
adalah -0,05; -0,1; -0,15; -0,2; -0,25; dan -0,3 bar. Selain itu juga dilakukan variasi
jumlah tray dalam evaporator dari tanpa tray hingga lima buah tray. Pada bagian dasar
evaporator akan terbentuk air yang tidak teruapkan (brine). Brine akan dialirkan
kembali ke dalam tangki air. Sedangkan uap air akan masuk ke dalam kondensor
dimana di dalam kondensor akan dialirkan air pendingin sehingga uap air berubah
bentuk menjadi cair. Produk air distilat ini akan keluar dari bagian bawah kondensor
dan ditampung dalam suatu wadah untuk dianalisis karakteristiknya. Kuantitas air
distilat diukur dan dicatat setiap satu jam sekali sehingga dapat dianalisis efisiensi kerja
alat desalinasi air asin pada penelitian ini. Kemudian setelah kondisi maksimum
diperoleh (dilihat dari tekanan vakum, debit air input, dan jumlah tray) dilanjutkan
dengan air umpan berupa air asin dengan salinitas ±38‰ lalu dibandingkan hasilnya
dengan air umpan salinitas ±12‰. Air masukan dengan salinitas 38‰
merepresentasikan air laut yang ada di alam. Selain itu juga dilakukan pengukuran
parameter kualitas air umpan, brine, dan air distilat. Parameter - parameter yang diuji
antara lain temperatur, pH, salinitas, konduktivitas, turbiditas, TDS (Total Dissolved
Solid), klorida, besi (Fe), kesadahan, dan E.coli.
Analisis Data
Penentuan efisiensi distilator dilakukan dengan menghitung efisiensi akumulatif
dari desalinasi surya menggunakan rumus (Duffie, 1980:635-646 dalam Astuti, 2005):
Efisiensi akumulatif:
= ∑
.ℎ
100% = ∑ .
.
. 100%
(Persamaan 1)
Dimana mp adalah laju aliran massa produk distilasi per satuan (kg/m2.jam), hfg adalah
panas laten penguapan (J/kg), Is adalah energi input dalam sistem (J/m2.jam), Atotal
adalah luas total perpindahan panas (m2), G adalah intensitas radiasi matahari
(J/m2.jam), dan PE adalah energi listrik dari pompa vakum dan pompa air (J/jam).
4-43
Perpindahan panas dalam sistem desalinasi dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut (Incropera dan Dewitt, 2002):
Perpindahan panas pada evaporator dan kondensor:
qkonduksi =
.
(∆T)
(Persamaan 2)
Dimana k adalah konduktivitas termal bahan isolasi (W/m.K), A adalah luas permukaan
perpindahan panas (m2), ∆x adalah tebal isolasi (m), dan ∆T adalah perbedaan
temperatur dinding bagian dalam dan dinding bagian luar sistem (K).
qkonveksi = hc (∆T)
(Persamaan 3)
∆!
hc evaporator = 0,884 "#$ − #& + (
)* +),
-./&+)*
hc kondensor = 0,884 "#& − #/2 + (
0 #$ 1
), +)45
-./&+),
/3
2
0 #& 1
(Persamaan 4)
/3
2
(Persamaan 5)
Dimana T5 adalah temperatur air dari kolektor ke evaporator (K), T6 adalah temperatur
uap air dalam evaporator (K), T13 adalah temperatur air pendingin, p5, p6, dan p13 adalah
tekanan uap jenuh (mmHg).
qevaporasi-kondensasi = he (∆T) = hk (∆T)
(Persamaan 6)
he =
hk =
6,/$×/.9: .; .)* +), .
(Persamaan 7)
<* +<, 6,/$×/.9: .; .), +)45 .
(Persamaan 8)
<, +<45 2
Dimana he adalah koefisien transfer panas evaporasi (W/m .K), hfg adalah panas laten
penguapan air (J/kg), hc adalah koefisien transfer panas konveksi (W/m2.K), dan hk
adalah koefisien transfer panas kondensasi (W/m2.K).
qradiasi = hr (T5 − T6)
(Persamaan 9)
hr = Fc=> ? (#$ + #& ) (T5 + T6)
(Persamaan 10)
Dimana hr adalah koefisien transfer panas radiasi (W/m2.K), Fc adalah faktor
konfigurasi, => adalah emisivitas air, dan ? adalah konstanta Stefan Boltzmann.
