(PWB) Psychological Well Being

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Psychological Well Being (PWB)
1.
Definisi Psychological Well Being (PWB)
Psychological Well Being (PWB) merupakan integrasi dari teoriteori perkembangan manusia, teori psikologi klinis dan konsep mengenai
kesehatan mental (Ryff, 1989). Psychological Well Being (PWB) sebagai
suatu kondisi dimana seorang individu memiliki tujuan dalam hidupnya
agar lebih bermakna,
menyadari potensi-potensi
yang dimiliki,
menciptakan dan mengatur kualitas hubungannya dengan orang lain,
sejauh mana mereka merasa bertanggung jawab atas kehidupannya
sendiri, serta berusaha mengembangkan dan mengeksplorasi dirinya.
Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang
memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers
tentang orang yang berfungsi penuh (fully-functioning person),
pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization),
pandangan Jung tentang individuasi (individuation), konsep Allport
tentang kematangan (maturity), juga sesuai dengan konsep Erikson dalam
menggambarkan individu yang mencapai integration vs despair.
Menurut Bradburn (dalam Ryff & Keyes, 1995) Psychological
Well Being (PWB) merujuk kepada segala aktifitas yang dilakukan oleh
individu yang berlangsung setiap hari dimana dalam proses tersebut
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan mengalami fluktuasi pikiran dan perasaan yang dimulai
dari kondisi mental negatif kepada kondisi mental yang positif.
Berdasarkan uraian diatas, maka Psychological Well Being (PWB)
dapat
didefinisikan
sebagai
istilah
yang
digunakan
untuk
menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan
kriteria fungsi psikologi positif, seperti sejauh mana seorang individu
memiliki tujuan dalam hidupnya, apakah mereka menyadari potensipotensi yang dimiliki, kualitas hubungannya dengan orang lain, sejauh
mana mereka merasa bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri, serta
berusaha mengembangkan dan mengeksplorasi dirinya.
2.
Dimensi-Dimensi Psychological Well Being (PWB)
Ryff (dalam Ryff, 1989; Ryff & Keyes, 1995) merumuskan
6 (enam) dimensi Psychological Well Being (PWB), antara lain:
a.
Dimensi penerimaan diri (self-acceptance)
Self-acceptance berhubungan dengan penerimaan diri individu
pada masa kini dan masa lalunya, serta sikap positif terhadap diri
sendiri (Ryff, 1989).
Seorang individu memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi
penerimaan diri jika ia memiliki sikap positif terhadap dirinya
sendiri, menerima dan menghargai berbagai aspek dalam dirinya,
baik kualitas diri yang baik maupun buruk. Disamping itu, seorang
individu memiliki nilai penerimaan diri yang tinggi juga dapat
Universitas Sumatera Utara
melihat dan merasakan masa lalunya dengan perasaan yang positif
(Ryff, 1995).
Sebaliknya, individu memiliki nilai yang rendah dalam dimensi
penerimaan diri jika ia merasa kurang puas terhadap dirinya
sendiri, kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupannya
di masa lalu, memiliki masalah dengan kualitas tertentu dari dirinya
dan berharap untuk menjadi orang yang berbeda dari dirinya
sendiri (Ryff, 1995).
b.
Dimensi hubungan yang positif dengan orang lain (positive
relations with others)
Dimensi yang mencakup ketabahan dan kesenangan yang berasal
dari hubungan dalam kelekatan dan perasaan cinta dengan orang
lain. Membina hubungan yang hangat dengan orang lain
merupakan salah satu dari criterion of maturity yang dikemukakan
oleh Allport (Ryff, 1989). Teori perkembangan manusia juga
menekankan intimacy dan generativity sebagai tugas utama yang
harus dicapai oleh manusia dalam tahap perkembangan tertentu.
Seseorang yang memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi
hubungan yang positif dengan orang lain mampu membina
hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan. Selain itu, individu
tersebut mempunyai kepedulian akan kesejahteraan orang lain,
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan empati, intimitas, afeksi, serta memahami prinsip
memberi dan menerima dalam suatu hubungan (Ryff, 1995).
Sebaliknya, seseorang yang memiliki nilai yang rendah dalam
dimensi hubungan yang positif dengan orang lain ditandai dengan
tingkah laku yang tertutup, sulit untuk bersikap hangat dan peduli
terhadap orang lain, terisolasi dan merasa frustasi dalam membina
hubungan interpersonal, serta tidak ingin berkompromi dan
mempertahankan hubungan dengan orang lain (Ryff, 1995).
c.
Dimensi otonomi (autonomy)
Roger (dalam Ryff, 1989) mengemukakan bahwa seseorang dengan
fully functioning digambarkan sebagai seorang individu yang
memiliki internal locus of evaluation, dimana ia tidak selalu
membutuhkan pendapat dan persetujuan dari orang lain, melainkan
mampu mengevaluasi dirinya sendiri dengan standar personal.
Teori perkembangan memandang otonomi sebagai rasa kebebasan
seseorang untuk terlepas dari norma-norma yang mengatur
kehidupan sehari-hari.
Seseorang dengan nilai otonomi yang tinggi dapat menentukan
segala sesuatu seorang diri dan mandiri. Individu mampu
mengambil keputusan tanpa campur tangan orang lain, memiliki
ketahanan dalam menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur
Universitas Sumatera Utara
tingkah laku dari dalam diri, serta mampu mengevaluasi diri
dengan standar personal (Ryff, 1995).
Sebaliknya, seseorang dengan nilai otonomi yang rendah, akan
sangat mempertimbangkan evaluasi dari orang lain, bergantung
pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, serta
bersikap konformis terhadap tekanan sosial (Ryff, 1995).
d.
Dimensi penguasaan lingkungan (environmental mastery)
Allport (dalam Ryff, 1989) mengemukakan bahwa individu yang
matang akan mampu berpartisipasi dalam aktivitas diluar dirinya.
