Jurnal Keuangan dan Bisnis Vol. 1, No.1, November 2009 ANALISIS DAN PENGARUH VARIABEL EKONOMI MAKRO TERHADAP PENETAPAN HARGA SAHAM PERDANA DI BURSA EFEK JAKARTA Hasfin Hardi ([email protected]) Dosen Kopertis Dpk. STIE Harapan Medan ABSTRACT The objective of this study is to improve the determination of Initial Public Offering price from 1996 to 2001 in relation to under pricing theory, as well as the result of previous study. The Study of initial public offering is conducted in the countries that have advance capital market and also in Indonesia. Previous study indicates that the initial public offering is underpriced; New York Stock Exchange and NASDAQ, Ibbotson, RG (1987); Hong Kong, Malaysia and Singapore, Dawson, SM (1987); Korea Stock Exchange, Kim (1993); London Stock Exchange, Menyah (1995); Kuala Lumpur Stock Exchange, Shamsher Mohammad (1993). The data analysis is used is a cumulative abnormal return models as well as used in the previous study in Jakarta Stock Exchange. In addition, this research will study whether the issuer and underwriter has an important role in the initial public offering considering variable macro economy such as interest rate, inflation and currency rate of US$. The data analysis is used multiple regression models. By this model, we can study the influence of the variable to initial public offering price in Jakarta Stock Exchange. The results of this study provide the valuable input to the investor to focus their investment in the primary market. However investments in the primary market provide the optimal return, the investment is not suitable for the long term. The quantitative test indicates that variable of interest rate, inflation and currency rate of US$ have a significant influence to initial public offering in 1996 while for another years have not a significant influence. Keywords : macro variable, initial public offering, capital market perusahaan Penanaman Modal dalam Negeri. PENDAHULUAN Latar Belakang Melihat perkembangan pasar modal yang sangat lambat dan jauh tertinggal dengan perkembangan pasar uang, pemerintah Indonesia mengeluarkan serangkaian kebijakan ,policy) dibidang keuangan. Dimulai dengan Paket Desember 1987 (Pakdes) yang memberi kemudahan bagi investor asing untuk memiliki 49% dari jumlah saham yang ditawarkan atau dicatatkan di Bursa Efek. Deregulasi selanjutnya yang dilakukan dibidang keuangan dikenal dengan Paket Oktober 1988 (Pakto), Kebangkitan pasar modal di Indonesia diawali dengan keluarnya Keputusan Presiden -KEPRES) nomor 52 tahun 1976. Kebangkitan ini ditandai dengan penjualan saham biasa oleh PT. Semen Cibonong pada tanggal 6 Agustus 1977, setelah tahun 1977 hingga tahun 1987 praktis pasar modal Indonesia tidak mengalami perkembangan yang berarti, hanya berhasil mencatatkan 17 perusahaan Penanaman Modal Asing dan 7 18 2009 Hasfin Hardi merupakan angin segar bagi pasar modal Indonesia untuk berkembang lebih cepat. indeks turun tajam pada Oktober 1991 hingga mencapai 221, selanjutnya naik, terus mengalami perbaikan dan ditutup dengan 637 pada akhir Desember 1996. Keadaan ini dapat dilihat dari peningkatan yang cukup besar jumlah perusahaan yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta, dari 24 perusahaan pada akhir tahun 1987 menjadi 253 pada akhir tahun 1996. Kapitalisasi saham juga meningkat tajam dari Rp.100 Milyar pada akhir tahun 1987 menjadi Rp. 215.026 Milyar pada akhir tahun 1996. Volume perdagangan (trading) mengalami lonjakan sangat fantastis dari 2,4 juta lembar saham menjadi 29,5 Milyar lembar saham pada akhir tahun 1996. Semua kebijakan ini merupakan peran pemerintah dalam upaya memajukan pasar modal Indonesia sebagai sebuah pasar modal yang atraktif bagi investor, baik domestik maupun asing. Krisis multi dimensi yang belum berakhir hingga sekarang ini, diawali oleh krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 membawa dampak terhadap kehidupan ekonomi dan sosial bangsa Indonesia. Runtuhnya simbol-simbol kapitalisme modern seperti penutupan beberapa bank, turunnya Indeks Harga Saham Gabungan Bursa Efek Jakarta hingga mencapai titik terendah dan pecah dibawah 400 pada Desember tahun 1997. Krisis moneter yang ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap US$ hingga mencapai titik terendah Rp. 14.900,-- untuk setiap US$.l, kemudian diikuti dengan meningkatnya inflasi serta meningkatnya suku bunga deposito perbankan. Ketiga variabel ini secara bersama-sama mempengaruhi Indeks Harga