I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Prospek pertambangan energi dan mineral di Indonesia pada 20 tahun terakhir ini mengalami kemajuan pesat, kemajuan ini ditandai dengan meningkatnya volume produksi dan berkembangnya usaha eksploitasi jenis sumberdaya energi dan mineral yang pada tahun-tahun 1970-an sampai 1980-an belum banyak berkembang di Indonesia. Hasil penyelidikan dan pemetaan geologi yang telah dilakukan di sekitar 90 % dari luas wilayah daratan Indonesia, telah mengidentifikasikan wilayah negara dari Sabang sampai Merouke memiliki potensi kekayaan berbagai jenis mineral dan energi yang sangat diminati pasar ekspor (Ness, 1999), termasuk kawasan Timur Indonesia juga memiliki kekayaan sumber daya mineral dan energi pertambangan yang sangat bersar (Katili, 2002). Sumbangan atau kontribusi pertambangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 1996 telah mencapai 5,25%, angka ini jauh meningkat bila dibanding dengan capaian tahun 1983 yang hanya sebesar 1,13% dari PDB Indonesia. Pertumbuhan yang sangat signifikan ini, menunjukkan bahwa sektor pertambangan dapat menjadi sektor andalan bagi pembangunan perekonomian suatu negara (Ness,1999). Penambangan bijih nikel di Pulau Gebe dilakukan sejak tahun 1979 oleh PT Aneka tambang ( PT ANTAM) pada lahan areal kontrak karya seluas 1.225 ha, namun sampai tahun 2003 (PT ANTAM berhenti mengeksploitasi nikel) areal yang terganggu langsung hanya seluas 422 ha. Jenis nikel yang dihasilkan, adalah nikel saprolit dan nikel limonit. Hasil produksi nikel jenis saprolit dipasok ke pabrik Ferronikel (FeNi) di Pomala dan bagian terbesar di pasarkan ke Jepang, dan jenis nikel limonit seluruhnya diekspor ke Australia. Produksi tahun 2000 masih dibawah target yang ditetapkan yakni 730.823 wmt atau 83 % jumlah (target) kadar tinggi dan 931.355 wmt atau 85 % untuk kadar rendah. 2 Dengan prinsip “kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat”, maka bahan tambang perlu diolah dengan tujuan: meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sebagai implementasi dari tujuan tersebut, keberadaan PT ANTAM selama 24 tahun di Pulau Gebe telah mampu memberi kontribusi cukup nyata terhadap pembangunan wilayah Pulau Gebe, pembangunan daerah dan perekonomian nasional. Terhadap daerah penambangan menyebabkan penerimaan royalti dari eksploitasi nikel telah memberikan masukan berarti terhadap kas APBD Kabupaten Halmahera Tengah, dan efek positif yang timbul dari kegiatan eksploitasi telah menaikan pendapatan asli daerah dari pos retribusi dan pajak kendaraan bermotor serta pajak bumi dan bangunan (PBB). Namun demikian, kegiatan penambangan juga memunculkan sisi negatif, seperti terjadinya degradasi sumberdaya dan lingkungan, kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat dan terjadi reduksi nilai terhadap tatanan sosial dan budaya. Karena itu menurut Salim (1989) pengelolaan sumberdaya pertambangan perlu dilakukan secara berhati hati agar mampu menjaga keberlanjutan aset generasi masa depan, untuk itu konsep pembangunan harus berkelanjutan. Sebagai negara penganut “paham” sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat, Indonesia cenderung menggunakan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu mengolah kekayaan sumberdaya alam dan energi secara bijaksana agar kondisi lingkungan tetap lestari dan bermutu tinggi. Lingkungan yang lestari, pembangunan akan tetap berlangsung dari generasi ke generasi, dan lingkungan yang lestari hanya dapat dilahirkan dari pola pikir yang