Dalam teori perkembangan disebutkan bahwa individu dewasa
yang sukses adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk
menciptakan perubahan-perubahan
yang dinilai perlu pada
lingkungan melalui aktifitas fisik dan mental serta mengambil
manfaat dari lingkungan tersebut.
Seseorang yang memiliki nilai yang tinggi pada dimensi
penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam
mengatur lingkungan, dapat mengendalikan berbagai aktivitas
eksternal,
mengendalikan
situasi
kehidupan
sehari-hari,
memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, serta mampu
menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilainilai pribadi (Ryff, 1995).
Universitas Sumatera Utara
Sebaliknya, seseorang yang memiliki nilai yang rendah pada
dimensi penguasaan lingkungan akan mengalami kesulitan dalam
mengatur
situasi,
tidak
mampu
meningkatkan
kualitas
lingkungannya, kurang peka terhadap kesempatan yang ada, serta
kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan (Ryff, 1995).
e.
Dimensi tujuan hidup (purpose in life)
Allport (dalam Ryff, 1989) mengemukakan bahwa salah satu ciri
kematangan individu adalah memiliki tujuan hidup, yakni rasa
keterarahan
(sense
(intentionality).
of
Selain
directedness)
itu,
Rogers
dan
(dalam
rasa
bertujuan
Ryff,
1989)
mengemukakan bahwa fully functioning person memiliki tujuan
dan rasa keterarahan yang membuat dirinya merasa bahwa hidup
ini bermakna.
Seseorang yang memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi tujuan
hidup memiliki rasa keterarahan, mampu merasakan arti dari masa
lalu dan masa kini, memiliki keyakinan akan tujuan hidup, serta
memiliki target yang ingin dicapai (Ryff, 1995).
Sebaliknya, seseorang yang memiliki nilai yang rendah dalam
dimensi tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, rasa
keterarahan, dan keyakinan akan tujuan hidup, serta tidak melihat
makna yang terkandung dalam kejadian di masa lalu (Ryff, 1995).
Universitas Sumatera Utara
f.
Dimensi pertumbuhan pribadi (personal growth)
Kebutuhan akan aktualisasi diri dan menyadari potensi diri
merupakan perspektif utama dari dimensi pertumbuhan dri.
Keterbukaan akan pengalaman baru merupakan salah satu
karakteristik dari fully functioning person (Ryff, 1989). Teori
perkembangan juga menekankan pada pentingnya manusia untuk
bertumbuh dan menghadapi tantangan baru dalam setiap periode
pada tahap perkembangannya.
Seseorang yang memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi
pertumbuhan pribadi ditandai dengan adanya pertumbuhan yang
berkelanjutan dalam dirinya, terbuka terhadap pengalamanpengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menaydari potensi
yang dimiliki, merasakan adanya peningkatan yang terjadi pada diri
dan tingkah lakunya, serta dapat berubah menjadi individu yang
lebiih efektif melalui pengetahuan yang terus bertambah (Ryff,
1995).
Sebaliknya, seseorang yang memiliki nilai yang rendah dalam
dimensi pertumbuhan pribadi akan mengalami stagnasi, merasa
bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa
tidak mampu mengembangkan sikap dan tingkah laku ke arah yang
lebih baik (Ryff, 1995).
Universitas Sumatera Utara
3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Psychological Well Being (PWB)
Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well Being
(PWB) seseorang antara lain (Ryff, 1989; Ryff, 1995; Sarafino, 1994):
a.
Faktor Demografis, yang terdiri dari:
1.
Usia
Ryff
(1995)
mempengaruhi
mengemukakan
perbedaan
bahwa
dalam
perbedaan
usia
dimensi-dimensi
Psychological Well Being (PWB). Dalam penelitiannya,
ditemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan dan
dimensi
otonomi
mengalami
peningkatan
seiring
bertambahnya usia, begitu juga dengan dimensi hubungan
positif dengan orang lain.
Sebaliknya, dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi
memperlihatkan penurunan seiring bertambahnya usia,
terutama terjadi pada dewasa madya hingga dewasa akhir.
Pada akhirnya, pada masa lanjut usia, seseorang terus
mempertimbangkan
hal-hal
di
masa lalu,
dan
tidak
merasakan sensasi berkembang menuju masa depan. Dari
sudut pandang yang positif, para lanjut usia cenderung
menguasai lingkungan lebih baik dibandingkan kelompok
usia lainnya.
Universitas Sumatera Utara
2.
Gender
Dalam penelitian Ryff (1995) ditemukan bahwa wanita
memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang
positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi
dibandingkan pria.
Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif
terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya wanita
terbiasa untuk membina keadaan yang harmonis dengan
orang-orang di sekitarnya.
Inilah
yang menyebabkan
mengapa wanita memiliki Psychological Well Being (PWB)
yang tinggi dalam dimensi hubungan positif karena ia dapat
mempertahankan hubungan yang baik dengan orang lain
(Papalia & Feldman, 2008).
3.
Status Sosial Ekonomi
Data yang diperoleh dari Wisconsin Longitudinal Study
memperlihatkan
bahwa
pendidikan
tinggi
dan
status
pekerjaan meningkatkan Psychological Well Being (PWB)
terutama pada dimensi penerimaan diri dan dimensi tujuan
hidup (Ryff, 1995). Dibandingkan dengan individu yang
menempati kelas sosial rendah, individu yang menempati
kelas
sosial
tinggi
memiliki
perasaan
yang
lebih
Universitas Sumatera Utara
positifterhadap diri sendiri dan masa lalu mereka, serta
adanya rasa keterarahan dalam hidup.
4.
Budaya
Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme
dan kolektivisme memberi dampak terhadap Psychological
Well Being (PWB) yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya
barat memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi penerimaan
diri dan otonomi, sedangkan budaya timur memiliki nilai
yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.
b.