Saham Gabungan (Manurung & Haymans, 1996). Kebijakan pemerintah terus bergulir untuk memajukan pasar modal sebagai indikator negara maju, dengan merubah status BAPEPAM dari semula sebagai Badan Pelaksana Pasar Modal menjadi Badan Pengawas Pasar Modal pada tahun 1991. Selanjutnya pada tahun 1992 menswastakan Bursa Efek Jakarta menjadi PT. Bursa Efek Jakarta. Sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan peran pasar modal Indonesia, PT. Bursa Efek Jakarta berbenah diri dengan memulai era komputerisasi dalam perdagangan saham yang dimulai pada Mei 1995, yang dikenal dengan Jakarta Automated Trading System. Penetapan harga saham baru untuk ditawarkan kepada masyarakat merupakan faktor yang sangat kritis untuk mencapai keberhasilan, karena penetapan ini ditentukan oleh pihakpihak yang terlibat dan mempunyai tujuan yang berbeda. Harga saham yang rill adalah harga setelah saham dicatatkan di Bursa Efek sebagai hasil tarik menarik permintaan dan penawaran. Harga saham yang ditetapkan oleh emiten (issuer) tidak dapat didasarkan hanya kepada kinerja keuangan perusahaan yang disampaikan kepada masyarakat dan juga tidak dapat didasarkan kepada observasi harga pasar perusahaan sebelumnya (Ibbotson et.al, 1988). Oleh karenanya sangat menarik untuk dikaji perilaku penetapan harga saham baru dan variabel lain yang mempengaruhinya. Sejalan dengan meningkatnya jumlah perusahaan yang menjual saham kepada masyarakat (going public). Indeks Harga Saham Gabungan/IHSG (composite index) sebagai indikator harga saham berfluktuasi sangat dinamis, dari 305 pada akhir tahun 1988, naik dan mencapai puncaknya 642 pada bulan April 1990. Selanjutnya 19 18 – 29 Jurnal Keuangan & Bisnis Banyak penelitian yang telah dilakukan terhadap penawaran saham perdana khususnya bagi negara-negara yang telah maju, namun sangat terbatas untuk pasar modal Indonesia. Husnan (1994) membuktikan bahwa Penawaran Saham Perdana (Initial Public Offering/IPO) dibawah harga (underpriced) untuk periode 1989 dan 1992, masingmasing 19,78% dan 9,76%. Penelitian ini tidak menggunakan periode yang sistematis untuk melihat penawaran saham perdana di Bursa Efek Jakarta. Kedua periode mempunyai kondisi pasar yang sangat berbeda, dari tahun 1989 sampai akhir 1990 Bursa Efek dalam kondisi bullish, mulai Oktober 1991 kondisi pasar dalam keadaan bearish. Selain itu juga tidak mengkaji lebih lanjut variabel lain yang mempengaruhi emiten menetapkan harga saham underpriced. November diatas harga (overpriced). Penelitian ini sangat terbatas hanya pada satu emiten, dan tidak mengobservasi kepada seluruh perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana pada periode itu, sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa penawaran saham perdana adalah overpriced tahun 1995. Berdasarkan hasil temuan peneliti terdahulu, maka peneliti akan menguji kembali untuk periode yang sistematis dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2001. Pada periode sistematis ini, Indonesia menghadapi periode krisis multi dimensi yang dimulai pertengahan bulan Juli 1997, yang hingga akhir tahun 2001 belum berakhir. Perumusan Masalah Indeks Harga Saham Gabungan yang berfluktuasi sangat dinamis setelah perusahaan mencatatkan saham di Bursa Efek Jakarta, menarik untuk dianalisis dan peneliti mencoba untuk merumuskan masalah sebagai berikut: Sejalan dengan penelitian diatas, Ibbotson (1975) menemukan bahwa penawaran saham perdana underpriced di New York Stock Exchange. Dowson (1987) menemukan bahwa dua dari tiga pasar modal Asia (Malaysia, Hongkong dan Singapore) underpriced. Howe et.al. (1993) membuktikan bahwa underpriced di pasar modal Korea Selatan mencapai 79% untuk periode Juli 1984 sampai Maret 1990, tetapi sangat ditentukan oleh tujuan penawarannya. Howe et.al (1984) menemukan rata-rata underpriced mencapai rata-rata 91% dan ini sejalan dengan temuan sebelumnya. Allen & Patrick (1995) menemukan bahwa penawaran saham perdana di Bursa Efek Australia juga underpriced untuk periode Januari 1974 sampai Desember 1984. 1. Apakah penetapan harga saham perdana underpriced atau overpriced ? 