memiliki rasa bijak lingkungan yang besar (Naiola, 1996). Konsep pembangunan berkelanjutan diperkenalkan pertama pada tahun 1987 oleh The World Commission on Enviroment and Development (WCED) melalui laporan “Our Common Future” yang disampaikan oleh Cicin-Sain et al. (1998). Substansinya, adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa membatasi peluang generasi mendatang. Tidak menyebabkan penurunan kapasitas produksi ekonomi di masa mendatang (Barry, 1997). Keberlanjutan secara ekologis, ekonomi, sosial, budaya dan politik (Rahim, 2000). Mengandung prinsip “justice as fairness” yang berarti manusia dari generasi yang berbeda 3 mempunyai tugas dan tanggungjawab satu terhadap manusia lainnya seperti yang ada dalam satu generasi (Beller, 1990). Kegiatan penambangan selalu memunculkan pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positif kegiatan penambangan dapat dilihat dari kontribusinya terhadap pendapatan asli daerah, membuka isolasi keterisolasian wilayah, menyumbangkan devisa negara, menyediakan kesempatan kerja, serta pengadaan barang dan jasa untuk konsumsi dan yang berhubungan dengan kegiatan produksi, disamping itu dapat menyediakan prasarana bagi pertumbuhan sektor ekonomi lainnya (Mangkusubroto, 1995). Namun secara alamiah keberadaan deposit sumberdaya tambang selalu berinteraksi dan kait mengkait dalam lingkungan habitatnya sendiri, seperti tanah, air dan tumbuh-tumbuhan, maka salah satu faktor mendasar yang tidak bisa dihindarkan pada saat dilakukan eksploitasi deposit tambang tersebut adalah terjadinya kerusakan lingkungan. Pengelolaan sumberdaya tambang yang tidak berpedoman pada prinsip-prinsip ekologi, dapat menimbulkan kerusakan lingkungan yang apabila melewati ambang batas terpulihkan akan berakibat pada kerusakan permanen dengan akibat terjadinya degradasi lingkungan yang parmanen. Beberapa kejadian sebagai dampak negatif dari kegiatan pertambangan dapat dilihat dari terjadinya ancaman terhadap lingkungan fisik, biologi, sosial, budaya, ekonomi dan warisan nasional (Barton, 1993), ancaman terhadap ekologi dan pembangunan berkelanjutan (Makurwoto, 1995). Ancaman terhadap dimensi ekologi seperti terjadinya perubahan bentang alam yang cukup luas, perubahan morfologi dan fungsi lahan, penimbunan tanah kupasan, penimbunan limbah pengolahan dan jaringan infrastrukturnya, seperti lahan bekas tambang emas di PT Newmont Minahasa Raya (PTNMR, 2000), mempengaruhi iklim dalam skala lokal seperti yang terjadi di lokasi penambangan PT Batu Bara Bukit Asam (1996), berbagai mikro organisme pada horizon top soil A dan B menjadi musnah, sehingga produktivitas dan stabilitas lahan menurun (Latifah, 2000). Menurut Hardiyanti (2000) dalam penelitiannya di PT Freeport, luas wilayah operasi penambangan juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan munculnya malapetaka ekologi yang besar setelah habis masa tambang, terjadi pemborosan 4 sumberdaya tambang yang cukup besar, serta musnahnya keanekaragaman hayati. Akibat dampak negatif terhadap komponen ekologi banyak daerah bekas tambang mengalami degradasi ekologi seperti tambang emas di Kalgoorie Australia Barat, bekas tambang timah di Pulau Dabo Singkep yang menyebabkan air tergenang pada lubang-lubang bekas galian sebagai sarang malaria, hamparan tanah gundul yang tidak produktif (Kasus ANTAM Pomala dan PT. Inco), rona kota terkesan sebagai kota mati (Katili, 1998), serta menurunnya kualitas tanah dan air. Dampak penambangan di bidang sosial ekonomi sangat terasa pada saat menjelang dan