Dukungan Sosial
Dukungan yang berupa ungkapan perilaku suportif kepada
seseorang yang diterima dari orang-orang yang cukup bermakna
dalam
kehidupan
individu
tersebut,
diantaranya
pasangan,
keluarga, teman, rekan kerja, maupun organisasi sosial (Sarafino,
1994). Robinson (1991) mengemukakan bahwa dukungan sosial
dari orang-orang yang bermakna dalam kehidupan seseorang dapat
memberikan peramalan akan well-being seseorang.
Universitas Sumatera Utara
Terdapat 4 (empat) jenis dukungan sosial (Sarafino, 1994),
diantaranya:
1.
Dukungan Emosional (emotional support), yang melibatkan
empati, kepedulian, perhatian terhadap seseorang, serta
memberikan rasa aman, nyaman, dimiliki, dan dicintai.
2.
Dukungan Penghargaan (esteem support), dapat ditunjukkan
melalui dorongan atau persetujuan terhadap pemikiran dan
perasaan, serta membangun harga diri, kompetensi dan
perasaan dihargai.
3.
Dukungan Instrumental (tangible or instrumental support),
melibatkan
tindakan
konkrit
atau
pertolongan
secara
langsung.
4.
Dukungan Informasional (informational support), meliputi
pemberian nasehat, petunjuk, saran, feedback, terhadap
tingkah laku seseorang.
c.
Evaluasi terhadap Pengalaman Hidup
Ryff (1989) mengemukakan bahwa Psychological Well Being
(PWB) seseorang dapat dipengaruhi oleh pengalaman hidup
tertentu, yang mencakup berbagai bidang dalam berbagai periode
kehidupan. Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Ryff dan Essex (1992) mengenai pengaruh interpretasi dan
evaluasi individu pada pengalaman hidupnya terhadap kesehatan
Universitas Sumatera Utara
mental. Hasil menunjukkan bahwa mekanisme evaluasi diri
berpengaruh pada Psychological Well Being (PWB) seseorang,
terutama dalam dimensi penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan
hubungan yang positif dengan orang lain.
Mekanisme evaluasi diri yang dikemukakan oleh Rosenberg
(dalam Ryff & Essex, 1992), antara lain:
1.
Mekanisme
Perbandingan
Sosial
(social
comparison),
dimana individu mempelajari dan mengevaluasi dirinya
dengan membandingkan dirinya terhadap orang lain, yang
mengarah pada evaluasi diri positif, negatif, atau netral,
bergantung pada standar perbandingan yang digunakan, yang
dalam hal ini biasanya adalah orang atau kelompok referensi.
2.
Mekanisme Perwujudan Penghargaan (reflected appraisal),
mengemukakan bahwa individu dipengaruhi oleh sikap orang
lain terhadap dirinya, sehinggal lama-kelamaan ia akan
memandang dirinya sendiri sesuai dengan pandangan orang
lain. Dengan kata lain, feedback yang dipersepsikan dari
significant
others
selama
mereka
mengalami
suatu
pengalaman hidup tertentu merupakan suatu mekanisme
evaluasi diri.
3.
Mekanisme Persepsi Diri terhadap Tingkah Laku (behavioral
self-perceptions),
yang
kemampuan
kompetensi
dan
merupakan
sesorang
kecenderungan,
dengan
cara
Universitas Sumatera Utara
mengobservasi tingkah lakunya sendiri, dimana individu
yang mempersepsikan perubahan positif diharapkan dapat
memandang pengalaman secara lebih positif sehingga
menunjukkan penyesuaian diri yang baik.
4.
Mekanisme Pemusatan Psikologis (psychological centrality),
mengemukakan bahwa terdapat komponen konsep diri yang
lebih terpusat dari komponen lain, dimana semakin terpusat
suatu komponen, maka pengaruhnya semakin besar terhadap
konsep diri. Oleh karena itu, untuk memahami dampak dari
pengalaman hidup terhadap Psychological Well Being
(PWB), maka harus dipahami pula sejauh mana peristiwa dan
dampaknya mempengaruhi komponen utrama atau komponen
perifer dari konsep diri seseorang. Jika pengalaman tersebut
hanya mempengaruhi komponen yang bersifat utama, maka
mekanisme perbandingan sosial perwujudan penghargaan,
dan persepsi diri kurang berpengaruh terhadap Psychological
Well Being (PWB). Sebaliknya, jika suatu pengalaman hidup
mempengaruhi komponen inti dari konsep diri, maka
mekanisme perbandingan sosial perwujudan penghargaan,
dan persepsi diri sangat berpengaruh terhadap Psychological
Well Being (PWB).
Universitas Sumatera Utara
B.
Religiusitas
1.
Definisi Religiusitas
Religiusitas biasanya didefinisikan sebagai pemahaman (ilmu
agama dan keyakinan), efek yang harus dilakukan dengan hubungan
emosional atau perasaan emosional, dan / atau perilaku, seperti kehadiran
di tempat ibadah, membaca kitab suci, dan ibadah (Cornwall et al.,
1986). Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu
memaknai kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi
lebih bermakna (Bastaman, 2000). Glock dan Stark (1962) merumuskan
religiusitas sebagai komitmen religius yang berhubungan dengan agama
atau keyakinan iman, yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku
individu sesuai dengan agama atau keyakinan iman yang dianut.
Berdasarkan uraian diatas, maka religiusitas dapat didefinisikan
sebagai pemahaman tentang ilmu agama atau keyakinandan komitmen
religius, yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu sesuai
dengan keyakinan yang dianut.
2.
Dimensi-dimensi Religiusitas
Glock dan Stark (1962) mengemukakan 5 (lima) dimensi
religiusitas, antara lain:
a.
Dimensi Keyakinan/Ideologi (The Ideological dimension),
yang berisi pengharapan-pengharapan dimana seseorang
berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan
Universitas Sumatera Utara
mengakui kebenaran ajaran tersebut. Misalnya keyakinan
akan adanya malaikat, surga dan neraka.
b.
