BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara “Megabiodiversitas” yang mempunyai keanekaragaman hayati jumlah yang besar dan sangat beranekaragaman jenisnya. Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki keanekaragaman ekosistem yang dihuni oleh flora, fauna dan genetik lain yang tergolong besar dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia (Bruner, 2001). Konsep keragaman tidak hanya terpusat pada jumlah jenis hewan, tetapi juga aspek komposisi, struktur dan fungsi. Modifikasi habitat dapat mempengaruhi tumbuhan, serangga dan arthropoda lain yang menguntungkan dengan cara transformasi lingkungan fisik,menginduksi perubahan iklim mikro dan iklim lokal (Bugg & Pickett, 1998 dalam Kinasih, 2002). Insekta atau serangga merupakan spesies hewan yang jumlahnya paling dominan di antara spesies hewan lainnya dalam Filum Arthropoda. Ekosistem alami memiliki keseimbangan alami yang tetap terjaga, yaitu spesies berinteraksi satu sama lain dan juga dengan lingkungan fisiknya. Masing masing spesies dalam suatu komunitas mencapai status tertentu yang tetap untuk periode waktu tertentu dan resisten terhadap perubahan (Rahadian dkk., 2009). Dalam kehidupan dan interaksinya dengan manusia, serangga memiliki beberapa peranan, baik yang merugikan maupun yang menguntungkan. Peranan serangga yang merugikan antara lain sebagai hama tanaman, sebagai parasit dan sebagai vektor penyakit. Meskipun serangga memiliki jumlah yang banyak dan peranan yang penting, namun masyarakat saat ini pada umumnya hanya melihat serangga sebagai hama dan perusak tanaman. Sehingga pengendalian serangga dilakukan terus menerus (Rahadian dkk., 2009). Ilmu forensik diartikan sebagai penerapan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan. Dalam penyidikan suatu kasus kejahatan, observasi terhadap bukti fisik dan interpretasi dari hasil analisis (pengujian) barang bukti merupakan alat utama dalam penyidikan tersebut sehingga Adanya pembuktian ilmiah diharapkan polisi, jaksa, 1 dan hakim tidaklah mengandalkan pengakuan dari tersangka atau saksi hidup dalam penyidikan dan menyelesaikan suatu perkara (Purwandianto, 2000). Entomologi adalah ilmu yang mempelajari serangga (insecta). Akan tetapi, arti ini seringkali diperluas untuk mencakup ilmu yang mempelajari Arthropoda (hewan beruas-ruas) lainnya, khususnya laba-laba dan kerabatnya (Arachnida atau Arachnoidea), serta luwing dan kerabatnya. Dimasukannya Arthropoda lain sebagai bagian yang dibahas pada entomologi karena ada hubungan evolusioner/filogenetis dalam konteks pembahasan taksomis dengan serangga. Selain itu dalam konteks fungsional Arthropoda lain berperan sebagai pemangsa dan pesaing bagi serangga (Gillott, 2005). Entomologi forensik adalah salah satu cabang dalam entomologi dan Ilmu forensik yang mempelajari peran serangga dalam kepentingan forensik, misalnya penentuan umur jenazah. Entomologi forensik berkaitan erat dengan ilmu Tanatologi. Tanatologi merupakan ilmu yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kematian manusia, yaitu definisi atau batasan mati, perubahan yang terjadi pada tubuh setelah terjadi kematian dan faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut (Nurwidayanti, 2009). Di alam, khususnya daerah tropis banyak ditemukan serangga yang berfungsi sebagai pengurai sisa-sisa organisme yang sudah mati. Diantaranya adalah serangga pemakan bangkai yang dikenal sebagai necrophagous. Dalam membahas kajian entomologi forensik, serangga necrophagous tersebut mengalami dinamika suksesi populasi dari berbagai spesies yang berbeda secara ekologis pada tubuh bangkai. Berbagai macam jenis serangga tersebut akan saling berinteraksi baik bersifat netral, kompetisi, maupun predasi dalam proses dekomposisi bangkai sehingga jika pada suatu lingkungan banyak terdapat bangkai hewan yang melimpah, salah satu solusinya adalah menginventaris dan memanfaatkan serangga necrophagous tersebut untuk mengurai bangkai agar tidak mencemari lingkungan (Tomberlin et al., 2011). Salah satu alternatif yang dapat digunakan pada pemeriksaan