berhentinya operasi perusahaan, seperti pendapatan masyarakat menurun, tidak ada lapangan kerja, terjadi pemutusan tenaga kerja (Katili, 1998), menimbulkan perubahan pada : lapangan kerja, tingkat dan pola pendapatan, pola produksi dan konsumsi, pendapatan dan penerimaan pemerintah dari pajak tambang dan retribusi menurun kasus di PT Tambang Timah Bangka (1990). Konflik antar etnis, konflik budaya, konflik tanah, kemiskinan dan pengangguran, persepsi negatif terhadap perusahaan, kualitas hidup, partisipasi dan peranan wanita seperti yang terjadi di Freeport, PT Inco dan PT Minahasa, kekerasan fisik dan pelecehan seksual, seperti kasus yang terjadi di PT Kelian Equtorial Mining. Penambangan nikel di Pulau Gebe yang mulai berproduksi pada tahun 1979 tidak disangkal lagi telah menimbulkan beberapa dampak positif di bidang sosial dan ekonomi, seperti kontribusi terhadap produksi nikel nasional, kontribusi terhadap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, kesempatan kerja, pendidikan, kesehatan, pengusaha kecil dan koperasi, sarana dan prasarana umum, serta keterbukaan wilayah. Namun, perlu juga diakui bahwa sebagai penambangan terbuka, juga telah menimbulkan sisi negatif terhadap komponen biofisik seperti terjadinya perubahan sifat tanah dan kualitas air di sekitar lokasi tambang. Sisi negatif di bidang sosial ekonomi, mulai muncul di saat perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 484 karyawan perusahaan operasional (KPO) dan Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM). Akibat dari PHK tersebut telah terjadi: (1) Arus penduduk keluar Pulau Gebe antara bulan Januari 2003- Maret 2003 sebanyak ± 817 jiwa; (2) Terdapat 218 bekas karyawan perusahan yang tetap bermukim di Pulau Gebe kehilangan lapangan kerja; (3) Pendapatan 5 nelayan, petani, pedagang dan usaha informal dan formal mengalami penurunan; (Anonim, 2003). Menyadari bahwa masyarakat tetap membutuhkan keberlangsungan hidup secara sosial dan ekonomi, sementara kegiatan penambangan telah berakhir pada tahun 2005, dengan demikian terjadi lagi PHK terhadap 486 karyawan sisa. Akibat yang muncul adalah berpindahnya bekas karyawan ke daerah lain dan sebagian pulang ke kampung halaman asal. Dari hasil survei yang dilakukan Tim Fakultas Ekonomi Unkhair di Pulau Gebe tahun 2003 diperoleh beberapa harapan masyarakat, adalah : (1) Perbaikan lingkungan biofisik di areal tambang secara langsung dapat berpengaruh terhadap lingkungan pesisir pantai; (2) Perlu adanya investor yang dapat mengembangkan sektor- sektor primer yang bertumpu pada potensi sumberdaya lokal agar masyarakat dapat melangsungkan kehidupannya; (3) Perusahaan harus memperbaiki dan membangun fasilitas umum di bidang sosial dan ekonomi; Sebagai sebuah pulau kecil yang letaknya berhadapan langsung dengan laut pasifik, Pulau Gebe memiliki potensi sumberdaya laut dan perikanan yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun keragamannya, di samping itu sumberdaya lain juga memiliki potensi yang relatif baik. Tercatat, wilayah perairan Pulau Gebe mempunyai potensi sumberdaya ikan demersal dan palagis yang sangat besar, dan merupakan salah satu potensi untuk layak dikembangkan, selain sektor ekonomi lainnya yang juga memiliki potensi dan daya dukung yang relatif baik pada saat Pulau Gebe tanpa tambang nikel. Upaya ini dirasakan sangat urgen dan mendesak, karena seperti pulau - pulau kecil lainnya, masyarakat Pulau Gebe juga mempunyai tingkat ketergantungan yang sangat besar dengan pihak luar, sehingga upaya ini sangat penting untuk dapat mempertahankan keberlanjutan hidup masyarakat secara sosial ekonomi di saat Pulau Gebe tanpa tambang nikel. 