Gambar 1. Sistem Desalinasi Air Laut
4-44
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan dilakukan dari pukul 08.00 - 16.00 WIB untuk seluruh variasi
dimana waktu ke-0 menunjukkan pukul 08.00, waktu ke-1 menunjukkan pukul 09.00,
dan seterusnya hingga waktu ke-8 menunjukkan pukul 16.00. Efisiensi distilator
merupakan efisiensi akumulatif, yaitu akumulasi efisiensi dari pukul 08.00 hingga
16.00.
Pengaruh Tekanan Vakum dalam Evaporator terhadap Efisiensi Distilator
Evaporasi atau penguapan merupakan fenomena dimana molekul mengumpulkan
energi yang cukup untuk melepaskan diri dari fase liquid dan memasuki ruang di atas
interface gas-liquid. Laju evaporasi dapat ditingkatkan secara signifikan dengan
menerapkan sumber energi dari luar pada molekul air, tetapi juga dengan mengurangi
tekanan sistem (Davoust dan Theisen, 2013). Dalam kondisi vakum, air dapat diuapkan
pada tingkat temperatur rendah, sehingga memerlukan jumlah energi panas yang lebih
kecil (Al-Kharabsheh dan Goswami, 2003). Pengaruh tekanan vakum terhadap efisiensi
distilator dapat dilihat pada Gambar 2.
Efisiensi akumulatif untuk tekanan vakum -0,05; -0,1; -0,15; -0,2; -0,25; dan -0,3
bar masing-masing adalah 25,54; 29,45; 29,56; 30,18; 30,90; dan 37,77%. Dari
Gambar 2. dapat dilihat bahwa semakin tinggi tekanan vakum (semakin rendah
tekanan udara dalam ruang) maka efisiensi distilator semakin meningkat. Efisiensi
tertinggi dicapai pada tekanan vakum -0,3 bar sebesar 37,77%. Temperatur air yang
masuk ke dalam evaporator kurang dari titik didih air pada tekanan atmosfer (<100°C)
sehingga diperlukan kondisi vakum agar air dapat lebih cepat menguap. Cairan dapat
menguap baik dengan meningkatkan temperatur atau menurunkan tekanan. Pada
temperatur tinggi, beberapa molekul air mendapatkan energi kinetik yang cukup untuk
mencapai kecepatan yang membuat molekul air tersebut lepas dari cairan ke ruang di
atas permukaan gas-liquid, sebelum jatuh ke cairan. Pada saat tekanan eksternal kurang
dari satu atmosfer, titik didih liquid lebih rendah daripada titik didih normalnya
(Oldach, 2001 dalam Astuti, 2005). Hal inilah yang menyebabkan semakin rendah
tekanan udara dalam ruang, semakin banyak air umpan yang menguap dalam
evaporator.
Efisiensi Akumulatif (%)
40
35
30
-0,05 bar
25
-0,1 bar
20
-0,15 bar
15
-0,2 bar
10
5
-0,25 bar
0
-0,3 bar
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Jam ke-
Gambar 2. Pengaruh Tekanan Vakum terhadap Efisiensi Distilator
Pengaruh Debit Air dari Kolektor ke Evaporator terhadap Efisiensi Distilator
Debit air input evaporator merupakan laju aliran air (dalam bentuk volume air)
yang mengalir dari kolektor surya ke evaporator per satuan waktu. Pada penelitian ini
4-45
dilakukan variasi debit air input evaporator yaitu 3,3; 6,5; 12; dan 16 mL/det. Pengaruh
debit air dari kolektor ke evaporator dapat dilihat pada Gambar 3. Efisiensi akumulatif
untuk debit air input 3,3; 6,5; 12; dan 16 mL/det berturut-turut adalah 33,37; 37,77;
31,90; dan 26,56%. Dari Gambar 3. dapat dilihat bahwa efisiensi distilator tertinggi
(efisiensi akumulatif 37,77%) tercapai pada debit air input sebesar 6,5 mL/det.