2. Apakah ada pengaruh tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar US$ terhadap penetapan harga saham perdana di Indonesia ? Batasan Masalah Data penelitian yang digunakan terbatas untuk periode enam tahun yaitu mulai dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2001. Lokasi penelitian PT. Bursa Efek Jakarta, dengan jumlah populasi dan sampel seluruh perusahaan yang melakukan Penawaran Saham Perdana pada tahun 1996 sampai dengan tahun 2001. Harjono (1996) menemukan keadaan yang berbeda dengan penelitian sebelumnya di Bursa Efek Jakarta, bahwa penawaran saham perdana PT. Surya Hidup Satwa tahun 1995 adalah D. Tujuan Penelitian Sebagaimana yang telah dijelaskan 20 2009 Hasfin Hardi diatas, maka tujuan penelitian adalah: diperjualbelikan diantara investor. Pasar sekunder di Indonesia terdiri dari PT. Bursa Efek Jakarta dan PT. Bursa Efek Surabaya. Pengertian pasar tersebut di atas sejalan dengan Harianto dan Siswanto (1998) Jika perusahaan menjual efek untuk pertama kalinya, maka penjualan ini disebut sebagai penawaran perdana (Initial Public Offering atau Going Public). 1. Untuk menguji apakah Penawaran Saham Perdana underpriced atau overpriced. 2. Untuk menguji variabel tingkat suku bunga, inflasi dan nilai tukar US$ terhadap penetapan harga saham perdana di Indonesia. Berdasarkan pengertian diatas sudah jelas yang dimaksud dengan penawaran perdana, namun penawaran ini tergantung dari jenis efek yang ditawarkan, jika saham yang ditawarkan disebut dengan Penawaran Saham Perdana. Jika obligasi yang ditawarkan disebut dengan Penawaran Obligasi Perdana. Saham adalah surat tanda bukti kepemilikan atas sebuah Perseroan Terbatas, dari saham akan diperoleh penghasilan berupa dividen. Obligasi adalah surat pengakuan hutang jangka panjang oleh perusahaan yang menerbitkan, dari obligasi ini akan diperoleh penghasilan tetap berupa kupon (coupon). TELAAH LITERATUR Pengertian Perdana Penawaran Saham Pasar keuangan merupakan salah satu sumber pembiayaan eksternal bagi dunia usaha dan sekaligus sebagai wahana investasi bagi masyarakat. Pasar keuangan dibedakan atas dua yaitu pasar uang dan pasar modal. Pasar uang dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu pasar uang yang instrumennya tidak dapat diperdagangkan, seperti Sertifikat Deposito berjangka dan Tabungan. Kelompok yang kedua adalah pasar uang yang instrumennya dapat diperdagangkan, yang lazimnya instrumen ini berjangka pendek tidak lebih dari satu tahun meliputi Sertifikat Bank Indonesia, Surat Berharga Pasar Uang, Promes dan Commercial Paper. Perusahaan yang akan melakukan penawaran perdana harus melalui prosedur yang telah ditetapkan oleh otoritas pasar modal yaitu Badan Pengawas Pasar Modal. Proses penawaran publik di pasar perdana sebagai berikut (Harianto dan Siswanto, 1998): Sebaliknya pasar modal memperdagangkan instrumen berjangka panjang lebih dari satu tahun yang meliputi Saham, Obligasi, Bukti Hak (Rights), Jaminan (Warran) dan turunan lainnya. Pada pasar modal dikenal dua jenjang pasar yaitu pasar primer atau pasar perdana (primary market) dan pasar sekunder (secondary market). 1. Professional dan lembaga pendukung pasar modal membantu emiten dalam menyiapkan dokumen penawaran perdana. 2. Emiten menyerahkan Pernyataan Pendaftaran kepada BAPEPAM. 3. Pernyataan Pendaftaran dinyatakan efektif oleh BAPEPAM. 4. Emiten dan lembaga professional pendukung melakukan penawaran puiblik pada pasar perdana. Pasar perdana adalah suatu pasar dimana untuk pertama kalinya efek baru dijual kepada investor oleh perusahaan yang menerbitkan atau yang menjualnya. Pasar sekunder adalah pasar dimana efek yang dijual pada pasar perdana diperdagangkan atau 21 18 – 29 Jurnal Keuangan & Bisnis Pada penawaran publik di pasar perdana, professional pendukung yang memegang peran penting adalah penjamin emisi. Penjamin emisi dan perusahaan penerbit secara bersamasama mempersiapkan penawaran, mulai dari menentukan harga saham perdana sampai kepada pemasaran saham yang akan ditawarkan kepada masyarakat atau investor. Ibbotson et.al. (1988), menyatakan bahwa penetapan harga dari sebuah penawaran saham perdana adalah titik penting untuk berhasilnya sebuah penawaran. Selain harga saham, reputasi pinjaman emisi adalah penting dalam membantu penawaran (Carter, dan Manaster, 1990). November Berdasarkan formula di atas, maka investor akan bertindak (Francis, 1980) : 1. Maximize the expected return in any given risk class, or conversely. 