1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), pada tahun 2006 kematian bayi terjadi pada usia neonatus dengan penyebab infeksi 33%, asfiksia/ trauma 28%, BBLR 24%, kelainan bawaan 10%, dan ikterus 5%. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati biliaris (lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati biliaris merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralysis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup (Septiani, 2010). Angka kematian bayi di Negara-negara ASEAN seperti Singapura 3 per 1000 kelahiran hidup,Vietnam 18 per 1000 kelahiran hidup dan Philipina 26 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian bayi di Indonesia mempunyai angka kematian tertinggi 330 per 100.000 dan angka kematian perinatal 420 per 100.000 persalinan hidup dengan perkiraan persalinan di Indonesia setiap tahunnya sekitar 5.000.000 jiwa. Berdasarkan data sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia menemukan sekitar 75 % bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama (Hutagalung, 2012). Angka kematian bayi di Indonesia masih cukup tinggi, Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI, 2007) menyebutkan terdapat 157.000 2 bayi meninggal dunia per tahun. Banyak faktor yang mempengaruhi angka kematian tersebut, yaitu prematuritas dan BBLR (34%), asfiksia (37%), sepsis (12%), hipotermi (7%), Ikterus/hiperbilirubinemia (6%), post matur (5%), kelainan kongenital (1%) (Riskesdas, 2007). Kejadian ikterus bayi di Indonesia sekitar 50% bayi cukup bulan yang mengalami perubahan warna kulit, mukosa dan wajah mengalami kekuningan (ikterus), dan pada bayi kurang bulan (premature) kejadiannya lebih sering yaitu 75%. Di Indonesia didapatkan data dari beberapa rumah sakit pendidikan. Insidensi RSCM menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58%. RS. Dr. Sarditjo melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin diatas 5 mg/dl dan 23,8% memiliki kadar bilirubin diatas 13 mg/dl. Data yang diperoleh dari RS.Dr.Kariadi Semarang agak berbeda di mana insidens ikterus fisiologi dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubin sebesar 13,1%. Didapatkan juga data insidensi ikterus neonatorum di RS.Dr.soetomo Surabaya sebesar 13% dan 30% (Sriningsih, 2010) Angka Kematian Bayi di Provinsi Aceh hingga saat ini masih tinggi yakni mencapai 30/1.000 kelahiran hidup, Untuk itu upaya pengurangan terus dilakukan oleh Pemerintah Aceh sebagai salah satu indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bidang kesehatan. Tahun 2010 jumlah bayi yang lahir di provinsi Aceh sebanyak 105.565 bayi, 10 % dari kelahiran tersebut mengalami masalah yaitu 3% mengalami infeksi saat lahir, 2% 3 hipotermi, 2% kelainan kongenital dan 3% dengan ikterus baik patologis maupun fisiologis (Insufa, 2013). Berdasarkan data yang diperoleh dari Medical Record ruang NICU RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh mulai Januari – Desember Tahun 2012, bayi yang mengalami hiperbilirubinemia 114 (9,7 %) bayi dari 1.180 bayi yang pernah dirawat di rawat di Ruang NICU di Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Berdasarkan data tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Hiperbilirubinemia di Ruang NICU RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh”. B. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Faktor – faktor yang Berhubungan dengan kejadian Hiperbilirubinemia di Ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Tahun 2013?”. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk Mengetahui Bagaimana Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hiperbilirubinemia di Ruang Neonatal Intensive Central Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. 2. Tujuan khusus 4 a. Untuk mengetahui hubungan usia gestasi dengan kejadian Hiperbilirubinemia b. Untuk mengetahui hubungan berat badan lahir rendah dengan kejadian Hiperbilirubinemia c. Untuk mengetahui hubungan proses persalinan dengan kejadian Hiperbilirubinemia D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Sebagai bahan masukan dalam menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang hiperbilirubinemia dan dapat menambah referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya. 2. Bagi Institusi Pendidikan Sebagai bahan masukan dalam meningkatkan informasi ilmu kebidanan dan sebagai bahan pertimbangan ilmu neonatologi di masa yang akan datang dan dapat menambah referensi bagi peneliti yang lain yang ingin melakukan penelitian yang sama. 3. Bagi Lahan Penelitian Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi tenaga kesehatan dalam pemberian informasi dan penanganan lanjutan bayi baru lahir yang mengalami hiperbilirubinemia, lebih bijaksana dalam mengambil keputusan pelayanan khususnya neonatus sehingga dapat meningkatkan pelayanan kesehatan dengan kualitas yang terus meningkat di Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. 5 E. Keaslian Penelitian 1. Penelitian ini pernah diteliti sebelumnya oleh Dian Triana Sari (2009) yaitu : Faktor- faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Hiperbilirubinemia di RSU.Dr.Sutomo Surabaya Tahun 2009. Hasil penelitiannya menunjukkan ada hubungan antara usia gestasi dengan kejadian hiperbillirubinemia pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum Dr. Sutomo Surabaya dengan hasil penelitian p value 0,010 (p value < 0,05) dan ada hubungan antara pengaruh persalinan dengan kejadian hiperbillirubinemia pada bayi baru lahir di RSU Dr. Sutomo Surabaya, ini dapat dilihat dengan hasil penelitiannya yaitu: p value 0,014 ( p < 0,05). 