Evaporasi merupakan fenomena permukaan (surface phenomena), artinya
penguapan terjadi di permukaan suatu substansi bukan di bagian dalam. Penguapan
terjadi pada saat molekul - molekul bergerak sangat cepat (dengan energi kinetik sangat
tinggi) pada permukaan liquid sehingga molekul - molekul tersebut memiliki cukup
energi untuk memutuskan ikatan tarik-menarik dengan molekul lain. Molekul- molekul
tersebut kemudian terlepas dari permukaan substansi. Jelas ini hanya terjadi dengan
molekul-molekul pada permukaan substansi (Kryukov dan Levashov, 2011).
Pada saat debit air input terlalu rendah (seperti pada debit air 3,3 mL/det), air yang
dapat menempel pada permukaan kelereng dalam evaporator lebih sedikit sehingga
jumlah air yang dapat menguap semakin rendah. Saat debit air input ditingkatkan ke 6,5
mL/det, air yang dapat menempel pada permukaan kelereng lebih banyak sehingga
semakin banyak air yang dapat menguap, namun dengan debit air yang terlalu cepat
(seperti pada debit air 12 dan 16 mL/det), akan mengurangi laju penguapan karena
dapat mengurangi kesempatan bagi air untuk menempel pada permukaan kelereng
dalam evaporator dan lebih banyak yang jatuh ke bawah menjadi brine.
Efisiensi Akumulatif (%)
40
35
30
25
3,3 mL/det
20
15
6,5 mL/det
10
12 mL/det
5
16 mL/det
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Jam ke-
Gambar 3. Pengaruh Debit Air dari Kolektor ke Evaporator terhadap Efisiensi
Distilator
Pengaruh Jumlah Tray dalam Evaporator terhadap Efisiensi Distilator
Penambahan tray dalam evaporator dilakukan untuk meningkatkan luas
permukaan perpindahan panas penguapan. Pada penelitian ini digunakan variasi jumlah
tray dalam evaporator dari tanpa tray hingga lima tray. Pengaruh jumlah tray terhadap
efisiensi distilator dapat dilihat pada Gambar 4.
Efisiensi akumulatif untuk evaporator tanpa tray, satu tray, dua tray, tiga tray,
empat tray, dan lima tray berturut-turut adalah 24,89; 27,01; 27,88; 30,03; 34,05; dan
37,77%. Dari Gambar 4. dapat dilihat bahwa semakin banyak jumlah tray dalam
evaporator maka efisiensi distilator akan semakin tinggi, artinya semakin banyak air
yang menguap.
Jumlah panas yang ditransfer dalam suatu substansi dapat diekspresikan dalam
persamaan: q = U.A.∆T dimana q adalah panas yang ditransfer (Watt), U adalah
koefisien perpindahan panas keseluruhan (W/m2.K), A adalah luas area perpindahan
4-46
panas (m2), dan ∆T adalah perbedaan temperatur (Geankoplis, 2003). Berdasarkan
rumus persamaan tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar luas permukaan
perpindahan panas maka semakin besar pula panas yang ditransfer. Dengan
menambahkan jumlah tray dalam evaporator berarti menambahkan luas area
perpindahan panas, sehingga laju penguapan di dalam evaporator akan meningkat.
40
Efisiensi Akumulatif (%)
35
30
Tanpa tray
25
1 tray
20
2 tray
15
3 tray
10
4 tray
5
5 tray
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Jam ke-
Gambar 4. Pengaruh Jumlah Tray dalam Evaporator terhadap Efisiensi Distilator
Analisis Air Umpan
Pada penelitian ini digunakan air umpan berupa air asin artifisial dengan
salinitas 12‰ (TDS 10970 mg/L) dan dilanjutkan dengan air umpan 38‰ (TDS 28500
mg/L) setelah kondisi maksimum tercapai, yaitu pada tekanan vakum -0,3 bar, debit air
input 6,5 mL/det, dan jumlah tray dalam evaporator sebanyak lima buah. Input iradiasi
berkisar dari 12,07-50,84 MJ/m2.hari. Efisiensi distilator untuk masing-masing jenis air
umpan dapat dilihat pada Gambar 5.