Dimensi Peribadatan (The Ritualistic Dimension), yang
berkaitan dengan praktik atau pelaksanaan sejumlah perilaku,
ketaatan akan hal-hal yang menunjukkan komitmen terhadap
agama yang dianut.
c.
Dimensi Pengalaman (The Experiential Dimension), yang
berkaitan dengan pengalaman, perasaan, persepsi dan sensasi
yang dialami seseorang atau kelompok keagamaan.
d.
Dimensi Pengetahuan Agama (The Intelectual Dimension),
yang mengacu pada harapan bagi orang-orang yang beragama
untuk mengetahui dan memiliki sejumlah pengetahuan
mendasar mengenai dasar-dasar keyakinan, kitab suci, dan
tradisi-tradisi agamanya.
e.
Dimensi Konsekuensi (The Consequential Dimension), yang
mengacu pada sejauh mana implikasi ajaran agama
mempengaruhi perilaku seseorang dalam kehidupan sehari
hari, baik dalam hal praktik keagamaan, pengalaman,
maupun pengetahuannya.
Universitas Sumatera Utara
3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas
Thouless (2000) membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi
religiusitas sebagai berikut:
a.
Faktor Sosial, mencakup semua pengaruh sosial dalam
perkembangan keagamaan, termasuk pendidikan dari orang
tua sejak masa kanak-kanak, tradisi-tradisi sosial yang
diterima dari masa lampau, tekanan dari lingkungan sosial
untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap
yang disepakati oleh lingkungan.
b.
Faktor Alami, berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman
yang membentuk sikap keagamaan. Terutama pengalaman
mengenai
keindahan,
konflik
moral
dan
pengalaman
emosional keagamaan yang berbeda pada setiap individu.
Faktor ini umumnya berupa pengalaman spiritual yang secara
cepat dapat mempengaruhi perilaku individu.
c.
Faktor Kehidupan, dimana secara garis besar, kebutuhan –
kebutuhan dalam kehidupan yang mempengaruhi religiusitas
yaitu:
kebutuhan
akan
keamanan
atau
keselamatan,
kebutuhan akan cintakasih, kebutuhan untuk memperoleh
harga diri, dan kebutuhan yang timbul karena adanya
ancaman kematian.
d.
Faktor
Intelektual,
berkaitan
dengan
berbagai
proses
penalaran verbal atau rasionalisasi. Kemampuan berpikir
Universitas Sumatera Utara
dalam bentuk kata-kata dan menggunakannya sebagai alat
untuk membedakan yang benar dan yang salah merupakan
keberhasilan menusia yang bisa diharapkan pengaruhnya
terhadap perkembangan tingkat religiusitas.
C.
Religiusitas Suku Batak Toba
Suku Batak merupakan salah satu dari ratusan suku yang ada di
Indonesia. Suku bangsa Batak Toba merupakan salah satu dari enam suku
bangsa Batak yang terdiri dari Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun,
Batak Pakpak/Dairi, Batak Mandailing, dan Batak Angkola (Bangun dalam
Koentjaraningrat, 2002).
Suku Batak memiliki nilai-nilai budaya yang mencakup segala aspek
kehidupan masyarakatnya, salah satu diantaranya adalah religi. Religi
merupakan kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama
yang datang kemudian yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta
serta hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya (Harahap &
Siahaan, 1997).
Sebelum suku Batak Toba mengenal dan menganut agama dari luar,
masyarakat suku Batak Toba mempunyai agama tradisional yakni sistem
kepercayaan tentang Mulajadi Nabolon, yang merupakan harmoni atau
kesatuan dari tiga unsur yang berbeda. Istilah yang digunakan untuk totalitas
ketiganya dalam bahasa Batak Toba disebut dengan Debata Natolu
(Pederson, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Adapun ketiga unsur tersebut antara lain:
a.
Tondi, yaitu jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan. Oleh
karena itu, tondi didapatkan sejak di dalam kandungan dan memberi
nyawa kepada manusia. Tondi berdiam dalam seluruh bagian tubuh
sehingga bersifat integral satu sama lain dan bukanlah satuan-satuan
yang terpisah. Seluruh kehidupan beragama masyarakat Batak Toba,
yang mencari kesejahteraan hidup, dipenuhi dengan merawat tondinya menurut perilaku yang terkadang berubah-ubah.
b.
Sahala, yaitu jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua
orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala.
Sahala
dapat
berarti
sikap
wibawa,
kefasihan
berbicara,
penghormatan, keberanian yang menjadi sumber kekuatan atau
kekuasaan.
c.
Begu, yaitu tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama
dengan tingkah laku manusia, namun hanya muncul pada malam hari.
Dengan demikian, kebudayaan agama Batak Toba merupakan suatu
gambaran totalitas dari berbagai unsur yang menjadi bagian tidak
terpisahkan satu sama lain.
Peranan keluarga dekat diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari
sebagai pemberi pesan religi melalui ungkapan tradisional. Keluarga dekat
termasuk dalam unsur-unsur Dalihan na Tolu, dimana yang berperan di
dalamnya adalah laki-laki dan perempuan yang telah lanjut usia. Mereka
dianggap memiliki pengalaman, pengetahuan yang lebih luas serta arif dan
Universitas Sumatera Utara
bijaksana. Pemberian pesan tersebut biasa dilakukan dalam 3 (tiga) situasi
penting yaitu kelahiran, pernikahan, dan kematian (Harahap & Siahaan,
1997).
Dalam budaya Batak Toba, agama tidak dapat dipilih (optional).
Kepercayaan dan praktek kerohanian yang diterima tidak hanya diterima
begitu saja sebagai sesuatu yang sudah semestinya, namun juga dipelajari
dengan cara yang sama dengan mempelajari pola-pola kebudayaan lainnya
(Tampubolon, 1985).