2. Penelitian ini juga pernah diteliti sebelumnya oleh Kusumawardani yaitu Hubungan antara Berat Badan Lahir dengan Kejadian Hiperbilirubinemia di RSUD Prof.Dr.Margono Soekardjo Purwokerto Tahun 2010. Hasil penelitian dari Kusumawardani (2010) yang menunjukkan ada hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian dengan kejadian Hiperbilirubinemia di RSUD Prof.Dr.Margono Soekardjo Purwokerto. Hal ini dapat dilihat dari nilai p value sebesar 0,000 (p value <α 0,05). BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Hiperbilirubinemia 1. Pengertian Hiperbilirubinemia adalah naiknya kadar bilirubin serum melebihi normal, persentasenya pada neonatus muncul dalam salah satu dari dua bentuk berikut ini yaitu: hiperbilirubinemia tidak terkonyugasi (indirek) atau hiperbilirubinemia terkonyugasi (direk). Gejala paling prevalen dan paling mudah diidentifikasi dari kedua bentuk tersebut adalah ikterus, dan diidentifikasikan sebagai “kulit dan selaput lendir menjadi kuning”. Pada neonatus, ikterus yang nyata jika bilirubin total serum ≥ 5 mg/dl (Eriyati, 2008). Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari 90 % . Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonyugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5 - 6 mg/dl (Sholeh, 2010). 2. Ikerus fisiologis Hampir setiap bayi, meningkatnya bilirubin serum tidak terkonyugasi (indirek) terjadi selama minggu pertama kehidupan dan 6 7 terpecahkan dengan sendirinya. Bentuk ini disebut ikterus fisiologis. Pada bayi sehat cukup bulan, akan terlihat pada hari ke 2 - 3 dan biasanya hilang pada hari ke 6 - 8 tapi mungkin tetap ada sampai hari ke 14 dengan maksimal total kadar bilirubin serum < 12 mg/dl. Pada bayi kurang bulan sehat, ikterus akan terlihat pada hari ke 3 - 4 dan hilang pada hari ke 10 20 dengan kadar serum maksimal < 15 mg/dl (Eriyati, 2008). 3. Ikterus non fisiologis Ikterus patologis tidak mudah dibedakan dari ikterus fisiologis, Keadaan dibawah ini merupakan petunjuk untuk tidak lanjut (Sholeh, 2010) : a. Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam b. Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi c. Peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5 mg/dl/jam d. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah, latargi, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takhipneu atau suhu yang tidak stabil). e. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan. Setiap ikterus harus diawasi terhadap kemungkinan berkembangnya menjadi suatu ikterus yang patologi. Demikian pula kadar bilirubin yang dapat dianggap sebagai hiperbilirubinemia ialah suatu hal yang yang harus diidentifikasi oleh setiap klinik. Hiperbilirubinemia bila 8 kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada bayi cukup bulan dan 15 mg% pada bayi kurang bulan (Wiknjosastro, 2007). 4. Metabolisme Bilirubin Bilirubin merupakan uraian dari produk protein yang mengandung heme pada system retikuloendotelial. 75 % protein yang mengandung heme ada dalam sel darah merah (hemoglobin) sementara 25 % datang dari mioglobin, sitokrom, dan tidak efektifnya eritropoesis pada tulang sumsum (Eriyati, 2008). 5. Ekskresi Bilirubin terkonyugasi (direk) memasuki saluran gastrointestinal dan kemudian dikeluarkan dari tubuh melalui feses. Proses di mana bilirubin di serap kembali dari saluran gastrointestinal dan di kembalikan ke dalam hati untuk di lakukan konyugasi ulang di sebut sirkulasi enterohepatik (Eriyati, 2008). 6. Etiologi Etiologi ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi itu dapat dibagi menjadi ( Rusepno, 2007 ) : a. Produksi yang berlebihan, lebih dari pada kemampuan bayi untuk mengeluarkannya misalnya pada : hemolisis yang meningkat pada inkopatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G6-PD, piruvate kinase, perdarahan tertutup, dan sepsis. 9 b. Gangguan dalam proses uptake dan konyugasi hepar. Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konyugasi bilirubin, ganguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (Criggler Najjar syndrome). Penyebab lain ialah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel-sel hepar. c. Gangguan dalam transportasi. Bilirubin dalam darah terikat oleh albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat-obatan misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak. d. Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar. Kelainan di luar hepar biasanya di sebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. Menurut Manuaba (2005) Ikterus neonatorum disebabkan hemolisis darah janin dan selanjutnya diganti menjadi darah dewasa. Pada janin menjelang persalinan terdapat kombinasi antara darah janin (fetal blood) dan darah dewasa (adult blood) yang mampu menarik O2 dari udara dan mengeluarkan CO2 melalui paru-paru.penghancuran darah janin inilah yang menyebabkan terjadi ikterus yang sifatnya fisiologis. Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa kadar bilirubin indirek bayi cukup 10 bulan sekitar 15 mg % sedangkan bayi belum cukup bulan 10 mg %. Di atas angka tersebut dianggap hiperbilirubinemia, yang dapat menimbulkan kern ikterus. Kern-ikterus adalah tertimbunya bilirubin dalam jaringan otak sehingga dapat menggangu fungsi otak dan menimbulkan gejala klinis sesuai tempat timbunan itu. Gambaran klinisnya antara lain mata berputar, tertidur, kesadaran menurun, sukar menghisap, tonus otot meninggi, leher kaku, akhirnya kaku seluruhnya, pada kehidupan lebih lanjut ada kemungkinan terjadi spasme otot dan kekakuan otot seluruhnya, kejang-kejang, tuli dan kemunduran mental (Manuaba, 2005). Ikterus yang disebabkan oleh hal lain, Menurut Wiknjosastro (2007). Kadang-kadang ikterus tidak dapat diterangkan dengan proses hemolisis atau proses obstruksi. Ikterus yang demikian biasanya menetap sesusah minggu pertama kehidupan, dan bilirubin yang meningkat ialah bilirubin tidak langsung. Beberapa keadaan dapat pula menyebabkan ikterus neonatorum. a. Pengaruh hormon atau obat yang mempengaruhi kesanggupan hepar untuk mengadakan konjugasi bilirubin, misalnya pada breastmilk jaundice dan pemakaian Novobisin. b. Hipoalbuminea : bilirubin yang berbahaya ialah bilirubin yang tidak langsung yang tidak terikat pada albumin. Bila ada hipoalbuminemia yang sering terdapat pada bayi prematur, maka bilirubin tidak langsung yang bebas akan meningkat. 