6 Kerangka Pemikiran Pembangunan yang dilaksanakan di pulau-pulau kecil mengacu pada konsep pembangunan wilayah pesisir, karena kondisi ekologis dan sosial budaya masyarakat yang mendiami pulau kecil dan pulau besar relatif sama (Brookfield, 1990). Agenda 21, mengamanatkan arah pembangunan berkelanjutan kelautan dan wilayah pesisir, yakni pembangunan berkelanjutan pulau-pulau kecil (Cicin Sain dan Knecht, 1998). Oleh Direktorat Jenderal PPPK DKP (2000) adalah untuk mencegah munculnya konflik pemanfaatan, menjamin keberlanjutan pemanfaatan, serta optimalisasi ruang dan sumberdaya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan Pulau Kecil juga diperkuat oleh Beatley et al, (1994), dan World Coast Conference (1993), yakni sangat ditentukan oleh kemampuan penduduknya mempertahankan sumberdaya, seperti: (1) energi, air, dan sumberdaya lainnya; (2) sistem alami; (3) tekhnologi; (4) fleksibiltas penduduk atas ekses pembangunan; (5) ketahanan ekosistem dari bencana alam; (6) kerjasama pemerintah dan masyarakat dalam mencegah kerusakan lingkungan; (7) tata nilai budaya. Cicin Sain dan Knecht, (1998) perlu memperhatikan ekonomi, lingkungan dan keadilan sosial. Berlanjut secara ekologis, ekonomi, lingkungan, keadilan, moral dan kelembagaan (OECD,1993). Seiring dengan berakhirnya penambangan nikel di Pulau Gebe, persoalan mendasar yang muncul adalah bagaimana mengelolah sumberdaya yang terdapat di Pulau Gebe kehidupan sosial ekonomi masyarakat dapat dipertahankan. Mengacu pada kajian teori dan penelitian terdahulu, penelitian ini mencoba mendasarkan pada suatu kerangka pemikiran bahwa keberlanjutan kehidupan sosial ekonomi masyarakat sangat dipengaruhi oleh: (1) Daya dukung lingkungan; (2) Sumberdaya alam; (3) Sumberdaya manusia;(4) Sarana dan prasarana; dan (5) Sumberdaya finansial; (6) Sosial budaya; Menurut laporan Bank Dunia (2003), keberlanjutan kehidupan dipengaruhi oleh: sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya buatan manusia, pengetahuan, dan sumberdaya sosial. Kerangka pemikiran upaya meningkatkan keberlanjutan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Pulau Gebe, dapat dilihat pada Gambar 1. Prioritas Kebijakan SUMBERDAYA MANUSIA Prioritas Program SUMBERDAYA ALAM Sistem alam ASSET SOSIAL EKONOMI SARANA PRASARANA Tidak ada tambang, tingkat kehidupan tinggi Berkelanjutan Program Pengembangan SUMBERDAYA KAPITAL Sistem Sosial 1. Ada tambang, tingkat kehidupan tinggi 2. Tidak ada tambang, tingkat Kehidupan rendah Tidak berkelanjutan Pemberlanjutan Gambar 1. Kerangka pemikiran pilihan pengembangan sektor ekonomi sebagai upaya mempertahankan keberlanjutan kehidupan masyarakat di pulau Gebe, pada saat pasca tambang nikel. 1 1. 3. Perumusan Masalah Perkembangan eksploitasi sumberdaya mineral dan energi pada beberapa tahun terakhir ini telah menimbulkan banyak kasus terhadap kehidupan manusia dan lingkungan sekitar. Kasus penambangan terkini yang paling memprihatinkan dunia pertambangan adalah pencemaran di teluk Buyat Minahasa akibat kegiatan penambangan emas oleh PT NMR. Kejadian-kejadian seperti ini kemudian memunculkan kesan bahwa dalam hubungan dengan lingkungan hidup, tidak ada sektor lain yang lebih terpuruk dibanding sektor pertambangan. Masalah yang sering muncul adalah pencemaran terhadap sumber daya tanah, dan air yang berakibat pada turunnya kualitas dan produktivitas tanah dan air, sehingga