Dalam suku Batak Toba, agama yang dianut pada umumnya adalah
Kristen. Pada beberapa gereja, masyarakat suku Batak Toba tidak
menghapus
identitas
mereka
sebagai
orang
Batak,
melainkan
memperkokohnya. Hal ini dapat dilihat dalam tata cara ibadah Minggu di
HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), yang merupakan gereja Batak
terbesar di dunia saat ini, menggunakan Bibel (Alkitab dalam bahasa Batak),
Buku Ende sebagai pedoman lagu/nyanyian dalam bahasa Batak Toba, serta
bahasa Batak Toba sebagai bahasa pengantar dalam penyampaian khotbah.
Di gereja pun masyarakat Batak Toba dapat bertemu secara teratur, baik
membicarakan hal-hal yang bersifat agamawi, maupun membahas masalahmasalah sosial budaya masyarakat Batak Toba yang ada di sekitar tempat
tinggal mereka (Harahap & Siahaan, 1997).
Berdasarkan penjelasan diatas, maka religiusitas dan budaya Batak
Toba menjadi kesatuan yang mendukung masyarakatnya untuk tetap dapat
Universitas Sumatera Utara
mempertahankan budaya yang telah ada seiring dengan melakukan praktek
kerohanian dalam kehidupan sehari-hari.
D.
Pensiun
1.
Definisi Pensiun
Pensiun adalah sebuah konsep sosial yang memiliki beragam
pengertian (Newman, 2006). Pensiun tidak hanya sekedar berhenti
bekerja karena usia. Pensiun merupakan masa putusnya hubungan kerja
antara karyawan dengan tempat kerjanya. Pensiun merupakan hak dan
kewajiban, merupakan hak karena seseorang berhak mengajukan pensiun
kapan saja dan secara sukarela. Pensiun merupakan kewajiban karena
seseorang
harus
segera
pensiun
jika
sudah
masanya,
tanpa
mempertimbangkan apakah masih senang bekerja atau tidak (Hurlock,
2002).
Pensiun merupakan suatu pemutusan hubungan kerja, bilamana
karyawan mencapai saat dia berumur maksimum dan masa kerja
maksimum menurut batas-batas yang ditentukan perusahaan/instansi
(Tulus, 1996). Parnes dan Nessel (dalam Corsini, 1987) mengatakan
bahwa pensiun adalah suatu kondisi dimana seorang individu berhenti
bekerja dari suatu pekerjaan yang biasa dilakukan. Francis (2001)
mengemukakan bahwa pensiun dapat diartikan sebagai masa tenang
karena lepasnya aktivitas yang rutin dan masa menikmati masa tua
dengan keluarga, namun ada juga lansia yang memandang pensiun
Universitas Sumatera Utara
sebagai masa kritis, dikarenakan persepsi orang lain terhadap dirinya
yang sudah tidak berguna dan tidak kompeten lagi.
Pensiun juga mengacu kepada transisi psikologis, suatu perubahan
yang terprediksi dan normatif yang melibatkan persiapan, pengertian
kembali tentang peran dan peran perilaku, serta penyesuaian psikologis
dari seorang pekerja yang dibayar menjadi melakukan aktivitas yang lain
(Floyd, dkk dalam Newman, 2006). Berdasarkan pandangan psikologi
perkembangan, pensiun dapat dijelaskan sebagai masa transisi ke pola
hidup baru, ataupun merupakan akhir pola hidupnya, apalagi karena
usianya sudah lanjut dan harus diperhentikan (Agustina, 2008).
Pensiun merupakan hal yang perlu disiapkan karena saat menjalani
masa pensiun maka seseorang akan mengalami beberapa perubahan yang
tidak terduga dan akan menghadapi situasi yang penuh ketidakpastian
karena perubahan pada masa transisi pensiun. Terdapat beberapa
perubahan saat menjalani masa pensiun, antara lain: perubahan dari
aktivitas yang tadinya bekerja menjadi tidak bekerja, yang tadinya
memiliki keterlibatan kerja atau peran ditempat kerja menjadi sudah tidak
ada lagi, adanya penurunan pendapatan, adanya perubahan relasi sosial,
adanya penurunan kesehatan karena usia yang semakin bertambah, dsb.
(Santrock, 1998).
Berdasarkan uraian diatas, pensiun dapat didefinisikan sebagai
suatu kondisi dimana seorang individu berhenti bekerja dari suatu
Universitas Sumatera Utara
pekerjaan yang biasa dilakukan, yang dipengaruhi oleh keadaan
psikologis melalui aktivitas lain yang dilakukan.
2.
Fase – fase Pensiun
Atchly (1983) dalam Hooyer dan Rooden (2009) menyatakan 7
(tujuh) fase pensiun yang dilalui oleh individu, yaitu:
a.
Fase Jauh (Remote Phase)
Kebanyakan
individu
kurang
melakukan
sesuatu
untuk
mempersiapkan masa pensiun. Hal ini disebabkan, salah satunya
oleh adanya kepercayaan bahwa mereka tidak akan meninggalkan
pekerjaan, justru akan semakin menikmati pekerjaan.
b.
Fase Mendekat (Near Phase)
Seorang pekerja mulai berpartisipasi dalam program pra-pensiun.
Program ini biasanya membantu pekerja memutuskan kapan dan
bagaimana mereka seharusnya pensiun dengan melibatkan mereka
dalam diskusi komprehensif, seperti kesehatan fisik dan mental
serta perencanaan keuangan. Setelah Fase Mendekat, maka
individu akan mengalami 5 fase lanjutan setelah pensiun.
c.
Fase Bulan Madu (Honeymoon Phase)
Merupakan fase terawal pensiun dan sudah terjadi pensiun.