11 c. Adanya obat atau zat kimia yang mengurangi ikatan bilirubin tidak langsung pada albumin, misalnya sulfafurazole, salisilat, dan heparin. Obat-obat ini mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap albumin dari pada bilirubin tidak langsung. d. Sindroma Crigler-Najjar ialah suatu penyakit herediter yang bersifat resesif. Pada penyakit ini tidak terdapat atau sangat kurang terhadap glukoronil transferase dalam hepar. e. Ikterus karena late feeding. Penundaan pemberian makanan pada neonatus, terutama pada bayi prematur, dapat menyebabkan intensitas ikterus fisiologik bertambah. f. Asidosis metabolik dapat menyebabkan naiknya kadar bilirubin tidak langsung karena mengurangi kesanggupan albumin mengikat bilirubin. g. Pemakaian vitamin K, misalnya dalam bentuk Menaphtone, dapat menyebabkan hiperbilirubinemia kalau dosis melebihi 10 mg %. h. Ikterus yang berhubungan dengan hipotiroidisme. Ikterus yang lama pada penyakit ini mungkin disebabkan oleh belum sempurnanya pematangan hepar ( Wiknjosastro, 2007 ). 7. Pencegahan Hiperbilirubinemia Menurut Rusepno (2007), ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan: a. Pengawasan antenatal yang baik. 12 b. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa kehamilan dan kelahiran, misalnya suifafurazole, novobiosin, dan oksitosin. c. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus d. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1 – 2 hari sebelum partus e. Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir f. Pemberian makanan yang dini g. Pencegahan infeksi. 8. Penanganan Hiperbilirubinemia Dalam penanganan ikterus, cara-cara yang di pakai ialah untuk mencegah dan mengobati hiperbilirubinemia dapat dibagi dalam 3 jenis usaha, yakni (Wiknjosastro, 2007): a. Mempercepat metabolisme dan pengeluaran bilirubin. 1) Early feeding. Pemberian makanan ini dapat pada neonatus dapat mengurangi terjadinya ikterus fisiologik pada neonatus. Hal ini mungkin terjadi disebabkan karena dengan pemberian makanan yang dini itu terjadi pendorongan gerakan usus, dan mekonium lebih cepat dikeluarkan, sehingga peredaran enterohepatik bilirubin berkurang. 2) Pemberian agar-agar. Pemberian agar-agar per os dapat mengurangi ikterus fisiologik. Mekanismenya ialah dapat menghalangi atau mengurangi peredaran bilirubin enterohepatik. Pemberian fenobarbital teryata dapat menurunkan kadar bilirubin tidak langsung dalam serum bayi. Khasiat fenobarbital ialah mengadakan 13 induksi enzim mikrosma, sehingga konyugasi bilirubin berlangsung lebih cepat. Penyelidikan-penyelidikan menujukan bahwa fenobarbital, baik yang diberikan sesudah anak lahir ataupun diberikan pada ibunya sebelum anak lahir, dapat mencegah terjadinya ikterus fisiologik. b. Terapi Sinar Terapi terbaik ialah terapi sinar dimana pada bayi penderita ikterus yang diberi sinar matahari lebih dari penyinaran biasa, ikterus lebih cepat menghilang dibandingkan dengan bayi lain yang tidak disinari. Mengubah bilirubin menjadi bentuk yang tidak toksik dan yang dapat dikeluarkan dengan sempurna melalui ginjal dan traktus digestivus (Wiknjosastro, 2007). Hasil perusakan bilirubin ternyata tidak toksik untuk tubuh dan dikeluarkan dari tubuh dengan sempurna. Mekanisme utama terapi sinar adalah fotoisomerisasi. Dengan terapi sinar maka bilirubin diubah menjadi suatu fotoisomer (Hutagalung, 2012). Penggunaan terapi sinar untuk mengobati hiperbilirubinemia harus dilakukan dengan hati-hati karena jenis pengobatan ini dapat menimbulkan komplikasi, yaitu dapat menyebabkan kerusakan retina, dapat meningkatkan kehilangan air tidak terasa (insensible water losses) dan dapat mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan bayi (Rusepno, 2007). 14 c. Tranfusi tukar darah (exchange transfusion). Cara yang paling tepat untuk mengobati hiperbilirubinemia pada neonatus ialah tranfusi tukar darah. Dalam beberapa hal terapi sinar dapat menggantikan tranfusi tukar darah, akan tetapi pada penyakit hemolitik neonatus tranfusi tukar darah merupakan tindakan yang tepat (Wiknjosastro, 2007). Tranfusi tukar darah di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta diberikan dalam kasus-kasus berikut (Saiffudin, 2006) : 1) Diberikan pada kasus ikterus dengan kadar bilirubin tidak langsung yang lebih dari 20 mg % 2) Pada bayi prematur tranfusi tukar darah dapat diberikan walaupun kadar albumin kurang dari 3,5 gram per 100 ml. 3) Pada kenaikan yang cepat bilirubin tidak langsung serum bayi pada hari pertama (0,3 - 1 mg% per jam). Hal ini terutama terdapat pada inkompatibilitas golongan darah. 4) Anemia yang berat pada neonatus dengan tanda-tanda dekompensasi jantung. 5) Bayi menderita ikterus dan kadar hemoglobin darah talipusat kurang dari 14 mg% dan Coombs test langsung positif. 15 B. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hiperbilirubin 1. Usia Gestasi Menurut Wiknjosastro (2007) makin rendah masa gestasi dan makin kecil bayi dilahirkan makin tinggi morbiditas dan mortalitasnya. Alat tubuh bayi prematur belum berfungsi seperti bayi matur. Oleh sebab itu, ia mengalami lebih banyak kesulitan untuk hidup diluar uterus ibunya. Makin pendek masa kehamilannya makin kurang sempurnanya pertumbuhan alat-alat dalam tubuhnya, dengan akibat makin mudahnya terjadi komplikasi dan makin tinggi angka kematiannya. Untuk itu perlu diketahui umur kehamilan dengan mengetahui hari pertama haid terakhir. Secara klinik umur kehamilan dapat diketahui dengan mengukur berat lahir, panjang badan, lingkar kepala atau dengan cara Ballard dkk, (1979) yang mengunakan kriteria neurologik dan kriteria fisik eksterna. Neonatus yang dianggap hiperbilirubinemia bila mengalami ikterus yang disertai sebagai berikut : berat lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindroma gangguan pernafasan, infeksi, troma lahir pada kepala, hipoglikemia, hiperkarbia dan hiperosmolalitas darah ( Rusepno, 2007 ). Makin rendah masa gestasi dan makin kecil bayi yang dilahirkan makin tinggi morbiditas dan mortalitasnya. Berdasarkan atas timbulnya bermacam – macam problematik pada derajat prematuritas Borderline premature ( masa gestasi 37 – 38 minggu ), bayi ini mempunyai sifat – sifat prematur dan matur, biasanya beratnya seperti bayi matur, akan 16 tetapi sering timbul problemtik seperti : sindroma gangguan pernafasan, hiperbilirubinemia, daya hisap yang lemah dan sebagainya sehingga bayi ini harus diawasi dengan seksama ( Wiknjosastro, 2007 ). Banyak bayi