16 TINJAUAN PUSTAKA Lahan Asam dan Permasalahannya Ultisol merupakan salah satu jenis tanah yang memiliki sebaran luas di Indonesia, yaitu 45.798.000 ha, meliputi hampir 25% dari total daratan Indonesia (Subagyo et al., 2004). Tanah Ultisol umumnya mempunyai nilai kejenuhan basa < 35%, reaksi tanah ini pada umumnya sangat asam (pH 3,10 – 5). Nilai kejenuhan Al yang tinggi terdapat pada tanah Ultisol dari bahan sedimen dan granit, mencapai > 60%. Seperti yang dijelaskan oleh Prasetyo dan Suriadikarta (2006), kesuburan alami tanah Ultisol umumnya terdapat pada horizon A yang tipis dengan kandungan bahan organik yang rendah. Unsur hara makro seperti fosfor dan kalium yang sering kahat, reaksi tanah asam hingga sangat asam, serta Al jenuh yang tinggi merupakan sifat-sifat tanah Ultisol yang sering menghambat pertumbuhan tanaman. Toksisitas Al juga menjadi masalah utama yang menghambat produktifitas pertanian pada lahan asam di dunia, dimana luasan lahan asam mencapai 40% dari luasan bumi (Kochian, 1995). Konsentrasi mikromolar senyawa Al yang larut dalam tanah sudah dapat mengakibatkan toksisitas yang serius pada tanaman. Produksi tanaman juga dapat menurun secara drastis karena uptake air dan unsur hara terganggu (Kochian, 1995). Tidak semua bentuk dari Al bersifat toksik, masing-masing bentuk memiliki tingkat toksisitas yang berbeda. Pada umumnya kation trivalen bersifat toksik bagi tanaman dan Al3+ merupakan bentuk yang paling toksik, meskipun Al dalam bentuk divalen dan monovalen juga bersifat toksik. Larutan dengan pH yang lebih rendah dari 5,0 menyebabkan ion Al berada dalam bentuk oktahedral heksahidrat, Al(H2O)63+, sering disingkat dengan Al3+. Pada pH 5 – 7 Al(H2O)63+ mengalami deprotonasi menjadi Al(OH)2+ dan Al(OH)2+. pH yang meningkat akan mengakibatkan Al berbentuk solid Al(OH)3 dan mengendap. Pada keadaan basa Al akan membentuk tetrahedral, Al(OH) 4- (Delhaize dan Ryan, 1995; Kochian, 1995). Keracunan ion Al3+ merupakan hambatan yang paling nyata terhadap produksi pertanian di tanah asam. Keracunan Al ini mampu mengakibatkan produksi tanaman menurun 25% sampai 85% (Kochian, 1995). Rendahnya 17 produktivitas menyebabkan tanah asam yang luas ini masih belum bisa dimanfaatkan secara optimal sebagai lahan pertanian. Pengaruh Aluminium terhadap Tanaman Keracunan Al merupakan salah satu kendala dalam produksi tanaman pada tanah asam. Pada kondisi tersebut umumnya ketersediaan hara dan kemampuan tanaman untuk menyerap hara sangat terbatas. Dari beberapa percobaan diketahui bahwa penyerapan P, Ca, Mg, dan K oleh tanaman berkurang secara nyata. Pada tanaman barley yang ditanam pada media yang mengandung Al, kandungan Ca 2+ dan K+ hanya setengahnya jika dibandingkan dengan kontrol (Matsumoto et al.,1988). Defisiensi P dapat diinduksi oleh kandungan Al yang tinggi. Komplek Al-fosfat yang berada di larutan tanah ataupun di dalam sel, mengakibatkan P tidak tersedia bagi tanaman. Kation trivalen Al3+ juga menghambat transpor Ca2+ secara efektif ke dalam akar, protoplas dan membran. Hasil studi pada lapisan lipida menunjukkan bahwa Al dapat memblok Ca 2+ dan saluran K+ (Ryan et al., 1997). Kelebihan konsentrasi Al dalam larutan tanah pada umumnya berakibat buruk terhadap pertumbuhan tanaman, kecuali beberapa tanaman seperti teh yang mampu bertahan pada konsentrasi Al tinggi. Menurut Jansen et al. (2002) selain teh ada tanaman lain yang toleran terhadap Al yaitu Melastomataceae yang merupakan tanaman akumulator unsur logam diantaranya adalah Al. Gangguan penyerapan hara mineral di dalam tanah asam disebabkan dua hal yang sangat berkaitan, yaitu efek langsung yaitu penghambatan penyerapan hara, dan efek tidak langsung dengan menghambat pertumbuhan akar melalui penghambatan