I. PENDAHULUAN Obat tradisional sudah menjadi pilihan bagi lebih dari 80% populasi di negara berkembang sebagai terapi pengobatan dan upaya dalam menjaga kesehatan (WHO, 2002). Obat tradisional Indonesia atau obat asli Indonesia yang lebih dikenal dengan nama jamu, umumnya campuran obat herbal yang dapat berasal dari sumber nabati, hewani, mineral atau gabungan antara ketiganya (Mangan, 2003; Dewoto, 2007). Salah satu contoh obat tradisional yang berasal dari sumber hewani yaitu rayap. Famili termitidae merupakan salah satu famili hewan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat di India Selatan baik sebagai obat maupun makanan. Masyarakat India sudah lama menjadikan famili termitidae sebagai sumber makanan yang kaya protein. Selain itu famili tersebut juga telah digunakan secara tradisional untuk pengobatan asma, penyakit infeksi, dan berpotensi sebagai antimikroba (Wilsanand, 2005). Rayap yang dikenal dengan nama anai-anai (Macrotermes gilvus Hagen.) memiliki kelenjar saliva yang dapat menghasilkan cairan liur yang pekat sampai 50% dalam kandungan abdomen. Selain sebagai sinyal bahaya, cairan ludah mengandung senyawa kimia yang memiliki aktivitas antibakteri (Korb, 2011). Berdasarkan penelitian sebelumnya telah berhasil dilakukan analisis kandungan metabolit primer ratu dan sarang anai-anai Macrotermes gilvus Hagen. Ratu anai-anai Macrotermes gilvus Hagen., diketahui berpotensi sebagai obat luka bakar pada dosis 5% (Alen et al., 2016a). Lebih lanjut, Alen et al. (2015) telah 1 berhasil mendapatkan empat jenis jamur simbiotik sarang ratu anai-anai Macrotermes gilvus Hagen., yaitu Aspergillus flavus, Mucor sp., Aspergillus niger, dan Cladosporium sp. Dari jamur Aspergillus niger, sudah berhasil diisolasi senyawa antibiotika yang aktif terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Enterococcus faecalis dengan MIC masing-masing 1000 dan 125 ppm (Melati, 2016). Dari jamur Mucor sp., juga telah diisolasi senyawa antibiotika yang aktif terhadap bakteri Escherichia coli MIC 500 ppm, dan bakteri Staphylococcus bacillus, Pseudomonas aeroginosa, Micrococcus luteus, Salmonella typhimurium, dan Enterococcus faecalis dengan MIC 1000 ppm (Okta, 2016). Ratu anai-anai juga terbukti memiliki aktivitas sebagai immunomodulator pada dosis 10 mg/kgBB (Alen et al., 2016b). Selain itu dari uji pendahuluan diketahui bahwa pada dosis 75 mg/kgBB, ratu anai-anai berpengaruh terhadap penurunan kadar kolesterol total (Alen et al., 2016c). Menurut Igwe et al. (2011), secara umum rayap mengandung nutrisi yang sangat bermanfaat seperti lemak (34,23 ± 0,83%), protein (20,94 ± 0,08%) dan karbohidrat (20,74 ± 0,00%). Khusus untuk spesies M. gilvus Hagen, berdasarkan penelitian terbaru diketahui mengandung protein 43,54%, lemak 23,31%, serat kasar 1,49%, kadar air 1,28%, kadar abu 8,7%, dan karbohidrat total 29,19% (Alen et al., 2016a). Kepercayaan bahwa ratu anai-anai dapat menyembuhkan berberapa macam penyakit hanya berdasarkan pengalaman. Masyarakat mengkonsumsi ratu anai-anai pada pagi dan malam hari masing-masing satu ekor dengan cara membuang bagian kepala dan kaki serta menelannya hidup-hidup. Beberapa 2 artikel populer di internet juga menyatakan khasiat dari ratu anai-anai dalam mengatasi beberapa jenis penyakit seperti diabetes melitus, stroke, asam urat, darah tinggi, dan penyakit yang disebabkan oleh penuaan (Fadil, 2015; Shadiqul, 2014). Meskipun demikian, klaim tersebut membutuhkan klarifikasi ilmiah. Jika dilihat dari banyaknya manfaat yang didapat dari ratu anai-anai sebagai obat tradisional, maka untuk menjamin keseragaman mutu obat diperlukan adanya suatu proses standardisasi (BPOM, 2005). Tujuan standardisasi simplisia yaitu memperoleh bahan baku yang seragam yang akhirnya dapat menjamin efek farmakologi dari bahan obat tersebut (BPOM, 2005). Sampai saat ini masyarakat mengkonsumsi obat tradisional sesuai dengan pemahamannya masing-masing, karena mereka menganggap obat yang berasal dari bahan alam sudah pasti aman untuk dikonsumsi. Masyarakat belum menyadari adanya potensi efek samping serta belum memahami kapan dan bagaimana suatu obat tradisional dikatakan aman untuk dikonsumsi (WHO, 2003). Meskipun bahan alam relatif lebih aman untuk dikonsumsi, penggunaan dalam jangka waktu yang lama dapat beresiko memberikan efek yang tidak diinginkan (Winarno, 2015). Oleh karena itu, pengujian keamanan penggunaan ratu anai-anai perlu dilakukan untuk mengetahui nilai LD50, konsentrasi SGPT dan SGOT, serta rasio berat organ hewan untuk memastikan bahwa ratu anai-anai tidak menimbulkan efek toksik dalam penggunaannya. Selain itu, uji toksisitas dan standardisasi produk juga perlu dilakukan sebagai syarat uji praklinik dalam upaya pengembangan ratu anai-anai menjadi obat herbal terstandar. 3