terutama bayi kecil (yang kurang dari 2,5 kg pada saat lahir atau lahir sebelum usia gestasi 37 minggu), dapat mengalami ikterus selama minggu pertama kehidupan. pada sebagian besar kasus, kadar bilirubin yang menyebabkan ikterus yang tidak membahayakan dan tidak membutuhkan terapi. Akan tetapi, setiap ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan harus dianggap serius (WHO, 2007). Usia kehamilan sangat menentukan keadaan janin di dalamnya. Apabila usia kandungan terlalu muda atau terlalu tua maka akan mengganggu proses pemecahan sel darah merah pada janin dan bayi dalam kandungan tersebut kekurangan oksigen. Karena kurang oksigen, ketika lahir bayi memiliki sel darah merah lebih banyak dari yang diperlukan. Karena itu begitu lahir dan bernafas, sel darah merah akan hancur. Penghancuran ini membentuk zat yang namanya bilirubin (Manuaba, 2005). Kejadian ikterus pada bayi baru lahir berkisar antara 50% pada bayi yang dilahirkan cukup bulan dan 75% pada bayi yang dilahirkan kurang bulan. Hiperbilirubinemia lebih sering terjadi pada bayi aterm karena keseluruhan 6 – 7% bayi cukup bulan memiliki kadar bilirubin yang lebih besar dari 12,9 mg/dl. Pada bayi preterm kenaikan kadar bilirubin serum 17 cenderung lebih lambat dari cukup bulan dan jangka waktu tergantung pada imaturitas dan metabolisme (Hutagalung, 2012). 2. Berat Badan Lahir Berat badan lahir sangat mempengaruhi terutama bayi yang mengalami BBLR, salah satu penyulit atau masalah yang dialami bayi dengan berat lahir rendah adalah gangguan metabolisme sehingga menimbulkan asidosis, hipoglisemia, dan hiperbilirubinemia (Manuaba, 2005). Berat badan lahir besar umumnya mempunyai kecenderungan lebih sering mengalami trauma lahir, tetapi keadaan ini masih dipengaruhi oleh cara kelahiran dan pihak penolong. Menurut teori (Keay), hiperbilirubin terjadi pada bayi dengan berat badan lahir rendah yaitu: 34,5% dan 62,5% pada berat badan lahir normal. Hal ini disebabkan neonatus dengan berat badan antara 2500 – 4000 gram memiliki metabolisme yang tinggi, selain itu juga produksi bilirubin relatif lebih tinggi dibandingkan bayi-bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram (Wiknjosastro, 2007). Sedangkan berat badan lahir rendah atau bayi dengan berat badan lahir < 2500 gram juga sering mengalami hiperbilirubin disebabkan karena organ tubuhnya yang masih lemah disebabkan karena fungsi hepar yang belum matang atau terdapat gangguan dalam fungsi hepar seperti hipoksia, hipoglikemi, asidosis, dll sehingga mengakibatkan kadar bilirubin meningkat. Sedangkan neonatus dengan berat badan > 4000 gram juga memiliki metabolisme bilirubin yang tinggi karena hatinya 18 sudah matur, tetapi cenderung mengalami trauma lahir (Hutagalung, 2012). Berat badan lahir berpengaruh terhadapterjadinya hiperbilirubinemia dikarenakan belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit (sel darah merah). Pada bayi, usia sel darah merah kira-kira 90 hari kemudian eritrosit harus diproses oleh hati bayi sebagai hasil pemecahannya. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut bilirubin, bilirubin ini yang menyebabkan kuning pada bayi dan apabila jumlah bilirubin semakin menumpuk di tubuhnya maka, bilirubin dapat menodai kulit dan jaringan tubuh lain. Kejadian hiperbilirubin pada bayi baru lahir (BBL) sekitar 50% pada bayi cukup bulan dan 75% pada bayi kurang bulan (BBLR) (Danish, 2011). 3. Proses Persalinan Menurut Manuaba (2005), Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri) yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan (kekuatan sendiri). Bentuk persalinan berdasarkan definisi adalah sebagai berikut : a. Persalinan sepontan. Bila persalinan seluruhnya berlangsung dengan kekuatan ibu sendiri. b. Persalinan buatan. Bila proses persalinan dengan buatan tenaga dari luar. 19 c. Persalinan anjuran. Persalinan normal adalah peristiwa lahirnya bayi hidup dan plasenta dari dalam uterus dengan presentasi belakang kepala melalui vagina tanpa mengunakan alat pertolongan pada usia kehamilan 30 - 40 minggu atau lebih dengan berat badan bayi 2500 gram atau lebih dengan lama persalinan kurang dari 24 jam yang dibantu dengan kekuatan kontraksi uterus dan tenaga mengedan. Sedangkan menurut WHO persalinan normal adalah peralinan yang dimulai secara spontan (dengan kekuatan ibu sendiri dan melalui jalan lahir), beresiko rendah pada awal persalinan dan presentasi belakang kepala pada usia kehamilan antara 37 - 42 minggu setelah persalinan ibu maupun bayi berada dalam kondisi baik ( Mairinda, 2008 ). Sectio Caessarea (SC) adalah prosedur operasi untuk melahirkan bayi melalui sayatan pada dinding perut dan uterus. Apabila persalinan dengan disproporsi sefalopelvik dibiarkan berlangsung sendiri tanpa tindakan yang tepat, timbul bahaya bagi ibu dan janin. Salah satu bahaya pada janin adalah partus lama dapat meningkatkan kematian perinatal apalagi jika ditambah dengan infeksi intra partum. Dewasa ini 2 tidakan dalam penanganan disproporsi sefalopelvik yang dahulu banyak dilakukan tidak diselenggarakan lagi. Cunam tinggi dengan menggunakan axistraction forceps dahulu dilakukan, tindakan ini sangat berbahaya bagi janin dan ibu, kini diganti oleh seksio sesarea yang jauh lebih aman. 20 Induksi partus prematurus umumnya juga tidak dilakukan lagi (Wiknjosastro, 2007). Persalinan dengan ekstraksi vakum menyebabkan komplikasi yaitu cephal hematoma, bayi yang mengalami cephal hematuma akan mengalami peningkatan kadar bilirubin sehingga kulit bayi tanpak ikterus ( WHO, 2007). Persalinan dengan cara sectio caessarea mempunyai pengaruh anestesi umum yang dapat mempengaruhi depresif pada pusat pernafasan janin, sehingga kadang - kadang bayi lahir dalam keadaan apnoe, keadaan sindroma gangguan pernafasan ini dapat meningkatkan kadar bilirubin (Wiknjosastro, 2007). Jenis persalinan spontan cenderung lebih besar sebagai penyebab trauma lahir dibandingkan dengan sectio caesarea. Pada kelahiran spontan angka kejadian bayi dengan hiperbilirubin 48,3% disusul kelahiran sectio caesarea 32,6% ekstraksi vakum 13,3% dan forcep 5,8%. Tetapi jika menderita hiperbilirubin pada setiap jenis persalinan, maka sectio caessaria merupakan persentase terbesar karena sectio caessarea merupakan jenis persalinan dengan resiko paling kecil dibandingkan dengan jenis persalinan lainnya. Umunya bayi dilahirkan secara sectio caessarea setelah mempertimbangkan beberapa faktor resiko yang terjadi selama kehamilannya. Sedangkan vakum dan forcep mempunyai kecenderungan pendarahan intracranial dan cephal hematoma pada kepala bayi sehingga tindakan ini jarang dilakukan (Hutagalung, 2012). 