tinjauan pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Padi
Tanaman padi dalam sistematika tumbuhan (taksonomi) diklasifikasikan
ke dalam divisio Spermatophyta, dengan sub division Angiospermae, termasuk ke
dalam kelas monocotyledoneae, ordo adalah poales, family adalah Graminae,
genus adalah oryza linn, dan spesiesnya adalah Oryza sativa L (Grist, 1959).
Keseluruhan organ tanaman padi terdiri dari dua kelompok, yaitu organ vegetatif
dan organ generatif (reproduktif). Bagian vegetatif meliputi akar, batang dan
daun, sedangkan bagian generatif terdiri dari malai, gabah dan bunga (Manurung
dan Ismunadji 1988).
Akar padi adalah akar serabut yang sangat efektif dalam penyerapan hara,
tetapi peka terhadap kekeringan. Padi dapat beradaptasi pada lingkungan
tergenang (anaerob) karena pada akarnya terdapat saluran aerenchyma yang
berbentuk sepert pipa yang memanjang hingga ujung daun. Aerenchyma berfungsi
penyedia oksigen bagi daerah perakaran (Purwono dan Purnamawati, 2008).
Batang padi tersusun dari rangkaian ruas-ruas dan diantara ruas yang satu dengan
ruas yang lainnya dipisahkan oleh satu buku. Ruas batang padi didalamnya
berongga dan bentuknya bulat, dari atas ke bawah buku itu semakin pendek. Ruas
yang terpendek terdapat dibagian bawah dari batang dan ruas-ruas ini praktis tidak
dapat dibedakan sebagai ruas-ruas yang berdiri sendiri. Sumbu utama dari batang
dibedakan dari bagian pertumbuhan embrio yang disertai pada koleoptil pertama
(Grist, 1959).
Tanaman padi memiliki daun yang berbentuk lanset (sempit memanjang)
dengan urat daun sejajar dan memiliki pelepah daun. Pada buku bagian atas ujung
dari pelepah daun menunjukkan percabangan dimana batang yang pendek adalah
lidah daun (ligule), dan bagian yang terpanjang dan terbesar adalah kelopak daun
(auricle) (Siregar, 1981). Bunga padi secara keseluruhan adalah malai. Tiap unit
bunga pada malai disebut spikelet yang terdiri dari tangkai, bakal buah, lemma,
palea, putik, dan benang sari (Manurung dan Ismunadji, 1988).
4
Tanah Salin
Salinitas merupakan tingkat kadar garam yang terlarut pada air. Tanah
dikatakan salin apabila mengandung garam-garam yang dapat larut dalam jumlah
banyak sehingga mengganggu pertumbuhan tanaman. Penyebab lahan salin
terbagi atas dua bagian yaitu penyebab primer dan penyebab sekunder. Lahan
salin primer terjadi secara alami dan sekitar 7 % dari permukaan bumi. Lahan
salin sekunder terjadi akibat aktifitas manusia. Salinitas sekunder saat ini
diperkirakan terjadi pada sekitar 80 juta ha yang awalnya cocok untuk pertanian
(Barret, 2002).
Penyebab tanah salin antara lain : (1) tanah tersebut mempunyai bahan
induk yang mengandung deposit garam ; (2) intrusi air laut, akumulasi garam dari
irigasi yang digunakan atau gerakan air tanah yang direklamasi dari dasar laut
(Tan, 2000); (3) Tanah salin juga karena iklim mikro dimana tingkat penguapan
melebihi tingkat curah hujan secara tahunan (Sposito, 2008). Tanah salin
mempunyai kadar garam (NaCl) netral yang larut dalam air sehingga dapat
mengganggu pertumbuhan kebanyakan tanaman. Kurang dari 15% dari Kapasitas
Tukar Kation (KTK) tanah ditempati oleh natrium dan biasanya nilai pH kurang
dari 8.5. Hal ini disebabkan garam yang terdapat dalam tanah adalah netral dan
juga karena hanya sedikit natrium yang dijumpai (Soepardi, 2003).