dalam pengembangan ekonomi bukan tambang setelah pasca tambang, aspek daya dukung lingkungan sering menjadi kendala utama. Pihak perusahaan sering kurang memperhatikan kewajiban pembangunan masyarakat, pemerintah daerah juga kurang memperhatikan pembangunan sarana prasarana daerah penghasil. Akibatnya setelah masa penambangan daerah yang ditinggalkan ibarat kota hantu, karena jumlah penduduk berkurang dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang ada di sekitar lokasi tambang menjadi miskin, karena hasilnya hanya untuk manfaat ekonomi jangka pendek (Anwar, 1993). Tingkat kehidupan masyarakat secara sosial ekonomi, merupakan salah satu isu kunci yang selalu muncul pada saat berakhirnya kegiatan penambangan karena berkurangnya lapangan kerja, sehingga ketergantungan masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan di luar Pulau Gebe sangat besar, kondisi ini sesuai dengan salah satu karakteristik pulau kecil yaitu ketergantungan ekonomi lokal pada ekonomi luar (Brookfield, 1990) juga (Retraubun dan Dahuri, 2002). Kekuatiran ini muncul karena kenyataan yang terjadi seperti kasus PHK terhadap 484 karyawan KPO dan TKBM yang dilakukan pihak manajemen perusahaan pada bulan Januari hingga Maret 2003. Permasalahan sosial ekonomi yang lain adalah menyangkut dengan pengalih-an aset-aset milik PT ANTAM ke pemerintah Kabupaten yang kemudian diikuti dengan penerapan kebijakan dan peraturan daerah. Aset perusahaan yang diserahkan ke pemerintah Kabupaten yaitu pasar, jaringan listrik, jaringan air bersih, dan sarana prasarana. Dengan pengalihan ini masyarakat akan dibebani retribusi pasar, iuran listrik 2 dan tarif jasa air bersih padahal selama aset-aset ini dalam penanganan perusahaan sebagian besar masyarakat terutama yang bermukim di Kapaleo, Kecapi, Sanafi dan Mamin mendapat secara gratis. Selain itu pendapatan masyarakat yang bekerja di perusahaan akan terhenti sementara kebutuhan hidup tidak berkurang, pendapatan petani, nelayan dan usaha jasa dan sektor informal juga mengalami penurunan. Prasarana dan sarana perkantoran, rumah dinas petinggi perusahaan dan bangunan perumahan yang ditempati karyawan perusahaan kalau tidak dimanfaatkan akan mengalami kerusakan yang sangat cepat. Permasalahan-permasalahan ini harus ditangani secara terpadu dan melalui pelibatan para pihak agar tidak memunculkan konflik sosial yang pada gilirannya menjurus pada kegiatan anarkis. Secara spesifik dapat dirumuskan dua masalah penelitian sebagai berikut. 1. Berapa besar indeks keberlanjutan kehidupan masyarakat dilihat dari dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya dan dimensi gabungan (multi dimensi) di Pulau Gebe pada saat ini. 2. Kebijakan strategi apa yang dapat dirumuskan agar kehidupan sosial ekonomi masyarakat pada saat pasca tambang di Pulau Gebe masih tetap berlanjut. 1. 4. Tujuan Penelitian Mengacu pada latar belakang dan permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan, penelitian ini bertujuan : 1. Mengidentifikasi keberlanjutan kehidupan masyarakat Pulau Gebe yang hidup di pulau kecil dari pengaruh sumberdaya dimensi ekologi (sifat tanah, kualitas air), dimensi ekonomi (modal, dana, jalan, bangunan, jaringan air, jaringan listrik, pelabuhan, dan pasar), dimensi sosial budaya (pendidikan, kesehatan, partisipasi, kekosmopolitan, kondisi perumahan, kelembagaan, adat istiadat, nilai-nilai budaya, persepsi dan konflik sosial), sebagai aset untuk meningkatkan keberlanjutan kehidupan sosial ekonomi masyarakat di saat Pulau Gebe tanpa tambang nikel. 