21 C. Kerangka Konsep Menurut Rusepno (2007) faktor penyebab terjadinya hiperbilirubinemia diantaranya adalah berat badan lahir, masa gestasi kurang dari 36 mgg, asfiksia, infeksi, troma lahir pada kepala. Sedangkan menurut WHO (2007) proses persalinan dapat menyebabkan hiperbilirubinemia pada neonatus akibat dari komplikasi dari proses persalinan tersebut. Berdasarkan teori-teori tersebut maka dapat dirumuskan kerangka konsep sebagai berikut : Variabel Independen Variabel Dependen Usia Gestasi Berat Badan Lahir Hiperbilirubinemia Proses Persalinan Gambar 2.1 Kerangka Konsep D. Hipotesa Ha : Ada hubungan usia gestasi dengan kejadian hiperbilirubinemia pada neonates yang dirawat di Ruang Neonatal Intensive Central Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. 22 Ha : Ada hubungan berat badan lahir dengan kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus yang dirawat di Ruang Neonatal Intensive Central Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Ha : Ada hubungan proses persalinan dengan kejadian hiperbilirubinemia pada neonatus yang dirawat di Ruang Neonatal Intensive Central Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. 23 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penilitian Desain penelitian ini menggunakan metode analitik dengan pendekatan Cross Sectional (Bisri, 2008). Cross sectional merupakan rancangan penelitian dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada waktu penelitian sedang berlangsung (Notoatmodjo, 2006). B. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bayi yang dirawat di Ruang NICU RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dari mulai Januari – Desember tahun 2012 sejumlah 1.180 bayi. 2. Sampel Sampel diambil dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Slovin dalam (Notoatmodjo, 2006) : n= N 1 = N (d ) 2 Dimana : n : Sampel N : Populasi d : Penyimpangan statistik dari sampel terhadap populasi, ditetapkan sebesar 10% atau 0,1 N 1180 1180 1180 n= = = = n = 92,1 2 2 1 = N (d ) 1 = 1.180(0,1) 1 = 11,8 12,8 = 92 24 Berdasarkan rumus di atas diperoleh sampel sebanyak 92 bayi. C. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan dari tanggal 07 sampai dengan 09 Januari tahun 2014 di Ruang Neonatal Intensive Care Unit (NICU) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. D. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data yang diperoleh dari laporan atau catatan Ruang NICU Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dan berbagai informasi yang ada kaitannya dengan penelitian ini, dengan cara mengisi lembaran chek list dari buku registrasi mengenai bayi yang mengalami hiperbilirubunemia di Ruang NICU Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. E. Definisi Operasional 25 Tabel 3.1 Definisi Operasional No Variabel Definisi Operasional Cara ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur 1 2 3 4 5 6 Variabel Depenen 1. Hiperbilirubin Naiknya kadar emia bilirubin serum melebihi normal, gejalapaling mudah diidentifikasikan adalah ikterus pada kulit bayi dengan bilirubin total serum 57mg/dl Variabel Independen 1. Usia Gestasi Kehamilan dalam hitungan minggu 2. 3. Berat badan lahir Proses Persalinan Bobot badan bayi dalam Kg Mengisi Medical - Ya check list Record dari data -Tidak yang telah tersedia Ya, jika bayi menderita ikterus neonatorum Tidak, jika bayi tidak mengalami ikterus neonatorum Mengisi Chek check list List dari data yang telah tersedia Mengisi check list dari data yang telah tersedia Cara ibu Mengisi melahirkan janin check list dalam dari data kandungannya yang telah tersedia F. Instrumen Penelitian Ordinal Chek List -Aterm Ordinal Prematur -Normal Ordinal -BBLR Chek List -Normal -Tidak Normal Ordinal 26 Adapun data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari catatan medis yang berisi 8 kolom tabel tentang usia gestasi 2 kolom (prematur dan aterm), berat badan lahir 2 kolom (BBLR dan Normal), proses persalinan 2 kolom (normal dan tidak normal) dan 2 kolom mengalami dan tidak mengalami hiperbilirubinemia. G. Pengolahan dan Analisa Data 1. Pengolahan Data Setelah data terkumpul melalui chek list, maka dilakukan pengolahan data yang melalui tahapan sebagai berikut: a. Seleksi data (Editing) Dimana peneliti akan melakukan penelitian terhadap data yang diperoleh dan diteliti apakah terdapat kekeliruan atau tidak dalam penelitian. b. Pemberian kode (Coding) Setelah dilakukan editing, selanjutnya peneliti memberikan kode tertentu pada tiap-tiap data sehingga memudahkan dalam melakukan analisis data. c. Pengelompokkan data (Tabulating) Pada tahap ini, jawaban-jawaban responden yang sama dikelompokkan dengan teliti dan teratur lalu dihitung dan dijumlahkan, kemudian dituliskan dalam bentuk tabel-tabel (Budiarto, 2002). 