2. Miximize their risk any given rate of expected return. Harga Saham Sebelum investor memutuskan untuk melakukan investasi, khususnya investasi jangka panjang, maka salah faktor penting yang harus diperhatikan adalah menentukan harga saham atau nilai perusahaan yang akan melakukan penawaran perdana. Sama halnya dengan investor, emiten juga harus menetapkan harga saham atau nilai perusahaan yang akan ditawarkannya kepada masyarakat. Banyak metode yang dapat dipilih untuk menghitung harga saham atau nilai perusahaan, salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Breadley (1991) sebagai berikut ini: Risiko Dan Imbalan Pasar modal Indonesia sebagai sebuah pasar modal tergolong masih bayi dan masih berkembang (emerging market), ini sejalan dengan kondisi Indonesia sebagai sebuah negara berkembang. Kondisi ini dapat dilihat dari instrumen perdagangan yang tersedia bagi investor yang sangat terbatas, hingga saat ini instrumen yang ada adalah Saham, Obligasi, Rights dan Warran. Sedangkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggeris berbagai instrumen keuangan tersedia untuk investasi bagi investor, berupa Banks Bill, Bonds, Warran, Stock, Rigths, Derivative Securities, Junk Bond, Option dan Future, dan sebagainya. 1. Book value record what a company has paid for its assets, with a simple, and often unrealistic, deduction for depreciation and no adjusment for infl, ion. Its does not capture the true value of business. 2. Liquidation value is what the company could net by selling its assets and repaying its debts. Its does not capture the value of a successful going concern. 3. True value is market value, that is the amount that investor are willing to pay for the firm. This depends on the earnings power of today's assets and profitability of future investments. Investasi pada surat berharga mempunyai risiko, ini sejalan dengan hasil (return) yang diharapkan. Investor yang mengharapkan return yang tinggi, akan menghadapi risiko yang tinggi juga. Jadi maksimalisasi utilitas investor merupakan fungsi harapan hasil (expected return/ER) dan total risiko (risk/). Berdasarkan pendapat diatas jelas bahwa terdapat tiga nilai yang dapat digunakan untuk menentukan nilai EU = f (ER . ) 22 2009 Hasfin Hardi perusahaan, yaitu nilai buku, nilai likuidasi dan nilai pasar. Salah satu dari ketiga jenis ini dapat dipilih untuk menentukan nilai perusahaan, namun pemilihan ini harus diperhatikan mana yang lebih realistis digunakan pada kondisi saat ini sehingga memberikan nilai yang lebih realistis. ditetapkan dari nilai nominal. Sebaliknya, penjamin emisi berupaya agar harga saham yang akan ditawarkan tidak terlalu tinggi, karena penjamin emisi mempunyai suatu potensi kerugian ketika perjanjian penjaminan telah dilakukan. Perjanjian penjaminan penawaran saham perdana terdiri dari full commitment, yaitu penjamin emisi akan membayar dan membeli seluruh saham yang ditawarkan kepada publik; best-effort underwriting yaitu penjamin emisi menyetujui menawarkan saham perdana kepada publik, tetapi tidak berjanji untuk membeli seluruh saham yang ditawarkan, dengan demikian risiko masih berada dipihak emiten; gross spread atau underwiter discount yaitu suatu bentuk perjanjian bahwa penjamin emisi hanya menawarkan saham kepada publik dan memperoleh hasil dari selisih harga atau dalam bentuk pendapatan tetap (fixed income) Bentuk penjaminan yang lazim ada di pasar modal adalah full commitment dan best efforts. Pasar modal Indonesia menetapkan bentuk penjaminan full commitment, ini berarti bahwa penjamin emisi harus membeli keseluruhan saham baru yang ditawarkan, jika saham tersebut tidak laku dijual. Dengan demikian maka dalam menetapkan harga saham baru, penjamin emisi sangat hati-hati dan mempertimbangkan kepentingannya. Pertimbangan dalam penetapan harga saham ini sangat penting untuk diamati, Husnan (1994) dengan tegas membatasi penelitiannya. Penilaian lain yang dapat digunakan adalah melalui penilaian saham biasa (common stock valuation) walaupun penilaian dengan cara ini menimbulkan kesulitan, sebagimana diungkapkan oleh Ross et.al. (1993). Harga Saham Dibawah Harga Berdasarkan metode-metode yang dijelaskan di atas, terlihat bahwa penetapan harga saham perusahaan tidak mempunyai alat ukur yang pasti, yang dapat menjadi patokan dalam menetapkan harga saham. Metodemetode yang ada merupakan pendekatan dalam menetapkan harga saham. Sehingga penetapan harga saham oleh perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana mempunyai posisi yang lebih menguntungkan dari sisi informasi. Sebaliknya investor yang hanya mempunyai informasi yang sangat terbatas berupa laporan keuangan dua tahun terakhir serta prospektus usaha, akan melakukan penilaian terhadap harga saham emiten dengan cara yang sama. Harga saham yang ditetapkan bersama oleh emiten dan penjamin emisi mempunyai