Tabel 1. Pengaruh Tingkat Kegaraman Menurut Nilai EC
Nilai EC (mS/cm)
0±2
2±4
4±8
8 ± 16
> 16
Pengaruh
Daya pengaruh kegaraman boleh diabaikan
Hasil panen pertanaman sangat peka dapat terbatasi
Hasil panen banyak pertanaman terbatasi
Hanya pertanaman yang tenggang berhasil panen memuaskan
Sedikit pertanaman yang tenggang berhasil panen memuaskan
Sumber : Notohadiprowiro, 1998.
Menurut Notohadiprowiro (1998) daya tanah menghantarkan listrik
(electric conductivity) biasanya digunakan untuk menaksir kadar garam terlarut
tanah. Nilai electric conductivity (EC) dinyatakan dengan satuan mS cm-1 pada
suhu 250C. Nilai EC menunjukkan tingkat kegaraman tanah yang diklasifikasikan
menurut daya pengaruhnya atas kinerja tanaman, seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 1. Sposito (2008) menyatakan bahwa sebuah tanah dikatakan salin apabila
nilai EC lebih dari 4 mS/cm.
5
Poerwowidodo (2002) mengklasifikasikan tanah berkadar garam kedalam
lima kelas yaitu bebas garam, agak bergaram, bergaram cukup bergaram banyak
dan agak bergaram. Jumlah kandungan garam terlarut dalam tanah berdasarkan
nilai EC, seperti yang disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Kadar Garam Dapat Larut Dalam Tanah Menurut
DHL Jenuh
Kelas Kegaraman Tanah
Bebas garam
Agak bergaram
Bergaram cukup
Bergaram agak banyak
Bergaram banyak
Nilai EC (mS/cm)
0±2
2±4
4±8
8 ± 15
> 15
Sumber : Poerwowidodo, 2002.
Pengaruh Salinitas terhadap Tanaman
Menurut Suwarno (1985) pengaruh salinitas (NaCl) terhadap tanaman
mencakup tiga aspek yaitu: mempengaruhi tekanan osmosis, keseimbangan hara,
dan pengaruh racun. Selain itu, NaCl juga dapat mempengaruhi sifat-sifat tanah
dan selanjutnya berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Banyaknya Na+ di
dalam tanah menyebabkan menurunnya ketersediaan unsur Ca+, Mg2+, dan K+
yang dapat diserap bagi tanaman. Salinitas juga dapat menurunkan serapan P
meskipun tidak sampai terjadi defisiensi. Meningkatnya kandungan Cl- diikuti
pula oleh berkurangnya kandungan NO3- dalam tajuk.
Tabel 3. Persentase Kehilangan Hasil Tanaman Padi Menurut Nilai ECe
Nilai ECe (mS/cm)
Kehilangan Hasil (%)
<4
< 10
4±6
10 ± 20
6 ± 10
20 ± 50
> 10
> 50%
Sumber : FAO (2005)
Kandungan garam sebagai nilai salinitas tanah akan dapat mengurangi
produksi tanaman padi (FAO, 2005). Persentase kehilangan hasil tanaman padi
menurut nilai ECe ditunjukkan pada Tabel 3. Mekanisme pengaruh salinitas pada
tanaman bekerja seperti racun, dimana kation monovalen seperti K+ dan Na+,
6
dapat menyebabkan disperti koloid protoplasma hingga terjadi disorganisasi
kecuali bila diimbangi oleh Ca+, permeabilitas membran sel dapat dirusak oleh
konsentrasi NaCl yang tinggi, kerusakan ini juga dapat diperbaiki dengan
penambahan Ca. Keracunan Na ditandai dengan mengeringnya tepi bagian ujung
daun, demikian juga keracunan Cl. Gejala tersebut sangat sulit dibedakan dengan
gejala kekeringan (Suwarno, 1985). Marschner (1998) menambahkan pengaruh
racun dari beberapa ion tertentu seperti Natrium dan Klorida, yang lazim terdapat
pada tanah bergaram, akan menghancurkan struktur enzim dan makromolekuler
lainnya, merusak organel sel, mengganggu fotosintesis dan respirasi, serta
menghambat sintesis protein dan mendorong kekurangan ion.