bangkai yang telah membusuk yaitu terdapat organisme yang berkembang biak pada bangkai tersebut. Serangga necrophagous, termasuk lalat dan kumbang bangkai (Carrion beetles) mempunyai hubungan khusus dengan hasil proses dekomposisi bangkai 2 anggota vertebrata dengan jumlah yang beraneka ragam, tetapi berlangsung dalam jangka waktu yang singkat (Carter et al, 2007). Serangga necrophagous juga melakukan fungsi yang penting dalam ekosistem yaitu meningkatkan pengguraian dan daur ulang materi organik ke dalam ekosistem terestrial (Kalinova et al. 2009). Proses dekomposisi adalah proses degradasi jaringan pada tubuh mayat yang terjadi sebagai akibat proses autolisis dan aktivitas mikroorganisme (Dominick, 1993). Lalat merupakan salah satu serangga yang tertarik pada bau busuk mayat dengan menggunakan mayat yang membusuk sebagai media perkembangbiakan. Lalat akan bertelur pada mayat jika tidak ada yang mengusir lalat tersebut seperti halnya manusia hidup akan mengusir lalat yang mendekatinya. Lalat akan meletakkan telurnya pada lokasi-lokasi yang lembab dan terlindung, seperti lubang mulut, hidung, anus dan luka terbuka (Budiyanto dkk, 1997). Lalat adalah salah satu indikator yang sangat berguna dalam bidang forensik antara lain untuk menentukan lokasi kematian dan membantu memperkirakan lama waktu kematian. siklus hidup lalat secara umum yaitu telurlarva-pupa-lalat dewasa. siklus hidup lalat telah dipelajari dan diteliti dalam forensik entomologi. Periode antara lalat bertelur dan membentuk stadium perkembangan tertentu, dapat digunakan untuk membantu memperkirakan lama waktu kematian. Jenis lalat mempengaruhi periode tersebut, karena jenis lalat mempengaruhi waktu meletakkan telur atau larva pada bangkai (Byrd & Castner, 2001). Penentuan lokasi dan lama waktu kematian secara entomologik dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti musim, ketinggian dan luas daerah, temperatur, kelembaban udara, lokasi bangkai ditemukan seperti diatas tanah, dalam kubur, tenggelam dalam air, pantai, hutan dan sebagainya (Dahlan, 2007). Berdasarkan permasalahan diatas maka penelitian ini ingin dilakukan dengan memodifikasi salah satu faktor eksternal yaitu lokasi bangkai di sawah dan hutan dengan menggunakan tikus rumah sebagai model percobaan. Penelitian tentang keragaman serangga selama proses dekomposisi bangkai anggota vertebrata sudah beberapa dilakukan seperti keragaman larva lalat berdasarkan posterior spirakel pada tikus rumah (Widyatama, 2012), 3 kumbang bangkai pada bangkai babi (Kocarek, 2003). Tikus rumah digunakan karena mudah diperoleh, murah dan hidup di dekat peradaban manusia. Hutan Biologi UGM merupakan salah satu hutan mini di Universitas Gadjah Mada terletak di bagian barat Fakultas Biologi UGM Yogyakarta. Hutan ini ditumbuhi pohon kayu yang sudah besar dan menutupi sebagian besar vegetasi di hutan ini. Sawah pada penelitian ini menggunakan sawah di desa Pandowoharjo Sleman yang ditanami tanaman jagung dan dikelilingi tanaman padi. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, ditemukan beberapa masalah yang kemudian dirumuskan sebagai berikut. jenis serangga apa saja yang ditemukan pada bangkai Rattus tanezumi selama proses dekomposisi ? Bagaimana peran dari masing-masing anggota jenis serangga tersebut ? Apakah ada perbedaan Indeks Keragaman pada bangkai R.tanezumi yang diletakkan di lingkungan sawah dan di lingkungan hutan ? C. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaman jenis serangga pada bangkai tikus rumah yang diletakkan di lingkungan sawah dan hutan serta mengetahui peran ekologis dari berbagai jenis serangga dari bangkai tikus hasil proses dekomposisi. D. Manfaat Manfaat hasil penelitian ini antara lain : 1. Ilmu pengetahuan : sebagai pengembangan ilmu pengetahuan tentang keanekaragaman serangga pemakan bangkai. 2. Karir : sebagai uji kemampuan dan peningkatan skill peneliti dalam identifikasi serangga pemakan bangkai. 3. Masyarakat : Sebagai sumber informasi dalam hal pembelajaran dan pengenalan potensi serangga pemakan bangkai untuk dapat dipelajari. 4