penyerapan hara (Marschner, 1995). Aluminium dapat mengubah struktur dan fungsi membran plasma serta menghalangi pembelahan sel pada ujung akar primer. Gejala awal keracunan aluminium yang paling mudah diamati adalah terhambatnya pertumbuhan akar, yaitu ujung akar menebal dan pertumbuhannya memendek. Aluminium banyak terakumulasi pada ujung akar yang menyebabkan daerah tersebut mengalami banyak kerusakan fisik dibandingkan jaringan akar dewasa (Ryan et al., 1993). Ion trivalen Al3+ tidak larut dalam lipid sehingga membran plasma merupakan penghalang bagi masuknya Al ke dalam sitoplasma, namun beberapa penelitian membuktikan Al juga terdapat dalam sitoplasma. Al yang terakumulasi 18 dalam sitoplasma inilah yang bersifat toksik, sehingga memberikan asumsi bahwa toksisitas Al terjadi karena terbentuknya kompleks Al dengan ligan yang menyebabkan terhambatnya fungsi penting dari molekul-molekul yang diikat (misal : enzim, calmodulin, tubulin, ATP, GTP, DNA), atau kompleks Al-ligan yang menghambat proses-proses metabolisme lainnya (Ryan et al., 1995). Matsumoto (1991) menyatakan bahwa Al yang berada dalam bentuk ion trivalen (Al3+) memiliki muatan positif yang besar serta memiliki banyak situs pengikatan. Al3+ dapat mengikat fosfat pada kedua utas DNA, mengakibatkan gagalnya utas ganda DNA berpisah pada saat replikasi. Marschner (1995) melaporkan bahwa Al dapat menggantikan kedudukan Ca pada lamela tengah dinding sel. Ikatan Al dengan gugus karboksil pada pektin akan menimbulkan ikatan yang kuat dan kaku pada dinding sel sehingga tidak dapat membesar. Al juga dapat menghambat transport Mg2+ yang merupakan unsur penting pada proses fisiologis. Toleransi Tanaman Menghadapi Cekaman Aluminium Terdapat tiga kelompok tanaman toleran cekaman Al (Foy et al. 1978). Kelompok pertama adalah kandungan Al di akar tanaman toleran lebih rendah daripada tanaman yang sensitif sedangkan bagian atasnya sama, contohnya pada gandum, barley dan kedelai. Kelompok kedua adalah tanaman toleran memiliki kandungan Al lebih tinggi pada akarnya dan lebih rendah pada organ bagian atas, contohnya padi dan alfalfa. Kelompok ketiga adalah tanaman toleran memiliki kandungan Al sangat tinggi di bagian atas terutama pada daun, misalnya teh yang mengakumulasi Al 600 mg.kg -1 berat kering daun muda (Matsumoto et al. 1976), pada Hydrangea mencapai 3.000 mg.kg-1 berat kering sepal (Ma et al. 1997). Mekanisme toleransi terhadap cekaman Al dikelompokkan menjadi mekanisme eksternal (eksklusi Al ) dan internal (inklusi Al) (Taylor, 1991). Mekanisme eksternal tanaman dilakukan dengan immobilisasi Al di dinding sel, mengatur selektifitas membran plasma terhadap sel, meningkatkan pH di daerah rizosfir atau apoplas akar serta melakukan eksudasi senyawa-senyawa pengkelat dan effluks Al. Mekanisme internal meliputi kelatisasi Al di sitosol, kompartementasi Al di vakuola, mensintesis protein spesifik pada membran plasma yang akan menurunkan serapan Al maupun peningkatan effluks Al. 19 Tanaman yang toleran terhadap keracunan Al memiliki kemampuan untuk menekan pengaruh buruk keracunan Al tersebut. Kriteria tanaman yang toleran terhadap Al antara lain: akar sanggup tumbuh terus dan ujung akar tidak rusak, mengurangi kelebihan serapan ion Al oleh akar, memiliki berbagai cara untuk menetralkan pengaruh racun Al setelah diserap tanaman, sanggup menciptakan keadaan yang kurang asam di daerah perakaran, translokasi ion Al ke bagian atas tanaman, sebagian besar ditahan di akar karena suatu mekanisme tertentu maka ion aluminium tidak sanggup menghambat serapan Ca, Mg dan K (Matsumoto et al.,1988). Ujung akar merupakan bagian tanaman dimana gen-gen yang berperan dalam mekanisme toleransi terhadap cekaman Al terekpresi. Detoksifikasi