BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Arne Naess merupakan seorang filsuf asal Norwegia yang mempunyai perhatian khusus terhadap isu-isu lingkungan hidup. Arne Naess dalam menyikapi isu-isu kerusakan lingkungan mencetuskan sebuah konsep sebagai sebuah tawaran atau solusi yang dikenal dengan deep ecology. Deep ecology menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada manusia, tetapi berpusat pada makhluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Deep ecology tidak mengubah sama sekali hubungan antara manusia dengan manusia. Manusia dan kepentingannya bukan lagi ukuran bagi segala sesuatu yang lain. Manusia bukan lagi pusat dari dunia moral. Deep ecology justru memusatkan perhatian kepada semua spesies, termasuk spesies bukan manusia. Prinsip moral yang dikembangkan deep ecology menyangkut kepentingan seluruh komunitas biotis dan abisotis. Etika lingkungan yang dikembangkan deep ecology dirancang sebagai sebuah etika praktis, sebagai sebuah gerakan. Prinsip-prinsip moral etika lingkungan harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret. Naess merumuskan dasar gerakan/aksi deep ecology yang dinamakan platform aksi yang berjumlah delapan butir yang menyatukan dan mendorong manusia melakukan 103 104 aksi bersama. Naess dalam perkembangannya juga merumuskan lima prinsip dasar dari gerakan deep ecology, yaitu prinsip keamaan status organisme (biospheric egalitarianism-in principle), prinsip Non-Antroposentrisme, prinsip realisasi diri (self-realization), pengakuan dan penghargaan atas keanekaragaman kompleksitas hubungan simbiosis, dan perubahan politik menjadi ecopolitics. 2. Hutan Mangrove adalah komunitas pantai tropis, dan merupakan komunitas yang hidup di dalam kawasan yang lembab dan berlumpur serta dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Kecamatan Belakang Padang salah satu wilayah yang mempunyai hutan mangrove yang tubuh subur dan lebat di pesisir pantai, dikarenakan letaknya yang strategis seperti tanah yang berlumpur. Hutan mangrove yang begitu lebatnya sehingga mempunyai potensi dan manfaat yang penting bagi masyarakat. Jenis mangrove yang ada di Kecamatan Belakang Padang adalah bakau (rhyzopora) dan nipah (nypah fruticans). Hutan mangrove memiliki beberapa fungsi seperti fungsi lingkungan: penahan gelombang laut dan terpaan angin, perputaran nutrient dan unsur hara, perangkap sedimen, pencegah intrusi air, biofilter alami; fungsi biologis: sebagai habitat biota, persinggahan fauna migran, tempat pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi fauna; fungsi ekonomis: hasil kayu, hasil hutan (non kayu), penghasil hewan laut, bahan pangan, sumber obat-obatan, dan kawasan wisata. Masyarakat Kecamatan Belakang Padang memanfaatkan hutan mangrove untuk diambil kayunya dengan menebang kayu, namun belakang ini banyak mangrove yang ditebang secara liar 105 sehingga menyebabkan banyak hutan mangrove yang rusak, dan kurangnya kesadaran masyarakat tentang kebersihan lingkungan pesisir dengan membuang sampah dan limbah rumah tangga menjadikan kawasan ini tercemar, dan akibatnya fauna yang hidup di kawasan mangrove terancam. Faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove di Kecamatan Belakang Padang, seperti hutan mangrove ditebang untuk dijadikan pemukiman atau lahan tempat tinggal penduduk, pengambilan kayu, pencemaran laut, lemahnya aturan atau sanksi dan pengawasan. 3. Kawasan hutan mangrove di Kecamatan Belakang Padang kurang mendapat pengelolaan secara baik, karena masih banyak pohon-pohon mangrove yang rusak karena ditebang secara berlebihan oleh masyarakat demi memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Deep ecology memandang hal ini adalah sikap atau perilaku yang salah, karena bertentangan dengan konsep deep ecology, yakni gerakan platform aksi dan prinsip-prinsip deep ecology yang dirumuskan oleh Arne Naess. Persoalan pengelolaan kawasan hutan mangrove perlu didasarkan pada etika lingkungan deep ecology. Deep ecology merubah pandangan manusia dari antroposentris yang berpusat pada dirinya sendiri menjadi ekosentris. Deep ecology berusaha mencari sebab utama persoalan hutan mangrove, yaitu cara pandang yang antroposentris, gaya hidup yang konsumtif yang diikuti dengan kebutuhan dan kepentingan, meningkatnya populasi manusia, dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga hutan mangrove, semua cara pandang ini 106 harus diubah dari pikiran masyarakat. Persoalan hutan mangrove dapat diatasi dengan perubahan kesadaran dari setiap individu dan masyarakat. Selama kesadaran dan kemauan dari individu, masyarakat belum ada, maka persoalan hutan mangrove tidak akan terselesaikan. Pemerintah untuk mengurangi kerusakan hutan mangrove telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya dan dampak dari rusaknya hutan mangrove, serta penanaman kembali hutan mangrove yang gundul atau rusak, namun peran masyarakat dalam menjaga dan mengelola hutan mangrove sangat dibutuhkan karena masyarakat yang bersinggungan dengan hutan mangrove. B. Saran Peneliti memahami masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Peneliti mengaharapkan akan adanya penelitian yang berkelanjutan dalam penelitian tentang lingkungan beserta habitat hutan mangrove untuk melengkapi banyaknya kekurangan yang belum tersampaikan. Persoalan terhadap bagaimana pengelolaan hutan mangrove bila di analisis dengan menggunakan teori lain. Tema lain yang berkaitan dengan etika lingkungan dan/atau dengan pendekatan teori filsafat yang lain dapat dilanjukan untuk menambah inventarisasi.