2. Analisa Data a. Analisa Univariat 27 Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. Pada umumnya dalam analisa hanya menghasilkan distribusi dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2006). Selanjutnya data dimasukkan dalam tabel data frekuensi, analisis ini menggunakan rumus sebagai berikut (Budiarto, 2002) : P= fi x100% n Keterangan : P = Persentasi fi = frekuensi yang diamati n = jumlah responden yang menjadi sampel b. Analisa Bivariat Analisa bivariat merupakan analisa hasil dari variable-variabel bebas yang diduga mempunyai hubungan dengan variable terkait. Analisa data yang digunakan adalah tabel silang. Untuk menguji hipotesa dilakukan analisa statistik dengan menggunakan uji Khi Kuadrat (Chi-Square) pada tingkat kemaknaan 95% (p < 0,05) sehingga dapat diketahui ada tidaknya hubungan yang bermakna secara statistik menggunakan program SPSS for windows very 16.00. Melalui perhitungan Khi Kuadrat (Chi-square) tes selanjutnya ditarik kesimpulan bila p lebih kecil dari alpha (p < 0,05), maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang menunjukkan adanya hubungan bermakna antara variabel dependen dan independen dan jika p lebih besar dari alpha (p > 28 0.05) maka Ho diterima dan Ha ditolak yang menunjukkan tidak adanya hubungan bermakna antara variabel dependen dan independen. Aturan yang berlaku untuk uji Khi Kuadrat (Chi-square), untuk program komputerisasi seperti SPSS adalah sebagai berikut : 1) Bila pada tabel contingency 2x2 dijumpai nilai e (harapan) kurang dari 5, maka hasil yang digunakan adalah Fisher Exact Test. 2) Bila pada tabel Contingency 2x2 tidak dijumpai nilai e (harapan) kurang dari 5, maka hasil yang digunakan adalah Continuity Correction. 3) Bila tabel Contingency yang lebih dari 2x2 misalnya 3x2, 3x3 dan lain-lain, maka hasil yang digunakan adalah Pearson Chi-Square. 4) Bila pada tabel Contingency 3x2 ada sel dengan nilai frekuensi harapan (e) kurang dari 5, maka akan dilakukan meger sehingga menjadi table Contingency 2x2 (Arikunto, 2004). 29 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Rumah Sakit Umum Dearah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Menempati areal seluas 215.193 m2 yang terletak dijalanTeungku Daud Beureueh kelurahan Banda baru, Kecamatan Kuta Alam yang berbatasan dengan : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan T. Daud Beureueh 2. Sebelah sebelah berbatasan dengan rumah sakit RSUD Dr.Zainoel Abidin lama 3. Sebelah timur berbatasan dengan akademi kebidanan Poltekkes Banda Aceh 4. Sebelah barat berbatasan dengan Dr.T Syarif Thayeb Qanun provinsi NAD No 10 tahun 2003, menjelaskan bahwa RSUD Dr. Zainoel Abidin mempunyai tugas dan fungsi yaitu : 1. Memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat Provinsi NAD. 2. Memberikan pelayanan kesehatan yang prima dan bermutu kepada masyarakat di Provinsi NAD. 3. Memberikan pelayanan rujukan dari Puskesmas, rumah sakit daerah, mendidik tenaga Kesehatan yang profesional. 4. Memberikan penyuluhan Kesehatan Masyarakat. 30 5. Memberikan pelayanan kesehatan secara terpadu dan menyeluruh. B. Hasil Penelitian Penelitian dilakukan pada tanggal 07 sampai dengan 09 Januari di ruang NICU RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dengan pengambilan data pada buku register maka didapatkan hasil sebagai berikut: 1. Analisa Univariat Distribusi Frekuensi Kejadian Hiperbilurubinemia, Usia Gestasi, Berat Badan Lahir dan Proses Persalinan di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Tahun 2014. Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Kejadian Hiperbilurubinemia, Usia Gestasi, Berat Badan Lahir dan Proses Persalinan di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Tahun 2014 No Variabel Kategori N % 1 Hiperbilirubinemia Ya Tidak 36 56 39,1 60,9 2 Usia Gestasi Aterm Premature 70 22 76,1 23,9 3 Berat Badan Lahir Normal BBLR 67 25 72,8 27,2 4 Proses Persalinan Normal 63 68,5 Tidak normal 29 31,5 Sumber : Data Sekunder (Diolah : 2014) Berdasarkan table 4.1 dapat dilihat dari 92 responden mayoritas tidak mengalami hiperbilirubinemia sebanyak 56 responden (60,9%), dari 92 respoden dapat dilihat usia gestasi aterm sebanyak 70 responden 31 (76,1%), dari 92 responden sebahagian besar berat badan lahir normal sebanyak 67 responden (72,8%) dan dari 92 responden yang mengalami proses persalinan normal sebanyak 63 responden (68,5%). 2. Analisa Bivariat a. Hubungan Usia gestasi dengan kejadian Hiperbilirubinemia Tabel 4.2 Hubungan Usia Gestasi Dengan Kejadian Hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Tahun 2014 Hiper Bilirubinemia No Usia Gestasi Total P value Ya Tidak N % n % N % 1 Aterm 32 45,7 38 54,3 70 100 0,040 2 Premature 4 18,2 18 81,8 22 100 Jumlah 36 56 92 Sumber : Data Sekunder (Diolah : 2014) Berdasarkan tabel 4.2 dari 70 responden usia gestasi Aterm yang mengalami Hiperbilirubinemia 32 responden (45,7%), tidak mengalami Hiperbilirubinemia 38 responden (54,3%) dan pada responden dengan usia gestasi premature yang mengalami Hiperbilirubinemia 4 responden (18,2%), tidak mengalami Hiperbilirubinemia 18 responden (81,8%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0, 040 (P < 0,05), ini mengindikasikan ada hubungan yang bermakna antara usia gestasi dengan kejadian Hiperbilirubinemia pada bayi di Ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. b. Hubungan Berat Badan Lahir dengan kejadian Hiperbilirubinemia Tabel 4.3 32 Hubungan Berat Badan Lahir Dengan Kejadian Hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Tahun 2014 Berat Badan Hiperbilirubinemia No Total P value Lahir Ya Tidak N % n % N % 1 Normal 32 47,8 35 52,2 67 100 0,011 2 BBLR 4 16.0 21 84.0 25 100 Jumlah 36 56 92 Sumber : Data Sekunder (Diolah : 2014) Berdasarkan table 4.3 dari 67 responden berat badan lahir normal yang mengalami Hiperbilirubinemia 32 responden (47,8%), tidak mengalami Hiperbilirubinemia 35 responden (52,2%), sedangkan pada 25 responden berat Hiperbilirubinemia badan 4 lahir responden rendah (BBLR) (16,0%), yang yang mengalami tidak mengalami Hiperbilirubinemia 21 responden (84,0%). berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0, 011 (p < 0,05), ini mengindikasikan ada hubungan yang bermakna antara berat badan lahir dengan kejadian Hiperbilirubinemia pada bayi di Ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. c. Hubungan Proses Persalinan dengan kejadian Hiperbilirubinemia Tabel 4.4 Hubungan Proses Persalinan Dengan Kejadian Hiperbilirubinemia di Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Tahun 2014 33 No Proses Persalinan Hiperbilirubinemia Ya Tidak N % n % 1 Normal 19 30,2 44 69,8 2 Tidak normal 17 58,6 12 41,4 Jumlah 36 56 Sumber: Data Sekunder (Diolah 2014) Total N 63 29 92 % 100 100 P value 0,018 Berdasarkan table 4.4 dari 63 responden proses persalinan normal yang mengalami Hiperbilirubinemia 19 responden (30,2%), tidak mengalami Hiperbilirubinemia 44 responden (69,8%) dan pada 29 responden dengan proses persalinan tidak normal yang mengalami Hiperbilirubinemia 17 responden (58,6%), tidak mengalami Hiperbilirubinemia 12 responden (41,4%). Bersarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0, 018 (P < 0,05), ini mengindikasikan ada hubungan yang bermakna antara proses persalinan dengan kejadian Hiperbilirubinemia pada bayi di Ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. C. Pembahasan 1. Usia Gestasi Berdasarkan tabel 4.2 dari 70 responden usia gestasi Aterm yang mengalami Hiperbilirubinemia 32 responden (45,7%), tidak mengalami Hiperbilirubinemia 38 responden (54,3%) dan pada responden dengan usia gestasi premature yang mengalami Hiperbilirubinemia 4 responden (18,2%), tidak mengalami Hiperbilirubinemia 18 responden (81,8%). 