potensi tidak wajar, karena keduanya mempunyai kepentingan yang berbeda. Emiten berupaya agar harga saham tinggi, dan dengan nilai nominal yang rendah, sehingga agio saham (premium on common stock) yang diperoleh lebih tinggi, ini sangat menguntungkan. Karena ketika pembagian dividen pada akhir periode, lazimnya besar dividen Assuming that there was no collusion between underwriters and firms wish to list their share on the market, it would be very difficult for firm to offer over value share in the first issue market. Therefore it is expected that the first issues were underpriced. Secondly, after share were traded in the secondary market, the price 23 18 – 29 Jurnal Keuangan & Bisnis would immediately adjust to new condition, which means that the price would be fair. November PER) pada saat penawaran saham perdana underpricing 8%, tetapi kenyataannya terjadi overpricing sebesar 76%. Ini berarti merugikan investor, karena price earnings ratio yang tinggi akan memperpanjang jangka waktu pengembalian dana yang ditanam investor. Peneliti ini juga mengungkapkan bahwa emiten menggunakan private information untuk going public dengan memilih waktu yang tepat, sehingga investor menderita kerugian karena hanya memiliki informasi publik yang terbatas. Pernyataan di atas adalah untuk menghindari penetapan harga yang tidak wajar akibat kolusi antara emiten dan penjamin emisi. Potensi curang dalam penetapan harga saham, diperkuat lagi jika jumlah saham yang ditawarkan cukup besar. Dalam ilmu ekonomi jika barang yang ditawarkan banyak, cenderung harga yang ditawarkan lebih murah agar seluruh barang laku terjual. Selain jumlah banyak, kepopuleran produk juga harus diperhatikan. Jika perusahaan yang ditawarkan kepada masyarakat, pemiliknya tidak dikenal, kondisi ini juga menjadi pertimbangan penjamin emisi, walaupun dalam penetapan harga saham keputusan terakhir pada emiten. Variabel lain yang menjadi pertimbangan adalah penampilan atau kinerja perusahaan sendiri, yang ini tercermin dari pertumbuhan laba (earning growth). Variabel Ekonomi Makro Variabel ekonomi makro bila dilihat dari teori ekonomi terdiri dari beberapa variabel. Variabel ekonomi makro yang mempengaruhi pasar modal diantaranya Produk Domestik Bruto; Inflasi; Tingkat Bunga; Kurs Rupiah; Anggaran Defisit; Investasi Swasta; Neraca Perdagangan dan Pembayaran (Harianto & Siswanto, 1998), namun dalam penelitian ini hanya dibatasi pada tiga variabel ekonomi makro yaitu inflasi, tingkat bunga dan nilai tukar khususnya US$. Harga Saham Diatas Harga Peneliti pasar modal tidak banyak dilakukan di Indonesia bahkan tidak ditemukan penawaran saham perdana overpriced, sehingga tidak ditemukan jurnal-jurnal hasil penelitian pasar modal yang mengungkapkan teori overpriced ini. Namun satu temuan yang sangat mengejutkan di pasar modal Indonesia dari studi dan pengamatan Harjono (1996) terhadap kinerja harga saham PT. Surya Hidup Satwa, menyimpulkan bahwa harga saham perusahaan tersebut pada dasarnya di atas harga karena PT. Surya Hidup Satwa menyajikan proyeksi labarugi dalam prospektus tahun 1995 tidak relistis untuk dicapai. Tingkat suku bunga Tingkat suku bunga merupakan tolok ukur (benchmark) bagi para pemodal atau investor dalam berinvestasi, karena tingkat pengembalian harta (assets return) mempunyai tingkat risiko yang mendekati nol atau tergolong harta bebas risiko (risk free assets). Lazimnya tingkat suku bunga mempunyai hubungan linear yang negatif terhadap bursa saham, artinya jika pemerintah mengumumkan tingkat suku bunga naik maka investor akan menjual sahamnya dan beralih kepada intstrumen yang berpenghasilan yang lebih tinggi biasanya fixed income securities seperti Selanjutnya beliau mengungkapkan bahwa proyeksi price earnings ratio 24 2009 Hasfin Hardi deposito atau obligasi. Kondisi ini sejalan dengan hasil temuan sebelumnya di pasar modal Indonesia, yang menunjukkan bahwa tingkat bunga mempunyai hubungan linear negatif terhadap bursa saham (Manurung & Haymans, 1996). membeli US$ oleh Bank Indonesia. Kebijakan lama maupun kebijakan baru sama sama membawa implikasi terhadap bursa saham. Kebijakan depresiasi rupiah (rupiah melemah terhadap US$) yang cukup besar maka berakibat indeks bursa saham mengalami penurunan. Sejalan dengan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa depresiasi rupiah mempunyai hubungan linear negatif yang signifikan terhadap indeks saham di Bursa Efek Jakarta, artinya setiap depresiasi rupiah satu persen