Al pada ujung akar dapat dilakukan oleh tanaman dengan menghasilkan atau mengekspresikan suatu molekul atau ligan yang dapat mengkelat Al3+, mengimobilisasi Al pada dinding sel, meningkatkan pH di sekitar akar, serta mengaktifkan transport Al ke luar sitoplasma (Taylor, 1991). Mekanisme fisiologi toksisitas dan toleransi Al telah dipelajari dan dibagi menjadi beberapa kelompok. Salah satu mekanisme toleransi tanaman terhadap Al yang sudah banyak dipelajari adalah pengeluaran anion asam organik seperti malat, sitrat dan oksalat, dari akar tanaman yang toleran Al. (Delhaize et al., 1993; Pellet et al., 1996; Ma et al., 1998). Peranan Asam Organik dalam Toleransi Tanaman terhadap Al Beberapa asam organik dapat membentuk ikatan kompleks dengan Al3+, sehingga Al tidak lagi bersifat racun bagi tanaman. Hue et al. (1986) menemukan bahwa asam organik dengan gugus hidroksil dan karboksil mampu membentuk ikatan yang stabil dengan Al3+. Peranan asam organik dalam toleransi Al dapat melalui toleransi internal maupun toleransi eksternal. Salah satu cara mekanisme eksklusi adalah sekresi substansi pengkelatan Al. Al dalam bentuk kelat kurang toksik dibandingkan dengan bentuk ionik Al3+ (Hue et al., 1986). Asam organik berperan dalam eksklusi Al melalui pelepasannya dari akar dan detoksifikasi Al dalam simplas dimana asam organik tersebut dapat mengkelat Al dan mereduksi atau mencegah pengaruh racunnya 20 pada tingkat seluler (Pellet et al., 1995). Asam organik ini diduga mampu mengkelat Al3+ di luar membran plasma yang selanjutnya dapat mencegah Al masuk ke tanaman (Delhaize & Ryan, 1995). Hasil penelitian Kasim (2000) terhadap beberapa jenis kedelai, menunjukkan bahwa Al merangsang terbentuknya asam sitrat dan malat baik yang diakumulasikan di dalam sel maupun disekresikan. Genotipe-genotipe yang toleran menyintesis asam organik lebih tinggi daripada genotipe yang peka. Hanya genotipe toleran yang menyekresikan malat walaupun dalam jumlah sedikit, sehingga sekresi malat dapat dijadikan indikator untuk tingkat toleransi kedelai terhadap cekaman Al. Beberapa genotipe tanaman adalah toleran Al karena dapat mengeluarkan Al dari apikal akar. Gandum yang toleran mengakumulasi Al lebih sedikit daripada gandum yang peka. Asam organik mengkelat Al sehingga akar terlindungi dari toksisitas Al. Gandum mengeksudasi malat sebagi responnya terhadap paparan Al, kedelai mengeksudasi sitrat dan malat, sedangkan oksalat dieksudasi oleh buckwheat (Fagopyrum esculentum). Effluks asam organik umumnya terjadi pada bagian apikal akar, karena bagian inilah yang paling rawan terhadap toksisitas Al. Hal ini menjadi dasar mengapa jumlah asam organik yang dieksudasi dari ujung akar tidak harus mampu mendetoksifikasi keseluruhan Al yang berada di sekitar akar, namun cukup untuk mendetoksifikasi Al yang berada di sekitar ujung akar saja (Ma et al., 1998). Hue et al. (1986) menyatakan bahwa di dalam kultur in vitro, asam organik benar-benar mampu menurunkan efek toksik dari Al, sitrat lebih efektif dibandingkan suksinat atau malat. Hasil penelitian Miyasaka et al. (1991) menunjukkan bahwa setelah ditumbuhkan selama 8 hari pada media yang mengandung Al, sistem akar pada tanaman buncis kultivar resisten mengeluarkan sitrat 70 kali lebih banyak dibandingkan tanpa perlakuan Al dan 10 kali lebih banyak dibandingkan kultivar peka. Asam-asam organik telah dibuktikan memiliki kemampuan mengkelat atau mendetoksifikasi Al, namun masih diperdebatkan apakah mekanisme tersebut terjadi secara internal dan eksternal. 