Kebanyakan individu merasa bahagia, mereka dapat melakukan
aktivitas yang tidak pernah dilakukan sebelumnya dan menikmati
aktivitas-aktivitas waktu luang. Namun demikian, individu yang di-
Universitas Sumatera Utara
PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) atau pensiun karena marah
dengan pekerjaannya, mungkin tidak mengalami aspek positif dari
fase ini.
d.
Fase Kekecewaan (Disenchantment Phase)
Individu menyadari bahwa bayangan saat pra-pensiun tentang fase
pensiun ternyata tidak realistis. Jika penyesuaian terhadap fase
pensiun sukses maka kegiatan setelah pensiun akan menjadi
menyenangkan.
e.
Fase Re-Orientasi (Re-orientation Phase)
Parapensiunan mengumpulkannya dan mengembangkan alternatifalternatif kehidupan yang lebih realistis. Pada fase ini juga mereka
mengevaluasi jenis-jenis gaya hidup yang memungkinkan mereka
untuk dapat menikmati hidup.
f.
Fase Stabil (Stability Phase)
Individu memutuskan pilihan berdasar kriteria dari alternatif yang
ada pada masa pensiun dan bagaimana mereka akan menjalani
salah satu pilihan yang telah dibuat.
g.
Fase Akhir (Termination Phase)
Peranan fase pensiun digantikan oleh peran tergantung karena
individu tidak lagi berfungsi secara mandiri dan mencukupi
kebutuhannya sendiri.
Universitas Sumatera Utara
3.
Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Masalah pada Masa
Pensiun
Menurut Jacinta (2001), ada beberapa penentu terjadinya masalah
pada masa pensiun, diantaranya adalah:
a.
Kepuasan kerja dan pekerjaan
Pekerjaan membawa kepuasan tersendiri karena disamping
mendatangkan uang dan fasilitas, dapat juga memberikan nilai dan
kebanggaan pada diri sendiri untuk dapat berprestasi maupun
menuangkan kreativitas. Pada saat pensiun, mereka akan merasa
kehilangan
harga
diri,
ditambah
dengan
kesepian
akibatberkurangnya teman-teman di sektiranya.
b.
Usia
Kebanyakan individu berpendapat bahwa pensiun merupakan
pertanda bahwa dirinya sudah tidak berguna dan dibutuhkan lagi
karena usia yang sudah tua, serta produktivitas semakin menurun
sehingga tidak lagi menguntungkan bagi organisasi/perusahan
tempat mereka bekerja.
c.
Kesehatan
Beberapa peneliti menemukan bahwa kesehatan fisik dan mental
merupakan kondisi yang mendukung keberhasilan seseorang
beradaptasi terhadap perubahan hidup yang disebabkan oleh
pensiun. Jika seseorang menganggap bahwa kondisi fisik maupun
penyakit yang dideritanya menjadi hambatan besar dan menjadi
Universitas Sumatera Utara
pesimis terhadap hidup, maka ia akan mengalami masa pensiun
yang penuh dengan kesukaran. Menurut hasil penelitian, pensiun
tidak menyebabkan seseorang sering terserang penyakit, karena
justru pensiun berpotensi meningkatkan kesehatan, dimana mereka
ia semakin dapat mengatur waktu untuk bisa merawat dan berolah
tubuh.
d.
Persepsi
Individu yang kurang percaya pada potensi diri sendiri dan kurang
memiliki kompetensi sosial yang baik akan cenderung pesimistik
dalam menghadapi masa pensiun, serta adanya perasaan cemas dan
ragu
akan
kemampuan
mengatasi
perubahan
hidup
dan
membangun kehidupan yang baru.
e.
Status sosial
Status
sosial
berpengaruh
terhadap
kemampuan
seseorang
menghadapi masa pensiunnya, dimana jika semasa kerja ia
memiliki status sosial tertentu sebagai hasil dari kerja keras dan
prestasinya, maka ia akan cenderung lebih memiliki kemampuan
adaptasi yang lebih baik dalam hal konsep diri dan jaringan sosial.
Sebaliknya, jika status sosial tersebut bukan murni dari hasil kerja
kerasnya, maka kebanggaan diri seseorang akan hilang sejalan
dengan berkurangnya fasilitas dan atribut yang melekat pada
dirinya selama masih bekerja.
Universitas Sumatera Utara
E.
Lanjut Usia
1.
Definisi Lanjut Usia
Lansia adalah masa dewasa akhir dimulai dari usia 60 tahun sampai
akhir kehidupan, serta memiliki rentang kehidupan yang paling panjang
dalam periode kehidupan manusia (Santrock, 2008). Berdasarkan
UU No. 13/Th.1998 tentang kesejahteraan lanjut usiapada BAB I Pasal 1
Ayat 2, lanjut usia di Indonesia merupakan individu yang mencapai usia
60 (enam puluh) tahun ke atas. Lanjut usia dibagi menjadi usia lanjut dini
yang berkisar antara usia 60 (enam puluh) sampai 70 (tujuh puluh) tahun
dan usia lanjut yang dimulai pada usia tujuh puluh tahun hingga akhir
kehidupan seseorang (Hurlock, 2002). Lanjut usia muda berkisar antara
65 (enam puluh lima) hingga 74 (tujuh puluh empat) tahun dan lanjut
usia akhir berkisar antara 75 (tujuh puluh lima) tahun atau lebih (Baltes
dalam Papalia, 2008).
Berdasarkan uraian diatas, maka lanjut usia dapat didefinisikan
sebagai individu yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas
hingga akhir kehidupannya.
2.
Tahapan Lanjut Usia
Lanjut usia merupakan istilah untuk tahap akhir dari proses
penuaan. Hurlock (2002) membagi tahap terakhir dalam rentang
kehidupan individu menjadi:
a. lanjut usia dini yang berusia antara 60 sampai 70 tahun, dan
Universitas Sumatera Utara
b. lanjut usia yang dimulai pada usia 70 sampai akhir kehidupan
individu.