34 Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0, 040 (P < 0,05), ini mengindikasikan ada hubungan yang bermakna antara usia gestasi dengan kejadian Hiperbilirubinemia pada bayi di Ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Hasil penelitian yang sama dilakukan oleh Dian Triana Sari (2009) yang menunjukkan ada hubungan antara usia gestasi dengan kejadian hiperbillirubinemia pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Umum Dr. Sutomo Surabaya dengan hasil p value 0,010 (p value < 0,05). Menurut Rusepno (2007) Neonatus yang dianggap hiperbilirubinemia bila mengalami ikterus yang disertai sebagai berikut : berat lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi kurang dari 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindroma gangguan pernafasan, infeksi, troma lahir pada kepala, hipoglikemia, hiperkarbia dan hiperosmolalitas darah. Menurut Wiknjosastro (2007), makin rendah masa gestasi dan makin kecil bayi yang dilahirkan makin tinggi morbiditas dan mortalitasnya. Berdasarkan atas timbulnya bermacam – macam problematik pada derajat prematuritas Borderline premature ( masa gestasi 37 – 38 minggu ), bayi ini mempunyai sifat – sifat prematur dan matur, biasanya beratnya seperti bayi matur, akan tetapi sering timbul problemtik seperti: sindroma gangguan pernafasan, hiperbilirubinemia, daya hisap yang lemah dan sebagainya sehingga bayi ini harus diawasi dengan seksama. 35 Menurut WHO (2007) Banyak bayi terutama bayi kecil (yang kurang dari 2,5 kg pada saat lahir atau lahir sebelum usia gestasi 37 minggu), dapat mengalami ikterus selama minggu pertama kehidupan. pada sebagian besar kasus, kadar bilirubin yang menyebabkan ikterus yang tidak membahayakan dan tidak membutuhkan terapi. Akan tetapi, setiap ikterus yang muncul dalam 24 jam pertama kehidupan harus dianggap serius. Menurut Sholeh (2010) Hiperbilirubinemia yang disebabkan proses fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang bulan maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan yang frekuensinya pada bayi pada bayi cukup bulan dan kurang bulan berturutturut adalah 50-60% dan 80%. Untuk kebanyakan bayi fenomena ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan. Menurut asumsi peneliti usia gestasi aterm dapat mempengaruhi faktor terjadinya hiperbilirubinemia hal ini terlihat dari hasil analisa tabel silang dimana lebih banyak terdapat bayi yang usia gestasi aterm yang mengalami hiperbilirubinemia sedangkan yang bayi prematur lebih sedikit yang mengalami hiperbilirubinemia hal ini dapat diasumsikan bahwa usia gestasi aterm dan prematur dapat menjadi faktor timbulnya hiperbilirubinemia. Untuk peneliti yang akan datang dapat diteliti lebih lanjut tentang hiperbilirubinemia, ada faktor yang lain yang mempengaruhi terjadinya hiperbilirubinemia pada bayi usia gestasi baik aterm maupun prematur seperti pengawasan antenatal yang buruk, 36 penggunaan obat yang dapat meningkatkan kadar hiperbilirubinemia yaitu sulfafurazole, novobiosin, oksitosin dll, terjadinya hipoksia pada janin dan neonatus, penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus, pemberian makanan yang terlambat dan terjadinya infeksi. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya hiperbilirubinemia dapat dihindari dengan mencegah faktor-faktor yang meningkatkan kadar bilirubin. 2. Berat Badan Lahir Berdasarkan table 4.3 dari 67 responden berat badan lahir normal yang mengalami Hiperbilirubinemia 32 responden (47,8%), tidak mengalami Hiperbilirubinemia 35 responden (52,2%), sedangkan pada 25 responden berat Hiperbilirubinemia badan 4 lahir responden rendah (BBLR) (16,0%), yang yang mengalami tidak mengalami Hiperbilirubinemia 21 responden (84,0%). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0, 011 (P < 0,05), ini mengindikasikan ada hubungan yang bermakna antara berat badan lahir dengan kejadian Hiperbilirubinemia pada bayi di Ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Hasil penelitian dari Kusumawardani (2010) yang menunjukkan ada hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian Hiperbilirubinemia di RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto. Hal ini dapat dilihat dari nilai p value sebesar 0,000 (p value <α 0,05). 37 Menurut Manuaba (2005) Berat badan lahir sangat mempengaruhi terutama bayi yang mengalami BBLR, salah satu penyulit atau masalah yang dialami bayi dengan berat lahir rendah adalah gangguan metabolisme sehingga menimbulkan asidosis, hipoglisemia, dan hiperbilirubinemia. Menurut Wiknjosastro (2007) Berat badan lahir besar umumnya mempunyai kecenderungan lebih sering mengalami trauma lahir, tetapi keadaan ini masih dipengaruhi oleh cara kelahiran dan pihak penolong. Menurut teori (Keay), hiperbilirubin terjadi pada bayi dengan berat badan lahir rendah yaitu: 34,5% dan 62,5% pada berat badan lahir normal. Hal ini disebabkan neonatus dengan berat badan antara 2500 – 4000 gram memiliki metabolisme yang tinggi, selain itu juga produksi bilirubin relatif lebih tinggi dibandingkan bayi-bayi dengan berat badan kurang dari 2500 gram. Menurut asumsi peneliti berat badan lahir merupakan salah satu faktor yang mempengruhi kejadian hiperbilirubinemia ini dapat dilihat dari hasil tabulasi silang yang didapat lebih banyak berat badan lahir normal , hal ini bisa disebabkan oleh faktor lain yang dapat meningkatkan kadar bilirubin pada neonatus, seperti meningkatnya metabolisme produksi bilirubin dalam tubuh bayi, masalah ini dapat diatasi dengan mempercepat metabolisme dan pengeluaran bilirubin dengan cara early feeding yaitu pemberian makanan dini (ASI) pada neonatus, dengan cara mengubah bilirubin menjadi bentuk tidak toksik yang dapat dikeluarkan melalui ginjal dan usus yaitu dengan photo terapy (light therapy), dan dengan cara mengeluarkan bilirubin dari peredaran darah yaitu tranfusi tukar darah. 