21 Sitrat Sintase Sitrat sintase merupakan enzim yang sangat penting, memiliki fungsi mengatalis reaksi kondensasi dari residu asetat berkarbon 2 dari asetil KoA dan sebuah molekul oksaloasetat berkarbon 4 untuk menghasilkan sitrat berkarbon 6 (Gambar 1). Sitrat sintase ditemukan hampir pada semua sel hidup, pada sel eukariot umumnya terdapat pada bagian matriks mitokondria. Sintesis sitrat sintase terjadi di dalam sitosol dan kemudian ditransport ke mitokondria. Sitrat sintase adalah kunci utama pada siklus asam sitrat atau siklus Krebs. Gambar 1 Reaksi pembentukan asam sitrat (Campbell et al., 2002). Selain dalam siklus Krebs sitrat memiliki peranan penting dalam oksidasi-β dari asam lemak, lintasan glikolat fotorespirator dan pengkelatan ion beracun (Zhang et al., 2005). Takita et al. (1999) telah berhasil mengisolasi gen penyandi sitrat sintase dari tanaman wortel (Daucus carota), gen tersebut memiliki ukuran penuh sepanjang 1.859 pb. La Cognata et al.(1996) juga telah berhasil mengisolasi gen sitrat sintase dari N. tabacum, B. vulgaris dan P. hybrid. Secara berurutan memiliki nukelotida sepanjang 1.747 pb, 1.551 pb dan 1.387 pb. Arabidopsis thaliana memiliki gen sitrat sintase utuh sepanjang 1416 pb (Unger et al., 1989). Gen sitrat sintase pada tanaman padi juga telah berhasil diiosolasi dan dikarakterisasi oleh Zhang et al. (2005). Gen utuh yang diperoleh memiliki ukuran 1.477 pb yang menyandikan 474 asam amino. Sekuen protein yang dihasilkan memiliki kemiripan yang tinggi (lebih dari 70%) dengan Daucus carota, N. tabacum, B. vulgaris, A. thaliana dan Citrus junos. Larson et al. (2009) menyatakan bahwa protein sitrat sintase pada babi memiliki ukuran 437 asam amino dan berat molekul sekitar 50 kDa. Sitrat sintase tersusun dari sebuah domain alfa helik besar dan sebuah domain alfa helik kecil (Larson et al., 2009; Arnott et al, 2000). Domain besar berfungsi dalam kontak 22 inter-subunit, sedangkan domain kecil memiliki fungsi katalitik (Arnott et al., 2000). Overekspresi gen sitrat sintase dari bakteri Pseudomonas aeruginosa pada tanaman tembakau menghasilkan tanaman transgenik yang mengandung sitrat 10 kali lebih banyak dibanding tanaman non transgenik (kontrol) pada akarnya, dan menyekresikan sitrat 4 kali lebih banyak dibandingkan kontrol (de la Fuente et al,.1997). Penghambatan laju pertumbuhan akar pada tanaman transgenik juga lebih rendah daripada kontrol. Gen sitrat sintase telah diisolasi dari D. carota yang selanjutnya diintroduksikan ke dalam tanaman A. thaliana dengan menggunakan Agrobacterium tumefaciens sebagai media transformasi (Koyama et al., 2000). Tanaman transgenik yang dihasilkan menyekresikan sitrat sekitar 2,5 kali lipat lebih tinggi dibanding tanaman kontrol dan tumbuh lebih baik pada media yang mengandung fosfor terbatas dan Al. Tanaman alfafa (Medicago sativa) adalah tanaman yang dikenal sangat peka terhadap Al. Introduksi gen sitrat sintase dari P. aeruginosa pada tanaman alfafa yang dilakukan oleh Barone et al. (2008) menunjukkan bahwa tanaman alfafa transgenik yang ditumbuhkan pada tanah asam yang mengandung Al mengekspresikan gen sitrat sintase dan secara signifikan memiliki akar dan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan kontrol. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh eksklusi Al3+ dari ujung akar. Peningkatan ekspresi gen sitrat sintase dan aktifitas sitrat sintase pada media yang mengandung Al juga ditunjukkan oleh tanaman kanola transgenik dibandingkan tanaman kontrol (Anoop et al., 2003). Introduksi gen sitrat sintase dari wortel pada Eucalyptus hybrid menggunakan Agobacterium sebagai media transformasi juga telah dilakukan oleh Kawazu et al. (2003). Hasil penelitian menunjukkan aktifitas sitrat sintase pada daun dan akar tanaman transgenik meningkat 5 kali lipat dibandingkan dengan tanaman kontrol. Konsentrasi sitrat sintase di dalam akar juga mengalami peningkatan sebagaimana peningkatan