Sedangkan menurut Papalia (2008), lansia digolongkan menjadi:
a. lansia muda (young old) usia antara 65 -75 tahun,
b. lansia tua (old old) usia antara 75 -84 tahun, dan
c. lansia tertua (oldest old) usia 85 tahun keatas.
3.
Perubahan-perubahan yang Dialami Lanjut Usia
Lanjut usia mengalami beberapa perubahan dalam rentang
kehidupannya, yaitu:
a.
Perubahan Fisik
Sebagian besar perubahan kondisi fisik pada lanjut usia
terjadi ke arah yang memburuk dimana proses dan kecepatannya
sangat berbeda untuk masing-masing individu meskipun usia
individu tersebut sama. Menurut Hurlock (2002), berbagai
perubahan terbesar yang terjadi pada masa lanjut usia adalah
sebagai berikut:
1)
Perubahan penampilan, yaitu perubahan pada daerah
kepala (rambut menipis, mata kelihatan pudar, kulit
berkerut dan kering, bentuk mulut berubah akibat
hilangnya gigi), daerah tubuh (bahu membungkuk,
perut membesar, pinggultampak mengendor, garis
pinggang melebar, payudara bagi wanita menjadi
Universitas Sumatera Utara
kendur), dan daerah persendian (pangkal tangan
menjadi kendor dan terasa berat, kaki menjadi kendor
dan pembuluh darah balik menonjol, tangan menjadi
kurus kering).
2)
Perubahan tubuh bagian dalam, yaitu perubahan pada
sistem syaraf (berat otak berkurang, bilik-bilik jantung
melebar),
isi
perut
(perubahan
posisi
jantung,
perubahan elastisitas jaringan).
3)
Perubahan pada fungsi fisiologis, yaitu memburuknya
pengaturan organ-organ, menurunnya fungsi pembuluh
darah pada kulit, perubahan pada
pencernaan,
ketahanan dan kemampuan bekerja menurun.
4)
Perubahan indera, yaitu perubahan pada penglihatan
(penurunan
kemampuan
mata
untuk
melihat,
menurunnya sensitivitas terhadap warna), pendengaran
(kehilangan kemampuan mendengar nada yang sangat
tinggi),
perasa
(berhentinya
pertumbuhan
syaraf
perasa), penciuman (daya penciuman kurang tajam),
perabaan (indera perabaan di kulit semakin kurang
peka), dan menurunnya sensitivitas terhadap rasa sakit.
Universitas Sumatera Utara
b.
Perubahan Psikologis
Lanjut usia mengalami berbagai perubahan secara psikologis,
atau perubahan secara mental maupun kejiwaan individu, sebagai
berikut:
1)
Kepribadian
Lanjut usia cenderung lebih puas ketika gaya hidup
pensiun lanjut usia sesuai
dengan kepribadian dan
kesenangan individu (Siyelman & Rider, 2003). Lanjut
usia
juga
menjadi
cenderung
meningkatkan
ketidaksetujuan dan mengalami penurunan keterbukaan
terhadap dunia di luar dirinya (Papalia,2008).
2)
Perubahan Persepsi
Kapasitas persepsi individu menurun secara bertahap,
meskipun beberapa perubahan hanya sedikit dan dapat
diatasi. Semakin besarnya kesulitan dalam persepsi
bicara pada lanjut usia lebih disebabkan oleh masalah
pada pendengaran daripada karena penurunan kognitif.
Lanjut usia menjadi lebihsulit mengulang percakapan
secara terperinci bila berada di lingkungan yang ramai
(Siyelman & Rider, 2003).
3)
Kecerdasan
Lanjut usia memang mengalami penurunan intelektual,
meskipun sedikit, apalagi bila lanjut usia tersebut
Universitas Sumatera Utara
jarang melakukan latihan terhadap otak (Santrock,
2008).
4)
Belajar
Lanjut
usia
memerlukan
lebih
waktu
mengintegrasikan
mempelajari
hal-hal
berhati-hati
yang
lebih
jawaban,
baru
dalam
banyak
kurang
yang
tidak
belajar,
untuk
mampu
mudah
diintegrasikan dengan pengalaman masa lalu, dan
hasilnya kurang tepat dibandingkan dengan individu
yang masih muda (Hurlock, 2002).
5)
Daya Ingat
Individu lanjut usia cenderung lemah dalam mengingat
hal-hal yang baru dipelajari dan sebaliknya baik
terhadap hal-hal yang telah lama dipelajari (Hurlock,
2002).
6)
Kreativitas
Kapasitas atau keinginan yang diperlukan untuk
berpikir kreatif bagi lanjut usia cenderung menurun
(Hurlock, 2002).
7)
Rasa Humor
Pendapat umum yang sudah klise tetapi banyak
dipercaya, bahwa individu lanjut usia kehilangan rasa
Universitas Sumatera Utara
dan keinginannya terhadap hal-hal humoris (Hurlock,
2002).
8)
Perbendaharaan Kata
Perbendaharaan kata lanjut usia menurun sangat kecil
karena individu secara konstan menggunakan sebagian
besar kata yang pernah dipelajari sebelumnya (Hurlock,
2002).
9)
Mengenang
Kecenderungan untuk mengenang sesuatu yang terjadi
di masa lalu meningkat semakin tajam sejalan dengan
bertambahnya usia (Hurlock, 2002).
10)
Kemampuan Motorik
Lanjut usia mengalami penurunan kekuatan, kecepatan
dalam bergerak, lebih lambat dalam belajar, cenderung
menjadi canggung, yang menyebabkan sesuatu yang
dibawa dan dipegang tertumpah dan jatuh, melakukan
sesuatu dengan tidak hati-hati dan dikerjakan secara
tidak teratur (Hurlock, 2002).
c.