berakibat indeks Bursa Efek Jakarta turun lebih dari 1 % (Manurung & Haymans, 1996). Inflasi Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga harga secara menyeluruh. Indonesia terkenal memiliki tingkat inflasi tertinggi di negara negara ASEAN, yang mencapai dua digit poin. Sehingga pembangunan yang dilaksanakan mengalami hambatan. Pemerintah terus berupaya melakukan penekanan terhadap laju inflasi dengan menggunakan piranti kebijakan moneter, seperti tingkat suku bunga. Kebijakan ini membawa dampak terhadap bursa saham. METODE PENELITIAN Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang telah dikodefikasi dengan sistem pengolahan data elektronik oleh PT. Bursa Efek Jakarta. Kondisi ini sangat berbeda dengan pasar tradisional yang serba kovensional dan manual. Oleh karenanya walaupun data ini tidak secara langsung diperoleh dari sumbernya (melalui wawancara atau sejenisnya), tetapi data sekunder ini cukup menggambarkan keadaan sebenarnya. Untuk sampel adalah perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana tahun 1996 sampai dengan tahun 2001 yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta, berjumlah 113 perusahaan. Pemilihan sampel dilakukan secara individual dari populasi secara keseluruhan. Jadi jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sama dengan populasinya atau dengan kata lain pengambilan data berdasarkan sensus. Pembahasan dilakukan mulai dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2001. Namun pembahasan terhadap tahun-tahun tersebut akan terjadi fluktuasi yang sangat ekstrim, karena Indonesia masih dalam krisis moneter. Penelitian yang berhubungan dengan inflasi dan return saham telah banyak dilakukan di negara-negara maju, namun sangat terbatas di Indonesia. Berbeda dengan hasil temuan dinegara-negara maju, bahwa inflasi mempunyai hubungan linear positif dengan indeks Bursa Efek Jakarta (Manurung & Haymans, 1996). Nilai Tukar Dollar Amerika Serikat Nilai tukar rupiah terhadap US$ adalah nilai tukar yang ditetapkan berdasarkan keputusan Bank Indonesia. Kebijakan nilai tukar yang ditetapkan ini hanya berlaku sampai tahun 1997. Setelah tahun 1997 nilai tukar rupiah terhadap US$ dilepas kepada permintaan dan penawaran atau mekanisme pasar. Bank Indonesia tidak menetapkan kurs melainkan hanya memantau dan mengendalikan mekanisme pasar melalui kebijakan intervensi pasar dengan melepas dan 25 18 – 29 Jurnal Keuangan & Bisnis Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan alat analisis data regresi linear untuk tujuan prediksi dan linear berganda untuk melihat pengaruh variabel independen. November namun penjamin emisi menggunakan konsep kehati-hatian. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan hasil temuan sebelumnya oleh Husnan (1994) di Bursa Efek Jakarta, 19,78% tahun 1989 dan 9,76% tahun 1992. Kecenderungan cumulative abnormal return memperlihatkan bahwa investasi saham di pasar perdana memberi return yang tinggi, namun investasi ini tidak merekomendasi untuk dipegang dalam jangka panjang. Dari gambar diatas menunjukkan bahwa periode penyimpanan yang memberikan return maksimal adalah untuk jangka waktu dua minggu (10 hari bursa) sejak saham tersebut dicatatkan. PEMBAHASAN Teori underpricing tidak hanya milik dari negara-negara yang pasar modalnya telah maju, tetapi juga merambah pada pasar modal Indonesia yang masih tergolong darurat (emerging market). Malaysia, Singapore, Korea Selatan dan Hong Kong juga merupakan tempat tumbuh dan berkembangnya teori underpricing, terutama Malaysia mencapai rata-rata return 135% sejak hari pertama saham diperdagangkan di Kuala Lumpur Stock Exchange (Mohamad, 1994). Pada tahun 1997 penawaran saham perdana memberikan return 31,24% untuk dua minggu pertama, sejak perusahaan mencatatkan saham di bursa. Return yang diperoleh melebihi penawaran saham perdana tahun 1996. Krisis multi dimensi yang melanda Indonesia dimulai dari krisis moneter pada pertengahan tahun 1997. Sehingga penjamin emisi yang melakukan penjaminan terhadap emiten yang melakukan penawaran saham perdana pada masa krisis, akan meningkatkan tingkat kehati-hatian untuk keberhasilan penawaran, karena penjamin emisi mempunyai kewajiban dalam penjaminan yaitu full commitment. Sehingga penjamin emisi dan emiten berupaya untuk menetapkan harga saham perdana lebih rendah, agar lebih menarik investor. Hasil analisis data dari perusahaan yang melakukan penawaran saham perdana sejak tahun 1996 sampai dengan tahun 2001 