Cekaman salinitas mempengaruhi perkecambahan dengan mencegah
penyerapan air dan juga memasukkan ion beracun ke dalam embrio atau bibit.
Tingkat toleransi tanaman terhadap cekaman garam jauh lebih besar selama
perkecambahan biji daripada selama fase berikutnya, seperti pertumbuhan bibit
dan perkembangan tanaman (Suwarno dan Solahuddin, 1983). Hasil penelitian
Bintoro (1983) menunjukkan pemberian NaCl akan menurunkan bobot segar akar
pada tomat, namun ketahanannya terhadap NaCl dipengaruhi oleh musim pada
saat penanaman. Pada tanaman tomat dan terung, akar merupakan bagian tanaman
yang paling peka terhadap perlakuan NaCl. Menurut penelitian Sunarto (2001)
percobaan penyiraman larutan garam NaCl sebesar 0.2 % menunjukkan
penurunan pada semua peubah pengamatan seperti tinggi tanaman, luas daun,
bobot biji, bobot kering akar dan tajuk dan panjang akar pada tanaman kedelai.
Menurut penelitian Yuniati (2004) pada kacang merah, pelebaran daun terhambat
oleh cekaman salinitas karena berkurangnya tekanan turgor sel. Berkurangnya
pelebaran daun dapat berakibat berkurangnya fotosintesis maupun produktivitas.
Menurut penelitian Samadi (2007) Salinitas juga berpengaruh terhadap tanaman
kentang pada nilai Ece 1.7 tidak terjadi penurunan hasil, Ece 2.5 menurunkan
hasil sebesar 10%, Ece 3.8 menyebabkan penurunan hasil sebesar 25%, Ece 5.9
menurunkan hasil 50%.
7
Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Salinitas
Beberapa proses fisiologis dan biokimia terlibat dalam mekanisme
toleransi dan adaptasi tanaman terhadap salinitas. Sebagai contoh (i) cekaman
garam menginduksi akumulasi senyawa organik spesifik di dalam sitosol sel yang
dapat bertindak sebagai osmoregulator; (ii) tanaman juga dapat mencegah
akumulasi Na dan Cl dalam sitoplasma melalui eksklusi Na dan Cl ke lingkungan
eksternal (media tumbuh); (iii) kompartementasi ke dalam vakuola atau
mentranslokasi Na dan Cl ke jaringan-jaringan lain (Marchner, 1998). Tanaman
dapat menghindari terjadinya ketidakseimbangan hara atau keracunan dengan
empat cara, yaitu: eksklusi, ekskresi, sekresi dan dilusi. Eksklusi terjadi secara
pasif dengan adanya dinding sel yang tidak permeabel terhadap garam atau ionion dari garam tersebut. Ekskresi dan sekresi merupakan pemompaan ion secara
aktif masing-masing ke luar tanaman dan ke dalam vakuola. Sedangkan dilusi
dapat terjadi dengan adanya pertumbuhan yang cepat. Hal ini disimpulkan dari
hasil analisis bahwa bagian yang tumbuh cepat mengandung Na dan Cl lebih
rendah dari bagian yang tumbuh lambat (Levitt, 1980).
Pada tanaman bakau, pertumbuhan tanaman yang cepat merupakan
mekanisme lain untuk mengencerkan garam. Kelebihan garam pada tanaman ini
biasanya dikeluarkan pada permukaan daun untuk membantu mempertahankan
konsentrasi garam yang konstan dalam jaringan (Salisbury, 1985).
Download