Efisiensi Akumulatif (%)
40
35
30
25
20
15
Air payau artifisial
10
Air laut artifisial
5
0
Jam ke-
Gambar 5. Pengaruh Jenis Air Umpan terhadap Efisiensi Distilator
Penggunaan air payau artifisial memberikan efisiensi akumulatif sebesar 37,77%
sedangkan penggunaan air laut artifisial memberikan efisiensi akumulatif sebesar
21,79%. Dari Gambar 5. dapat dilihat bahwa efisiensi distilator untuk air laut artifisial
(salinitas 38‰) lebih rendah dibandingkan air payau artifisial (salinitas 12‰). Air laut
artifisial memiliki densitas dan molaritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan air
payau artifisial karena mengandung kadar garam (salinitas) yang lebih tinggi. Densitas
4-47
dan molaritas menentukan menurunnya tekanan uap. Ketika densitas dan molaritas
meningkat, aktivitas air menurun dan tekanan uap menurun karena kandungan garam
yang berbeda, sehingga mengurangi laju evaporasi (Mao, 1999 dalam Astuti, 2005).
600
60
500
50
400
40
300
30
200
20
100
10
0
Temperatur AIr (°C)
Laju Perpindahan Panas (W/m2)
Analisis Transfer Panas dalam Sistem Desalinasi
Konduksi merupakan proses perpindahan panas tanpa disertai perpindahan
partikel, konveksi adalah perpindahan kalor yang disertai dengan perpindahan partikel
zat, sedangkan radiasi merupakan perpindahan energi kalor dalam bentuk gelombang
elektromagnetik (Incropera dan Dewitt, 2002). Perpindahan kalor ini akan
mempengaruhi proses penguapan dalam evaporator dan proses pengembunan dalam
kondensor.
Perpindahan panas secara evaporasi merupakan transfer panas yang paling
dominan dalam evaporator karena dalam evaporator terjadi proses evaporasi dimana
molekul mengumpulkan energi yang cukup untuk melepaskan diri dari fase liquid dan
memasuki ruang di atas interface gas-liquid. Transfer panas secara evaporasi untuk
tekanan vakum -0,05; -0,1; -0,15; -0,2; -0,25; dan -0,3 berturut-turut adalah 173,77;
180,07; 190,79; 481,66; 242,57; dan 359,18 W/m2 dengan temperatur air input 41,89;
42,94; 41,79; 52,89; 45,78; 49,94. Dari Gambar 6. dapat dilihat bahwa temperatur air
input berbanding lurus dengan transfer panas secara evaporasi, konveksi, dan radiasi.
Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi temperatur air maka semakin banyak air
yang menguap. Semakin tinggi temperatur air input maka semakin besar perbedaan
temperatur antara temperatur air dan temperatur uap, sehingga semakin besar pula
transfer panas yang terjadi di dalam evaporator. Panas akan mempengaruhi laju
evaporasi. Molekul fluida panas bergetar lebih cepat dan dengan energi yang lebih
banyak dibandingkan fluida dingin. Penambahan energi panas dapat membuat lebih
mudah bagi molekul untuk melepaskan diri dari cairan (Kryukov dan Levashov, 2011).
Semakin rendah tekanan dalam ruang (semakin tinggi tekanan vakum) maka semakin
tinggi transfer panas yang terjadi. Semakin tinggi derajat kevakuman akan memberikan
harga kerapatan jenis fluida dalam ruang semakin rendah yang berarti pergerakan fluida
semakin cepat. Hal ini berkaitan pula dengan bilangan Nusselt (fungsi dari koefisien
perpindahan panas). Semakin rendah kerapatan jenis fluida, bilangan Nusselt semakin
meningkat yang artinya arus konveksi menjadi lebih tinggi (Mulyono, 2008).