Perubahan Sosial
Salah satu isu sosial yang identik dengan masa lanjut
usia adalah pensiun. Masa pensiun mempengaruhi situasi
keuangan dan kondisi emosional, dan cara para lanjut usia
Universitas Sumatera Utara
dalam menghabiskan waktu maupun berhubungan dengan
teman dan keluarga (Papalia, 2008). Sebagian besar lanjut
usia
yang
telah
pensiun,
seiring
dengan
semakin
bertambahnya usia, menghabiskan lebih banyak waktu dalam
masa pensiun tersebut dibandingkan dengan pada masa lalu
(Kim & Moen dalam Papalia, 2001).
Sepanjang beberapa tahun pertama setelah pensiun,
para lanjut usia biasanya memiliki kebutuhan khusus dan
dukungan emosional yang membuat mereka merasa masih
berharga dan mampu mengatasi perubahan dalam kehidupan.
Jaringan dukungan sosial lanjut usia merupakan prediktor
yang paling kuat dalam hal kepuasan pada masa pensiun
(Tarnowski & Antonucci dalam Papalia, 2008).
Berdasarkan uraian diatas, maka perubahan-perubahan yang
dialami lanjut usia antara lain: perubahan fisik yang meliputi perubahan
penampilan, perubahan bagian dalam tubuh, perubahan pada fungsi
fisiologis, dan perubahan panca indera; perubahan psikologis yang
meliputi kepribadian, perubahan persepsi, kecerdasan, belajar, daya
ingat, kreativitas, rasa humor, perbendaharaan kata, mengenang, dan
kemampuan motorik; perubahan sosial yang identik dengan masa
pensiun.
Universitas Sumatera Utara
F.
Pengaruh Religiusitas Terhadap Psychological Well Being (PWB) Pada
Pensiunan Suku Batak Toba
Masa lansia sering diidentikkan dengan masa pensiun. Parnes dan
Nessel (dalam Corsini, 1987) mengatakan bahwa pensiun adalah suatu
kondisi dimana seorang individu berhenti bekerja dari suatu pekerjaan yang
biasa dilakukan. Pensiun dapat menyangkut perubahan peran, perubahan
keinginan dan nilai, dan perubahan secara keseluruhan terhadap pola hidup
(Schwartz dalam Hurlock, 1998). Berdasarkan pandangan psikologi
perkembangan, pensiun dapat dijelaskan sebagai masa transisi ke pola hidup
baru, maupun merupakan akhir pola hidupnya, apalagi karena usianya sudah
lanjut dan harus diperhentikan (Agustina, 2008).
Secara psikologis, pensiun dapat dikaitkan dengan kepribadian, peran
(well being), makna hidup, stress, persiapan menghadapi pensiun maupun
pandangan yang positif lansia setelah tidak lagi bekerja (Noesyirwan dalam
Rosyid, 2003). Tanpa adanya stimulus kondisi pensiun, kebanyakan lansia
telah mengalami kecemasan akan tugas perkembangannya. Perasaan seperti
loneliness dan isolasi sosial akan muncul, dimana hal tersebut merupakan
efek utama dalam menghadapi pensiun tanpa persiapan pada masa muda
(Papalia, 2001). Dalam perjalanan hidup pensiunan, perasaan-perasaan
seperti ini cukup kritis dan kelak akan mempengaruhi Psychological Well
Being (PWB)-nya.
Ryff (1989) mendefinisikan Psychological Well Being (PWB) sebagai
suatu kondisi dimana seorang individu memiliki tujuan dalam hidupnya agar
Universitas Sumatera Utara
lebih bermakna, menyadari potensi-potensi yang dimiliki, menciptakan dan
mengatur kualitas hubungannya dengan orang lain, sejauh mana mereka
merasa bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri, serta berusaha
mengembangkan dan mengeksplorasi dirinya.
Psychological Well Being (PWB) memiliki dimensi yang erat
kaitannya dengan lanjut usia, yaitu dimensi tujuan hidup (purpose in life)
dan dimensi penguasaan lingkungan (environmental mastery). Dalam
dimensi tujuan hidup, para lanjut usia kerap kali mempertimbangkan hal-hal
di masa lalu dan tidak merasakan sensasi berkembang menuju masa yang
akan datang. Namun demikian, dalam dimensi penguasaan lingkungan, para
lanjut
usia
cenderung
mampu
menguasai
lingkungan
lebih
baik
dibandingkan kelompok usia lainnya (Ryff & Keyes, 1995). Salah satu
faktor yang mempengaruhi Psychological Well Being (PWB) adalah
religiusitas,yang dapat dilihat melalui perilaku atau aktivitas individu sesuai
dengan keyakinan yang dianut.
Peneliti mengambil pensiunan suku Batak Toba sebagai sampel
penelitian. Dengan demikian, mengacu pada penjelasan diatas, pengaruh
religiusitas terhadap Psychological Well Being (PWB) pada pensiunan Suku
Batak Toba dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana para
pensiunan Suku Batak Toba memiliki tujuan dalam hidupnya agar lebih
bermakna, menyadari potensi-potensi yang dimiliki, menciptakan dan
mengatur kualitas hubungannya dengan orang lain, sejauh mana mereka
merasa bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri, serta berusaha
Universitas Sumatera Utara
mengembangkan dan mengeksplorasi dirinya ketika berhenti bekerja dari
suatu pekerjaan yang selama ini dilakukan, yang dipengaruhi oleh
pemahaman tentang ilmu agama atau keyakinan melalui aktivitas atau
perilaku pensiunan sesuai dengan keyakinan yang dianut.
G.
Hipotesa Penelitian
Berdasarkan pemaparan landasan teori diatas, maka peneliti
mengajukan hipotesa sebagai berikut “Ada pengaruh religiusitas terhadap
Psychological Well Being (PWB) pada pensiunan suku Batak Toba”,
dimana semakin tinggi religiusitas maka akan berkontribusi terhadap
kenaikan Psychological Well Being.
Universitas Sumatera Utara
Download