38 Selain itu BBLR juga dapat mempengaruhi kejadian hiperbilirubinemia dapat dilihat bahwa ada bayi BBLR mengalami hiperbilirubinemia, hal ini dapat disebabkan oleh faktor lain seperti belum matangnya fungsi organ tubuh bayi, mudah terjadi infeksi, terjadinya asfiksia, dan hipoglikemi yang menjadi pencetus meningkatnya kadar biliIrubin sehingga menjadi hiperbilirubinemia. 3. Proses Persalinan Berdasarkan table 4.4 dari 63 responden proses persalinan normal yang mengalami Hiperbilirubinemia 19 responden (30,2%), tidak mengalami Hiperbilirubinemia 44 responden (69,8%) dan pada 29 responden dengan proses persalinan tidak normal yang mengalami Hiperbilirubinemia 17 responden (58,6%), tidak mengalami Hiperbilirubinemia 12 responden (41,4%). Bersarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0, 018 (P < 0,05), ini mengindikasikan ada hubungan yang bermakna antara proses persalinan dengan kejadian Hiperbilirubinemia pada bayi di Ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Hasil penelitian yang sama dilakukan oleh Dian Triana Sari (2009) yang menunjukkan ada hubungan antara pengaruh persalinan dengan kejadian hiperbillirubinemia pada bayi baru lahir di RSU Dr. Sutomo Surabaya, ini dapat dilihat dengan hasil penelitiannya yaitu: p value 0,014 ( p < 0,05). 39 Menurut WHO (2007) Persalinan dengan ekstraksi vakum menyebabkan komplikasi yaitu cephal hematoma, bayi yang mengalami cephal hematuma akan mengalami peningkatan kadar bilirubin sehingga kulit bayi tanpak ikterus. Menurut Wiknjosastro (2007) Persalinan dengan cara sectio caessarea mempunyai pengaruh anestesi umum yang dapat mempengaruhi depresif pada pusat pernafasan janin, sehingga kadang kadang bayi lahir dalam keadaan apnoe, keadaan sindroma gangguan pernafasan ini dapat meningkatkan kadar bilirubin. Menurut Hutagalung (2012), jenis persalinan spontan cenderung lebih besar sebagai penyebab trauma lahir dibandingkan dengan sectio caesarea. Pada kelahiran spontan angka kejadian bayi dengan hiperbilirubin 48,3% disusul kelahiran sectio caesarea 32,6% ekstraksi vakum 13,3% dan forcep 5,8%. Tetapi jika menderita hiperbilirubin pada setiap jenis persalinan, maka sectio caessaria merupakan persentase terbesar karena sectio caessarea merupakan jenis persalinan dengan resiko paling kecil dibandingkan dengan jenis persalinan lainnya. Umunya bayi dilahirkan secara sectio caessarea setelah mempertimbangkan beberapa faktor resiko yang terjadi selama kehamilannya. Sedangkan vakum dan forcep mempunyai kecenderungan pendarahan intracranial dan cephal hematoma pada kepala bayi sehingga tindakan ini jarang dilakukan. Menurut asumsi peneliti berdasarkan uraian di atas maka penulis mengasumsikan bahwa jenis persalinan dapat mempengaruhi status kesehatan bayi yang akan lahir baik itu persalinan normal maupun 40 persalinan dengan tindakan SC (sectio caessaria) , karena kedua jenis persalinan tersebut mempunyai peluang risiko terhadap kejadian Hiperbillirubinemia pada bayi baru lahir, hal ini dapat dilihat dari hasil analisa tabel silang dimana terdapat bayi yang dilahirkan dengan proses persalinan normal lebih banyak mengalami hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh faktor lain yang perlu di teliti lebih lanjut lagi oleh peneliti selanjutnya seperti adanya kecendrungan terjadinya trauma pada bayi saat persalinan akibat proses persalinan yang mempunyai kendala seperti ibu dengan CPD (Cephalo Pelvic Disproportion), resiko ketuban pecah dini (KPD) yang dapat menyebabkan infeksi dan asfiksia pada bayi. Persalinan yang mempunyai resiko harus ditangani dengan tindakan yang tepat dan petugas medis yang ahli dibidangnya masing-masing seperti Dokter Spesialis Obsetri dan Ginekologi, Dokter Spesialis Anak, serta Bidan yang bertugas di pelayanan kesehatan, jika tidak ditangani dengan benar dapat mengalami resiko dan permasalahan dalam proses persalinan sehingga mempengaruhi terjadinya hiperbilirubinemia. Permasalahan dalam proses persalinan ini dapat dicegah dengan melakukan pengawasan antenatal care yang baik, peningkatan mutu pelayanan medis dengan memberikan pelayanan kesehatan yang prima dan bermutu kepada masyarakat serta memberikan penyuluhan kesehatan masyarakat. 41 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 42 1. Ada hubungan antara usia gestasi dengan kejadian hiperbilirubinemia pada bayi di Ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh tahun 2014 (p value = 0, 040). 2. Ada hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian hiperbilirubinemia pada bayi di Ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh tahun 2014 (p value = 0,011). 3. Ada hubungan antara proses persalinan dengan kejadian hiperbilirubinemia pada bayi di Ruang Neonatal Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh tahun 2014 (p value = 0,018). B. Saran 1. Bagi peneliti lain Untuk penelitian selanjutnya, peneliti mengharapkan penelitian dilakukan langsung pada individu, sehingga peneliti lebih mengetahui factor - faktor lain yang menjadi faktor resiko terjadinya hiperbilirubinemia. 2. Bagi Institusi Pendidikan Lebih meningkatkan ilmu pengetahuan tentang kesehatan anak dengan membuat prongram pendidikan kesehatan anak serta yang lebih menggali lagi permasalahan yang dialami masyarakat luas tentang kesehatan anak. 43 3. Bagi tempat penelitian/ tenaga kesehatan. Diharapkan kepada petugas kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh untuk dapat meningkatkan mutu pengetahuan dan keterampilan bagi petugas kesehatan sehingga dapat memberikan pertolongan dengan cepat serta tepat segera mungkin pada bayi yang mengalami hiperbilirubinemia dan melakukan pengawasan antenatal dengan baik. 44