qevaporasi
qkonveksi
qradiasi
qkonduksi
Temperatur air input
0
0
0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35
Tekanan Vakum (minus bar)
Gambar 6. Perpindahan Panas dalam Evaporator
Perpindahan panas juga terjadi dalam kondensor. Transfer panas secara
kondensasi untuk tekanan vakum -0,05; -0,1; -0,15; -0,2; -0,25; dan -0,3 berturut-turut
4-48
180
35
160
30
140
25
120
100
20
80
15
60
10
40
20
5
0
0
0
Temperatur Uap (°C)
Laju Perpindahan Panas (W/m2)
adalah 143,32; 152,90; 122,25; 155,64; 161,99; dan 164 W/m2. Dari Gambar 7. dapat
dilihat bahwa perpindahan panas tertinggi terjadi pada tekanan vakum -0,3 bar. Hal ini
menunjukkan bahwa jumlah uap terbanyak yang mengembun di dalam kondensor
terjadi pada tekanan vakum -0,3 bar. Di dalam kondensor terjadi pelepasan energi panas
dari gas ke medium pendingin dimana energi kinetik molekul uap akan berkurang
sehingga molekul-molekul uap bergerak saling berdekatan yang akan menyebabkan uap
tersebut terkondensasi menjadi liquid (Kryukov dan Levashov, 2011).
qkondensasi
qkonveksi
qkonduksi
Temperatur uap
0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35
Tekanan Vakum (minus bar)
Gambar 7. Perpindahan Panas dalam Kondensor
Analisis Kualitas Air
Untuk mengetahui kinerja sistem desalinasi dalam mengolah air laut menjadi air
bersih, perlu diketahui kualitas air umpan dan air distilat yang dihasilkan. Dari Tabel 1.
dapat dilihat bahwa kualitas air distilat yang dihasilkan telah memenuhi baku mutu air
minum berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 492 tahun 2010 untuk parameter
temperatur, pH, salinitas, konduktivitas, turbiditas, klorida, TDS, besi, dan kesadahan,
kecuali untuk parameter E.coli belum memenuhi baku mutu. Penurunan kandungan
garam dalam air asin terjadi secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari parameter
konduktivitas, klorida, dan TDS. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa sistem desalinasi
air laut yang diusulkan dalam penelitian ini layak untuk diaplikasikan sebagai instalasi
pengolahan air laut.
Tabel 1. Kualitas Air dalam Proses Desalinasi
Parameter
Satuan
Temperatur
pH
Salinitas
Konduktivitas
Turbiditas
°C
‰
µS/cm
NTU
Air Payau
Artifisial
24 - 31
6,88 - 8,44
10,5 - 15,34
17820 - 25200
10,5 - 50,1
Klorida
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
jumlah/100
mL
TDS
Besi (Fe)
Kesadahan Ca
Kesadahan Mg
Kesadahan total
E. coli
27 - 30
6,6 - 7,62
0,02 - 0,24
21,5 - 500
1,26 - 8,21
Air Laut
Artifisial
24,2 - 42,5°C
8,79
38,0 - 39,4
56000 - 58900
42,3
23,7 - 31,6
0,02 - 0,09
30,6 - 54,9
-
Baku
Mutu*
6,5 - 8,5
5
7019
70,54 - 93,02
-
-
250
9860 - 12600
2,34
20,20
10,45
30,65
10,75 - 250
0,0045 - 0,0049
0,153 - 0,175
0,0012 - 0,0019
0,1542 - 0,1769
28000 - 29450
-
15,3 - 27,45
-
500
0,3
500
11
11
-
-
0
Air Distilat
Air Distilat
* Baku mutu mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 492 tahun 2010
4-49
KESIMPULAN
Efisiensi distilator tertinggi, yaitu sebesar 37,77% tercapai pada tekanan vakum
-0,3 bar, debit air input 6,5 mL/det, dan jumlah tray dalam evaporator sebanyak lima
buah. Penggunaan air payau artifisial memberikan efisiensi akumulatif sebesar 37,77%
sedangkan penggunaan air laut artifisial memberikan efisiensi akumulatif sebesar
21,79%. Perpindahan panas dalam sistem desalinasi terjadi secara konduksi, konveksi,
radiasi, dan evaporasi-kondensasi. Dari hasil uji kualitas air distilat diperoleh bahwa air
distilat yang dihasilkan telah memenuhi baku mutu air minum PerMenKes No.492
tahun 2010 berdasarkan parameter temperatur, pH, salinitas, konduktivitas, turbiditas,
klorida, TDS, besi dan kesadahan, kecuali untuk parameter E.coli belum memenuhi
baku mutu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem desalinasi yang diajukan
layak untuk diaplikasikan sebagai instalasi pengolahan air laut.