seperti terungkap dalam hasil penelitian diatas, menunjukkan bahwa penawaran saham perdana pada periode tersebut secara kumulatif adalah undepriced. Return yang dinikmati oleh para investor berbeda untuk setiap tahun. Kondisi ini dapat dipahami karena pasar modal merupakan pasar yang sangat rentan terhadap perubahan dan informasi. Penawaran saham perdana tahun 1996 memberikan return 14,84%, lebih kecil dibandingkan tahun-tahun berikutnya, karena pada tahun ini kondisi ekonomi makro Indonesia relatif stabil dan booming, sehingga penetapan harga saham perdana oleh emiten dan penjamin emisi relatif mendekati harga yang wajar. Emiten dan penjamin emisi berupaya untuk memperoleh return yang optimal dari penawaran saham perdana tersebut, Cumulative abnormal return menunjukan trend yang relatif sama dengan tahun 1996, namun fluktuasinya lebih ekstrim. Kecenderungan tersebut menunjukkan bahwa investasi saham di pasar perdana tidak direkomendasi untuk dipegang dalam jangka panjang, karena tidak akan memberikan imbalan yang optimal. 26 2009 Hasfin Hardi Tahun 1998 dan 1999 merupakan puncak krisis multi dimensi Indonesia, namun pasar modal Indonesia berhasil mencatatkan enam perusahaan pada tahun 1998 dan Sembilan perusahaan pada tahun 1999 di Bursa Efek Jakarta. Return yang diperoleh di pasar perdana masing-masing 56,87% dan 60,56%, jauh lebih tinggi dari dua tahun sebelumnya. Pada periode mi emiten dan penjamin emisi secara bersamasama berupaya untuk berhasil mencatatkan saham di bursa, sehingga dengan pertimbangan daya serap pasar, penetapan harga saham perdana dilakukan jauh dibawah harga intrinsik perusahaan. penawaran saham perdana tahun 1996 dan 1997. Perbedaan yang terjadi hanya pada fluktuasi dari rata-rata abnormal return, namun dalam jangka panjang investasi saham di pasar perdana tidak memberikan hasil yang optimal. Dari kecenderungan tersebut menunjukkan bahwa tanda-tanda kepulihan pasar modal Indonesia dalam proses. Pengaruh variabel suku bunga Sertifikat Bank Indonesia, inflasi dan nilai tukar US.$ terhadap penetapan harga saham perdana tidak mempunyai pengaruh signifikan, baik secara bersama-sama maupun secara parsial, kecuali untuk tahun 1996. Selain banyaknya variabel ekonomi makro seperti: tingkat suku bunga, kurs dollar Amerika Serikat, defisit transaksi berjalan, inflasi, penawaran uang yang diukur dengan M2, pengeluaran pemerintah dan produk domestik bruto (Manurung & Haymans, 1994) yang mempengaruhi pasar modal dan variabel lainnya, juga pengaruh dari krisis multidimensi. Ini dapat dilihat dari hasil yang diperoleh dari tahun 1996 menunjukkan bahwa variabel suku bunga, inflasi dan nilai tukar US.$ secara bersama-sama mempunyai pengaruh terhadap harga saham perdana sebesar 56,1%. Nilai ini dalam ilmu sosial cukup signifikan untuk menjelaskan pengaruh variabel ini terhadap harga saham perdana. Cumulative abnormal return menunjukan trend yang relatif sama untuk kedua tahun tersebut, namun sangat berbeda dengan dua tahun sebelumnya. Pada dua tahun ini investasi saham di pasar perdana hanya memberikan imbalan pada dua minggu pertama, sejak saham diperdagangkan, namun dalam jangka panjang mempunyai risiko nigi. Ini adalah sebagai akibat krisis yang menghantam sendi-sendi ekonomi,sosial, politik dan keamanan Indonesia. Penawaran saham perdana tahun 2000 dan 2001 sudah menunjukan kearah perbaikan dilihat dari jumlah emiten yang melakukan penawaran saham perdana. Return yang diperoleh dari invesatsi di pasar perdana menunjukan tingkat hasil yang sangat besar, masing-masing 87,46% dan 261,46%. Merujuk kepada return yang dinikmati oleh para investor, tercermin bahwa emiten dan khususnya penjamin emisi masih tetap mempertahankan tingkat kehati-hatian dalam menetapkan harga saham perdana underpriced. Hasil analisis variabel ekonomi makro tahun 1996 secara partial melalui uji t menunjukkan bahwa suku bunga mempunyai hubungan linear positif terhadap penetapan harga saham perdana. Inflasi mempunyai hubungan linear positif terhadap penetapan harga saham perdana. Sedangkan nilai tukar US.$ mempunyai hubungan linear negatif terhadap penetapan harga saham perdana. Untuk tahun 1997 sampai dengan tahun 2001 variabel ekonomi makro secara parsial melalui uji t Cumulative abnormal return penawaran saham perdana tahun 2000 dan 2001 menunjukan trend dengan pola yang relatif sama dengan 27 18 – 29 Jurnal Keuangan & Bisnis menunjukan hasil yang tidak signifikan, karena kondisi ekonomi makro Indonesia yang tidak stabil dan dalam krisis. November diantara keduanya untuk mengambil keuntungan optimal dari penetapan harga saham ini. Maka disarankan kepada otoritas pasar modal untuk lebih hati-hati melindungi kepentingan masyarakat yang memiliki informasi yang sangat terbatas (asymetris information) terhadap emiten. