TINJAUAN PUSTAKA Burnout Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa burnout adalah suatu syndrome dari seseorang yang bekerja atau melakukan sesuatu, dengan ciri-ciri mengalami kelelahan emosional, sikap sinis, dan pengurangan sosialisasi juga penghargaan diri sendiri (Maslach & Jackson, 1986). Dalam suatu kesempatan, Weiten (2010) menjelaskan bahwa burnout meliputi kelelahan fisik, kelelahan mental, dan emosi yang disebabkan stres yang berhubungan dengan pekerjaan, yang biasa terjadi pada individu yang bekerja dalam bidang pelayanan sosial. Menurut Maslach & Jackson (1981) burnout terdiri dari empat aspek, yaitu : a. Kelelahan emosional, ditandai dengan perasaan putus asa, frustrasi, tidak berdaya, tertekan, mudah tersinggung, dan mudah marah tanpa alasan yang jelas. b. Depersonalisasi, ditandai dengan menjauhnya individu dari lingkungan sosial, apatis, dan tidak peduli terhadap lingkungan dan orang-orang disekitarnya. c. Rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri, ditandai dengan individu merasa tidak pernah puas dengan hasil karya dirinya sendiri. d. Involvement (keterlibatan), ditandai dengan keterlibatan atau berpartisipasi pada sesuatu. Di kesempatan lain, Pines dan Aronson (1988) mengemukakan ada tiga aspek dalam burnout, yaitu: a. Kelelahan fisik, individu merasakan adanya anggota badan yang sakit. b. Kelelahan emosional, ditandai dengan emosi yang tidak stabil c. Kelelahan mental, ditandai dengan merasa tidak mampu membuat keputusan dan tidak mampu memberikan sumbangan gagasan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi burnout diantaranya, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Sihotang (2004) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa ada dua faktor yang dipandang mempengaruhi munculnya burnout, yaitu: 1. Faktor eksternal meliputi lingkungan kerja psikologis yang kurang baik, kurangnya kesempatan untuk promosi, imbalan yang diberikan tidak mencukupi, kurangnya dukungan sosial dari rekan kerja dan atasan, tuntutan pekerjaan, pekerjaan yang monoton, dan 2. Faktor internal meliputi usia, jenis kelamin, harga diri, dan karakteristik kepribadian. Dukungan Sosial Rekan Kerja Menurut Chaplin (2000, dalam Pangastiti, 2011) mengatakan bahwa dukungan sosial memberikan dorongan atau pengorbanan, semangat dan nasihat kepada orang lain dalam satu situasi. Dukungan sosial rekan kerja menurut Beehr and McGrath (dalam Ibrahim, 2014) adalah kesediaan untuk membantu satu sama lain (misalnya, peduli, ramah, hubungan yang hangat, empati, saling kerjasama, tidak adanya rasa untuk saling menjatuhkan, penghargaan, penghormatan dan dukungan) dalam melaksanakan tugas sehari-hari dan dalam penanganan yang menjengkelkan atau situasi yang mengancam untuk menciptakan lingkungan yang sehat di tempat kerja. Menurut House (dalam Rahmawati, 2013) ada empat macam aspek dukungan sosial, yaitu: 1. Dukungan emosional. Individu membutuhkan empati dari orang lain. 2. Dukungan penghargaan. Individu membutuhkan penghargaan positif, penilaian atas usaha-usaha yang dilakukan dan peran sosial yang terdiri atas umpan balik. 3. Dukungan informatif. Individu membutuhkan nasihat, pengarahan, saran-saran untuk mengatasi masalah pribadi maupun masalah pekerjaan. 4. Dukungan instrumental. Individu membutuhkan bantuan berupa benda, peralatan atau sarana guna menunjang kelancaran kerja. Sementara menurut Cohen dan Wilis (dalam Pangastiti, 2011) menyebutkan ada tiga aspek dukungan sosial, yaitu : a. Esteem support (dukungan penghargaan) Dukungan ini berupa pernyataan rasa cinta dan penerimaan diri individu dengan segala kesalahan dan kekurangan sehingga dapat menimbulkan kepercayaan diri seseorang. b. Information support (dukungan informasi) Dukungan ini berupa informasi, nasihat, bimbingan dan penghargaan yang diberikan pada individu untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. c. Instrument support Dukungan ini berupa kehadiran seseorang ketika individu menghadapi persoalanpersoalan yang dihadapi. Hubungan antara dukungan sosial rekan kerja dengan burnout Salah satu persoalan yang muncul berkaitan dengan diri individu di dalam menghadapi tuntutan organisasi yang semakin tinggi dan persaingan yang keras di tempat kerja karyawan itu adalah stres. Stres yang dialami individu dalam jangka waktu yang lama dengan intensitas yang cukup tinggi akan mengakibatkan individu yang bersangkutan menderita kelelahan, baik fisik ataupun mental. Keadaan seperti ini disebut burnout, yaitu kelelahan fisik, mental dan emosional yang terjadi karena stres diderita dalam jangka waktu yang cukup lama, di dalam situasi yang menuntut keterlibatan emosional yang tinggi (Leatz & Stolar, dalam Sihotang, 2004). Menurut Sarafino (dalam Purba, dkk., 2007), salah satu cara mengatasi gejala burnout adalah dengan memberikan dukungan sosial. Dukungan sosial merujuk pada kenyamanan, kepedulian, harga diri atau segala bentuk bantuan lainnya yang diterima dari orang lain atau kelompok. Oleh karena itu, adanya dukungan sosial membuat individu merasa yakin bahwa dirinya dicintai, dihargai sehingga dapat mengurangi gejala burnout yang dialaminya.Sebaliknya, tidak adanya dukungan sosial dapat menimbulkan ketegangan dan meningkatkan terjadinya burnout pada individu. Dukungan sosial merupakan informasi verbal dan non verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkahlaku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek didalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkahlaku penerimanya.Hal itu memiliki manfaat emosional atau efek perilaku bagi penerima, sehingga dapat membantu individu mengatasi masalahnya (Kalembiro, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2013) yang meneliti mengenai persepsi dukungan sosial rekan kerja dengan burnout pada teller bank, menunjukkan persepsi dukungan sosial rekan kerja secara signifikan berpengaruh negatif terhadap burnout, dengan kata lain tingginya persepsi dukungan sosial rekan kerja menyebabkan rendahnya gejala burnout. Oleh karena itu, kuantitas dan kualitas interaksi dengan rekan kerja sangat penting guna mengatasi gejala burnout.Senada dengan hal ini Parasuraman, dkk (1992, dalam Andarika, 2004) mengatakan bahwa dukungan sosial yang diterima dari atasan, teman sekerja dan keluarga mempunyai andil yang besar untuk meringankan beban seseorang yang mengalami burnout. Dukungan sosial ternyata tidak hanya memberikan efek positif. Sarafino (dalam Kalembiro, 2012) menyebutkan beberapa contoh efek negatif yang timbul dari lingkungan sosial, antara lain: dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara emosional sehingga tidak memperhatikan dukungan yang diberikan. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dukungan sosial rekan kerja secara tidak langsung berhubungan dengan burnout. Bila suatu kelompok kerja dapat memberikan dukungan sosial yang baik maka burnout dialami individu tersebut akan rendah karena karyawan akan merasa senang dengan pekerjaannya sehingga karyawan tidak mudah mengalami kelelahan berkepanjangan, penurunan target bahkan untuk berganti pekerjaan.