aktifitas sitrat sintase. Tanaman transgenik yang yang ditumbuhkan secara hidroponik pada media yang mengandung Alfosfat sebagai sumber tunggal unsur P, menunjukkan hasil yang sama 23 dibandingkan tanaman dengan media Na-fosfat, sedangkan pada tanaman kontrol menunjukkan penurunan pertumbuhan akar. Isolasi gen dari Melastoma malabathricum M. malabathricum biasa disebut sengganen atau harendong (Jawa), sikadoekdoek (Sumatera), atau cengkodok (Kalimantan). M. malabathricum (Gambar 2) merupakan tanaman yang termasuk dalam superdivisi Spermatophyta (tanaman berbiji), divisi Magnoliophyta (tanaman berbunga), group dikotil, ordo Myrtales, famili Melastomaceae (PROSEA, 2010). M. malabathricum adalah salah satu akumulator Al yang tumbuh di tanah asam daerah tropis dan sub tropis dan merupakan salah satu dari spesies tanaman berkayu yang mampu tumbuh pada tanah asam sulfat dengan keasaman yang tinggi dan konsentrasi unsur hara yang sangat rendah (misal : N, P dan kation basa). Biasanya tanaman ini tumbuh dengan baik di Asia, Australia dan Polysenia (Osaki et al., 1998). Gambar 2 Tanaman M. malabathricum Mekanisme internal dari hiperakumulator Al di dalam M. malabathricum telah banyak dipelajari (Watanabe et al., 1997, 1998, 2005a, 2005b). Konsentrasi Al pada daun M. malabathricum seringkali tinggi, bahkan pada tanah gambut dengan daya tukar Al yang rendah (Osaki et al., 1998). Hasil penelitian Muhaemin (2008) menunjukkan bahwa M. malabathricum mampu tumbuh pada pH 4 dengan kelarutan Al 3,2 mM. Tanaman diklasifikasikan sebagai akumulator bila mengakumulasi sedikitnya 1.000 mg/kg daun (Jansen et al, 2002). M. 24 malabathricum mampu mengakumulasi lebih dari 10.000 mg Al/kg pada daun tua dan lebih dari 7.000 mg Al/kg pada daun muda tanpa mengalami keracunan (Watanabe et al., 1997). Pertumbuhan M. malabathricum juga lebih cepat pada media yang mengandung Al daripada yang tidak mengandung Al (Watanabe dan Osaki, 2001). Salah satu metode detoksifikasi Al di dalam M. malabathricum adalah eksudasi asam organik dari akar ke daerah rizosfer, dimana Al dan asam organik dapat membentuk ikatan yang stabil. Selain itu asam organik juga berfungsi untuk toleransi internal di dalam M. malabathricum. Ada 2 senyawa di dalam akar M. malabathricum yang dimungkinkan mampu membentuk kompleks dengan Al, Aloksalat merupakan bentuk yang berada di dalam daun dan Al-sitrat merupakan bentuk yang digunakan untuk translokasi Al dari akar ke daun (Watanabe et al, 2005; Watanabe dan Osaki, 2001). Watanabe dan Osaki (2002) menyatakan bahwa kompleks Al-sitrat memiliki ikatan 1:1 dan pada xylem sap M. malabathricum ditemukan malat dengan konsentrasi yang tinggi apabila tidak ada perlakuan Al, namun ketika diberi perlakuan Al maka ditemukan sitrat dengan konsentrasi yang tinggi. Kemampuan toleransi Al yang tinggi pada M. malabathricum ini menjadi dasar pemilihan tanaman ini sebagai sumber gen dan model bagi ketahanan Al terutama pada tanaman dikotil. Beberapa cDNA dari gen yang berhubungan dengan toleransi Al telah diisolasi dari Melastomaceae. Gen penyandi metallothionein type 2 (Mt2) (Suharsono et al., 2008), multidrug resistance associated protein (MRP) (Suharsono et al., 2009), major facilitator superfamily (MFS) (Widyartini, 2007), dan H+-ATPase membran plasma (MmPMA) (Muzuni et al., 2010) dan copper/zinc-superoxide dismutase (CuZn-SOD) (Hanum 3 Juni 2010, komunikasi pribadi) telah diisolasi dari M. malabathricum. Selain dari M. malabathricum, gen penyandi Methallothionein tipe 2 telah diisolasi oleh Fauziah (2009) dari Tibouchina langsdorffiana, salah satu jenis melastoma. Selain cDNA, pustaka genom M. malabathricum (Hadisunarso, 2009) dan T. langsdorffiana (Wulandari, 2009) juga telah dikonstruksi.