Daftar Pustaka
Al-Kharabsheh dan Goswami, D.Y. 2003. Analysis of An Innovative Water Desalination System Using
Low-Grade Solar Heat. Desalination 156 (2003) 323-332.
Astawa, Ketut. 2008. Pengaruh Penggunaan Pipa Kondensat sebagai Heat Recovery pada Basin Type
Solar Still terhadap Efisiensi. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin Cakram Vol.2 No.1 (34 - 41).
Astuti, Rara Sri Windhu. 2005. Experimental Analysis of Solar Desalination Under Natural Thermal
Circulation. Tesis Program Magister Teknik Lingkungan ITB.
Baku Mutu Peraturan Menteri Kesehatan No.492 tahun 2010 tentang air minum.
Chen, Z., Xie, G., Chen, Z., Zheng, H., Zhuang, C. 2011. Field Test of A Solar Seawater Desalination
Unit with Triple Effect Falling Film Regeneration in Northern China. Solar Energy 86 (2012)
31-39.
Davoust, Laurent dan Theisen, Johannes. 2013. Evaporation Rate of Drop Arrays within A Digital
Microfluidic System. Sensors and Actuators B:Chemical.
Deng, R., Xie, L., Lin, H., Liu, J., Han, W. 2010. Integration of Thermal Energy and Seawater
Desalination. Energy 36 (2010) 4368-4374.
Fath, H.E.S., Elsherbiny, S.M., Hassan, A.A., Rommel, M., Wieghaus, M., Koschikowski, J., Vatansever,
M. 2008. PV and Thermally Driven Small Scale, Stand Alone Solar Desalination Systems with
Very Low Maintenance Needs. Desalination 225 (2008) 58-69.
Geankoplis, Christie John. 2003. Transport Processes and Separation Process Principles 4th Edition.
Person Education, Inc.
Incropera dan Dewitt. 2002. Introduction to Heat Transfer. New York: John Wiley and Sons.
Kalogirou, Soteris A. 2008. Seawater Desalination Using Renewable Energy Sources. Progress in Energy
and Combustion Science 31 (2009) 242-281.
Kryukov, A.P. dan Levashov, V.Y. 2011. About Evaporation-Condensation Coefficients on The VaporLiquid Interface of High Thermal Conductivity Matters. International Journal of Heat and Mass
Transfer 54 (2011) 3041-3048.
Mulyono. 2008. Optimalisasi Rongga terhadap Variasi Derajat Kevakuman sebagai Isolator. Jurusan
Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Malang.
Reddy, K.S., Kumar, K.R., Tadhg, S., O’Donovan, dan Mallick, T.K. 2011. Performance Analysis of An
Evacuated Multi-Stage Solar Water Desalination System. Desalination 288 (2012) 80-92.
Safitri, Mifta Ardianti. 2011. Penelitian Kualitas dan Kuantitas Air Destilat dengan Pengembangan
Multiple Trays Tilted Still (Studi: Penambahan Kolektor Kain Hitam). Tugas Akhir Program
Sarjana Teknik Lingkungan ITB.
Yuan, G., Wang, Z., Li, H., dan Li, X. 2011. Experimental Study of A Solar Desalination System Based
on Humidification-Dehumidification Process. Desalination 277 (2011) 92-98.
Yilmaz, Ibrahim Halil dan Soylemez, Mehmet Sait. 2012. Design and Computer Simulation on MultiEffect Evaporation Seawater Desalination System Using Hybrid Renewable Energy Sources in
Turkey. Desalination 291 (2012) 23-40.
4-50
Download