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dari bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 2. Jika tidak terjadi kolusi antara emiten dengan penjamin emisi, maka disarankan kepada investor dan calon investor pasar modal untuk lebih mengarahkan investasinya kepada pasar perdana. Namun investasi tersebut tidak untuk dipegang dalam jangka panjang, maksimal dua minggu pertama (10 hari kerja bursa) sejak saham tersebut diperdagangkan di bursa. 1. Penetapan harga saham perdana tahun 1996 sampai dengan tahun 2001 menunjukkan underpriced. 2. Pengaruh variabel Suku Bunga, Inflasi dan US$ terhadap penetapan harga saham perdana tidak signifikan, kecuali penawaran saham perdana tahun 1996. Pada tahun 1996 kondisi ekonomi makro Indonesia dalam keadaan stabil dan tumbuh cukup baik. 3. Penjamin emisi sebagai perusahaan efek pendukung pasar modal, mempunyai peran yang sangat penting dalam penawaran saham perdana, mulai dari persiapan, penetapan harga saham perdana sampai kepada pemasaran saham. Disarankan penelitian selanjutnya diarahkan kepada penjamin emisi. Karena penjamin emisi mempunyai kepentingan yang berbeda dengan emiten dan investor. 3. Cumulative abnormal return menunjukan trend yang tidak jauh berbeda untuk penawaran saham perdana tahun 1996 sampai dengan tahun 2001, kecuali tahun 1998 dan tahun 1999 menunjukkan cumulative abnormal return yang sangat lemah setelah dua minggu pertama. 4. Emiten sebagai sasaran dari investor sudah selayaknya memberikan informasi yang berimbang (symetris) kepada masyarakat. Oleh karenanya disarankan kepada otoritas pasar modal untuk lebih melindungi kepentingan masyarakat sebagai calon pemilik minoritas. 4. Investasi saham pada pasar perdana memberikan return yang cukup tinggi dalam jangka pendek, yaitu dalam jangka waktu dua minggu sejak perusahaan melakukan perdagangan di bursa. Saran Saran yang dapat diajukan terkait dengan hasil penelitian, antara lain : 1. Penetapan harga saham perdana lebih didominasi oleh emiten dan penjamin emisi, dikhawatirkan terjadi kolusi 28 2009 Hasfin Hardi DAFTAR PUSTAKA Ibbotsont, R. G. (1975). Price Performance Of Common Stock New Issues. Journal Of Financial Economics, Volume 2, page 235272. Allen, D.E. & Patrick, M. (1995). Some Further Australian Evidence On The Long-Run Performance Of Initial Public Offerings: 1974-1984. Departement of Finance and Banking, Curtin University . Kim Jeong-Bon, Krinsky & Lee. (1993). Motive For Going Public and Underpricing : New Findings From Korea. Journal of Business Finance & Accounting, 20 (2). Breadley, R. A. (1991). Fundamentals Of Corporate Finance. International edition, McGraw-Hill. Carter R. & Manaster S. (1990). Initial Public Offerings and Underwriter. Journal of Finance, Vol. XLV, No. 4. Mohamad, Shamsher. (1994). Analysis of Underpricing In Malaysia New Issue Market During 1975-1990 : Are New Issues Excessively Underpriced. Capital Market Review, Volume 2 No 2, Malaysia. Francis, J.C. (1980). An Introduction To Risk And Return, 3`d edition, McGraw-Hill. Manurung & Haymans, Adler. (1996). Pengaruh Variabel Ekonomi Makro, Investor Asing, Bursa yang telah maju Terhadap Bursa Efek Jakarta, Pascasarjana Universitas Indonesia. Husnan, Suad. (1994). The First Issue Market : Comparison on The Two Different Periods in Indonesia Market, Sixth PACAP Finance Conference, Gajah Mada University. Ross, S. A., Westerfield & Jordan. (1991). Fundamentals Of Corporate Finance, second edition, Richard D. Irwin. Harjono, Nugroho. (1996). Analisis Kinerja Harga Saham Perdana PT. Surya Hidup Saliva, Tesis Magister Manajemen, Universitas Tarumanegara, Jakarta. Harianto Farid & Siswanto. Perangkat Dan Teknik Investasi, Di Pasar Indonesia, PT. Bursa Efek Jakarta. Bank Indonesia, Statistik EkonomiKeuangan Indonesia, tahun 19962001. Balai Pusat Statistik, Inflasi Bulanan, Tahun 1996-2001. (1998). Analisis Modal Jakarta, Howe, J.S., Kim, S., & Lee, E. (1984). The After Market Performance Of IPOs: The Korean Experience, Sixth Annual PACAP Finance Conference, Jakarta, Indonesia. Ibbotsont, R.G., Sindelar & Ritter. (1988). Initial Public Offerings. Journal of Applied Corporate Finance. 29