3 2. Merumuskan kebijakan strategi sebagai upaya meningkatkan keberlanjutan kehidupan`secara sosial ekonomi masyarakat Pulau Gebe pada saat pasca tambang nikel. 1. 5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat: 1. Dirumuskan kebijakan strategi untuk meningkatkan keberlanjutan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Pulau Gebe pada saat pasca tambang nikel. 2. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan bahan informasi dan data awal bagi penelitian bidang ilmu yang terkait dengan aspek kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di pulau-pulau kecil bekas tambang. 1. 6. Hipotesis Mengacu pada kerangka pemikiran konseptual keberlanjutan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Pulau Gebe sebagai suatu masyarakat yang mendiami Pulau kecil yang pada saat ini terdapat penambangan nikel, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini meliputi 1. Untuk meningkatkan keberlanjutan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Pulau Gebe sebagai suatu masyarakat yang tinggal di pulau kecil pada saat PT ANTAM menghentikan kegiatan penambangan nikel, sangat ditentukan oleh sumberdayasumberdaya dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dan dimensi sosial-budaya. 2. Strategi kebijakan sebagai upaya meningkatkan keberlanjutan kehidupan secara sosial ekonomi masyarakat Pulau Gebe pada saat pasca tambang nikel dapat dirumuskan. 4 1. 7. Kebaruan Kehidupan masyarakat yang mendiami Pulau Gebe yang memiliki kandungan tambang nikel, sampai tahun 2000-an belum banyak mendapat perhatian dalam studi/kajian-kajian akademik. Kajian tentang kondisi hidup masyarakat di wilayah ini, hampir seluruhnya merupakan bagian dari kondisi hidup masyarakat Maluku Utara. Anhar, et al. (2003) dalam penelitian data base sosial ekonomi di wilayah pengaruh tambang emas PT NHM (Nusa Halmahera Minerals) di Halmahera Utara, menemukan aspek community development dijalankan perusahaan masih bersifat insidentil. Marsaoly et al. (2000) dalam penelitiannya rencana penambangan nikel oleh PT Weda By di wilayah pengaruh tambang nikel Halmahera Tengah, lebih menyoroti aspek pengaruh tambang terhadap kondisi ekologi dan masyarakat pesisir. Khusus di Pulau Gebe, studi lebih spesifik relatif baru dilaksanakan pada tahun 1996 oleh Sumanagara, yang mengkaji peran serta unit pertambangan Nikel Pulau Gebe dalam perkembangan wilayah dan daerah, sedangkan Darijanto (1999) melakukan penelitian tentang pengaruh morfologi dan penyebaran endapan nikel unit penambangan Pulau Gebe. Selanjutnya, untuk kepentingan rumusan visi pembangunan Maluku Utara tentang pembangunan Pulau-pulau kecil dan pesisir, penelitian dilakukan kerjasama Dinas Perikanan Propinsi Maluku utara dengan Pusat Studi Kelautan dan perikanan Universitas Khairun (2003). Hasyim, et al. (2003) mengeksplorasi pengaruh PHK dan persiapan pasca tambang terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Pulau Gebe. Beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan di daerah lain, tentang pengaruh tambang terhadap kehidupan masyarakat, antara lain : Haswanto (2000) pembangunan pedesaan dan melawan kemiskinan di sekitar wilayah tambang, Hardiyanti (2000), Purwadhi (2002), dan Sembiring (1997), tentang pengelolaan Pulau-pulau kecil, secara holistik belum mengkaji keterkaitan dimensi : ekologi, ekonomi dan sosial budaya, sebagai upaya meningkatkan kehidupan masyarakat yang hidup di Pulau kecil yang di dalamnya pernah beroperasi tambang nikel seperti pada penelitian ini.